Professional Documents
Culture Documents
1 Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
2 Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis-Institut Pertanian Bogor dan Departemen Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen-Institut Pertanian Bogor, Jl. Raya Dramaga Bogor
ABSTRACT
ABSTRAK
Industri broiler merupakan usaha ternak komersial yang berpotensi memacu pertumbuhan
ekonomi yang inklusif. Tulisan ini ditujukan untuk menganalisis: (1) perkembangan populasi, produksi,
dan perdagangan; (2) menganalisis pasokan dan permintaan broiler; (3) mengkaji kinerja manajemen
rantai pasok (supply chain management/SCM) pada industri broiler; dan (4) mengkaji manajemen
rantai pasok melalui strategi kemitraan usaha. Secara nasional jumlah populasi broiler tumbuh relatif
lambat, sedangkan produksi tumbuh pada level moderat. Kondisi tersebut menunjukkan adanya
peningkatan produktivitas yang cukup tinggi karena didukung oleh kualitas bibit (DOC), kualitas
pakan, dan usaha ternak secara intensif. Posisi perdagangan selama periode (2005-2010) dalam
posisi defisit, kalau tidak ada pelarangan impor terkait wabah flu burung (AI) maka defisit akan
semakin membesar. Rantai pasok (supply chain) pada produk broiler baik pola mandiri maupun
kemitraan usaha sebagian besar masih ditujukan untuk pasar becek (wet market) serta sebagian
ditujukan untuk pasar modern (supermarket, hypermarket) dan konsumen institusional (hotel dan
restaurant/rumah makan). Dengan menerapkan manajemen rantai pasok melalui strategi kemitraan
usaha terdapat empat manfaat, yaitu: (1) kualitas produk broiler yang dihasilkan akan mampu
dipertahankan konsistensinya; (2) mengurangi biaya per unit output melalui peningkatan efisiensi dan
produktivitas dan economies of scale; (3) memperluas kesempatan peternak rakyat terlibat dalan
industri broiler; dan (4) terbangun keterpaduan produk dan keterpaduan antar pelaku usaha industri
broiler sehingga akan menjamin keberlanjutan usaha. Implikasi kebijakan penting dalam membangun
manajemen rantai pasok secara terintegrasi adalah mengembangkan bentuk-bentuk kemitraan yang
saling membutuhkan, memperkuat, dan saling menguntungkan sehingga terbangun keterpaduan
produk dan antar pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen rantai pasok melalui
strategi kemitraan usaha alur informasi dapat bergerak secara efektif, pergerakan produk akan efisien
dalam menghasilkan kepuasan maksimal bagi konsumen.
137
PENDAHULUAN
140
Tabel 1. Perkembangan Volume Ekspor dan Nilai Ekspor Daging Ayam Ras (Broiler), Tahun 2004-
2008
Tahun Volume ekspor (ton) Nilai Ekspor (000 US$)
2004 100,90 161,20
2005 21,10 92,1
2006 25,00 43,2
2007 9,49 16,40
2008 0,00 0,00
2009 0,00 0,00
Rata-rata 31,30 62,58
Pertumbuhan (%/th) -68,19 -63,61
Sumber : Statistik Peternakan, 2009.
Berdasarkan kajian di lapang beberapa pelaku kunci dalam industri pembibitan yang
memiliki pangsa pasar yang tersebar untuk wilayah Jawa Barat (Bogor, Sukabumi, dan
Cianjur) untuk bibit ayam ras pedaging (broiler) antara lain PT. Charoen Phokphand
Indonesia, PT. Multi Breder Adirama Indonesia, PT. Cipendawa Farm Enterprise, PT.
Wonokoyo, dan PT. Cibadak Indah Sari Farm. Sampai sejauh ini belum ada perusahaan
pembibitan untuk menghasilkan Grant Parent Stock (GPS). Jumlah industri pembibitan GPS
untuk menghasilkan Parent Stock (PS) untuk ayam ras pedaging (broiler) secara
keseluruhan berjumlah (4 unit), yang semuanya berlokasi di Provinsi Jawa Barat. Nampak
industri pembibitan GPS untuk menghasilkan PS broiler terkonsentrasi di Jawa Barat.
Industri pembibitan PS (Parent Stock) ditujukan untuk menghasilkan FS (Final
Stock). Jumlah industri pembibitan Parent Stock (PS) untuk menghasilkan Final Stock (FS)
untuk broiler secara keseluruhan berjumlah (35 unit), yang berlokasi di Provinsi Jawa Barat
(13 unit), Sumatera Utara (5 unit), Jawa Timur (5 unit), Banten (3 unit), Bali (2 unit),
Kalimantan Selatan (2 unit), Jawa Tengah (1 unit), DI Yogyakarta (1 unit), dan Sulawesi
Utara (1 unit); Nampak industri pembibitan PS untuk menghasilkan FS baik petelur maupun
broiler juga terkonsentrasi di Jawa Barat, namun dengan sebaran yang lebih baik.
Pertumbuhan produksi Final Stock (FS) untuk ayam ras pedaging (broiler) selama
lima tahun terakhir (2005-2009) cukup besar dengan rata-rata pertumbuhan sebesar (7,11
%/tahun). Dari rata-rata produksi final stock secara nasional sebesar 1.142.948 ribu ekor,
maka disumbang oleh Provinsi Jawa Barat sebesar 434.040 ribu ekor (37,98 %), kemudian
menyusul Jawa Timur sebesar 238.172 ribu ekor (20,84 %), Sumatera Utara sebesar 74.205
ribu ekor (6,49 %), Banten sebesar 55.496 ribu ekor (4,86 %), Jawa Tengah 52.146 sebesar
ribu ekor (4,56 %), Riau sebesar 44.542 ribu ekor (3,90 %), Lampung sebesar 43.483 ribu
ekor (3,80 %), Sumatera Selatan sebesar 38.303 ribu ekor (3,35 %), Kalimantan Timur
sebesar 38.466 ribu ekor (3,37 %), dan Sulawesi Selatan sebesar 30.944 ribu ekor (2,71 %).
Jumlah produksi DOC final stock oleh industri pembibitan sangat di suatu wilayah ditentukan
kemampuan daya serap pasar produk DOC, infrastruktur fisik dan kesesuaian kondisi
lingkungannya.
Struktur pasar DOC berada antara persaingan sempurna dan oligopoli, dan
mengarah ke struktur pasar oligopoli. Hal ini di indikasikan oleh beberapa hal sebagai
berikut : (1) Cukup banyaknya jumlah perusahaan pembibitan; (2) Cukup banyak
perusahaan pembibitan skala kecil yang tidak terdaftar (perusahaan gelap); (4) terdapat
144
cukup banyak perusahaan pembibitan (37) yang melakukan impor DOC, dengan volume
impor mencapai 1,85 juta ekor (1995) hingga 6,85 juta ekor (1999); (3) adanya beberapa
merk doc Final Stock yang diperdagangkan oleh PS-PS; dan (4) sering terjadinya fluktuasi
harga doc yang tajam.
Tahun Kapasitas produksi (ton) Produksi Riil (ton) Pangsa produksi riil/kapasitas
terpasang (%)
2003 10.026.331 5.743.093 57,28
2004 10.737.831 5.975.402 55,65
2005 11.278.231 6.226.882 55,21
2006 11.304.831 7.200.630 63,70
2007 11.024.348 7.700.033 69,70
2008 12.006.068 8.155.865 67,93
Sumber : Statistik Peternakan, 2009 dan 2010
Hasil kajian Yusdja dan Saptana (1995) mengemukakan bahwa tingkat keuntungan
industri broiler, untuk pola mandiri menerima keuntungan hanya sebesar 1 persen,
sedangkan pola terintegrasi dapat mencapai 23 persen. Dapat disimpulkan bahwa integrasi
unit-unit kegiatan dalam industri broiler dapat meningkatkan efisiensi secara keseluruhan.
Ada kecenderungan pertumbuhan pabrik pakan ke arah bentuk struktur pasar
oligopoli. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh : (1) proporsi produksi pakan dari pabrik pakan
berskala besar yang berjumlah 8 buah (12%) memiliki pangsa pasar sebesar (65–83 %);
dan (2) pada kenyataannya kedelapan pabrik pakan skala besar ini berada dalam satu
organisasi GPMT (Gabungan Pengusaha Makanan Ternak) yang memungkinkan mereka
melakukan kesepakatan-kesepakatan atau kartel diantara mereka.
146
kemana dipasarkan, serta seluruh keuntungan dan risiko sepenuhnya menjadi tanggung
jawab peternak. Adapun ciri ciri peternak mandiri adalah mampu membuat keputusan
sendiri tentang (Rusastra et al., 2006): (a) perencanaan usaha peternakan; (b) menentukan
fasilitas perkandangan; (c) menentukan jenis dan jumlah sapronak yang akan digunakan; (d)
menentukan saat memasukkan DOC ke dalam kandang; (e) menentukan manajemen
produksi; (f) menentukan tempat dan harga penjualan hasil produksi; serta (g) tidak terikat
dalam suatu kemitraan usaha, ikatan biasanya merupakan pola dagang umum
(transaksional).
Pada saat ini (2009) di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Kabupaten Cianjur sulit
ditemukan adanya peternak broiler mandiri. Andaikan ada peternak-peternak mandiri
terbatas pada peternak skala besar, sedangkan peternak mandiri skala kecil banyak yang
gulung tikar (colaps), karena beberapa gejolak eksternal, seperti krisis moneter (1997-1998),
serangan wabah AI (2003-2005), dan krisis finansial global (2008).
Rantai pasok pada pola mandiri dapat dilihat pada Gambar 1 berikut. Berdasarkan
Gambar 1 tersebut menunjukkan ada dua sumber hasil ternak broiler, yaitu peternak broiler
rakyat (skala kecil) dan perusahaan peternakan (skala besar). Hasil broiler rakyat di jual
kepada pedagang pengumpul, selanjutnya pedagang pengumpul menjual ke RPA atau
pedagang besar (middle man), selanjutnya sebagian besar ditujukan untuk pedagang pasar
dan pengecer di pasar-pasar tradisional. Sementara itu, hasil ternak broiler dari perusahaan
besar dijual ke agen atau supplier, selanjutnya ke RPA (jasa pemotongan), kemudian dijual
untuk tujuan pasar-pasar tradisional dan sebagian untuk tujuan pasar modern dan
konsumen institusi (Hotel, Restoran, Rumah Sakit, dll).
Pedagang Besar
Pasar Modern
di Pasar Pedagang
(Supermarket/hiper
Pengecer/Warung market)
Rumah Potong
Ayam/RPA
Gambar 1. Rantai Pasok Produk Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada Pola Usaha Ternak
Mandiri.
Berdasarkan wawancara dengan para peternak dan informan kunci (key informant)
bahwa sudah cukup lama terjadi pergeseran dari dulunya dominan peternak mandiri,
kemudian dominasi ke arah kemitraan usaha (contract farming), dan terakhir adalah
147
dominani pola kontrak kandang dan kuli (maklun). Berdasarkan informasi dari Dinas
Peternakan Kabupaten Bogor (2009-2010) kemitraan untuk ayam ras pedaging (broiler)
memberikan informasi pokok : Kemitraan ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor dan
berdasarkan studi eksplorasi juga mencakup Sukabumi dan Cianjur dilaksanakan oleh 10
perusahaan inti (PT. Charoen Phokpand, PT. Sierad Produce, PT. Surya Unggas Mandiri, PT.
Multi Breeder, PT. Sinta Maju Abadi, PT. Wonokoyo, PT. Gymtech/Leong, PT Malindo, Tunas
Mekar Farm/Muslikin, Bambang Ismono, PT. PPC (Putra Perdana Chicken) atau Tri
Hardiyanto, dll). Di samping itu tercatat juga kemitraan yang dilaksanakan oleh poultry shop
untuk kasus di Kabupaten Bogor terdapat sebanyak 7 (Sahabat PS, Prumpung PS, Sue Eng
Farm, Cun Lih, Rudi PS, PT. Arena Jaya PS, Bogor Unggul Sejahtera PS) yang bertindak
sebagai inti. Kasus serupa juga dijumpai di Kabupaten Sukabumi dan Cianjur.
Terdapat tiga pola kemitraan usaha antara Perusahaan Inti dengan peternak plasma,
yaitu (Daryanto dan Saptana, 2009) : (1) Pola Perusahaan Inti Rakyat dengan kesepakatan
melalui kontrak harga pada saat DOC masuk kandang; (2) Pola Perusahaan Inti Rakyat
dengan kesepakatan harga mengikuti harga pasar; (3) Pola Bagi Hasil dan bagi risiko (profit
risk sharing).
Beberapa alasan peternak broiler beralih dari pola mandiri ke pola kemitraan usaha,
antara lain adalah : (a) kekurangan modal usaha, terutama setelah mengalami kerugian
akibat gejolak eksternal; (b) mengurangi risiko baik risiko produksi maupun harga, melalui
kemitraan usaha ada risk sharing; (c) untuk memperoleh jaminan pemasaran, di mana
seluruh hasil perusahaan inti yang menampung dan memasarkan; (d) untuk memperoleh
jaminan harga, melalui kontrak harga; (e) bagi perusahaan inti, untuk mendapatkan jaminan
dalam pemasaran sapronak dan hasil ternak; dan (f) untuk memanfaatkan kandang yang
sedang kosong.
Pola yang pertama dijumpai kemitraan usaha antara PT. Tunas Mekar Farm dengan
peternak plasma serta antara PT. PKP dengan peternak plasma. Pada pola ini, perusahaan
inti berkewajiban : (1) menyediakan sapronak : DOC, pakan, serta obat-obatan, vitamin, feed
aditif, dan disinfektan; (2) menampung hasil dengan umur panen dan harga yang disepakati
dalam kontrak (MoU) melalui tabel harga broiler hidup menurut berat (Tabel harga dapat
disimak Tabel 8). Sementara itu, peternak berkewajiban : (1) memberikan uang jaminan,
terutama bagi peternak plasma pemula sebesar Rp 6 juta/1000 ekor); (2) menyediakan
kandang dan alat; (3) menyediakan tenaga kerja (anak kandang) bisa dengan tenaga
keluarga atau upahan (anak kandang); (4) menyediakan biaya operasional; (5) memelihara
broiler sebaik-baiknya agar mencapai FCR yang diharapkan dan mortalitas yang rendah.
Karena harga input dan output sudah fix maka pencapaian keuntungan dapat dilakukan
melalui pencapaian produktivitas yang tinggi, FCR yang standar, serta tingkat kematian yang
rendah; dan (6) menjual seluruh hasil broiler kepada inti dengan harga yang telah disepakati.
Secara terperinci harga kontrak menurut berat broiler antara peternak dengan Tunas Mekar
Farm (TMF) dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8. Harga Kontrak antara Peternak dengan TMF menurut Berat Broiler
148
Biasanya harga yang terjadi di pasar adalah lebih tinggi dibandingkan harga kontrak
(Rp 13 500-14.500/kg VS 12.380-13.230), namun pada periode Februari-Maret 2010 harga
broiler yang terjadi di pasar lebih rendah dibandingkan harga kontrak (Rp 9.000-11.000 VS
12.380-13.230). Bagi peternak yang tergabung dalam kemitraan model ini, meskipun harga
jatuh, peternak masih mendapatkan keuntungan yang cukup besar. Bagi perusahaan inti
(TMF, PKP) yang melakukan kemitraan usaha dengan kontrak harga yang biasanya
mendapatkan keuntungan, pada awal tahun 2010 mengalami kerugian, namun kerugian yang
dialami sebagian tertutupi dari penjualan sarana produksi peternakan ke peternak plasma.
Pola yang ke dua dijumpai kemitraan usaha antara PT. PPC (Putra Perdana Chicken)
dengan peternak plasma. Pada pola ini, perusahaan inti berkewajiban : (1) memberikan
bimbingan teknis dan manajemen melalui technical services-nya; (2) menyediakan sapronak :
DOC, pakan, serta obat-obatan, vitamin, feed additif, dan disinfektan; (3) menampung hasil
dengan umur panen dan harga mengikuti harga pasar.
Peternak broiler berkewajiban : (1) memberikan uang jaminan, terutama bagi peternak
plasma pemula sebesar Rp 10 juta/4000 ekor); (2) menyediakan kandang dan alat; (3)
menyediakan tenaga kerja (anak kandang) bisa dengan tenaga keluarga atau upahan (anak
kandang); (4) menyediakan biaya operasional; (5) memelihara broiler sebaik-baiknya agar
mencapai FCR yang diharapkan dan mortalitas yang rendah; dan (6) menjual seluruh hasis
broiler kepada inti dengan harga sesuai harga yang terjadi di pasar.
Bagi peternak yang tergabung dalam kemitraan model ini, biasanya mendapatkan
keuntungan yang lebih besar dibandingkan pola yang pertama, karena biasanya harga pasar
yang terjadi lebih tinggi dibandingkan harga kontrak. Namun pada periode (februari-Maret
2009) mengalami kerugian karena harga jatuh (Rp 9000-11.000/kg broiler hidup). Pada harga
terendah (Rp 9000-9800/Kg) peternak mengalami kerugian cukup besar, karena biaya pokok
diperkirakan Rp 10.500/kg broiler. Bagi perusahaan inti (PPC) yang melakukan kemitraan
usaha dengan mengikuti mekanisme harga pasar tetap mendapatkan keuntungan, meskipun
keuntungannya relatif kecil.
Pergeseran ke pola kontrak kandang (maklun) disebabkan oleh beberapa faktor : (1)
Kerugian yang dialami peternak pada saat terjadi goncangan eksternal (wabah AI, krismon
1997-1998, dan krisis finansial global 2008-2009); (2) Naiknya harga-harga sapronak terutama
pakan ternak; (3) Makin terbatasnya margin keuntungan usaha ternak broiler pola mandiri;
dan (4) Menyewakan kandang dan sebagai kuli adalah jalan terakhir yang dapat memberikan
pendapatan tanpa sama sekali menanggung risiko.
Pola ketiga, yaitu pola bagi hasil dan bagi risiko (profit risk sharing). Pola yang ke tiga
dijumpai kemitraan usaha antara PT. Charoen Phokpand Indonesia (PT. CPI) PT. Sierad
Produce, dan PT. Malindo dengan peternak plasma secara individu. Pada pola ini,
perusahaan inti berkewajiban : (1) memberikan bimbingan teknis dan manajemen melalui
technical services-nya; (2) menyediakan sapronak : DOC, pakan, serta obat-obatan, vitamin,
feed additif, dan disinfektan dengan harga mengikuti harga pasar; (3) menampung hasil
dengan umur panen dan harga mengikuti harga pasar (perusahaan tidak membebankan biaya
bunga bank); (4) Jika dalam kemitraan usaha memperoleh keuntungan atau kerugian maka
keuntungan atau kerugian dibagi dua dengan proporsi sesuai yang disepakati dalam kontrak.
Sementara itu, peternak broiler berkewajiban : (1) memberikan uang jaminan, sebesar
Rp 10 juta/4000 ekor) atau serifikat tanah; (2) menyediakan kandang sesuai petunjuk teknis
dari perusahaan mitra; (3) menyediakan tenaga kerja (anak kandang); (4) menyediakan biaya
operasional; (5) memelihara broiler sebaik-baiknya agar mencapai FCR yang diharapkan dan
mortalitas yang rendah; dan (6) menjual seluruh hasil broiler kepada inti dengan harga sesuai
harga yang terjadi di pasar.
Bagi peternak broiler yang tergabung dalam kemitraan model ke tiga ini, biasanya
mendapatkan keuntungan yang lebih rendah dibandingkan pola yang kedua, karena adanya
pembagian keuntungan antara perusahaan inti dan peternak plasma. Sebaliknya kalau
149
mengalami kerugian, maka kerugian yang dialaminyapun lebih kecil, karena ada pembagian
risiko dari kerugian yang timbul. Bagi perusahaan inti (PT. CPI, PT. Sierad Produce, dan PT.
Malindo) yang melakukan kemitraan usaha dengan mengikuti mekanisme harga pasar dan
pembagian keuntungan dan risiko kerugian, keduanya dapat mengalami keuntungan dan
kerugian. Hanya saja keuntungan dan kerugian dibagi antara pihak-pihak yang bermitra.
Rantai pasok (supply chain) pada pola kemitraan usaha (contract farming) dengan
mengambil kasus di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2
menunjukkan bahwa ada dua sumber hasil ternak broiler, yaitu peternak broiler plasma
(skala kecil) dan hasil produksi dari perusahaan inti (skala besar). Sesuai perjanjian seluruh
hasil produksi broiler peternak plasma di tampung sepenuhnya oleh perusahaan inti.
Selanjutnya perusahaan inti yang memasarkan hasil. Pola pemasaran hasil relatif sama
dengan pola mandiri yaitu melalui pedagang pengumpul dan agen atau supplier, selanjutnya
pedagang pengumpul menjual RPA atau pedagang besar (middle man), selanjutnya
sebagian besar ditujukan untuk pedagang pasar dan pengecer di pasar-pasar tradisional
dan sebagian dijual ke agen atau supplier, selanjutnya ke RPA (jasa pemotongan),
kemudian dijual untuk tujuan pasar-pasar tradisional dan sebagian untuk tujuan pasar
modern dan konsumen institusi (Hotel, Restoran, Rumah Sakit, dll).
Pedagang Besar
Pasar Modern
di Pasar Pedagang
(Supermarket/hiper
Pengecer/Warung market)
Rumah Potong
Ayam/RPA
Gambar 2. Rantai Pasok Produk Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada Pola Kemitraan
Usaha (Contract Farming)
150
sampai ke tangan konsumen. Pengembangan industri broiler dengan manajemen rantai
pasok melalui strategi kemitraan usaha merupakan langkah strategis dalam memadukan
sub sektor ini sebagai sumber pertumbuhan, pemerataan, dan keberlanjutan.
hulu
Bibit Grand Parent Stock
Pabrik/importir
Bibit Parent Stock
Farmasi veteriner Pabrik pakan
dan Sapronak on farm (feedmill)
Final Stock
RPA/TPA
Instansi Pemerintah
Asosiasi:
eknis)
Ditjennak, Ditjen P2HP, Unitpengolahan GAPPI; GPPU;
Ditjen Sarana dan GOPAN; GPMT;
Prasarana, Disnak ASOHI;NAMPA;
Provinsi, Disnak
Produk olahan daging ayam
YLKI
Kota/Kabupaten
Konsumen akhir
Gambar 3. Struktur Usaha Broiler dari Daerah Pemasok ke Pasar DKI Jakarta
Secara nasional jumlah populasi broiler tumbuh relatif lambat, sedangkan produksi
tumbuh pada level moderat. Kondisi tersebut menunjukkan adanya peningkatan
produktivitas yang cukup tinggi yang didukung oleh kualitas bibit (DOC), pakan sehingga
FCR semakin efisien.
Daerah sentra produksi broiler berkembang pesat di daerah dekat pusat pasar dan
daerah sentra produksi jagung. Secara berturut-turut sumbangan produksi terbesar adalah
153
Provinsi Jawa Barat menyumbang, Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Banten,
Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Riau, DIY, dan Sumatera Selatan.
Posisi perdagangan broiler Indonesia di pasar dunia pada periode (2005-2009)
mengalami defisit yang makin lama makin membesar. Kondisi ini akan dapat mengganggu
eksistensi dan keberlanjutan industri broiler domestik. Diperlukan kebijakan pendukung
pengembangan industri broiler domestik terutama berkaitan pengembangan bahan baku
pakan domestik, kemudahan dalam investasi, infrastruktur pendukung, serta perencanaan
penataan kawasan industri peternakan yang jelas.
Rantai pasok (supply chain) pada produk broiler pada pola mandiri di jual ke
pedagang pengumpul, selanjutnya pedagang pengumpul menjual ke pedagang besar pasar
di pasar-pasar tradisional, selanjutnya dijual ke pedagang pengecer di pasar-pasar
tradisional. Sementara itu, pada pola kemitraan sesuai perjanjian seluruh hasil produksi
broiler peternak plasma di tampung sepenuhnya oleh perusahaan inti atau poultry shop.
Selanjutnya perusahaan inti yang memasarkan hasil.
Pola rantai pasok melalui kemitraan usaha relatif sama dengan pola mandiri yaitu
melalui pedagang pengumpul dan agen atau supplier, selanjutnya pedagang pengumpul
menjual ke RPA atau pedagang besar (middle man), selanjutnya sebagian besar ditujukan
untuk pedagang pasar dan pengecer di pasar-pasar tradisional dan sebagian dijual ke agen
atau supplier, selanjutnya ke RPA (jasa pemotongan), kemudian sebagian besar dijual untuk
tujuan pasar becek (wet market) dan sebagian lainnya untuk tujuan pasar modern dan
konsumen institusi (industri pengolahan, Hotel, Restoran/rumah makan, Rumah Sakit).
Pendekatan manajemen rantai pasok melalui strategi kemitraan usaha paling tidak
terdapat empat manfaat, yaitu: (1) kualitas produk broiler yang dihasilkan akan mampu
dipertahankan konsistensinya, hal ini dikarenakan melalui koordinasi vertikal mekanisme
kontrol mudah dilakukan; (2) melalui koordinasi vertikal akan mampu mengurangi biaya per
unit output dan tercapainya economies of scale dan dicapai efisiensi dan produktivitas
sebagai sumber pertumbuhan; (3) koordinasi vertikal melalui kemitraan usaha akan
memperluas kesempatan peternak rakyat terlibat dalan industri broiler, sehingga dapat
memperluas kesempatan kerja dan berusaha; dan (4) koordinasi vertikal merupakan
pendekatan yang terkoordinasi dan efisien sehingga akan terbangun keterpaduan produk
dan keterpaduan antar pelaku usaha industri broiler sehingga akan menjamin keberlanjutan
usaha.
Implikasi kebijakan penting dalam membangun manajemen rantai pasok secara
terintegrasi adalah mengembangkan bentuk-bentuk kemitraan yang saling membutuhkan,
memperkuat, dan saling menguntungkan sehingga terbangun keterpaduan produk dan antar
pelaku. Begitu pula dengan alur informasi, adanya manajemen rantai pasok melalui strategi
kemitraan usaha alur informasi dapat bergerak secara efektif, pergerakan produk akan
efisien dalam menghasilkan kepuasan maksimal bagi konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
154
Daryanto, A. 2008. Tantangan dan Peluang Peternakan di Tengah Krisis Global. Trobos,
Januari 2009.
Daryanto A. dan Saptana. 1999. Global Value Chain Governance (GVCG) pada Broiler di
Indonesia : Memadukan Pertumbuhan, Pemerataan dan Keberlanjutan dalam
Orange Book : Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan dalam Menghadapi Krisis
Ekonomi Global. IPB Press. Bogor
Ditjen Peternakan. 2010. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen
Pertanian. Jakarta
Ditjen Peternakan. 2009. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen
Pertanian. Jakarta.
Ditjen Peternakan. 2008. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan.Departemen
Pertanian. Jakarta.
Ditjen Peternakan. 2005. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen
Pertanian. Jakarta.
Ditjen Peternakan. 2004. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen
Pertanian. Jakarta.
Eggertsson, T. 1990. Economic Behavior and Institution, Cambridge : Cambridge University
Press.
ICN. August 2009. Market Intelligence Report on Livestock and Poultry Industry in
Indonesia. PT. Data Consult. Business Survey and Report.
Indrajit, R. E. Dan R. Djokopranoto. 2002. Konsep Manajemen Supply Chain Cara Baru
Memandang Mata Rantai Penyediaan Barang. Grasindo. Jakarta.
Hardjosworo, P. S. dan L. H. Prasetyo. 2009. Unggas dan Perunggasan di Indonesia.
Disampaikan pada Seminar “Strategi Usaha Perunggasan dalam
Menghadapi Krisis Global”Fakultas Peternakan IPB dan Masyarakat Ilmu Perunggasan
Indonesia (MIPI). Bogor, 26 Oktober 2009.
Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dan
Pemerataan. CIDES. Jakarta.
Nugroho, B. 2006. Principal-Agent(s) Relationships (Hubungan Pemberi & Penerima
Kepercayaan). Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rusastra, I W., W. K. Sejati, S. Wahyuni, dan Y. Supriyatna. 2006. Laporan Penelitian
Analisis Kelembagaan Rantai Pasok Komoditas Peternakan. 2006. Pusat Analsis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Saptana. 1999. Dampak Krisis Moneter dan Kebijaksanaan Pemerintah Terhadap
Profitabilitas dan Daya Saing Sistem Komoditi Ayam Ras di Jawa Barat. Tesis S2.
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian.
Bogor.
Saragih, B. 1998. Agribisnis Berbasis Peternakan. Pusat Studi Pembangunan, Lembaga,
Penelitian Institut Pertanian Bogor. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Yusdja, Y., dan Saptana. 1995. Disintegrasi Pola Kemitraan dan Inefisiensi dalam Industri
Ayam Ras. Prosiding Simposium Nasional Kemitraan Usaha Ternak. Ikatan Sarjana
Ilmu-Ilmu Peternakan Indonesia (ISPI) bekerjasama dengan Balai Penelitian Ternak,
Ciawi-Bogor.
155
Lampiran 1. Perkembangan Populasi Ayam Ras Pedaging Menurut Provinsi di Indonesia, 2005-2009 (ekor)
Tahun Pertumbuhan
No Provinsi Rata-rata
(%/tahun)
2005 2006 2007 2008 2009
156
Lampiran 2. Produksi Daging Ayam Ras Pedaging Menurut Provinsi di Indonesia, Tahun 2005-2009 (ton)
Tahun Pertumbuhan
No Provinsi Rata-rata
(%/tahun)
2005 2006 2007 2008 2009
157