You are on page 1of 18

KINERJA, KENDALA, DAN STRATEGI PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI Iskandar Andi Nuhung 63

KINERJA, KENDALA, DAN STRATEGI PENCAPAIAN


SWASEMBADA DAGING SAPI

Achieving Cattle Meat Self-Sufficiency: Performance, Constraints, and Strategy

Iskandar Andi Nuhung

Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Jln. Ir. H. Juanda No. 95, Ciputat 15412
E-mail: andi_nuhung@yahoo.co.id

Naskah diterima: 18 Maret 2015; direvisi: 15 April 2015; disetujui terbit: 5 Juli 2015

ABSTRACT

Indonesia has a big opportunity to realize cattle meat self-sufficiency, and even it is possible to become
an exporter such in 1970’s. This article reviews the constraint issues in cattle industry and formulates a concept of
cattle industry toward meat self-sufficiency. Cattle industry deals with typical culture and characteristics of
business, policy and political issues, financial scheme, limited grassing field, breeding, development
management, meat market and price, competitiveness, and inter-institutional coordination. All of those problems
shift Indonesia from an exporter to an importer. In the future, political will, domestic product orientation, prioritizing
small farmers through partnership, integrated farming, franchise system, cattle development project management
unit are necessary to boost cattle industry. Other attempts to take by the government are special credit scheme
for cattle development, grassing field development, cattle breed supply through breeding farm system
development, effective and accountable cattle development management. The government needs to reformulate
cattle development road map to accommodate internal and external environment issues, and to emphasize the
goals of cattle industry development, such as increasing cattle population, enhancing meat product, improving
cattle farmers’ income, and sustaining cattle meat self-sufficiency.

Keywords: performance, constraint, strategy, self-sufficiency, cattle meat

ABSTRAK

Indonesia berdasarkan potensi sumber daya alam, sumber daya genetik, budaya, teknologi, dan
pengalaman sejarah mempunyai potensi yang besar untuk mewujudkan swasembada daging sapi, bahkan dapat
kembali menjadi eksportir sapi seperti di tahun 1970-an. Tulisan ini mencoba mengidentifikasi permasalahan dan
beberapa konsep pemikiran pemecahan masalah serta implikasi kebijakan untuk mewujudkan swasembada
daging sapi. Beberapa masalah yang menjadi bottleneck pengembangan ternak sapi seperti sifat dan
karakteristik pengembangan sapi, kebijakan yang belum komprehensif, skim pembiayaan yang terbatas, alih
fungsi dan terbatasnya lahan penggembalaan, sumber bibit yang terbatas, manajemen dan pola pengembangan
yang belum efektif, kepastian harga dan pasar masih lemah, dan koordinasi yang lemah, perlu mendapat
perhatian. Indonesia menjadi importir sapi dengan nilai yang cukup besar yaitu mencapai Rp13,5 triliun tahun
2014. Selain kemauan politik, juga diperlukan ketegasan kebijakan yang berpihak pada produk daging sapi dalam
negeri dan peternak, pilihan pola pengembangan yang efektif menjawab masalah mendasar yang dihadapi
terutama pelibatan peternak sapi, seperti pola Inti Plasma, pola pembangunan peternakan sapi terpadu, pola
waralaba (franchise), pola Unit Pelaksana dan Pembinaan Peternakan Sapi (UP4S). Diperlukan adanya skim
khusus pembiayaan seperti pada skim pengembangan perkebunan pola PIR-BUN. Kepastian lahan
pengembangan, sumber bibit yang terjamin ketersediaan jumlah dan kualitasnya, serta manajemen pengelolaan
pengembangan yang efektif dan akuntabel sebagai upaya terobosan debottlenecking untuk pengembangan
ternak sapi nasional. Pemerintah perlu menyusun kembali cetak biru atau peta jalan pengembangan ternak sapi
yang didasarkan pada hasil pengkajian yang komprehensif dengan mengakomodasi perkembangan lingkungan
strategis baik domestik, maupun di dunia internasional dalam rangka peningkatan populasi, produksi, pendapatan
dan kesejahteraan peternak, serta swasembada berkelanjutan daging sapi.

Kata kunci: kinerja, kendala, strategi,swasembada, daging sapi


64 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 1, Juli 2015: 63–80

PENDAHULUAN maju mencapai 87 kg/kapita/tahun, di negara


berkembang rata-rata 25 kg/kapita/tahun (FAO,
1995). Pada tingkat konsumsi yang masih
Impor sapi telah lama menjadi isu yang rendah itupun kebutuhan daging belum bisa
mengundang perdebatan berbagai kalangan, dipenuhi dari produksi dalam negeri. Indonesia
karena ditengarai telah menjadi playing field telah menjadi importir daging dengan jumlah
bagi mereka yang ingin meraup keuntungan yang besar sejak awal 1980 sampai saat ini.
dan manfaat dari proses impor tersebut. Selisih
harga daging sapi di negara asal impor dan di Pertanyaan yang relevan saat ini
pasar domestik berdasarkan beberapa catatan adalah pada tingkat konsumsi daging berapa
hampir mencapai 100%, sehingga menyebab- perkapita per tahun yang menjadi target untuk
kan bisnis impor sapi sangat menggiurkan. swasembada? Jika kita lihat fakta di atas,
Impor sapi yang terdiri dari sapi hidup (untuk apakah Indonesia akan swasembada pada
bibit dan bakalan) dan daging nilainya tingkat konsumsi yang rendah (seperti saat ini),
cenderung semakin meningkat. Tahun 2014 seperti rata-rata dunia atau negara
nilai impor sapi mencapai US$1.039 juta atau berkembang? Skenario ini harus jelas agar
setara dengan Rp13,5 trilliun (kurs Rp13.000 road map pengembangan ternak bisa
per US$). Angka tersebut belum termasuk dirumuskan dengan suatu sasaran yang jelas.
impor jeroan yang volumenya juga cukup Jika diharapkan hanya dari daging sapi atau
besar. ternak ruminansia saja hampir mustahil
mewujudkan swasembada daging pada level
Rouf et al. (2014) mengatakan bahwa konsumsi paling rendah sekalipun, karena
impor daging sapi relatif lebih besar dengan level konsumsi seperti saat ini (4,6
dibandingkan dengan impor daging jenis kg/kapita pertahun) dengan laju pertumbuhan
lainnya. Hal ini diperkuat dengan data bahwa konsumsi yang rendah saja, pemenuhannya
impor daging sapi menyumbang 21,44% pun harus melalui impor.
terhadap total nilai impor peternakan
sedangkan nilai impor peternakan merupakan Apabila pengembangan peternakan
18,29% dari total nilai impor hasil pertanian dilakukan dengan program yang bersifat
nasional. Selain mengimpor, Indonesia juga konvensional seperti selama ini, maka dapat
mengekspor ternak dan produk ternak seperti dipastikan impor tidak bisa dibendung.
babi, susu, lemak, kulit, dan jangat, serta obat Diperlukan adanya keseriusan dan terobosan-
hewan, yang nilainya sekitar 20% dari nilai terobosan baru dalam membangun industri
impor ternak dan produk ternak. Mem- peternakan nasional, jika Indonesia ingin
perhatikan perkembangan tersebut upaya- mencapai swasembada dan mengejar
upaya kebijakan yang bersifat terobosan perlu ketertinggalan. Masalah-masalah mendasar
dipelajari, yaitu bagaimana meredam impor yang dihadapi dalam pembangunan peternakan
komoditas tertentu dengan memperkuat harus dapat ditemukenali dengan baik, untuk
produksi dalam negeri sebagai subsitusi impor memudahkan merumuskan solusinya secara
dan bagaimana memicu ekspor komoditas- efektif. Pengalaman menunjukkan bahwa
komoditas tertentu seperti obat hewan agar dalam dua dasawarsa terakhir, pemerintah
nilai ekspornya meningkat dengan cepat selalu mencanangkan swasembada daging,
(Pasandaran et al., 2014) namun sampai saat ini belum pernah bisa
diwujudkan karena dihadapkan pada berbagai
Secara nasional konsumsi daging kendala dan tantangan, termasuk politik
terutama daging sapi masih sangat rendah, jika dagang secara global. Indonesia pernah
dibandingkan dengan negara-negara maju. menjadi eksportir sapi dalam jumlah yang
Pada tahun 2013 berdasarkan statistik signifikan sampai akhir tahun 1970-an, dan
pertanian konsumsi daging rata-rata setelah itu menjadi importir yang cukup besar
masyarakat Indonesia hanya 4,69 kg per kapita dan sepertinya sulit dihentikan. Pertanyaannya
per tahun. Konsumsi daging terbesar adalah adalah apa dan di mana bottleneck serta
daging ayam ras (broiler) sebesar 3,65 bagaimana melakukan debottlenecking agar
kg/kapita/tahun atau 77,8% dari total konsumsi dapat diwujudkan swasembada daging sapi
daging, sedangkan konsumsi daging sapi Indonesia? Berdasarkan telaahan
hanya 0,26 kg/kapita/tahun (Kementan, 2014). permasalahan tersebut, tulisan ini mencoba
Data FAO menunjukkan bahwa konsumsi menyoroti beberapa masalah yang dihadapi
daging rata-rata dunia tahun 2010 diperkirakan dalam pembangunan peternakan sapi, serta
mencapai 37 kg/kapita per tahun, dan di negara beberapa gagasan dan konsep pemikiran
KINERJA, KENDALA, DAN STRATEGI PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI Iskandar Andi Nuhung 65

pembangunan peternakan sapi nasional guna pada impor sapi untuk memenuhi kebutuhan
mewujudkan swasembada daging sapi konsumsi daging sapi. Fenomena ini sudah
berkelanjutan. mulai terasa sejak beberapa dekade terakhir
dengan meningkatnya volume dan nilai impor
baik dalam bentuk sapi hidup maupun daging
KINERJA PEMBANGUNAN PETERNAKAN sapi
SAPI
Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia
sesungguhnya pernah tercatat sebagai
Berdasarkan potensi sumber daya eksportir daging sapi. Tahun 1968–1973 rata-
alam, sumber daya genetik, teknologi, dan rata ekspor daging Indonesia mencapai 20.000
budaya masyarakat Indonesia, maka ton per tahun. Lalu apa yang terjadi ketika itu
sesungguhnya Indonesia memiliki potensi yang sehingga Indonesia bisa mengekspor daging?
besar untuk pengembangan ternak sapi. Ini sejarah sukses yang perlu dipelajari. Pasti
Namun, karena pengelolaannya belum optimal ada faktor-faktor kunci yang harus dicari dan
maka produksi ternak sapi tidak mampu ditemukan sehingga terjadi keberhasilan dalam
mengejar perkembangan permintaan, baik pengembangan sapi ketika itu. Beberapa faktor
untuk pasar domestik maupun untuk ekspor. tersebut antara lain adalah, pertama, penduduk
Angka-angka statistik yang tersedia Indonesia masih setengah dari saat ini (2015),
menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi padang penggembalaan sapi masih cukup luas,
sebesar 3,9% per tahun dan produksi daging sehingga secara alami peternakan sapi
sapi Indonesia menunjukkan pertumbuhan rata- berkembang dengan sendirinya di semua
rata 5,05% per tahun (2005-2014) seperti wilayah, terutama Jawa Timur, Jawa Tengah,
terlihat pada Tabel 1. Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara
Timur (NTT), Sulawesi Selatan, Lampung, dan
Tabel 1. Populasi dan produksi daging sapi daerah lainnya. Daerah-daerah tersebut
Indonesia, 2005-2014 memasok kebutuhan sapi daerah lain melalui
perdagangan antarpulau, selebihnya diekspor
Populasi Produksi daging ke negara tetangga. Kedua, pemotongan sapi
Tahun selektif dalam pengertian hanya sapi jantan
(ekor) (ton)
2005 10.569.312 358.704 atau betina tidak produktif yang dipotong,
sehingga betina produktif populasinya tetap
2006 10.875.125 395.840
dapat dipertahankan dan tetap dapat
2007 11.514.871 339.480 berkembang biak dengan baik. Beberapa
2008 12.256.604 392.511 alasan pemotongan sapi betina produktif (SBP)
2009 12.603.160 404.518 oleh para jagal, yaitu (i) sapi jantan sebagian
besar sudah dijual di luar daerah atau
2010 13.581.570 436.452
diperdagangkan antar pulau; (ii) harga SBP
2011 14.824.373 485.333 lebih murah dibanding dengan sapi jantan; (iii)
2012 15.980.800 508.906 sebagian jagal di daerah lebih memilih sapi
2013 12.686.240 504.818 kecil dan yang tersedia hanya SBP; dan (iv)
belum ada kesadaran dari para pengemban
2014 14.703.410 539.965
kepentingan perlunya untuk mencegah
Rata2 12.959.546 436.652 pemotongan SBP (Puslitbangnak, 2013).
Pert. (%/th) 3,91 5,05 Ketiga, peternakan sapi selain dikembangkan
oleh peternak, juga terdapat perusahaan atau
Sumber: Ditjen Peternakan (2009), Kementan ranch yang memelihara sapi sampai ribuan
(2014), BPS (2011, 2014), diolah
ekor yang memenuhi skala ekonomi, sehingga
dapat bersaing di pasar ekspor. Pertanyaan
Tabel 1 menunjukkan bahwa laju mendasar adalah mengapa para pengusaha
pertumbuhan produksi daging sapi lebih cepat ranch tersebut bubar? Apakah mereka bubar
dibanding dengan laju pertumbuhan populasi. sendiri, dibubarkan, atau diskenariokan supaya
Jika hal ini berlangsung terus atau tidak ada bubar? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu
upaya peningkatan populasi yang signifikan, pengkajian komprehensif.
maka populasi akan terus menurun dan pada Program pembangunan peternakan
suatu saat di masa mendatang populasi sapi sapi tidak banyak menyentuh dan membuat
akan habis dan Indonesia akan tergantung terobosan untuk meningkatkan populasi.
66 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 1, Juli 2015: 63–80

Kegiatan-kegiatan pembangunan peternakan Perkembangan impor sapi dan daging sapi


seperti sistem inseminasi buatan (IB) yang pada periode 10 tahun terakhir dapat dilihat
dikembangkan selama ini jangkauannya sangat pada Tabel 3.
terbatas dan tingkat keberhasilannya pun masih
rendah, yaitu kurang dari 50%. Hal ini Tabel 3. Impor sapi hidup dan daging sapi
mengakibatkan laju pertumbuhan pemotongan Indonesia, 2004-2014
sapi lebih tinggi dibanding dengan laju
pertumbuhan populasi. Sapi hidup Daging
Total nilai
Tahun Jumlah Nilai Volume Nilai (US$000)
Tabel 2. Perkembangan populasi dan pe- (ekor) (US$000) (ton) (US$000)
motongan sapi Indonesia, 2005-2013 2004 240.000 91.281 11.772 27.113 118.394
2005 260.800 109.652 21.484 43.646 153.298
Pemotongan 2006 271.900 111.141 25.949 49.077 160.218
Populasi
Tahun %
(ekor) Ekor 2007 414.300 217.735 39.400 92.846 310.581
Populasi
2008 571.400 380.573 45.708 126.146 506.899
2005 10.569.312 1.653.770 15,65 2009 219.182 426.661 67.390 188.661 615.322
2006 10.875.125 1.799.781 16,55 2010 207.717 448.098 96.508 289.586 737.684
2007 11.514.671 1.885.950 16,36 2011 118.921 321.001 65.022 234.265 555.266
2008 12.256.604 1.899.107 15,50 2012 82.197 228.030 39.026 164.120 392.150
2009 12.603.160 2.043.947 16,21 2013 130.021 338.399 47.697 222.222 560.621
2010 13.561.570 2.068.716 15,25 2014 246.509 681.229 76.858 358.101 1.039.330

2011 14.824.373 2.223.661 15,00 Rata2 251.177 304.891 48.801 163.253 468.144

2012 15.980.800 2.355.136 14,73 Pert(%/th) 0,2 64,62 55,28 122,07 77,78

2013 12.686.240 2.645.370 20,85 Sumber: Ditejen Peternakan (2009), Kementan


(2007, 2012, 2014), BPS (2011, 2014),
Rata-rata 12.763.539 2.063.937 16,17
diolah.
Prtbhn (%/th) 2,22 6,66
Sumber: Ditjen Peternakan (2009, 2013) Tabel 3 menunjukkan bahwa impor
sapi hidup dan daging sapi cenderung fluktuatif
Pemotongan sapi yang dilaporkan dan sejak tahun 2012 cenderung meningkat
merupakan penjumlahan dari sapi impor dan secara signifikan. Menarik untuk dicermati dari
sapi domestik/lokal. Angka-angka pemotongan data tersebut bahwa harga sapi hidup
sapi yang tercatat tahun 2005-2013 mencapai mengalami kenaikan dengan sangat tinggi dari
rata-rata 16,17% dari populasi setiap tahun rata-rata US$380 per ekor tahun 2004 menjadi
(Ditjen Peternakan, 2009 dan 2013) dan yang US$2.763 per ekor tahun 2014 atau naik
dipotong di RPH (Rumah Potong Hewan), rata- sebesar 627,10% atau meningkat rata-rata
rata 8,9% dari populasi (BPS, 2014), berarti 62,71% per tahun. Sementara itu, harga daging
masih cukup besar pemotongan sapi dilakukan sapi impor meningkat dari US$2.303 per ton
di luar RPH atau di Tempat Pemotongan tahun 2004 menjadi US$4.659 per ton tahun
Hewan (TPH) secara tradisional. Seperti 2014 atau naik sebesar 102,3% atau rata-rata
diketahui bahwa RPH adalah lembaga resmi 10,23% per tahun. Nilai impor ternak sapi dan
untuk pemotongan hewan, sedangkan TPH daging sapi meningkat rata-rata 77,78% per
hanya diizinkan memotong saat hari raya Idul tahun. Sementara itu yang perlu mendapat
Fitri dan Idul Adha, tetapi kenyataannya perhatian dan pengkajian adalah bahwa impor
berperan seperti RPH dan Pemerintah Daerah daging sapi meningkat dengan cukup
memperoleh retribusi dari TPH tersebut. signifikan, yaitu volume meningkat rata-rata
55,28% dan nilainya meningkat rata-rata
Tabel 2 menunjukkan bahwa laju 122,07% per tahun. Saat itu HS code untuk
pertumbuhan pemotongan ternak sapi daging sapi termasuk di dalamnya jeroan lebih
mencapai 6,66% per tahun, lebih cepat dari laju mendominasi impor “daging” karena preferensi
pertumbuhan populasi yang hanya 2,22% per di dalam negeri pada saat jeroan dibatasi
tahun (2005-2013). Data menunjukkan bahwa hanya jantung dan hati maka harga meningkat.
impor sapi cenderung semakin meningkat Begitu pula pada saat ketentuan sapi bakalan
setiap tahun, apalagi menjelang hari-hari raya.
KINERJA, KENDALA, DAN STRATEGI PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI Iskandar Andi Nuhung 67

yang boleh masuk diubah dari rata-rata 350 kg lebih berorientasi komoditas unggulan; (4)
menjadi maksimal 350 kg sampai di pelabuhan implementasi program-program tidak me-
Indonesia, harga beli sapi bakalan menjadi mungkinkan untuk dilaksanakan evaluasi
lebih mahal karena kasus diseleksi dampak program; dan (5) program-program
berdasarkan beratnya. tidak secara jelas memberikan dampak kepada
Sebagian besar impor daging dan sapi pertumbuhan populasi secara nasional (Yusdja,
didatangkan dari Australia dan Selandia Baru, et al., 2004).
selain karena pertimbangan bahwa kedua Persoalan kedua, manajemen pem-
negara itu bebas dari penyakit mulut dan kuku, bangunan peternakan sapi cenderung bersifat
juga harganya lebih murah dan jaraknya lebih alamiah, tanpa terobosan baru, terutama dalam
dekat sehingga biaya pengangkutannya lebih rangka peningkatan populasi yang justeru
rendah. Lagi pula untuk mengisi restoran dan menjadi isu sentral ternak sapi. Hal ini terlihat
hotel-hotel bertaraf internasional preferensi dalam statistik perkembangan populasi dengan
mereka jatuh pada daging sapi impor yang tingkat pertumbuhan yang relatif rendah. Pola
kualitasnya dinilai lebih baik dan higienisnya dan sistem pengembangan ternak sapi masih
terjamin. mencari bentuk, sehingga pada umumnya
masih bersifat uji coba, misalnya dengan pola
integrasi sapi-sawit, pola kemitraan dan
PERMASALAHAN DALAM PENGEMBANGAN program-program lainnya. Konsep integrasi
PETERNAKAN SAPI sawit-sapi yang sudah dikembangkan sejak
tahun 2003 belum dimaknai sebagai suatu
Rendahnya kinerja pembangunan program nasional yang mengikat semua sektor.
Pengendalian plasma nutfah ternak sapi,
peternakan sapi, sehingga tidak mampu
semakin terkendala apalagi dalam era
memenuhi perkembangan permintaan
globalisasi yang tidak mengenal lagi batas
konsumsi daging, karena dihadapkan pada
geografis menyebabkan sumber genetik sapi
beberapa persoalan yang menjadi bottleneck
lokal telah banyak hijrah ke negara lain. Selain
pengembangannya. Padahal, pemerintah itu kawasan pengembangan tidak
dalam dua dekade terakhir telah terkonsentrasi secara spasial untuk
mencanangkan swasembada daging, namun memudahkan pengelolaan, pembinaan, sistem
belum pernah dapat diwujudkan. Beberapa distribusi, dan pemasarannya. Kegiatan
persoalan yang dihadapi baik bersifat teknis pembangunan ternak sapi masih parsial
maupun nonteknis (kebijakan, manajemen, sehingga tidak bisa mengejar dinamika yang
koordinasi) telah menghambat dan berkembang terutama permintaan pasar dalam
memperlambat pembangunan peternakan sapi. negeri. Jargon-jargon politik yang dikemas
Persoalan pertama, masih lemahnya untuk mewujudkan swasembada daging, tidak
dukungan politik dan kebijakan pembangunan diikuti dengan program dan kegiatan nyata di
industri ternak sapi. Sementara itu, kebijakan lapangan. Program Sarjana Membangun Desa
dan program pengembangan ternak sapi yang (SMD) yang dalam beberapa daerah telah
sudah dibuat tidak didukung oleh sumber daya berhasil merubah pola pikir peternak perlu
yang mamadai terutama alokasi pembiayaan diperkuat dalam pengembangannya. Strategi
baik dalam bentuk APBN maupun kredit pembangunan peternakan sapi, cenderung
perbankan. Hal ini disebabkan karena lebih mengarah kepada upaya defensif
koordinasi regulasi antarinstansi yang lemah. terutama dengan pertimbangan kesehatan
Para peternak memiliki akses yang rendah hewan, sehingga sumber-sumber benih dari
terhadap perbankan, baik karena ketidaktahu- negara lain, di luar negara yang selama ini
annya maupun karena kebijakan perbankan menjadi langganan impor sapi cenderung
dibatasi. Misalnya, kegiatan perdagangan sapi
yang belum sepenuhnya berpihak kepada
hanya dilakukan dengan negara-negara yang
peternakan rakyat. Ada lima penyebab
bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), yang
ketidakberhasilan swasembada daging, yaitu
rekomendasinya dari OIE (Office International
(1) kebijakan program yang dirumuskan tidak
des Epizootics) yang berkedudukan di Paris,
disertai dengan rencana operasional yang rinci; sehingga pasokan dari negara lain menjadi
(2) program-program yang dibuat bersifat top tertutup, meskipun di beberapa bagian negara
down dan berskala kecil dibanding dengan tersebut sebetulnya bebas PMK. Akibatnya,
sasaran yang ingin dicapai; (3) strategi pasar mengarah pada bentuk pasar
implementasi program disamaratakan dengan monopolistis atau oligopolistis yang bisa
tidak memperhatikan wilayah unggulan, tetapi
68 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 1, Juli 2015: 63–80

mengarah ke kartel. Sebagai anggota OIE kecil sangat sulit bersaing dengan daging sapi
Indonesia mengalami adanya zona bebas PMK impor. Dalam beberapa dekade terakhir, hampir
di sebuah negara yang tidak bebas PMK, sudah sulit ditemukan usaha ternak sapi skala
namun hal ini belum bisa dilaksanakan karena besar, padahal sampai dengan akhir tahun
kesiapan infrastruktur kesehatan hewan di 1970-an banyak ranch yang dikembangkan
dalam negeri belum memadai. oleh investor seperti yang banyak dijumpai di
Persoalan ketiga, tingkat validitas dan Sulawesi Selatan, NTT, NTB, Jawa Timur, dan
reliabilitas data yang lemah. Suatu hal yang Lampung. Program pembangunan ternak sapi
seringkali menyulitkan dalam penyusunan yang dikembangkan oleh pemerintah pada
perencanaan adalah ketersediaan data yang umumnya untuk membangun peternakan
akurat. Hal ini juga terjadi pada peternakan rakyat, bahkan bantuan luar negeri untuk
sapi. Data yang dikeluarkan oleh Kementerian peternakan sapi hampir seluruhnya diarahkan
Pertanian berdasarkan inventarisasi dan untuk membangun peternakan rakyat dan tidak
pendataan yang dilakukan oleh tim ada yang ditujukan untuk membangun
inventarisasi populasi ternak ternyata berbeda peternakan skala menengah dan besar.
cukup signifikan dengan data hasil Sensus Padahal peternak skala menengah inilah yng
Pertanian 2013 dengan perbedaan untuk menjadi penggerak pembangunan peternakan.
populasi ternak sapi sekitar dua juta ekor.
Persoalan kelima, sifat dan karakteristik
Misalnya, Statistik Pertanian hasil inventarisasi
usaha ternak sapi rakyat yang belum komersial.
menunjukkan populasi sapi tahun 2013 dan
Berdasarkan hasil pengamatan di beberapa
2014 sekitar 15,9 juta dan 16,6 juta ekor,
sementara hasil sensus sebanyak 12,7 juta sentra peternakan sapi diperoleh gambaran
ekor dan 14,7 juta ekor pada tahun yang sama. bahwa ternak sapi hampir seluruhnya
Angka terakhir tersebut (hasil sensus pertanian, diusahakan oleh peternak kecil dengan jumlah
2013) sama dengan angka populasi versi yang terbatas. Pada umumnya motif
Kementerian Pertanian tahun 2008, artinya jika pemeliharaan sapi bagi masyarakat tradisional
angka statistik pertanian itu akurat, maka dari adalah (1) sebagai tenaga kerja dalam bertani,
tahun 2008 sampai tahun 2013 tidak ada baik untuk mengolah tanah maupun untuk
pertumbuhan populasi sapi nasional. Angka transportasi hasil dan sarana produksi
tersebut semakin perlu dicermati jika termasuk rumput; (2) sebagai simbol status
diperhatikan angka poduksi daging (Statistik sosial di dalam masyarakat dan sering dijadikan
Peternakan 2009 dan Statistik Pertanian 2014) mahar ketika hajatan perkawinan keluarga; (3)
yang menunjukkan peningkatan rata-rata sebagai aset atau tabungan untuk berjaga-jaga
5,05% per tahun. jika sewaktu-waktu ada keperluan uang yang
mendesak untuk keperluan keluarga, misalnya
Persoalan keempat, pola
mengawinkan anak, bayar uang sekolah, untuk
pengembangan terutama dalam tiga setengah
haji/umroh; (4) sebagai penjaga lingkungan dan
dasa warsa terakhir yang mengedepankan
keluarga karena ada yang meyakini bahwa sapi
pengembangan ternak rakyat dan semakin
dapat memberi signal/tanda-tanda jika ada
mengurangi peranan peternak besar atau
ancaman atau melihat sesuatu yang ingin
ranch. Indonesia sejak 30 tahun terakhir tidak
mengganggu keluarga, misalnya pencuri
lagi memiliki sistem ranch yang memerlukan
bahkan mahluk halus atau orang-orang berniat
lahan luas (1 ekor/ha). Peternak besar
jahat. Budaya tersebut menggambarkan bahwa
(feedlotters) hanya memiliki kurang dari 2% dari
sapi yang dipelihara tidak untuk keperluan
populasi sapi potong nasional dan 98%
pasar atau bukan sepenuhnya untuk dijual
merupakan peternak tradisional. Dalam ilmu
dipasar. Inilah persoalan yang dihadapi ketika
ekonomi seperti diketahui bahwa usaha
diinventarisasi bahwa sesungguhnya sapi
produksi dengan kuantitas yang lebih kecil
mencukupi, tapi tidak masuk pasar, sehingga
cenderung harga pokoknya menjadi tinggi.
pasokan sapi di pasar rendah dan harga
Harga daging impor lebih murah karena
menjadi tinggi, terjadi overestimted terhadap
diusahakan dalam skala besar sehingga harga
pasokan. Pada umumnya peternak tidak
pokok per satuan produk menjadi lebih rendah,
membawa sapi mereka ke pasar, tapi pembeli/
akibatnya harga daging domestik tidak dapat
pedagang yang mendatangi peternak untuk
bersaing dengan daging impor. Daging impor
membeli sapi. Jadi motivasi untuk masuk ke
memiliki kualitas dan higienis yang lebih
pasar dari peternak relatif rendah. Sistem budi
terjamin karena pengelolaan dan
daya sapi potong tradisional yang tidak
pemotongannya sudah modern. Jadi,
“komersial” tersebut yang merepresentasikan
sepanjang diusahakan dengan skala usaha
KINERJA, KENDALA, DAN STRATEGI PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI Iskandar Andi Nuhung 69

98% populasi sapi potong nasional telah Persoalan kedelapan adalah lemahnya
memberikan lapangan kerja dan penghasilan koordinasi baik antarinstansi maupun antara
terhadap 5,6 juta rumah tangga. Oleh karena daerah dengan pusat, serta antarpemerintah
itu, program integrasi sawit-sapi diharapkan dan dunia usaha. Masalah klasik yang selalu
dapat meningkatkan populasi sapi potong muncul dan berulang misalnya adalah
sehingga dapat mengurangi impor. kewenangan dalam proses impor sapi. Dalam
Persoalan keenam, pengembangan Undang-Undang Peternakan yang lama, yaitu
ternak sapi membutuhkan lahan yang luas, UU 64/1964, UU 18/2009 atau UU 41/2014
terutama untuk membangun usaha ternak yang yang sedang diusulkan untuk judicial review,
ekonomis dengan skala usaha yang besar. kewenangan itu diberikan kepada Kementerian
Ladang penggembalaan di masa lalu kini sudah Pertanian dalam hal ini Ditjen Peternakan. Saat
sebagian besar beralih fungsi, sehingga lahan ini kewenangan itu sudah hijrah ke instansi
rerumputan untuk ternak semakin terbatas. yang berwenang di bidang perdagangan.
Sementara itu, para peternak masih belum Dalam kondisi seperti itu seringkali terjadi
dapat mengakses dengan baik pakan buatan lemahnya kesepahaman antarinstansi dalam
baik dari sudut finansial maupun secara fisik pengelolaan dan proses impor sapi. Jika harga
karena belum banyak tersedia secara lokal. melonjak naik maka hampir tidak ada rumus
Untuk membangun industri peternakan secara lain kecuali harus impor. Meskipun dari data
terpadu mulai dari industri pembibitan sampai BPS dan Kementerian Pertanian menunjukkan
pada industri pengolahan memerlukan lahan bahwa stok sapi potong domestik cukup
yang luas, didukung oleh infrastruktur ekonomi tersedia, tetapi teriakan pelaku tataniaga dan
yang mamadai. Lahan-lahan luas yang masih konsumen harus segera diredam melalui
dapat dijumpai di luar Jawa, belum dapat operasi pasar dan melalui impor. Kelembagaan
digunakan secara efektif karena keterbatasan pengelola aktivitas yang terkait dengan
infrastruktur jalan, transportasi, listrik, air bersih, produksi, distribusi, dan pemasaran sapi masih
dan infrastruktur ekonomi lainnya. Dalam cenderung ego sektoral. Sistem pemerintahan
beberapa tahun terakhir dikembangkan birokrasi yang mengedepankan evaluasi kinerja
integrasi sapi dengan kelapa sawit, dengan masing-masing instansi, cenderung cari
memanfaatkan bungkil inti sawit yang selamat, dan seringkali mengabaikan
merupakan produk samping dari perkebunan kepentingan sektor lain. Secara psikologi
kelapa sawit yang memiliki nilai nutrisi dan birokrasi, hampir sulit mengedepankan
mengandung protein yang tinggi untuk ternak kepentingan sektor lain ketimbang kepentingan
ruminansia (Puastuti at al., 2014). kinerja sektornya sendiri, karena itu adalah
tolok ukur yang nanti akan dievaluasi dan dinilai
Persoalan ketujuh, ketersediaan oleh lembaga pengawas dan pemeriksa,
bibit/bakalan terutama yang bermutu baik atau dengan segala konsekuensi administrasi dan
bibit unggul. Bisnis pembibitan sapi nampaknya hukum.
tidak menarik bagi investor dengan berbagai
pertimbangan. Hal ini disebabkan antara lain
karena (1) memiliki risiko yang besar; (2) STRATEGI PENCAPAIAN SWASEMBADA
perputaran modal lambat; (3) tidak tersedia DAGING SAPI
insentif kredit murah; (4) status lahan padang
pengembalaan tidak pasti dan masa berlaku
HGU yang pendek, yaitu 25-30 tahun saja Dalam rangka akselerasi pengembang-
(Ilham, 2007). Pelaku usaha pembibitan sapi an industri peternakan sapi, untuk mewujudkan
potong sebagian besar dilakukan oleh usaha swasembada daging maka perlu dirumuskan
peternakan rakyat dengan pola induk anak strategi dan kebijakan yang efektif. Strategi
(cow-calf operation) dalam skala usaha kecil pengembangannya harus bertolak dari
dan biasanya terintegrasi dengan usaha permasalahan yang ada, potensi sumber daya
pertanian lainnya (Winarso et al., 2013). yang tersedia, serta potensi pasar baik di dalam
Dengan demikian, kemampuan produksi maupun di luar negeri. Oleh karena itu,
bibitnya sangat kecil dan keunggulannya tidak diperlukan langkah-langkah strategis mulai dari
terjamin karena sebagian besar memang terjadi aspek kebijakan dan kemauan politik, aspek
secara alamiah. Industri perbibitan memang kelembagaan, aspek sumber daya lahan,
menjadi cost center tetapi bukan tidak mungkin pembiayaan, dan pemasarannya. Melalui
untuk dikembangkan. pendekatan tersebut diharapkan dapat
menjawab persoalan-persoalan yang selama ini
70 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 1, Juli 2015: 63–80

menghambat dan memperlambat kinerja dalam waktu singkat dapat melakukan


pembangunan industri peternakan sapi potong. swasembada daging sapi karena (1)
Strategi dan kebijakan tersebut hanya bisa perdagangan yang semakin terbuka, tidak
efektif dan berhasil secara optimal apabila mungkin menghambat masuknya produk impor
seluruh pemangku kepentingan dilibatkan dan tanpa alasan yang kuat; (2) industri sapi potong
dirasakan manfaatnya oleh para pelaku usaha yang sudah berjalan masih mengandalkan sapi
dan masyarakat secara keseluruhan (Nuhung, bakalan dari impor; (3) industri sapi potong
2014). Sebelum dikembangkan upaya-upaya yang menggunakan bahan baku lokal selama
debottlenecking, maka yang pertama kali harus ini tidak mampu mencukupi permintaan
dibenahi adalah sistem pendataan. Data domestik; dan (4) upaya swasembada pangan
populasi ternak sapi, data konsumsi daging menyebabkan konsumsi daging sapi domestik
sapi, pendekatan perhitungan konsumsi, data menurun (Ilham, 2006).
impor, data sebaran wilayah sentra produksi, Diperlukan kebijakan yang
jumlah dan kapasitas RPH, TPH tradisional, komprehensif dari hulu sampai hilir kegiatan
sebaran penyakit, dan data-data lainnya untuk pengembangan ternak sapi. Kebijakan di
kepentingan perencanaan, pengembangan dan bidang pembibitan, lahan penggembalaan,
pembinaan perlu menjadi perhatian serius pakan, harga output, sistem perdagangan baik
pemerintah. Akurasi data dari waktu ke waktu ekspor-impor maupun antardaerah dan
perlu diperhatikan agar tidak terjadi bias dalam antarpulau, perlindungan dari penyakit ternak,
pengambilan kebijakan terutama dalam rangka kebijakan dibidang sistem pengembangannya,
impor sapi dan daging sapi. Berdasarkan peng- merupakan kebijakan-kebijakan yang sangat
amatan, hasil evaluasi, dan beberapa referensi, diperlukan utuk memberi kepastian berusaha di
maka upaya-upaya debottlenecking yang perlu bidang industri ternak sapi potong. Tidak
dikembangkan adalah (1) kebijakan dan kurang pentingnya adalah politik anggaran
kemauan politik, (2) manajemen dan pola nasional dan fasilitas kredit perbankan dengan
pengembangan, (3) pengembangan usaha suku bunga rendah yang dialokasikan untuk
perbibitan, (4) penyediaan lahan, (5) membangun peternakan sapi. Demikian pula
pembiayaan, dan (6) sistem pemasaran dan kebijakan nilai tukar dan perpajakan yang dapat
perdagangan. menjadi insentif ekonomi bagi pelaku usaha.
Kebijakan tersebut harus menjadi tekad dan
Kebijakan dan Kemauan Politik. komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk
mengemas program-program pembangunan
Hulu dari rendahnya kinerja industri peternakan sapi potong secara
pengembangan ternak sapi adalah pada aspek berkelanjutan.
kebijakan dan kemauan politik pemerintah.
Ternak sapi yang menyumbang lebih dari 20% Perlindungan terhadap pengembangan
PDB subsektor peternakan harus didukung oleh sapi lokal unggul perlu dirumuskan dalam
kebijakan pengembangan yang tegas dengan bentuk peta jalan yang menjadi pedoman
segala konsekuensi dan implementasinya. Jika pemerintah dan parlemen serta seluruh
swasembada daging sapi telah menjadi stakeholders ternak sapi potong. Regulasi
komitmen nasional, telah menjadi kemauan dibuat sefleksibel mungkin, insentif fiskal dan
politik (political will) pemerintah, maka moneter untuk mendorong investor melakukan
infrastruktur dan sumber daya pendukungnya investasi di bidang pengembangan sapi potong,
harus dipenuhi. Tidak hanya kebijakan di baik di bidang pembibitan (breeding farm), di
bidang pengembangan produksi, tetapi juga bidang pengembangan budi daya ternak
kebijakan dibidang distribusi dan termasuk ranch, RPH, di bidang
perdagangannya yang mengutamakan dan pengembangan industri pakan dan farmasi,
menguntungkan produk dalam negeri. industri pengolahan dan perdagangannya.
Kebijakan dan komitmen dari pemerintah yang Kebijakan subsidi, insentif, dan fleksibilitas dari
lemah membuat pengembangan ternak sapi pemerintah akan banyak menentukan
dalam negeri mengalami ketidakpastian yang keberhasilan terobosan pengembangan industri
tinggi, sehingga sulit untuk mewujudkan peternakan sapi potong, apalagi jika melibatkan
swasembada. dunia usaha yang memerlukan kepastian
usaha, memerlukan iklim usaha yang kondusif,
Kondisi lingkungan eksternal dan
internal saat ini tidak memungkinkan Indonesia
KINERJA, KENDALA, DAN STRATEGI PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI Iskandar Andi Nuhung 71

tidak banyak terganggu oleh isu politik, pengembangan yang dikembangkan juga harus
keamanan, dan ketenagakerjaan. mampu meningkatkan daya saing produk
daging sapi, melalui peningkatan produktivitas,
peningkatan efisiensi dan perbaikan mutu hasil
Manajemen dan Pola Pengembangan produksi melalui sistem manajemen mutu yang
Negara berpenduduk besar seperti baik. Beberapa pola pengembangan ternak
Indonesia yang kinerja perekonomiannya masih sapi yang berpotensi untuk dikembangkan
rendah, pemerintah seringkali dihadapkan pada sebagai berikut:
situasi dilematis, yaitu tuntutan produk dengan
daya saing tinggi dan pada saat yang
bersamaan proses pembangunan diupayakan Pola Inti Plasma
melibatkan sebanyak mungkin masyarakat, Pola pembangunan inti plasma,
karena tingkat kemiskinan dan pengangguran merupakan model pembangunan yang dapat
yang masih tinggi. Oleh karena itu, perlu mengakomodasi berbagai kepentingan
dikembangkan sistem manajemen sekaligus diharapkan dapat menyelesaikan
pembangunan peternakan yang efektif dan berbagai masalah mendasar yng dihadapi oleh
produktif dengan mengakomodasi berbagai negara berkembang seperti Indonesia (Nuhung,
kepentingan tersebut sebagai sasaran utama. 2003). Persoalan mendasar yang dihadapi oleh
Cetak biru atau peta jalan pembangunan negara berkembang adalah kemiskinan dan
peternakan sapi yang sudah ada sebaiknya pengangguran, pertumbuhan, keadilan, pem-
direformulasi dengan mengakomodasi bangunan pedesaan, urbanisasi, ketimpangan
perkembangan lingkungan strategis baik pendapatan, ketimpangan pembangunan
domestik maupun di dunia internasional yang antara desa dengan kota, dan antarwilayah.
bergerak dengan sangat cepat, Filosofi pola inti plasma adalah meng-
mengakomodasi strategi mengantisipasi integrasikan usaha kecil/peternak dengan
persaingan yang semakin ketat, politik ekonomi pengusaha besar/investor. Peternak memiliki
yang tidak sehat, sistem perdagangan yang sumber daya lahan, tenaga kerja, pengalaman
tidak adil, dan dominasi negara-negara maju beternak sapi potong, dan dapat menyediakan
yang seringkali tidak bisa dihindarkan. Di dalam kandang, akan tetapi memiliki keterbatasan
negeri permasalahan yang harus diakomodasi permodalan, teknologi, akses pasar, dan akses
adalah sistem pengembangan ternak sapi yang informasi.
belum efektif dan belum produktif, Pengusaha besar yang kesulitan
pengembangan ternak sapi rakyat, kelangkaan mencari lahan untuk memenuhi skala usaha,
sumber daya lahan dan air, kekurangan bibit, kesulitan dalam tenaga kerja, tetapi memiliki
dan kualitas produksi yang rendah. kekuatan pada aspek-aspek yang menjadi
Perencanaan pembangunan harus kelemahan peternak tersebut, seperti
komprehensif dan tidak parsial dengan permodalan, teknologi, dan akses pasar
berdasar pada sumber daya yang tersedia, baik sehingga jika bekerja sama akan terjadi sinergi
sumber daya alam, sumber daya manusia, yang kuat. Pola ini juga merupakan upaya
kelembagaan, teknologi, dan potensi pasar. untuk mendorong dan memotivasi peternak
Perencanaan juga harus mengakomodasi sifa- mengembangkan usahanya secara komersial
sifat biologis dan karakteristik ternak sapi, dan berorientasi pasar, sehingga peternak
budaya peternak, dan persaingan dengan menjadi terbiasa berinteraksi dengan pasar.
daging sapi impor. Antisipasi dinamika penyakit Pemerintah berfungsi sebagai fasilitator,
hewan yang selama ini menjadi masalah serius pelayanan, pembinaan, dan pengendalian agar
dalam peternakan sapi seperti penyakit kuku pola kerja sama tersebut dapat berkembang
dan mulut (PMK), antraks, dan penyakit sesuai dengan rencana. Pada Gambar 1
lainnya. Antisipasi dan penyesuaian terhadap disajikan kerangka skema kerja sama inti
perubahan iklim yang secara langsung maupun plasma untuk pembangunan peternakan sapi.
tidak langsung memengaruhi pengembangan
ternak sapi, sumber-sumber pakan, dan air. Melalui pola inti plasma, kapasitas
produksi menjadi lebih besar sehingga dapat
Pemilihan model atau pola memenuhi skala ekonomi usaha ternak sapi.
pengembangan industri ternak sapi harus Dengan terpenuhinya skala ekonomi maka
mampu mengakselerasi peningkatan populasi terjadi efisiensi dan optimasi penggunaan
dan produksi daging sapi serta meningkatkan sumber daya, sehingga mendorong
kesejahteraan peternak. Disamping itu, pola peningkatan daya saing produk daging sapi.
72 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 1, Juli 2015: 63–80

INVESTOR PETERNAK SAPI


(Kekuatan) (Kelemahan)
- MODAL - MODAL
Kerja sama
- TEKNOLOGI - TEKNOLOGI
- AKSES INFORMASI - AKSES INFORMASI
- AKSES PASAR - AKSES PASAR
- KNOWLEDGE - KNOWLEDGE

POLA INTI PLASMA

MANFAAT PENINGKATAN

- POPULASI
- PRODUKSI
- KESEMPATAN KERJA
- PENDAPATAN
- NILAI TAMBAH
- EXTERNALITY

Gambar 1. Skema peternakan sapi pola inti plasma

Terdapat sosial benefit bagi perusahaan inti karena tersedianya kesempatan kerja di
dalam bentuk keamanan usaha karena perdesaan. Perekonomian perdesaan akan
terciptanya rasa memiliki dari peternak plasma berkembang sebagai akibat dari kegiatan
terhadap usaha yang dibangun bersama. ekonomi yang dipicu oleh bisnis sapi pola inti
Tercipta iklim kondusif dalam pengembangan plasma yang memberikan efek ganda terhadap
bisnis, sehingga dapat dijamin keberlanjutan pendapatan, kesempatan kerja, aspek sosial,
usaha dalam jangka panjang karena adanya dan aspek kehidupan lainnya serta dapat
nilai tambah baik dalam bentuk ekonomi, sosial mengurangi ketimpangan pendapatan antar
dan keamanan bagi plasma dan perusahaan kelompok masyarakat dan ketimpangan
inti. Pola ini akan mendorong terjadinya kerja pembangunan antara desa dengan kota.
sama yang saling menguntungkan dan juga Pengembangan peternakan sapi pola PIP akan
saling ketergantungan yang merupakan perekat membentuk suatu kawasan agribisnis
yang kuat dalam usaha peternakan sapi peternakan sapi yang merupakan model
potong. Distribusi manfaat dan risiko pembangunan wilayah (Muslim, 2006).
merupakan salah satu daya tarik dari pola ini
yang biasanya disepakati dalam perjanjian
kerja sama. Pola Peternakan Sapi Terpadu
Pengembangan sapi pola inti plasma Usaha peternakan sapi potong dapat
akan menjadi suatu usaha skala dikelompokkan menjadi usaha pembibitan,
besar/corporate yang akan menciptakan usaha budi daya dan usaha penggemukan.
kesempatan kerja baru bagi masyarakat, sesuai Usaha pembibitan dan budi daya merupakan
dengan jenis pekerjaan dalam bisnis sapi. usaha penghasil bakalan, baik untuk
Kesempatan kerja tersebut dapat berupa dikembangbiakkan maupun untuk bakalan
tenaga manajerial, petugas lapangan (Puslitbangnak, 2012). Suatu pola
perusahaan, kegiatan pendukung, pemasok pengembangan usaha yang banyak
sarana produksi dan pakan untuk keperluan dikembangkan oleh perusahaan multinasional
bisnis sapi. Dengan demikian, pola adalah pola peternakan sapi terpadu
pembangunan ini akan mengurangi urbanisasi, (integrated cattle farming system) yang
KINERJA, KENDALA, DAN STRATEGI PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI Iskandar Andi Nuhung 73

merupakan pengintegrasian seluruh subsistem sehingga seringkali menjadi kendala dalam


dalam suatu sistem usaha. Perusahaan pengembangannya, termasuk kesulitan untuk
peternakan ayam yang menguasai bibit, pakan mendapatkan pinjaman atau kredit dari
dan pasar produksi ayam merupakan salah perbankan.
satu contoh yang dapat disaksikan di
Indonesia. Pola peternakan sapi terpadu
Pola Franchise
mengintegrasikan semua kegiatan dari hulu
sampai hilir dalam suatu sistem bisnis, Bisnis model franchise telah menjadi
sehingga aliran barang dan jasa dapat tren di seluruh dunia, dan di Indonesia
dikendalikan secara efektif sesuai dengan diperkenalkan dan mulai ramai sejak tahun
kebutuhan dan proses yang berjalan. Pola ini 1970-an dengan munculnya Kentucy Fried
juga terbuka untuk diintegrasikan dengan Chicken (KFC), Shakey Pisa, Burger King,
plasma untuk lebih memperbesar kapasitas Seven Eleven, Swensen, dan lain-lain. Di dunia
produksi dan pangsa pasar. Banyak pihak yang bisnis pertanian mungkin belum banyak
menilai bahwa pola seperti ini mengarah diketahui dan dikembangkan pola franchise ini
kepada bentuk pasar monopolistis, meskipun termasuk dalam usaha peternakan. Oleh
hal tersebut bisa diperdebatkan. Tetapi bagi Lembaga Pendidikan dan Pengembangan
dunia usaha bentuk ini sangat efisien sehingga Manajemen (LPPM) pola franchise dicoba di
daya saing produk menjadi tinggi. Rantai pasok Indonesiakan dengan nama “waralaba”
(supply chain) menjadi terkendali, sehingga jika (Supardiono, 2014). Franchise berasal dari
ada kelambatan atau gangguan di suatu bahasa Perancis affranchir, yang berarti to free
subunit usaha akan dengan mudah yang artinya membebaskan. British Franchise
ditemukenali sehingga solusinya juga cepat Association (BFA) mendefinisikan franchise
dapat dilakukan. Pola ini juga membuka sebagai kontrak lisensi yang diberikan oleh
peluang untuk selalu melakukan perbaikan suatu pihak yaitu, fanchisor kepada pihak lain
dalam proses produksi disetiap subunit usaha yakni, franchisee, dengan perincian sebagai
dalam rangka memenuhi selera konsumen dan berikut (Supardiono, 2014):
industri. Pola ini memiliki jangkauan 1. mengizinkan franchisee untuk menjalankan
pengawasan (span of control) yang luas dan usaha selama periode franchise
beragam, sehingga jika tidak dilakukan berlangsung, suatu usaha tertentu yang
pendelegasian tugas dan kewenangan maka menjadi milik franchisor;
sistem manajemen menjadi tidak efektif. Inilah
2. franchisor berhak untuk menjalankan kontrol
yang merupakan salah satu kelemahan dari
yang berlanjut selama periode franchise;
sistem seperti ini, apalagi jika unit usaha
tersebut terpencar secara geografis. Pola ini 3. mengharuskan kepada franchisor untuk mem-
juga memerlukan pembiayaan yang besar, berikan bantuan kepada franchisee dalam

COORPORATE
(Holding)
Pembinaan/Kerja sama

INDUSTRI
INDUSTRI BUDI DAYA TRADE
PEMBIBITAN - PENGOLAHAN
PAKAN FEEDLOT/RPH SYSTEM
- PACKAGING
- BY PRODUCT

PLASMA

Gambar 2. Pola peternakan sapi terpadu (integrated cattle farming system)


74 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 1, Juli 2015: 63–80

melaksanakan usahanya sesuai dengan untuk daging sapi praktik franchise ini sudah
subyek franchiseenya dalam hal pemberian ada yang mengembangkan meskipun masih
pelatihan, merchandising, atau lainnya; dalam skala kecil dan terbatas. Perusahaan
4. mewajibkan kepada franchisee untuk secara franchisor tidak membutuhkan modal terlalu
periodik selama periode kerja sama besar karena franchisee akan menyediakan
franchise berlangsung, membayar sejumlah infrastruktur sendiri yang biasanya menjadi
uang sebagai pembayaran atas franchise jaminan bagi franchisor. Infranstruktur tersebut
atau produk atau jasa yang diberikan oleh seperti kandang, lahan, tenaga kerja, dan
franchisor kepada franchisee; dan infrastruktur lainnya. Mungkin yang perlu dikaji
adalah skala usaha di tingkat franchisee dan
5. bukan merupakan transaksi antara hubungan antara franchisee dengan peternak
perusahaan induk (holding company) kecil. Karena model ini merupakan sesuatu
dengan cabangnya atau antara cabang dari yang baru untuk usaha peternakan sapi potong,
perusahaan induk yang sama atau antara maka perlu dilakukan pengkajian mendalam
individu dengan perusahaan yang oleh pemerintah. Di samping itu, dengan
dikonrolnya. dipelopori oleh pemerintah melalui perusahaan
Franchisor merupakan pemberi BUMN bisa dilakukan uji coba sebagai pilot
waralaba, yaitu badan usaha atau perorangan proyek. Pada Gambar 3 disajikan skema
yang memberikan hak kepada pihak lain untuk franchise usaha sapi potong.
memanfaatkan dan atau menggunakan hak
atas kekayaan intelektual atau penemuan atau
ciri khas usaha yang dimilikinya. sedangkan FRANCHISOR
franchisee adalah penerima waralaba yang
merupakan badan usaha atau perorangan yang
diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau
menggunakan hak atas kekayaan intelektual
atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki oleh
pemberi waralaba. Konsep franchise dapat FRANCHISEE FRANCHISEE FRANCHISEE
diaplikasikan dalam pengembangan ternak sapi
dengan melibatkan perusahaan peternakan
yang memiliki pengalaman dan reputasi yang
baik melalui suatu fasilitasi dari pemerintah.
Model ini relatif baru di bidang peternakan dan
oleh karena itu perlu pengkajian mendalam Kelompok Kelompok Kelompok
Peternak Sapi Peternak Sapi Peternak Sapi
yang dilakukan oleh pemerintah. Kelebihan
pola ini bahwa pengembangan ternak sapi
dapat terdistribusi secara spasial karena para
franchisee dapat memilih lokasi di setiap sentra
produksi ternak sapi, meskipun usaha PETERNAK
franchisor ada di Jawa misalnya. SAPI
Pelibatan kelompok peternak sapi
menjadi kekuatan tersendiri untuk mendorong
pernakan sapi rakyat, dan dengan melibatkan Gambar 3. Skema franchise peternakan sapi
franchisee mendorong usaha menengah dan
koperasi. Model ini bisa menjadi andalan untuk Unit Pelaksana Pengembangan dan
mempercepat akselerasi pembangunan industri Pembinaan Peternakan Sapi (UP4S)
ternak sapi potong apabila kita lihat
Pola ini diilhami dari pola
perkembangan jenis-jenis usaha franchise yang
pengembangan perkebunan dalam
ada, terutama usaha mini market yang
kelembagaan UPP (Unit Pelaksana Proyek) di
mengalami perkembangan luar biasa.
tahun 1980-an, yang melibatkan 100% petani
Pertanyaan yang relevan adalah apa yang
sebagai peserta dan program ini dibiayai
menjadi objek franchising? Sesuai dengan
APBN. Tentu terdapat perbedaan di dalam
karakteristik usaha peternakan, maka yang
mengelola usaha perkebunan dan ternak sapi,
potensial untuk menjadi objek franchise adalah
bibit sapi/bakalan, teknologi pakan maupun akan tetapi prinsip skemanya bisa
dikembangkan dan dimodifikasi sesuai dengan
teknologi budi daya, dan pakan. Sebetulnya
KINERJA, KENDALA, DAN STRATEGI PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI Iskandar Andi Nuhung 75

sifat dan karakteristik peternakan. Pola UP4S terjadi over/under capacity dari RPH. Tetapi
pada hakekatnya adalah pola pembangunan seperti diketahui bahwa RPH dapat
peternakan melalui pemberdayaan peternak ditingkatkan kapasitasnya, dapat dimodernisasi
dan mendorong peternak dari peternak sehingga sangat mungkin untuk menjadi
tradisional menjadi peternak komersial yang pengelola UP4S. Jadi, dalam paket program
terintegrasi dengan pasar. Pola UP4S dapat yang merupakan proyek pemerintah ini terdapat
menggunakan Rumah Potong Hewan (RPH) kegiatan penguatan RPH, baik kapasitas,
yang ada di daerah sebagai lembaga atau unit peralatannya, sumber daya manusia,
pengelolaannya, melalui fasilitasi dan infrastruktur, teknologi, kelembagaan dan
penguatan kelembagaan, manajemen dan manajemen, serta panduannya. Dengan
sumber daya manusianya yang dibiayai oleh demikian, RPH dipersiapkan dengan baik
pemerintah. RPH yang dapat dikembangkan sebagai pengelola program UP4S dan
menjadi pengelola tidak memerlukan bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal
persyaratan khusus, yang penting bahwa Peternakan dan Kesehatan Hewan. Struktur
wilayah disekitar RPH dapat dikembangkan organisasi dari UP4S ini dapat dilihat pada
peternakan sapi yang memenuhi skala Gambar 4.
ekonomi. Oleh karena itu, pada tahap awal
pengembangan paket dari program tersebut
adalah penguatan manajemen RPH sebagai Pengembangan Usaha Pembibitan
upaya mempersiapkan menjadi pengelola Pemerintah bersama dengan dunia
UP4S. Setiap UP4S ditetapkan skala usahanya usaha perlu merumuskan kebijakan
dan jumlah sapi yang dipelihara oleh peternak konprehensif untuk pembangunan “breeding
yang menjadi tanggung jawab pengelolaannya farm” yang dapat menghasilkan dan
dalam wilayah. menyediakan bibit sapi unggulan termasuk
Pembinaan oleh RPH dalam bentuk melalui rekayasa genetik atau embryo transfer.
penyediaan bibit unggul, pembinaan Penyediaan lahan, pembiayaan, infrastruktur,
pembuatan pakan, teknik budi daya yang baik, sumber daya manusia/technical skill di bidang
pemeliharaan kesehatan hewan, sistem breeding dan pembibitan. Hanya dengan cara
pemasaran ternak, dan fasilitasi untuk akses ini dapat dipastikan adanya jaminan sumber
perbankan. Manajemen UP4S juga berfungsi bibit dengan kualitas terjamin, dan tersedia
untuk mengawasi dan memonitor setiap ternak setiap saat. Sebaiknya breeding farm ini
sapi untuk melakukan upaya preventif dan diinisiasi oleh pemerintah melalui BUMN. Untuk
kuratif terhadap penyakit ternak sapi di wilayah efisiensi dan efektivitas distribusi bibit,
kerjanya. Dengan demikian, pola ini juga sebaiknya di setiap sentra pengembangan
mengemban misi mempertahankan Indonesia industri peternakan sapi dibangun minimal satu
sebagai negara yang berpredikat bebas dari unit breeding farm.
beberapa penyakit ternak sapi, seperti Penyakit Pemerintah daerah dapat dilibatkan
Kuku dan Mulut (PMK), sekaligus upaya deteksi dalam pembangunan usaha pembibitan sapi
dini terhadap jenis penyakit tertentu. melalui APBD dan Badan Usaha Milik Daerah
Peternak sapi dibagi dalam kelompok (BUMD). Untuk ini semuanya memerlukan
peternak dan dalam jumlah tertentu dibina oleh pengkajian mendalam agar memiliki tingkat
seorang petugas UP4S, sehingga terjadi kelayakan sebagai usaha. Untuk mendorong
transfer teknologi dengan baik. RPH juga penggunaan bibit unggul maka bibit tersebut
berfungsi sebagai pembeli sapi peternak disubsidi oleh pemerintah agar harga di tingkat
binaannya, dengan suatu sistem dan harga peternak menjadi lebih rendah. Pemerintah
yang disepakati. Dalam pola ini, sapi yang sebetulnya telah mengembangkan lembaga-
dikembangkan dengan sistem integrasi sawit- lembaga penelitian untuk menghasilkan bibit
sapi atau sapi dengan tanaman lain bisa unggul, tetapi karena keterbatasan biaya,
diintegrasikan dalam pola ini, sehingga tenaga, dan sumber daya lainnya, tingkat
kelembagaan pengelolaannya semakin kuat produksinya juga masih terbatas dan tidak
dan pasarnya juga menjadi jelas dan terjamin. mampu mengikuti permintaan masyarakat.
Program ini pada tahap awal sebaiknya Lembaga-lembaga tersebut antara lain Balai
merupakan program/proyek pemerintah, namun Pembibitan Ternak Unggul (Sapi) 3 unit, Balai
dalam jangka panjang dapat dikerjasamakan Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan
dengan swasta. Untuk penentuan skala, perlu Ternak 2 unit, Balai Inseminasi Buatan 2 unit,
dilakukan pengkajian terlebih dahulu agar tidak Balai Embrio Ternak 1 unit, dan Proyek
76 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 1, Juli 2015: 63–80

Ka UP4S/Ka RPH

Bidang Teknik Bidang Perencanaan Bidang


Operasional & Evaluasi Umum/Keuangan

Koordinator Poknak Koordinator Poknak

Poknak Poknak

Peternak

Gambar 4. Struktur organisasi pola UP4S

Pembibitan Sapi Bali 1 unit (Ilham, 2007). peternakan harus jauh dari wilayah pemukiman,
Pemerintah juga pernah melakukan upaya baik karena pencemaran maupun bau yang
untuk meningkatkan produktivitas sapi lokal mengganggu kenyamanan masyarakat. Hal ini
seperti di Sumatera Barat dengan memasukkan menjadi tantangan berat karena sumber daya
bibit sapi dari Eropa misalnya Limousin, lahan yang memenuhi persyaratan teknis
Simmental, dan Hereford. Tetapi hanya sudah sulit ditemukan. Oleh karena itu
Simmental yang dapat beradaptasi dan pemerintah harus memastikan ketersediaan
berkembang dengan baik pada kondisi di lahan bagi pengembangan usaha peternakan
Sumatera Barat, sehingga saat ini sebagian sapi, termasuk status lahan yang harus jelas
besar populasi sapi di Sumatera Barat dan memiliki legalitas status hukum. Untuk
merupakan sapi Simmental hasil persilangan sistematisnya penentuan lahan usaha,
(Agung et al., 2014). pemerintah daerah melakukan inventarisasi
lahan yang potensial untuk pengembangan
ternak sapi lengkap dengan peta, kondisi
Penyediaan Lahan infrastruktur yang tersedia termasuk sumber air.
Peternakan sapi membutuhkan lahan Lahan-lahan yang clean and clear tersebut
yang cukup luas, apalagi jika mengembangkan ditawarkan kepada investor dengan suatu
pola penggembalaan yang bisa menggunakan mekanisme dan sistem yang menjamin
rasio 1 ha untuk 1 ekor sapi. Jika menggunakan kemudahan untuk melakukan investasi.
padang penggembalaan, maka kebutuhan Sebagai komoditas unggulan pengembangan
lahan akan semakin luas bisa mencapai 1 : 2,5 ternak sapi memerlukan kawasan yang
atau satu ekor sapi membutuhkan 2,5 ha lahan memenuhi persyaratan tertentu seperti yang
penggembalaan. Kelangkaan sumber daya dipersyaratkan oleh Bappenas seperti (1)
lahan terutama di Jawa mendorong peternakan memiliki kontribusi tinggi terhadap ekonomi
setengah intensif dan intensif (dikandangkan), daerah; (2) memiliki kesesuaian lokasi; (3)
namun tetap saja memerlukan lahan yang memiliki potensi untuk direplikasi dan
cukup luas. Hal yang perlu mendapat perhatian desiminasi; (4) komplementer dengan kawasan
dan pertimbangan bahwa sistem usaha lain; (5) memiliki potensi pasar yang luas dan
KINERJA, KENDALA, DAN STRATEGI PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI Iskandar Andi Nuhung 77

kemampuan memenangkan tingkat persaingan; Pembangunan Peternakan Sapi Nasional


dan (6) memiliki potensi respon dan dukungan (PPSN), maka pengembangan peternakan sapi
dari pelaku dan stakeholders yang mamadai memiliki sumber pembiayaan yang pasti. PPSN
(Setiyanto, 2013). Termasuk yang perlu ini mungkin mirip dan sejalan dengan program
diperhatikan adalah lahan untuk plasma yang Sentra Peternakan Rakyat (SPR) yang sudah
mencukupi untuk skala tertentu jumlah ternak dicanangkan oleh Ditjen Peternakan dan
sapi yang bisa dikembangkan (kelayakan Kesehatan Hewan. Tersedianya skim
usaha tani ternak). Melalui pendekatan tersebut pendanaan akan mendorong investor untuk
maka pengembangan ternak sapi dapat melakukan investasi apalagi jika pasar ternak
dilakukan secara terdistribusi proporsional sapi tersebut dapat dijamin. Untuk itu perlu
untuk menciptakan pemerataan dan keadilan pengkajian mendalam terutama dalam
antarwilayah. Hal ini penting menjadi menentukan satuan pembiayaannya dan
pertimbangan karena sesungguhnya sumber yang tersedia pada perbankan
pembangunan juga harus memperhatikan nasional. Koordinasi dan negosiasi pemerintah,
filosofi bangsa, budaya, dan pandangan hidup Dewan Perwakilan Rakyat dengan Bank
bangsa yang diimplementasikan dalam sektor Indonesia sangat diperlukan dan menentukan
pembangunan yang berkarakter kerakyatan pengalokasian skim PPSN tersebut. Skim ini
dan ke-Indonesiaan (Nuhung, 2015) bisa dikombinasi dengan skim yang sudah ada,
misalnya dengan KUR untuk peternak plasma.
Bagi petani (termasuk peternak), sumber-
Pembiayaan sumber pembiayaan dan kegiatan pemanfaatan
Investasi di sektor peternakan sapi dana yang tersedia sangat diperlukan karena
cukup besar sehingga hampir tidak mungkin pembiayaan pembangunan sektor pertanian
anggaran pemerintah melalui APBN dapat akan berdampak pada penguatan kemampuan
membiayai seluruh kegiatan pembangunan kelembagaan ekonomi perdesaan untuk
peternakan untuk mewujudkan swasembada memperbaiki pendapatan petani dan
daging. Anggaran pemerintah dialokasikan masyarakat (Pasaribu dan Sayaka, 2014).
untuk kegiatan pembinaan, perencanaan,
monitoring, dan evaluasi, serta pembangunan
infrastruktur dasar, seperti jalan, listrik, air Sistem Pemasaran dan Perdagangan
bersih, dan fasilitas umum lainnya. Untuk Muara dari seluruh bisnis baik barang
membangun suatu peternakan sapi dengan maupun jasa adalah aspek pemasaran
pola apapun membutuhkan dana pihak ketiga terutama harga produk yang rasional dan
yaitu perbankan. Oleh karena itu, pemerintah menguntungkan. Pasar adalah kata kunci
harus memberikan kemudahan dan akses yang apakah investor mau berinvestasi atau tidak.
baik kepada perbankan bagi investor di bidang Pembagian margin usaha di antara pelaku
peternakan sapi, mungkin dengan subsidi usaha harus dapat dipastikan untuk menjamin
bunga dari pemerintah. Hal serupa pernah keberlanjutan usaha. Pemerintah dalam tugas
dilakukan untuk pembangunan perkebunan dan fungsinya harus dapat menjaga stabilitas
pola PIR-BUN yang memperoleh fasilitas harga daging sapi, yang sebetulnya cukup rumit
pembiayaan perbankan dengan pola karena dihadapkan pada dua pihak yang
Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) berseberangan secara ekonomi dalam
dengan bunga 6%, sehingga pemerintah penentuan harga. Produsen tentu
mensubsidi bunga hampir sekitar 100% karena menginginkan harga yang tertinggi, sedangkan
pada saat itu tingkat suku bunga bank konsumen mengharapkan harga yang
komersial sekitar 12%. Melalui pola PBSN terendah, sehingga mediasi pemerintah sangat
tersebut memicu perkembangan perkebunan menentukan pertemuan di antara kedua
pola PIR-BUN terutama kelapa sawit tumbuh kepentingan tersebut. Di sektor pertanian pada
dengan cukup pesat. Hasilnya sudah dinikmati umumnya seringkali pemerintah bias dan
sekarang dan bahkan pemerintah sudah dapat cenderung lebih memperhatikan kepentingan
memperoleh manfaat multiganda dari program konsumen dengan dalih bahwa petani atau
tersebut, termasuk penarikan dana kelapa sawit peternak juga sebagai konsumen. Harga hasil
yang diluncurkan pertengahan tahun 2015. pertanian menjadi fluktuatif dan bahkan sering
Jika pemerintah serius ingin terjadi ketika panen, harga produk pertanian
membangun peternakan sapi, dengan meniru jatuh pada tingkat yang sangat rendah,
pola PBSN tersebut misalnya skimnya bernama sehingga menimbulkan disinsentif bagi
78 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 1, Juli 2015: 63–80

masyarakat petani untuk berproduksi. Untuk menjamin pasar dan harga maka
Pemerintah harus menjamin pemasaran produk kehadiran Badan Urusan Logistik yang
ternak sapi baik untuk pasar dalam negeri menangani hasil ternak menjadi strategis dan
maupun untuk ekspor. sangat diperlukan. Sangat terbuka peluang
Banyak negara yang menggunakan Indonesia akan kembali mencapai kejayaan di
kebijakan restriktif untuk melindungi produk dan bidang industri peternakan sapi seperti di era
ekonomi dalam negerinya. Organisasi tahun 1970-an sebagai eksportir yang kuat.
Perdagangan Dunia menemukan 407 kebijakan Perlu upaya untuk mendorong konsumen kelas
restriktif dari negara anggota tahun 2013 naik atas terutama hotel, restoran internasional,
secara mencolok dari 308 kebijakan pada tahun maskapai penerbangan dan kapal laut, serta
2012 (Harian Kompas, 2014 dalam Hutabarat, perusahaan-perusahaan asing dan domestik
2014). Pemerintah Indonesia melalui untuk mengonsumsi daging produk dalam
pengkajian yang matang juga harus mencari negeri. Untuk itu, sistem kendali dan jaminan
celah untuk melindungi produksi daging sapi mutu produk melalui sertifikasi juga harus
dalam negeri. Jaminan harga yang wajar dan dikembangkan secara terencana dan efektif
tetap menjanjikan pembagian margin yang termasuk sertifikat halal.
proporsional sehingga mampu bersaing dengan Persaingan dengan daging impor harus
margin usaha pada pilihan penggunaan sumber dimenangkan oleh daging sapi produk dalam
daya yang sama atau biaya imbangan negeri, baik melalui penguatan daya saing
(opportunity cost) yang tersedia. Kalau ini tidak maupun mekanisme fiskal melalui tarif dan
terjadi sangat mungkin pengusaha akan pemanfaatan instrumen lain yang dimungkinkan
mengonversi usahanya ke bisnis yang lain yang oleh skema WTO, misalnya dengan
lebih prespektif dan menguntungkan. Hal yang menggunakan Sanitary and Phytosanitary
perlu mendapat perhatian dan pengawasan (SPS) dan safeguard instrument. Dapat juga
bahwa pada pola pembangunan yang dengan menggunakan technical barrier di
melibatkan petani/peternak harus dapat dijamin pelabuhan impor atau instrumen kehalalan.
bahwa masyarakat plasma semakin meningkat Dalam kasus yang lebih spesifik misalnya
pendapatan dan kesejahteraannya. Kasus- Indonesia harus menunda pembebasan bea
kasus yang menyebabkan petani/ masyarakat masuk impor produk pertanian dari Australia
semakin miskin yang terjadi pada program karena produk subsitusi impornya diusahakan
tertentu harus dihindari dalam program oleh jutaan petani, yaitu peternak sapi perah
pengembangan ternak sapi. Semua pemangku dan sapi potong. Untuk produk sapi
kepentingan dalam program ini menikmati pedaging/potong, penundaan tersebut lebih
margin secara adil meskipun tidak harus sama sesuai untuk daging dan jeroan, tetapi tidak
karena margin yang dinikmati harus sesuai untuk sapi bakalan (bibit). Penurunan
memperhitungkan korbanan yang diberikan impor sapi bakalan akan menguras populasi
dalam proses produksi. sapi lokal yang jumlah kelahirannya lebih
Pemanfaatan seluruh produk dan rendah dari pada jumlah pemotongan (Nuryanti,
produk samping ternak sapi akan mendorong 2010). Harga daging sapi impor lebih murah
terciptanya usaha yang memiliki misi nirlimbah. dibandingkan dengan harga daging lokal,
Melalui pendekatan tersebut, bisa diprediksi sehingga kemungkinan terdapat daging sapi
bahwa bisnis ternak sapi menjanjikan impor oleh hotel-hotel khusus dengan kualitas
keuntungan yang cukup besar, dan berarti prima dan harga yang lebih tinggi (Widiati,
tingkat kesejahteraan peternak plasma dapat 2014).
ditingkatkan. Beberapa hasil samping dari
ternak sapi misalnya, kulit, tulang, kotoran, dan PENUTUP
air kencing jika diproses lebih lanjut akan
memberikan nilai tambah bagi peternak.
Kotoran dan air kencing yang bisa diproses Potensi sumber daya alam, budaya,
menjadi biomassa dan pupuk, sementara dan pengalaman sejarah pengembangan sapi
tulang-tulang bisa diproses menjadi tepung Indonesia, mengandung optimisme jika suatu
tulang yang dapat digunakan sebagai saat Indonesia mampu untuk mewujudkan
campuran pakan. Semua itu memiliki nilai swasembada daging sapi berkelanjutan,
ekonomi yang tinggi. bahkan sangat berpeluang untuk kembali
berstatus sebagai eksportir sapi di kawasan
Asia Tenggara dan negara lainnya. Langkah-
KINERJA, KENDALA, DAN STRATEGI PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI Iskandar Andi Nuhung 79

langkah yang perlu dikembangkan adalah keterpaduan proses produksi dan antarpelaku
dukungan politik yang kuat dalam bentuk usaha agribisnis daging sapi.
regulasi yang memberi ruang gerak
pembangunan industri peternakan sapi
nasional. Kebijakan yang tegas dan berpihak DAFTAR PUSTAKA
kepada peternakan sapi dalam negeri untuk
memenuhi kebutuhan domestik. Tersedianya Agung, P.P., M. Ridwan, Handrie, Indriawati, F.
lahan pengembangan yang dialokasikan oleh Saputra, Supraptono, dan Erinaldi. 2014.
pemerintah khusus untuk pengembangan Profil morfologi dan pendugaan jarak
peternakan sapi nasional. Pembangunan genetik sapi simmental hasil persilangan.
breeding farm untuk menjadi sumber bibit sapi Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 19(2):
unggul yang pada tahap awal diinisiasi dan 112-122.
dibiayai oleh pemerintah melalui APBN. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik
Pemasaran dan harga produk yang terjamin Indonesia 2011. Jakarta: Badan Pusat
melalui pengaturan dari pemerintah. Statistik.
Tersedianya sumber pembiayaan yang jelas, [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik
misalnya alokasi khusus APBN untuk Indonesia 2014. Jakarta: Badan Pusat
pengembangan UP4S, dan pola inti plasma. Statistik.
Tersedianya spesial skema pembiayaan Ditjen Peternakan. 2009. Statistik Peternakan 2009.
perbankan untuk pembangunan peternakan Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan.
sapi dengan tingkat suku bunga yang rendah. Ditjen Peternakan. 2013. Statistik Peternakan 2013.
Paradigma baru manajemen pembangunan Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan.
industri peternakan sapi dengan melibatkan
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1995.
dunia usaha sebagai investor membangun World Agriculture: towards 2010. An FAO
peternakan skala besar, tidak hanya beroperasi Study. New York: FAO and John Wiley &
pada kegiatan perdagangan/impornya. Sons.
Selanjutnya, perlu dibuat pilot project pola-pola Hutabarat, B.F. 2014. Peningkatan Kinerja
pengembangan yang telah diuraikan yang Pembangunan Pertanian Indonesia Tidak
didahului dengan kajian yang mendalam. Semata-Mata Bertumpu pada Daya Saing.
Masalah harga dan pasar yang seringkali Hlm. 7-47. Dalam: Haryono, E. Pasandaran,
menjadi bottleneck semua komoditas pertanian, M. Rachmat, S. Mardianto, Sumedi, H.P.
dapat diatasi dengan memasukkan komoditas Saliem, dan A. Hendriadi (eds.).
daging sapi sebagai bagian dari tugas dan Memperkuat Daya Saing Produk Pertanian.
fungsi Bulog. Jakarta: IAARD Press.
Ilham, N. 2006. Analisis sosial ekonomi dan strategi
Indonesia harus mampu mewujudkan
pencapaian swasembada daging 2010.
swasembada daging sapi dan sedapat mungkin Analisis Kebijakan Pertanian 4(2):131-145
menghindari ketergantungan dari impor sebagai
suatu bentuk ketegasan menuju kedaulatan Ilham, N. 2007. Alternatif kebijakan peningkatan
pertumbuhan PDB subsektor peternakan di
pangan nasional. Cetak biru ataupun peta jalan Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian
swasembada daging sapi yang sudah ada perlu 5(4):335-357
dievaluasi dengan mengakomodasi
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2007. Statistik
perkembangan lingkungan strategis baik
Pertanian 2007. Jakarta: Kementerian
domestik maupun eksternal yang dinamis. Pertanian.
Pengkajian komprehensif terhadap kebijakan,
pola pengembangan, dan aspek teknis, sosial [Kementan] Kementerian Pertanian. 2008. Statistik
Pertanian 2008. Jakarta: Kementerian
ekonomi, dan lingkungan pengembangan Pertanian.
ternak sapi yang bersifat terobosan harus
dilakukan dengan melibatkan dunia akademik [Kementan] Kementerian Pertanian. 2012. Statistik
Pertanian 2012. Jakarta: Kementerian
dan lembaga penelitian terakreditasi.
Pertanian.
Pemerintah diharapkan mampu membangun
koordinasi yang efektif baik antara [Kementan] Kementerian Pertanian. 2014. Statistik
Kementerian, Direktorat Jenderal Tehnis, Dinas Pertanian 2014. Jakarta: Kementerian
Pertanian.
Peternakan, dan antarpelaku usaha agribisnis
sapi potong. Koordinasi yang efektif antar Muslim, C. 2006. Pengembangan sistem integrasi
stakeholders dan antarpelaku usaha padi-ternak dalam upaya pencapaian
swasembada daging di Indonesia, suatu
diharapkan dapat mendorong terjadinya
80 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 1, Juli 2015: 63–80

tinjauan evaluasi. Analisis Kebijakan [Puslitbangnak] Pusat Penelitian dan Pengembangn


Pertanian 4(3):226-239. Peternakan. 2012. Budidaya Sapi Potong
Nuhung, I.A. 2015. Agribisnis Berkarakter ke Berbasis Ekosistem Perkebunan Kelapa
Indonesiaan. Yogyakarta: Penerbit Sawit. Jakarta: IAARD Press.
Kanisius. [Puslitbangnak] Pusat Penelitian dan Pengembang-
Nuhung, I.A. 2003. Perusahaan Inti Rakyat dan an Pertanian. 2013. Pengembangan
Pembangunan Ekonomi Kerakyatan. Investasi Sapi Potong di dalam Negeri.
Jakarta: Penerbit Yasrip. Jakarta: IAARD Press.

Nuhung, I.A. 2014. Strategi dan Kebijakan Pertanian, Rouf, A.A., A. Daryanto, dan A. Fariyanti. 2014.
dalam Perspektif Daya Saing. Jakarta: Daya saing usaha sapi potong di Indonesia:
Penerbit Rineka Cipta. pendekatan domestic resources cost.
Buletin Ilmu PKH Indonesia 24(2):97-107.
Nuhung, I.A. 2014. Revitalisasi Pertanian
Terbelenggu. hlm. 283-301. Dalam: Setiyanto, A. 2013. Pendekatan dan implementasi
Haryono, E. Pasandaran, M. Rachmat, S. pengembangan kawasan komoditas
Mardianto, Sumedi, H.P. Saliem, dan A. unggulan pertanian. Forum Penelitian Agro
Hendriadi (eds.). Reformasi Kebijakan Ekonomi 31(2):171-195.
Menuju Transformasi Pembangunan Soedjana, T.D. 2013. Partisipasi konsumsi sebagai
Pertanian. Jakarta: IAARD Press. alat ukur status ketahanan pangan daging.
Nuryanti, S. 2010. Peluang dan ancaman Wartazoa 23(4):166-175.
perdagangan produk pertanian dan Supardiono, D. 2014. Faktor-Faktor yang
kebijakan untuk mengatasinya, studi kasus Mempengaruhi Hubungan Franchise dalam
Indonesia dengan Australia dan Selandia Meningkatkan Kinerja Franchisee. Tesis
Baru. Analisis Kebijakan Pertanian, Magister Agribisnis. Jakarta: FST-UIN yarif
8(3):221-240. Hidayatullah.
Pasandaran, E., Haryono, dan Suherman. 2014. Tangendjaja, B. 2014. Daya saing produk
Memperkuat daya saing komoditas peternakan: ceruk pasar. Dalam: Haryono,
pertanian. Perspektif Daya Saing Wilayah. E. Pasandaran, K. Suradisastra, M. Ariani,
Dalam: hlm. 481-506. Dalam: Haryono, E. N. Sutrisno, S. Prabawati, M.P. Yufdy, dan
Pasandaran, K. Suradisastra, M. Ariani, N. A. Hendriadi (eds.). Memperkuat Daya
Sutrisno, S. Prabawati, M.P. Yufdy, dan A. Saing Produk Pertanian. Jakarta: IAARD
Hendriadi (eds.). Memperkuat Daya Saing Press, Badan Litbang Pertanian.
Produk Pertanian. Jakarta: IAARD Press. Widiati, R. 2014. Membangun industri peternakan
Pasaribu, S.M. dan B. Sayaka. 2014. Reformasi sapi potong rakyat dalam mendukung
pembiayaan sektor pertanian untuk kecukupan daging sapi. Wartazoa. 24(4):
memperkuat kelembagaan ekonomi 191-200.
perdesaan. Dalam: Haryono, E. Winarso, B. dan E. Basuno. 2013. Pengembangan
Pasandaran, M. Rachmat, S. Mardianto, pola integrasi tanaman-ternak merupakan
Sumedi, H.P. Saliem, dan A. Hendriadi bagian upaya mendukung usaha
(eds.). Reformasi Kebijakan Menuju pembibitan sapi potong dalam negeri.
Transformasi Pembangunan Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi 31(2):151-
Jakarta: IAARD Press. 169.
Puastuti W., D. Yulistiani, dan I.W.R. Susana. 2014. Yusdja,Y., R. Sayuti, B. Winarso, I. Sadikin, dan C.
Evaluasi nilai nutrisi bungkil inti sawit yang Muslim. 2004. Pemantapan Program dan
difermentasi dengan kapang sebagai Strategi Kebijakan Peningkatan Produksi
sumber protein ruminansia. Jurnal Ilmu Daging Sapi. Bogor: Puslitbang Sosial
Ternak dan Veteriner 19(2):143-151. Ekonomi Pertanian.

You might also like