You are on page 1of 22

PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN TINDAK PIDANA

PENCURIAN RINGAN PADA PROSES DIVERSI


TINGKAT PENYIDIKAN

Arfan Kaimuddin

PT. Semen Indogreen Sentosa


Blok D No. 7, Rukan Darmo Square, Jl. Raya Darmo, Tegalsari, Surabaya
Email: apan_san@yahoo.co.id

Absrtact
This research published as journal is written and motivated by three issues. First is the juridical
problems that can be observed from the inconsistency of the Act Number 11 of 2012 on the
SPPA from article 1, paragraph (6) of the restorative justice to Article 9 paragraph (2). It has
distorted the concept of restorative justice for victims of crime minor theft. The Second is the
theoretical issues, that is the right of victims to be protected, but in practice these rights are
neglected. the Third issue is the sociological problems that can be observed where the criminal
acts of theft committed by a child can interfere with the comfort and safety of the community.
This research’s objective is to find a basic philosophical formation of Article 9, paragraph (2) of
Act No. 11/2012 on SPPA. To describe how should the diversion of the victims of wage theft with
losses under local minimum wage was implemented. This journal is written using normative
legal research methods. Basic formation of Article 9 (2) Article 9 paragraph (2) of Law No.
11/2012 on SPPA included four main points, three points are meant to protect children in order
to avoid prison and then the fourth point is to protect the interests of victims and perpetrators
of child. If the victim does not wish to participate, diversion will still run. This philosophical
basis is in contrary to the theory of restorative justice and legal protection. In comparison to
the Diversion process of Philippines dan Malaysia state, to achieve the ideal form of diversion
for criminal offenses minor committed by children in Indonesia is to use a restorative justice
approach in a diversion effort. It is supported by the theory of criminal law policy, which is by
reformulating and altering the content of Article 9 paragraph (2) of the SPPA.
Key words: diversion, restorative justice, victims’ rights

Absrtak
Penulisan jurnal berupa hasil penelitian ini dilatarbelakangi oleh tiga permasalahan. Pertama,
permasalahan yuridis yang bisa dicermati dari adanya inkonsistensi dalam UU No. 11 tahun 2012
tentang SPPA yakni antara pasal 1 ayat (6) mengenai restorative justice dengan Pasal 9 ayat (2).
Hal ini telah mencederai konsep restorative justice bagi korban tindak pidana pencurian ringan.
Kedua, permasalahan teoritis, Hak-hak korban harus dilindungi, namun dalam praktek hak
tersebut terabaikan. Ketiga, permasalahan sosiologis yang bisa dicermati ialah Tindak pidana
pencurian yang dilakukan oleh anak dapat mengganggu kenyamanan dan keamanan di dalam
masyarakat. Tujuan penelitian ini Untuk menemukan dasar filosofis pembentukan Pasal 9 ayat
(2) UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA. Untuk menguraikan bagaimana semestinya proses
diversi terhadap korban pencurian yang kerugiannya dibawah upah minum provinsi setempat
dilaksanakan. Penulisan jurnal ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dasar
pembentukan Pasal 9 ayat (2) Pasal 9 ayat (2) UU No. 11/2012 tentang SPPAterdapat empat

258
Arfan Kaimuddin, Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Pencurian... 259

poin utama, tiga poin bertujuan untuk melindungi anak agar terhindar dari penjara kemudian
poin keempat yaitu melindungi kepentingan korban dan juga pelaku anak. Apabila korban tidak
ingin berpartisipasi, diversi tetap akan dijalankan. Dasar filosofis tersebut bertentangan dengan
teori restorative justice dan juga teori perlindungan hukum.Setalah melakukan perbandingan
Proses diversi dengan Negara Filiphina dan Malaysia, untuk mencapai bentuk ideal diversi
untuk tindak pidana pencurian ringan yang dilakukan oleh anak di Indonesia ialah dengan
menggunakan pendekatan restorative justice pada upaya diversi. Hal ini didukungoleh teori
kebijakan hukum pidana. Dengan mereformulasi untuk merubah isi dari Pasal 9 ayat (2) UU
SPPA.
Kata kunci: diversi, restorative justice, hak korban

Latar Belakang ringan,tidak menerima kompensasi dan tidak


Terdapat hal penting dalam Negara hukum terpenuhinya hak-hak yang lain. Terhadap
yaitu adanya komitmen dan penghargaan hak-hak tersangka atau terdakwa lebih
untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia popular diatur dalam Undang-Undang No.
serta jaminan semua warga Negara bersama 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
kedudukannya di dalam hukum.Seperti (KUHAP) dan perundang-undangan lain
yang termaktub di dalam Pasal 27 ayat (1) yang terkait, bahkan juga di dalam Undang-
UUD 1945.1 Prinsip yang termaktub dalam Undang Dasar 1945. Apabila diteliti, di dalam
pasal tersebut idealnya bukan hanya sekedar KUHAP tersebut lebih banyak mengatur
tertuang di dalam UUD 1945 dan perundang- hak-hak tersangka dan terdakwa.Untuk
undangan.Tetapi yang paling utama adalah hak-hak korban (victim) pengaturannya tidak
dalam prakteknya atau implementasinya.2 secara tegas dan tidak sebanyak hak-hak
Dalam pelaksanaan penegakkan hukum tersangka atau terdakwa.Kemungkinan hak
seringkali diwarnai dengan hal-hal yang ini disebabkan pihak korban kejahatan/tindak
bertolak belakang dengan prinsip-prinsip pidana sudah diwakili oleh Negara (penyidik
UUD tersebut.Contohnya penganiayaan dan penuntut umum).3
terhadap tersangka untuk mengejar pengakuan, Dalam proses penegakkan hukum pidana
rekayasa perkara, pemerasan, pungutan liar, yang berpatokan pada hukum pidana dan acara
intimidasi dan sebagainya. Selain itu dari pihak pidana, Negara yang diwakili oleh organ-
korban juga merasakan terbaikan hak-haknya, organnya memiliki hak atau kewenangan
antara lain dakwaan lemah, tidak mengetahui untuk menjatuhkan pidana (ius puniendi).
perkembangan penanganan perkara, tuntutan Disini jika terjadi tindak pidana, maka

1 Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 “segala warga Negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya”.
2 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 1.
3 Ibid., hlm. 2.
260 ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015, Halaman 147-399

terhadap pelakunya akan di tindak melalui menciptakan rasa keadilan, kebenaran, serta
proses peradilan dengan memberi hukuman. kepastian hukum. Terlihat bahwa korban
Korban tindak pidana serta masyarakat akan (victim) tindak pidana tidak bisa serta
secara otomatis diwakili oleh Negara yaitu merta mengambil haknya begitu saja tanpa
dengan cara diadili dan dituhkan pidana menjalani sebuah proses hukum. Inilah
yang setimpal dengan perbuatan yang telah konsekuensi Negara hukum, penyelesaian
dilakukan oleh terdakwa.hal ini berbeda terhadap hak-hak korban juga harus menjalani
dengan zaman dahulu, pada zaman dahulu sebuah proses hukum. Apabila korban
korban atau keluarganya dapat langsung langsung meminta atau mengambil (paksa)
meminta ganti kerugian atau pembalasan haknya dari tersangka atau terdakwa dapat
kepada pelaku. Fakta ini seperti yang disebut sebagai pemerasan, ketika korban
dikemukakan oleh Hazel B. Kerper4 melakukan balas dendam atau main hakim
“pada masa lampau, menururt sendiri (eigen riechting) maka yang tadinya
sejarah perkembangan hukum di statusnya adalah sebagai korban dapat
Inggris (Raja sebagai perwakilan
dari Negara) tidak memberikan berubah menjadi tersangka. Pada proses awal
perhatian sama sekali terhadap pidana tertentu korban membuat laporan atau
tindakan kejahatan yang dilakukan pengaduan. Setelah itu Pelaku tindak pidana
oleh seseorang terhadap orang
lain,terkecuali apabila kejahatan diproses melalui penyelidikan, penyidikan,
tersebut dilakukan terhadap Negara penuntutan, pemeriksaan, putusan, dan
(Raja). Pada saat itu, “pembalasan” pelaksanaan putusan pengadilan. Di dalam
dari seseorang yang dirugikan
terhadap pelaku kejahatan (asas proses yang begitu sistematis tersebut, dalam
talio)masih diperkenankan. Bahkan hal ini korban dapat menjadi saksi yang
seluruh keluarga korban dapat dapat memberatkan terdakwa. Sebenarnya
melaksanakan pembalasan.”
berdasarkan Pasal 98 -Pasal 101 Kitab
Berpijak pada sejarah tersebut, dengan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang
berjalannya waktu, kebiasaan itupun menjadi korban dan orang lain yang dirugikan
dihilangkan.Setelah itu Rajalah yang dapat menutut ganti kerugian, tetapi dalam
mengambil alih mewakili Negara.Dan Raja praktik tidak efektif diterapkan.
juga yang mengambil peran ganda menjadi Pentingnya perlindungan hukum kepada
hakim dan menjatuhkan hukuman/pidana. korban kejahatan secara memadai bukan
Perjalanan sejarah berikutnya, yang tidak hanya merupakan isu nasional, melainkan
sedikit memakan waktu, diantaranya lahir juga merupakan isu internasional.Oleh karena
Trias Politica.Melalui kekuasaan yudikatiflah itu, masalah ini perlu memperoleh perhatian
proses peradilan dilakukan agar dapat yang serius. Pentingnya perlindungan korban

4 Ibid.
Arfan Kaimuddin, Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Pencurian... 261

kejahatan memperoleh perhatian yang serius, yang sungguh-sungguh oleh pemerintah,


dapat dilihat dari bentuknya Declaration padahal keadilan dan HAM sangat jelas
of Basic Principles of Justice for Victims of dalam Pancasila, sebagai ideologi bangsa
Crime and Abuse Power oleh Perserikatan Indonesia, masalah peri kemanusiaan dan
Bangsa-Bangsa, sebagai hasil dari The Seventh peri kedilan mendapatkan posisi yang begitu
United Nation Conggres on the Prevention of urgen sebagai bentuk dari perwujudan Sila
Crime and The Treatment of Offenders, yang Kemanusiaan yang adil dan beradab serta Sila
berlangsung di Milan, Italia, September 1985. keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam salah satu rekomendasinya disebutkan: Perlindungan hukum terhadap korban tindak
“Offenders or third parties responsible for pidana sebagai salah satu contoh kurang
their behavior should, where appropriate, diperhatikannya masalah keadilan dan hak
make fair restitution to victims, their families asasi dalam penegakan hukum pidana.6
or dependants. Such restitution should include Pada setiap penanganan perkara pidana
the return of property or payment for the harm aparat penegak hukum (polisi dan jaksa)
or loss suffered, reimbursement of expenses sering kali dihadapkan pada kondisi yang
incurred as a result of the victimization, the mewajibkannya untuk melindungi dua
provision of services and the restoration of the kepentingan yang terkesan saling bertolak
rights.” belakang, yakni kepentingan korban
Dalam deklarasi di Milan 1985 tersebut, yang wajib dilindungi untuk memulihkan
bentuk perlindungan yang diberikan penderitaanya karena telah menjadi korban
mengalami perluasan tidak hanya ditujukan kejahatan (secara mental, fisik maupun
pada korban kejahatan (victim of crime), material), dan kepentingan tertuduh/tersangka
tetapi juga perlindungan terhadap korban sekalipun dia bersalah, tetapi dia tetap sebagai
akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of manusia yang mempunyai hak asasi yang harus
power).5 dijunjung tinggi. Apalagi kalau perbuatannya
Permasalahan mengenai HAM dan tersebut belum diputuskan oleh hakim yang
keadilan dalam kaitannya terhadap penegakkan menyatakan bahwa pelaku bersalah.Oleh
hukum pidana bukanlah suatu pekerjaan karena itu, pelaku harus dianggap sebagai
ringan untuk dapat diimplementasikan. orang yang tidak bersalah (asas praduga tak
Terdapat berbagai macam peristiwa didalam bersalah). Dalam penyelesian perkara pidana,
kehidupan masyarakat yang menunjukan hukum seringkali melakukan kekeliruan
bahwa keadilan dan hak asasi manusia dengan terlalu mengedepankan hak-hak dari
tersebut kurang mendapatkan perhataian tersangka/terdakwa, sementara hak-hak dari

5 Dikdik M Arif Mansur, Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan
Realita, Rajawali Pers, Jakarta, 2006, hlm. 23.
6 Ibid., hlm. 24.
262 ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015, Halaman 147-399

korban diabaikan, sebagaimana dikemukakan hasil kejahatannya telah dijual dan hasilnya
oleh Andi Hamzah: “dalam membahas hukum telah habis dipakai untuk foya-foya bersama
acara pidana khususnya yang membahas teman-temannya. Dengan ditangkapnya
HAM, terdapat kecenderungan untuk pelaku tentunya membawa kegembiraan bagi
mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan korban, tetapi pada saat korban tahu bahwa
hak-hak tersangka tanpa memerhatikan pula mobil yang dicuri itu telah dijual dan uangnya
hak-hak para korban.7 sudah habis, tentu dengan ditangkapnya
Di dalam penyelesaian sebuah perkara pelaku tidak memiliki arti apapun bagi korban
pidana, seringkali ditemukan korban tindak karna bagi korban yang lebih penting adalah
pidana kurang memperoleh perlindungan bagaimana mobil itu dapat kembali dimiliki.
hukum secara memadai, baik perlindungan Persoalan pelaku kejahatan berhasil ditangkap
yang bersifat immaterial amupun materiil oleh aparat kepolisian tidak secara langsung
sebagaimana Geis berpendapat: “to much berpengaruh terhadap dirinya.8
attention has been paid to effenders and Ketika mobil yang dicuri telah
their raights, to neglect of the victim.” diasuransikan oleh pemiliknya, kerugian yang
Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat diderita korban sedikit banyak dapat teratasi oleh
bukti (Alat bukti terdapat dalam pasal 184 pembayaran klaim dari perusahaan asuransi.
KUHAP: keterangan saksi, keterangan ahli, Namun, hal yang berbeda akan terjadi pada
surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa) kasus pencurian ringan yang dilakukan oleh
yang memberi keterangan yaitu hanya sebagai anak yang kemudian korbannya merupakan
saksi sehingga bagi korban hanya memperoleh orang dewasa yang tidak mampu (miskin).
keleluasaan dalam memperjuangkan haknya Kasus pencurian ringan yang dilakuakn oleh
adalah kecil. anak ini tentu akan mengganggu kenyamanan
Korban tindak pidana tidak diberikan dan ketertiban di dalam masyarakat dan perlu
kewenangan untuk terlibat secara aktif mendapat perhatian kusus, hal ini dikarenakan
dalam proses penyidikan dan persidangan (anak yang berhadapan dengan hukum) sebisa
sehingga ia kehilangan kesempetan untuk mungkin dihindarkan dari hukuman penjara.
memperjuangkan hak-hak dan memulihkan Melalui Undang-Undang No. 11 tahun 2012
keadaanya akibat suatu kejahatan. Sebagai tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang
contoh apabila seseorang pelaku tindak pidana (selanjutnya disebut UU SPPA) aparat penegak
pencurian mobil berhasil ditangkap aparat hukum akan berusaha mencari solusi terbaik
kepolisian dan selanjutnya diproses pidana. bagi sang anak. Diversi akan dupayakan
Pada saat pelaku ditangkap ternyata mobil secara maksimal oleh pihak penyidik demi

7 Ibid., hlm. 25.


8 Ibid., hlm. 26.
Arfan Kaimuddin, Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Pencurian... 263

menghindarkan anak untuk masuk ke dalam lebih buruk dari keadaan sebelumnya.
SPP (Sistem Peradilan Pidana), karena akibat Karena periaku kejahatan merupakan hal
buruk yang dapat diderita sang anak tersebut yang dipelajari dari lingkugang sekitar.
(anak yang berhadapan dengan hukum) Perilaku kejahatan identik dengan perilaku
apabila telah masuk dalam SPPA. Label nonkejahatan, sebab keduanya merupakan
pencuripun akan diberikan oleh masyarakat perilaku yang dipelajari. Edwin H. Sutherland
kepada sang Anak (Anak yang berhadapan berhipotesis bahwa perilaku kriminal itu
dengan hukum), dan hal ini akan sangat dipelajari melalui asosiasi yang dilakukan
mengagganggu tumbuh kembang sang Anak. dengan mereka yang melanggar norma-norma
Pelabelan terhadap anak dan perlakuannya masyarakat tremasuk norma hukum. Proses
pada seseorang akan menyebabkan seseorang yang dipelajari tadi meliputi tidak hanya
(anak) itu menerima identitas sebagai pelaku teknik kejahatan sesungguhnya namun juga
menyinpangan dan menolak self-image motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi yang
konvensional (citra diri yang baik/lazim)9. nyaman atau memuaskan bagi dilakukannya
Perubahan (transformasi) indentitas ini pada perbuatan-perbuatan anti sosial.10 Jadi anak
saatnya akan memunculkan sebuah komitmen akan yang masuk dalam lemabaga pembinaan
pada peningkatan karier individu/seseorang khusus anak dikawatirkan akan menambah
sebagai pelaku menyimpangan. Stigma yang wawasan kriminalnya lebih luas. Oleh sebab
ditentukan secara konvensional (publik), dapat itu anak yang berhadapan dengan hukum
mengucilkan individu/seseorang (anak) dari semaksimal mungkin dijauhkan dengan sistem
ketaatan terhadap norma dan pada waktunya peradilan pidana anak dengan diupayakan
akan meningkatan ketertarikan individu/ diversi.
orang (anak) tersebut pada perilaku-perilaku Sebuah konsep baru yang diterapkan pada
menyimpang. Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yaitu
Selanjutnya, yang menjadi bahan diversi bertujuan untuk menciptakan keadilan
pertimbangan lain agar sang Anak (anak restorative11. Namun pada Pasal 9 ayat (2)
yang berhadapan dengan hukum) dijauhkan UU SPPA:
dari proses peradilan pidana anak adalah “kesepakatan diversi harus mendapatkanm
dikawatirkan apabila anak tersebut diputus persetujuan korban dan/atau keluarga anak
bersalah dan kemudian harus menjalani korban serta kesediaan anak dan keluarganya,
hukuman penjara maka anak tersebut bisa kecuali untuk:

9 Abintoro Prakoso, Kriminilogi dan Hukum Pidana, Laksbang Grafika, Jember, 2013, hlm. 147.
10 Ibid., hlm. 107.
11 Keadilan restorative adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga
pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. (Pasal 1 angka 6 UU No. 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
264 ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015, Halaman 147-399

a. Tindak pidana yang berupa pelanggaran; Terdapat kasus menarik yang berkitan
b. Tindak pidana ringan; dengan Pasal 9 ayat (2) UU SPPA, yakni
c. Tindak pidana tanpa korban; atau kasus pencurian ringan yang terjadi di desa
d. Nilai kerugian korban tidak lebih dari Sumberejo kec.Batu, yang dilakukan oleh
upah minimum provinsi setempat.” anak yang berinisial AS berusia 16 tahun
Pasal 9 ayat (2) UU SPPA ini telah dan AP yang berusia 17 tahun melakukan
mencederai konsep keadilan restorative, pencurian terhadap sebuah tabung gas elpigi
dimana dalam keadilan restorative disebutkan 3kg.korban dan warga yang menangkap
dengan jelas melibatkan pelaku, korban, pelaku anak tersebut langsung membawanya
serta keluarga dari korban maupun pelaku. ke Polres Batu. Setelah proses penyidikan
Namun yang tertuang dari pasal 9 ayat selesai dilakukan oleh pihak kepolisian,
(2) justru meniadakan keberadaan korban pelaku anak tersebut dipulangkan oleh pihak
berdasarkan sebuah angka upah minimum kepolisian, karena sesuai Pasal 30 ayat (1) UU
provinsi.Kerugian yang dialami korban SPPA penangkapan terhadap anak dilakukan
tidak semuanya dapat diukur dengan sebuah untuk kepentingan penyidikan paling lama 24
nominal (upah minimum provinsi), karena jam. Setelah anak tersebut kembali ke desa
berapapun angka kerugian yang dialami oleh
tempat tinggalnya, masyrakatpun langsung
korban, korban tetaplah pihak yang dirugikan.
mendatangi Polres Batu dengan mengajukan
Dan menggunakan upah minimum provinsi
keberatan bahwa anak tersebut seharusnya
sebagai standar untuk mendengarkan pendapat
dipenjara.Pihak Penyidik pun memberikan
korban sangatlah mencederai rasa keadilan
penjelasan mengenai aturan yang berlaku bagi
terhadap korban, ketika korban pencurian
anak yang berhadapan dengan hukum kepada
ringan yang dilakukan oleh anak adalah orang
tokoh masyarakat yang mewakili warga desa
yang tidak mampu (miskin) kehilangan barang
tempat anak melakukan pencurian tersebut.
yang nilainnya dibawah upah minimum
Setelah diberikan penjelasan mengenai aturan
provinsi (UMP) akan berdampak besar bagi
yang berlaku bagi anak yang berhdapan
korban tersebut, hal ini dikarenakan korban
dengan hukum, tokoh maysrakat ini kembali
bukan orang kaya, yang ketika kehilangan
menyampaikan kepada warga desa, namun
barang yang nilainya dibawah UMP mereka
warga desa tidak puas dengan penjelasan
akan merasa biasa-biasa saja dan akan sangat
tersebut. Tokoh-tokoh masyarakatpun
jauh berbedah dengan yang dirasakan orang
harus bolak-balik ke Polres Batu sampai
tidak mampu. Orang yang pengahasilannya
tiga kali, penjelasan yang ketiga kali oleh
perhari sekitar Rp. 30. 000,00 (tiga puluh ribu
pihak Kepolisian, akirnya masyarakat dapat
rupiah) hanya cukup untuk makan sehari-hari,
memahinya. Melihat kejiadian seperti ini,
betapa besar penderitaan korban dengan latar
belakang keluarga miskin seperti ini. penyidik mengambil sebuah kebijakan dengan
Arfan Kaimuddin, Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Pencurian... 265

melibatkan korban pada proses diversi karena kemanusiaannya di depan hukum. (pasal 5
khawatir dengan keselamatan pelaku anak ayat (1)), dan Bahwa setiap orang berhak
tersebut. Meskipun di dalam UU SPPA tidak mendapat bantuan dan perlindungan yang
tidak diatur seperti itu. Proses diversi yang adil dari pengadilan yang objektif dn tidak
diupaykan berjalan dengan lancar. Korban berpihak.(pasal 5 ayat (2)). Dan hal ini sesuai
yang diikutkan dalam proses diversi tersebut dengan Pasal 5 huruf b Undang-Undang No
menceritkan apa yang dia rasakan sebagai 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
korban dan mendengar langsung penjelasan Korban bahwa, saksi dan korban berhak ikut
dari pelaku kenapa dia melakukan pencurian serta dalam proses memilih dan menentukan
tersebut. Pelakupun meminta maaf kepada bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.
korban dan korban dapat memaafkan pelaku. Hal ini berarti bahwa sekecil apapun
Perlu disadari bahwa sekecil apapun kerugian kerugian yang dialami oleh korban, dia harus
yang dialami oleh korban, korban harus tetap mendapatkan perlindungan hukum dan
dilibatkan dan didengar pendapatnya dalam perlakuan yang sama didepan hukum. Jika
proses diversi, karena itu merupakan bagian dikaitkan dengan dengan pasal 9 ayat (2)
dari hak korban dalam proses diversi. undang-undang no 11 tahun 2012 tentang
Sudah semestinya aturan yang mengatur system peradilan pidana anak, baik korban
mengenai diversi dengan mewajibkan yang kerugiannya diatas upah minimum
pendekatan restorative justice tidak provinsi setempat maupun dibawah upah
membedakan korban. Artinya kerugian minimum provinsi setempat, seharusnya
berapun yang diderita oleh korban, sudah korban harus tetap didengarkan pendapatnya
seharusnya dia memperoleh haknya dalam pada proses diversi karena itu merupakan hak
proses diversi, yakni hak untuk ikut serta korban yang dijamin oleh undang-undang.
dalam proses diversi. Seperti yang tersirat Berdasarkan hal itu perlu dilakukan
dalam penafsiran Pasal 3 ayat (2) dan pasal analisa mengenai Apa yang menjadi dasar
5 ayat(1, 2) Undang-Undang No 39 tahun filosofis penetapan Pasal 9 ayat (2) UU No.
1999 tentang Hak Asasi Manusia: bahwa 11 tahun 2012 tentang SPPA serta Bagaimana
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, seharusnya proses diversi dilakukan untuk
perlindungan, dan perlakuan hukum yang melindungi korban pencurian ringan yang
adil serta mendapat kepastian hukum dan kerugiannya dibawah upah minimum provinsi
perlakuan yang sama di depan hukum (pasal setempat Dilakukan di Tingkat Penyidikan.
3 ayat (2)), bahwa setiap orang diakui sebagai Penulisan jurnal hasil penelitian ini
manusia pribadi yang berhak menuntut dan menggunakan metode penelitian hukum
memperoleh perlakuan serta perlindungan normatif melalui pendekatan perundang –
yang sama sesuai dengan harkat dan martabat undangan serta pendekatan perbandingan.
266 ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015, Halaman 147-399

Bahan hukum yang digunakan terdiri dari dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa
bahan hukum primer yang terdiri dari Undang- alasan yang menjadi dasar pertimbangan
undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam penyusunan Pasal 9 ayat (2) dalam
tahun 1945, Undang-undang Nomor 1 Tahun UU SPPA ialahpertama,jikapersetujuan atau
1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum izin korban dan keluarga itu dicari, maka
Pidana, Undang-undang Nomor 11 Tahun akan memperkecil peluang pelaku anak untuk
2012 tentang SPPA, Undang-Undang No. memperoleh diversi. Sedangkan di dalam
13 tahun 2006 tentang Perlindungan saksi mandat konvensi hak anak Pasal 40 dikatakan
dan korban, Undang-Undang No. 39 Tahun bahwa semua aturan peradilan seharusnya
1999 tentang Hak Asasi Manusia, Perma mementingkan kepentingan-kepentingan anak
Nomor 2 tahun 2012 tentang Penyesuaian termasuk untuk martabat dan sebagainya,
Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah yang tentunya akan terancam jika anak itu
Denda Dalam KUHP, Juvenile Justice and dipenjara.
Welfare Act of 2006 Filiphina, Child Act Kedua, sulitnya pencapaian diversi
2001 Malaysia, bahan hukum sekunder apabila harus meminta persetujuan korban
yang terdiri dari buku, jurnal, dan kasus – dan akan terjadi diskriminasi terhadap ABH
kasus hukum terkait penelitian, dan bahan yang berasal dari keluarga kurang mampu, hal
hukum tersier yang terdiri dari Kamus Besar ini dikarenakan ganti rugi yang diajukan oleh
Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, pihak keluarga korban terhadap pelaku, ABH
Kamus Hukum, dan enseklopedia. Bahan yang berasal dari keluarga kurang mampu
hukum tersebut dikumpulkan berdasarkan akan sulit untuk mengakses diversi.
tema permasalahan yang telah dikemukakan Ketiga, dalam undang-undang ini (UU
kemudian dikaji secara mendalam. SPPA) semangat kita bukan memenjarakan
anak dalam proses pidana, tetapi bagaimana
Pembahasan melakukan suatu pola pembinaan terhadap
masalah yang dihadapi anak ketika berhadapan
A. Dasar Filosofis Penetapan Pasal
dengan hukum. Apabila harus meminta
9 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012
persetujuan korban, harus ada parameternya
tentang SPPA
(angka kerugian).Agar pencurian sandal jepit
Dari Risalah Pasal 9 ayat (2) UU No. 11
tidak perlu masuk didalam penjara.Keempat,
tahun 2012 tentang SPPA, terjadi perdebatan
pada proses diversi korban harus diberikan
panjang dalam penyusunannya.Ada yang
kesempatan untuk berpartisipasi. Apabila
setuju bila persetujuan korban diperlukan
korban tidak ingin berpartisipasi, diversi
dalam diversi untuk tindak pidana ringan,
tetap akan dijalankan. Karena korban juga
dan ada juga yang setuju korban harus diikut
perlu dilindungi kepentingannya, kepentingan
sertakan. Dari perdebatan panjang tersebut,
Arfan Kaimuddin, Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Pencurian... 267

korban ialah ganti rugi. Jadi pada proses perlindungan terhadap hak-hak korban.
diversi tidak akan ditanya apakah kasus ini Hak korban dalam diversi ialah hak untuk
akan dilanjutkan ke jalur formal atau diversi dikutsertakan dalam proses diversi. Seperti
tetapi pertanyaan kepada korban pada proses yang sudah dijelaskan pada bagian awal,
diversi ialah Bagaimana bentuk ganti rugi Restorative Justice menurut Tony Marshall
yang diinginkan oleh korban. Bisa jadi hanya yang diadopsi oleh Kelompok Kerja Peradilan
dengan perminta maaf dari pelaku saja sudah Anak PBB, adalah suatu proses dimana semua
cukup bagi korban.Bentuk dari ganti rugi pihak yang berhubungan dengan tindak pidana
terhadap korban bisa sangat fleksibel. tertentu bersama-sama memecahkan masalah
Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bagaimana menangani akibat dimasa yang
dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana akan datang/ implikasinya dimasa depan.
Remaja Tahun 1990 (United Nation Guidelines Konsep Restorative Justice dari UNICEF
fot the Preventive of Juvenile Delinquency, menitik beratkan kepada keadilan yang dapat
“Riyadh Guedelines”), disebutkan bahwa memulihkan , yaitu memulihkan bagi pelaku
keberhasilan pencegahan terhadap anak tindak pidana anak, korban dan masyarakat
pelaku tindak pidana memerlukan upaya yang terganggu akibat adanya tindak pidana
dari seluruh masyarakat guna menjamin tersebut.13
perkembangan kea rah proses dewasa Pihak pelaku yang memberikan penjelasan
secara harmonis dengan menghormati dan ataupun alasan-alasan mengenai kejahatan
mengembangkan kepribadian mereka sejak yang dilakukannya sangat mengharapkan
masa kanak-kanak.12 pihak korban untuk dapat menerima dan
Dengan melihat empat alasan dari proses memahami kondisi dan penyebab mengapa
penyusunan Pasal 9 ayat (2) UU SPPA diatas, pihak pelaku melakukan tindak pidana
terlihat jelas bahwa yang mementingkan yang menyebabkan kerugian pada korban.
kepentingan korban sangatlah kecil. Semua Selanjutnya dalam penjelasan pelaku juga
pendapat atau alasannya yang dikemukakan menjelaskan tentang bagaimana dirinya
dalam proses perumusan Pasal tersebut lebih bertanggung jawab terhadap korban dan
menitikberatkan kepada kepentingan pelaku masyarakat atas perbuatannya tersebut.Selama
anak. Sudah semestinya Negara memberikan pihak pelaku menjelaskan tentang perbuatan
perlindungan hukum bagi warga negaranya, yang dilakukannya dan sebab-sebab mengapa
tidak terkecuali untuk korban tindak pidana sampai tindak pidana tersebut dilakukan
pencurian yang kerugiannya dibawah UMP. pelaku, korban wajib mendengarkan dengan
Perlindungan hukum yang dimaksud yakni seksama penjelasan dari pelaku.Setelah itu

12 Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana Remaja Tahun 1990
(United Nation Guidelines fot the Preventive of Juvenile Delinquency, “Riyadh Guedelines”), Resolusi No.
45/122.1990, Butir 2.
13 Wagiati dan Melani, Op.cit., hlm. 134.
268 ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015, Halaman 147-399

pihak korban dapat memberikan tanggapan mediasi. Langkah pengalihan dibuat untuk
atas penjelasan pelaku.Disamping itu juga, menghindrakan anak dari tindakan hukum
juga hadir pihak masyarakat yang mewakili selanjutnya dan untuk dukungan komunitas,
kepentingan masyarakat.Wakil masyarakat disamping itu pengalihan bertujuan untuk
tersebut memberikan sebuah gambaran mencegah pengaruh negatif dari tindakan
mengenai dampak yang diakibatkan dengan hukum berikutnya yang dapat menimbulkan
terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh stigmatisasi. Apabila perkanya tidak dapat
pelaku. Dalam paparannya tersebut,masyarakat diselesaikan secara mediasi Sistem Peradilan
mengharapkan agar pelaku melakukan suatu Pidana Anak harus mengacu pada due process
tindakan atau perbuatan untuk memulihkan of law15, sehingga Hak Asassi Anak yang
kembali keguncangan atau kerusakan yang diduga melakukan tindak pidana dan/atau
timbul karena perbuatnnya.14 telah terbukti melakukan tindak pidana dapat
Di dalam Teori Restoratif Justice, proses dilindungi.16
penyelesaian tindakan pelanggaran hukum Restorative Justice sebetulnya bukan
yang terjadi dilakukan dengan membawa merupakan hal asing dalam penyelesaian
korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama tindak pidana di indonesia. Proses ini
duduk dalam satu pertemuan untuk bersama- pernah berlaku dan sampai saat ini masih
sama berbicara.Dalam pertemuan tersebut berlaku di daerah-daerah tertentu, yaitu
mediator meberikan kesempatan pada penyelesaian menurut hukum adat. Menurut
pihak pelaku untuk memberikan gambaran Soepomo penyelesaian menurut hukum adat
yang sejelas-jelasnya mengenai tindakkan menghendaki pengembalian keseimbangan di
yang telah dilakukannya. Proses pemulihan dalam masyarakat, atau pemulihan keadaan.17
menurut konsep Restorative Justice adalah Selain dalam hukum adat, musyawarah dalam
melalui diversi, yaitu pengalihan atau menyelesaikan perkara pidana juga dikenal
pemindahan dari proses peradilan ke dalam dalam hukum islam, yaitu apabila korban atau
proses alternatif penyelesaian perkara, keluarga korban memaafkan pelaku kejahatan,
yaitu melalui musyawarah pemulihan atau dengan membayar (diat) yang dilakukan oleh
pelakukepada korban.18

14 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Medan, Refika Aditama, 2009, hlm. 180.
15 Due process of law diartikan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum. Istilah due
process of law mempunyai konotasi bahwa segala sesuatu harus dilakukan secara adil.
16 Op.cit., Wagiati Soetedjo, Melani, hlm. 135.
17 Ibid., hlm. 135.
18 Al-Qur’an Surat Al Baqarah: 178 “wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan)
Qishas berkenaan dengan orang yang dibunuh.Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan
hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Namun, siapa yang memperoleh maaf dari saudaranya,
hendaklah ia mengikuti dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang
demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu.Siapa yang melampaui batas setelah itu, maka ia
akan mendapat azab yang sangat pedih”.
Arfan Kaimuddin, Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Pencurian... 269

Restorative Justice menawarkan solusi anak dan masyarakat, tetapi juga memulihkan
terbaik dalam menyelasaikan kasus kejahatan keadaan bagi korban. Pada suatu tindak
yakni dengan memberikan keutamaan pada pidana, korban merupakan pihak yang paling
inti permasalahan dari suatu kejahatan. dirugikan, Korban kejahatan merupakan
Penyelesaian yang penting untuk diperhatikan individu yang telah mengalami penderitaan
adalah meperbaiki kerusakan atau kerugian berupa kerugian sebagai pengaruh atau
yang disebabkan terjadinya kejahatan akibat suatu tindak pidana dan atau yang rasa
tersebut.Perbaikan tatanan sosial masyarakat keadilannya secara langsung telah terusik
yang terganggu karena peristiwa kejahatan sebagai pengaruh atau akibat pengalamnnya
merupakan bagian penting dari konsep dijadikan sasaran tindak kejahatan.20
restorative justice.Konsep restorative justice Diversi merupakan bentuk perlindungan
bukanlah sebuah konsep yang matang dan hukum yang diberikan oleh Negara yang
sempurna, untuk menerapkannya dengan baik tertuang didalam UU SPPA terhadap pelaku
dalam sebuah tatanan masyarakat suatu Negara dan juga korban.Artinya ada dua pihak yang
harus dibangun konsep yang sesuai dengan dilindungi oleh Negara yakni korban dan
akar budaya masyarakat Negara tersebut. juga pelaku. Perlindungan Hukum sebagai
Ketika konsep ini akan diterapkan maka bayak pengayoman terhadap HAM yang dirugikan
pertimbangan yang harus disesuaikan dengan orang lain dan perlindungan itu diberikan
budaya dari masyarakat, karena salah satu untuk masyarakat agar mereka bisa menikmati
pihak yang menjadi pelaksanaannya adalah semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.21
masyarakat itu sendiri.19 Perlindungan Hukum sebagai perlindungan
Penyelesaian perkara dengan restorative terhadap harkat dan martabat, serta pengakuan
justice menitikberatkan pada kerusakan yang terhadap HAM yang dimiliki oleh subyek
berakibat pada korban atau para korban dan hukum berdasarkan ketentuan hukum dari
masyarakat terdekan yang menekankan kesewenangan.22 Sudah jelas terlihat bahwa
kepentingan dari pihak. Inti dalam proses dalam proses diversi wajib menggunakan
restorative justice yaitu korban, masyarakat, pendekatan restorative justice, yang didalam
dan pelaku untuk membangun tanggapan yang pendekatan tersebut terdapat hak-hak korban
bersifat menyembuhkan tindakan kejahatan. yang harus dilindungi oleh Negara. Haknya
Terlihat jelas bahwa konsep restorative ialah hak untuk diikut sertakan dalam
itu bukan hanya memulihkan keadaan pelaku sebuah proses diversi. Negara semestinya

19 Op.cit., Wagiati Soetedjo, Melani, hlm. 135.


20 Rena Yulia, Op.cit., hlm. 51.
21 Satjipto Raharjo, Penyelenggaraan Keadilan dalam Masyarakat yang Sedang Berubah, Jurnal Masalah
Hukum, 1993, hlm. 74.
22 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 25.
270 ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015, Halaman 147-399

memberikan perlindungan terhadap korban yang dibawah UMP harus tetap diikutsertakan
tindak pidana pencurian ringan, agar korban dalam proses diversi. undang-undang dasar
dapat menikmati hak yang semstinya dia menjamin akan hal ini, dan sebenarnya hal
peroleh, karena itu merupakan tugas dan ini sudah diatur juga dalam undang-undang
tangung jawab Negara terhadap warga no 11 tahun 2012 ini dalam Pasal 1 ayat (6),
negaranya. namun kemudian diberi pengecualian dalam
Pelaku/ABH yang melakukan tindak Pasal 9 ayat (2). Dan juga perlu diketahui
pidana pencurian ringan baik yang berasal bahwa pada tahun 2014 pemerintah Indonesia
dari keluarga mampu atau keluarga kurang mendefinisikan garis kemiskinan dengan
mampu tetap diberi kesempatan untuk dapat pendapatan perbulan (per kapita) sebanyak
diupayakan diversi. Negara tidak memandang Rp.312, 328 jumlah tersebut setara dengan
latar belakang pelaku berasal dari keluarga USD $25 yang dengan demikian berarti
yang kaya ataupun yang miskin, pelaku akan standar hidup yang sangat rendah.23 Artinya
diperlakukan sama, yakni sama-sama akan rata-rata penduduk Indonesia masih jauh
diupayakan diversi. dari kata sejahtera.Masih banyak penduduk
Tetapi terdapat hal yang berbeda dengan Indonesia yang berpenghasilan jauh dibawah
korban atau victim, dengan rumusan Pasal UMP.Ketika masyarakat yang kurang mampu
9 ayat (2) di dalam UU N0.11 tahun 2012 menjadi korban pencurian ringan, misalnya
tentang SPPA ini terlihat diskriminasi dia kehilangan gas elpiji 3kg yang hanyga
yang dilakukan Negara terhadap korban sekitar Rp. 300.000, 00 (tiga ratus ribuh
tindak pidana pencurian ringan yang nilai rupiah) maka itu merupakan nilai yang cukup
kerugiannya dibawah UMP. Korban yang besar bagi mereka yang penghasilannya
jumlah kerugiannya dibawah UMP tidak hanya cukup untuk makan sehari-hari.Dengan
diikutsertakan dalam proses diversi. Korban aturan seperti ini, korban tidak dapat berbuat
hanya boleh berpartisipasi dalam proses apa-apa, dia hanya bisa pasrah, berharap
diversi apabila kerugiannya diatas UMP. pelaku dapat memberikan ganti rugi.Apabila
Padahal dalam Undang-Undang Dasar pelaku tidak dapat memberikan ganti rugi,
Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal korbanpun hanya bisa berlapang dada.
28D ayat (1) disebutkan bahwa “setiap orang Apabila hal ini dibiarkan terus menerus,
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, maka tidak menutup kemungkinan
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan masyarakat tidak akan percaya lagi terhadap
yang sama didepan hukum”. Artinya korban hukum di Indonesia, dan besar kemungkinan
dengan nilai kerugian diatas UMP maupun korban akan mengadili sendiri pelaku tindak

23 Van der Schaar, Kemiskinan Di Indonesia, http:// indonesia-investments.com, diakses 2 Juni 2015 pukul
09.00 WIB.
Arfan Kaimuddin, Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Pencurian... 271

pidana pencurian ringan tersebut, karena yang cukup banyak. Apalagi yang menjadi
merasa kecewa terhadap hukum di Indonesia. korban keluarga miskin, sudah hidup susah
Mereka yang menjadi korban tindak pidana ditambah menjadi korban pencurian ringan,
pencurian ringan ketika melaporkan kepada maka pada posisi seperti ini, anak yang
aparat penegak hukum, korban berharap akan melakukan pencurian ringan sangat rentan
memperoleh perlindungan dari Negara, berupa mendapat tindakan main hakim sendiri oleh
perlindungan terhadap hak-haknya sebagai korban.
korban dan juga berharap akan memperoleh Lewellyn dan Howse melakukan sebuah
ganti rugi, akan tetapi yang terjadi ialah penelitian pada tahun 1998 dikatakan bahwa
sebaliknya. Mereka yang kerugiannya dibawah keikhlasan hati, kejujuran dalam sebuah
UMP atau yang termasuk dalam tindak pidana pertemuan tatap muka antara korban dan pelaku
ringan tidak perlu diikutsertakan dalam proses sebagai elemen utama dari proses restorative
diversi. Seperti yang sudah di sampaikan pada justice.24 Keikhlasan artinya ada pengakuan
bagian kajian pustaka mengenai tindak pidana tulus dari pelaku untuk menyadari kesalahan
pencurian ringan, disitu dijalaskan bahwa yang telah dilakukannya terhadap korban
dengan kerugian Rp.2.500.000,00 (dua juta dan korban dengan ketulusan hati memahami
lima ratus ribu rupiah) dapat digolongkan dan mencoba memberikan rasa maafnya
sebagai tindak pidana pencurian ringan. Tentu kepada pelaku yang telah melakukan tindak
angka ini merupakan angka yang cukup besar pidana sehingga merigikan diri korban, baik
bagi mereka yang berpenghasilan hanya secara materill maupun secara nonmaterial.
cukup untuk makan sehari-hari.Apabila Kemudian nilai yang harus diutamakan selain
Negara ingin melindungi ABH melalui rasa keikhlasan adalah nilai kejujuran.Nilai
undang-undang sistem peradilan pidana anak, kejujuran ini memberikan kemudahan kepada
maka yang perlu diingat ada korban yang juga semua pihak untuk memahami mengapa
harus dilindungi. sampai terjadi suatu tindak pidana oleh
Pada proses diversi, belum tentu pelaku seseorang dan masyarakat dapat memberikan
dapat memberi ganti rugi kepada korban, karna masukan dan perbaikan untuk memecahkan
mungkin hasil dari tindak pidana tersebut dan mencari jalan penyelesaian yang terbaik
sudah habis digunakan, maka korban dituntut untuk semua pihak, baik korban, pelaku
untuk bisa bersabar dan mengerti keadaan ataupun masyarakat.
seperti ini, karena yang melakukannya adalah Pada sebuah proses diversi, restorative
Anak. Tetapi para pembuat undang-undang ini justice wajib diutamakan. Kewajiban
seakan lupa bahwa korban tindak pidana juga pendekatan restorative justice ini bukan tanpa
punya keluarga, tentu juga punya keperluan alasan, hal ini sangat dibutuhkan dalam proses

24 Marlina, Op.cit., hlm. 25.


272 ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015, Halaman 147-399

diversi untuk memberikan hak pelaku dan juga korban akhirnya juga mengerti mengapa dia
korban dalam proses diversi tersebut. Apabila menjadi korban suatu tindak pidana. Penjelasan
pelaku, korban, mediator, beserta pihak-pihak ini sangat berguna bagi si korban agar dapat
yang terkait duduk bersama untuk mencari lebih berhati-hati lagi kedepannya agar
solusi terbaik untuk masalah yang dihadapi, tidak menjadi korban lagi dikemudian hari.
pelaku dapat menjelaskan kepada korban Masyarakat yang hadir (tokoh masyarakat)
mengapa dia melakukan perbuatan tersebut juga dapat menyampaikan kepada anggota
serta dapat secara langsung menyampaikan masyarakat edukasi yang didapat dari proses
permintaan maafnya, kemudian korban juga diversi tersebut. Artinya dapat dilakukan
dapat mengeluarkan isi hatinya kepada si upaya pencegahan kejahatan secara preventif
pelaku, kemudian ditambah dengan penjelasan oleh masyarakat terhadap suatu tindak pidana.
dari mediator kepada korban mengenai
B. Bentuk Ideal Proses Diversi untuk
pentingnya diversi ini bagi ABH untuk masa
Melindungi Korban Pencurian
depannya, besar kemungkinan korban akan
Ringan yang Kerugiannya
lebih bisa menerima meskipun tanpa disertai
dibawah Upah Minimum Provinsi
ganti rugi.
Setempat
Selain itu, dengan diikutsertakan korban
Dari perbandingan antara Negara
dalam proses diversi, dengan penjelasan
Indonesia dengan Negara Malaysia dan
pelaku, mediator dapat menyapaikan kepada
Filiphina, terdapat perbedaan dalam upaya
korban bahwa korban ini tergolong jenis
diversi. Berikut ini merupakan perbedaan
korban apa. Karena terdapat beberapa jenis
diversi antara ketiga Negara tersebut:Dari
korban tindak pidana yakni, Latent victims
tabel diatas dapat dilihat bahwa Filiphina
(mereka yang mempunyai sifat karakter
dan Malaysia dapat menempatkan
tertentu sehingga cenderung menjadi korban).
kepentingan pelaku anak dan juga korban
Procative victims (mereka yang menimbulkan
secara merata. Artinya selain mengutamakan
rangsangan terjadinya kejahatan).
kepentingan pelaku, kedua Negara tersebut
Participating victims, (yakni mereka yang
juga memikirkan kepentingan korban. Hal
dengan tingkahlakunya mempermudah
ini terlihat dari proses diversi dari kedua
dirinya untuk dijadikan korban).Dan False
Negara tersebut. Seperti yang penulis tulis
victim, (mereka yang menjadi korban karena
diatas, Negara Filiphina melakukan diversi
perbuatan yang dibuatnya sendiri).25 Dengan
untuk semua tindak pidana yang dilakukan
penjelasan seperti ini, tentu akan memberikan
oleh anak, dan menggunakan pendekatan
edukasi kepada korban dan juga masyarakat
keadilan restorative untuk semua tindak
yang terlibat dalam proses diversi tersebut,

25 Didik M. Arif Mansur, Elisatris Gultom, Op.cit., hlm. 49.


Arfan Kaimuddin, Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Pencurian... 273

Tabel 1. Perbandingan Diversi antara Negara Indonesia, Filiphina, dan Malaysia.26

Indonesia Malaysia Filiphina


Undang-Undang UU No. 11 tahun 2012 Child Act 2001 Juvenile Justice and
tentang SPPA Malaysia Welfare Act of 2006
(Republic Act No.
9344) Filiphina
Usia 12-18 Tahun 10-18 Tahun 7-16 Tahun
Tindak Pidana Yang Tindak pidana yang Untuk semua jenis Untuk semua jenis
Dapat Diupayakan ancamannya dibawah 7 tindak pidana, kecuali tindak pidana
Diversi tahun dan bukan residivis dengan ancaman (Section 4 (i) dan
(Pasal 7 ayat (2)) hukuman mati (Section Section 4 (q)
11(5))
kesepakatan Diversi a. tindak pidana yang be- Dilaksanakan pada Dilaksanakan pada
rupa pelanggaran; setiap proses diversi setiap proses diversi
b. tindak pidana ringan; (Section 86 (5)) (Section 23)
c. tindak pidana tanpa
korban; atau
d. nilai kerugian korban
tidak lebih dari nilai
upah minimum provin-
si setempat.
(Pasal 9 ayat (2))

Kelemahan Diversi Tindak pidana yang Diversi tidak dapat Untuk ancaman hu-
Pada Tiap-Tiap ancamannya dibawah 7 diberikan kepada kuman diatas 6 tahun
Negara tahun dan bukan residivis pelaku anak yang penjara, diversi hanya
(Pasal 7 ayat (2)) diancam dengan dapat dilakukan dimu-
hukuman mati (Section ka persidangan.
11(5)) (Section 23(3))

Sumber: UU No. 12 Tahun 2012

pidana, begitupun dengan Negara Malaysia. mencapai kesepakatan dan penyelesaian27


Negara Malaysia juga mengupayakan diversi pada setiap proses diversi tanpa memilah
untuk semua tindak pidana yang dilakukan tindak pidana yang dilakukan. Kedua Negara
oleh anak, dan menggunakan pendekatan tersebut benar-benar menerapkan keadilan
restorative justice dalam proses diversi. restorative dalam proses diversi. Sedangkan
Artinya kedua Negara tersebut melibatkan tabel yang menjelaskan mengenai pelaksaan
pelaku, korban, keluarga pelaku dan korban diversi di Indonesia, terlihat hanya melindungi
dan pihak-pihak lain yang berkenptingan kepentingan pelaku dan korban khusu untuk
dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk nilai kerugian diatas UMP dan bukan tindak
pidana ringan.

26 Sumber: UU No. 12 Tahun 2012 tentang SPPA, Juvenile Justice and Welfare Act of 2006 (Republic Act No.
9344) Filiphina, dan Child Act 2001 Malaysia.
27 Marlina, Op.cit., hlm. 23.
274 ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015, Halaman 147-399

Dengan melihat proses diversi dari Menurut Barda Nawawi Arif, usaha
Negara Filiphina dan Malaysia, hal ini dan kebijaksanaan dapat menghasilkan
dapat menjadi sebuah bahan perbandingan suatu ketentuan hukum pidana yang baik
bagi Negara Indonesia untuk memperbaiki pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari
pengaturan proses diversi yang ada dalam tujuan penaggulangan kejahatan dengan
sistem peradilan pidana anak, diversi yang menggunakan pidana (penal). Usaha
bukan hanya mementingkan kepentingan penanggulangan kejahatan dengan hukum
pelaku anak, tetapi juga korban. Oleh karena pidana yang pada dasarnya juga merupakan
itu, penulis ingin membuat formulasi terhadap bagian dari usaha penegakan hukum
aturan yang mengatur diversi dalam Undang- (khususnya dalam penegakan hukum pidana).
Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Oleh karena itu sering pula disebutkan
Indonesia. bahwa kebijakan hukum pidana merupakan
Dalam teori kebijakan hukum pidana, bagian dari kebijakan penagakan hukum (law
Barda Nawawi Arif mengemukakan inforcement policy)30.
hubungan antara penal policy dengan upaya Usaha penaggulangan kejahatan melalui
penanggulangan kejahatan, pencegahan dan pembuatan undang-undang (hukum) pidana
penaggulangan kejahatan harus digunakan pada hakekatnya juga merupakan bagian
dengan pendekatan integral dan ada integral dari usaha perlindungan masyarakat.
keseimbangan antara “penal” dan “non penal”. Dengan demikian seandainya kebijakan
Pencegahan dan pendekatan kejahatan dengan penanggulangan kejahatan (politik kriminal)
sarana “penal” merupakan “penal policy” dilakukan dengan menggunakan sarana
atau “penal law enforcement policy” yang “penal” (hukum pidana), maka kebijakan
fungsionalisasi dan atau operasionalisasinya hukum pidana (penal policy), khususnya
melalui beberapa tahap, yaitu: pada tahap formulasi/kebijakan legislasi yang
a) Formulasi (kebijakan legislative/ merupakan tugas dari aparat pembuat undang-
legislasi) undang (legislatif), harus memperhatikan
b) Aplikasi (kebijakan yudikatif/yudicial)28 dan mengarah pada tercapainya tujuan dari
c) Eksekusi (kebijakan eksekutif/ kebijakan sosial berupa “social welfare”
administrasi)29 (kesejahteraan masyarakat) dan “social
defence” (perlindungan masyarakat).31

28 Tahap aplikasi yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian
sampai pengadilan, yang dapat disebut juga tahap yudikatif, Muladi dalam Maidin Gultom, Perlindungan
Hukum Terhadap Anak, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 17.
29 Tahap eksekusi yaitu tahap perlaksanaan hukum pidana yang dapat disebut juga dengan tahap kebijaksanaan
eksekutis atau administrasi, Ibid.
30 Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.cit., hlm. 29.
31 Barda Nawawi Arif, Kebijakan Legislatif dalam Menaggulangi Kejahatan, Op.cit., hlm. 73-74.
Arfan Kaimuddin, Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Pencurian... 275

Penggunaan teori kebijakan hukum Dasar pijak perspektif restorative justice


pidana pada tahapan formulasi untuk adalah bahwa konsep kejahatan merupakan
merumuskan kembali Pasal 9 ayat (2) perbuatan yang melanggar pertama dan
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana terutama adalah hak perseorangan (yakni
Anak. Karena Pasal tersebut tidak sesuai korban kejahatan).Disamping melanggar
dengan konsep restorative justice, Pasal masyarakat, Negara, dan kepentingan
tersebut tidak melindungi hak-hak korban pelanggar itu sendiri.Jadi, setiap terjadinya
dalam proses diversi untuk kerugian dibawah pelanggaran hukum pidana sesungguhnya ada
UMP dan tindak pidana ringan. Hal ini tentu empat kepentingan yang terkait, yaitu orang
melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar yang terlanggar haknya (korban kejahatan),
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang masyarakat, Negara, dan pelanggar itu
menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak sendiri.Orang yang terlanggar haknya (korban
untuk dapat memperoleh perlindungan hukum kejahatan) adalah sebagai pihak pertama
yang adil serta perlakuan hukum yang sama yang berkepentingan.Oleh sebab itu, sistem
di depan hukum. Penggunaan tahap formulasi peradilan pidana harus mengakses keempat
ini bertujuan mewujudkan kembali apa-apa kepentingan itu dengan menempatkan
yang menjadi hak-hak korban pada proses korban kejahatan sebagai kepentingan yang
diversi, untuk melindungi hak-hak korban utama.33 Van Ness mengkristalisasikan
dalam proses diversi pada tindak pidana yang pondasi utama teori keadilan restorative
kerugiannya dibawah UMP atau tindak pidana justice dalam proposisi: pertama,kejahatan
ringan (termasuk tindak pidana pencurian merupakan konflik utama antara individu
ringan). Formulasi yang dibuat pada dasarnya yang menyebabkan kerugian terhadap korban,
ingin meletakkan Pendekatan keadilan masyarakat, dan pelanggar itu sendiri. Kedua,
restoratif (restorative justice) pada Pasal 9 tujuan harus dicapai dalam proses peradilan
ayat (2) sehingga semua tindak pidana yang pidana harus merekonsiliasi pihak-pihak yang
dilakukan oleh anak baik yang kerugiannya terkait sambil memperbaiki kerugian yang
dibawah UMP maupun untuk tindak pidana diakibatkan oleh suatu kejahatan. Dan ketiga,
ringan, akan diupayakan diversi dengan proses peradilan pidana harus memfasilitasi
pendekatan restorative justice, tidak ada lagi partisipasi aktif para korban, pelanggar dan
diskriminasi terhadap korban tindak pidana masyarakat, tidak semestinya harus didominasi
pencurian ringan. Karena hukum itu melayani/ oleh pemerintah kemudian mengeluarkan
melindungi semua orang tanpa diskriminasi,32 yang lainnya.34 yang disampaikan oleh Van

32 Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Surabaya, 1992, hlm. 121.
33 Rena Yulia, Op.cit., hlm. 190.
34 Ibid., hlm. 191.
276 ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015, Halaman 147-399

ness merupakan hal penting yang harus membedakan ras, agama, jenis kelamin, status
diperhatikan dalam penyusunan sebuah aturan ataupun jumlah kerugian yang diderita korban.
yang mengutamakan pendekatan restorative Kesamaan kedudukan di muka hukum tanpa
justice. Dalam menggunakan pendekatan diskriminasi merupakan asas perlindungan
restorative justice jangan separuh hati, artinya hukum terhadap tindakan melawan hukum
jangan dibeda-bedakan. Misalnya untuk korban yang diperbuat terhadap korban.Hal ini
tindak pidana yang kerugian di bawah UMP diarahkan untuk melindungi korban dari
atau untuk tidank pidana ringan (pencurian perbuatan diskriminasi.38
ringan) tidak perlu dilibatkan dalam proses Dengan adanya Pasal 9 ayat (2) UU SPPA
diversi yang menggunakkan pendekatan ini, negara telah melakukan diskriminasi
restorative justice. UU SPPA seakan masih terhadap warga negaranya sendiri, khususnya
menggunakan separuh pendekatan retirbutif terhadap korban yang kerugiannya dibawah
justice.Karena salah satu cirri pendekatan UMP atau untuk tindak pidana pencurian
retirbutif justice ialah pada posisi korban ringan. Kerugian yang dialami oleh korban
hanya Negara dan tidak mengakui adanya tidak bisa dijadikan patokan untuk sebuah
korban lain, orang yang menderita langsung proses diversi. Artinya, sekecil apapun
karena kejahatan diposisikan sebagai saksi.35 kerugian yang diderita korban, dia tetaplah
Padahal semangat yang diusung UU SPPA pihak yang paling dirugikan.Lagipula,
ialah murni pendekatan restorative justice. kita tidak bisa menilai korban hanya dari
Perlu diketahui bahwa ada hal penting nominalnya saja. Hal itu sungguh mencederai
yang seakan dilupakan oleh penyusun UU rasa keadilan bagi korban, kerugian dengan
SPPA, yakni asas persamaan dimuka hukum. nominal yang sama belum tentu dampak yang
Hal termuat di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang- dirasakan sama pula. Hal ini dikarenakan
Undang Pokok Kehakiman dan juga di dalam tidak semua orang mempunyai kekuatan
KUHAP, penjelasan umum butir ke tiga.36 Di ekonomi yang memadai (mampu). Contohnya
dalam pasal-pasal tersebut menjadi pedoman seorang buruh yang menjadi korban tindak
tidak hanya untuk mengadili dimuka sidang, pidana pencurian dengan kerugian sebesar
tetapi juga dimulai dari taraf penyelidikan.37 Rp.500.000 (lima ratus ribuh rupiah) tentu
Bekerja hukum diharapkan dengan tidak akan sangat berbeda dampaknya apabila yang
membeda-bedakan orang tanpa kecuali, tanpa menjadi korban tersebut merupakan anggota

35 Ibid., hlm. 188.


36 KUHAP, Butir ke 3: “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan
pembedaan perlakuan”.
37 Maya Indah, Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi, Kencana Prenadamedia
Group, Jakarta, 2014, hlm. 147.
38 Ibid.
Arfan Kaimuddin, Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Pencurian... 277

DPR. Bagi anggota DPR, nominal tersebut seorang tersangka ialah bersentuhan dengan
belum cukup untuk biaya bensinya sebulan, aparat kepolisian.39
tetapi bagi buruh itu sudah mampu untuk Oleh karena itu aturan mengenai diversi
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya beserta ini harus benar-benar mengutamakan
keluarganya untuk beberapa hari kedepan. kepentingan pelaku anak dan juga korban.Jika
Jadi untuk mendapat proses diversi aturannya sudah dapat menjamin kepentingan
yang ideal pada tindak pidana pencurian korban dan pelaku, penyidik (kepolisian)
ringan yang dilakukan oleh anak yakni dapat lebih mudah untuk melakukan upaya
dengan mereformulasi Pasal 9 ayat (2) diversi.Seperti contoh kasus yang dipaparkan
UU SPPA menjadi: “Untuk memperoleh pada bagian awal, pihak penyidik mengambil
kesepakatan pada proses diversi, diwajibkan sebuah kebijakan untuk mengikutsertakan
untuk memperoleh persetujuan dari korban, korban dalam kasus tindak pidana pencurian
terkecuali untuk tindak pidana yang berupa ringan, pahal hal tersebut tidak tertuang atau
pelanggaran dan tindak pidana tanpa korban”. diatur dalam UU SPPA.Namun dengan dasar
Penanggulangan kejahatan dengan untuk melindungi pelaku anak dan sebagai
menggunakan sarana hukum pidana secara antisipasi pihak penyidik agar pelaku anak
prosedural akan dimulai dari tingkat tidak menjadi korban luapan emosional pihak
kepolisian, baik sebagai penyelidik maupun korban karena kecewa dengan keputusan
sebagai penyidik. Artinya, penanggulangan kepolisian melakukan diversi.Melihat
kejahatan dengan menggunakan saran hukum kebijakan yang diambil oleh pihak penyidik
pidana selalu dimulai dari tingkat kepolisian. (Polres Batu), itu membawa dampak besar
Sebagai bagian dari sub-sistem peradilan yaitu pelaku anak mendapat perlindungan
pidana kepolisian merupakan lembaga hukum extra. Dengan demikian penyelesaian yang
yang mempunyai kewenangan yang begitu melibatkan anak sebagai pelaku berpeluang
luas dalam hal terjadinya kejahatan. Kepolisian besar untuk selesai pada tingkatan peyidikan
juga sebagai lembaga yang mengawali dan pelaku anak dapat sejauh mungkin
bekerjanya system peradilan pidana. Sebgai dijauhkan dari sistem peradilan pidana.
lembaga hukum yang mengawali bekerjanya
system peradilan pidana, kinerja kepolisian Simpulan
sangat menentukan arah penegakkan hukum Berdasarkan hasil dalam pembahhasan
pidana. Di tangan lembaga inilah pelaku yang telah diuraikan diatas, maka kesimpulan
tindak pidana akan memulai diperiksa sebagai yang dapat dikemukakan guna menjawab
tersangka. Dengan demikian pengalaman rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
pertama dalam proses peradilan pidana bagi

39 Koesno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika oleh Anak,
UMM Press, Malang, 2009, hlm. 111.
278 ARENA HUKUM Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015, Halaman 147-399

1. Dasar pembentukan Pasal 9 ayat (2) korban tidak ingin berpartisipasi, diversi
Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang tetap akan dijalankan.
SPPA ialah: pertama,jikapersetujuan 2. Setelah melakukan perbandingan Proses
atau izin korban dan keluarga itu dicari, diversi antara Indonesia dengan Negara
maka akan memperkecil peluang pelaku Filiphina dan Malaysia, maka untuk
anak untuk memperoleh diversi. Kedua, mencapai bentuk ideal dalam proses
sulitnya pencapaian diversi apabila diversi pada tindak pidana pencurian
harus meminta persetujuan korban ringan yang dilakukan oleh anak di
dan akan terjadi diskriminasi terhadap Indonesia ialah dengan melakukan
ABH yang berasal dari keluarga kurang sebuah kebijakan formulasi pada Pasal
mampu. Ketiga, dalam Undang-Undang 9 ayat (2) Undang-Undang No. 11 tahun
ini (UU SPPA) semangat kita bukan 2012 tentang SPPA menjadi:
memenjarakan anak dalam proses pidana. “Untuk memperoleh kesepakatan
Apabila harus meminta persetujuan pada proses diversi, diwajibkan untuk
korban, harus ada parameternya memperoleh persetujuan dari korban,
(angka kerugiannya). Keempat, pada terkecuali untuk tindak pidana yang
proses diversi korban harus diberikan berupa pelanggaran dan tindak pidana
kesempatan untuk berpartisipasi. Apabila tanpa korban”

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Adi Kusno, 2009, Diversi Sebagai Upaya Romli Atmasasmita, 1992, Teori dan Kapita
Alternatif Penanggulangan Tindak Selekta Kriminologi, Refika Aditama,
Pidana Narkotika Oleh Anak, UMM Surabaya.
Pres, Malang. Maya Indah, 2014, Perlindungan Korban
Barda Nawawi Arif, 1996, Kebijakan Suatu Perspektif Viktimologi dan
Legislatif dalam Penanggulangan Kriminologi, Kencana Prenadamedia
kejahtan dengan Pidana Penjara, Group, Jakarta.
Universitas Diponegoro, Semarang. Dikdik M Arif Mansur dan Gultom Elisatris,
Arif Barda Nawawi, 2008, Bunga Rampai 2006, Urgensi Perlindungan Korban
Kebijakan Hukum Pidana, Kencana, Kejahatan Antara Norma dan
Jakarta. Realita, Rajawali Pers, Jakarta.
Arfan Kaimuddin, Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Pencurian... 279

Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Peraturan Perundang-undangan


Indonesia,Refika Aditama, Medan. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Indonesia tahun 1945.
Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Ilmu, Surabaya. Kitab Undang-undang Hukum
Abintoro Prakoso, 2013, Kriminilogi dan Pidana.
Hukum Pidana, Laksbang Grafika, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Jember. Kitab Undang-undang Hukum
Wagiati Soetedjo dan Melani, 2013, Hukum Acara Pidana.
Pidana Anak, Refika Aditama, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
Bandung. tentang Sistem Peradilan Pidana
Rena Yulia, 2009, Viktimologi Perlindungan Anak.
Hukum Terhadap Korban Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang
Kejahatan, Graha Ilmu, Bandung. Perlindungan Saksi dan Korban.
Bambang Waluyo, 2011, Viktimologi Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Korban dan Saksi, Hak Asasi Manusia.
Sinar Grafika, Jakarta. Juvenile Justice and Welfare Act of 2006
(Republic Act No. 9344) Filiphina.
Naskah Internet Child Act 2001 Malaysia.
Van der Schaar, Kemiskinan di Indonesia, Perma Nomor 2 tahun 2012 tentang
http://indonesia-investments.com. Penyesuaian Batasan Tindak Pidana
Ringan dan Jumlah Denda dalam
KUHP.

You might also like