You are on page 1of 15

JURNAL PSIKOLOGI

VOLUME 41, NO. 2, DESEMBER 2014: 190 – 204

Konsep Diri Remaja Jawa saat Bersama Teman


Sartana1, Avin Fadilla Helmi2
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada

Abstract. The aim of the study was to formulate a theory about Javanese adolescent self-
concept in relation with friends. The subjects of this research were three Javanese adolescents,
two girls and one boy. Data were collected through in-depth interviews and observation and
were analyzed with the so-called grounded theory approach. The results of this study indicated
that Javanese adolescents interprets himself as plural selves, hierarchical interdependent and
altered. Individuals have a lot of selves that represent their relationships with others. The
selves are composed with each other in a hierarchical relationship. In a particular time, an
individual activates one only of their selves. The self-activation process goes with the principle
of "if ..., then ...". After recognizing their friends and situations, individuals will compare and
evaluate themselves then choosing and activating one particular self to adjust with a
particular friend and situation. When Javanese adolescents are with their friends, they do not
think much about physical aspect, they become themselves and feel equal, accepted,
understood and trusted as a good person. Such self-viewing makes an individual tend to go
through positive feelings and comfort being around friends.
Keywords: self-concept, self-adjustment, adolescents, Javanese, friends

Abstraks. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan teori mengenai konsep diri remaja
Jawa saat bersama teman. Subjek penelitian ini adalah remaja beretnis Jawa, dua perempuan
dan satu laki-laki. Data diambil dengan wawancara mendalam dan observasi. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan pendekatan grounded theory. Hasil penelitian ini menun-
jukkan bahwa remaja Jawa menafsirkan dirinya sebagai diri yang jamak, bersifat interde-
penden hirarkhis dan fluktuatif. Individu memiliki banyak diri, namun dalam satu waktu
mereka hanya mengaktivasi salah satu dirinya. Proses pengaktivasian diri berlangsung
dengan prinsip “jika..., maka...”. Subjek memulai menyesuaikan diri dengan mengenali teman
dan situasi, kemudian membandingkan dan mengevaluasi diri, individu kemudian memilih
serta mengaktivasi diri yang sesuai. Saat bersama teman subjek tidak banyak berfikir tentang
fisik, menjadi diri sendiri, merasa setara, diterima, dimengerti, dan dipercaya, sebagai orang
yang baik. Pandangan diri demikian menyebabkan subjek cenderung mengalami perasaan
positif dan betah bersama teman.
Kata kunci: konsep diri, penyesuaian diri, remaja, Jawa, teman

Konsep diri merupakan salah satu


1 dan diri sering dianggap sebagai inti dari
konsep dalam psikologi yang paling struktur jiwa (Crisp & Turner, 2007; Jung
banyak diteliti selama beberapa dekade dalam Zinkin, 2008), pusat dunia sosial,
terakhir (Martin, Sugarman & (Baron & Byrne, 2003), serta penentu uta-
Hickinbottom, 2010; Myers, 2012). Hal ini ma persepsi, emosi, motivasi dan tindakan
disebabkan konsep diri merupakan kon- seseorang (Baron & Byrne, 2003; Crisp &
sep penting dalam menjelaskan perilaku, Turner, 2007; Deaux & Wrightsman, 1984;
Jopling, 2000; Markus & Kitayama, 1991;
1 Korespondensi mengenai isi artikel ini dapat dila- Sedidikes & Skowronksi, 1997).
kukan melalui: arstana@gmai.com
2 Atau melalui: avinpsi@ugm.ac.id

190 JURNAL PSIKOLOGI


SARTANA & HELMI

Cara individu menafsirkan diri me- tergantung dengan orang lain, tidak kon-
nentukan persepsi, pikiran, perasaan serta sisten serta terikat pada konteks.
tindakan mereka (Liu & Li, 2009; Markus Diri pada orang-orang Asia Timur
& Kitayama, 1991). Gambaran diri negatif menggambarkan dirinya terkait dengan
dapat menimbulkan perasaan negatif dan peran-peran sosial dan keanggotaan mere-
tindakan destruktif (Suls & Marco, 1991), ka dalam kelompok sosial. Aspek-aspek
serta ketakutan sosial pada situasi tertentu identitas diri lebih cair (Cousins, 1989;
(Stopa, 1999). Hal ini tercermin dari Rhee, Uleman, Lee, & Roman, 1995) dan
penelitian Pangestuti (2011) pada remaja individu cenderung lebih banyak mema-
di Jawa, konsep diri moral negatif berhu- sukkan respons-respons yang bersifat
bungan dengan perilaku bullying. sosial, konkret dan bersifat situasional
Penelitian-penelitian tentang diri yang daripada responsden yang tumbuh
terkini mengarah pada kesimpulan bahwa dengan budaya Barat (Choi, Nisbett, &
diri seseorang bersifat relasional, sese- Norenzayen, 1999). Hwang (2000) juga
orang memahami dirinya terhubung menyatakan bahwa pada masyarakat
dengan orang-orang penting dalam hidup- kolektivis seperti China, diri dipandang
nya (significant others) (Andersen & Chen, sebagai pusat jejaring sosial dalam situasi
2002; Chen, Boucher, & Kraus, 2011). Diri tertentu. Orang lain selalu ada sebagai
seseorang bersifat jamak, yang merefleksi- bagian dari lingkaran konsentris medan
kan aneka relasi mereka dengan orang- psikis seseorang. Hal ini merupakan
orang sekitarnya (Andersen, Chen, & dampak pandangan filosofis masyarakat
Miranda 2002; McConnel, 2007). China yang cenderung melihat dunia
Walaupun diri bersifat jamak, dalam dalam tatanan yang holistik.
satu waktu tertentu individu hanya meng- Aspek budaya sangat penting untuk
operasionalkan sebagian dari total konsep- dipertimbangkan ketika mengkaji tentang
si-konsepsi dirinya (Chen, dkk., 2011) dan konsep diri. Hwang (2000) menyatakan
tergantung situasinya (Kashima, Kashima, bahwa diri masyarakat kolektivis perlu
Farsides, Kim, Strack, Werth, & Yuki, 2004; dikaji sebagai diri relasional, yaitu diri
Kunda, 1999). Penelitian Nurius dan individu terkait relasi mereka dengan
Markus (1990) menunjukkan bahwa indi- orang lain. Ho dan Chiu (dalam Hwang,
vidu yang membayangkan dirinya sukses 2000) menambahkan bahwa kajian diri
cenderung mendeskripsikan dirinya de- relasional tersebut diantaranya terfokus
ngan gambaran diri positif, sementara pada kajian mengenai diri individu pada
individu yang membayangkan penga- berbagai konteks hubungan.
laman gagal lebih banyak menggambar- Masyarakat Jawa sendiri juga sering
kan dirinya secara negatif. digolongkan sebagai masyarakat dengan
Diri berkaitan dengan aspek budaya. budaya kolektivis (Mikarsa, 2007). Kolekti-
Markus dan Kitayama (1991) menyatakan visme tersebut diantaranya dapat dilihat
bahwa pada masyarakat individualis indi- dari pandangan hidup dan nilai yang
vidu cenderung menafsirkan dirinya seba- didukung oleh masyarakat Jawa, seperti
gai diri yang independen, yaitu diri yang nilai rukun, hormat (Suseno, 1999), tole-
tunggal, stabil dan terpisah dari konteks. ransi (Anderson, 2003), kekeluargaan,
Sebaliknya, pada masyarakat kolektivis tenggang rasa, dan sebagainya. Kolektivi-
individu menafsirkan dirinya sebagai diri tas orang Jawa juga dapat dilihat dari
interdependen, yang terhubung dan saling istilah atau peribahasa yang menonjol

JURNAL PSIKOLOGI 191


KONSEP DIRI, REMAJA JAWA

dalam khasanah kesusasteraan masyara- banyak menghabiskan waktu bersama


kat Jawa, seperti gotong royong, mangan ra teman-temannya daripada bersama orang
mangan kumpul, atau rukun agawe santosa, tua atau orang dewasa lain (Goede, dkk.,
atau guyup rukun. 2009; Brown & Klute, 2003; Dijkstra &
Namun demikian, sejauh ini masih Veenstra, 2011; Nurmi, 2004; Steinberg,
jarang kajian-kajian tentang konsep diri 2011). Hasil penelitian Csikszenmihalyi
pada masyarakat Jawa yang mempertim- dan Larson (1984) menunjukkan bahwa
bangkan kekhasan budaya tersebut. Kaji- selama masa remaja jumlah waktu yang
an-kajian yang dilakukan masih banyak remaja bersama orang tua menurun, dari
yang mendasarkan pada asumsi-asumsi 25% pada masa remaja awal menjadi 15%
tentang diri yang diimpor dari Barat. pada masa remaja akhir.
Orang Jawa dianggap memiliki diri yang
tunggal, independen, statis dan kurang Metode
peka terhadap konteks. Sementara ketika
merujuk pada pandangan Markus dan Penelitian ini menggunakan metode
Kitayama (1991), masyarakat yang memi- kualitatif dengan pendekatan grounded
liki budaya kolektivis seperti masyarakat theory. Pilihan untuk menggunakan pen-
Jawa cenderung menafsirkan dirinya seba- dekatan grounded theory didasarkan pada
gai diri yang interdependen. Penelitian tujuan penelitian ini yang berusaha meru-
Supratiknya (2006) pada mahasiswa yang muskan sebuah konstruk teori berdasar-
berasal dari suku Dayak, Ambon, China, kan pada data yang dikumpulkan (Strauss
Sunda, Bali, Betawi, dan Flores mendu- & Corbin, 1990).
kung anggapan tersebut. Mahasiswa yang Penelitian melibatkan tiga subjek, dua
beretnis Jawa cenderung menafsirkan diri- perempuan dan satu laki-laki. Mereka
nya lebih interdependen dibanding de- semua beretnis Jawa, dengan rentang usia
ngan mahasiswa yang berasal dari suku antara 15 sampai 17 tahun. Semua subjek
lain. masih duduk di bangku Sekolah Mene-
Penelitian ini bertujuan untuk meng- ngah Atas (SMA). Pengambilan sampel
eksplorasi lebih dalam mengenai konsep dilakukan dengan teknik purposive
diri orang Jawa. Khususnya merumuskan sampling. Peneliti memilih subjek dengan
sebuah konstruk teoritis mengenai konsep melihat kriteria-kriteria mereka sesuai de-
diri remaja Jawa saat bersama teman. ngan tujuan penelitian. Untuk pemilihan
Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam subjek selanjutnya digunakan “snowball
penelitian ini peneliti menggunakan sampling”, yaitu dengan peneliti meminta
pendekatan grounded theory. Pemilihan subjek sebelumnya untuk merekomendasi-
remaja sebagai subjek penelitian tersebut kan calon subjek selanjutnya. Jumlah sub-
didasarkan pada anggapan banyak ahli jek yang hanya tiga orang dianggap
psikologi perkembangan bahwa soal memadai untuk penelitian ini yang meng-
identitas diri merupakan isu penting pada gunakan pendekatan grounded theory.
tahap perkembangan ini. Masa remaja Karena menurut Strauss dan Corbin (1990)
merupakan masa bagi individu untuk yang lebih ditekankan pada penelitian
membentuk ulang dirinya (Hurlock, 1999; kualitatif adalah keterwakilan konsep,
Mönks, Knoers & Haditono, 1998). Pada bukan keterwakilan jumlah individu yang
masa remaja individu juga mengalami terlibat dalam penelitian. Dengan demi-
perubahan orientasi sosial. Remaja lebih kian, untuk memenuhi tuntutan tersebut,

192 JURNAL PSIKOLOGI


SARTANA & HELMI

dalam penelitian ini peneliti berusaha psikologis ketika subjek mengaktivasi kon-
menggali seluas dan sedalam mungkin sep dirinya saat bersama teman. Meskipun
informasi dari subjek penelitian ini, masing-masing subjek memiliki ciri yang
sehingga ditemukan konsep-konsep yang khas terkait proses tersebut, namun nam-
merepresentasikan realitas yang terjadi pak bahwa ada pola umum yang hampir
pada subjek. sama diantara mereka.
Pengambilan data penelitian dilaku- Terkait konsep diri, subjek penelitian
kan dengan wawancara mendalam dan ini menunjukkan bahwa keseluruhan sub-
obervasi. Metode wawancara yang dilaku- jek merasa menjadi orang berbeda ketika
kan adalah jenis wawancara semi terstruk- bersama orang berbeda. Sebagai contoh,
tur. Dalam arti, peneliti melakukan wa- ketika bersama guru subjek menganggap
wancara dengan menggunakan pedoman kedudukan dirinya di bawah mereka, se-
umum wawancara. Masing-masing subjek hingga subjek menganggap dirinya harus
diwawancara tiga sampai empat kali. bersikap sopan, hormat dan patuh. Semen-
Observasi dilakukan dengan mengamati tara itu ketika bersama teman subjek
subjek pada konteks ruang dan waktu merasa kedudukannya setara, sehingga
yang relevan dengan penelitian. mereka merasa lebih leluasa serta dapat
Analisis data pada penelitian dengan tampil apa adanya. Berikut contoh pernya-
pendekatan grounded theory dilakukan taan subjek saat menggambarkan diri
lewat pengkodingan data. Proses pengko- pada konteks berbeda tersebut.
dingan pada dasarnya merupakan proses Kalau sama orang tua kan nggak boleh
penguraian, konseptualisasi serta penge- blak-blakan tho. Harus pakai attitude,
lompokan kembali data dengan cara yang pakai tahapan, pakai sopan santun, pakai
baru. Pengkodingan tersebut dilakukan apa gitu. Jadi kurang leluasa. Sementara
dalam tiga tahap, yaitu proses pengko- kalau sama teman ya tinggal ngomong
dingan terbuka (open coding), peng- apa adanya, jadi lebih leluasa. Jadi lebih
kodingan berporos (axial coding), dan merasa tidak takut dalam mengutarakan
pengkodingan selektif (selective coding). pendapat. Tidak takut dimarahin.
Tahapan-tahapan ini secara gradual dapat
Kalau sama teman kan tidak harus
menghubungkan elemen-elemen yang
menghormati seperti bersama guru atau
ditemukan dalam penelitian, sehingga
orang yang lebih tua. Menghormati ya
secara keseluruhan mereka dapat mem-
menghormati, tetapi istilahnya ya lebih
bentuk sebuah rumusan teori yang diha-
bebas
rapkan (Strauss & Corbin, 1990).
Secara khusus, pada masing-masing
teman yang sifat dan karakternya bera-
Hasil
gam. Sebagian dari mereka ada yang lebih
Penelitian ini menemukan beberapa toleran, suka membantu, sabar, suka ber-
tema yang menggambarkan konsep diri canda, dan banyak bicara. Sementara seba-
remaja Jawa saat bersama teman, proses gian teman yang lain lebih temperamental,
aktivasinya, faktor yang mempengaruhi, pendiam, atau tertutup. Subjek mengaku
serta dampaknya pada perilaku mereka. mempertimbangkan karakteristik masing-
Secara keseluruhan tema-tema tersebut masing teman tersebut sebelum dirinya
terkait satu sama lain dan secara bersama- memunculkan diri yang sesuai.
sama menjelaskan mengenai dinamika

JURNAL PSIKOLOGI 193


KONSEP DIRI, REMAJA JAWA

Anang ini menurut saya, ya mengerti nggak egois. Ya, mereka kan bisa diper-
dengan keadaan teman. Dia toleransinya caya gitu...
besar. Toleransi, misalnya dalam hal aga-
Selain memperhatikan karakteristik
ma... Kemudian orangnya sering mbantu
teman yang cenderung menetap, subjek
juga. Orangnya paling baik lah menurut
juga mempertimbangkan kondisi teman-
saya. Kalau sama Asnawi sering bercanda
nya saat interaksi berlangsung. Subjek
dan sabar. Andito itu orangnya juga se-
juga berusaha mengenali suasana hati,
ring bercanda. Terus kalau diajak kemana-
emosi, serta gerak-gerik perilaku teman-
mana itu orangnya langsung mau gitu
nya. Mereka akan tampil sebagai orang
Subjek menampilkan diri berbeda tertentu tergantung respons dan kondisi
pada konteks berbeda dipengaruhi oleh temannya yang dihadapi. Sebagai contoh,
faktor dari dalam diri maupun dari luar. ketika temannya sedang murung, mereka
Faktor dari dalam tersebut diantaranya akan berusaha untuk tidak mengganggu.
harapan, perasaan, dan pandangan subjek Sebaliknya, ketika temannya sedang se-
mengenai dirinya sendiri. Subjek menam- nang subjek juga akan tampil ceria.
pilkan diri berbeda karena mereka ber- Misalnya, lagi murung, mukanya lagi
harap hubungan dirinya dengan teman- bete gitu, tidak mungkin aku nggodain
temannya dapat tetap terpelihara. Mereka kayak gitu.... Kalau misalnya aku merasa
juga ingin memiliki kesan positif, ingin mereka lagi butuh diriku, ya aku berusaha
diterima, mendapat kesan positif, agar untuk menghibur mereka gitu. Ya,
lebih dekat, dihargai, serta karena takut begitulah saya.
menyinggung perasaan teman.
Tidak hanya kondisi teman, ketika
Yang jelas kita harus tetap menjaga pera-
mengaktivasi diri subjek juga berusaha
saan mereka aja gitu. Jangan sampai kita
memperhatikan dan mempertimbangkan
bikin mereka tersinggung sama kita.
situasi disekitarnya. Ketika berada pada
Maksudnya kita ngajakin bercanda itu, situasi berbeda mereka juga memberi
biar kita ke teman itu bisa jadi lebih dekat perhatian dan menampilkan diri berbeda.
gitu lho... Sebagai contoh, subjek berusaha menam-
Kita berpenampilan kayak gitu tho itu pilkan diri berbeda antara saat mereka
biar teman itu mandangnya kita tidak berinteraksi di sekolah dengan di rumah.
yang negatif kayak gitu. Memunculkan Ketika bersama teman-teman di sekolah
kesan yang baik lah... mereka banyak memperhatikan aspek diri
akademis, sementara saat bersama teman
Subjek juga mempertimbangkan ka- di rumah mereka kurang memperhatikan
rakteristik teman yang dihadapi ketika aspek diri tersebut, namun lebih banyak
menampilkan diri. Mereka menyadari memperhatikan aspek diri yang lain.
bahwa teman-temannya memiliki k yang
Ya, kita merasa sebagai orang berbeda
berbeda satu sama lain, misalnya soal usia,
mas. Kalau di sekolah kan misalnya dia
minat, kepribadian atau asal sekolah.
memberikan penilaian di bidang akademik,
Kesadaran demikian mendorong mereka
kalau di rumah kan nggak tahu mas
untuk menyesuaikan diri dengan cara
teman-teman. Jadi, rasanya beda.
yang berbeda-beda
Konsep diri subjek saat bersama
Menurutku sih mereka baik. Yang jelas
teman juga dipengaruhi oleh nilai dan
tuh, mau ngerti orang. Peduli. Sama
norma budaya. Subjek merasakan adanya

194 JURNAL PSIKOLOGI


SARTANA & HELMI

nilai dan norma sosial yang menuntut Proses ketika subjek mengubah-ubah
dirinya berlaku tertentu pada orang lain. diri tersebut merupakan bagian dari usaha
Hal itu nampak dari cara mereka berhu- mereka untuk menyesuaian diri. Tahapan
bungan dengan orang yang lebih muda penyesuaian diri tersebut nampak dimulai
dan yang lebih tua. Ketika subjek bersama dengan subjek berusaha mengenali karak-
orang yang lebih tua mereka merasa diri- teristik teman. Mereka berusaha menafsir-
nya harus lebih menghormati atau sopan kan harapan, suasana hati, perasaan, serta
dalam ukuran tertentu. Mereka merasa pandangan teman terhadap dirinya. Pe-
harus mengatur sikap, tutur kata, perbuat- ngenalan tersebut memungkinkan subjek
an serta penampilanya sehingga terlihat untuk menemukan kesamaan dan perbe-
pantas. Sementara ketika bersama teman, daan dirinya dengan temannya, seperti
subjek merasa tidak memiliki keharusan- soal umur, bakat, minat dan aktivitasnya.
keharusan serupa. Subjek merasa kedu- Ya kita memahami dulu karakter-karakter
dukan dirinya dan temannya sejajar. Kare- mereka, kalau sudah memahami terus kita
na kedudukan demikian, subjek dapat menyesuaikan penilaian-penilaian kita
berhubungan dengan mereka secara lebih terhadap teman, menyesuaikan perilaku-
leluasa dan apa adanya. Dalam arti, subjek perilaku kita agar sesuai dengan keingin-
merasa tidak harus menghormati atau ber- an teman gitu mas...
buat sopan seperti halnya ketika ia sedang
bersama orang yang lebih tua. Adanya Subjek menyakini bahwa temannya
tuntutan demikian oleh subjek dimaknai juga melakukan hal serupa. Hal demikian
sebagai peran hidup yang tinggal ia jalani yang menyebabkan mereka dapat mene-
dan itu muncul sendiri dalam pikirannya. mukan kesesuaian satu sama lain. Subjek
mempertimbangkan sifat, karakter, suasa-
Kan orang Jawa itu kan harus bisa menja-
na hati, harapan, sikap, dan perilaku
ga sopan santun tho, jadinya sama orang
teman yang lain. Dalam hal keterbukaan
yang lebih tua ya bilang ‘Mbak’ kek, sama
misalnya, subjek selalu berusaha mengim-
teman yang lebih muda ya bilang ‘Dik’
bangi keterbukaan teman dengan membu-
kek...
ka dirinya. Ketika temannya menceritakan
Jadi kayaknya nggak mikir, ya perasan itu pengalaman tertentu, subjek juga berusaha
sudah muncul sendirilah. Muncul sendiri, menceritakan pengalaman serupa pada
sikap ke orang tua, sama ke teman itu temannya. Hal ini yang menyebabkan
gimana. Perasaan itu ya sudah kayak nge- subjek merasa dekat dengan temannya.
bimbing sendirilah...
Saya mengetahui sifat teman-teman dan
Kalau di teman kan sudah saling menge- teman-teman juga mengetahui sifat-sifat
nal. Terus lebih bebas. Perasaan malu dah saya. Ya, istilahnya ada penyesuaian gitu
nggak ada. Tapi kalau di tengah guru kan mas. Jadi kalau sifatnya ini, ini. Kalau
nggak mengenal bagaimana karakter teman ini nggak suka ini, ya kita tidak
guru-guru itu kan. Sedang kita kan seba- melakukan itu...
gai murid kan kalau orang Jawa bilang
harus “ngajeni” sama guru. Harus meng- Dalam proses itu, subjek juga memba-
hormati, sama guru. Jadinya seperti itu. yangkan kemungkinan yang akan dimun-
Hya, kalau sama guru kan nggak bisa culkan teman ketika dirinya memuncul-
seenaknya” kan sikap atau perilaku tertentu. Adanya
simulasi dalam pikiran mengenai interaksi
yang mereka jalani tersebut memungkin-

JURNAL PSIKOLOGI 195


KONSEP DIRI, REMAJA JAWA

kan subjek untuk menampilkan diri yang ia dinasihati, ditegur, dimintai pendapat
sesuai saat bersama teman, sehingga atau ditunjuk untuk melakukan aktivitas
harapan-harapannya terlaksana. Dengan tertentu.
teman yang sudah lama kenal subjek Ya saya menjadi orang yang biasa saja.
dapat saling dengan mudah menyesuai- Tampil sebagai aku apa adanya. Begini ya
kan satu sama lain. Hal itu terjadi karena begini saja...
mereka sudah dapat membayangkan
respons yang akan ditampilkan temannya. Pengalaman yang saya rasakan saat
bersama mereka ngomong sama saya itu
Ya, kalau sama teman ya membayangkan
nyambung. Terus saya ngerasa mereka
konsekuensi-konsekuensi je mas. Misalnya
nggak mudah tersinggung. Jadi ya saya
kalau ada teman yang agak temperamen
merasa nyaman saja kalau lagi ngobrol-
atau apa, ya sikapnya lebih gimana ya,
ngobrol sama mereka gitu. Seneng. Terus
kalau guyon atau berbicara ya nggak bikin
hampir sama pengalaman mereka, jadi
emosi. Ya, istilahnya seperti itu. Ya mem-
yang mungkin dekat, senang, aman, nya-
perhatikan karakter teman-teman itu.
man, nggak takut gitu...
Ya, saya juga membayangkan seperti itu.
Subjek juga merasa lebih bebas saat
Ya usaha saya ya menyesuaikan, kalau
bersama teman. Mereka bicara apa saja
saya begini teman-teman akan begini...
tanpa takut salah atau dimarahi. Hal itu
Proses tersebut penyesuaian diri terjadi karena ketika bersama teman me-
dipuncaki dengan subjek mengaktivasi reka merasakan lebih longgar dalam hal
diri yang sesuai dengan sifat teman, situasi etis. Mereka tidak harus bersikap hormat
yang dihadapi, serta nilai dan norma pada teman, sebagaimana mereka harus
budaya. Hal itu yang menyebabkan subjek hormat pada orang tua.
mengalami dirinya sebagai orang yang
Ya, merasa bebasnya ya pas bercanda.
berbeda saat bersama teman. Selain itu,
Kalau ngomong yo sak karepe dewe. Kalau
subjek juga akan memunculkan perilaku
sama teman kan tidak harus menghormati
yang sesuai dengan karakter teman yang
seperti bersama guru atau orang yang
dihadapi.
lebih tua. Menghormati ya menghormati,
Mereka berbeda-beda karakternya. Kalau tetapi istilahnya ya lebih bebas...
saya ya menyesuaikan karakter orangnya
mas. Kalau dia bercanda agak sulit ya Di luar itu, subjek juga menggambar-
saya hanya ngobrol biasa. Terus, misalnya kan diri mereka dengan atribut-atribut diri
kalau pemarah ya saya bercanda lebih negatif di samping deskripsi yang positif
yang nggak terlalu menyinggung, meng- Misalnya, subjek menggambarkan dirinya
hormati. Kalau orangnya yang sabar, ka- sebagai orang yang cerewet, tidak mau
lau yang bisa diajak bercanda ya bercanda mengalah, dan tidak sabaran. Sementara
gambaran diri yang positif diantaranya
Proses penyesuaian diri tersebut yang mereka menggambarkan dirinya sebagai
menyebabkan subjek memiliki diri yang orang yang baik, humoris, peduli, dapat
khas saat bersama teman. Secara psikis, dipercaya, dewasa, dan tegas. Subjek juga
subjek merasa nyaman, bebas, dan dapat lebih memilih menggambarkan dirinya
tampil apa adanya. Mereka merasa se- dengan atribut diri negatif karena
nang, tidak sungkan, enak, dekat, dan menurut mereka orang lain yang lebih
aman. Subjek juga merasa diterima, dime- cocok untuk memberikan penilaian positif
ngerti, dan dipedulikan. Misalnya ketika pada dirinya.

196 JURNAL PSIKOLOGI


SARTANA & HELMI

Emang kalau aku punya kelebihan yang Kalau soal fisik, menurutku sih biasa saja
positif itu biar orang yang menilai aku, sih. Saya merasa nyaman dengan dengan
jangan aku yang menilai diri aku sendiri diri saya sendiri...
gitu. Takutnya nanti kan bersikap kayak
Yang penting penampilan kan sopan.
gitu...
Yang penting kalau aku itu...
Secara sosial, subjek menjadi orang
Secara moral, subjek mengaku dirinya
yang lebih terbuka serta banyak bercanda
sebagai orang yang baik. Mereka selalu
saat bersama teman. Mereka sering men-
berusaha untuk menjaga perasaan teman,
ceritakan pengalaman dan masalah yang
tidak membuat kecewa, serta berbuat se-
dihadapi. Subjek merasa nyambung ketika
suatu sesuai dengan unggah-ungguh, etika.
bercerita dengan temannya, karena teman-
Mereka juga berusaha untuk berempati
nya banyak memiliki pengalaman yang
terhadap kondisi teman dan dapat mem-
sama dengan dirinya. Waktu bersama te-
bantu ketika temannya membutuhkan.
man juga banyak mereka habiskan dengan
saling bercanda untuk menyegarkan sua- Menurut saya, ya dia memandang saya
sana. Hal demikian mereka lakukan kare- sebagai orang yang baik. Ya, baik dalam
na mereka merasa aman dan lebih leluasa hal sifat misalnya ya mas. Saya kan nggak
saat bersama teman. Selain itu juga karena istilahnya nggak pemarah gitulah mas
subjek juga merasa diterima apa adanya kalau sama teman. Ya biasa saja. Lebih
oleh temannya. damai gitu...

Sementara kalau sama teman ya tinggal Sebagai dampak dari emosi yang
ngomong apa adanya, jadi lebih leluasa. cenderung positif, subjek menjadi merasa
Jadi lebih merasa tidak takut dalam meng- senang dan betah menghabiskan waktu
utarakan pendapat. Tidak takut dimarahin bersama teman-temannya. Mereka mela-
kukan beragam aktivitas bersama, seperti
Karena kita memiliki pengalaman yang
bercerita, bercanda, bermain, atau belajar.
sama, sehingga kayaknya nyambung saja
Subjek mengaku bahwa ada beberapa akti-
kalau kita cerita...
vitas yang biasa dilakukan saat bersama
Menurut saya, mereka itu bisa menerima teman, diantaranya bercerita, ngobrol,
keadaan saya yang emang saya begini. bercanda, bermain, belajar bersama, dan
Dan kita saling percaya gitu... jalan-jalan.
Subjek mengaku ketika bersama te- Ya, lebih banyak ngobrol-ngobrol tadi. Ya,
man mereka tidak banyak bepikir tentang teman kan melakukan itu kan hanya
fisik dan penampilan, terutama saat bersa- sebatas bercanda gitu kan mas...
ma teman dekat. Pandangan demikian Paling cuma cerita-cerita. kalau sama
muncul karena subjek menganggap te- teman ya ceritanya lebih spesifik-spesifik
man-temannya tidak menjadikan aspek gitu. Misalnya ya ngobrol tentang hal-hal
fisik dan penampilan sebagai aspek yang yang alami, tentang sekolah, ya seperti
penting untuk diperhatikan. Teman-te- itu...
mannya dapat menerima dirinya apa ada-
nya. Hal itu menyebabkan subjek merasa Aku memang orangnya kayak gitu, susah
biasa saja, nyaman, dan percaya diri. diem kalau sudah sama teman dekat...

JURNAL PSIKOLOGI 197


KONSEP DIRI, REMAJA JAWA

Pengalaman positif yang dialami re- pikiran atau keyakinan yang dimiliki indi-
maja Jawa saat bersama-sama teman- vidu mengenai dirinya sendiri (Bordens &
temannya tersebut nampak yang menjadi- Horowitz, 2008). Konsep diri mencakup
kan mereka menghabiskan waktu bersama pengetahuan, pengharapan serta penilaian
teman-teman. Keseluruhan subjek peneli- individu terhadap dirinya sendiri
tian ini mengaku bahwa mereka mengha- (Calhoun & Acocella, 1990). Penelitian ini
biskan sebagian besar waktu mereka ber- menunjukkan bahwa diri remaja Jawa
sama teman, baik ketika di sekolah mau- bersifat jamak, interdependen, dan dina-
pun di rumah. Lebih dari itu, mereka juga mis. Dalam ketunggalannya sebagai indi-
lebih memilih untuk menceritakan masa- vidu mereka memiliki banyak diri.
lah-masalah pribadi mereka pada teman Masing-masing diri tersebut menggambar-
dekat dibanding kepada orang tua atau kan kumpulan makna yang dimiliki indi-
guru di sekolah. vidu mengenai dirinya terkait relasinya
dengan orang-orang sekitar. Konsep diri
sering disebut juga sebagai diri relasional.
Diskusi
Diri-diri rasional tersebut secara akumu-
Berdasarkan temuan penelitian di latif membentuk diri global individu.
atas, dirumuskan beberapa proposisi yang Secara khusus, remaja Jawa meng-
mempertegas anggapan-anggapan yang gambarkan hubungan dirinya dengan
disimpulkan dari olahan data temuan orang lain dalam relasi saling tergantung
penelitian ini. Beberapa proposisi tersebut (interdependent). Dalam arti, individu akan
kemudian diintegrasikan satu sama lain, memunculkan diri tertentu tergantung
sehingga secara keseluruhan membangun orang yang dihadapi. Hal ini yang me-
sebuah konstruk teoritis mengenai konsep nyebabkan diri subjek bersifat dinamis. Ia
diri remaja Jawa saat bersama teman. selalu berubah dari satu konteks ke kon-
Gambaran umum konstruk teori tersebut teks yang lain. Saat subjek bersama orang
dapat disederhanakan lewat Gambar 1. berbeda, mereka juga menunjukkan diri
Konsep diri dapat didefinisikan orga- berbeda.
nisasi dari keseluruhan ide-ide, pikiran-

Lingkungan sosial & Kondisi Psikis


Kultural Individu

Konsep
Konsep diri jamak
Diri Jamak
Karakteristik Diaktivasi lewat proses Konsep diri
Teman penyesuain diri dengan bersama teman
prinsip
“Jika..., Maka...”

Situasi Sementara Perilaku


Bersama Teman

Gambar 1. Dinamika Konsep Diri Remaja Saat Bersama Teman

198 JURNAL PSIKOLOGI


SARTANA & HELMI

Sifat diri yang jamak tersebut terjadi dang dan menempatkan dirinya dalam
karena diri seseorang merupakan hasil jejaring sosial dengan orang lain. Orang
konstruksi kognitif dan sosial (Harter, Jawa secara etis dituntut untuk bisa tepo
1999). Konsep diri merupakan cerminan seliro, berempati atau menempatkan diri
dari realitas sosial yang diresapi individu. pada posisi orang lain. Hal itu dilakukan
Ia terbentuk dari hasil pemaknaan indi- untuk menjaga perasaan orang lain, se-
vidu mengenai diri mereka sendiri terkait hingga konflik terbuka yang dapat meru-
hubungannya dengan orang lain sak keharmonisan hidup dapat dihindari.
(Andersen, dkk., 2002; McConnel, 2007). Keterhubungan dengan orang lain
Karena remaja Jawa berhubungan dengan tersebut juga berangkat dari ketakutan
banyak orang dengan beragam karakteris- subjek untuk terlihat menonjol di tengah
tik, sehingga mereka juga memiliki banyak orang-orang sekitar. Mereka takut teman-
diri merefleksikan aneka hubungan terse- temannya akan tidak suka ketika dirinya
but. tampil berbeda dari yang lain. Sehu-
Temuan ini menunjukkan bahwa diri bungan dengan hal itu, Suseno (1999)
orang Jawa lebih bersifat sosial daripada mengungkapkan bahwa hal demikian
individual. Dalam arti, individu cende- lazim terjadi pada orang Jawa. Ketakutan
rung menggambarkan dirinya terkait orang Jawa untuk menonjolkan diri di
dengan orang-orang sekitar daripada tengah lingkungan sosialnya, terjadi kare-
merujuk pada dirinya sendiri. Mereka na bagi mereka penonjolan diri dapat
menjadikan orang lain sebagai cermin menjadi ancaman bagi kehidupan masya-
sekaligus bahan untuk memaknai dan rakat yang harmonis.
membentuk dirinya. Hal ini yang menye- Lebih lanjut Suseno (1999) menutur-
babkan orang-orang yang sering berinte- kan bahwa, bagi orang Jawa kehormatan
raksi bersama cenderung memiliki konsep dan kebanggaan harus dibagi bersama
diri yang hampir sama. kepada orang-orang sekitar. Karena kalau
Sementara sifat diri interdependen tidak, ia akan sangat rawan bagi muncul-
nampak mencerminkan realitas kultural nya sikap iri atau rasa tidak suka dari
yang diresapi subjek, yaitu budaya Jawa. orang lain. Selain itu, pujian bagi seseo-
Masyarakat Jawa cenderung melihat dunia rang tidak boleh datang dari diri sendiri,
sebagai yang utuh dan serasi (Suseno, tetapi ia harus disematkan oleh orang lain.
1999). Terkait hal itu, Suseno (1999) meng- Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
ungkapkan bahwa ada dua nilai penting subjek berusaha menggambarkan diri
yang menjadi rujukan hidup sosial orang dengan atribut-atribut diri negatif karena
Jawa, yaitu rukun dan hormat. Rukun mereka tidak ingin terlihat menonjol. Hal
menyiratkan sebuah cara bertindak yang demikian memungkinkan kehidupan so-
mengandung usaha secara terus menerus sial yang harmonis atau hidup yang rukun
untuk bersikap tenang satu sama lain dan bersama orang lain dapat terus terjaga.
menghindari hal-hal yang memungkinkan Temuan ini juga sejalan dengan pan-
terjadinya perselisihan. dangan Markus dan Kitayama (1991)
Tuntutan untuk hidup rukun menye- tentang pengaruh budaya pada cara indi-
babkan konsep diri remaja Jawa bersifat vidu menafsirkan diri. Mereka menyakini
interdependen. Hal itu terjadi karena bahwa individu yang tumbuh pada buda-
untuk mencapai hidup yang rukun secara ya kolektivis, seperti masyarakat Jawa,
psikis individu dituntut untuk meman- cenderung memandang dirinya sebagai

JURNAL PSIKOLOGI 199


KONSEP DIRI, REMAJA JAWA

diri yang interdependen, sensitif konteks Secara khusus, penelitian ini menun-
dan berubah antar situasi. Sebaliknya, jukkan bahwa konsep diri remaja Jawa
masyarakat individualis cenderung meng- tersusun dari diri yang bersifat dinamis
gambarkan dirinya sebagai diri yang maupun yang relatif statis. Munculnya diri
independen, lepas dari konteks, tunggal, demikian mencerminkan realitas yang
dan statis. diresapi subjek. Bahwa realitas sosial ter-
Sementara itu, nilai hormat menggam- bangun dari komponen-komponen yang
barkan sebuah tuntutan pada masyarakat relatif stabil di satu sisi, hingga yang
untuk memberikan penghargaan pada paling mudah berubah (meleable) pada
orang lain sesuai tempatnya di masyara- ujung yang lain. Peran sosial, nilai dan
kat. Dalam kehidupan sehari-hari, masya- norma budaya, kebiasaan, karakter dan
rakat Jawa memwujudkan nilai tersebut kepribadian teman adalah beberapa reali-
lewat praktik unggah-ungguh dan tata tas sosial yang relatif stabil. Mereka meru-
krama, yaitu aturan-aturan mengenai ke- pakan unsur-unsur yang membangun
sopanan sosial. Prinsip tersebut menuntut bagian konsep diri subjek yang relatif
individu agar bisa menempatkan diri mapan. Sementara itu, suasana hati, kebu-
secara tepat (empan papan) dalam tatanan tuhan individu, lingkungan fisik dan
sosial yang ada. situasi sosial adalah beberapa realitas so-
sial yang cenderung berubah secara
Keharusan untuk bersikap hormat
fluktuatif. Mereka adalah unsur realitas
tumbuh berakar pada pandangan hidup
sosial yang membentuk bagian konsep diri
masyarakat Jawa yang menyakini bahwa
subjek menjadi relatif dinamis.
individu-individu dalam masyarakat ter-
susun secara hierarkhis. Meskipun masya- Adanya diri yang dinamis dalam
rakat Jawa tidak ada sistem kasta sebagai- struktur diri jamak subjek tersebut yang
mana kasta pada masyarakat India, akan menyebabkan diri individu senantiasa
tetapi mereka memiliki sesuatu yang me- berubah. Pada suatu waktu tertentu indi-
nyerupai gagasan murni kasta (Anderson, vidu hanya mengoperasionalkan sebagian
2003). Sikap hormat merupakan bentuk dari dirinya yang dinamis tersebut. Proses
usaha kolektif masyarakat untuk meles- ini merupakan proses mental yang melan-
tarikan tatanan nilai tersebut. dasi individu menjadi orang yang berbeda
ketika berada pada situasi berbeda. Subjek
Kewajiban remaja Jawa untuk meme-
menyebut proses aktivasi diri tersebut
lihara prinsip hormat tersebut menyebab-
sebagai proses penyesuaian diri.
kan sifat interdependen diri remaja Jawa
bersifat khas, yaitu interdependen hirar- Proses pengativasian diri yang dilaku-
khis. Mereka menafsirkan dirinya terhu- kan remaja Jawa berlangsung tersebut
bung dengan orang lain dalam tatanan secara transaksional, dengan mengguna-
yang berjenjang. Ketika bersama orang kan prinsip “jika..., maka...”. Jika subjek
lain, mereka cenderung untuk memban- berada pada situasi tertentu yang menun-
dingkan dirinya dengan orang lain, se- tutnya untuk menampilkan diri tertentu,
hingga mereka menemukan dirinya lebih maka mereka berusaha mengaktivasi diri
rendah, setara, atau lebih tinggi dibanding yang sesuai dengan tuntutan situasi terse-
orang bersangkutan. Hal itu mereka laku- but. Namun demikian, mereka terlebih
kan untuk menentukan bentuk penghor- dahulu menegosiasikan tuntutan-tuntutan
matan yang harus mereka wujudkan pada tersebut dengan dorongan dan tuntutan
orang yang dihadapi. dari dalam diri dengan merujuk pada

200 JURNAL PSIKOLOGI


SARTANA & HELMI

prinsip di atas. Jika mereka menampilkan bebas dan leluasa untuk tampil apa
diri tertentu, maka telah mempertim- adanya. Secara sosial, remaja menganggap
bangkan konsekuensi yang bakal mereka dirinya merasa setara, dekat, diterima,
tanggung. Pada setiap situasi mereka serta merasa tidak harus menghormati
berusaha menemukan diri yang paling teman sebagaimana halnya ketika mereka
sesuai, yaitu diri yang memiliki konse- bersama orang dewasa. Secara moral,
kuensi paling menguntungkan ketika mereka merasa sebagai orang baik yang
diaktivasi. Dalam arti, dengan pengaktiva- senantiasa berusaha menjaga perasaan
sian diri tersebut harapan-harapan subjek teman.
dapat terpenuhi secara maksimal. Jenis diri yang diaktivasi subjek terse-
Proses pengaktivasian diri yang dila- but mempengaruhi perasaan yang mereka
kukan remaja Jawa berlangsung dalam alami. Ketika proses penyesuaian diri
tahapan-tahapan yang sudah terpola. memfasilitasi subjek untuk menjadi diri-
Tahapan pengaktivasian diri diawali de- nya sendiri, maka subjek akan merasa
ngan subjek berusaha mengenali teman nyaman. Ketika proses sebaliknya yang
dan situasi yang dihadapi. Kemudian sub- berlangsung, maka subjek dapat merasa
jek berusaha mengevaluasi dan memban- malu, takut, atau sungkan. Namun demi-
dingkan diri, sehingga mereka dapat kian, secara umum ketika bersama teman
menentukan kedudukan dirinya diantara remaja Jawa merasa dirinya dapat tampil
teman-temannya. Kesadaran mengenai apa adanya, sehingga mereka cenderung
kedudukan sosialnya tersebut memicu mengalami perasaan positif. Mereka mera-
subjek untuk mengaktivasi pengetahuan sa nyaman. Perasaan nyaman tersebut
diri terkait tuntutan dan harapan sosial subjek akui mencakup beberapa perasaan
yang relevan dengan kedudukannya terse- lain, seperti merasa dekat, dimengerti,
but. diterima, bebas, aman, senang, dan merasa
Tahap selanjutnya, subjek memba- nyambung dengan temannya. Perasaan
yangkan dan mensimulasikan dalam yang cenderung bervalensi positif tersebut
pikiran beberapa diri yang dapat mereka menyebabkan remaja Jawa menjadi orang
aktivasi beserta konsekuensinya. Pada yang lebih terbuka, suka bercerita,
tahap ini, prinsip “jika..., maka...” mereka mengobrol, bermain, belajar, bercanda dan
terapkan. Subjek mempertimbangkan hu- merasa betah melakukan beragam aktivi-
bungan sebab akibat antara diri yang tas bersama teman.
mereka aktivasi dengan konsekuensi yang Setelah mengaktivasi salah satu kon-
bakal dialami. Subjek memiliki pilihan diri sep dirinya, subjek mendapatkan umpan
yang beragam beserta masing-masing balik (feed back) dari teman yang dihadapi.
konsekuensinya. Namun akhirnya mereka Umpan balik tersebut menjadi masukan
dapat menemukan diri yang mereka baru baginya, sehingga ia mempengaruhi
anggap paling sesuai atau yang paling jenis diri yang mereka tampilkan selanjut-
menguntungkan untuk diaktivasi. nya. Proses demikian menyebabkan kon-
Proses penyesuaian diri tersebut me- sep diri remaja Jawa menjadi konstruk
nyebabkan remaja Jawa memiliki konsep yang bersifat cair, berubah terus menerus
diri khusus saat bersama teman. Mereka secara sirkuler, mengikuti perubahan
mengaku bahwa dirinya sebagai orang situasi, harapan subjek, maupun respons
tidak banyak berfikir tentang fisik dan yang dimunculkan lingkungan sosial di
penampilan. Secara psikis, subjek merasa sekitarnya.

JURNAL PSIKOLOGI 201


KONSEP DIRI, REMAJA JAWA

Kesimpulan Pada suatu waktu tertentu subjek


hanya mengaktivasi sebagian dari diri
Konsep diri remaja terlihat mencer- jamaknya. Proses itu mereka sebut sebagai
minkan realitas sosial yang diakrabi sese- proses penyesuaian diri. Proses penyesu-
orang. Isi, sifat, valensi, dan struktur diri aian diri berlangsung secara transaksional
subjek sejalan dengan pemaknaan indi- dengan menggunakan prinsip “jika...,
vidu terhadap beragam realitas sosial dise- maka..”. Dengan prinsip tersebut remaja
kitarnya. Interaksi remaja Jawa dengan Jawa berusaha untuk mengaktivasi diri
banyak orang denga karakter yang bera- yang paling sesuai atau yang paling meng-
gam menyebabkan remaja Jawa memiliki untungkan dirinya pada situasi yang
diri yang jamak. Di sisi lain, realitas sosial bersangkutan.
yang selalu berubah, diri seseorang juga
Proses penyesuaian diri menyebabkan
terdiri dari komponen diri yang relatif
remaja Jawa memiliki diri khusus saat
statis maupun yang dinamis. Komponen
bersama teman. Mereka merasa dapat
diri demikian yang menyebabkan mereka
tampil apa adanya, tidak banyak berfikir
cenderung menjadi orang yang sama antar
tentang fisik, dimengerti, dipercaya, dan
situasi, sekaligus menjadi orang yang
diterima. Mereka juga berusaha menjadi
berbeda pada masing-masing situasi.
teman yang baik. Pandangan yang positif
Remaja Jawa mengalami dirinya sebagai
terhadap diri tersebut menyebabkan
diri yang cair dan selalu berubah secara
remaja cenderung mengalami emosi posi-
fluktuatif
tif, sehingga mereka merasa betah meng-
Remaja Jawa juga cenderung menaf- habiskan waktu bersama teman.
sirkan dirinya sebagai diri yang interde-
penden. Secara khusus, interdependensi
diri mereka tersebut bersifat hirakhis. Kepustakaan
Mereka menempatkan relasi dirinya de- Andersen, S. M., & Chen, S. (2002). The
ngan orang lain terhubung dalam tatanan relational self: An interpersonal social
yang berjenjang. Dalam arti, remaja Jawa cognitive theory. Psychological Review,
cenderung menempatkan dirinya lebih 109, 619–645.
rendah, sama, atau lebih tinggi dibanding
Andersen, S. M., Chen, S., & Miranda, R.
orang yang dihadapi.
(2002). Significant others and self. Self
Konsep diri remaja Jawa yang cende- and Identity, 1, 159-168.
rung interdependen hirarkhis terbentuk
Anderson, B. R. O’G. (2003). Mitologi dan
merefleksikan dua nilai penting yang
toleransi orang Jawa. Yogyakarta:
diyakini orang Jawa, yaitu nilai rukun dan
Bentang Budaya.
hormat. Tuntutan pada subjek untuk
menjaga kerukunan menjadikan diri mere- Baron, R. A., & Byrne, D. (2003). Psikologi
ka sebagai diri yang interdependen. Sosial. Alih Bahasa: Ratna Djuwita.
Sementara tuntutan untuk bersikap hor- Jakarta: Penerbit Erlangga.
mat pada orang lain menuntut mereka Borden, S. K., & Horowitz, A.(2008). Sosial
untuk senantiasa peka pada kedudukan Psychology, 3th Edition. New York: The
dirinya di tengah orang sekitar, sehingga Free Press.
karenanya mereka terkondisi untuk meli- Brown, B. B., & Klute, C. (2003). Friend-
hat relasi dirinya dengan orang lain tertata ships, cliques, and Crowds. InGerald
dalam susunan yang hirarkhis. R. Adams & Michael D. Berzonsky

202 JURNAL PSIKOLOGI


SARTANA & HELMI

(Eds.) Blackwell handbook of ado- and friends. Journal Youth Adolescence,


lescence. Oxford: Blackwell Publishing 38, 1304-1315.
Ltd. Harter, S. (1999). The Construction of the self
Calhoun,J. F., & Acocella, J. R. (1990). in everyday life. New York: Anchor
Psikologi tentang penyesuaian dan Books.
hubungan kemanusiaan. Edisi ketiga. Hurlock, E. B. (1999). Psikologi perkem-
Alih bahasa: R.S. Satmoko. Semarang: bangan: suatu pendekatan sepanjang
Penerbit IKIP Semarang Press. rentang kehidupan. Alih Bahasa: Istiwi-
Chen, S., Boucher, H., & Kraus, M. W. dayanti dan Soedjarwo. Editor:
(2011). The relational self. In S. J. Ridwan Max Sijabat. Edisi kelima.
Schwartz, K. Luyckx, & V. L. Vignoles Jakarta: Erlangga.
(Eds.), Handbook of Identity Theory and Hwang, K. K. (2000). Chinese rela-
Research (pp. 149-175). New York: tionalism: Theoretical construction
Springer. and methodological considerations.
Choi, I., Nisbett, R. E., & Norenzayan, A. Journal for the Theory of Social Behavior,
(1999). Causal attribution across cul- 30(2), 155-178.
tures: Variation anduniversality. Psy- Jopling, D. A. (2000). Self-knowledge and the
chological Bulletin, 125, 47-63. self. New York: Routledge.
Coob, N. J. (2000). Adolescence: continuity, Kashima, Y.. Kashima, E., Farsides, T.,
change, and diversity. Califronia: May- Kim, U., Strack, F, Werth, L., & Yuki,
field Publishing Company. M. (2004). Culture and contex-sensi-
Crisp, R. J., & Turner, R. N. (2007). tive self: The amount and meaning of
Essential Social Psychology. London: context-sensitive of phenomenal self
Sage Publications Ltd. differ across culture. Self and Identity,
Cousins, S. D. (1989). Culture and selfhood 3, 125-141, doi:
in Japan and the U.S. Journal of 10.1080/13576500342000095.
Personality and Social Psychology, 56, Kunda, Z. (1999). Social cognition: Making
124–131. Sense of people. Massachusetts: MIT
Csikszenmihalyi, M., & Larson, R. (1984). Press.
Being adolescent: Conflict and growth in Liu, C. J., & Li, S. (2009). Contextualized
the teenage years. New York: Basic. self: When the self runs into social
Deaux, K., & Wrighstman, L.S. (1984). dilemmas. International Journal of Psy-
Social Psychology in the 80s. 4th edition. chology, 44(6), 451-458.
Monterey, California: Brooks/Cole Pangestuti, R. D. (2011). Konsep diri
Publishing Company. pelaku bullying pada siswa SMP N Y
Dijkstra, J. K., & Veenstra, R. (2011). Peer di Jawa (Tesis tidak dipublikasikan).
Relations. In B. Bradford Brown. & Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mitchell J. Prinstein (Eds.). Encycople- Mada.
dia of adolescent. London: Elsevier Inc. Prihartanti, N. (2004) Kepribadian sehat
Goede, I. H. D., Branje, S. J. T., Delsing, M. menurut konsep Suryomentaram. Sura-
J. M. H., & Meeus, W. H. J. (2009). karta: Muhammadiyah University
Lingkages over time between ade- Press.
lescents’ relationships with parents Markus, H. R., & Kitayama,Y. (1991).
Culture and the self: Implications

JURNAL PSIKOLOGI 203


KONSEP DIRI, REMAJA JAWA

cognition, emotion, and motivation. tions and ethnic identities in indivi-


Psychological Review, 98, 224-250. dualistic and collectivistic cultures.
Martin, M., Sugarman, J. H., & Journal of Personality & Social Psycho-
Hickinbottom, S. (2010). Persons: logy, 69, 142–152.
Understanding Psychological Selfhood. Sedikides, C., & Skowronski, J. J. (1997).
New York: Springer. The symbolic self in evolutionary
McConnell, A. R., & Strain, L. M. (2007). context. Personality and Social Psycho-
Content and structure of the self- logy Review, 1(1), 80-102.
concept. In C. Sedidikes & S. Spencer Steinberg, L. (2011). Adolescence. 9th
(Eds.) The Self in Social Psychology (pp edition. New York: McGrawHill.
51-73). New York: Psychology Press. Stopa, L. (2009). Reconceptualizing the
Mikarsa, L. H. (2007) Indonesia. Dalam J. J. self. Cognitive and Behavioral Practice,
Arnett (Ed). International encyclopedia 193(7) 1-7, doi:10.1016/j.cbpra.2008.
of adolescence (pp. 459-468). New York: 11.001.
Taylor and Francis Group, LLC. Suseno, F. (1999). Etika Jawa: Sebuah analisa
Mönks, F. J., Knoers, A. M. P., & Haditono, falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa.
S. R. (1998). Psikologi Perkembangan: Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.
Pengantar in berbagai bagiannya. Yog- Suls, J., & Marco, C. (1991). The Self. In
yakarta: Gadjah Mada University R.M. Baron, W.G. Graziano, dan C.
Press. Stangor (Eds.). Social Psychology (pp
Myers, D. G. (2012). Exploring social 69-107). Forth Worth: Holt, Rinehart
psychology,6th edition.New York: The and Winston, Inc.
McGraw-Hill Companies, Inc. Supratiknya, A. (2006). Konstrual Diri di
Nurius, P. S., & Markus, H. (1990) Situa- Kalangan Mahasiswa. Insan, 8(2), 89-
tional variability in the self-concept: 99.
appraisals, expectancies, and asym- Strauss, A. L., & Corbin, J. (1990). Basics of
metries. Journal of Social and Clinical qualitative research : Grounded theory
Psychology, 9(3), 316-333. procedures and Techniques. Newbury
Nurmi, J. E. (2004). Socialization and self Park: Sage Publication.
development: Channeling, selection, Suseno, F. (1999). Etika Jawa: Sebuah ana-
adjustment, and reflection inLerner, lisa falsafi tentang kebijaksanaan
R.M. & Steinberg, L. (Editor) Handbook hidup Jawa. Jakarta: Gramedia
of adolescent psychology. Georgia: John Pustaka Umum.
Wiley & Sons, Inc.
Zinkin, L. (2008). Your Self: did you find it
Rhee, E., Uleman, J. S., Lee, H. K., Roman, or did you make it?. Journal of
R. J. (1995). Spontaneous self-descrip- Analytical Psychology, 53, 389–406.

204 JURNAL PSIKOLOGI

You might also like