You are on page 1of 9

Media Peternakan, April 2008, hlm. 44-52 Vol. 31 No.

1
ISSN 0126-0472
Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005

Penentuan Aktivitas Biologis Tanin Beberapa Hijauan secara


in Vitro Menggunakan ’Hohenheim Gas Test’ dengan
Polietilen Glikol Sebagai Determinan

A. Jayanegara a & A. Sofyan b


a
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor
Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga Bogor 16680, e-mail: anu_jayanegara@yahoo.com
b
Bagian Pakan dan Nutrisi Ternak, Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia LIPI
(Diterima 12-09-2007; disetujui 17-01-2008)

ABSTRACT

Leaves from trees are alternative source of forage for ruminant’s feed. However,
most of the leaves contain high concentration of phenolic compounds, especially in the
form of tannins. This experiment was aimed at quantifying biological activity of tannins
using in vitro gas production method without and with the addition of polyethylene glycol
(PEG). The leaves used in this experiment was Salix alba, Rhus typhina and Peltiphyllum
peltatum. Several rumen fermentation variables, such as organic matter digestibility (OMD),
metabolizable energy (ME) and total VFA production were measured. The results showed
that crude protein, NDF and hemicellulose contents of S. alba leaves were the highest,
while there was no difference in ADF content from the others. Biological activity of tannins
in S. alba, R. typhina and P. peltatum were 0.7%, 45.7% and 122.6%, respectively. There
was a significant correlation between total phenols and tannins’ biological activity (r=0.70;
P<0.05), whereas no significant correlation was found for total tannins and condensed
tannins. It was concluded that the addition of PEG increased in vitro gas production,
organic matter digestibility, metabolizable energy and total VFA production after 24 hours
incubation period.

Key words: tannins, PEG, in vitro, fermentation, Hohenheim gas test

PENDAHULUAN pada saat produksi HMT konvensional dari


jenis rerumputan dan leguminosa rendah.
Salah satu penyebab rendahnya Namun demikian kebanyakan dedaunan
produktivitas ternak ruminansia di negara tersebut mengandung senyawa fenolik dalam
tropis seperti Indonesia adalah kurang konsentrasi yang tinggi, khususnya dalam
memadainya kuantitas maupun kualitas pakan bentuk senyawa tanin (Makkar & Becker,
yang diberikan. Dedaunan yang berasal dari 1998).
pohon merupakan salah satu alternatif yang Tanin merupakan salah satu senyawa
dapat dijadikan sumber hijauan makanan metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman
ternak (HMT), khususnya di musim kemarau dan disintesis oleh tanaman. Tanin tergolong

44 Edisi April 2008


JAYANEGARA & SOFYAN Media Peternakan

senyawa polifenol dengan karakteristiknya Analisis aktivitas tanin yang mudah dan
yang dapat membentuk senyawa kompleks sederhana sangat diperlukan khususnya bagi
dengan makromolekul lainnya. Tanin dibagi negara-negara berkembang. Salah satu analisis
menjadi dua kelompok yaitu tanin yang mudah aktivitas tanin yang mudah dan sederhana
terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin adalah melalui inaktivasi tanin menggunakan
yang mudah terhidrolisis merupakan polimer polietilen glikol (PEG) yang efeknya diukur
gallic atau ellagic acid yang berikatan ester melalui produksi gas kumulatif secara in vitro
dengan sebuah molekul gula, sedangkan tanin (Makkar, 2005; Bueno et al., 2008). Penelitian
terkondensasi merupakan polimer senyawa ini bertujuan untuk mengukur aktivitas biologis
flavonoid dengan ikatan karbon-karbon tanin tanpa atau dengan penambahan PEG
(Waghorn & McNabb, 2003; Westendarp, pada dedaunan dari tumbuhan Salix alba, Rhus
2006). typhina dan Peltiphyllum peltatum. Selain
Kemampuan tanin untuk membentuk itu, diamati pula pengaruh penambahan PEG
kompleks dengan protein berpengaruh negatif terhadap beberapa peubah fermentasi rumen
terhadap fermentasi rumen dalam nutrisi ternak secara in vitro.
ruminansia. Tanin dapat berikatan dengan
dinding sel mikroorganisme rumen dan dapat MATERI DAN METODE
menghambat pertumbuhan mikroorganisme
atau aktivitas enzim (Smith et al., 2005). Materi
Tanin juga dapat berinteraksi dengan protein
yang berasal dari pakan dan menurunkan Materi yang digunakan dalam penelitian
ketersediaannya bagi mikroorganisme rumen ini antara lain: dedaunan dari tumbuhan S. alba,
(Tanner et al., 1994). Keberadaan tanin di sisi R. typhina dan P. peltatum; medium inkubasi
lain berdampak positif jika ditambahkan pada cairan rumen-buffer dengan komposisi 630
pakan yang tinggi akan protein baik secara ml larutan buffer bikarbonat, 315 ml larutan
kuantitas maupun kualitas. Hal ini disebabkan mineral makro, 0,16 ml larutan mineral mikro,
protein yang berkualitas tinggi dapat terlindungi 1,6 ml larutan 0,4% resazurin, 945 ml air
oleh tanin dari degradasi mikroorganisme terdestilasi, 60 ml larutan pereduksi dan 660 ml
rumen sehingga lebih tersedia pada saluran cairan rumen (Makkar et al., 1995); polietilen
pencernaan pasca rumen. Kompleks ikatan glikol (PEG; bobot molekul 6000, Merck No.
tanin-protein kemudian dapat lepas pada 817007); tabung in vitro; dan water bath.
pH rendah di abomasum dan protein dapat
didegradasi oleh enzim pepsin sehingga asam- Metode
asam amino yang dikandungnya tersedia bagi
ternak. Hal ini menjadikan tanin sebagai salah Inkubasi in vitro. Sampel hijauan dikeringkan
satu senyawa untuk memanipulasi tingkat dalam oven bersuhu 60 oC, digiling dan disaring
degradasi protein dalam rumen. menggunakan alat penyaring berukuran 1
Analisis senyawa tanin sangat diperlu- mm. Sampel diinkubasi in vitro berdasarkan
kan untuk mengkuantifikasi keberadaan dan metode Menke et al. (1979) yang dimodifikasi
aktivitas tanin pada HMT serta pengaruhnya oleh Blümmel et al. (1997). Sebanyak 380 mg
terhadap ternak ruminansia. Beberapa metode sampel diinkubasikan ke dalam medium berupa
analisis tanin yang tersedia diantaranya adalah cairan rumen-buffer dengan dan tanpa adanya
menggunakan spektrofotometer (Inoue & PEG. Cairan rumen diambil pada pagi hari dari
Hagerman, 1988; Hartzfeld et al., 2002), sapi Friesian Holstein berfistula sebelum diberi
HPLC (Makkar, 2003) dan metode kapasitas makan. Setelah koleksi, cairan rumen dibawa
presipitasi protein (Hoffmann et al., 2002). ke laboratorium, disaring dengan saringan

Edisi April 2008 45


Vol. 31 No. 1 PENENTUAN AKTIVITAS

nilon berukuran 100 μm dan ditambahkan fermentasi 24 jam. Kecernaan bahan organik
pada buffer tereduksi. Larutan rumen-buffer dan energi metabolis ditentukan berdasarkan
dijenuhkan dengan gas CO2 selama 10 menit persamaan hasil eksperimen Menke et al.
sebelum dimasukkan ke dalam tabung untuk (1979) pada 24 jam setelah inkubasi berikut:
menjamin kondisi anaerob dalam reaksi.
Sampel dimasukkan ke dalam tabung dan KBO (%) = 4,88 + 0,889 Gas + 0,45 PK +
ditutup dengan piston yang telah dilubrikasi 0,0651 Abu; r2=0,92
dengan vaselin. Sebanyak 40 ml cairan rumen- EM (MJ/kg BK) = 2,20 + 0,136 Gas + 0,057 PK;
buffer dimasukkan ke dalam masing-masing r2=0,94
tabung, kemudian tabung segera dimasukkan (data energi metabolis dikonversi dari satuan
ke dalam water bath bersuhu 39 oC. Produksi MJ/kg BK menjadi kkal/kg BK)
gas diamati pada jam ke-0, 4, 8 12 dan 24
setelah dilakukan inkubasi. Produksi gas in vitro yang diukur setelah
inkubasi 24 jam sangat berkorelasi secara
Rancangan percobaan dan analisis data. stoikiometri dengan produksi total VFA, serta
Percobaan menggunakan rancangan acak berinteraksi secara statistik dengan ada atau
lengkap (RAL) pola faktorial 3 × 2 dengan tidaknya PEG (Getachew et al., 2000). Oleh
jenis hijauan sebagai faktor pertama dan karena itu kandungan total VFA didapatkan
penambahan PEG sebagai faktor kedua. dari persamaan dengan atau tanpa adanya PEG
Masing-masing perlakuan dilakukan ulangan berikut:
sebanyak 3 kali. Perlakuan yang diujikan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: VFA (mmol; tanpa PEG) =
Perlakuan 1: S. alba 0,0239 Gas – 0,0601; r2=0,953
Perlakuan 2: S. alba + PEG (750 mg) VFA (mmol; dengan PEG) =
Perlakuan 3: R. typhina 0,0207 Gas + 0,0207; r2=0,925
Perlakuan 4: R. typhina + PEG (750 mg) (data produksi total VFA dikonversi dari sa-
Perlakuan 5: P. peltatum tuan mmol menjadi mM)
Perlakuan 6: P. peltatum + PEG (750 mg)
Peubah yang diamati dalam penelitian Data yang dihasilkan kemudian diuji
ini adalah: (1) komposisi nutrien hijauan, (2) secara statistik menggunakan sidik ragam
kandungan tanin hijauan (total fenol, total (analysis of variance; ANOVA) dan jika
tanin dan tanin terkondensasi), (3) produksi perlakuan berpengaruh nyata maka dilakukan
gas kumulatif, (4) aktivitas biologis tanin, uji Tukey (Steel & Torrie, 1980).
(5) kecernaan bahan organik (KBO), (6)
energi metabolis (EM), dan (7) kandungan HASIL DAN PEMBAHASAN
asam lemak terbang total (volatile fatty acids;
VFA). Komposisi nutrien hijauan dianalisis Komposisi Nutrien dan Kandungan Tanin
menggunakan analisis proksimat dan serat Hijauan
Van Soest (Van Soest & Robertson, 1985).
Kandungan total fenol dan total tanin dianalisis Hasil analisis komposisi nutrien hijauan
menggunakan metode Folin-Ciocalteu, berdasarkan analisis proksimat dan analisis
sedangkan kandungan tanin terkondensasi serat Van Soest diperlihatkan pada Tabel 1.
dianalisa menggunakan metode butanol- Berdasarkan Tabel 1 di atas terlihat bahwa
HCl (Makkar, 2003). Aktivitas biologis tanin kandungan protein kasar S. alba paling tinggi
ditentukan berdasarkan peningkatan produksi dibandingkan dua jenis hijauan lainnya.
gas in vitro dengan atau tanpa PEG pada waktu Demikian pula dengan kandungan NDF-nya

46 Edisi April 2008


JAYANEGARA & SOFYAN Media Peternakan

Tabel 1. Hasil analisis komposisi nutrien hijauan (%BK)

Peubah S. alba R. typhina P. peltatum


Bahan kering 94,2 93,9 94,0
Bahan organik 90,4 92,2 88,2
Abu 9,0 7,3 11,1
Protein kasar 16,9 14,0 11,3
Lemak kasar 1,7 5,6 2,0
NDF 32,2 22,0 19,1
ADF 18,5 17,4 18,3
Hemiselulosa 13,7 4,6 0,8

paling tinggi. Kandungan ADF ketiga hijauan Hal ini diperkuat oleh penelitian Pitta et al.
relatif tidak jauh berbeda. Ini menunjukkan (2007), McWilliam et al. (2005) dan Moore
bahwa kandungan hemiselulosa, substrat yang et al. (2003) yang mengamati potensi Salix sp.
mudah difermentasi dalam rumen, pada S. sebagai suplemen hijauan ternak ruminansia
alba tinggi secara relatif yang didapatkan dari pada musim kemarau di Selandia Baru.
hasil pengurangan NDF oleh ADF. Komposisi
ini berbeda dengan Moore et al. (2003) yang Produksi Gas in Vitro dan Aktivitas
melaporkan bahwa kandungan protein kasar, Biologis Tanin
NDF dan ADF dari Salix sp. secara berurutan
adalah 11,3%, 47,4% dan 34,3%. Perbedaan Pola peningkatan produksi gas dari
komposisi nutrien yang terdapat dalam hijauan ketiga jenis dedaunan yang difermentasi
dapat bervariasi dikarenakan perbedaan selama 24 jam ditunjukkan pada Gambar
varietas, kondisi lingkungan di mana tanaman 1. Gas yang dihasilkan pada metode ini
tersebut tumbuh, dan umur hijauan tersebut berasal dari fermentasi substrat secara
saat dipanen. langsung (CO2 dan CH4) dan berasal dari
Kandungan total fenol dan total tanin produksi gas secara tidak langsung melalui
hijauan memperlihatkan urutan: R. typhina mekanisme buffering VFA yakni berupa gas
> P. peltatum > S. alba (Tabel 2). Meskipun CO2 yang dilepaskan dari buffer bikarbonat
kandungan total fenol dan total tanin pada yang diproduksi selama proses fermentasi
R. typhina paling tinggi dibandingkan (Getachew et al., 1998). Laju produksi gas
hijauan lainnya, namun kandungan tanin in vitro pada semua perlakuan semakin
terkondensasinya paling rendah. Ini berkurang seiring dengan meningkatnya waktu
mengindikasikan bahwa bentuk tanin yang inkubasi. Hal ini disebabkan substrat yang
dominan terdapat pada hijauan ini adalah jenis dapat difermentasi juga semakin berkurang
tanin terhidrolisis. S. alba mengandung total jumlahnya. Berkurangnya jumlah substrat
fenol dan total tanin yang relatif rendah, dengan yang dapat difermentasi selama masa inkubasi
proporsi tanin terkondensasi yang cukup tinggi. kemudian berdampak pada laju produksi VFA
Berdasarkan komposisi nutrien dan kandungan yang semakin berkurang, sebagai indikasi
tanin di atas, maka S. alba merupakan hijauan menurunnya ketersediaan energi bagi ternak
yang paling potensial dikembangkan sebagai ruminansia (Hungate, 1966; Jayanegara et al.,
hijauan makanan ternak alternatif dibandingkan 2006).
dengan R. typhina ataupun P. peltatum. Produksi gas ketiga hijauan tanpa

Edisi April 2008 47


Vol. 31 No. 1 PENENTUAN AKTIVITAS

Tabel 2. Kandungan total fenol, total tanin dan tanin terkondensasi pada hijauan (%BK)

Tanin
Hijauan Total fenola Total tanina
terkondensasib
S. alba 5,65 3,55 1,45
R. typhina 22,16 20,93 0,08
P. peltatum 20,00 14,68 1,57
Keterangan: a sebagai ekuivalen tannic acid; b sebagai ekuivalen leucocyanidin

penambahan PEG memperlihatkan pola menginaktivasi tanin dengan cara membentuk


yang sangat berbeda antara satu dengan yang kompleks tanin-PEG (Garrido et al., 1991;
lainnya (Gambar 1). S. alba menghasilkan laju Makkar et al., 1995; Getachew et al., 2001).
produksi gas yang tertinggi, kemudian diikuti Oleh karena kapasitasnya yang spesifik dalam
oleh R. typhina dan P. peltatum. Hasil ini sangat mengikat tanin, penambahan PEG dapat
unik mengingat kandungan ADF ketiga jenis membebaskan ikatan makromolekul lainnya
hijauan relatif sama. ADF merupakan fraksi dengan tanin. Tidak berbedanya kandungan
yang sulit didegradasi dan difermentasi oleh ADF ketiga hijauan dan telah diikatnya tanin
mikroba rumen (Reeves, 1985) sehingga jika oleh PEG, maka produksi gas yang dihasilkan
kandungan ADF-nya sama maka produksi gas- relatif sama untuk ketiga jenis hijauan yang
nya pun diperkirakan sama. Ini menunjukkan diujikan.
bahwa ada senyawa lain dalam hijauan R. Produksi gas ketiga hijauan memiliki
typhina dan P. peltatum yang berperan dalam respon yang berbeda ketika ditambahkan
menghambat fermentasi rumen. PEG dari respon awalnya (tanpa ditambahkan
Produksi gas ketiga hijauan ketika PEG). Peningkatan produksi gas dari S.
dilakukan penambahan PEG memperlihatkan alba, R. typhina dan P. peltatum ketika
pola yang sama, dan pada 24 jam setelah ditambahkan PEG secara berurutan adalah
fermentasi menghasilkan produksi gas 0,7%, 45,7% dan 122,6% (Gambar 2). Nilai
kumulatif sekitar 40 ml. PEG merupakan ini juga menunjukkan aktivitas biologis
polimer sintetik non nutritif yang memiliki tanin karena PEG yang ditambahkan hanya
afinitas yang tinggi terhadap senyawa berinteraksi dan mengikat tanin, tidak dengan
fenolik, khususnya tanin, sehingga dapat makromolekul lainnya seperti karbohidrat,

40.0 40.0 40.0


Produksi gas (ml)

Produksi gas (ml)


Produksi gas (ml)

30.0 30.0 30.0

20.0 20.0 20.0

10.0 10.0 10.0

0.0 0.0 0.0


0 5 10 15 20 25 0 5 10 15 20 25 0 5 10 15 20 25

Waktu inkubasi (jam) Waktu inkubasi (jam) Waktu inkubasi (jam)

Salix alba Salix alba + PEG Rhus typhina Rhus typhina + PEG Peltiphyllum peltatum Peltiphyllum peltatum + PEG

Gambar 1. Produksi gas in vitro Salix alba, Rhus typhina dan Peltiphyllum peltatum dengan/tanpa penam-
bahan PEG

48 Edisi April 2008


JAYANEGARA & SOFYAN Media Peternakan

140
122.6
HCl tidak merefleksikan aktivitas biologis
tanin. Hal tersebut didasarkan pada beberapa
Peningkatan produksi gas (%)

120

100
eksperimen yang menunjukkan rendahnya
korelasi antara keduanya. Aktivitas biologis
80
tanin tersebut dianalisa menggunakan metode
60 45.7 kapasitas presipitasi protein. Jayanegara et al.
40
(2008) melaporkan bahwa terdapat korelasi
20
0.7 yang sangat kuat dan signifikan (r=-0,99;
0 p<0,001) antara aktivitas biologis tanin dengan
Salix alba Rhus typhina Peltiphyllum konsentrasi gas metan dalam total produksi
peltatum
gas, sedangkan kandungan total fenol, total
Gambar 2. Aktivitas biologis tanin pada Salix tanin dan tanin terkondensasi memperlihatkan
alba, Rhus typhina dan Peltiphyllum korelasi yang lemah dan tidak signifikan. Ini
peltatum menunjukkan bahwa aktivitas biologis tanin
hijauan dalam rumen lebih memiliki arti secara
fisiologis pada ternak ruminansia dibandingkan
protein maupun lemak. Aktivitas biologis tanin dengan hanya kandungan taninnya dalam
dapat ditentukan dengan melihat perbedaan hijauan.
antara perlakuan yang ditambahkan PEG
dan perlakuan yang tidak ditambahkan PEG Kecernaan Bahan Organik, Energi
(Makkar, 2005; Bueno et al., 2008). Gambar Metabolis dan Produksi Total VFA
2 menunjukkan bahwa aktivitas biologis tanin
dari P. peltatum paling tinggi jika dibandingkan Produksi total VFA yang dihasilkan dari
dengan R. typhina, sedangkan S. alba hampir ketiga jenis hijauan baik dengan atau tanpa
tidak menunjukkan aktivitas tanin. Respon ini PEG berkisar antara 8-22 mM (Tabel 3), sangat
sesuai dengan Muetzel & Becker (2006) yang rendah jika dibandingkan dengan produksi
melaporkan bahwa kandungan dan aktivitas VFA di rumen yang dapat mencapai 150 mM.
biologis tanin pada S. alba sangat rendah, Total VFA dalam rumen yang dihasilkan dari
setelah dikonfirmasi dengan menggunakan hijauan berkisar 50-100 mM dan konsentrat
beberapa metode analisis tanin. berkisar 80-150 mM (Owens & Goetsch, 1988),
Namun demikian hubungan antara sedangkan dari jagung dapat mencapai 156 mM
kandungan tanin hijauan (total fenol, total (Sharp et al., 1982). Nilai produksi VFA rumen
tanin dan tanin terkondensasi) belum tentu yang lebih tinggi dibandingkan total VFA
linier dengan aktivitas biologis tanin. Pada secara in vitro lebih disebabkan pada sistem
penelitian ini hubungan yang linier secara fermentasi rumen yang bersifat continuous,
signifikan hanya didapatkan dari peubah total sehingga memungkinkan mikroba rumen
fenol dengan aktivitas biologis tanin (r=0,70; beradaptasi terhadap pakan yang diberikan
p<0,05), sedangkan total tanin (r=0,51) dan serta lebih mampu dalam mendegradasi pakan
tanin terkondensasi (r=0,22) tidak signifikan (Owens & Goetsch, 1988). Produk fermentasi
pada taraf α=5%. Hal ini disebabkan karena pada teknik in vitro dengan sistem tertutup
struktur tanin sangat kompleks serta sangat terakumulasi dalam sistem, sehingga dapat
bervariasi antara hijauan yang satu dengan berdampak negatif terhadap aktivitas mikroba
hijauan yang lainnya. Khusus untuk kandungan rumen.
tanin terkondensasi, Makkar (2003) menyatakan Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
bahwa kandungan tanin terkondensasi yang terdapat interaksi antara faktor hijauan dan
dianalisis berdasarkan metode butanol- faktor penambahan PEG pada peubah KBO, EM

Edisi April 2008 49


Vol. 31 No. 1 PENENTUAN AKTIVITAS

Tabel 3. Efek penambahan PEG pada S. alba, R. typhina dan P. peltatum terhadap peubah KBO, EM dan
total VFA

Hijauan PEG (mg) KBO (%) EM (kkal/kg BK) Total VFA (mM)
S. alba 0 58,6 ± 0,53 de 2055,2 ± 18,9 cd 22,4 ± 0,34 d
S. alba 750 58,9 ± 2,62 e 2064,3 ± 96,2 d 21,4 ± 1,53 cd
R. typhina 0 44,4 ± 0,40 b 1546,3 ± 13,9 b 13,8 ± 0,25 b
R. typhina 750 54,8 ± 1,12 cd 1925,7 ± 41,8 c 19,8 ± 0,67 c
P. peltatum 0 35,9 ± 1,56 a 1235,8 ± 57,8 a 8,7 ± 1,06 a
P. peltatum 750 54,5 ± 1,04 c 1918,0 ± 37,9 c 20,2 ± 0,60 cd
Keterangan: superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

dan total VFA (P<0,05). Hal ini menunjukkan protein kasar, tinggi hemiselulosa dan rendah
bahwa respon penambahan PEG sangat kandungan serta aktivitas biologis taninnya.
bergantung pada jenis hijauan yang diujikan.
Kecuali pada S. alba, penambahan PEG terlihat KESIMPULAN
meningkatkan secara nyata (P<0,05) KBO, EM
dan produksi total VFA. Peningkatan ini lebih Kandungan protein kasar dan NDF S.
nyata terjadi pada P. peltatum dibandingkan alba paling tinggi dibandingkan dengan R.
dengan R. typhina. Meningkatnya nilai ketiga typhina dan P. peltatum, sedangkan kandungan
peubah tersebut dengan penambahan PEG ADF-nya relatif tidak berbeda. Kandungan
disebabkan terbebasnya makromolekul dari tanin (total fenol dan total tanin) dan aktivitas
tanin dikarenakan tanin berikatan dengan biologis tanin S. alba sangat rendah berdasarkan
PEG yang afinitasnya lebih kuat dibandingkan metode produksi gas in vitro tanpa dan dengan
nutrien dalam hijauan (Makkar et al., 1995). penambahan PEG, sehingga S. alba memiliki
Berdasarkan hal tersebut nutrien seperti keunggulan komparatif dibandingkan dua
karbohidrat, protein dan lemak dapat lebih hijauan lainnya. Kandungan total fenol hijauan
didegradasi dan lebih tersedia bagi mikroba berkorelasi signifikan dengan aktivitas biologis
rumen yang kemudian berkontribusi bagi tanin, sedangkan kandungan total tanin dan
peningkatan KBO, EM dan total VFA. tanin terkondensasi tidak menunjukkan
Khusus pada S. alba, penambahan PEG korelasi yang signifikan. Metode penentuan
tidak nyata dalam mempengaruhi perubahan aktivitas senyawa antinutrien tanin berdasarkan
peubah KBO, EM dan total VFA dibandingkan produksi gas in vitro merupakan metode yang
dengan perlakuan tanpa penambahan PEG. mudah, cepat dan sederhana sehingga dapat
Hal ini disebabkan kandungan dan aktivitas diterapkan secara luas khususnya di negara
biologis tanin pada S. alba sangat rendah berkembang seperti Indonesia.
(Muetzel & Becker, 2006) sehingga ketika tanin
diinaktivasi oleh PEG, kontribusinya terhadap UCAPAN TERIMA KASIH
perubahan ketiga peubah yang diamati juga
tidak nyata. Berdasarkan data di atas maka Penulis mengucapkan terima kasih
dapat disimpulkan bahwa S. alba memiliki kepada Prof. K. Becker dan Prof. H.P.S.
keunggulan komparatif dibandingkan dengan Makkar dari University of Hohenheim-
R. typhina dan P. peltatum, yakni dengan Germany atas bimbingannya, dan kepada
karakteristiknya yang tinggi kandungan Dr. Myint Wynn, Dr. Gunjan Goel dan Mr.

50 Edisi April 2008


JAYANEGARA & SOFYAN Media Peternakan

Hermann Baumgärtner atas bantuannya secara of tannin activity in animal feed. Br. J. Nutr.
teknis selama penelitian berlangsung. 87: 421-426.
Hungate, R.E. 1966. The Rumen and Its Microbes.
Academic Press, New York.
DAFTAR PUSTAKA Inoue, K.H. & A.E. Hagerman. 1988.
Determination of gallotannins with rhoda-
Blümmel, M., H. Steingass & K. Becker. 1997. nine. Anal. Biochem. 169: 363-369.
The relationship between in vitro gas Jayanegara, A., A.S. Tjakradidjaja & T. Sutardi.
production, in vitro microbial biomass yield 2006. Fermentabilitas dan kecernaan in
and N-15 incorporation and its applications vitro ransum limbah agroindustri yang
for the prediction of voluntary feed intake of disuplementasi kromium anorganik dan
roughages. Bri. J. Nutr. 77: 911-921. organik. Med. Pet. 29 : 54-62.
Bueno, I.C.S., D.M.S.S. Vitti, H. Louvandini & Jayanegara, A., H.P.S. Makkar & K. Becker.
A.L. Abdalla. 2008. A new approach for in 2008. Methane reduction potential of
vitro bioassay to measure tannin biological tannins-containing plants using an in vitro
effects based on a gas production technique. rumen fermentation system. Proc. Soc. Nutr.
Anim. Feed Sci. Technol. Volume 141: 153- Physiol, Goettingen, Germany, 17: 159.
170. Makkar, H.P.S., M. Blümmel & K. Becker.
Garrido, A., A. Gomez-Cabrera, J.E. Guerrero 1995. Formation of compexes between
& J.M. van der Meer. 1991. Effects of polyvinyl pyrrolidone and polyethylene
treatment with polyvinylpyrrolidone and glycol with tannins and their implications
polyethylene glycol on Faba bean tannins. in gas production and true digestibility in in
Anim. Feed Sci. Technol. 35: 199-203. vitro techniques. Brit. J. Nutr. 73: 897-913.
Getachew, G., M. Blümmel, H.P.S. Makkar & Makkar, H.P.S. & K. Becker. 1998. Do tannins
K. Becker. 1998. In vitro gas measuring in leaves of trees and shrubs from Africa
techniques for assessment of nutritional and Himalayan regions differ in level and
quality of feeds: a review. Anim. Feed Sci. activity? Agroforestry Syst. 40: 59-68.
Technol. 72: 261-281. Makkar, H.P.S. 2003. Quantification of Tannin
Getachew, G., H.P.S. Makkar & K. Becker. 2000. in Tree and Shrub Legumes; A Laboratory
Stoichiometric relationship between short Manual. Kluwer Academic Publishers,
chain fatty acid and in vitro gas production Dordrecht, The Netherlands.
in presence and absence of polyethylene Makkar, H.P.S. 2005. Use of nuclear and related
glycol for tannin containing browses. EAAP techniques to develop simple tannin assays
Satellite Symposium, Gas production: for predicting and improving the safety
fermentation kinetics for feed evaluation and and efficiency of feeding ruminants on
to assess microbial activity, 18-19 August, tanniniferous tree foliage: achievements,
Wageningen, The Netherlands. result implications, and future research.
Getachew, G., H.P.S. Makkar & K. Becker. Anim. Feed Sci. Technol. 122: 3-12.
2001. Method of polyethylene glycol McWilliam, E.L., T.N. Barry, N. Lopez-
application to tannin-containing browses Villalobos, P.N. Cameron & P. D. Kemp.
to improve microbial fermentation and 2005. Effect of willow (Salix) versus
efficiency of microbial protein synthesis poplar (Populus) supplementation on the
from tannin-containing browses. Anim. Feed reproductive performance of ewes grazing
Sci. Technol. 92: 51-57. low quality drought pasture during mating.
Hartzfeld, P.W., R. Forkner, M.D. Hunter, & Anim. Feed Sci. Technol. 119: 69-86.
A.E. Hagerman. 2002. Determination of Menke, K. H., L. Raab, A. Salewski, H.
hydrolyzable tannins (gallotannins and Steingass, D. Fritz & W. Schneider. 1979.
ellagitannins) after reaction with potassium The estimation of the digestibility and
iodate. J. Agric. Food Chem. 50: 1785- metabolizable energy content of ruminant
1790. feeding stuffs from the gas production when
Hoffmann, E.M., S. Muetzel & K. Becker. they are incubated with rumen liquor in vitro.
2002. A modified dot-blot method of protein J. Agric. Sci. 93: 217-222.
determination applied in the tannin-protein Moore, K. M., T.N. Barry, P.N. Cameron, N.
precipitation assay to facilitate the evaluation Lopez-Villalobos & D. J. Cameron. 2003.

Edisi April 2008 51


Vol. 31 No. 1 PENENTUAN AKTIVITAS

Willow (Salix sp.) as a supplement for grazing fed whole or ground corn grain. J. Anim. Sci.
cattle under drought conditions. Anim. Feed 55 : 1505-1514.
Sci. Technol. 104: 1-11. Smith, A.H., E. Zoetendal, & R.I. Mackie. 2005.
Muetzel, S. & K. Becker. 2006. Extractability Bacterial mechanisms to overcome inhibitory
and biological activity of tannins from effects of dietary tannins. Microb. Ecol. 50 :
various tree leaves determined by chemical 197-205.
and biological assays as affected by drying Steel, R.G.D. & J.H. Torrie. 1980. Principles
procedure. Anim. Feed Sci. Technol. 125: and Procedures of Statistics: A Biometrical
139-149. Approach. McGraw-Hill, New York.
Owens, F. N. & A. L. Goetsch. 1988. Ruminal Tanner, G.J., A.E. Moore & P.J. Larkin. 1994.
fermentation. In: Church, D.C. (Ed). The Proanthocyanidins inhibit hydrolysis of leaf
Ruminant Animal Digestive Physiology and proteins by rumen microflora in vitro. Br. J.
Nutrition. Prentice Hall, Englewood Cliffs, Nutr. 74: 947-958.
New Jersey. Van Soest, P.J. & J.B. Robertson. 1985. Analysis
Pitta, D.W., T.N. Barry, N. Lopez-Villalobos, of forage fibrous. A Laboratory Manual for
& P.D. Kemp. 2007. Willow fodder blocks Animal Science. Vol. 613. Cornell University
– an alternate forage to low quality pasture Press, Ithaca, New York.
for mating ewes during drought? Anim. Feed Waghorn, G.C. & W.C. McNabb. 2003.
Sci. Technol. 133: 240-258. Consequences of plant phenolic compounds
Reeves, J.B. 1985. Lignin composition and in vitro for productivity and health of ruminants.
digestibility of feeds. J. Anim. Sci. 60:316- Proc. Nutr. Soc. 62 : 383-392.
322. Westendarp, H. 2006. Effects of tannins in animal
Sharp, W.M., R.R. Johnson & F.N. Owens. nutrition. Dtsch. Tierarztl. Wochenschr. 113:
1982. Ruminal VFA production with steers 264-268.

52 Edisi April 2008

You might also like