Professional Documents
Culture Documents
Article Info
Submitted: 17 February 2019 | Reviewed: 15 Maret 2019 | Accepted: 18 Juni 2019
Rachel Yohana1
Abstract
Arbitration by its advantages is often chosen by businessmen to resolve cases, however
at the same time there are some weaknesses that actually do not make it as an efficient
choice in resolving cases. Especially when the opposite parties are not cooperative and
not upholding the spirit of arbitration. The refusal and annulment of foreign arbitral
awards, for instance, has made a settlement process seems has no end and no legal
certainty to enforcet its awards. In the case of PERTAMINA VS. Karaha Bodas
Company, PERTAMINA made a claim of annulment of the arbitration award in Geneva,
Switzerland on December 18th, 2000 at The Central Jakarta District Court. This claim
was then accepted and the panel of judges decided to annul the a-quo arbitration award,
its legal proceedings continued until the process by The Indonesia’s Supreme Court. A
wrong court award in responding to foreign arbitration awards may affect the
consideration of foreign investment in a country, a bad precedent can damage the
consideration of foreign investment. The findings of this study indicate PERTAMINA is
not cooperative and does not support legal certainty for the implementation of foreign
arbitral awards. Whereas the Awards of the Panel of Judges of the Central Jakarta
District Court set a bad precedent and gave a negative impression on the consideration
of arbitration and foreign investment in Indonesia. The Supreme Court Judge Panel in its
award stated that it was not authorized by the Central Jakarta District Court to annul the
a quo arbitration award is being a good precedent, indicating legal certainty in the
implementation of foreign arbitration decisions and foreign investment in Indonesia.
Abstrak
Arbitrase dengan berbagai kelebihannya kerap dipilih pelaku bisnis untuk
menyelesaikan perkara yang timbul, namun bersamaan dengan itu beberapa
kelemahan yang ada justru tidak menjadikannya sebagai pilihan yang efisien dalam
menyelesaikan perkara. Terlebih ketika berhadapan dengan pihak yang tidak
kooperatif, serta tidak menjunjung semangat berarbitrase. Upaya penolakan dan
pembatalan putusan misalnya, menjadikan proses perkara seolah tidak ada
habis-habisnya dan tidak ada kepastian hukum untuk melaksanakan putusan. Dalam
perkara PERTAMINA VS. Karaha Bodas Company, PERTAMINA melakukan gugatan
pembatalan putusan arbitrase Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 2000 ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan ini kemudian diterima dan majelis hakim
memutuskan batal putusan arbitrase a quo, upaya hukum berlanjut hingga proses
peninjauan kembali. Putusan pengadilan yang keliru dalam menanggapi putusan
arbitrase asing dapat berpengaruh pada pertimbangan penanaman modal asing di
suatu negara, preseden buruk menjadikan negara seolah tidak ramah pada putusan
1 Fakultas Hukum, Universitas Tanjungpura, Jl. Prof. Hadari Nawawi, Pontianak, Kalimantan Barat, e-mail:
rachelyohana1997@gmail.com, tlp: 089647457096
160
Tanjungpura Law Journal Vol. 3, Issue 2, July 2019
arbitrase asing. Temuan dari penelitian ini menunjukkan PERTAMINA tidak kooperatif
dan tidak mendukung kepastian hukum bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing.
Sedangkan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjadi preseden
yang buruk dan menimbulkan kesan negatif terhadap pandangan berarbitrase dan
penanaman modal asing di Indonesia. Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam putusan
peninjauan kembali yang tetap pada sikapnya menyatakan tidak berwenang Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat membatalkan putusan arbitrase a quo menjadi preseden yang
baik, menunjukkan adanya kepastian hukum dalam pelaksanaan putusan arbitrase
asing dan penanaman modal asing di Indonesia.
161
Tanjungpura Law Journal Vol. 3, Issue 2, July 2019
dibuat secara sah berlaku sebagai Sengketa, forum arbitrase kerap dipilih
undang-undang bagi mereka yang guna menyelesaikan sengketa yang
membuatnya”. Menurut Herlien Budiono, terjadi dalam transaksi bisnis nasional
adagium pacta sunt servanda (yang maupun internasional. Hal ini
terkandung dalam Pasal 1338 Ayat (1) dikarenakan pihak berperkara berharap
KUH Perdata, Pen-) diakui sebagai penyelesaiannya akan lebih cepat dan
aturan yang menetapkan bahwa semua rahasia yang terjaga, terlebih putusan
kontrak yang dibuat manusia satu sama arbitrase menganut asas final and
lain, mengingat kekuatan hukum yang binding. Arbitrase memberikan
terkandung di dalamnya, dimaksudkan kebebasan dan rasa aman dari
untuk dilaksanakan dan pada akhirnya ketidaktentuan sistem hukum yang
2
dapat dipaksakan penataannya. Di berbeda, terlebih juga arbiter dalam
dalam kontrak JOC dan ESC terdapat menerapkan hukum yang berlaku dalam
klausula arbitrase yang menentukan menyelesaikan perkara dan akan lebih
bahwa apabila terjadi sengketa maka memberikan perhatian terhadap
akan diselesaikan melalui forum keinginan, realitas, dan praktik dagang
4
arbitrase di Swiss. Pilihan penyelesaian para pihak. Penyelesaian sengketa
sengketa melalui arbitrase yang telah dilakukan oleh arbiter yang merupakan
dituangkan oleh para pihak ini professional di bidangnya, hal ini
merupakan pilihan hukum yang dikenal menjadikan arbitrase sebagai proses
dengan “law of the parties”, sehingga penyelesaian sengketa yang ramah bagi
sepatutnya para pihak yang menjalankan pelaku bisnis. Kenyataan ini membuat
proses arbitrase nantinya harus tetap banyak negara yang melakukan ratifikasi
menyadari akan pilihan hukum yang atas konvensi arbitrase internasional,
dipilih oleh para pihak yang bersengketa, termasuk Indonesia, guna menarik minat
yaitu sebagai bentuk penyelesaian yang pemodal asing untuk menanamkan
bersifat damai, cepat dan terjaga modalnya, sehingga baik perorangan,
kerahasiaan sengketa yang tengah badan hukum swasta maupun milik
dialami para pihak.3 pemerintah Indonesia menjadi terikat
Arbitrase merupakan salah satu dengan asas resiprositas dalam
bentuk dari Alternatif Penyelesaian pelaksanaan putusan arbitrase.
Terkait dengan kontrak yang dibuat
2 Muhammad Syaifuddin. 2016. Hukum Kontrak:
antara PERTAMINA, PLN, dan KBC,
Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, permasalahan muncul ketika krisis
Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum. Bandung:
CV MANDAR MAJU, hlm. 91.
3 Anita D.A Kolopaking. 2013. Asas Iktikad Baik
5
binding misalnya, putusan arbitrase
Keppres RI Nomor 39 Tahun 1997 tentang
Penangguhan/Pengkajian Kembali Proyek adalah final dan mengikat bagi para
Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, dan
Swasta yang Berkaitan dengan pihak. Jika dibandingkan dengan
Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara.
6 Keppres RI Nomor 5 Tahun 1998 tentang putusan pengadilan negara, maka sifat
Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 47
Tahun 1997 tentang Perubahan Status final adalah kelebihan daripada
Pelaksanaan Beberapa Proyek Pemerintah,
Badan Usaha Milik Negara dan Swasta yang
7 Putusan
Berkaitan dengan Pemerintah/Badan Usaha Arbitrase Jenewa, Swiss tanggal 18
Milik Negara yang Semula Ditangguhkan atau Desember 2000 antara Karaha Bodas Company
Dikaji Kembali. VS. PERTAMINA dan PLN.
163
Tanjungpura Law Journal Vol. 3, Issue 2, July 2019
arbitrase, tidak ada upaya banding, salah satu indikator pertimbangan bagi
kasasi, maupun peninjauan kembali pelaku usaha untuk menanamkan
pada proses arbitrase. Meskipun modalnya di suatu negara. Budiman
terdapat kemungkinan untuk dapat Ginting dalam pidatonya yang berjudul
dibatalkannya putusan di negara tempat Kepastian Hukum dan Implikasinya
putusan dijatuhkan. Namun dengan Terhadap Pertumbuhan Investasi di
batasan waktunya yang ada, ini Indonesia menyebutkan bahwa:
menjadikan arbitrase lebih efisien dan “Kepastian hukum sebagai salah
satu tujuan hukum tidak akan
efektif dalam menyelesaikan perkara
terlepas dari fungsi hukum itu
yang diajukan, tanpa perlu mengulur sendiri. Fungsi hukum yang
terpenting adalah tercapainya
waktu panjang yang merugikan pelaku
keteraturan dalam kehidupan
bisnis. manusia dalam masyarakat.
Keteraturan ini yang menyebabkan
Kelebihan lain daripada arbitrase
orang dapat hidup dengan
asing adalah sifatnya yang universal, berkepastian, artinya orang dapat
mengadakan kegiatan-kegiatan
artinya suatu putusan dapat
yang diperlukan dalam kehidupan
dilaksanakan dimanapun selama negara bermasyarakat karena ia dapat
mengadakan perhitungan atau
tersebut juga terikat pada perjanjian
prediksi tentang apa yang akan
arbitrase untuk mengakui dan terjadi atau apa yang bisa ia
harapkan. Dalam dunia usaha,
melaksanakan putusan daripada
kepastian hukum sangat
arbitrase asing (asas resiprositas). diperlukan untuk menjamin
ketenangan dan kepastian
Sehingga ketika suatu putusan arbitrase
berusaha.”8
asing ditolak pelaksanaannya di suatu
Berkaitan dengan pidato yang
negara, maka putusan tersebut tetap
disampaikan Budiman Ginting, dapat kita
berlaku dan dapat dilaksanakan di
pahami bahwa keteraturan menimbulkan
negara lain. Berbeda dengan putusan
kepastian, sehingga sesuatu dapat
pengadilan negara yang hanya dapat
diprediksi. Sebagai contoh adalah
dilaksanakan di dalam yurisdiksi negara
keteraturan birokrasi perizinan,
tersebut. Meskipun demikian, karena
pelaksanaan kegiatan usaha,
tidak memiliki dasar hukum untuk
keteraturan masyarakat, hingga proses
melaksanakan putusan yang dihasilkan,
penyelesaian sengketa dan kepastian
forum arbitrase membutuhkan peran
pelaksanaan putusannya. Berkaitan
negara untuk melaksanakan putusan
yang telah dihasilkan.
8Budiman
Kedua asas yang dijelaskan di atas Ginting, 2008, “Kepastian Hukum dan
Implikasinya Terhadap Pertumbuhan Investasi
memberikan rasa kepastian, di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Investasi
sebagaimana kepastian hukum menjadi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, Medan, 20 September.
164
Tanjungpura Law Journal Vol. 3, Issue 2, July 2019
167
Tanjungpura Law Journal Vol. 3, Issue 2, July 2019
Konvensi New York 1958. Asas tersebut putusan tersebut bisa dilaksanakan.
ditegaskan dalam Pasal V ayat (2) huruf Kehadiran konsep ketertiban umum
b yang berbunyi “the recognition or membuat kepastian hukum dalam
enforcement of the award would be pelaksanaan putusan arbitrase asing
contrary of the public policy of that menjadi lemah. Perihal pelaksaanaan
country” . Oleh karena ketertiban umum putusan arbitrase a quo, putusan a quo
sebagai salah satu asas dalam adalah sudah sepantasnya
Konvensi, memberi kewenangan bagi dilaksanakan. PERTAMINA seharusnya
negara yang diminta eksekusi, untuk beriktikad baik untuk melaksanakan
menolak pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase selayaknya
apabila putusan bertentangan dengan melaksanakan kontrak yang telah dibuat.
ketertiban umum negara yang Tindakan PERTAMINA dengan
bersangkutan. Namun, perlu diketahui mengajukan gugatan pembatalan
bahwa putusan arbitrase a quo tidak putusan arbitrase a quo di Pengadilan
pernah didaftarkan eksekusinya di Federal Swiss adalah telah sesuai
Indonesia, sehingga tidak ada dengan New York Convention 1958,
kewenangan bagi Majelis Hakim sebagaimana seat arbitrase yang
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk ditentukan dalam kontrak adalah Swiss.
menilai putusan arbitrase a quo. Namun, gugatan tidak ditindaklanjuti
Seperti yang telah ditegaskaan lantaran PERTAMINA tidak membayar
oleh Sudargo Gautama bahwa uang deposit. Proses hukum pembatalan
pemakaian lembaga ketertiban umum ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
adalah hanya sebagai tameng, tidak bukanlah tindakan yang tepat, lantaran
sebagai pedang untuk menghilangkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak
hukum asing. Dengan kata lain, fungsi berwenang untuk membatalkan putusan
dari lembaga ketertiban umum hanya arbitrase a quo, terlebih putusan tersebut
untuk perlindungan agar sendi-sendi tidak pernah didaftarkan eksekusinya di
hukum nasional tidak dilanggar, bukan Indonesia. Sehingga putusan
untuk meniadakan pemakaian daripada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
hukum asing. Akibat dari diakuinya dianggap tidak memiliki kekuatan hukum
lembaga ketertiban umum, namun tidak di pengadilan-pengadilan di negara
memiliki konsep yang konkrit ini tempat putusan arbitrase diajukan
mengakibatkan putusan menjadi riskan pelaksanannya. Sehingga eksekusi
untuk ditolak pelaksanaannya di negara daripada putusan arbitrase a quo tetap
pihak yang dikalahkan dalam dapat dilaksanakan di negara-negara
berperkara, meskipun secara materil
169
Tanjungpura Law Journal Vol. 3, Issue 2, July 2019
yang final dan mengikat, serta dapat dipahami bahwa antara pembatalan
bersangkutan terikat pada Konvensi adalah dua hal yang berbeda. Mengutip
PERTAMINA VS. KBC putusan arbitrase dalam bukunya yang berjudul Arbitrase
170
Tanjungpura Law Journal Vol. 3, Issue 2, July 2019
Peninjauan Kembali untuk tetap pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bukan
sikapnya menyatakan bahwa Pengadilan merupakan pengadilan yang berwenang
Negeri Jakarta Pusat tidak memiliki untuk membatalkan putusan arbitrase
kewenangan untuk membatalkan tersebut, dikarenakan putusan tersebut
putusan arbitrase a quo adalah putusan digolongkan sebagai putusan arbitrase
yang tepat dan menjadi preseden yang asing yang bahkan tidak diajukan
baik. Putusan Mahkamah Agung pelaksanaannya di Indonesia.
mencerminkan masih adanya kepastian Tindakan Majelis Hakim
hukum dalam berarbitrase dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
penanaman modal asing di Indonesia, membatalkan putusan arbitrase a quo
mengingat bahwa kepastian hukum adalah tindakan yang keliru, putusan
dalam pelaksanaan putusan arbitrase pembatalan tersebut menjadi preseden
adalah unsur yang sangat berpengaruh yang buruk, menimbulkan kesan negatif
terhadap kemauan untuk melakukan terhadap pandangan berarbitrase dan
perjanjian arbitrase dengan pihak penanaman modal asing di Indonesia.
Indonesia, maupun penanaman modal Tindakan tersebut tidak sejalan dengan
asing di Indonesia. asas daripada penanaman modal
Indonesia, yaitu kepastian hukum
III. Penutup
sebagaimana asas pertama dalam
Tindakan PERTAMINA
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
mengajukan gugatan pembatalan
tentang Penanaman Modal. Padahal
terhadap putusan majelis arbitrase
kepastian hukum merupakan indikator
Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember
pertimbangan yang penting bagi pemilik
2000 menunjukkan sikap yang tidak
modal sebelum menanamkan modalnya.
kooperatif dan tidak menghormati asas
Namun Majelis Hakim Mahkamah Agung
pacta sunt servanda, sebagaimana sikap
yang dalam putusan Peninjauan Kembali
dan asas yang harus ada dalam setiap
untuk tetap pada sikapnya menyatakan
kontrak. Sikap PERTAMINA juga tidak
bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
sesuai dengan jiwa daripada asas final
tidak memiliki kewenangan untuk
and binding dalam berarbitrase.
membatalkan putusan arbitrase a quo
Terhadap gugatan tersebut, tindakan
adalah putusan yang tepat dan menjadi
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang
preseden yang baik. Putusan Mahkamah
memutuskan batal putusan arbitrase a
Agung mencerminkan masih adanya
quo menambah kompleksitas perkara,
kepastian hukum dalam berarbitrase dan
namun tidak menghambat pelaksanaan
penanaman modal asing di Indonesia,
daripada putusan arbitrase tersebut.
172
Tanjungpura Law Journal Vol. 3, Issue 2, July 2019
173