You are on page 1of 87

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN

PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN


DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN

YOGA CANDRA DITYA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
ABSTRACT

YOGA CANDRA DITYA. Ecological Economics Analysis of Sustainable


Aquaculture Development Planning in the Coastal Zone of Banten Province.
Supervised by LUKY ADRIANTO as a Chairman, ROKHMIN DAHURI and
SETYO BUDI SUSILO as Members.

In the planning of Banten coastal zone, aquaculture has important role due
to its social and economic value especially related with export activities of the
aquaculture products. However, aquaculture activities have also negative
multiplier in terms of its effect on the coastal environment especially when there
is no proper management of this activities.
The aims of this research are (1) to identify the structure and interaction
among sectors in aquaculture activities; (2) to estimate the economic and
ecological impact of the aquaculture activities; and (3) to estimate the carrying
capacity of the coastal area which is appropriated for sustainable aquaculture
development. To achieve these objectives, ecological input-output and ecological
footprint model was developed.
From the results, it can ben revealed that from the index of linkages,
backward linkages index (1,84) is higher than forward linkages (1,02). This
means that aquaculture activities in Banten Province has more attractive in the
upstream sectors rather pushing the downstream sectors. Furthermore,
aquaculture development has also produced economic multiplier which is income
multiplier (2,20) higher than employment multiplier (1,17). From the ecological
multiplier point of view, mangrove area input has index as of 0,005, COD 0,001,
and TDS 0,001. Using ecological footprint approach, the carrying capacity of
appropriated coastal area is estimated at the level 29.332 ha with the demand
target of IDR 298.699,43 million.

Keywords : aquaculture development, ecological input-output, ecological footprint,


Banten Coastal Zone.
ABSTRACT

YOGA CANDRA DITYA. Analisis Ekologi-Ekonomi untuk Perencanaan


Pembangunan Perikanan Budidaya Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Provinsi
Banten. Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO, ROKHMIN DAHURI dan SETYO
BUDI SUSILO.

Dalam perencanaan wilayah pesisir Provinsi Banten, perikanan budidaya


memiliki peran penting terhadap nilai sosial dan ekonomi, terutama dalam
hubungannya dengan aktivitas ekspor dari produk perikanan budidaya tersebut.
Namun demikian, aktivitas perikanan budidaya juga memberikan multiplier
negatif jika dipandang dari segi efek yang ditimbulkan ke lingkungan pesisir,
terutama ketika tidak ada pengelolaan yang baik pada aktivitas tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah (1) Menelaah kekuatan struktur dan interaksi
antar sektor dari perikanan budidaya; (2) Mengestimasi dampak ekonomi dan
ekologi dari pembangunan perikanan budidaya; dan (3) Mengestimasi daya
dukung lingkungan pesisir yang dapat dimanfaatkan bagi kegiatan perikanan
budidaya berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan model
ecological input-output dan ecological footprint.
Dari hasil diperoleh, indeks keterkaitan dapat dinyatakan bahwa, indeks
keterkaitan ke belakang (1,84) lebih tinggi daripada keterkaitan ke depan (1,03).
Ini berarti bahwa aktivitas perikanan budidaya di Provinsi Banten lebih memiliki
kemampuan untuk menarik sektor hulu dibandingkan dengan sektor hilirnya. Lagi
pula, pembangunan perikanan budidaya juga memberikan multiplier ekonomi
yang memiliki income multiplier (2,18) lebih tinggi dibandingkan employment
multipliernya (1,22). Dari segi ecological multiplier, area mangrove memberikan
indeks sebesar 0,004, COD 0,001, dan TDS 0,001. Penggunaan pendekatan
ecological footprint, diestimasikan bahwa daya dukung dari areal pesisir yang
disediakan pada level 29.332 ha dengan target permintaan Rp. 298.699,43 juta.

Kata Kunci : Pembangunan perikanan budidaya, ecological input-output,


ecological footprint, wilayah pesisir Banten.
ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN
PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN
DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN

YOGA CANDRA DITYA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Judul Tesis : Analisis Ekologi-Ekonomi untuk Perencanaan Pembangunan
Perikanan Budidaya Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Provinsi
Banten
Nama : Yoga Candra Ditya
NIM : C251040201

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc


Ketua

Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc
Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Manajemen Dekan Sekolah Pascasarjana


Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: 24 Juli 2007 Tanggal Lulus:


Dosen Penguji:
1. Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc
2. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc
SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Ekologi-Ekonomi untuk


Perencanaan Pembangunan Perikanan Budidaya Berkelanjutan di Wilayah
Pesisir Provinsi Banten adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2007

Yoga Candra Ditya


NRP. C251040201
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah dalam bentuk tesis ini dapat diselesaikan, dengan
tema yang diambil Analisis Ekologi-Ekonomi untuk Perencanaan Pembangunan
Perikanan Budidaya Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Provinsi Banten.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc
selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS dan
Bapak Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang
telah banyak memberi saran dan bimbingan. Kepada Bapak Ir. Santoso
Rahardjo, M.Sc dan Bapak Dr. Ir Fredinan Yulianda, M.Sc selaku dosen penguji
diucapkan terima kasih banyak atas saran dan kritiknya. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada papa, mama, le ‘mbang, dewi serta seluruh keluarga,
atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2007

Yoga Candra Ditya


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 31 Juli 1981 dari pasangan


Muhamad Suyudi dan Suparmi Ningsih. Penulis merupakan putra pertama dari
tiga bersaudara.
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, lulus pada tahun 2003. Pada tahun
2004, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan pada Sekolah Pascasarjana IPB.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif dalam organisasi Forum
Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan (Forum Wacana Pesisir) IPB, dengan posisi sebagai sekretaris untuk
periode 2005-2006.
DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR ISI .................................................................................................... vi


DAFTAR TABEL ............................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... x

I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1. 1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1. 2. Rumusan Masalah ................................................................................ 4
1. 3. Tujuan Penelitian .................................................................................... 7
1. 4. Manfaat Penelitian ................................................................................. 7
1. 5. Kerangka Pemikiran .............................................................................. 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 9


2. 1. Pembangunan Berkelanjutan ................................................................ 9
2. 2. Pengelolaan Wilayah Pesisir Berkelanjutan ........................................... 10
2. 3. Pengelolaan Perikanan Budidaya ......................................................... 11
2. 4. Pendekatan Ekonomi-Ekologi ............................................................... 12
2. 5. Ecological Input-output .......................................................................... 14
2. 6. Ecological Footprints ............................................................................. 15

III. METODOLOGI ......................................................................................... 18


3. 1. Lokasi Penelitian .................................................................................. 20
3. 2. Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................... 20
3. 3. Pengumpulan Data ................................................................................. 22
3. 4. Analisis Data .......................................................................................... 22
3. 4. 1. Kekuatan Struktur dan Interaksi Antar Sektor ................................ 22
3. 4. 1. 1. Analisis Keterkaitan ............................................................... 22
3. 4. 1. 2. Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan ............................. 24
3. 4. 2. Dampak Ekologi-Ekonomi .............................................................. 25
3. 4. 2. 1. Income Multiplier .................................................................... 25
3. 4. 2. 2. Employment Multiplier ........................................................... 26
3. 4. 2. 3. Ecological Multiplier .............................................................. 27
3. 4. 3. Carrying Capacity ........................................................................... 30

IV. GAMBARAN UMUM ................................................................................ 32


4. 1. Kondisi Geografis dan Iklim ................................................................... 32
4. 2. Pemerintahan ......................................................................................... 33
4. 3. Penduduk .............................................................................................. 33
4. 4. Tenaga Kerja ......................................................................................... 35
4. 5. Investasi Pembangunan ........................................................................ 36
4. 6. Perikanan Budidaya .............................................................................. 37
4. 7. Ekosistem Hutan Mangrove .................................................................. 40

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 42


5. 1. Struktur Ekonomi Provinsi Banten ......................................................... 42
5. 1. 1. Struktur Permintaan dan Penawaran ............................................. 42
5. 1. 2. Struktur Permintaan Akhir .............................................................. 44
5. 1. 3. Struktur Input Primer ..................................................................... 44
5. 1. 4. Efisiensi Penciptaan Output .......................................................... 47

vi
5. 2. Analisis Keterkaitan ............................................................................... 48
5. 2. 1. Keterkaitan ke Belakang ............................................................... 48
5. 2. 2. Keterkaitan ke Depan ................................................................... 51
5. 2. 3. Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan .................................... 54
5. 3. Analisis Multiplier ................................................................................... 56
5. 3. 1. Analisis Income Multiplier .............................................................. 57
5. 3. 2. Analisis Employment Multiplier ...................................................... 58
5. 4. Aspek Ekologi ........................................................................................ 59
5. 4. 1. Input Lingkungan ........................................................................... 59
5. 4. 2. Eksternalitas .................................................................................. 60
5. 4. 3. Analisa Ecological Multiplier .......................................................... 61
5. 5. Ecological Footprint .............................................................................. 63
5. 6. Keterkaitan Ecological Footprint dan Ecological Input-Output ............... 65

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 68


6. 1. Kesimpulan ............................................................................................ 68
6. 2. Saran ..................................................................................................... 68

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 70

vii
DAFTAR TABEL
Halaman

1 Struktur Tabel Ecological Input-Output ...................................................... 15


2 Struktur Tabel Input-Output Fisik .............................................................. 27
3 Faktor Pembobotan Areal Menurut Tipe Land Use .................................. 31
4 Jumlah Kecamatan, Kelurahan dan Desa di Banten ................................. 33
5 Perkembangan Penduduk di Banten 1980-2005 ...................................... 34
6 Laju Pertumbuhan Penduduk di Banten (%) ............................................. 35
7 Realisasi Investasi Pembangunan di Propinsi Banten Tahun Anggaran
2002/2003 (Rp) ......................................................................................... 37
8 Luas Areal dan Tempat Pemeliharaan Ikan di Banten (dalam Ha) .......... 38
9 Produksi Ikan Menurut Tempat Pemeliharaan (dalam Ton) ..................... 39
10 Nilai Produksi Ikan Menurut Tempat Pemeliharaan
(dalam Juta Rupiah) ................................................................................. 39
11 Struktur Permintaan dan Penawaran Menurut Sektor Kegiatan Provinsi
Banten (Juta Rp) ...................................................................................... 43
12 Komposisi Permintaan Akhir Sektor Perikanan Budidaya Menurut
Komponennya di Provinsi Banten ........................................................... 44
13 Nilai Input Primer Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten .............. 45
14 Komposisi Input Primer Menurut Komponennya Pada Sektor
Perikanan Budidaya dan Sektor Basis di Provinsi Banten ...................... 46
15 Efisiensi Penciptaan Output Menurut Sektor Kegiatan di
Provinsi Banten ........................................................................................ 47
16 Struktur Input Sektor Perikanan Budidaya di Provinsi Banten ................. 50
17 Alokasi Output Sektor Perikanan Budidaya di Provinsi Banten ................ 53
18 Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan Menurut
Sektor Kegiatan di Provinsi Banten .......................................................... 54
19 Kebutuhan Area dan Mangrove Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi
Banten ...................................................................................................... 61
20 Dampak Eksternalitas Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten ........ 62

viii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka Pemikiran .................................................................................. 8


2 Alur Kerangka Analisis .............................................................................. 19
3 Peta Lokasi Penelitian ............................................................................... 21
4 Metodologi Model Input Output Ekologi ...................................................... 29
5 Kerangka Analisis Untuk Model Ecological Footprint Perikanan Budidaya. 31
6 Keterkaitan ke Belakang Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten ...... 49
7 Keterkaitan ke Depan Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten .......... 51
8 Pengelompokkan Sektor Ekonomi di Provinsi Banten berdasarkan
Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan ......................... 55
9 Income Multiplier Tipe-I Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten ....... 57
10 Employment Multiplier Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten ......... 59
11 Ecological Footprint Budidaya Laut Provinsi Banten ................................. 63
12 Ecological Footprint Budidaya Tambak Provinsi Banten ........................... 64
13 Keterkaitan EF dan EIO dalam Bentuk Areal untuk Perikanan Budidaya . 66
14 Keterkaitan EF dan EIO dalam Bentuk Mangrove untuk Perikanan
Budidaya .................................................................................................... 67

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Tabel Input Output Provinsi Banten .......................................................... 73


2 Koefisien Input .......................................................................................... 74
3 Tabel Matrik Kebalikan Leontief Terbuka .................................................. 74
4 Multiplier Resources .................................................................................. 75
5 Multiplier Eksternalitas .............................................................................. 76
6 Komponen Footprint Perikanan Budidaya ................................................. 77
7 Analisis Footprint Perikanan Budidaya ...................................................... 78

x
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Wilayah pesisir (coastal zone) merupakan wilayah peralihan atau daerah
pertemuan (interface area) antara ekosistem darat dan laut. Secara biologis
wilayah ini sangat produktif dan mengandung potensi pembangunan yang tinggi.
Hal ini disebabkan karena kawasan ini mendapat input nutrien dan bahan organik
dari daratan melalui aliran sungai dan run-off.
Selain itu, wilayah pesisir memiliki ekosistem yang berfungsi sangat vital
dalam mendukung kehidupan manusia, diantaranya sebagai : 1) Penyedia
sumberdaya alam, seperti: sumberdaya alam hayati yang dapat pulih (yaitu
sumberdaya perikanan, mangrove, terumbu karang dan rumput laut); dan
sumberdaya alam nir-hayati yang tidak dapat pulih (yaitu sumberdaya mineral,
minyak bumi dan gas alam); 2) Penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan,
seperti: air bersih dan ruang yang diperlukan bagi berkiprahnya segenap
kegiatan manusia; 3) Penyedia jasa-jasa kenyamanan, seperti: tempat rekreasi
atau pariwisata; dan 4) Penerima/penampung limbah (Bengen 2004).
Potensi ini menimbulkan banyak sektor telah memanfaatkan wilayah pesisir
dalam berbagai bentuk pemanfaatan antara lain pemanfaatan bahan baku kayu
sebagai bahan bangunan, sebagai kayu bakar, perikanan, kesehatan, dan
sebagainya. Hal ini berakibat wilayah ini menjadi tempat konsentrasi pemukiman
penduduk beserta segenap kiprah pembangunannya. Dampak dari hal ini, laju
pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir lebih besar dan lebih pesat ketimbang
yang terjadi di daerah hulu (upland area) (Cicin-Sain dan Knecht 1998). Oleh
karena itu, berbagai dampak dan persoalan ekonomi muncul di wilayah pesisir
sebagai refleksi dari banyaknya kegiatan manusia di tempat ini.
Salah satu kegiatan pembangunan ekonomi yang telah lama dan umumnya
lebih dulu diusahakan oleh masyarakat wilayah pesisir adalah usaha perikanan,
baik usaha perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Usaha-usaha
perikanan ini memiliki space tertentu di wilayah pesisir, dengan memanfaatkan
sumberdaya alam yang tersedia di wilayah tersebut.
Perikanan budidaya dan perikanan tangkap merupakan bagian dari sektor
kelautan dan perikanan yang mempunyai arti penting dalam memberikan
kontribusi. Akan tetapi, produksi perikanan tangkap dunia cenderung mengalami
penurunan. Hal ini disebabkan karena adanya eksploitasi dan penurunan
sumberdaya ikan di laut sedangkan akuakultur mempunyai kecenderungan
peningkatan yang cukup signifikan.
2
Kegiatan perikanan budidaya termasuk salah satu kegiatan pembangunan
ekonomi yang diusahakan oleh masyarakat wilayah pesisir. Dahuri et al. (1996)
mengemukakan bahwa sebagian besar kegiatan budidaya perikanan wilayah
pesisir adalah usaha perikanan tambak, baik tambak udang, bandeng ataupun
campuran keduanya. Dalam kegiatan perikanan budidaya, pengaruh utama yang
perlu diperhatikan adalah yang berasal dari lingkungan sekitar lokasi budidaya,
termasuk aktivitas lahan atas dan pengaruh kegiatan budidaya tersebut terhadap
lingkungan.
Namun demikian, kegiatan perikanan budidaya yang dilakukan tanpa
mempertimbangkan kaidah pembangunan berkelanjutan dapat menimbulkan
pengaruh negatif terhadap wilayah pesisir. Misalnya pada kerusakan fisik habitat
hutan mangrove yang merupakan salah satu ekosistem spesifik hutan di
sepanjang pantai daerah tropik yang mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis
sebagai sumber penghasilan masyarakat pesisir, pelindung pantai dari abrasi,
tempat berkembangnya biota laut, flora dan fauna, serta dapat dikembangkan
sebagai wanawisata (ekowisata).
Berkurangnya luasan hutan mangrove di Indonesia diperkirakan 1,1% per
tahun. Selama periode 1982 tercatat seluas 5.209.543,00 ha kemudian pada
tahun 1999 luas tersebut menurun menjadi sekitar 3.716.735,82 ha (DKP 2006).
Penyebab penurunan luasan hutan mangrove disebabkan karena adanya
peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukkan
lain seperti: pembukaan tambak, pengembangan kawasan industri dan
pemukiman di kawasan pesisir serta penebangan hutan mangrove untuk kayu
bakar, arang dan bahan bangunan, dimana diperkirakan 30 % dari kerusakan ini
disebabkan oleh konversi hutan mangrove menjadi areal budidaya.
Kawasan pesisir yang rentan (vulnerable) terhadap perubahan lingkungan
akan menerima dampak negatif berupa pencemaran, sedimentasi, dan
perubahan hidrologi serta penurunan keanekaragaman hayati (biodiversity loss)
akibat aktivitas manusia dan pembangunan di daratan. Hal ini akan berakhir
pada konflik penggunaan ruang karena sifat wilayah pesisir yang merupakan
common property resource dengan pola pemanfaatan menjadi open access
(siapa saja, kapan saja, dan berapa saja bebas menggunakan pesisir) yang
akibatnya akan terjadi tragedy of the commons.
3
Perencanaan pembangunan perikanan budidaya yang berkelanjutan
menjadi penting terkait dengan daya dukung wilayah pesisir. Karena secara
teknis pembangunan berkelanjutan dalam konteks pengelolaan sumberdaya
pesisir didefinisikan sebagai suatu upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan
jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam kawasan pesisir dan lautan untuk
kesejahteraan manusia, terutama stakeholders, sedemikian rupa sehingga laju
pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan termaksud tidak
melebihi daya dukung (carrying capacity) kawasan pesisir dan laut untuk
menyediakannya.
Dahuri et al. (1996) menambahkan perencanaan sebagai suatu proses di
dalam menetapkan kegiatan-kegiatan yang akan datang (the process of charting
future activities) ke arah keberlanjutan dalam teknisnya dapat dijadikan sebagai
suatu bentuk perhatian untuk meminimalkan tekanan terhadap lingkungan,
berangkat dari kemampuan lingkungan dalam menerima buangan atau input
material yang dilepaskan dan tidak dimanfaatkan dari kegiatan ekonomi. Salah
satu pendekatan yang bisa diaplikasikan dalam perencanaan pembangunan
perikanan budidaya yang berkelanjutan adalah dengan pendekatan ecological
footprint dan pendekatan analisis ecological input-output. Menurut Anielski (2005)
pendekatan ecological footprint merupakan alat perencanaan dengan kriteria
ekologis untuk memonitor ke arah keberlanjutan. Pendekatan ini menggunakan
konsep daya dukung lingkungan dengan memperhatikan tingkat konsumsi
masyarakat (Adrianto 2006).
Analisis ecological input-output merupakan pengembangan dari model
input-output konvensional yang telah digunakan sebagai alat analisis
perencanaan pembangunan selama ini (KMNLH dan BPS 2000). Satu
kekurangan dari model input-output konvensional tersebut adalah tidak
diikutsertakannya transaksi input ekologi dan output eksternal dari setiap sektor
pembangunan, padahal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari.
Adrianto (2004) menambahkan dalam pembangunan ekonomi di mana keduanya
(ekonomi dan lingkungan) harus dipandang sebagai sebuah integrasi dan
berinteraksi aktif satu sama lain serta tidak terpisah seperti yang terjadi selama
ini. Diharapkan dengan pengembangan model ecological input-output ini dapat
menyempurnakan kekurangan tersebut sehingga hasilnya dapat dijadikan
sebagai dasar perencanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan.
4
1.2. Rumusan Masalah
Mempertahankan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu agenda
pembangunan ekonomi setiap wilayah. Berbagai cara dan kebijakan dilakukan
agar tetap berada pada laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hal yang sama
juga dilakukan oleh Provinsi Banten yang sedang giat-giatnya dalam
melaksanakan pembangunan, sebagai provinsi yang relatif masih muda dan
kaya akan sumberdaya alam, baik yang bisa diperbaharui (renewable) meliputi
pertanian, perikanan, kehutanan, perkebunan dan peternakan maupun yang
tidak bisa diperbaharui (non renewable) meliputi pertambangan dan energi.
Provinsi ini berupaya untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi dengan
cara memanfaatkan seluruh potensi sumberdaya alam yang tersedia.
Dilihat dari potensi perikanannya, Provinsi Banten ternyata memiliki garis
pantai sepanjang 501 km dengan tiga muka pantai yaitu sebelah utara yang
berhadapan dengan Laut Jawa, sebelah barat dengan Selat Sunda dan sebelah
selatan dengan Samudera Hindia (BAPEDA 2002). Dari kondisi ini Banten
memiliki sumberdaya laut yang besar yang masih belum tergali potensinya
secara maksimal.
Selain itu, kemampuan Provinsi Banten dalam melakukan pengelolaan
perikanan budidaya di wilayah pesisirnya telah memberikan kapasitas total
produksi sebesar 16.810,70 ton di tahun 2005 dari budidaya tambak seluas
8.010,55 Ha dan budidaya laut seluas 11.882,00 Ha (BPS Banten 2006), atau
meningkat 26,94% dari tahun sebelumnya. Perikanan budidaya yang
dikembangkan antara lain budidaya rumput laut, kerapu, mutiara dan udang.
Pada kawasan yang cukup potensial seperti Teluk Banten (Kabupaten Serang),
Kepulauan Kabupaten Tangerang dan Perairan laut Kecamatan Sumur
(Kabupaten Pandeglang). Keseriusan pengelolaan perikanan budidaya di
Provinsi Banten juga terlihat dengan dilaksanakannya Program Intensifikasi
Budidaya Perikanan (Inbudkan) yang kegiatannya meliputi kegiatan percontohan
dan penguatan modal untuk memberdayakan masyarakat nelayan pembudidaya.
Kamaluddin (2002) menambahkan cepatnya pertumbuhan produksi
budidaya perikanan menjadikan sektor ini terus berkembang. Guna mensuplai
makanan laut dalam jumlah besar dan berkualitas tinggi, sektor ini tidak lagi
mengandalkan sistem penangkapan alami, tetapi pola produksi bergeser pada
aspek budidaya ikan.
5
Perikanan budidaya juga mampu menciptakan peluang usaha dan
penyerapan tenaga kerja. Hal ini dapat dilihat bahwa perikanan budidaya dapat
dilakukan di setiap lapisan masyarakat mulai dari pedesaan sampai perkotaan
sehingga dapat mengatasi kemiskinan penduduk; mempunyai karakteristik usaha
yang cepat menghasilkan (quick yielding) dengan margin keuntungan yang
cukup besar; mempunyai cakupan usaha yang luas, sehingga dapat memacu
pembangunan industri hulu maupun hilir seperti: pabrik pakan, pembenihan
(hatchery), industri jaring, industri pengolahan, pabrik es (cold storage). Dengan
kata lain, perikanan budidaya memiliki potensi kekuatan struktur dan interaksi
dengan sektor kegiatan lainnya.
Namun demikian, ternyata sisi lain yang terjadi adalah berkurangnya areal
hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak mengakibatkan menurunnya
potensi sumberdaya alam hayati. Kerusakan dan konversi hutan mangrove ini
terjadi di pantai utara, selatan dan barat Provinsi Banten, yang meliputi wilayah
pesisir Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang dan Kecamatan Panimpang
Kabupaten Pandeglang. Selama periode 2004 tercatat luas hutan mangrove di
Provinsi Banten 2.374,11 ha kemudian pada tahun 2005 luas tersebut menurun
menjadi 2.214,45 ha (DKP 2006). Dengan kata lain, terjadi penurunan luasan
6,73% per tahun, angka ini lebih besar dari rata-rata penurunan luasan mangrove
secara nasional 1,10% per tahun.
Pertumbuhan ekonomi, baik melalui pemanfaatan sumberdaya alam,
intensifikasi penggunaan lahan maupun industrialisasi memang memungkinkan
timbulnya dampak terhadap lingkungan, atau sering dikatakan adanya trade off
antara sisi ekonomi dan ekologi. Namun demikian, dampak negatif dari kegiatan
pembangunan ekonomi tidak berarti harus menghentikan atau mengurangi
kegiatan pembangunan ekonomi, karena penghentian kegiatan pembangunan
berarti akan menurunkan laju pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan
menurunkan pendapatan masyarakat dan pada sisi lain akan meningkatkan
pengangguran atau kemiskinan.
Hal tersebut di atas mendorong perlunya suatu perencanaan
pembangunan perikanan budidaya yang berkelanjutan terkait dengan daya
dukung kawasan/wilayah pesisir itu sendiri. Menurut Dahuri et al. (1996)
pembangunan secara ekonomi akan berkelanjutan jika kawasan tersebut mampu
menghasilkan barang dan jasa secara berkesinambungan dan menghindarkan
ketidakseimbangan yang ekstrim antar sektor, sedangkan secara ekologi
6
berkelanjutan jika basis ketersediaan sumberdaya alamnya dapat dipelihara
secara stabil dan pembuangan limbah tidak melebihi kapasitas asimilasi
lingkungannya.
Dahuri et al. (1996) menambahkan persyaratan ekologi dalam
pembangunan suatu wilayah antara lain: (1) perlu adanya keharmonisan ruang
untuk kehidupan manusia dan kegiatan pembangunan; (2) laju pemanfaatan
sumberdaya pulih (sumberdaya perikanan dan hutan mengrove) tidak boleh
melebihi kemampuan pulih (renewable capacity) dari sumberdaya tersebut dalam
kurun waktu tertentu; (3) limbah yang dibuang tidak boleh melebihi kapasitas
asimilasi lingkungan; dan (4) merancang dan membangun kawasan pesisir
sesuai dengan kaidah-kaidah alam (karakteristik dan dinamika alamiah
lingkungan pesisir).
Selain itu, belum adanya studi tentang daya dukung lingkungan dilihat dari
segi pemanfaatan areal pesisir yang optimal untuk keberlanjutan menjadi
tantangan tersendiri dalam pengembangan ilmu yang ada, karena ke depan
selain inventarisasi informasi juga dapat memberikan kontribusi dalam
perencanaan pembangunan perikanan budidaya di wilayah pesisir.
Bertolak dari uraian di atas timbul permasalahan pokok yang perlu dijawab
yaitu :
1. Apakah pembangunan perikanan budidaya di wilayah pesisir Provinsi Banten
mampu meningkatkan kekuatan struktur dan interaksi antar sektor;
2. Apakah dengan pembangunan perikanan budidaya mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pesisir di Provinsi Banten;
3. Bagaimana dampak yang terjadi atas adanya pembangunan perikanan
budidaya terhadap sumberdaya pesisir (areal dan mangrove) di Provinsi
Banten;
4. Berapa besar daya dukung dari areal pesisir yang dapat dimanfaatkan bagi
kegiatan perikanan budidaya.
Dari fenomena di atas, diperlukan suatu analisis ekologi-ekonomi untuk
perencanaan pembangunan perikanan budidaya berkelanjutan di wilayah pesisir
Provinsi Banten yang didasarkan pada pemanfaatan areal pesisir untuk
perikanan budidaya yang optimal dan berkelanjutan.
7
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka dapat ditentukan beberapa
tujuan dalam penelitian ini, yaitu :
1. Menelaah kekuatan struktur dan interaksi antar sektor dari perikanan
budidaya.
2. Mengestimasi dampak terhadap ekonomi dan ekologi dari pembangunan
perikanan budidaya di wilayah pesisir.
3. Mengestimasi daya dukung lingkungan pesisir yang dapat dimanfaatkan bagi
kegiatan perikanan budidaya berkelanjutan.

1.4. Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan perumusan
dalam perencanaan pembangunan perikanan budidaya berkelanjutan di wilayah
pesisir dengan menggunakan pendekatan ecological footprint dalam hal daya
dukung dari areal pesisir yang dapat dimanfaatkan bagi kegiatan perikanan
budidaya yang optimal dan berkelanjutan di Provinsi Banten.
Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu
rujukan atau literatur tentang pengembangan aplikasi model input-output di
Indonesia dan di Provinsi Banten khususnya.

1.5. Kerangka Pemikiran


Perikanan budidaya merupakan salah satu kegiatan yang telah lama dan
umumnya lebih dulu diusahakan oleh masyarakat pesisir. Dalam aktivitas
kegiatannya, perikanan budidaya memiliki orientasi ekonomi untuk memenuhi
permintaan dan penawaran, konsumsi domestik, target ekspor dan adanya
dukungan investasi serta kebutuhan impor untuk produksi.
Selain aspek ekonomi tersebut, kegiatan perikanan budidaya juga tidak
terlepas dari aspek ekologi, berupa kebutuhan akan sumberdaya alam baik
dalam bentuk areal dan mangrove ataupun eksternalitas yang dihasilkan ke
lingkungan akibat kegiatan ekonomi tersebut. Ini menjadi perhatian penting
karena dalam aktivitasnya terjadi keterkaitan antar sektor dalam kegiatan
produksi, distribusi dan konsumsi baik dari sisi ekonomi maupun ekologi.
Konsekuensi yang timbul dari aktivitas kegiatan antar sektor tersebut antara lain:
peningkatan pendapatan dan ketersediaan kesempatan kerja bagi masyarakat
serta dampak lingkungan yang harus diminimalisasi.
8
Terkait dengan aktivitas dan konsekuensi yang timbul, perhatian terhadap
pemanfaatan areal pesisir yang optimal untuk perikanan budidaya menjadi
penting terkait dengan kemampuan lingkungan dalam memperbaiki diri (self
purification) bila mengalami gangguan dan bila terlampaui akan terjadi degradasi
serta ke depan tuntutan terhadap sumberdaya ini untuk menopang dalam segala
hal kegiatan ekonomi tidak dapat dihindari.
Oleh karena itu, pemanfaatan areal pesisir yang optimal dengan
pendekatan ecological footprint menjadi alternatif penyelesaian, yaitu dengan
mengestimasi daya dukung lingkungan dan diharapkan output yang dihasilkan
bisa menjadi pertimbangan oleh pengambil kebijakan untuk perencanaan
pembangunan berkelanjutan dari perikanan budidaya (sustainable aquaculture
development) di wilayah pesisir Provinsi Banten. Alur kerangka pemikiran dapat
dilihat pada Gambar 1.

Perikanan Budidaya

Ekonomi Ekologi

Permintaan Konsumsi Investasi Target Kebutuhan Kebutuhan Kebutuhan Eksternalitas


Penawaran Domestik Ekspor Impor Areal Mangrove

Keterkaitan
Antar sektor

Peningkatan Ketersediaan Dampak


Pendapatan Kesempatan Kerja Lingkungan

Pemanfaatan Areal Pesisir Untuk


Perikanan Budidaya yang Optimal

Sustainable Aquaculture Development

Gambar 1 Kerangka pemikiran.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Berkelanjutan


Pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat
memenuhi kebutuhan generasi saat ini, tanpa mengorbankan kepentingan
generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pembangunan
berkelanjutan mencakup upaya memaksimumkan net benefit dari pembangunan
ekonomi yang berhubungan dengan pemeliharaan jasa dan kualitas sumberdaya
alam setiap waktu. Oleh sebab itu, pembangunan ekonomi tidak hanya
mencakup peningkatan pendapatan per kapita riil, tetapi juga mencakup elemen-
elemen lain dalam kesejahteraan sosial dan lingkungan.
Konsep pembangunan berkelanjutan mengintegrasikan tiga pilar kehidupan
yaitu ekonomi, sosial dan ekologis dalam suatu hubungan yang sinergis. Oleh
karena itu, makna keberlanjutan dalam konsep tersebut juga didefinisikan
sebagai keberlanjutan ekonomi, sistem sosial dan keberlanjutan ekologis.
Konsep pembangunan berkelanjutan memungkinkan generasi sekarang dapat
meningkatkan kesejahteraannya tanpa mengurangi kesempatan generasi yang
akan datang untuk meningkatkan kesejahteraannya pula.
Clark dan Dickson (2003) berpendapat bahwa walaupun isu-isu
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang terkait dengan ilmu
dan teknologi yang sesuai telah muncul sejak lama, namun kenyataan empiris
membuktikan bahwa masih banyak hal yang harus dilakukan terutama
pentingnya integrasi keilmuan dan riset guna mewujudkan konsep operasional
pembangunan berkelanjutan.
Lebih lanjut, Daly (1990) memberikan tiga kriteria dasar bagi keberlanjutan
modal alam (natural capital) dan keberlanjutan ekologi (ecological sustainability)
yaitu : 1) untuk sumberdaya alam terbarukan (renewable resources), laju
pemanfaatannya tidak boleh melebihi laju regenerasinya (sustainable yield); 2)
laju produksi limbah dari kegiatan pembangunan tidak boleh melebihi
kemampuan asimilasi dari lingkungan (sustainable waste disposal), dan 3) untuk
sumberdaya tidak terbarukan (non-renewable resources), laju deplesi
sumberdaya harus mempertimbangkan pengembangan sumberdaya substitusi
bagi sumberdaya tersebut. Tiga kriteria ini menurut Adrianto (2004) ideal dan
lebih bersifat normatif, namun dalam konteks pembangunan berkelanjutan di
Indonesia, ketiganya menjadi faktor penting yang diharapkan dapat menjadi
norma bagi setiap pengambilan kebijakan pembangunan ekonomi nasional.
10
2.2. Pengelolaan Wilayah Pesisir Berkelanjutan
Wilayah pesisir menggambarkan dan umumnya selalu dihubungkan
dengan daerah antarmuka (interface) atau ruang transisi antara darat dan laut
(Cicin-Sain dan Knecht 1998). Wilayah ini didefinisikan sebagai bagian dari darat
yang dipengaruhi – karena dekatnya – oleh laut, dan bagian dari laut yang
dipengaruhi – karena dekatnya – oleh daratan (USCMSER 1969, diacu dalam
United Nation 1995). Dengan demikian, proses-proses interaksi antara darat dan
laut di wilayah ini terjadi sangat kuat.
Sedangkan menurut World Bank (1993) pengertian wilayah pesisir adalah
“suatu daerah antarmuka (interface), dimana darat bertemu laut, meliputi baik
lingkungan garis pantai maupun perairan pesisir yang berbatasan. Komponennya
dapat termasuk delta sungai, dataran pesisir, lahan-lahan basah (wetland),
pantai dan gundukan pasir (dune), laguna, karang dan hutan mangrove”. Untuk
tujuan perencanaan, wilayah pesisir merupakan suatu daerah spesial yang
memiliki ciri-ciri khusus, antara lain : a). Merupakan suatu daerah dinamis, yang
seringkali mengalami perubahan sifat biologis, kimiawi dan geologis; b). Daerah
produktifitas tinggi dengan adanya bermacam-macam ekosistem biologis, yang
memberikan habitat penting bagi beberapa spesies laut; c). Memiliki
keistimewaan wilayah seperti sistem-sistem terumbu karang, hutan mangrove,
pantai dan gundukan pasirnya, yang memberikan pertahanan alami khusus guna
mengatasi badai, banjir dan erosi; d). Ekosistem-ekosistem pesisir dapat
berperan menetralisir dampak polusi yang datang dari darat, seperti lahan basah
yang dapat menampung kelebihan nutrien, sedimen dan kotoran manusia; e).
Wilayah pantai memunculkan sangat banyak perkampungan dan pemukiman
manusia yang memanfaatkan sumberdaya hayati dan non-hayati di lautan,
transportasi laut dan rekreasi wisata.
Wilayah pesisir merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan
kebutuhan hidupnya di masa datang. Sudah sejak lama wilayah pesisir dengan
segala potensinya dimanfaatkan oleh manusia, terutama dalam bidang
perekonomian. Wilayah ini juga merupakan kawasan tempat berlangsungnya
berbagai macam kegiatan pembangunan yang paling intensif. Wilayah pesisir ini,
selain potensial untuk kegiatan pembangunan juga rentan terhadap berbagai
dampak negatif yang ditimbulkan kegiatan pembangunan dan perekonomian itu,
baik yang berlangsung di wilayah pesisir itu sendiri maupun yang berlangsung di
laut ataupun kawasan atasnya (daratan). Berbagai bukti pengrusakan
11
sumberdaya darat dan laut tanpa mempertimbangkan kondisi ekologis dan
kelangsungannya (KMNLH dan Bapedalwil I 1999). Padahal sumberdaya pesisir
dan lautan merupakan aset pembangunan yang penting dan terbesar bagi
Indonesia di masa depan, karena sumberdaya darat seperti hutan dan lahan
lainnya sendiri semakin terbatas akibat alih fungsi, eksploitasi yang berlebihan,
kebakaran hutan dan lain-lain. Di samping itu, tekanan pertambahan penduduk
terhadap wilayah pesisir dengan berbagai dampaknya semakin besar.
Diperkirakan 60% dari populasi penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir
dan 80% dari pembangunan industri mengambil tempat di wilayah pesisir ini
(Hinrichson 1997, diacu dalam Bengen dan Rizal 2000).
Oleh karena itu, konsep pembangunan berkelanjutan dalam rangka
perlindungan terhadap wilayah pesisir, merupakan langkah terbaik yang perlu
dilakukan sebagai bentuk tatacara pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan
wilayah pesisir ini bagi sebesar-besarnya kesejahteraan hidup manusia.
Pemikiran pembangunan berwawasan lingkungan secara terpadu dan
berkelanjutan ini dilakukan dengan menekan kerusakan sekecil mungkin yang
dapat ditimbulkannya. Hal ini dikarenakan pembangunan berkelanjutan
merupakan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa merusak
atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya (Dahuri et al. 1996).

2.3. Pengelolaan Perikanan Budidaya


Kawasan perikanan pesisir merupakan tempat dilakukannya berbagai
aktivitas yang berorientasi pada usaha-usaha perikanan, baik usaha perikanan
budidaya air payau/pertambakan (brakish water aquaculture), budidaya laut
(mariculture), maupun usaha penangkapan ikan (capture fisheries). Kegiatan
budidaya perikanan di wilayah pesisir merupakan bagian dari usaha perikanan
darat (inland fisheries). Selain itu, Indonesia memiliki peluang pengembangan
usaha perikanan yang sangat besar, namun sayangnya perikanan budidaya
khususnya budidaya air payau dan budidaya laut masih diibaratkan sebagai
“raksasa ekonomi yang masih tidur” (the sleeping giant of economy).
Dahuri et al. (1996) mengemukakan bahwa sebagian besar kegiatan
budidaya perikanan wilayah pesisir adalah usaha perikanan tambak, baik tambak
udang, bandeng ataupun campuran keduanya. Selain itu terdapat beberapa jenis
kegiatan budidaya perikanan lain, seperti budidaya rumput laut, tiram dan
12
budidaya ikan dalam keramba (net impondment). Karena air merupakan media
utama dalam kegiatan budidaya perikanan, maka pengelolaan terhadap sumber-
sumber air alami maupun non alami (tambak, kolam dll) harus menjadi perhatian
utama dalam pengelolaan wilayah pesisir. Dalam kegiatan budidaya perikanan,
pengaruh utama yang perlu diperhatikan adalah yang berasal dari lingkungan
sekitar lokasi budidaya, termasuk aktivitas lahan atas dan pengaruh kegiatan
budidaya tersebut terhadap lingkungan.
Kamaluddin (2002) menambahkan bahwa perikanan budidaya juga dapat
ditata sebaik mungkin sehingga dapat dijadikan objek wisata, untuk itu budidaya
harus dibangun dengan nuansa ekonomi dan wisata yang berwawasan
lingkungan. Melalui cara ini terbuka peluang usaha bagi masyarakat dalam
kerangka agrowisata.
Pengembangan budidaya perikanan ke depan harus mampu mendaya-
gunakan potensi yang ada. Dengan demikian, subsektor ini dapat mendorong
kegiatan produksi berbasis ekonomi rakyat, meningkatkan perolehan devisa
negara, serta mempercepat pembangunan ekonomi masyarakat pembudidaya
ikan Indonesia secara keseluruhan (Dahuri 2002).
Bertolak dari hal di atas, maka menurut Dahuri (2002) kegiatan budidaya
perikanan diharapkan memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan
masyarakat, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha,
penyediaan bahan baku industri, mendorong pertumbuhan industri dalam negeri,
yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi bagi penerimaan devisa
negara. Namun demikian, pada saat yang sama kegiatan budidaya perikanan
harus tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya dan lingkungan dalam
rangka mewujudkan kawasan budidaya yang berkelanjutan, berdaya saing dan
berkeadilan.

2.4. Pendekatan Ekonomi-Ekologi


Kebijakan pembangunan ekonomi selama ini terkesan lepas dari kebijakan
lingkungan dan sosial. Pelaksanaan baru dilakukan pada tingkat pembicaraan
ataupun koordinasi antar instansi yang terkait. Koordinasi yang dimaksud masih
terbatas pada tahap pembicaraan rencana pelaksanaan dan belum terwujud.
Alasannya adalah belum ada perangkat aturan yang dapat memberikan rujukan
tolok ukur untuk menjawab masalah tersebut. Misalnya perkembangan ekonomi
yang meningkat sekian persen maka berapa seharusnya target untuk perbaikan
13
lingkungan dan sosial yang mampu ditunjang oleh ekonomi secara proporsional
(Ristianto 2003).
Adrianto (2004) mengemukakan pertumbuhan ekonomi memiliki
keterbatasan hingga suatu titik dimana ekonomi menuju kondisi stabil (steady-
state economy). Seoptimis apapun teknologi yang mampu dihasilkan, sudut
pandang bahwa ekonomi bukan tak terbatas merupakan pandangan yang
penting dalam koridor keberlanjutan (sustainability corridors).
Dalam konteks dan pertimbangan seperti diuraikan di atas, Adrianto (2004)
berargumen perlunya perubahan paradigma lingkungan dalam pembangunan
ekonomi dimana keduanya (ekonomi dan lingkungan) harus dipandang sebagai
sebuah integrasi dan berinteraksi aktif satu sama lain serta tidak terpisah seperti
yang terjadi selama ini sehingga menjadi sangat diametris satu sama lain.
Salah satu penghalang terkuat dari bersatunya ekonomi dan ekologi adalah
cara pandang dan asumsi bahwa sistem ekologi dan sistem ekonomi adalah dua
sistem yang terpisah dan tidak perlu dipahami secara bersama-sama. Para
ekonom berpikir bahwa sistem ekonomi terpisah dari sistem alam sehingga
beberapa isu yang terkait dengan sistem di luar sistem ekonomi akan dianggap
sebagai eksternalitas, sementara pemerhati lingkungan tidak jarang memandang
sistem alam dan lingkungan sebagai sebuah sistem yang terpisah dari dinamika
ekonomi.
Oleh karena itu, pemikiran alternatif yang mampu memberikan penjelasan
bagaimana sistem ekonomi bekerja dalam sebuah delineasi ekosistem
(biosphere) menjadi sangat diperlukan untuk diwujudkan. Alternatif ini ditawarkan
oleh mainstream Ecological Economics yang memfokuskan diri pada hubungan
yang kompleks, non-linier dengan time-frame yang lebih panjang antara sistem
ekologi dan ekonomi. Komitmen normatif dari mainstream ini adalah berusaha
mewujudkan terciptanya “masyarakat yang bukan tanpa batas” (frugal society),
dalam arti bahwa kehidupan masyarakat berada dalam keterbatasan sistem alam
baik sebagai penyedia sumberdaya maupun penyerap limbah (Adrianto 2004).
Selanjutnya dengan mengubah paradigma dan cara pandang
pembangunan ekonomi dan lingkungan sebagai sebuah kesatuan, maka konsep
daya dukung merupakan salah satu alat yang dapat diimplementasikan sebagai
salah satu nilai normatif dalam kebijakan pembangunan ekonomi secara
keseluruhan yang tidak terlepas pada paradigma sustainability sciences.
14
2.5. Ecological Input-Output
Menurut Rustiadi et al. (2004) model Input-Output telah dikenal semenjak
jaman Phsyokrat pada pertengahan abad ke-18, khususnya oleh Quesnay di
tahun 1758 dengan Tableu de’economique-nya. Semula Quesnay hanya
mengkonstruksi model makro ekonomi input-output khususnya antara petani dan
buruh (farmers and laborers), tuan tanah (land owners) dan pihak lainnya (others,
sterile class). Kemudian, oleh Walras di tahun 1877 dengan General Equilibrium-
nya dibuatlah model tersebut menjadi lebih terinci dengan pemisahan sektor
yang lebih baik dan jelas.
Puncak perkembangan Tabel Input-Output yang mencapai bentuk yang
mendasari tabel-tabel input-output modern adalah tabel input-output yang
dikembangkan oleh Leontief (1966). Tujuan Leontief mengembangkan tabel
input-output adalah untuk menjelaskan besarnya arus interindustri dalam hal
tingkat produksi dalam tiap-tiap sektor. Saat ini Analisis Input-Output telah
berkembang luas menjadi model analisis standar untuk melihat struktur
keterkaitan perekonomian nasional, wilayah dan antar wilayah, serta
dimanfaatkan untuk berbagai peramalan perkembangan struktur perekonomian
(Rustiadi et al. 2004).
Ecological input-output merupakan pengembangan dari model input-output
(I-O) konvensional yang telah digunakan sebagai alat analisis perencanaan
pembangunan selama ini (KMNLH dan BPS 2000). Satu kekurangan dari model
I-O konvensional adalah tidak diikutsertakannya transaksi komoditi ekologi dan
output eksternal dari setiap sektor pembangunan. Padahal ini merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihindari. Pengembangan model ecological input-output
ini diharapkan dapat menyempurnakan kekurangan tersebut sehingga hasilnya
dapat dijadikan sebagai dasar perencanaan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan.
Model ecological input-output dilakukan dengan cara memasukkan
beberapa jenis komoditas ekologi, seperti air dan tanah ke dalam deretan sektor
produksi dan menambahkan pada kolom-kolom terakhir beberapa output yang
berupa limbah atau permasalahan lingkungan/ekologi seperti pencemaran CO,
CO2, SOx dan sebagainya yang merupakan produk kegiatan ekonomi.
Prinsip analisis yang digunakan sama dengan prinsip pada analisis dasar,
dimana dengan mengasumsikan koefisien konstan, maka dampak perubahan
permintaan akhir pada produksi berbagai sektor (termasuk produksi limbah) akan
15
bisa diprediksi. Karena model ini mencakup komoditi ekologi seperti air dan
tanah yang dimasukkan sebagai input, maka dapat diprediksi dampak perubahan
permintaan akhir pada besarnya kebutuhan input setiap sektor, sehingga
dampaknya pada degradasi lingkungan dapat diperkirakan (KMNLH dan BPS
2000).
Bentuk umum tabel ecological input-output yang memperhitungkan dampak
lingkungan adalah dengan menambahkan beberapa kolom pada sisi kanan tabel
input-output standar yang mencerminkan output berupa produk sampingan
ekonomi yang dalam hal ini eksternalitas dan degradasi yang terjadi terhadap
lingkungan. Di samping itu dengan menambahkan baris pada sisi bawah yang
menggambarkan input berupa variabel sumberdaya (lingkungan) yang dapat
memberikan masukan bagi kegiatan ekonomi.
Format tabel input-output terdiri dari suatu kerangka matrik berukuran
“n x n” dimensi yang dibagi menjadi empat kuadran dan tiap kuadran
mendeskripsikan suatu hubungan tertentu. Untuk memberikan gambaran yang
lengkap, maka Tabel 1 menyajikan format tabel ecological input-output.

Tabel 1 Struktur Tabel Ecological Input-Output


Alokasi Output Permintaan Antara Permintaan Akhir
Sektor Produksi
Rumah Tangga

Pembentukan
Modal Tetap
Pemerintah

Ecological
Konsumsi

Konsumsi

Ekspor

Commodity
Stok

Total
Outputs
1 … j … n Output

Susunan Input
1 X11 … X1j … X1n RT1 KP1 PM1 S1 E1 O1 N1
. … … … … … … … … … … … …
Sektor Produksi
Input Antara

. … … … … … … … … … … … …
. … … … … … … … … … … … …
i Xi1 … Xij … Xin RTi KPi PMi Si Ei Oi Ni
. … … … … … … … … … … … …
. … … … … … … … … … … … …
. … … … … … … … … … … … …
n Xn1 … Xnj … Xnn RTn KPn PMn Sn En On Nn
Upah dan gaji
L1 … Lj … Ln
Rumah Tangga
Nilai Tambah Lain V1 … Vj … Vn
Impor M1 … Mj … Mn
Total Input I1 … Ij … In
Ecological
R1 … Ri … Rn
Commodity Inputs

2.6. Ecological Footprint


Sachs (2003), diacu dalam Anielski (2005) mengatakan bahwa : “The world
is no longer divided by the ideologies of ‘left’ and ‘right,’ but by those who accept
ecological limits and those who don’t.” (“Dunia tidak lagi dibagi oleh ideologi ‘kiri’
16
dan ‘kanan’ tetapi oleh mereka yang menerima adanya keterbatasan ekologis
dan mereka yang tidak”). Oleh karena itu, perhatian terhadap keberlanjutan
ekologi menjadi kewajiban bagi seluruh umat manusia. Dengan kata lain
diperlukan suatu pendekatan. Salah satu konsep pendekatan yang coba
ditawarkan adalah ecological footprint sebagai panduan kebijakan dan alat
perencanaan untuk keberlanjutan pembangunan.
Ecological footprint merupakan suatu konsep daya dukung lingkungan
dengan memperhatikan tingkat konsumsi masyarakat (Adrianto 2006). Selain itu
menurut Anielski (2005) ecological footprint adalah suatu alat untuk memonitor
kemajuan ke arah keberlanjutan. Ini merupakan salah satu langkah penyampaian
mengenai perbandingan konsumsi manusia yang secara langsung dengan
batasan produktivitas sumberdaya alam. Ini merupakan suatu alat menarik untuk
berkomunikasi, mengajar, dan perencanaan dengan menggunakan kriteria
ekologis minimum untuk keberlanjutan.
Konsep ecological footprint pertama kali diperkenalkan oleh Wackernagel
dan Rees (1996) dalam bukunya yang berjudul : Our Ecological Footprint:
Reducing Human Impact on the Earth. Setiap diri kita memerlukan areal untuk
konsumsi pangan dan papan (footprint pangan dan papan), untuk bangunan,
jalan, TPA dan lain-lain (degraded land footprint), dan perlu hutan (dan juga
lautan) untuk mengabsorbsi kelebihan CO2 pada saat membakar BBM (energy
footprint). Jumlah footprint tersebut merupakan apa yang disebut ecological
footprint diri kita.
Venetoulis et al. (2004) menambahkan ecological footprint merupakan
suatu alat untuk mengukur dan meneliti konsumsi sumberdaya alam oleh
manusia dan output buangan di dalam konteks sumberdaya alam dapat
diperbaharui dan memiliki kapasitas regenerasi (biocapacity). Pendekatan ini
memberikan penilaian yang bersifat kuantitatif mengenai produktifitas area
secara biologi yang diperlukan untuk menghasilkan sumberdaya baik makanan,
energi dan material serta untuk menyerap buangan dari individu, kota, wilayah,
atau negara.
Pada saat kita makan nasi, maka jumlah nasi yang kita konsumsi selama
satu tahun memerlukan sejumlah areal yang khusus diperuntukkan untuk
memenuhi kebutuhan nasi kita. Tidak penting lokasi areal itu dimana, tetapi pasti
ada areal di permukaan bumi yang telah berproduksi untuk kita. Kertas dan kayu
yang kita gunakan setiap tahun juga memerlukan sejumlah areal hutan yang
17
khusus diperuntukkan untuk keperluan kita. Demikian pula areal untuk rumah,
perkantoran, kawasan perkotaan, jalan dan lain-lain, merupakan areal yang
harus tersedia untuk kita sebagai areal yang secara ekologis telah ”terdegradasi”
karena secara biologis tidak produktif lagi. Mengingat areal di permukaan bumi
yang terbatas, ekspansi seseorang terhadap komponen-komponen kebutuhan
tersebut pasti akan mengurangi atau berakibat kerugian pada orang lain. Analisis
ecological footprint dari kebutuhan nyata tersebut dapat memberikan gambaran
pada tingkat mana permukaan bumi dapat mendukung pola konsumsi manusia
ketika populasi bertambah dan standar hidup di negara berkembang juga
meningkat (Palmer 1999).
Secara konseptual ecological footprint tidak boleh melebihi biocapacity.
Biocapacity dapat diartikan sebagai daya dukung biologis, atau daya dukung
saja. Ferguson (2002) mendefinisikan biocapacity sebagai ukuran ketersediaan
areal produktif secara ekologis. Sementara itu daya dukung lingkungan dalam
kaitan ini dapat disajikan dalam bentuk jumlah orang yang dapat hidup di lokasi
tersebut, yang didukung oleh biocapacity yang ada. Daya dukung lingkungan
(carrying capacity) adalah total biocapacity dibagi dengan total ecological
footprint.
Menurut Rees (1996) yang dikutip dalam Wackernagel dan Yount (1998),
analisis ecological footprint adalah suatu indikator area-based yang digunakan
untuk mengukur intensitas penggunaan sumberdaya oleh manusia dan aktivitas
menghasilkan limbah di suatu area khusus dalam hubungan dengan kapasitas
area untuk menyediakan aktivitas tersebut.
Wackernagel dan Yount (1998) menjelaskan bahwa analisis ecological
footprint didasarkan pada dua fakta sederhana. Pertama, kita dapat menelusuri
banyaknya sumberdaya yang dikonsumsi pada suatu populasi manusia dan
kebanyakan populasi tersebut menghasilkan buangan. Kedua, bahwa
sumberdaya dan aliran buangan tersebut dapat dikonversi ke suatu area yang
produktif untuk keperluan menyediakan sumberdaya dan asimilasi buangan.
Setiap proses kehidupan akan memiliki ecological footprint dengan ukuran
yang berbeda. Pada skala global, manusia secara keseluruhan dapat
dibandingkan dengan total kekayaan alam dan jasa yang tersedia. Ketika
manusia dalam pemanfaatannya masih di dalam kemampuan alam melakukan
regenerasi, maka keberlanjutan sebagai konsekuensinya.
III. METODOLOGI

Studi ini dimaksudkan sebagai kajian pemanfaatan areal pesisir untuk


perencanaan pembangunan perikanan budidaya berkelanjutan dengan suatu
pendekatan ecological footprint dan pengembangan analisis ecological input-
output di wilayah pesisir Provinsi Banten. Untuk keterkaitan pertumbuhan
ekonomi dengan sektor perikanan budidaya maka studi ini dianalisis melalui
Model Input-Output karena dalam tabel input-output dijabarkan bagaimana output
suatu sektor ekonomi tergantung pada output sektor lainnya. Selanjutnya, untuk
keperluan analisis model ini disederhanakan ke dalam ukuran matrik 10X10
sektor. Model ini kemudian dikembangkan dengan memasukkan faktor fisik
berupa input sumberdaya alam yang digunakan oleh sektor ekonomi dan
eksternalitas yang timbul terhadap lingkungan sebagai akibat dari kegiatan
tersebut.
Tabel transaksi Provinsi Banten yang diterbitkan BPS, menunjukkan
hubungan saling berkaitan antara sektor yang satu dengan sektor yang lainnya.
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai analisis tabel input-ouput terlebih dahulu
harus ditentukan koefisien input, karena koefisien input merupakan nilai yang
sangat fundamental untuk merumuskan berbagai formulasi analisis yang
merupakan manfaat dari tabel input-output. Model ini dikembangkan dengan
memasukkan faktor fisik (PIOT) berupa input sumberdaya alam yang digunakan
oleh sektor ekonomi dan eksternalitas yang timbul terhadap lingkungan sebagai
akibat dari kegiatan tersebut, maka koefisien yang diperoleh meliputi koefisien
input ekonomi dan ekologi.
Nilai dari koefisien input ekonomi digunakan untuk menganalisis besarnya
nilai keterkaitan langsung (direct linkages) ke belakang dan ke depan.
Selanjutnya, nilai matrik kebalikan Leontief terbuka selain digunakan untuk
menentukan besarnya nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung (direct and
indirect linkages) ke belakang dan ke depan, dapat juga dimanfaatkan untuk
menganalisis besarnya indeks daya penyebaran dan derajat kepekaan serta
income multiplier dan employment multiplier.
Kegunaan analisis keterkaitan antar sektor, indeks daya penyebaran dan
derajat kepekaan, selain dapat melihat interaksi antar sektor akan dapat
menentukan sektor andalan, potensial, jenuh atau kurang berkembang. Lain
halnya dengan analisis multiplier, dari aspek ekonomi bertujuan untuk melihat
19
dampak dari peningkatan permintaan akhir sebesar satu juta rupiah terhadap
pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja sebagai cerminan pembangunan
suatu sektor kegiatan dengan menggunakan analisis income multiplier dan
employment multiplier.
Dari aspek ekologi analisis lebih lanjut dari koefisien ekologi akan diperoleh
nilai ecological multiplier baik dari sisi input maupun output. Analisis ecological
multiplier akan memberikan estimasi dampak ekologi dari pembangunan suatu
sektor kegiatan akibat peningkatan permintaan akhir sebesar satu juta rupiah,
baik dari input ekologi maupun dari output yang dihasilkan ke ekologi.
Selanjutnya untuk mengestimasi daya dukung lingkungan untuk kegiatan
perikanan budidaya berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan ecological
footprint, yaitu dengan membandingkan nilai biocapacity dari budidaya laut dan
tambak dengan nilai ecological footprint dari budidaya tersebut. Hasil yang
diperoleh berupa besaran parameter ha/kapita, yang berarti kemampuan
lingkungan dan sumberdaya alam secara total dapat menghidupi kapita tersebut
secara berkelanjutan jika potensi yang ada dimanfaatkan secara optimal. Alur
kerangka analisis disajikan pada Gambar 2.

Tabel Transaksi (I-O)


Banten

MIOT PIOT

Koefisien Matriks Ecological Koefisien


Ekonomi Leontief Footprint Ekologi

Analisis Daya Penyebaran Input Output


Keterkaitan Derajat Kepekaan Ecological Ecological

Biocapacity
Income Employment Ecological
Multiplier Multiplier Multiplier

Carrying
Capacity

Pemanfaatan Areal Pesisir


Perikanan Budidaya

Gambar 2 Alur kerangka analisis.


20
Selain itu, lebih lanjut dapat dilihat hubungan ecological footprint dengan
ecological input-output untuk menentukan batasan optimal dalam pemanfaatan
areal pesisir untuk perikanan budidaya. Diharapkan hasil ini bisa menjadi
rekomendasi dan pertimbangan pengambil kebijakan dalam merencanakan
pembangunan perikanan budidaya berkelanjutan di wilayah pesisir Provinsi
Banten terkait dengan pemanfaatan areal pesisir untuk perikanan budidaya.

3.1. Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian didasarkan pada pasal 18 UU No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa wilayah pesisir Provinsi Banten
meliputi wilayah laut sejauh 12 mil, yang diukur dari garis pantai ke arah laut
lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Secara geografis meliputi wilayah
pesisir dari Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang
dan Kabupaten Lebak. Batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang
air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses
laut seperti pasang surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan batas di laut
ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan
seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut
yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Lokasi penelitian
dapat dilihat pada Gambar 3.

3.2. Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian yang dilakukan dalam analisis ekologi-ekonomi
untuk perencanaan pembangunan perikanan budidaya berkelanjutan di wilayah
pesisir Provinsi Banten meliputi budidaya laut dan budidaya tambak
menggunakan pendekatan ecological footprint dan pengembangan analisis
ecological input-output dengan aspek ekologi dan ekonomi. Aspek ekologi
meliputi input sumberdaya alam untuk kegiatan perikanan budidaya pesisir dalam
hal ini berupa input areal dan mangrove serta dampak yang terjadi terhadap
lingkungan akibat kegiatan tersebut yang berupa pencemaran bahan organik.
Sedangkan aspek ekonomi mencakup dampak dari kegiatan perikanan budidaya
pesisir terhadap pendapatan dan ketersediaan lapangan kerja.
Cakupan lingkup analisis, terdiri dari :
1. Telaah kekuatan struktur dan interaksi antar sektor dari perikanan budidaya.
2. Estimasi dampak terhadap ekonomi dan ekologi dari pembangunan
perikanan budidaya di wilayah pesisir.
3. Estimasi daya dukung lingkungan pesisir yang dapat dimanfaatkan bagi
kegiatan perikanan budidaya berkelanjutan.
21
22
3.3. Pengumpulan Data
Data dan informasi diperoleh melalui dua cara, yaitu pengumpulan data
dan wawancara. Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer
dan data sekunder. Data primer melalui wawancara untuk konfirmasi
penggunaan areal. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran pustaka dan
laporan dari berbagai instansi, yang meliputi: data fisik, sosial dan ekonomi,
antara lain: Neraca Kualitas Lingkungan Hidup Daerah, Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Banten dan Tabel Input-Output Provinsi Banten.

3.4. Analisis Data


3.4.1. Kekuatan Struktur dan Interaksi Antar Sektor
Analisis deksriptif digunakan untuk menelaah kekuatan struktur dari
perikanan budidaya terhadap struktur permintaan dan penawaran, struktur
permintaan akhir dan struktur input primer, dengan cara mendeskripsikan angka-
angka pada tabel dasar, yaitu tabel transaksi domestik atas dasar harga
produsen. Interaksi antar sektor dianalisis dengan menggunakan analisis
keterkaitan; dan indeks daya penyebaran dan derajat kepekaan.

3.4.1.1. Analisis Keterkaitan


Keterkaitan sektor perikanan budidaya dengan sektor kegiatan lainnya
dianalisis, baik sektor penyedia input maupun sektor yang menggunakan output
dari sektor perikanan budidaya dengan menggunakan analisis keterkaitan
(linkages), baik secara langsung (direct) ke belakang dan ke depan, maupun
secara tidak langsung (indirect) ke belakang dan ke depan.

a. Keterkaitan Langsung ke Belakang (Direct backward linkages)


Keterkaitan langsung ke belakang menunjukkan keterkaitan suatu sektor
tertentu terhadap sektor kegiatan yang menyediakan input antara bagi sektor
tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan total. Keterkaitan
langsung ke belakang suatu sektor ke-j merupakan penjumlahan suatu kolom ke-
j dalam matrik koefisien teknis. Persamaan untuk mencari keterkaitan langsung
ke belakang adalah :
n

∑X ij n
KB j = i =1
= ∑ aij (1)
Xj i =1
23
Keterangan :
KB = Keterkaitan langsung ke belakang
j
X = Banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j
ij
X = Total input sektor j
j
a = Unsur matrik koefisien teknis
ij

b. Keterkaitan Langsung ke Depan (Direct forward linkages)


Keterkaitan langsung ke depan menunjukkan keterkaitan suatu sektor
tertentu terhadap sektor kegiatan yang menggunakan sebagian output sektor
tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan total. Keterkaitan
langsung ke depan suatu sektor ke-i merupakan penjumlahan suatu baris ke-i
dalam matriks koefisien teknis. Keterkaitan tipe ini dirumuskan dalam persamaan
sebagai berikut :
n

∑X ij n
KDi = i =1
= ∑ aij (2)
Xi j =1

Keterangan :
KD = Keterkaitan langsung ke depan
i
X = Banyak output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j
ij
X = Total output sektor i
i
a = Unsur matrik koefisien teknis
ij

c. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Belakang (Direct and indirect


backward linkages)
Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang merupakan alat
untuk mengukur keterkaitan dari suatu sektor terhadap sektor kegiatan lainnya
yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut baik secara langsung
maupun tidak langsung per unit kenaikan permintaan total. Keterkaitan langsung
dan tidak langsung ke belakang sektor ke-j merupakan penjumlahan unsur-unsur
kolom ke-j dari matrik kebalikan Leontief terbuka. Untuk mengukur besarnya
keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang digunakan persamaan
sebagai berikut :
n
KBLT j = ∑ C ij (3)
i =1

Keterangan :
KBLT = Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang
j
C = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka
ij
24
d. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Depan (Direct and indirect
forward linkages)
Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan merupakan alat untuk
mengukur keterkaitan dari suatu sektor terhadap sektor kegiatan lainnya yang
menggunakan output dari sektor tersebut baik secara langsung maupun tidak
langsung per unit kenaikan permintaan total. Keterkaitan langsung dan tidak
langsung ke depan sektor ke-i merupakan penjumlahan unsur-unsur baris ke-i
dari matriks kebalikan Leontief terbuka. Untuk mengukur besarnya keterkaitan
langsung dan tidak langsung ke depan digunakan persamaan sebagai berikut :
n
KDLTi = ∑ Cij (4)
j =1

Keterangan :
KDLT = Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan
i
C = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka
ij

3.4.1.2. Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan


a. Daya Penyebaran
Analisis ini diartikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk meningkatkan
kemampuan industri hulunya. Sektor ini dikatakan mempunyai kaitan ke
belakang yang tinggi jika daya penyebarannya (Pd ) mempunyai nilai lebih besar
j

dari satu atau di atas rata-rata sektor secara keseluruhan. Secara matematis
analisis ini dapat dinyatakan sebagai berikut :
n
n∑ C ij
Pd j = n
i =1
n
(5)
∑∑ C
i =1 j =1
ij

Keterangan :
Pdj = Daya penyebaran
Cij = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka
n = Total sektor

b. Derajat Kepekaan
Analisis ini diartikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk mendorong
pertumbuhan produksi sektor lain yang memakai input dari sektor ini. Sektor
yang dikatakan mempunyai kepekaan penyebaran yang tinggi apabila nilai
derajat kepekaannya (Sd ) lebih besar dari satu atau di atas rata-rata sektor
i

secara keseluruhan. Secara matematik analisis ini dinyatakan sebagai berikut :


25
n
n∑ C ij
j =1
Sd i = n n
(6)
∑∑ C
i =1 j =1
ij

Keterangan :
Sdj = Derajat kepekaan
Cij = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka
n = Total sektor

3.4.2. Dampak Ekologi-Ekonomi


Analisis yang digunakan untuk mengestimasi dampak terhadap ekonomi
dan ekologi dari pembangunan perikanan budidaya di wilayah pesisir antara lain:
dampak ekonomi dengan menggunakan analisis income multiplier dan
employment multiplier. Dampak ekologi dengan menggunakan analisis ecological
multiplier.
3.4.2.1. Income Multiplier
Dampak ekonomi berupa pendapatan dari pembangunan perikanan
budidaya dianalisis dengan menggunakan analisis income multiplier. Untuk
mendapatkan informasi besaran parameter pengganda pendapatan sederhana
(Simple Income Multiplier) digunakan rumus :
n
MS j = ∑ a n +1,i C ij (7)
i =1

Keterangan :
MSj = Pengganda pendapatan sederhana sektor j
Cij = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka
an+1,i = Koefisien input gaji/upah rumah tangga

Selanjutnya untuk mendapatkan informasi besaran parameter pengganda


pendapatan I (Income Multiplier I) yang merupakan perbandingan antara
pengganda pendapatan sederhana dengan koefisien teknis upah dan gaji rumah
tangga digunakan persamaan :
n

∑a
i =1
n +1,i C ij
MI j = (8)
a n +1, j
Keterangan :
MIj = Pengganda pendapatan tipe I
Cij = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka
an+1,j = Koefisien input gaji/upah rumah tangga sektor j
26
Persamaan ini menunjukkan besarnya peningkatan pendapatan pada
suatu sektor akibat meningkatnya permintaan akhir output sektor tersebut
sebesar satu unit, yang artinya apabila permintaan akhir terhadap output sektor
tertentu meningkat sebesar satu juta rupiah, maka akan meningkatkan
pendapatan rumah tangga yang bekerja pada sektor tersebut sebesar nilai
pengganda pendapatan sektor yang bersangkutan.

3.4.2.2. Employment Multiplier


Dampak ekonomi berupa kesempatan kerja dari pembangunan perikanan
budidaya dianalisis dengan menggunakan analisis employment multiplier.
Sebelum mendapatkan informasi besaran parameter pengganda tenaga kerja,
terlebih dahulu harus diperoleh informasi besaran parameter koefisien tenaga
kerja (employment coefficient) yang merupakan suatu bilangan yang
menunjukkan besarnya jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkan
satu unit keluaran (output). Sesuai dengan pengertian ini maka koefisien tenaga
kerja dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
Li
W= (9)
Xi
Keterangan :
W = Koefisien tenaga kerja
Li = Jumlah tenaga kerja sektor i
Xi = output sektor i

Koefisien tenaga kerja sektoral merupakan indikator untuk melihat daya


serap tenaga kerja di masing-masing sektor. Semakin tinggi koefisien tenaga
kerja di suatu sektor menunjukkan semakin tinggi pula daya serap tenaga kerja di
sektor bersangkutan, karena semakin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan
untuk menghasilkan satu unit output. Sebaliknya sektor yang semakin rendah
koefisien tenaga kerjanya menunjukkan semakin rendah pula daya serap tenaga
kerjanya. Koefisien tenaga kerja yang tinggi pada umumnya terjadi di sektor-
sektor padat karya, sedangkan koefisien tenaga kerja yang rendah umumnya
terjadi di sektor padat modal yang proses produksinya dilakukan dengan
teknologi tinggi. Informasi tentang koefisien tenaga kerja sektoral antara lain
dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam menyusun berbagai kebijakan dan
perencanaan di bidang ketenagakerjaan.
Selanjutnya untuk mendapatkan informasi besaran parameter pengganda
tenaga kerja (employment multiplier) yang merupakan perbandingan antara
pengganda tenaga kerja sederhana dengan koefisien tenaga kerja digunakan
persamaan :
27
n

∑W
i =1
n +1,i C ij
MLI j = (10)
Wn +1, j
Keterangan :
MLIj = Pengganda tenaga kerja tipe I
Cij = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka
Wn+1,j = Koefisien tenaga kerja sektor j

Persamaan ini akan memperlihatkan bahwa permintaan akhir terhadap


output suatu sektor memiliki pengaruh terhadap penyerapan tenaga kerjanya.
Hal ini menunjukkan bahwa untuk memenuhi permintaan akhir terhadap satu unit
output diperlukan tenaga kerja sebanyak hasil yang diperoleh.

3.4.2.3. Ecological Multiplier


Proses analisis untuk memperkirakan dampak perubahan besarnya
permintaan akhir dari adanya faktor ekologi dengan cara menggabungkan aspek
ekologi dalam aspek ekonomi menggunakan model Tabel Input-Output Fisik
(Hubacek dan Giljum 2002). Adapun model Tabel Input-Output Fisik yang
dimaksud dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Struktur Tabel Input-Output Fisik


Permintaan Antara Permintaan Akhir Total Output Into Nature
Input Antara Xij Yi X N
Input Primer Vj
Total Input X’
From Nature M
Sumber: Diadopsi dari Maenpaa dan Muukkonen (2001) dan Budiharsono (2005)
Keterangan :
Xij = Parameter permintaan input antara sektor ij.
Vj = Parameter permintaan input primer sektor j
X’ = Total input sektor i
M = Variabel input sumberdaya yang dipergunakan oleh sektor j
Yi = Permintaan akhir (Final Demand) sektor i
X = Total output sektor j
N = Variabel Eksternalitas yang dihasilkan oleh sektor j

Sejumlah k komoditi ekologi yang akan diperhitungkan (seperti tanah)


membutuhkan tambahan k baris pada tabel input-output untuk mengakomodir
besarnya kebutuhan komoditi tersebut oleh masing-masing sektor ekonomi (dari
sektor 1 sampai dengan sektor n). Matriks yang menunjukkan arus komoditi
ekologi (k) ke sektor ekonomi yang menggunakan (sektor j), dinotasikan dengan
28
matrik M. Jadi koefisien matriks ini (mkj) menunjukkan besarnya volume komoditi
k yang dibutuhkan dalam memproduksi output sektor j.
Bila sejumlah k eksternalitas (limbah) yang akan diperhitungkan dalam
analisis, maka tabel input-output ditambah k kolom (setelah permintaan akhir)
untuk mengakomodir produksi limbah oleh masing-masing sektor produksi.
Matriks yang menunjukkan arus eksternalitas oleh masing-masing sektor j
dinotasikan sebagai matriks N. Jadi koefisien matriks ini (njk) menunjukkan
besarnya eksternalitas yang dihasilkan oleh sektor j (mulai dari sektor 1 sampai
dengan sektor n).
Kalau tabel input-output dasar sudah menyediakan data tentang besarnya
nilai output setiap sektor yang digunakan dalam produksi sektor j, maka dalam
analisis ekologi ini diperlukan data mengenai penggunaan areal, air dan
komoditas ekologi lainnya yang dilibatkan dalam setiap kegiatan ekonomi serta
besarnya buangan yang ditimbulkan dari kegiatan ekonomi di masing-masing
sektor tersebut. Untuk komponen input ekologi, koefisien yang menunjukkan
rasio input ekologi (k) terhadap output sektor pengguna (sektor j) dinotasikan
sebagai rkj, yang dihitung sebagai :
mkj
rkj = , dalam bentuk matrik ditulis R = M ( X ) −1 (11)
Xj
Koefisien tersebut disebut koefisien input ekologi (ecological input coefficient)
atau merupakan matriks koefisien input yang digunakan dari ekologi, dimana R
menunjukkan besarnya kebutuhan input ekologi k untuk memproduksi output
sektor j.
Komponen output eksternalitas, juga dapat diperlakukan sama. Di sini
dapat dihitung besarnya output eksternalitas dari masing-masing sektor
penghasil produksi. Jadi koefisiennya menunjukkan besarnya eksternalitas per
unit nilai output sektor j.
nkj
q kj = , dalam bentuk matrik ditulis Q = N ' ( X ) −1 (12)
Xj
Koefisien tersebut disebut koefisien output ekologi (ecological output cofficient)
atau merupakan matriks koefisien eksternalitas yang dikeluarkan ke ekologi,
dimana Q menunjukkan besarnya output eksternalitas k yang dikeluarkan untuk
memproduksi output sektor j.
Satu aplikasi yang terpenting dalam analisis input-output adalah
perhitungan total kebutuhan input untuk satu unit permintaan akhir. Oleh karena
itu, satu akses tidak hanya digunakan pada kebutuhan langsung dalam proses
29
produksi pada sektor analisis, tetapi juga semua kebutuhan tidak langsung yang
dihasilkan dari produk antara dari sektor lain, sehingga untuk mencukupi
permintaan akhir dapat ditentukan kebutuhan total input baik langsung maupun
tidak langsung (Miller dan Blair 1985).
Dengan perubahan output (X) akibat perubahan permintaan akhir, maka
kebutuhan input termasuk input komoditi ekologi juga berubah. Matriks koefisien
R* berikut menunjukkan besarnya komoditi ekologi k yang dibutuhkan oleh sektor
produksi j dalam memenuhi setiap permintaan akhir atas produksi sektor j.
Analog dengan matriks R*, dapat pula dihitung matriks Q*, yang menggambarkan
eksternalitas ke ekosistem sebagai akibat kegiatan sektor j dalam memenuhi
setiap permintaan akhir atas produksi sektor j tersebut.

R* = R (I − A) , dan
−1

Q* = Q (I − A)
−1
(13)
Unsur matriks R* menunjukkan jumlah input dari ekologi yang diperlukan
baik langsung maupun tidak langsung untuk menghasilkan output sektor j dalam
memenuhi permintaan akhir. Sedangkan unsur matriks Q* menunjukkan jumlah
eksternalitas ke ekologi baik langsung maupun tidak langsung untuk
menghasilkan output sektor j dalam memenuhi permintaan akhir. Sementara itu,
(I-A)-1 merupakan matriks kebalikan Leontief terbuka. Dalam bentuk visual
metodologi model input-output ekologi dapat dilihat pada Gambar 4.

Tabel I-O

Input Ekologi, M Matriks Invers


Output Ekologi, N
(I-A)-1

Koefisien Input Ekologi Koefisien Output Ekologi


-1 -1
R = M(X) Q = N’(X)

R* = R(I-A)-1 Q* = Q(I-A)-1

Gambar 4 Metodologi Model Input-Output Ekologi (KMNLH dan BPS 2000).

Dengan diketahui besaran input ekologi yang digunakan oleh sektor j


dalam memenuhi permintaan akhir (R*), dan eksternalitas ke ekologi yang
dihasilkan sektor j dalam memenuhi output untuk memenuhi permintaan akhir
(Q*), maka dampak perubahan besarnya permintaan akhir akan dapat
diperkirakan. Hal ini bisa menjadi dasar pertimbangan dalam mengestimasi
dampak terhadap ekologi dari perencanaan pembangunan perikanan budidaya.
30
3.4.3. Carrying Capacity
Pendekatan ecological footprint digunakan untuk mengestimasi daya
dukung lingkungan untuk kegiatan perikanan budidaya berkelanjutan. Pengaruh
fisik pada perhitungan metodologi difokuskan pada ketersediaan areal yang
diperkenalkan oleh Wackernagel dan Rees (1996) dan secara umum
direferensikan untuk ecological footprint (Hubacek dan Giljum 2002). Oleh
Wackernagel dan Rees (1996), ecological footprint didefinisikan sebagai total
lahan dan perairan yang dibutuhkan untuk mendukung suatu populasi dengan
spesifik lifestyle dan pemberian teknologi terhadap kebutuhan sumberdaya alam
dan mengabsorbsi semua buangan dan emisi dalam kurun waktu tertentu.
Lebih lanjut Adrianto (2006), menambahkan ecological footprint merupakan
suatu konsep daya dukung lingkungan dengan memperhatikan tingkat konsumsi
masyarakat, sehingga perbandingan ketersediaan areal untuk populasi di suatu
wilayah dengan ketersediaan ecological capacity, defisit atau surplus
keberlanjutan dapat dikuantitatifkan.
Analisis carrying capacity di sini menggunakan pendekatan ecological
footprint, dimana menurut Hubacek dan Giljum (2002) perhitungan ecological
footprint adalah bagian dari kategori areal built-up dan kesesuaian areal
langsung untuk infrastruktur, bukan pada dasar penggunaan areal aktual atau
data tutupan areal, tetapi diawali dengan konsumsi sumberdaya oleh suatu
populasi yang spesifik dalam unit massa.
Penggunaan ecological footprint dapat dilihat sebagai hal yang bermanfaat
dengan suatu jalan yang berbeda untuk membuat kebijakan (Moffat et al. 2000).
Yang fundamental dari metode ecological footprint adalah ide untuk
menunjukkan areal dalam beberapa tipe areal yang digunakan per kapita dari
perhitungan terhadap populasi suatu wilayah. Model Haberl’s digunakan sebagai
model dasar perhitungan ecological footprint (Haberl et al. 2001), yaitu sebagai
berikut :
DEi IM i EX i
EFi = + − , dimana EFlok = ∑ EFi (14)
Ylok i Yreg i Ylok i
Keterangan :
EFi = Ecological Footprint produk ke-i (Ha/kapita)
EFlok = Total Ecological Footprint (lokal) (Ha/kapita)
DEi = Domestic Extraction produk ke-i (Ton/kapita)
IMi = Impor produk ke-i (Ton/ha)
EXi = Ekspor produk ke-i (Ton/ha)
Ylok i = Yield (produktivitas) lokal produk ke-i (Ton/ha)
Yreg I = Yield (produktivitas) regional produk ke-i (Ton/ha)
31
Pada persamaan di atas dapat dilihat bahwa terdapat tiga elemen atau
sektor perhitungan ecological footprint, yaitu: populasi, yield keduanya baik lokal
maupun regional, dan ecological footprint itu sendiri (Haberl et al. 2001). Secara
visual dapat dilihat kerangka analisis untuk model ecological footprint perikanan
budidaya pada Gambar 5.
Yield Productivity
System

Population Apparent Consumption


System System

Aquaculture
Ecological Footprint

Gambar 5 Kerangka Analisis untuk Model Ecological Footprint Perikanan Budidaya


(diadopsi dari Adrianto dan Matsuda 2004).

Sementara itu biocapacity (BC) dapat dihitung dengan menggunakan


rumus (Lenzen dan Murray 2001):

BC k = Ak YF , dimana BClok = ∑ Ak YF (15)

Keterangan :
Ak = Luas land cover kategori ke-k (Ha)
YF = Yield factor land cover kategori ke-k

Untuk yield factor land cover yang digunakan dalam perhitungan biocapacity
pada pendekatan ecological footprint di sini, didasarkan pada tipe land use dan
faktor pembobotan dari riset yang diperkenalkan oleh Lenzen dan Murray (2001)
dan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Faktor Pembobotan Areal Menurut Tipe Land Use


Tipe Land Use Faktor Pembobotan

- Built 1,00
- Degraded pasture or crop land Mined land 0,80
- Cleared pasture and crop land Non-native plantations 0,60
- Thinned pasture Parks and gardens Native plantations 0,40
- Partially disturbed pasture (mostly arid) 0,20
Sumber: Lenzen dan Murray (2001)

Menurut Lenzen dan Murray (2001), sumberdaya pesisir dan lautan termasuk
dalam tipe cleared pasture and crop land non-native plantations. Dengan
demikian, faktor pembobotan dari luas areal potensinya adalah 0,60.
IV. GAMBARAN UMUM

4.1. Kondisi Geografis dan Iklim


Provinsi Banten secara geografis terletak pada batas astronomis 105o1’11”-
106o7’12” BT dan 5o7’50”-7o1’1” LS, mempunyai posisi strategis pada lintas
perdagangan internasional dan nasional dengan batas-batas wilayahnya :
a. Sebelah utara dengan Laut Jawa
b. Sebelah timur dengan Provinsi DKI
c. Sebelah selatan dengan Samudra Hindia
d. Sebelah barat dengan Selat Sunda
Morfologi wilayah Banten secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu
dataran, perbukitan landai-sedang (bergelombang rendah-sedang) dan
perbukitan terjal. Dataran dengan tingkat kemiringan 0-15% tersebar di
sepanjang pesisir Utara Laut Jawa, sebagian wilayah Serang, sebagian
Kabupaten Tangerang bagian utara serta wilayah selatan yaitu di sebagian
pesisir Selatan dari Pandeglang hingga Kabupaten Lebak. Perbukitan landai-
sedang (kemiringan ≤ 25% dengan tekstur bergelombang rendah-sedang)
sebagian besar terdapat di bagian utara meliputi Kabupaten Serang, Kota
Cilegon, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang serta bagian utara
Kabupaten Pandeglang. Sedangkan perbukitan terjal (kemiringan > 25%)
terdapat di Kabupaten Lebak, sebagian kecil Kabupaten Pandeglang bagian
selatan dan Kabupaten Serang.
Iklim wilayah Banten sangat dipengaruhi oleh angin Muson. Dengan tingkat
kelembaban udara 78-85% dan curah hujan 95-480 mm, saat musim penghujan
(November-Maret) cuaca didominasi oleh angin barat (dari Sumatera, Samudera
Hindia sebelah selatan India) yang bergabung dengan angin dari asia yang
melewati Laut Cina Selatan. Pada musim kemarau (Juni-Agustus), cuaca
didominasi oleh angin timur yang menyebabkan wilayah Banten mengalami
kekeringan yang keras terutama di wilayah bagian pantai utara.
Temperatur di daerah pantai dan perbukitan berkisar antara 22oC dan
32oC, sedangkan temperatur di pegunungan dengan ketinggian antara 400-1.350
m dpl mencapai 18oC-29 oC.
33
4.2. Pemerintahan
Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2000, status Karesidenan
Banten Provinsi Jawa Barat berubah menjadi Provinsi Banten. Sebagai salah
satu provinsi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, Provinsi Banten
mempunyai sistem pemerintahan yang sama dengan provinsi lainnya. Unit
pemerintahan di bawah provinsi adalah kabupaten/kota. Masing-masing
kabupaten/kota terdiri dari beberapa kecamatan. Sedangkan kecamatan terbagi
habis dalam beberapa desa/kelurahan.
Wilayah Provinsi Banten yang mempunyai luas 9.438,33 km2, terdiri dari 4
kabupaten yaitu Kabupaten Pandeglang, Lebak, Serang, Tangerang, dan 2 Kota
yaitu Kota Tangerang dan Cilegon. Provinsi ini meliputi 135 kecamatan, 146
kelurahan dan 1.337 desa (Tabel 4). Jumlah pegawai negeri sipil di Banten pada
tahun 2004 sebanyak 2,768 orang yang terdiri dari 1.286 orang berpendidikan
sarjana (Strata I/II/III), sedangkan sisanya 1.482 orang hanya berpendidikan non
gelar (Sarjana muda/D3 atau yang lebih rendah).

Tabel 4 Jumlah Kecamatan, Kelurahan dan Desa di Banten


Desa/Kelurahan
Kabupaten/Kota Kecamatan
Desa Kelurahan Jumlah
Kabupaten:
1. Pandeglang 31 322 13 335
2. Lebak 23 295 5 300
3. Tangerang 26 328 - 328
4. Serang 34 351 22 373
Kota:
5. Tangerang 13 - 104 104
6. Cilegon 8 41 2 43
Banten 135 1.337 146 1.483
Sumber: BPS Provinsi Banten 2006

4.3. Penduduk
Jumlah penduduk di suatu daerah merupakan suatu aset dan potensi
pembangunan yang besar, manakala penduduk tersebut berkualitas. Sebaliknya
dengan jumlah pertumbuhan penduduk yang pesat tetapi dengan kualitas yang
rendah akan menjadi beban besar bagi proses pembangunan yang akan
dilaksanakan.
34
Penduduk Banten berdasarkan data hasil sensus penduduk yang disajikan
pada Tabel 5 menunjukkan bahwa jumlah penduduk terus bertambah. Pada
tahun 1961 tercatat sebanyak 2,43 juta jiwa. Dan pada tahun 2000, jumlah
penduduk tersebut berdasarkan hasil sensus penduduk 2000 (SP 2000) telah
bertambah menjadi 8,09 juta jiwa, kemudian di tahun 2005 meningkat menjadi
9,30 juta jiwa.

Tabel 5 Perkembangan Penduduk di Banten 1980-2005


Kabupaten/Kota 1961 1971 1980 1990 2000 2005
Kab :
1. Pandeglang 440.213 572.628 694.759 858.435 1.011.788 1.106.788
2. Lebak 427.802 546.364 682.868 873.646 1.030.040 1.139.043
3. Tangerang 643.647 789.870 1.131.199 1.843.755 2.781.428 3.324.949
4. Serang 648.115 766.410 968.358 1.244.755 1.652.763 1.866.512
Kota :
5. Tangerang 206.743 276.825 397.825 921.848 1.325.854 1.537.244
6. Cilegon 72.054 93.057 140.828 226.083 294.936 334.408
Banten 2.438.574 3.045.154 4.015.837 5.967.907 8.096.809 9.308.944
Sumber: Sensus penduduk 1961, 1971, 1980, 1990, 2000 dan Susenas 2005

Kecenderungan penduduk yang terus bertambah dari periode sensus yang


satu ke sensus berikutnya tentunya bukan hanya disebabkan oleh pertambahan
penduduk secara alamiah, tetapi tidak terlepas dari kecenderungan migran baru
yang masuk. Hal ini dikarenakan daya tarik Provinsi Banten dilihat dari potensi
daerahnya seperti adanya perusahaan industri besar/sedang di daerah Cilegon,
Tangerang dan Serang maupun potensi pariwisata di Pandeglang, Serang dan
daerah lainnya, sehingga ketersediaan lapangan kerja dan makin kondusifnya
kesempatan berusaha akan menarik pendatang dari luar Banten.
Laju pertumbuhan penduduk Banten seperti yang disajikan pada Tabel 6
selama kurun waktu 1990-2000 rata-rata tumbuh sebesar 3,21%. Angka ini
menunjukkan penurunan dibandingkan pertumbuhan antara tahun 1980-1990
yang rata-rata sebesar 4,04% tetapi relatif lebih besar bila dibandingkan antara
kurun waktu 1971-1980 yang rata-rata sebesar 3,12%. Jumlah penduduk Banten
pada tahun 2005 berdasarkan hasil Susenas bertambah menjadi 9.308.944 jiwa.
Bila dihitung rata-rata laju pertumbuhan penduduk selama periode 2000-2005
besarnya sekitar 2,83%, relatif menurun dibandingkan periode 1990-2000 tetapi
masih relatif lebih besar bila dibandingkan antara kurun waktu 1961-1971 yang
besarnya 2,25%.
35
Tabel 6 Laju Pertumbuhan Penduduk di Banten (%)
Kabupaten/Kota 1961-1971 1971-1980 1980-1990 1990-2000 2000-2005
Kab:
1. Pandeglang 2,66 2,17 2,14 1,71 1,81
2. Lebak 2,48 2,51 2,49 1,72 2,05
3. Tangerang 4,07 4,07 5,00 4,35 3,63
4. Serang 2,69 2,63 2,54 2,98 2,46
Kota:
5. Tangerang 2,96 4,11 8,77 3,83 3,00
6. Cilegon 2,59 4,71 4,85 2,79 2,54
Banten 2,25 3,12 4,04 3,21 2,83
Sumber: Sensus penduduk 1961, 1971, 1980, 1990, 2000 dan Susenas 2005

Kepadatan penduduk Banten mencapai 1.058 orang per kilometer persegi.


Kota Tangerang masih merupakan daerah terpadat, yaitu sebesar 8.355 orang
per kilometer persegi, sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Lebak yang
hanya sebesar 398 orang per kilometer persegi.
Jumlah rumah tangga pada tahun 2005 di Banten mencapai 2.504.330.
Berdasarkan hasil registrasi jumlah warga negara asing pada tahun 2005 tercatat
sebanyak 16.871 jiwa yang terdiri dari warga negara asing Cina 12.141 dan
sisanya 4.730 warga negara asing lainnya.

4.4. Tenaga Kerja


Gambaran umum tingkat pendidikan tenaga kerja di Banten menunjukkan
bahwa lebih dari separuhnya hanya berpendidikan sekolah dasar ke bawah, yaitu
56,6% (tahun 2001), berkurang menjadi sekitar 53,2% (tahun 2003) dan 48,6%
(tahun 2004). Penurunan persentase tenaga kerja berpendidikan rendah tersebut
mengindikasikan adanya perbaikan kualitas tenaga kerja dari sisi pendidikan.
Untuk jenjang satu tingkat di atasnya (SLTP), porsinya sebesar 13,7%
(tahun 2001) dan mengalami peningkatan setiap tahunnya, sehingga pada tahun
2004 telah mencapai 17,6%. Harapan tenaga kerja agar mampu menghadapi
tingkat persaingan yang makin kompetitif, akan sangat bertumpu pada mereka
yang memiliki tingkat pendidikan minimal SLTA di samping memiliki keterampilan
dan keahlian sesuai tuntutan pasar kerja. Tenaga kerja berpendidikan SLTA
pada tahun 2004 telah mencapai 27,0% dan meningkat cukup signifikan
dibanding tahun 2001 yang besarnya baru mencapai 23,1%. Sementara itu
tenaga kerja yang berpendidikan tinggi (PT) masih relatif rendah, hanya sebesar
6,8%.
36
Sektor ketenagakerjaan merupakan salah satu sektor penting
pembangunan ekonomi khususnya dalam upaya pemerintah untuk
menanggulangi kemiskinan. Hal ini disebabkan karena tenaga kerja adalah
modal utama bagi geraknya roda pembangunan. Tahun 2004 dari jumlah
penduduk Banten 9,08 juta jiwa ternyata 7,12 juta jiwa (78,46%) diantaranya
merupakan penduduk usia kerja (PUK). Dari sejumlah PUK tersebut 3,9 juta jiwa
(55,11%) merupakan angkatan kerja dan 3,19 (44,88%) bukan angkatan kerja.
Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) Banten pada tahun 2004 sebesar
55,11%, meningkat dibanding tahun sebelumnya (55,07%). TPAK menurut
kabupaten/kota tidak jauh berbeda dibanding tahun sebelumnya. TPAK tertinggi
di Kabupaten Lebak (58,62%) dan terendah di Kota Tangerang (52,65%).
Tingkat pengangguran di Provinsi Banten mencapai 19,85%. Tingkat
pengangguran menurut kabupaten/kota tertinggi berada di Kabupaten
Pandeglang (23,29%) dan Kota Cilegon (20,76%), sementara terendah di Kota
Tangerang (16,55%).
Proporsi penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha biasanya dipakai
sebagai salah satu ukuran untuk melihat potensi sektor perekonomian dalam
menyerap tenaga kerja. Di Provinsi Banten, lapangan usaha pertanian (termasuk
di dalamnya perikanan budidaya) merupakan sektor yang paling dominan dalam
menyerap tenaga kerja, yaitu 25,80% dari total penduduk yang bekerja.
Kemudian diikuti oleh industri (25,23%) dan perdagangan (20,58%). Perikanan
budidaya sendiri menyerap tenaga kerja sebesar 15.469 orang atau hanya
1,89% dari total tenaga kerja di sektor pertanian secara agregat.

4.5. Investasi Pembangunan


Investasi merupakan salah satu penggerak roda pembangunan karena
investasi merupakan salah satu sumber pembiayaan bagi proses pembangunan.
Investasi diperlukan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi ataupun ekspansi
lapangan kerja. Oleh karena itu, pemerintah melalui kebijakannya berusaha
memfasilitasi para investor agar lebih giat melakukan investasi, antara lain
dengan dipermudah kepemilikan saham oleh para pemodal asing dan makin
terbukanya peluang usaha di Indonesia.
Investasi pembangunan (baik oleh swasta dan pemerintah) sebagai salah
satu bentuk stimulan ekonomi dalam pengembangan suatu sektor dialokasikan
pada berbagai sektor. Sektor pertanian, kehutanan dan perikanan di Provinsi
Banten mendapat alokasi investasi pembangunan (swasta dan pemerintah)
37
sebesar 120 juta rupiah pada tahun anggaran 2002/2003. Investasi tersebut
dialokasikan di beberapa subsektor pertanian, kehutanan, perikanan (termasuk
perikanan budidaya) untuk meningkatkan produksi di subsektor tersebut.
Tabel 7 memperlihatkan bahwa sektor industri merupakan sektor utama,
karena paling banyak diminati oleh perusahaan penanam modal yaitu mendapat
investasi mencapai 1.356.264,62 juta rupiah atau 78,49%. Kemudian diikuti oleh
sektor listrik, perdagangan dan jasa mencapai 297.555,00 juta rupiah atau
17,22%.

Tabel 7 Realisasi Investasi Pembangunan di Provinsi Banten Tahun Anggaran


2002/2003 (Juta Rp)
Sektor Dana Anggaran
1. Pertanian, Kehutanan, Perikanan 120,00
2. Pertambangan 70.650,00
3. Industri 1.356.264,62
4. Angkutan 3.411,00
5. Listrik, Perdagangan & Jasa 297.555,00
Total 1.728.000,62
Sumber: BPS Provinsi Banten 2005

Sebagai provinsi baru yang sedang membangun, Banten membutuhkan


dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. Di samping usaha
memobilisasi dana dari dalam negeri, dana investasi dari luar negeri di luar
pinjaman pemerintah juga terus diupayakan. Dalam upaya untuk menarik minat
investor menanamkan modalnya di Banten, pemerintah daerah terus
meningkatkan kegiatan promosi.

4.6. Perikanan Budidaya


Selama masa krisis moneter melanda kawasan Asia, sektor perikanan
telah menunjukkan kemampuannya sebagai salah satu sektor yang mampu
bertahan dari krisis, bahkan menunjukkan peningkatan nilai ekspor. Hal ini
disebabkan karena sektor ini mempunyai kandungan impor yang relatif kecil
dibandingkan nilai ekspor yang dihasilkan.
Kegiatan perikanan dapat dibedakan menjadi dua yaitu perikanan tangkap
dan perikanan budidaya. Mengingat semakin banyaknya areal penangkapan
yang mulai menunjukkan gejala over fishing di beberapa wilayah perairan
Indonesia termasuk Provinsi Banten, maka perikanan budidaya dapat
memberikan peluang usaha guna mensuplai makanan laut dalam jumlah besar
dan berkualitas tinggi.
38
Perkembangan luas areal dan tempat pemeliharaan ikan dapat dilihat pada
Tabel 8. Dari tabel tersebut tampak bahwa selama periode tahun 2004-2005 luas
areal pemeliharaan ikan di Provinsi Banten khususnya tambak memiliki luas
areal mencapai 8.010,55 ha, sedangkan budidaya laut memiliki luas areal efektif
mencapai 11.882,00 ha (DKP 2006) yang tersebar di perairan pesisir Provinsi
Banten. Sementara untuk tingkat kabupaten/kota luas areal tambak tertinggi
berada di Kabupaten Serang, yaitu 5.141,67 ha (64,19%) dan terendah di
Kabupaten Lebak 37,50 ha (0,47%).

Tabel 8 Luas Areal dan Tempat Pemeliharaan Ikan di Banten (dalam ha)
Kabupaten/Kota Budidaya Laut Budidaya Tambak
Kab:
1. Pandeglang 6.317,69 354,00
2. Lebak 1.250,68 37,50
3. Tangerang 751,20 2.477,38
4. Serang 3.187,58 5.141,67
Kota:
5. Tangerang - -
6. Cilegon 374,85 -
Banten 11.882,00* 8.010,55
Sumber: BPS Provinsi Banten 2006
* DKP 2006

Lokasi areal pengembangan budidaya perikanan terdapat di Kabupaten


Serang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak.
Sementara itu Kota Cilegon dan Kota Tangerang tidak memiliki areal
pengembangan, karena lebih didominasi oleh fungsi areal industri dan
permukiman.
Perkembangan produksi perikanan budidaya dapat dilihat dari Tabel 9.
Hasil produksi perikanan budidaya di Provinsi Banten pada periode tahun
2004-2005 mengalami peningkatan. Tingkat produksi budidaya tambak
mengalami peningkatan sebesar 14,09% dari 9.424,10 ton di tahun 2004 menjadi
10.970,70 ton. Budidaya laut juga mengalami peningkatan produksi sebesar
51,06%, menjadi 5.840,00 ton yang sebelumnya di tahun 2004 mencapai
2.858,00 ton.
39
Tabel 9 Produksi Ikan Menurut Tempat Pemeliharaan (dalam Ton)
Kabupaten/Kota Budidaya Laut Budidaya Tambak
Kab:
1. Pandeglang 3.010,00 429,30
2. Lebak - 80,40
3. Tangerang 2.830,00 7.309,50
4. Serang - 3.151,50
Kota:
5. Tangerang - -
6. Cilegon - -
Banten 5.840,00 10.970,70
Sumber: BPS Provinsi Banten 2006

Dilihat dari kabupaten/kota, produksi tertinggi untuk budidaya tambak


berada di Kabupaten Tangerang yang mencapai 7.309,50 ton (66,63%) dan
terendah di Kabupaten Lebak yang hanya mencapai 80,40 ton (0,73%).
Sementara untuk budidaya laut, Kabupaten Pandeglang memiliki produksi
tertinggi yang mencapai 3.010,00 ton (51,54%) kemudian diikuti oleh Kabupaten
Tangerang sebesar 2.830,00 ton (48,46%).
Nilai produksi perikanan budidaya dapat dilihat pada Tabel 10. Nilai
produksi perikanan di Provinsi Banten ternyata budidaya tambak memiliki nilai
produksi mencapai 179.343 juta rupiah. Sementara budidaya laut memiliki nilai
produksi mencapai 12.728 juta rupiah. Jika dilihat dari produktivitas tiap jenis
usaha perikanan budidaya, maka budidaya tambak memiliki nilai produktivitas
1,37 ton/ha sementara budidaya laut memiliki nilai produktivitas 0.49 ton/ha. Hal
ini perlu mendapat perhatian mengingat potensi budidaya laut yang lebih besar
dari budidaya tambak, memungkinkan produktivitas budidaya laut lebih besar
dari budidaya tambak.

Tabel 10 Nilai Produksi Ikan Menurut Tempat Pemeliharaan (dalam Juta Rupiah)
Kabupaten/Kota Budidaya Laut Budidaya Tambak
Kab:
1. Pandeglang 1.408 14.777
2. Lebak - 809
3. Tangerang 11.320 133.389
4. Serang - 30.368
Kota:
5. Tangerang - -
6. Cilegon - -
Banten 12.728 179.343
Sumber: BPS Provinsi Banten 2006
40
Dalam rangka menguatkan daya saing daerah pada era otonomi, maka
perlu dikembangkan berbagai jenis komoditas unggulan perikanan dari usaha
budidaya sesuai dengan keunggulan masing-masing kabupaten. Berbagai jenis
komoditas unggulan perikanan budidaya yang layak untuk dikembangkan di
Provinsi Banten adalah :
• Kabupaten Serang : udang dan bandeng
• Kabupaten Pandeglang : udang, patin dan kerapu
• Kabupaten Tangerang : udang dan patin
• Kabupaten Lebak : udang, bandeng dan patin
Selain itu, rencana tata ruang wilayah Provinsi Banten menyebutkan bahwa
lokasi budidaya yang dianggap tepat adalah kawasan pesisir sekitar Pulau
Panaitan, kawasan pesisir Ujung Kulon, kawasan pesisir antara Labuan dan
Panimbang, serta Pulau-pulau kecil di bagian utara dan selatan Provinsi Banten.

4.7. Ekosistem Hutan Mangrove


Ekosistem mangrove merupakan kawasan pasang surut di muara sungai
yang ditumbuhi vegetasi khas mangrove dan memiliki nilai ekonomi, ekologis dan
sosial yang tinggi. Ekosistem mangrove ini tersebar hampir di seluruh provinsi di
Indonesia, namun luasan mangrove juga terus mengalami perubahan yang
disebabkan oleh berkurangnya luasan di alam karena konversi. Provinsi Banten
yang memiliki luas wilayah 943.833 ha memiliki luas hutan mangrove sebesar
2.214,45 ha yang tersebar di Kabupaten Tangerang (Teluknaga, Mauk, Pakuhaji,
Kronjo), Kabupaten Serang (Sepanjang pesisir sebelah selatan hingga timur
Pulau Panjang, pesisir selatan, timur hingga utara Pulau Merak Besar dan Pulau
Merak Kecil) serta Kabupaten Pandeglang (Pulau Panaitan, pesisir Teluk
Pamegaran, Teluk Linto, Tanjung Waton, dan bagian timur laut Tanjung
Karangjajar, pesisir Teluk Paraja dan Lorogan Cilintang) (DKP 2006).
Secara ekologis, mangrove merupakan daerah asuhan, tempat
berkembang biak dan mencari makan dari berbagai jenis ikan dan udang. Selain
itu, mangrove juga merupakan sumberdaya yang memiliki potensi ekonomi dan
sosial yang tinggi. Ekosistem mangrove menjadi salah satu kawasan andalan
untuk berbagai bentuk kegiatan ekonomi produktif, seperti wisata, penghasil
bahan bakar, kawasan perikanan, dan sebagainya yang menyebabkan banyak
masyarakat yang kehidupannya tergantung secara sosial dan ekonomi pada
keberadaan mangrove tersebut.
41
Arahan pengelolaan kawasan ekosistem mangrove di Provinsi Banten
antara lain (BAPEDA 2002):
1. Kegiatan yang tidak menunjang perlindungan terhadap flora dan fauna di
kawasan ini dilarang.
2. Kegiatan yang sudah ada, yang tidak menunjang perlindungan terhadap flora
dan fauna di kawasan ini secara bertahap dipindahkan dengan penggantian
yang layak.
3. Kegiatan tambak dan kegiatan lain yang berhubungan dengan aktivitas
kelautan diperkenankan.
4. Penanaman kembali tanaman bakau pada daerah-daerah yang rawan
terhadap bahaya banjir dan abrasi pantai.
Berdasarkan arahan pengelolaan maka pemanfaatan lahan mangrove
untuk budidaya harus tetap memperhatikan kelestarian ekosistem mangrove. Hal
ini disebabkan karena lahan mangrove bermanfaat untuk penyedia pakan alami
dan sumber benih bagi areal tambak yang ada di sekitarnya. Selain itu mangrove
dapat berfungsi sebagai penyaring dan mengendapkan limbah yang berasal dari
kawasan budidaya.
Mengingat perikanan budidaya mampu memberikan sumbangan bagi
perekonomian nasional yang tidak kecil dan menyadari arti pentingnya kawasan
mangrove, maka pengembangan tambak di daerah mangrove membutuhkan
pertimbangan yang komprehensif dan penuh kehati-hatian serta pemilihan lokasi
yang paling sesuai. Dengan demikian, pemanfaatan areal tambak nantinya dapat
menghasilkan panen yang optimal, sekaligus meminimumkan kuantitas
pembukaan lahan mangrove yang sia-sia.
Menurut informasi dari Dinas Kehutanan dan Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Banten, hutan mangrove yang ada tidak semua diprogramkan
untuk kepentingan konservasi ataupun jalur hijau sehingga dapat dimanfaatkan
untuk pengembangan perikanan budidaya. Pemanfaatan mangrove harus
dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek teknis dan sesuai dengan
kebutuhan. Salah satu cara untuk memadukan dua kepentingan yaitu
pengembangan areal perikanan budidaya dengan pelestarian mangrove adalah
bentuk silvofishery. Dengan teknik ini maka kegiatan budidaya dapat dipadukan
dengan konservasi mangrove.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perencanaan pembangunan perikanan budidaya yang berkelanjutan


melibatkan aspek yang ada di wilayah pesisir Provinsi Banten. Beberapa aspek
tersebut meliputi aspek ekologi dan ekonomi. Aspek ekologi mengkaji daya
dukung wilayah pesisir Provinsi Banten untuk pembangunan perikanan budidaya
dengan pendekatan ecological footprint. Selain itu, aspek ini juga meliputi input
lingkungan yang digunakan sebagai dampak dari pemanfaatan areal dan
mangrove untuk perikanan budidaya dan eksternalitas yang dihasilkan terhadap
lingkungan. Sedangkan aspek ekonomi meliputi peluang/kesempatan kerja dan
pendapatan yang diperoleh dari kegiatan perikanan budidaya tersebut dengan
menggunakan alat analisis dan model pengembangan ecological input-output.
Selain itu, model tabel input-output dapat digunakan untuk melihat
kekuatan struktur dan interaksi antar sektor dari suatu sektor kegiatan. Berikut
akan disajikan telaah kekuatan struktur dan interaksi antar sektor dari perikanan
budidaya.

5.1. Struktur Ekonomi Provinsi Banten


5.1.1. Struktur Permintaan dan Penawaran
Berdasarkan pengamatan terhadap struktur permintaan dan penawaran
pada setiap sektor, dapat dilihat sektor mana yang merupakan produsen utama
untuk suatu produk tertentu. Dari produsen utama selanjutnya dapat ditelusuri
sektor/komoditas mana yang mengalami surplus yang paling tinggi ataupun yang
paling rendah yang dinilai berdasarkan selisih atau perbandingan antara jumlah
permintaan dan besarnya penawaran/penyediaan. Tinggi rendahnya ekspor
produk sektor tertentu, akan dicerminkan oleh selisih tersebut. Semakin besar
surplusnya maka semakin besar pula ratio untuk mengekspor sektor yang
bersangkutan.
Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa dari sisi permintaan dialokasikan
barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dalam proses produksi (permintaan
antara) di berbagai sektor sebesar 52.426.415 juta rupiah (48,06%), sisanya
digunakan untuk konsumsi akhir yang meliputi untuk kebutuhan domestik sendiri
sebesar 27.867.314 juta rupiah (25,54%) dan untuk keperluan ekspor sebesar
28.800.957 juta rupiah (26,40%). Untuk memenuhi permintaan tersebut (ekspor)
produksi barang dan jasa sebagian dihasilkan oleh kegiatan domestik, yakni
43
sebesar 43.184.332 juta rupiah (39,58%) dan kekurangannya dipenuhi dengan
mengimpor dari luar Provinsi Banten sebesar 13.483.939 juta rupiah (12,36%).
Dengan memperhatikan besarnya ekspor dan impor Provinsi Banten dapat
disimpulkan bahwa telah terjadi surplus perdagangan sebesar 15.317.018 juta
rupiah (14,04%).

Tabel 11 Struktur Permintaan dan Penawaran Menurut Sektor Kegiatan di


Provinsi Banten (Juta Rp)
Permintaan Akhir Penyediaan Input Jumlah
Permintaan
Sektor Permintaan/
Antara Domestik Ekspor Import Domestik
Penawaran
Pertanian 1.964.921 2.068.042 934.447 171.872 4.059.114 4.967.410
Perikanan Budidaya 30.040 177.140 11.211 16.182 107.576 218.391
Tambang & Galian 124.885 (50.003) 17.120 4.959 43.611 57.762
Industri 37.219.477 14.815.807 25.302.496 10.387.668 22.889.689 77.337.780
Listrik & Air Bersih 1.690.761 2.442.289 0 1.183.966 1.672.380 4.133.050
Konstruksi 455.905 2.259.056 0 259.375 1.021.884 2.714.961
Pdgng, Htl & Resto 6.300.697 3.627.668 409.771 616.523 7.593.761 10.338.136
Transport & Kom 2.996.962 847.725 2.040.908 659.970 3.085.426 5.885.595
Keuangan 806.870 304.091 23.756 154.712 814.330 1.134.717
Jasa-jasa 835.897 1.409.739 61.248 28.712 1.896.561 2.306.884
Jumlah 52.426.415 27.867.314 28.800.957 13.483.939 43.184.332 109.094.686
Sumber: Data Diolah 2007

Berdasarkan kajian terhadap struktur permintaan dan penawaran pada


sektor perikanan budidaya, yang merupakan topik pembahasan ini, dapat
dijelaskan bahwa sektor perikanan budidaya penyebarannya hampir merata.
Jumlah permintaan seluruhnya mencapai 218.391 juta rupiah. Dari jumlah
tersebut sebesar 30.040 juta rupiah atau sekitar 13,76% digunakan untuk
memenuhi permintaan antara sektor produksi lainnya, memenuhi permintaan
akhir domestik sebesar 177.140 juta rupiah (81,11%) dan selebihnya untuk
ekspor, yakni sebesar 11.211 juta rupiah (5,13%) dari seluruh permintaan.
Namun demikian, jika dilihat dari sisi penawaran menunjukkan bahwa
wilayah pesisir Provinsi Banten hanya mampu berperan menyediakan produksi
perikanan budidaya sebesar 107.576 juta rupiah (49,26%) dari seluruh
penawaran/penyediaan produk, kekurangannya yakni sebesar 16.182 juta rupiah
(7,41%) harus dipasok dari luar Provinsi Banten. Dengan adanya kekurangan
pasokan sebesar 7,41% menunjukkan bahwa di Provinsi Banten telah terjadi
kekurangan pasokan (minus) dalam penyediaan produksi perikanan budidaya
atau penawaran sektor perikanan budidaya lebih kecil dari permintaannya,
dengan demikian secara keseluruhan sektor perikanan budidaya mengalami
defisit sebesar 4.971 juta rupiah (2,28%).
44
5.1.2. Struktur Permintaan Akhir
Struktur permintaan akhir menunjukkan jumlah barang dan jasa dari setiap
sektor perekonomian yang digunakan untuk konsumsi rumah tangga,
pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan stok, dan permintaan ekspor
bagi daerah lain di luar Provinsi Banten. Besarnya nilai komponen permintaan
akhir dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Komposisi Permintaan Akhir Sektor Perikanan Budidaya Menurut


Komponennya di Provinsi Banten
Sektor Perikanan Budidaya
Komponen
Nilai (Juta Rp) %
Konsumsi Rumah Tangga 178.465 94,75
Konsumsi Pemerintah 0 0,00
Pembentukan Modal Tetap 0 0,00
Perubahan Stok (1.325) (0,70)
Ekspor 11.211 5,95
Jumlah Permintaan Akhir 188.351 100,00
Sumber: Data Diolah 2007

Hasil analisis terhadap sektor perikanan budidaya menunjukkan bahwa


permintaan akhir sektor ini paling banyak digunakan untuk konsumsi rumah
tangga yaitu sebesar 94,75%, dan ekspor sebesar 5,95%, sedangkan untuk
konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap sama sekali tidak ada, bahkan
terjadi minus 0,7% untuk perubahan stok sehingga diperlukan impor untuk
mengatasi hal tersebut. Interpretasi dari hal ini ternyata produksi perikanan
budidaya lebih banyak digunakan untuk konsumsi rumah tangga dibandingkan
untuk kegiatan akhir lainnya.
Nilai investasi yang terbentuk di sektor perikanan budidaya tidak ada,
terbukti dengan pembentukan modal tetap sama sekali tidak ada. Hal ini perlu
mendapat perhatian khusus dari pemerintah dan semua stakeholder, jika
memungkinkan sektor ini menjadi sektor andalan dimana salah satu alternatifnya
adalah dengan meningkatkan investasi melalui pemberian insentif.

5.1.3. Struktur Input Primer


Struktur input primer merupakan semua jenis balas jasa yang dibayarkan
kepada sektor ekonomi sebagai kompensasi atas keterlibatannya dalam kegiatan
perikanan budidaya. Input primer dalam terminologi yang berbeda disebut nilai
tambah bruto (value added) yang merupakan selisih antara output dengan input
antara. Komponen input primer meliputi upah/gaji, surplus usaha, penyusutan,
45
pajak tak langsung dan memiliki hubungan vertikal dengan input antara. Dalam
terminologi makro input primer merupakan bagian dari komponen input dalam
suatu produksi dan disebut sebagai komponen nilai tambah bruto. Penjumlahan
seluruh input primer ataupun nilai tambah bruto dari seluruh sektor ekonomi di
wilayah Banten disebut PDRB dan hasilnya dapat digunakan sebagai salah satu
indikator untuk mengukur kinerja perekonomian Provinsi Banten. Rincian nilai
input primer dari sepuluh sektor kegiatan di Provinsi Banten dapat dilihat pada
Tabel 13.

Tabel 13 Nilai Input Primer Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten


Sektor Nilai (Juta Rp) Distribusi (%)
1. Pertanian 4.059.114 9,39
2. Perikanan Budidaya 107.576 0,25
3. Pertambangan & Galian 43.611 0,10
4. Industri 22.889.689 53,00
5. Listrik & Air Bersih 1.672.380 3,88
6. Konstruksi 1.021.884 2,37
7. Perdgngan, Htl & Restoran 7.593.761 17,58
8. Transportasi & Komunikasi 3.085.426 7,15
9. Keuangan 814.330 1,89
10. Jasa-jasa 1.896.561 4,39
Jumlah 43.184.332 100,00
Rata-rata per sektor 4.318.433 10,00
Sumber: Data Diolah 2007

Secara total pembentukan struktur input primer dari seluruh sektor


perekonomian di Provinsi Banten adalah sebesar 43.184.332 juta rupiah; dimana
keseluruhan diciptakan oleh sepuluh sektor di atas. Namun demikian, kontribusi
sektor perikanan budidaya memberikan nilai input primer yang relatif kecil, yaitu
sebesar 107.576 juta rupiah (0,25%) di bawah rata-rata per sektor 4.318.433 juta
rupiah atau menduduki rangking ke-9. Lebih lanjut terlihat pada Tabel 14, struktur
input primer terbesar diberikan oleh dua buah sektor yaitu sektor industri dan
sektor perdagangan, hotel dan restoran, masing-masing memberikan kontribusi
sebesar 53,00% dan 17,58%.
Selanjutnya analisis pembentukan input primer menurut komponennya
yang terdiri dari upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan, pajak tak langsung
dapat dilihat pada Tabel 14. Atas dasar komponen ini, terlihat bahwa surplus
usaha dari keseluruhan sektor perekonomian memberikan kontribusi tertinggi,
yaitu sebesar 52,39%, upah dan gaji sebesar 32,62%, penyusutan sebesar
46
10,69%, dan pajak tak langsung sebesar 4,30%. Penjelasan tersebut
memberikan implikasi bahwa secara makro kegiatan perekonomian di Provinsi
Banten relatif menguntungkan yang ditunjukkan oleh nilai surplus usaha yang
dominan. Selain itu, dengan tingkat upah dan gaji yang memberikan kontribusi
sebesar 32,62%, secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi daya
beli masyarakat dalam sistem perekonomian domestik.

Tabel 14 Komposisi Input Primer Menurut Komponennya Pada Sektor Perikanan


Budidaya dan Sektor Basis di Provinsi Banten
Perikanan
Komponen Pertanian Industri Perdagangan Lainnya Jumlah
Budidaya
18.603 2.205.411 6.653.583 1.686.513 3.523.090 14.087.200
Upah & Gaji
17,29 54,33 29,07 22,21 41,28 32,62
79.357 1.577.182 12.777.254 5.000.944 3.189.948 22.624.685
Surplus
Usaha 73,77 38,86 55,81 65,86 37,38 52,39
4.836 175.533 2.304.453 458.357 1.673.787 4.616.966
Penyusutan
4,50 4,32 10,08 6,04 19,61 10,69
4.780 100.988 1.154.399 447.947 147.367 1.855.481
Pajak tak
Langsung 4,44 2,49 5,04 5,89 1,73 4,30
107.576 4.059.114 22.889.689 7.593.761 8.534.192 43.184.332
Jumlah
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: Data Diolah 2007

Khusus untuk sektor perikanan budidaya, terdapat gambaran bahwa


kegiatan usaha perikanan budidaya relatif lebih memberikan proporsi yang
menguntungkan dibanding kegiatan ekonomi lainnya, yang ditunjukkan dengan
surplus usaha sebesar 79.357 juta rupiah (73,77%) dari total nilai output. Artinya,
setiap satu satuan output wilayah yang dihasilkan akan diperoleh surplus usaha
sebesar 0,7377 satuan. Angka ini lebih besar dari rata-rata surplus usaha semua
sektor ekonomi wilayah (0,5239 satuan). Data ini menunjukkan bahwa dalam
pembentukan output di sektor perikanan budidaya, komponen surplus usaha
memegang peranan penting. Jika dibandingkan dengan tingkat suku bunga
perbankan yang berkisar antara 6% hingga 12% per tahun, maka surplus usaha
ini jauh lebih tinggi. Hal ini merupakan daya tarik tersendiri bagi para investor
untuk menanamkan modalnya di sektor ini.
Namun demikian, tingkat upah dan gaji yang diterima masyarakat nelayan
relatif kecil dibanding dengan kegiatan ekonomi lainnya yaitu sebesar 18.603 juta
rupiah (17,29%). Artinya, untuk menghasilkan satu satuan output wilayah
diperlukan upah dan gaji sebesar 0,1729 satuan untuk membayar tenaga kerja di
sektor perikanan budidaya. Angka tersebut lebih kecil dari rata-rata semua sektor
47
ekonomi dalam membayar pekerja yaitu sebesar 0,3262 satuan. Padahal upah
dan gaji merupakan satu-satunya komponen nilai tambah yang bisa langsung
diterima oleh pekerja (buruh nelayan). Sebaliknya surplus usaha yang harus
diterima oleh pengusaha (nelayan) yang jumlahnya lebih sedikit dari buruh
nelayan, dua kali lebih besar dibanding dengan upah dan gaji, sehingga upah
dan gaji yang relatif lebih kecil secara langsung dan tidak langsung akan
mempengaruhi daya beli masyarakat (buruh nelayan). Di lain pihak dengan
adanya kelebihan dari surplus usaha akan ada penambahan investasi atau
saving di perusahaan yang belum tentu dapat langsung dinikmati oleh
masyarakat nelayan.

5.1.4. Efisiensi Penciptaan Output


Efisiensi penciptaaan output merupakan hasil bagi antara nilai tambah
bruto (input primer) dengan output. Dengan menelaah besarnya efisiensi
penciptaan output oleh masing-masing sektor, maka akan diketahui sektor-sektor
mana yang lebih efisien dalam menciptakan output. Tabel 15 memperlihatkan
sepuluh sektor kegiatan yang memiliki tingkat efisiensi penciptaan output di
Provinsi Banten.

Tabel 15 Efisiensi Penciptaan Output Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi


Banten
Sektor NTB (Juta Rp) Output (Juta Rp) Distribusi (%)
1. Pertanian 4.059.114 4.967.410 81,71
2. Perikanan Budidaya 107.576 218.391 49,26
3. Tambang & Galian 43.611 57.762 75,50
4. Industri 22.889.689 77.337.780 29,60
5. Listrik & Air Bersih 1.672.380 4.133.050 40,46
6. Konstruksi 1.012.884 2.714.961 37,31
7. Pdgng, Htl & Restoran 7.593.761 10.338.136 73,45
8. Transport & Kom 3.085.426 5.885.595 52,42
9. Keuangan 814.330 1.134.717 71,77
10. Jasa-jasa 1.896.561 2.306.884 82,21
Jumlah 43.184.332 109.094.686 39,58
Sumber: Data Diolah 2007
Ket: NTB = Nilai Tambah Bruto

Pada Tabel 15 terlihat bahwa sektor perikanan budidaya masih bisa


dikategorikan efisien dengan tingkat efisiensi sebesar 49,26% dan berada di atas
rata-rata total efisiensi sektor kegiatan di Provinsi Banten yang besarnya 39,58%.
Efisiensi dari sektor perikanan budidaya ini merupakan salah satu nilai strategis
48
yang menjadi bahan pertimbangan untuk berinteraksi. Di samping tingkat
efisiensi, tentu saja masih ada pertimbangan-pertimbangan lainnya yang harus
diperhitungkan seperti misalnya tingkat pengembalian, tingkat suku bunga dan
kondisi sosial politik. Selain itu, pada Tabel 15 juga terlihat sektor yang paling
efisien dalam menciptakan outputnya adalah sektor jasa-jasa dan sektor
pertanian. Ternyata sektor pertanian di sini sama dengan sektor pertanian di
Provinsi Jawa Barat di mana sektor tanaman bahan makanan dan perkebunan
merupakan sektor yang paling efisien dalam penciptaan output (Hermawan
2001).
Tingkat efisiensi yang diciptakan dalam pembentukan output sektor
perikanan budidaya ini telah teruji dalam meningkatkan perekonomian dan
pendapatan nelayan serta daya tahan ekonomi umumnya, yakni pada saat
Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997, sektor perikanan
budidaya merupakan sektor ekonomi rakyat yang cukup handal dalam
menggerakkan ekonomi nasional.

5.2. Analisis Keterkaitan


Keterkaitan aktifitas antar sektor ekonomi dapat dianalisa dari tabel input-
output. Analisis keterkaitan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh
suatu sektor ekonomi terhadap sektor-sektor lain dalam sistem perekonomian.
Dengan demikian dapat diukur tingkat ketergantungan antar sektor dalam suatu
sistem perekonomian dan diketahui sejauh mana pertumbuhan suatu sektor
dipengaruhi oleh sektor-sektor lainnya.
Analisis keterkaitan antar sektor dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (I)
kaitan ke belakang dan (II) kaitan ke depan. Masing-masing keterkaitan tersebut
dapat dibagi dua lagi, yaitu: (i) keterkaitan output langsung ke depan dan ke
belakang; (ii) keterkaitan output tidak langsung ke depan dan ke belakang,
selanjutnya analisis keterkaitan ke belakang dan ke depan secara rinci dapat
dijelaskan melalui daya penyebaran dan derajat kepekaan.

5.2.1. Keterkaitan ke Belakang


Pengaruh peningkatan suatu sektor akan terlihat pada sektor-sektor yang
mensuplai atau menyediakan bahan baku sebagai inputnya. Seberapa besar
dampaknya terhadap sektor-sektor yang mensuplai tadi disebut sebagai
keterkaitan ke belakang. Koefisien keterkaitan ke belakang baik langsung
maupun tidak langsung dari sektor kegiatan di Provinsi Banten dapat dilihat pada
Gambar 6.
49

0.6000

0.5000

Koefisien Keterkaitan
0.4000

0.3000

0.2000

0.1000

0.0000

i
n

m
tr i
ya

al

sa
an
i

es
r

ks
ia

Ai
G

Ko
us
a

Ja
ng
R
n

tr u
&
g&
id
ta

tl ,

s&
rk

ua
ud

In

ns
r

H
bn

st
Pe

an

ke
g,
B

Ko
Li
Tm

Tr
gn
P.

D
(a) Keterkaitan Langsung ke Belakang

1.6000

1.4000
Koefisien Keterkaitan

1.2000

1.0000

0.8000

0.6000

0.4000

0.2000

0.0000
i
an

m
ri
ya

al

sa
an
i

es
r

ks
Ai
st

Ko
G
a

Ja
ni

ng
R
du

ru
&
g&
id
ta

tl ,

s&
rk

ua
t
ud

In

ns
r

H
bn

st
Pe

an

ke
g,
B

Ko
Li
Tm

Tr
gn
P.

(b) Keterkaitan Tidak Langsung ke Belakang

Gambar 6 Keterkaitan ke Belakang Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten

Berdasarkan Gambar 6(a), dapat diartikan bahwa koefisien keterkaitan


langsung ke belakang sektor perikanan budidaya adalah 0,4333, angka ini
menunjukkan bahwa dengan adanya kenaikan satu unit output pada sektor
perikanan budidaya membutuhkan output sektor lain sebesar 0,4333 unit, atau
dengan kata lain output tersebut akan digunakan oleh sektor perikanan budidaya
sebagai input dalam proses produksinya. Hal ini kemudian secara simultan akan
memicu peningkatan penggunaan output sektor-sektor lainnya sebagai input
sebesar 1,4045 unit (Gambar 6b). Dengan demikian, secara total akan
mengakibatkan peningkatan penggunaan output kegiatan sebesar 1,8378 unit.
Total nilai keterkaitan ke belakang sektor perikanan budidaya menempati urutan
ketiga dari klasifikasi 10 sektor, setelah sektor industri dan sektor konstruksi,
berada di atas rata-rata per sektor ekonomi lainnya yakni 1,5568. Data tersebut
menunjukkan bahwa sektor perikanan budidaya sangat tinggi dalam menyerap
50
output sektor lain yang digunakan sebagai input sektor tersebut. Tingginya nilai
keterkaitan ke belakang dari sektor perikanan budidaya menunjukkan tingginya
input yang diserap oleh sektor ini.
Tabel 16 menyajikan struktur input sektor perikanan budidaya, untuk
melihat lebih dalam komponen dan sektor yang dapat diserap oleh sektor
perikanan budidaya terkait dengan keterkaitannya ke belakang.

Tabel 16 Struktur Input Sektor Perikanan Budidaya di Provinsi Banten


Sektor Nilai (Juta Rp) %
Pertanian 3.248 1,49
Perikanan Budidaya 3.308 1,51
Pertambangan & Galian 0 0,00
Industri 67.061 30,71
Listrik & Air Bersih 169 0,08
Konstruksi 4.330 1,98
Perdagangan, Hotel & Restoran 13.530 6,20
Transportasi & Komunikasi 2.414 1,11
Keuangan 6 0,00
Jasa-jasa 567 0,26
Jumlah Input Antara 94.633 43,33
Impor 16.182 7,41
Upah & Gaji 18.603 8,52
Surplus Usaha 79.357 36,34
Penyusutan 4.836 2,21
Pajak Tak Langsung 4.780 2,19
Nilai Tambah Bruto 107.576 49,26
Jumlah Input 218.391 100,00
Sumber: Data Diolah 2007

Pada Tabel 16 terlihat bahwa total input yang terserap yaitu sebesar
218.391 juta rupiah. Biaya yang dikeluarkan untuk nilai tambah bruto sebesar
107.576 juta rupiah (49,26%), terdiri atas upah dan gaji sebesar 18.603 juta
rupiah (8,52%), surplus usaha sebesar 79.357 juta rupiah (36,34%), penyusutan
sebesar 4.836 juta rupiah (2,21%) dan pajak tak langsung 4.780 juta rupiah
(2,19%). Sedangkan untuk biaya input antara sebesar 94.633 juta rupiah
(43,33%), yang sebagian besar dilakukan terhadap sektor industri yaitu sebesar
67.061 juta rupiah (30,71%) dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar
13.530 juta rupiah (6,20%).
51
Hal ini mengindikasikan bahwa usaha di sektor perikanan budidaya
memberikan keuntungan yang cukup besar (sekitar 36,34%), namun upah dan
gaji yang diterima oleh buruh nelayan relatif sangat kecil (sekitar 8,52%),
sehingga kondisi buruh nelayan selalu miskin keberadaannya. Usaha sektor
perikanan budidaya sangat besar bergantung kepada sektor industri dan sektor
perdagangan, hotel dan restoran.
Pendapatan nelayan dapat diupayakan untuk ditingkatkan melalui
intervensi pemerintah, salah satunya adalah memberikan bantuan dana yang
cukup bagi usaha di bidang perikanan budidaya yang langsung diberikan kepada
kelompok nelayan pembudidaya (pemberdayaan nelayan) berikut peningkatan
kapasitas di segala aspek keahlian. Selain itu, untuk meningkatkan peran sektor
perikanan budidaya pada perekonomian wilayah maka sektor yang berperan
dalam menyumbang/menyediakan input bagi sektor perikanan budidaya, yakni
sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran harus diupayakan
peningkatan kapasitasnya, melalui kemudahan dalam birokrasi, penciptaan iklim
usaha yang kondusif, dan pemberian insentif lainnya.

5.2.2. Keterkaitan ke Depan


Analisis keterkaitan ke depan merupakan dorongan oleh suatu sektor
terhadap penggunaan outputnya oleh sektor lain. Dalam hal ini, keterkaitan ke
depan menunjukkan kegiatan-kegiatan sektor lain yang menggunakan output dari
sektor yang bersangkutan atau dengan kata lain, jika terjadi peningkatan output
produksi tertentu, maka tambahan output tersebut akan didistribusikan ke sektor-
sektor produksi di perekonomian tersebut, termasuk pada sektor itu sendiri. Nilai
keterkaitan ke depan baik langsung maupun tidak langsung sektor kegiatan di
Provinsi Banten dapat dilihat pada Gambar 7.

1.8000
1.6000
Koefisien Keterkaitan

1.4000
1.2000
1.0000
0.8000
0.6000
0.4000
0.2000
0.0000
i
n

m
tr i
ya

al

sa
an
i

es
r

ks
ia

Ai

Ko
G

us
a

Ja
ng
R
n

ru
&
g&
id
ta

tl ,

s&
rk

ua
st
ud

In
r

H
bn

st
Pe

an

ke
g,
B

Ko
Li
Tm

Tr
gn
P.

(a) Keterkaitan Langsung ke Depan


52

3.0000

2.5000

Koefisien Keterkaitan
2.0000

1.5000

1.0000

0.5000

0.0000

i
an

m
tr i
ya

al

sa
an
i

es
r

ks
Ai

Ko
G

us
a

Ja
ni

ng
R
ru
&
g&
id
ta

tl ,

s&
rk

ua
t
ud

In

ns
r

H
bn

st
Pe

an

ke
g,
B

Ko
Li
Tm

Tr
gn
P.

D
(b) Keterkaitan Tidak Langsung ke Depan

Gambar 7 Keterkaitan ke Depan Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten

Pada Gambar 7(a) terlihat bahwa nilai keterkaitan langsung ke depan


sektor perikanan budidaya adalah 0,0179. Interpretasi dari nilai tersebut yaitu
setiap kenaikan satu unit output sektor ini akan meningkatkan output sektor lain
yang menggunakan output sektor ini sebagai inputnya sebesar 0,0179 unit.
Dengan kata lain, output sektor ini akan digunakan sebagai input sektor lain
sebesar nilai tersebut. Secara simultan peningkatan tersebut akan mendorong
sektor-sektor lainnya sebesar 1,0019 unit (Gambar 7b). Dengan demikian,
kenaikan satu unit output sektor perikanan budidaya akan meningkatkan
permintaan total dalam perekonomian sebesar 1,0198 unit, dimana nilai tersebut
menempati urutan terakhir klasifikasi 10 sektor dan berada di bawah rata-rata
sektor ekonomi lainnya yaitu sebesar 1,5568. Data tersebut menunjukkan bahwa
sektor perikanan budidaya sangat rendah dalam mendorong outputnya untuk
digunakan sebagai input oleh sektor lainnya. Rendahnya nilai keterkaitan ke
depan dari sektor perikanan budidaya menunjukkan bahwa rendahnya
kemampuan output yang didorong oleh sektor ini untuk digunakan sebagai input
oleh sektor lainnya.
Tabel 17 menyajikan alokasi output sektor perikanan budidaya, untuk
melihat lebih dalam komponen dan sektor yang menerima output dari sektor
perikanan budidaya terkait dengan keterkaitannya ke depan.
53
Tabel 17 Alokasi Output Sektor Perikanan Budidaya di Provinsi Banten
Sektor Nilai (Juta Rp) %
Pertanian 3.825 1,75
Perikanan Budidaya 3.308 1,51
Pertambangan & Galian 0 0,00
Industri 3.047 1,40
Listrik & Air Bersih 0 0,00
Konstruksi 0 0,00
Perdagangan, Hotel & Restoran 19.751 9,04
Transportasi & Komunikasi 33 0,02
Keuangan 0 0,00
Jasa-jasa 76 0,03
Jumlah Permintaan Antara 30.040 13,76
Konsumsi Rumah Tangga 178.465 81,72
Konsumsi Pemerintah 0 0,00
Pembentukan Modal Tetap 0 0,00
Perubahan Stok (1.325) (0,61)
Ekspor 11.211 5,13
Jumlah Permintaan Akhir 188.351 86,24
Jumlah Output 218.391 100,00
Sumber: Data Diolah 2007

Tabel 17 menunjukkan bahwa dari segi alokasi penggunaan, sektor


perikanan budidaya sebagian besar dialokasikan untuk memenuhi permintaan
akhir, yaitu sebesar 86,24% dan sisanya untuk permintaan antara sebesar
13,76%. Komposisi dari permintaan akhir sebagian besar untuk konsumsi rumah
tangga (81,72%), sedangkan alokasi permintaan antara sebagian besar
digunakan untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran. Implikasi dari Tabel 17
memberi indikasi bahwa output sektor perikanan budidaya cenderung
dimanfaatkan untuk kegiatan konsumsi baik langsung maupun tidak langsung
dibandingkan untuk kegiatan produksi, ini dapat dilihat pada konsumsi rumah
tangga yang mencapai 81,72% dan hal ini pula yang mengakibatkan rendahnya
nilai keterkaitan ke depan sektor perikanan budidaya. Dengan demikian, untuk
pengembangan sektor perikanan budidaya salah satunya adalah dengan
pengembangan sektor perdagangan, hotel dan restoran yang berkaitan dengan
keanekaragaman jenis olahan hasil perikanan.
54
5.2.3. Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan
Analisis lebih lanjut dari keterkaitan ke belakang dan ke depan adalah daya
penyebaran dan derajat kepekaan. Parameter ini sering digunakan untuk
menentukan sektor-sektor perekonomian yang dapat dijadikan sebagai leading
sector, dan sangat penting dalam menetapkan kebijakan pembangunan sektoral
di suatu wilayah.
Daya penyebaran menunjukkan dampak dari perubahan permintaan akhir
suatu sektor terhadap output seluruh sektor ekonomi. Ukuran ini dapat digunakan
untuk melihat keterkaitan ke belakang (backward linkages) sektor-sektor ekonomi
di suatu wilayah.
Derajat kepekaan menunjukkan dampak yang terjadi terhadap output suatu
sektor sebagai akibat dari perubahan permintaan akhir pada masing-masing
sektor perekonomian. Ukuran ini dapat dimanfaatkan untuk melihat keterkaitan
ke depan (forward linkage).
Sektor perekonomian dikategorikan mempunyai daya penyebaran (daya
serap) dan derajat kepekaan (daya dorong) yang kuat apabila nilai indeks daya
penyebaran dan derajat kepekaan lebih besar dari satu (>1). Dengan kata lain,
daya penyebaran dan derajat kepekaan sektor tersebut di atas daya peyebaran
dan derajat kepekaan rata-rata secara keseluruhan. Tabel 18 menyajikan indeks
daya penyebaran dan derajat kepekaan sektor kegiatan di Provinsi Banten.

Tabel 18 Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan Menurut Sektor
Kegiatan di Provinsi Banten
Indeks Daya Indeks Derajat
Sektor
Penyebaran Kepekaan
1. Pertanian 0,8095 0,7775
2. Perikanan Budidaya 1,1805 0,6550
3. Pertambangan & Galian 0,8171 0,6614
4. Industri 1,3494 2,9138
5. Listrik & Air Bersih 0,9684 0,7911
6. Konstruksi 1,3057 0,7361
7. Perdgngan, Htl & Restoran 0,8617 1,0602
8. Transportasi & Komunikasi 1,0523 0,8968
9. Keuangan 0,8114 0,7516
10. Jasa-jasa 0,8440 0,7566
Rata-rata per sektor 1.0000 1,0000
Sumber: Data Diolah 2007
55
Tabel 18 menunjukkan bahwa sektor perikanan budidaya mempunyai nilai
indeks daya penyebaran sebesar 1,1805, menduduki urutan ke-3 dari klasifikasi
10 sektor. Hal ini berarti bahwa kenaikan satu unit output sektor perikanan
budidaya akan menyebabkan naiknya output sektor-sektor lain (termasuk sektor
perikanan budidaya sendiri) secara keseluruhan sebesar 1,1805 unit sebagai
penyedia input bagi sektor perikanan budidaya dan berada di atas rata-rata daya
penyebaran sektor kegiatan lainnya yaitu sebesar 1,0000.
Tabel 18 juga menunjukkan bahwa sektor perikanan budidaya mempunyai
nilai indeks derajat kepekaan sebesar 0,6550 menduduki urutan terakhir dari
klasifikasi 10 sektor. Hal ini berarti bahwa kenaikan satu unit output sektor
perikanan budidaya akan menyebabkan naiknya output sektor-sektor lain
(termasuk sektor perikanan budidaya sendiri) yang menggunakan output sektor
perikanan budidaya secara keseluruhan sebesar 0,6550 unit, dan posisinya
berada dibawah rata-rata derajat kepekaan sektor lainnya yaitu 1,0000.
Interpretasi berdasarkan Tabel 18 ternyata indeks daya penyebaran sektor
perikanan budidaya lebih besar dari indeks derajat kepekaan. Hal ini berarti
bahwa sektor perikanan budidaya lebih kuat dipengaruhi oleh sektor-sektor
penyedia input daripada dengan sektor-sektor pengguna output sektor yang
bersangkutan. Dengan kata lain, sektor perikanan budidaya lebih besar
dipengaruhi sektor-sektor lain daripada mempengaruhi sektor-sektor lain. Namun
demikian, sektor ini dapat dikategorikan sebagai sektor potensial untuk
dikembangkan terkait dengan daya tarik yang tinggi terhadap sektor lainnya.
Gambar 8 adalah ilustrasi pengelompokkan sektor ekonomi di Provinsi Banten
berdasarkan indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan.

1.60000
POTENSIAL ANDALAN
1.40000
4
6
1.20000 2
Daya Penyebaran

8
1.00000
5
10 7
0.80000 3 9 1

0.60000

0.40000

0.20000 JENUH
KURANG
BERKEMBANG

0.00000
0.00000 0.50000 1.00000 1.50000 2.00000 2.50000 3.00000 3.50000

Derajat Kepekaan

Gambar 8 Pengelompokkan Sektor Ekonomi di Provinsi Banten berdasarkan Indeks


Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan
56
Berdasarkan analisis keterkaitan indeks daya penyebaran dan indeks
derajat kepekaan sebagaimana terlihat pada Gambar 8, sektor-sektor ekonomi di
Provinsi Banten dapat dikelompokkan ke dalam 4 kelompok, sebagai berikut :
‰ Kelompok I : adalah sektor-sektor yang mempunyai indeks daya penyebaran
dan indeks derajat kepekaan yang tinggi yang disebut sebagai sektor
Andalan, artinya sektor-sektor tersebut mempunyai daya dorong dan daya
tarik lebih besar dari rata-rata semua sektor, sehingga sektor ini mempunyai
peranan yang sangat menentukan terhadap perekonomian wilayah. Gambar
8 terlihat yang termasuk kelompok ini adalah sektor industri.
‰ Kelompok II : adalah sektor-sektor yang mempunyai indeks daya penyebaran
tinggi dan indeks derajat kepekaan rendah yang disebut sebagai sektor
Potensial, artinya sektor-sektor tersebut mempunyai daya dorong yang lebih
kecil dari rata-rata semua sektor, tetapi mempunyai daya tarik yang lebih
besar dari rata-rata semua sektor. Di Provinsi Banten yang termasuk
kelompok ini adalah sektor perikanan budidaya, sektor konstruksi dan sektor
transportasi dan komunikasi.
‰ Kelompok III : adalah sektor-sektor yang mempunyai indeks daya
penyebaran rendah dan indeks derajat kepekaan tinggi yang disebut sebagai
sektor Jenuh, artinya sektor-sektor tersebut mempunyai daya dorong yang
lebih besar dari rata-rata semua sektor, tetapi daya tarik yang dimiliki lebih
kecil dari rata-rata semua sektor. Gambar 8 terlihat yang termasuk kelompok
ini adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran.
‰ Kelompok IV : adalah sektor-sektor yang mempunyai indeks daya
penyebaran dan indeks derajat kepekaan yang rendah yang disebut sebagai
sektor Kurang Berkembang, artinya sektor-sektor tersebut mempunyai daya
dorong dan daya tarik lebih kecil dari rata-rata semua sektor, sehingga sektor
ini kurang berperan terhadap perekonomian wilayah. Di Provinsi Banten yang
termasuk kelompok ini adalah sektor pertanian, sektor pertambangan dan
galian, sektor listrik dan air bersih, sektor keuangan dan sektor jasa-jasa.

5.3. Analisis Multiplier


Sebagai dasar analisis untuk perencanaan pembangunan perikanan
budidaya Provinsi Banten maka dilakukan analisis informasi tabel input-output
transaksi Banten. Dari tabel I-O (Lampiran 1) dapat dilihat bahwa penggunaan
berbagai input untuk menghasilkan suatu output direkam oleh informasi setiap
kolom pada kwadran I. Informasi dalam terminologi I-O tersebut merupakan
57
struktur input yang memperlihatkan besarnya barang dan jasa yang digunakan
oleh suatu sektor ekonomi untuk memproduksi output sektor bersangkutan.
Dengan tersedianya informasi pada struktur antara dan input primer yang
disajikan pada kwadran I dan III maka dapat dihitung koefisien input (Lampiran 2)
yang merupakan nilai fundamental untuk merumuskan formulasi analisis tabel
I-O, sehingga lebih lanjut diperoleh matriks multiplier yang merupakan dasar
analisis untuk melihat dampak ekonomi dan ekologi dari pembangunan
perikanan budidaya.

5.3.1. Analisis Income Multiplier


Income multiplier atau pengganda pendapatan didefinisikan sebagai
besarnya dampak yang ditimbulkan oleh adanya perubahan dalam permintaan
akhir pada sektor tertentu terhadap pendapatan sektor tersebut. Artinya, apabila
permintaan terhadap suatu sektor tertentu meningkat sebesar satu juta rupiah,
maka akan meningkatkan pendapatan masyarakat yang bekerja pada sektor
tersebut sebesar nilai pengganda pendapatan sektor yang bersangkutan. Angka
pengganda ini menunjukkan seberapa besar kontribusi sektor tersebut terhadap
peningkatan pendapatan masyarakat.
Untuk mengetahui besarnya peningkatan pendapatan rumah tangga
perikanan budidaya terhadap masing-masing sektor ekonomi maka perlu
diketahui besarnya pengganda pendapatan terlebih dahulu. Melalui proses
matriks pengganda pendapatan sederhana dapat diperoleh pendapatan tipe-I
yang disajikan dalam Gambar 9.

2.5000
Koefisien Income Multiplier

2.0000

1.5000

1.0000

0.5000

0.0000
i
an

m
ri
a

al

sa
an
i

es
r

ks
ay

Ai
st

Ko
G

Ja
ni

ng
R
du

ru
&
g&
id
ta

tl ,

s&
rk

ua
t
ud

In

ns
r

H
bn

st
Pe

an

ke
g,
B

Ko
Li
Tm

Tr
gn
P.

Gambar 9 Income Multiplier Tipe-I Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten


58
Gambar 9 menunjukkan bahwa sektor perikanan budidaya mempunyai
angka pengganda pendapatan sebesar 2,1959 yang berada di atas rata-rata
pembentukan pendapatan masyarakat secara sektoral sebesar 1,5820 dan
menempati urutan ke-2 setelah sektor industri. Nilai pengganda pendapatan
2,1959, artinya jika terdapat permintaan akhir atas sektor perikanan budidaya
sebesar satu juta rupiah, maka pendapatan masyarakat nelayan akan meningkat
sebesar 2,1959 kali. Informasi ini memberi petunjuk bahwa, dari sisi pengganda
pendapatan sektor perikanan budidaya cukup andal dalam menciptakan
pendapatan masyarakat (nelayan).

5.3.2. Analisis Employment Multiplier


Dalam suatu proses produksi, tenaga kerja merupakan salah satu faktor
produksi yang memiliki peranan cukup penting. Pengeluaran untuk tenaga kerja
oleh produsen merupakan salah satu komponen input primer antara lain berupa
upah dan gaji, tunjangan dan bonus serta hasil usaha seperti sewa, bunga,
keuntungan, baik berupa uang mupun barang.
Definisi tenaga kerja dalam tabel input-output, yaitu penduduk berumur 10
tahun ke atas yang bekerja dengan maksud memperoleh atau membantu
memperoleh penghasilan, sekurang-kurangnya satu jam secara tidak terputus
dalam seminggu. Dalam banyak analisis makro tenaga kerja sering juga
dihubungkan dengan kesempatan kerja atau lapangan kerja.
Employment multiplier atau pengganda tenaga kerja menunjukkan
kemampuan suatu sektor untuk menyerap tenaga kerja, apabila pada sektor
tersebut terjadi peningkatan satu juta rupiah output sebagai akibat adanya injeksi
(perubahan permintaan akhir). Semakin besar pengganda tenaga kerja maka
makin besar kesempatan kerja yang terdapat pada sektor tersebut.
Dalam pelaksanaan pembangunan perikanan budidaya diperlukan input
tenaga kerja sebagai human resources yang akan menghasilkan output
perikanan budidaya. Seberapa besar kebutuhan tenaga kerja sebagai input dari
pembangunan perikanan budidaya dapat dilihat dari Gambar 10 berikut.
59

4.0000

Koefisien Employment Multiplier


3.5000

3.0000

2.5000

2.0000

1.5000

1.0000

0.5000

0.0000

i
n

m
tr i
ya

al

sa
an
i

es
r

ks
ia

Ai

Ko
G

us
a

Ja
ng
R
n

ru
&
g&
id
ta

tl ,

s&
rk

ua
t
ud

In

ns
r

H
bn

st
Pe

an

ke
g,
B

Ko
Li
Tm

Tr
gn
P.

D
Gambar 10 Employment Multiplier Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten

Nilai pengganda tenaga kerja sektor perikanan budidaya adalah sebesar


1,1693 berada di bawah rata-rata total pembentukan tenaga kerja secara
sektoral yang sebesar 1,5732 dan menempati urutan ke-6 klasifikasi 10 sektor.
Nilai pengganda tenaga kerja 1,1693, mengindikasikan bahwa untuk
menghasilkan output satu juta rupiah bagi sektor perikanan dibutuhkan tenaga
kerja 1,1693 orang. Informasi ini memberi petunjuk bahwa, dari sisi pengganda
tenaga kerja sektor perikanan budidaya belum cukup andal dalam menciptakan
kesempatan kerja pada masyarakat (nelayan). Hal ini perlu mendapat perhatian
khusus dikarenakan upah dan gaji yang diterima oleh tenaga kerja di sektor
tersebut relatif lebih rendah dibandingkan dengan surplus usaha yang diterima
oleh pengusaha, meskipun diketahui ternyata sektor ini mampu memberikan
income multiplier yang cukup andal. Namun demikian, sektor ini ternyata belum
cukup andal dalam menciptakan kesempatan kerja.

5.4. Aspek Ekologi


5.4.1. Input Lingkungan
Pada umumnya pembangunan ekonomi di sektor pertanian bertujuan untuk
meningkatkan produksi dan pendapatan para petani. Sebagian besar areal tanah
wilayah Banten dikembangkan untuk pertanian khususnya perkebunan yang
potensial memproduksi tanaman kelapa. Selain itu, terdapat tanaman pangan
serta hutan yang berfungsi sebagai stabilitas lingkungan. Luas areal pertanian
meliputi areal tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan yang
keseluruhannya mencapai 660.137 ha. Sektor industri yang merupakan andalan
dari Provinsi Banten sebagai komoditi ekspor disediakan areal seluas 6.876 ha,
60
untuk areal pertambangan disediakan areal oleh Pemerintah Daerah sebesar
2.474 ha. Di samping itu, kebutuhan areal yang lain meliputi kegiatan
pembangunan konstruksi wilayah Banten (100.451 ha), kegiatan perdagangan
hotel dan restoran (13.320 ha), transportasi (585 ha) dan keuangan (2.730 ha)
serta kegiatan jasa pendukung (79.019 ha).
Hutan mangrove merupakan ekosistem wilayah pesisir yang berfungsi
sebagai daerah pelindung dari gelombang serta sebagai tempat berlangsungnya
hubungan timbal balik antara komponen abiotik dengan biotik. Letak lokasi
mangrove berada di pantai utara, selatan dan barat Provinsi Banten dengan luas
mencapai 2.214,45 ha dan merupakan areal pendukung untuk pembangunan
perikanan budidaya. Menurut Bengen (2004), untuk mempertahankan dan
menjaga kelestarian lingkungan maka idealnya pemanfaatan hutan mangrove
diupayakan hanya 40% yaitu 885,78 ha untuk digunakan sesuai dengan
kebutuhan pembangunan perikanan budidaya. Di samping itu, pola teknis
pemanfaatan dan pertumbuhan mangrove juga perlu diperhatikan agar dalam
pembangunan dan pengelolaan perikanan budidaya tidak menimbulkan
kerusakan ataupun penurunan ekosistem mangrove.

5.4.2. Eksternalitas
Pencemaran lingkungan menurut Connel dan Muller (1974), diacu dalam
Feriningtyas (2005) adalah masuknya bahan-bahan yang diakibatkan oleh
berbagai kegiatan manusia sehingga menimbulkan perubahan yang merusak
karakteristik fisik, kimia, biologi ataupun estetika lingkungan tersebut.
Pencemaran perairan pesisir dan laut menurut Gesamp (1986), diacu dalam
Feriningtyas (2005) merupakan dampak negatif terhadap kehidupan biota,
sumberdaya dan kenyamanan (amenities) ekosistem perairan pesisir serta
kesehatan manusia dan nilai guna lainnya dari ekosistem perairan pesisir yang
secara langsung maupun tidak langsung oleh pembuangan bahan-bahan limbah
ke dalam laut yang berasal dari kegiatan manusia.
Komponen eksternalitas dari perikanan budidaya di sini meliputi komponen
BOD, COD, TSS dan TDS. Perikanan budidaya di Provinsi Banten komponen
BOD yang dihasilkan mencapai 16,32 ton, sedangkan untuk COD, TSS dan TDS
berturut-turut 30,27; 10,70; dan 27,68 ton (Lampiran 1).
61
5.4.3. Analisis Ecological Multiplier
Dalam pelaksanaan pembangunan diperlukan input sumberdaya yang
akan menghasilkan output berupa barang dan jasa serta eksternalitas yang
dilepas ke ekosistem. Untuk mengetahui kebutuhan input dari ekosistem yang
akan digunakan dan eksternalitas yang terjadi, dilakukan analisis model tabel I-O
Leontief (Lampiran 3). Pada penelitian ini, tinjauan ekologi dilakukan terhadap
sumberdaya yang dimanfaatkan dalam pembangunan perikanan budidaya antara
lain: areal untuk produksi dan ekosistem mangrove sebagai input dari ekosistem
serta limbah bahan organik (BOD, COD, TSS dan TDS) sebagai eksternalitas
yang dihasilkan sebagai akibat kegiatan perikanan budidaya. Seberapa besar
kebutuhan areal produksi dan ekosistem mangrove sebagai input dari ekosistem
dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19 Kebutuhan Areal dan Mangrove Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi


Banten
Sektor Areal Mangrove
1. Pertanian 0,1394 0,0000
2. Perikanan Budidaya 0,0982 0,0103
3. Pertambangan & Penggalian 0,0452 0,0000
4. Industri 0,0067 0,0000
5. Listrik & Air Bersih 0,0186 0,0000
6. Konstruksi 0,0411 0,0000
7. Perdagangan, Hotel & Restoran 0,0083 0,0000
8. Transportasi & Komunikasi 0,0048 0,0000
9. Keuangan 0,0050 0,0000
10. Jasa-jasa 0,0362 0,0000
Rata-rata per sektor 0,0403 0,0010
Sumber: Data Diolah 2007

Elemen R* pada Lampiran 4 merupakan refleksi jumlah input ekologi yang


dibutuhkan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menghasilkan
output sektor j untuk memenuhi permintaan akhir. Tabel 19 menunjukkan bahwa
kebutuhan tertinggi areal terjadi pada sektor pertanian dengan nilai 0,1394,
sedangkan perikanan budidaya menempati posisi kedua dengan nilai sebesar
0,0982 yang berada di atas rata-rata kebutuhan areal secara sektoral sebesar
0,0403. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk menghasilkan satu juta rupiah
output bagi sektor perikanan budidaya baik secara langsung maupun tidak
langsung dibutuhkan areal seluas 0,0982 hektar. Demikian juga untuk
menghasilkan satu juta rupiah output sektor perikanan budidaya dibutuhkan areal
mangrove seluas 0,0103 hektar.
62
Di samping dibutuhkan dalam pembangunan, ekosistem juga menerima
eksternalitas yang berupa limbah bahan organik. Berdasarkan analisis
perhitungan dengan menggunakan model tabel input-output Leontief (Lampiran
5) dapat diketahui bahwa dampak pencemaran bahan organik merupakan
eksternalitas yang dihasilkan dari kegiatan perikanan budidaya seperti
digambarkan pada Tabel 20 berikut ini.

Tabel 20 Dampak Eksternalitas Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten


Sektor BOD COD TSS TDS
1. Pertanian 0,0005 0,0009 0,0003 0,0008
2. Perikanan Budidaya 0,0006 0,0011 0,0004 0,0010
3. Pertambangan & Penggalian 0,0036 0,0049 0,0024 0,0044
4. Industri 0,0015 0,0028 0,0010 0,0025
5. Listrik & Air Bersih 0,0010 0,0018 0,0007 0,0017
6. Konstruksi 0,0008 0,0015 0,0005 0,0014
7. Perdagangan, Htl & Restoran 0,0005 0,0010 0,0003 0,0009
8. Transportasi & Komunikasi 0,0008 0,0014 0,0005 0,0013
9. Keuangan 0,0005 0,0010 0,0003 0,0009
10. Jasa-jasa 0,0004 0,0007 0,0003 0,0007
Rata-rata per sektor 0,0010 0,0017 0,0007 0,0016
Sumber: Data Diolah 2007

Element Q* pada Lampiran 5 merupakan refleksi eksternalitas yang akan


dihasilkan baik secara langsung maupun tidak langsung ke ekologi untuk
menghasilkan output sektor j dalam memenuhi permintaan akhir. Dari
perhitungan di atas, nilai BOD 0,0006 menggambarkan bahwa untuk
menghasilkan satu juta rupiah output di sektor perikanan budidaya baik langsung
maupun tidak langsung akan menimbulkan eksternalitas berupa BOD sebesar
0,0006 ton. Demikian juga dengan COD, TSS dan TDS dimana nilainya berturut-
turut sebesar 0,0011; 0,0004; dan 0,0010 menggambarkan bahwa untuk
menghasilkan satu juta rupiah output sektor perikanan budidaya akan
menimbulkan eksternalitas berupa COD, TSS dan TDS masing-masing sebesar
0,0011; 0,0004; dan 0,0010 ton.
Jika dilihat sektor yang mampu memberikan kontribusi relatif tinggi
terhadap laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten yaitu sektor pertambangan
galian dan sektor industri, ternyata juga paling dominan dalam menghasilkan
eksternalitas baik BOD, COD, TSS dan TDS, nilai sektor ini berada di atas rata-
rata eksternalitas secara sektoral, sedangkan perikanan budidaya dalam
63
menghasilkan eksternalitas masih berada di bawah rata-rata ekternalitas secara
sektoral. Implikasi dari hal ini dapat diketahui bahwa sektor perikanan budidaya
meskipun merupakan sektor yang potensial (Gambar 8) ternyata dalam
menghasilkan pencemaran bahan organik masih relatif lebih rendah
dibandingkan sektor potensial lainnya.

5.5. Ecological Footprint


Wilayah pesisir Provinsi Banten yang rentan (vulnerable) terhadap
perubahan lingkungan akan menerima dampak negatif berupa pencemaran,
sedimentasi, dan penurunan keanekaragaman hayati (biodiversity loss) akibat
aktivitas manusia dan ini tentu akan menyulitkan pencapaian pembangunan yang
berkelanjutan. Dengan demikian, untuk mengantisipasi dampak negatif dari
pembangunan yang mungkin timbul, maka kajian tentang kemampuan daya
dukung Provinsi Banten diperlukan untuk mendukung kegiatan perikanan
budidaya yang ada di atasnya.
Ecological footprint sebagai suatu konsep daya dukung, yang paling
mendasar adalah menjelaskan hubungan antara ukuran populasi dan perubahan
dalam sumberdaya dimana populasi tersebut berada. Hal tersebut diasumsikan
bahwa terdapat suatu ukuran populasi yang optimal yang dapat didukung oleh
sumberdaya tersebut (Adrianto dan Matsuda 2004).
Analisis footprint di suatu wilayah didasarkan pada kegiatan konsumsi,
ekspor dan impor yang dilakukan oleh wilayah tersebut. Oleh karena itu,
sebenarnya kategori atau komponen footprint didasarkan pada jenis yang
dikonsumsi dan bukan jenis yang diproduksi. Hasil perhitungan footprint
perikanan budidaya di Provinsi Banten tahun 1999-2005 dapat dilihat pada
Lampiran 6 dan Lampiran 7. Komponen footprint perikanan budidaya terdiri dari
budidaya laut dan budidaya tambak. Nilai produktivitas setiap komponen
menggunakan nilai produktivitas lokal dan regional. Gambar 11 dan Gambar 12
menyajikan nilai ecological footprint perikanan budidaya baik budidaya laut
maupun budidaya tambak di wilayah pesisir Provinsi Banten.

0.160
0.140
0.120
EF (Ha/kapita)

0.100
0.080
0.060
0.040
0.020
1
0.000
1999 2000 2001 12002 2003 2004 2005

Tahun
Gambar 11 Ecological Footprint Budidaya Laut Provinsi Banten
64
Gambar 11 menunjukkan bahwa tingkah laku ecological footprint budidaya
laut di Provinsi Banten berfluktuasi dan cenderung mengalami peningkatan.
Tahun 1999, ecological footprint budidaya laut berada pada level 0,1240
ha/kapita atau dibutuhkan areal seluas 987.242 ha untuk budidaya laut atau 1,05
kali dari luas total wilayah Provinsi Banten. Selanjutnya, ecological footprint
meningkat pada level 0,1386 ha/kapita atau dibutuhkan areal seluas 1.121.893
ha. Tahun 2001, ecological footprint mengalami penurunan pada level 0,1256
ha/kapita atau dibutuhkan areal seluas 1.036.633 ha dan relatif stabil di tahun
2002 pada level 0,1225 ha/kapita atau areal seluas 1.045.241 ha. Peningkatan
terjadi pada tahun 2003 di level 0,1290 ha/kapita atau dibutuhkan areal seluas
1.155.443 ha dan relatif stabil pada level 0,1289 ha/kapita atau areal seluas
1.170.544 ha di tahun 2004. Kemudian, tahun 2005 areal yang dibutuhkan
mencapai 1.429.109 ha atau mengalami peningkatan dan berada pada level
0,1535 ha/kapita.
Dengan kata lain, dapat dikatakan dari Gambar 11 terjadi ecological defisit
dari budidaya laut di Provinsi Banten. Rata-rata areal yang dibutuhkan untuk
budidaya laut di wilayah pesisir Provinsi Banten adalah 1.135.157 ha atau 1,2
kali dari luas total wilayah Provinsi Banten (943.833 ha). Namun demikian, jika
menggunakan areal produktif untuk budidaya laut seluas 29.332 ha, maka areal
yang dibutuhkan 38 kali dari luas areal produktif.

0.018
0.016
0.014
EF (Ha/kapita)

0.012
0.010
0.008
0.006
0.004
0.002
0.000
1999 2000 2001 12002 2003 2004 2005

Tahun

Gambar 12 Ecological Footprint Budidaya Tambak Provinsi Banten

Gambar 12 memperlihatkan ecological footprint dari budidaya tambak di


wilayah pesisir Provinsi Banten juga berfluktuasi dan cenderung mengalami
peningkatan. Tahun 1999, ecological footprint budidaya tambak berada pada
level 0,0145 ha/kapita atau dibutuhkan areal seluas 115.330 ha untuk budidaya
tambak atau 0,12 kali dari luas total wilayah Provinsi Banten. Selanjutnya,
ecological footprint budidaya tambak relatif stabil pada level 0,0141 ha/kapita
65
atau areal yang dibutuhkan seluas 114.003 ha di tahun 2000, kemudian menurun
pada level 0,0134 ha/kapita pada tahun 2001 atau dibutuhkan areal seluas
110.327 ha. Tahun 2002, ecological footprint budidaya tambak meningkat pada
level 0,0156 ha/kapita atau luasan areal yang dibutuhkan 133.235 ha,
peningkatan ini terjadi sampai pada level 0,0161 ha/kapita di tahun 2003 atau
areal yang dibutuhkan menjadi 143.926 ha. Peningkatan ini tidak terjadi pada
tahun 2004, ecological footprint budidaya tambak cenderung menurun pada level
0,0152 ha/kapita atau areal yang dibutuhkan menjadi 137.700 ha, meskipun di
tahun 2005 areal yang dibutuhkan mencapai 156.762 ha atau mengalami
peningkatan dan berada pada level 0,0168 ha/kapita.
Implikasi dari Gambar 12 adalah terjadi ecological defisit dari budidaya
tambak di Provinsi Banten. Rata-rata areal yang dibutuhkan untuk budidaya
tambak di wilayah pesisir Provinsi Banten adalah 130.183 ha atau 0,13 kali dari
luas total wilayah Provinsi Banten (943.833 ha). Namun demikian, jika
dibandingkan dengan areal produktif untuk budidaya tambak seluas 11.707 ha,
maka areal yang dibutuhkan 11,12 kali dari luas areal produktif.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa Provinsi Banten saat ini terjadi
“ecological defisit” untuk budidaya laut dan budidaya tambak. Namun demikian,
perlu diingat bahwa daerah yang ecological defisit belum tentu “tidak makmur”
dalam konotasi ekonomi karena tidak semua kebutuhan manusia dapat dipenuhi
oleh sumberdaya alam dan lingkungan setempat. Daerah yang ecological defisit
juga dapat makmur jika hasil dari sumberdaya alam yang tersedia dapat
dipasarkan secara sehat untuk ditukarkan dengan kebutuhan hidup lain yang
tidak dapat dipenuhi oleh sumberdaya dan lingkungan setempat.
Jika dibandingkan dengan beberapa negara dan dunia, ecological footprint
dari budidaya laut dan budidaya tambak Provinsi Banten memiliki nilai yang lebih
kecil dibandingkan negara lain, sebagai contoh: Hongkong 20 ha/kapita (Warren-
Rhodes dan Koenig 2001) dan Dunia 0,3 ha/kapita (WWF 2002).

5.6. Keterkaitan Ecological Footprint dan Ecological Input-Output


Pendekatan ecological footprint (EF) dengan hasil analisis ecological input-
output (EIO) dapat dihubungkan. Telah diketahui bahwa biocapacity untuk
budidaya laut dan budidaya tambak berturut-turut adalah 29.332 ha dan 11.707
ha. Biocapacity ini merupakan areal potensial secara ekologis yang telah
disediakan oleh Pemerintah Provinsi Banten untuk kegiatan budidaya.
66
Hasil analisis dari EIO diperoleh bahwa untuk memenuhi target permintaan
sebesar satu juta rupiah output perikanan budidaya diperlukan areal seluas
0,0982 ha dan mangrove seluas 0,0103 ha. Hal ini memberikan hubungan bahwa
untuk membuka suatu usaha budidaya baik laut maupun tambak, sangat
tergantung pada target permintaan yang ingin dipenuhi, semakin besar target
permintaan yang ingin dicapai, maka semakin besar pula areal dan mangrove
yang dibutuhkan. Keterkaitan antara EF dengan EIO dapat dilihat pada Gambar
13 dan Gambar 14.

300,000
Permintaan (Juta Rp)

Area BL
250,000

200,000

150,000
Area BT
100,000

50,000

0
0 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000

Biocapacity (Ha)

Gambar 13 Keterkaitan EF dan EIO dalam Bentuk Areal untuk Perikanan Budidaya

Pada Gambar 13 terlihat bahwa areal yang optimum untuk budidaya laut
(BL) yaitu pada level 29.332 ha atau sejalan dengan biocapacity, dengan target
permintaan yang dapat dipenuhi sebesar 298.699,43 juta rupiah. Lain halnya
dengan budidaya tambak (BT), areal yang optimum hanya pada level 11.707 ha
dengan target permintaan yang dapat dipenuhi sebesar 119.217,04 juta rupiah.
Dari hubungan EF dan EIO untuk perikanan budidaya tersebut khususnya dalam
bentuk areal, dapat dibuat suatu persamaan yaitu :
A = 0,0982 y,
Dimana:
A = Areal (ha), dan
y = Target permintaan yang ingin dipenuhi (juta rupiah)

Persamaan di atas bisa digunakan dalam merencanakan pembangunan


perikanan budidaya di wilayah pesisir Provinsi Banten khususnya untuk
mengetahui berapa besar areal yang dibutuhkan untuk usaha budidaya (laut atau
tambak) berdasarkan pada target permintaan yang ingin dipenuhi. Namun
demikian, perlu diingat batasan biocapacity sebagai sebuah ukuran ketersediaan
67
areal produktif secara ekologis, sehingga dalam pemanfaatannya tidak boleh
melebihi agar pembangunan yang berkelanjutan terpenuhi.

3,000,000

Permintaan (Juta Rp) Mangrove BL


2,500,000

2,000,000

1,500,000

Mangrove BT
1,000,000

500,000

0
0 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000

Biocapacity (Ha)

Gambar 14 Keterkaitan EF dan EIO dalam Bentuk Mangrove untuk Perikanan Budidaya

Selanjutnya pada Gambar 14 dapat dilihat hubungan EF dan EIO dalam


bentuk mangrove yang dikonversi untuk perikanan budidaya. Jika biocapacity
mencerminkan luas mangrove yang harus dikonversi untuk perikanan budidaya
baik laut atau tambak, maka target permintaan yang dapat dipenuhi dari
mangrove tersebut untuk kegiatan budidaya laut (BL) dengan biocapacity 29.332
ha adalah 2.848.191,19 juta rupiah, sedangkan kegiatan budidaya tambak (BT)
dengan biocapacity 11.707 ha adalah 1.136.771,25 juta rupiah. Dari hubungan
EF dan EIO untuk perikanan budidaya khususnya dalam keperluan mangrove,
dapat dibuat suatu persamaan yaitu:
M = 0,0103 y,
Dimana:
M = Mangrove (ha), dan
y = Target permintaan yang ingin dipenuhi (juta rupiah)

Persamaan di atas bisa digunakan dalam merencanakan pembangunan


perikanan budidaya di wilayah pesisir Provinsi Banten khususnya untuk
mengetahui berapa besar mangrove yang dibutuhkan untuk usaha budidaya (laut
atau tambak) berdasarkan pada target permintaan yang ingin dipenuhi. Namun
demikian, perlu diingat batasan biocapacity untuk mangrove itu sendiri. Ternyata
di Provinsi Banten luas mangrove hanya sebesar 2.214,45 ha, hal ini bisa
menjadi perhatian dan pertimbangan yang optimum oleh pengambil kebijakan
dalam merencanakan pembangunan perikanan budidaya agar lebih berwawasan
lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis untuk perencanaan pembangunan perikanan
budidaya di wilayah pesisir Provinsi Banten dapat disimpulkan bahwa :
1. Ditinjau dari kekuatan struktur perikanan budidaya Provinsi Banten
cenderung digunakan untuk keperluan konsumsi. Namun demikian,
perikanan budidaya termasuk dalam kategori sektor potensial untuk
dikembangkan.
2. Estimasi dampak ekonomi yang muncul dari pembangunan perikanan
budidaya ternyata perikanan budidaya cukup andal dalam meningkatkan
pendapatan masyarakat nelayan, tetapi belum cukup andal dalam
menciptakan kesempatan kerja.
3. Estimasi dampak ekologi dari pembangunan perikanan budidaya ternyata
perikanan budidaya membutuhkan input lingkungan di atas rata-rata
kebutuhan area dan mangrove secara sektoral. Namun demikian,
eksternalitas yang ditimbulkan dari perikanan budidaya masih berada di
bawah rata-rata ekternalitas secara sektoral.
4. Analisis daya dukung lingkungan menunjukkan bahwa perikanan budidaya
Provinsi Banten mengalami ecological defisit. Daya dukung lingkungan
pesisir yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya laut yaitu pada level 29.332
ha dengan target permintaan optimum 298.699,43 juta rupiah, sedangkan
budidaya tambak pada level 11.707 ha dengan target permintaan optimum
119.217,04 juta rupiah.

6.2. Saran
1. Terkait dengan perencanaan pembangunan berkelanjutan, hendaknya
pemerintah lebih memperhatikan mariculture sebagai sebuah solusi
keberlanjutan perikanan budidaya. Hal ini dikarenakan dukungan biocapacity
yang lebih besar sehingga mampu memberikan target permintaan yang
optimum, dengan tetap menjaga kelangsungan ekosistem mangrove.
2. Diharapkan pemerintah memberikan perhatian terhadap iklim investasi
khususnya di sektor perikanan budidaya.
69
3. Hendaknya pemerintah dalam melakukan pembangunan perikanan budidaya
perlu juga memperhatikan keberadaan sektor industri dan sektor
perdagangan, hotel dan restoran, karena sektor tersebut memiliki daya tarik
dan daya dorong yang besar terhadap perikanan budidaya. Dengan
demikian, diharapkan pembangunan tidak bersifat sektoral melainkan lintas
sektoral, dan keterkaitan dengan sektor tersebut akan semakin kuat.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut di dalam pengembangan perikanan
budidaya dengan menggunakan pendekatan gabungan termasuk di
dalamnya teknologi dan riset kapasitas asimilasi.
DAFTAR PUSTAKA

Adrianto L. 2004. Menggagas Visi Ekonomi-Ekologi (Ecological Economics)


dalam Perspektif Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan
Menuju Terwujudnya Indonesia Berkelanjutan (Sustainable Indonesia).
Working Paper 10 Oktober 2004. PKSPL-IPB. Bogor.

Adrianto L, Matsuda Y. 2004. Fishery Resources Appropriation in Yoron Island,


Kagoshima Prefecture, Japan : A Static and Dynamic Analysis. Kagoshima
University. Japan.

Adrianto L. 2006. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan: Tantangan Riset


dan Akademik. Disampaikan pada Mukernas Himitekindo Bogor, 16
Januari 2006. PKSPL-IPB. Bogor.

Anielski. 2005. Ecological Footprints of Canadian Municipalities and Regions


Prepared for: The Canadian Federation of Canadian Municipalities. Anielski
Management Inc. Canada.

[BAPEDA] Badan Perencanaan Daerah Provinsi Banten. 2002. Rencana Tata


Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Banten 2002-2017. Banten.

Bengen DG, Rizal. 2000. Aktivitas Pembangunan Berwawasan Kependudukan di


Wilayah Pesisir. Warta Pesisir dan Lautan (02). PKSPL-IPB. Bogor.

Bengen DG. 2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut
Serta Prinsip Pengelolaannya. PKSPL-IPB. Bogor.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2002. Tabel Input-Output Provinsi Banten, Badan
Pusat Statistik Provinsi Banten, Banten.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Tinjauan Ekonomi Banten 2004. Badan Pusat
Statistik Provinsi Banten, Banten.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Banten Dalam Angka 2005. Badan Pusat
Statistik Provinsi Banten, Banten.

Budiharsono S. 2005. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan


(edisi kedua). PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Cicin-Sain B, Knecht RW. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management:


Concepts and Practices. Center for The Study of Marine Policy Graduate
Collage of Marine Studies. University of Delaware. Island Press.
Washington, D.C. Covelo. California.

Clark WC, Dickson NM. 2003. Sustainability Science: The Emerging Research
Program. PNAS, July 8, 2003.

Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumberdaya


Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita.
Jakarta.
71
Dahuri R. 2002. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan.
Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
dan Lautan FPIK-IPB. Bogor.

Daly H. 1990. Towards Some Operational Principles of Sustainable


Development. J Ecological Economics 2:1-6.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jendral Kelautan, Pesisir


& Pulau-Pulau Kecil. 2006. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Ferguson, ARB. 2002. The Assumptions Underlying Eco-Footprinting. Population


and Environment 23 (3); 303-313.

Feriningtyas D. 2005. Perubahan Spasial dan Temporal Kualitas Air Waduk


Cirata, Jawa Barat Selama Periode 2000-2004 [skripsi]. Bogor: FPIK,
Institut Pertanian Bogor.

Haberl, Heinz EK, Krausmann F. 2001. How to Calculate and Interpret Ecological
Footprints For Long Periods of Time : The Case of Austria 1926-1995.
Ecological Economics 38 : 25-45.

Hermawan. 2001. Sektor Perikanan Laut Dalam Perekonomian Jawa Barat


(Kajian Tabel I/O dan Beberapa Indikator Lainnya) [tesis]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hubacek K, Giljum S. 2002. Applying Physical input-output analysis to estimate


land appropriation (ecological footprints) of international trade activities.
J Ecological Economics 44:137-151.

[KMNLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup, [BAPEDALWIL I] Badan


Pengendalian Dampak Lingkungan Wilayah I. 1999. Pengembangan dan
Pengelolaan Sumberdaya Hayati Kawasan Pesisir dan Lautan secara
Terpadu di Provinsi Riau: BARELANG (Batam, Rempang dan Galang) dan
Bintan. Laporan Akhir Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Universitas
Riau. Pekanbaru.

[KMNLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup, [BPS] Badan Pusat Statistik.


2000. Modul Pelatihan Model Ekonomi Makro untuk Analisis Lingkungan di
Indonesia. Kerjasama antara Pemerintah Kerajaan Norwegia Kantor
Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Biro Pusat Statistik. Jakarta.

Kamaluddin LM. 2002. Pembangunan Ekonomi Maritim di Indonesia. PT.


Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Lenzen M, Murray SA. 2001. A Modified Ecological Footprint Method and Its
Application to Australia. J Ecological Economics 37:229-255.

Leontief W. 1966. Input-Output Economics. Oxford University Press. New York.

Maenpaa I, Muukkonen J. 2001. Physical Input-Output in Finland: Methods,


Preliminary Results anda Tasks Ahead. Conference on Economic Growth,
Material Flows and Environmental Pressure 25-27th April, Stockholm,
Sweden.
72
Miller RE, Blair PD. 1985. Input-Output Analysis: Foundations and Extensions.
Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs. New Jersey.

Moffat I, Hanley N, Wilson MD. 2000. Measuring and Modeling Sustainable


Development. Parthenon Publishing. Bristol, UK.

Palmer AR. 1999. Ecological Footprints : Evaluating Sustainability. Environmental


Geosciences 6 (4); 200-204.

Ristianto B. 2003. Pendekatan Ekologi-Ekonomi dalam Pengembangan


Pelabuhan Dumai [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.

Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2004. Diktat Perencanaan dan


Pengembangan Wilayah. Edisi: 10 Desember 2004. Faperta IPB. Bogor.

United Nations. 1995. Planning Guidelines on Coastal Environmental


Management. Economic and Social Commission for Asia and The Pacific.
New York.

Venetoulis J, Chazan D, Gaudet C. 2004. Ecological Footprint of Nation:


Sustainability Indicators Program March 2004. Redefining Progress.

Wackernagel M, Rees. 1996. Our Ecological Footprint: Reducing Human Impact


on The Earth. New Society Publishers, Gabriola Island, British Columbia.

Wackernagel M, Yount JD. 1998. The Ecological Footprint : An Indicator of


Progress Toward Regional Sustainability. Environmental Monitoring and
Assessment 51 : 511-529.

Warren-Rhodes K, Koenig A. 2001. Ecosystem Appropriation by Hong Kong and


Its Implications for Sustainable Development. J Ecological Economics
39:347-359.

World Bank. 1993. Noordwijk Guidelines: for Integrated Coastal Zone


Management. Distribution to The World Coast Conference.

WWF 2002. Assessing The Ecological Footprint. A Look at The WWF’s Living
Planet Report 2002. Environmental Assessment Institute. Denmark.
Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian.

You might also like