Professional Documents
Culture Documents
Mohammad Takdir
Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep
mohammadtakdir86@gmail.com
Abstract
This research efforts to answer the problem of conflict resolution models were used by
Madurese society in the resolve of carok and why forgiveness can be overcome carok
conflict. This research also to understand how the forgiveness stages between the parties
involved in the case of carok in Madura? This research used a qualitative method to
explore the power of forgiveness in the resolve of carok in Bujur Tengah Village, Batu
Marmar, Pamekasan. In the process of collecting data, the researcher used observation,
interview, documentation, and triangulation techniques, while the analysis techniques
used were data reduction, data presentation, and conclusion drawing. This research
shows that the forgiveness model becomes a conflict resolution capable of controlling
anger and retaliation to achieve true reconciliation. This is because the forgiveness
mechanism has extraordinary power to rebuild the relationship or to restore the effects
of trauma from the victim’s family. The forgiveness mechanism in the case of carok
cannot be separated from the role of kiai to resolve the disputes of land swap overland
(village treasury) between two parties. There are many stages carried out by the kiai to
accelerate the achievement of reconciliation, namely restoring security conditions,
embracing the families of carok victims, strengthening friendship as a process of
preventing counter-conflict, the tabayyun process by presenting conflicting parties,
accelerating dialogue, and holding reconciliation studies.
Key Word: Conflict Resolution, Carok, Forgiveness, Local Wisdom, Religiosity, Madura
Abstrak
Penelitian ini berusaha menjawab persoalan tentang model resolusi konflik yang
digunakan masyarakat Madura dalam mengatasi kasus carok dan mengapa pemafaan
mampu mengatasi konflik carok? Penelitian ini juga dilakukan untuk memahami
bagaimana tahapan-tahapan pemafaan secara total diantara pihak-pihak yang
berkonflik dalam kasus carok di Madura? Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
untuk mengeksplorasi kekuatan pemaafaan dalam kasus carok di desa Bujur Tengah,
Batu Marmar, Pamekasan. Dalam proses pengumpulan, peneliti menggunakan teknik
observasi, wawancara, dokumentasi, dan tringulasi, sementara teknik analisa yang
digunakan adalah dengan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa model pemafan menjadi terapi dalam penyelesaian
konflik dalam mengendalikan kemarahan dan pembalasan untuk mencapai rekonsiliasi
sejati dalam kasus carok. Hal ini dikarenakan, mekanisme pengampunan memiliki
kekuatan luar biasa untuk membangun kembali hubungan atau mengembalikan efek
trauma dari keluarga korban. Model pemaafan dalam kasus carok ini tidak bisa lepas
dari peran figur kiai untuk menyelesaikan sengkata tukar guling tanah percaton (kas
desa). Ada banyak tahapan yang dijalankan para kiai untuk mempercepat tercapainya
rekonsiliasi, yaitu pemulihan kondisi keamanan, merangkul keluarga korban carok,
memperkuat silaturrahmi sebagai proses pencegahan konflik balasan, proses tabayyun
dengan menghadirkan pihak yang berkonflik, mempercepat dialog (musyawarah), dan
mengadakan pengajian rekonsiliasi sebagai langkah antisipatif dan responsif.
A. Pendahuluan
Salah satu bentuk kekerasan yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat
Madura adalah budaya carok yang menjadi simbol identitas atas pembelaan harga diri
dan kehormatan keluarga. Budaya carok oleh beberapa peneliti dianggap sebagai cara
penyelesaian konflik yang paling efektif untuk mempertahankan harga diri dari
penghinaan dan pelecehan yang membawa nama keluarga. Cara penyelesaian konflik
semacam ini bisa disebut sebagai tindakan pertolongan terhadap diri sendiri (self-
punishment), yang merupakan manifestasi dari sikap kesatria laki-laki Madura.
Perilaku carok yang sering terjadi di Madura, membuat tindakan ini menjadi
budaya yang mendapatkan pengakuan sosial sebagai representasi pembelaan harga
diri. Carok adalah perilaku kekerasan yang berkaitan dengan harta, tahta, dan, wanita.
Ungkapan etnografi yang menyatakan, ango’an pote tolang, etembang pote mata
(lebih baik mati daripada harus menanggung malu), merupakan salah satu cikal bakal
lahirnya carok dan menjadi episentrum konflik yang mengakar kuat dalam kehidupan
masyarakat Madura.1 Fenomena carok di Madura merupakan salah satu diantara yang
paling unik sebagai ekspresi penyelesaian konflik yang melibatkan masing-masing
individu atau kelompok masyarakat. Carok di Madura dianggap unik, karena
merupakan ekspresi kekerasan yang diakui secara sosial-budaya, bahkan memperoleh
justifikasi dari masyarakat.
Carok merupakan perbuatan yang dianggap sebagai sebuah penghukuman yang
secara fungsional merupakan kontrol terhadap perilaku yang dianggap mengganggu
atau mengancam secara individu maupun kelompok. Masyarakat Madura telah
menyepakati carok sebagai suatu norma yang harus dilaksanakan apabila terjadi suatu
gangguan atau pelecehan terhadap harga diri keluarga. Carok memiliki pengertian
sebagai penganiayaan yang mempunyai alasan khusus, di mana dalam kajian
sosiologis dapat diartikan sebagai pola prilaku yang berfungsi sebagai suatu modus.
Carok merupakan suatu perkelahian bersenjata tajam (celurit) antara seseorang
1
Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Perilaku, Etos Kerja, Penampilan, dan Pandangan
Hidupnya (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), 143.
dengan orang lain yang dimulai dengan adanya perjanjian mengenai waktu dan
tempat.2 Akan tetapi, makna carok sekarang telah mengalami pergeseran yang cukup
timpang terkait dengan konflik antar individu3 yang berubah menjadi konflik kolektif
(kelompok).
Penelitian ini mengambil satu kasus carok di desa Bujur Tengah, Kecamatan
Batu Marmar, Kabupaten Pamekasan, yang terjadi pada bulan Juli 2006. Kasus carok
ini menyita banyak perhatian masyarakat karena terdapat banyak korban yang harus
kehilangan nyawanya akibat peristiwa itu. Dalam kasus carok Bujur Tengah, tindakan
pembunuhan dilakukan secara spontanitas atau sporadis, tanpa persiapan, dilakukan
secara kolektif, tanpa ritual, dan menimbulkan korban perempuan. Karena semua
pelaku carok adalah laki-laki, maka pembunuhan yang dilakukan terhadap perempuan
tidak disebut carok, tapi sebagai pembunuhan biasa atau mate’e oreng. Carok oleh
orang Madura, dianggap semata-mata sebagai urusan laki-laki, bukan urusan
perempuan. Hal ini sesuai dengan ungkapan yang cukup familiar di kalangan
masyarakat Madura bahwa oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi’ (laki-
laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan).4
Dari kasus carok yang terjadi di Bujur Tengah, peneliti ingin mengubah
paradigma kekerasan ini menjadi sebuah langkah awal untuk membangun harmoni
dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagai prinsip dasar dalam
menyebarkan pentingnya pemaafan bagi setiap orang yang terlibat carok. Apalagi
masyarakat Madura memiliki nilai-nilai harmoni yang mengakar kuat, seperti
ungkapan “rampa’ naong bringen korong” (suasana teduh penuh kedamaian
layaknya ada di bawah pohon beringin yang rindang).5
Kasus carok yang terjadi di Pamekasan, sangat penting untuk dikritisi dalam
rangka mengembalikan makna carok secara benar. Pengertian carok masa lalu tidak
ada istilah dendam kedua atau melibatkan orang lain dalam tindakan carok, karena
setiap perbuatan yang mengganggu harga diri orang lain harus diselesaikan secara
personal (kesatria). Bila mengacu pada makna dan carok masa lalu, maka pendekatan
forgiveness bisa menjadi altenatif dalam setiap penyelesaian konflik carok.
Pendekatan forgiveness merupakan langkah nyata untuk mengubah kemarahan
menjadi kesabaran, merasakan indahnya harmoni cinta dan tiadanya permusuhan
2
Abdurrahman, Masalah Carok Di Madura. Buku Madura III (Surabaya: Sinar Terang, 1987),
48.
3
Peg Pickering, How To Manage Conflict: Kiat Menangani Konflik, terj. Masri Maris (Jakarta:
Erlangga, 2001), 12.
4
A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta:
LKiS, 2002), 185.
5
Moh. Fatah Yasin dan Fimeir Liadi, Representasi Nilai Budaya Madura & Dayak dalam
Sastra (Yogyakarta: IRCiSoD, 2007), 93.
antar sesama dengan tetap menjungjung tinggi sikap saling menghormati dan
menghargai satu sama lain. Dalam mereduksi konflik, masyarakat Madura harus
mampu menegasikan kecurigaan dan prasangka-prasangka yang membawa
permusuhan antar sesama, karena sesungguhnya manusia semua adalah mahluk
bersaudara yang diciptakan Tuhan untuk saling menebarkan cinta, kasih sayang, dan
perdamaian.6
Dalam konteks keberagamaan masyarakat Madura, perilaku carok memang
merupakan perilaku amoral yang merugikan banyak pihak, termasuk peningkatan
stigma negatif terhadap Madura. Meski orang luar Madura sudah menganggap carok
sebagai tradisi negatif dan perbuatan melawan hukum negara, namun setidaknya
perubahan paradigma terhadap carok bisa dialihkan untuk mencari penyelesaian
terbaik atas setiap konflik yang terjadi. Perubahan paradigma akan budaya carok ini
dimaksudkan untuk mereduksi anggapan masyarakat bahwa carok bukan semata
tindakan pembunuhan biasa, melainkan sebagai mekanisme yang syarat makna. Di
situlah perlu adanya paradigma baru yang bisa memperkuat ikatan persaudaraan dan
kekeluargaan dengan melibatkan semua elemen masyarakat Madura, khususnya figur
kiai atau ulama yang menjadi teladan utama.7
Pendekatan baru dalam mereduksi konflik carok dan membangun budaya damai
antar sesama merupakan wahana strategis untuk menciptakan kehidupan tanpa
kekerasan, kasih sayang, toleransi, harmoni cinta, dan rukun. Model resolusi konflik
yang dijalankan dalam kasus carok di Pamekasan Madura adalah dengan pendekatan
forgiveness yang mencerminkan kerendahan hati dalam beragama dan ketulusan jiwa
untuk saling memaafkan yang dipenuhi dengan nilai-nilai harmoni serta cinta kasih
yang termanifestasi dalam ungkapan “rampa’ naong bringen korong”. Dalam setiap
ajaran agama, telah diajarkan bahwa konflik bisa dikendalikan dengan adanya
kesediaan setiap orang untuk mengambil jalan atau mekanisme forgiveness.
Pendekatan forgiveness dapat menjadi inspirasi setiap orang untuk hidup tenang tanpa
kebencian dan permusuhan.8
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi pendekatan forgiveness menjadi
pilihan dalam mereduksi carok di desa Bujur Tengah Kecamatan Batu Marmar
Pamekasan Madura. Pertama, kecenderungan semakin meningkatnya budaya
kekerasan (carok) yang dapat mengancam terputusnya ikatan persahabatan dan
kekeluargaan serta menghancurkan tatanan dalam kehidupan masyarakat Madura.
Kedua, budaya carok dan bentuk kekerasan lainnya sangat bertolak belakang dengan
6
Maulana Wahiduddin Khan, The Ideology of Peace (New Delhi: Goodword Books, 2010), 12.
7
Fatah Yasin dan Fimier Liadi, Representasi Nilai Budaya Madura, 99.
8
M. Abu Fitriana, The Spirit of Forgiveness: Hidup Indah dengan Memaafkan, (Solo: Tinta
Medina, 2013), 96.
ajaran dan misi setiap ajaran agama yang menentang tindakan kekerasan atas nama
dan motif apa pun, termasuk motif kehormatan dan harga diri. Ketiga, semakin
menguatnya kecenderungan carok yang dilakukan secara turun temurun karena
menyimpan aksi balas dendam yang tidak bisa dipendam. Permusuhan antar generasi
ini bisa saja menimbulkan tindakan kekerasan yang lebih besar sehingga perlu adanya
kerendahan hati untuk mengakhiri konflik dengan cara pemaafan sebagai terapi
psikologis yang sangat menjanjikan.
Mekanisme forgiveness bisa hadir dalam konflik carok melalui peran sentral
kiai yang menjadi ikon sosial-keagamaan di kalangan masyarakat Madura. 9 Ketika
menjembatani proses forgiveness dalam kasus carok di Pamekasan, kiai
menggunakan pendekatan religius-kultural untuk memberikan pemahaman tentang
pentingnya menjaga semangat persaudaraan dan kekeluargaan melalui siraman rohani
yang dapat menyentuh hati nurani dan jiwa mereka. Dengan peran sentral kiai dan
kerendahan hati maupun kebesaran jiwa dari setiap keluarga atau korban carok, maka
forgiveness dapat diterima sebagai pendekatan dan media dalam memulihkan
hubungan yang sempat terputus menjadi satu langkah awal menuju rekonsiliasi sejati
(genuine reconciliation).
B. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang kasus carok yang terjadi di Madura, sesungguhnya telah
banyak dilakukan oleh para sarjana yang tertarik dengan keunikan carok sebagai
simbol identitas orang Madura. Penelitian A. Latief Wiyata (2002) merupakan
penelitian antropologis yang bertujuan untuk memahami carok sebagai kekerasan
berbasis budaya.10 Beberapa peneliti dari luar, seperti Huub De Jonge (1993), G.
Smith (1997), dan Touwen-Bouwsma (1985) merupakan sarjana Barat yang cukup
familiar di kalangan masyarakat Madura, karena berbagai penelitian telah dilakukan
untuk mengeksplorasi keunikan dan kekhasan Madura sebagai etnis terbesar ketiga di
bumi Nusantara ini. Ketiga peneliti tersebut berupaya untuk mengungkapkan tradisi
carok yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat Madura.
Dalam kasus carok, dinamika kultur kekerasan dan religiusitas di dalam
masyarakat Madura sama-sama memiliki aktor utama, yakni blater dan kiai. Blater
memiliki kekuatan sebagai pengendali kekerasan yang seringkali menghegemoni
masyarakat Madura. Begitu pula dengan kiai, dengan kapasitas dan kemampuannya
dalam menafsirkan wacana agama mampu menghegemoni struktur terdalam di ruang
9
Abdur Rozaki, Menabur Kharisma, Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater Sebagai Rezim
Kembar di Madura, (Yogyakarta: Pustaka Marwah, 2004), hlm. 3.
10
A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, (Yogyakarta:
LKIS, 2002).
batin, pikiran dan perilaku masyarakat.11 Perilaku carok ini tentu saja membutuhkan
resolusi konflik yang tepat dalam rangka mereduksi semakin meluasnya eskalase
kekerasan di kalangan masyarakat Madura. Penelitian tentang forgiveness therapy
untuk resolusi konflik dan perdamaian dilakukan oleh Yoachim Agus Tridatno, J,B.
Banawiratma, dan Wening Udasmoro.12 Penelitian ini menekankan pentingnya
pemaafan (forgiveness) sebagai partikel pembentuk perdamaian dan keadilan di
tengah krisis yang menimpa dunia saat ini, termasuk Indonesia. Dalam relasi
interpersonal, tindakan memaafkan merupakan salah satu terapi untuk memulihkan
kondisi traumatik yang diakibatkan oleh kekerasan.
Penelitian tentang pemaafan dan rekonsiliasi sebagai resolusi konflik dalam
kehidupan masyarakat, termanifestasi dalam karya Geiko Muller-Fahrenhol yang
berjudul“The Art of Forgiveness. Menurut Muller, forgiveness bukanlah dipahami
sebagai usaha untuk “melupakan”, tapi ia merupakan sebuah proses perjumpaan,
penyembuhan, penyingkapan pilihan-pilihan baru yang sejati, dan perbaikan diri
untuk masa depan.13 Selain itu, Desmond Tutu mengatakan bahwa pengampunan
dalam kasus kekerasan menjadi penting, karena “tidak ada masa depan tanpa
pengampunan atau pemaafan.”14 Pendekatan forgiveness sebagai model resolusi
konflik, dilakukan Marc Gopin15 tentang pentingnya pemaafan sejati (genuine
forgiveness). Karena itulah, Lewis Smedes mengungkapkan cara lain untuk
menghindari rasa sakit hati, selain memaafkan adalah melupakan.16
Berdasarkan pada beberapa kajian di atas, tidak ada satu penelitian yang
berkaitan dengan hubungan pemaafaan dengan kasus carok di Madura. Penelitian ini
fokus pada tahapan-tahapan forgiveness sebagai model resolusi konflik dalam kasus
carok di kalangan masyarakat Madura. Pendekatan forgiveness ini telah menjadi
bagian dari resolusi konflik carok yang terjadi di desa Bujur Tengah. Ini karena,
11
Abdur Rozaki, Menabur Kharisma, Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim
Kembar di Madura, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004).
12
Yoachim Agus Tridatno, B. Banawiratma, dan Wening Udasmoro, “Forgiveness: Its Power
and Complexities”, dalam Orientasi Baru (Jurnal Filsafat dan Teologi Fakultas Teologi Universitas
Sanata Dharma, Vol. 20, No. 2, Oktober 2011.
13
Geiko Muller Fahrenholz, The Art of Forgiveness: Theological Reflections on Healing and
Reconciliation, (Jeneva: WCC Publication, 1997).
14
Desmond Tutu, No Future Without Forgiveness, (London: Rider, 1999).
15
Marc Gopin,“Forgiveness as an Element of Conflict Resolution in Religious Cultures:
Walking the Tightrope of Reconciliation and Justice”, In Mohammed Abu-Nimer (ed.),
Reconciliation, Justice and Co-existence: Theory and Practice, (Lanham, MD: Lexington Books,
2001).
16
Lewis B. Smedes, Forgive and Forget: Healing The Hurts We Don't Deserve, (San
Francisco: Harpersan, 1984).
pendekatan forgiveness adalah sebuah terapi-meminjam istilah Asep Haerul Gani17-
yang dapat mereduksi dan menegasikan kemarahan, permusuhan dan dendam dalam
setiap jiwa manusia, sehingga menjadi langkah awal menuju perdamaian sejati
(genuine peace).
C. Kerangka Teori
Teori yang peneliti gunakan untuk mengurai makna dan nilai-nilai carok adalah
teori Michael Foucault tentang kekuasaan, wacana, dan pengetahuan yang merupakan
aspek-aspek penting dan tidak terpisahkan satu sama lain. Pembentukan legitimasi
carok sebagai penyelesaian konflik tidak bisa lepas dari diskursus kuasa (power)
dalam interaksi sosial di Madura. Dalam relasi sosial, kuasa merupakan satu model
yang menjadi arus utama dalam menopang pelestarian budaya atau penghancuran
melalui konflik dan kekerasan. Menurut Foucault, kuasa adalah relasi peran produktif
dalam kehidupan sosial budaya dan dikembangkan melalui media pengetahuan,
karena ia selalu menjalin hubungan yang saling berkaitan dalam mengkonstruksi
wacana (discourse).18 Foucault meyakini bahwa kuasa tidak bekerja melalui tindakan
represif, melainkan melalui aturan atau norma. Kuasa tidak bekerja secara negatif dan
represif, tetapi dengan cara positif dan produktif. Foucault memandang bahwa
kekuasaan disalurkan melalui relasi sosial, dengan memproduksi bentuk-bentuk
katagorisasi perilaku.19
Dalam relasi sosial masyarakat Madura, kekuasaan melahirkan praktik
hegemoni yang hadir secara bersamaan atau bergantian. Praktik carok merupakan
institusionalisasi kekerasan dalam masyarakat Madura yang memiliki relasi sangat
kuat dengan faktor-faktor struktur budaya, sosial, sosial, ekonomi, agama, dan
pendidikan. Ketika carok menjadi instrumen untuk meraih status sosial (kuasa) yang
lebih tinggi, maka praktik kekerasan ini secara simultan telah menjadi budaya orang
Madura. Selain mendapatkan justifikasi secara kultural, carok selalu mendapatkan
persetujuan sosial apabila tindakan kekerasan itu bertujuan untuk mempertahankan
harga diri dan kehormatan keluarga.
Dalam memperkuat teori yang telah dipakai, peneliti mengelaborasi teori
Galtung dalam menganalis perilaku carok yang dianggap sebagai bagian dari budaya
kekerasan (cultural violence) dan dilegitimasi oleh kekuasaan dalam relasi sosial.
17
Asep Haerul Gani, Forgiveness Therapy: Maafkanlah, Niscaya Dadamu Lapang,
(Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 11.
18
Michael Foucault, Archeology of knowledge and Discourse of Language (New York:
Pantheon Books, 1972), 123.
19
M. Foulcault, Power/ Knowledge: Selected Interview and Other Writing (New York:
Pantheon, 1980), 27.
Menurut Galtung, konflik (carok) adalah sebuah tindakan untuk memperoleh
penghormatan dan kemuliaan dengan menjadi pemenang dan untuk menunjukkan
keberanian demi memulihkan martabat dan harga diri melalui kekerasan. Kasus carok
bisa diatasi dengan jalan rekonstruksi yang meliputi rehabilitation (rehabilitasi)
dengan pendekatan traumatis sehingga menurunkan efek trauma, rebuilding
(pembangunan kembali) hubungan masyarakat dengan pendekatan membangun
hubungan, restructuration (restrukturisasi) dengan pendekatan restrukturisasi
struktural masyarakat berbasis kedamaian dan reculturation (rekulturisasi) yang
menggunakan pendekatan kultur kedamaian.20
Forgiveness (pemaafan) dipahami sebagai resolusi konflik dalam meredam
carok yang berkembang pesat di Madura. McCullough dkk mengemukakan bahwa
pemaafan dapat dijadikan seperangkat motivasi untuk mengubah seseorang untuk
tidak membalas dendam dan meredakan kebencian terhadap pihak yang menyakiti
serta meningkatkan dorongan untuk membangun rekonsiliasi dengan pihak yang
menyakiti.21 Pemaafan merepresentasikan dua aspek penting. Pertama, dimensi
interpersonal yang mencerminkan seorang korban memaafkan pelaku yang telah
melukainya bukan semata-mata demi kepentingan diri korban melainkan justru demi
menolong pelaku, pelaku tidak terbebani dengan masa lalunya sebagai pelaku
kejahatan (offender). Kedua, dimensi intrapsikis (intrapychic) yang ditandai dengan
korban berhenti merasa marah atau benci terhadap pelaku kejahatan sehingga muncul
sikap pemaafan sebagai respons mental para korban atas luka yang mereka derita
sebagai terapi mental dan sikap belas-kasih.22
D. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang berusaha mendeskripsikan
peristiwa, perilaku orang atau suatu keadaan pada tempat tertentu secara rinci dan
mendalam dalam bentuk narasi. Tipe penelitian ini adalah deskriptif-analitis yang
bertujuan untuk menggambarkan gejala atau kenyataan yang ada tentang suatu
peristiwa yang terjadi.23 Penelitian deskriptif dilakukan untuk mengeksplorasi
20
Johan Galtung, Handbook of Peace and Conflict Studies (New York: Routledge, 2007), 3.
21
McCullough dkk, “Forgiveness, Forbearance and Time: The Temporal Unfolding of
Transgression-Related Interpersonal Motivations”, dalam Journal of Personality and Social
Psychology, Vol. 73 (2), 1997, 321- 336.
22
E. L. Worthington (Ed.), Dimensions of Forgiveness: Psychological Research and
Theological Perspectives (Radnor: Templeton Foundation Press, 1998), 79.
23
Michael Quin Patton, Qualitative Evalutions and Research Methods, (Newbury Park: SAGE
Pub, 1990), hlm. 390.
perilaku sekelompok manusia, suatu objek, suatu hal kondisi, suatu sistem pemikiran
ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.24
Penelitian ini fokus pada satu kasus carok di Desa Bujur Tengah, Kecamatan
Batu Marmar, Kabupaten Pamekasan yang terjadi pada tahun 2006. Dalam tahap
pengumpulan data di lapangan, penelitian ini menggunakan beberapa instrumen
penting. Pertama, teknik observasi sebagai metode untuk mengamati peristiwa carok
yang sudah terjadi, yakni sebagai participant as observer.25 Kedua, teknik interview
dilakukan untuk menggali data dari informan secara lebih mendalam (indept
interview),26 yakni kepada para kiai, blater, dan tokoh masyarakat. Ketiga, metode
triangulasi yang digunakan untuk mengecek kebenaran data, baik sumber maupun
metodenya27 sehingga peneliti dianggap sebagai investigation triangulation.28
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis mendalam (deep analysis)
untuk mengolah data dari hasil observasi dan wawancara. Dalam melakukan analisis
data, peneliti melakukan beberapa tahapan seperti yang diungkapkan Miles dan
Huberman, yaitu reduksi data, memaparkan bahan emperik, menarik kesimpulan atau
memverifikasi. 29
24
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), 23.
25
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), 128.
26
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1994), 144.
27
L. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), 178.
28
Norman K Denzin dan Yvona S. Lincoln (ed.), Handbook of Qualitative Research (London-
New Delhi: SAGE Publications, 1994), 231.
29
M.B. Miles dan A.M. Huberman, Qualitative Data Analysis, (California: SAGE PuB, 1984),
hlm. 134.
Dalam konteks politik lokal di Madura, pemilihan kepala desa selalu
diperebutkan oleh orang-orang yang memiliki pengaruh atau kharisma sebagai
seorang blater. Penguasaan atas politik lokal desa menunjukkan bahwasanya blater
memiliki akar sosial dan jaringan serta pengaruh di kalangan masyarakat. Blater
adalah jagoan desa yang secara sosial-budaya ditakuti oleh seluruh penduduk, karena
keberaniannya menghadapi tiap tantangan (termasuk melakukan carok). Begitu pun
dengan figur Mursyidin dan Baidlowi, yang menjadi aktor terjadinya kasus carok di
Bujur Tengah beberapa tahun yang lalu. Sebagai kepala desa dan mantan kepala desa,
keduanya mewakili dunia keblateran yang menjadi bagian dari identitas orang
Madura.
Banyak kasus menunjukkan bahwa seseorang yang sebelumnya dipandang
bukan sebagai golongan blater, kemudian disebut sebagai blater oleh warga lainnya
karena berani melakukan carok. Jika menang dalam kekerasan carok itu, maka akan
semakin mengukuhkan dirinya sebagai seorang blater. Penyebutan masyarakat atas
sosok blater tidak bisa lepas dari keberanian untuk melakukan carok dalam
menghadapi konflik dan permasalahan di dalam lingkungan masyarakat. Dari sini
carok dijadikan sebagai arena legitimasi untuk mengukuhkan status sosial seseorang
sebagai seorang blater yang memiliki pengaruh kuat dan sosok individu yang angkuh
(angko).30
Sosok blater dalam kehidupan masyarakat Madura sangatlah familiar, karena
banyak dari warga mereka yang abajing (memiliki karakter keblateran). Identitas
keblateran dapat merujuk pada sifat pemberani, angkuh dan memiliki nyali
menempuh jalur kekerasan dalam penyelesaian konflik yang mengatasnamakan harga
diri. Meskipun carok bukanlah satu-satunya mekanisme untuk melegitimasi status
seseorang menjadi blater, namun masih banyak arena sosial yang membentuk dan
memproses seseorang menjadi blater. Misalnya, kedekatan seseorang dengan tradisi
kerapan sapi, sabung ayam, jaringan kriminalitas dan remoh blater. Karakter yang
melekat dalam tradisi keblateran merupakan bagian dari reproduksi kultural yang
mengakar kuat. Seseorang yang sudah memiliki identitas dan status sosial sebagai
seorang blater, maka posisinya selalu disegani dan dihormati secara sosial.
Dalam kontesk carok Bujur Tengah, pembelaan harga diri dari masing-masing
pihak antara H. Mursyidin dan H. Baidlowi dapat dimaknai sebagai pertarungan antar
blater yang memiliki status sosial. Bagi Baidlowi, penguasaan tanah kas desa itu
meski secara hukum merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan atau
melanggar ketentuan, namun secara sosial-budaya merupakan salah satu cara baginya
30
Abdur Rozaki, Menabur Kharisma, Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater Sebagai Rezim
Kembar di Madura, (Yogyakarta: Pustaka Marwah, 2004), 4-10.
untuk mempertegas predikatnya sebagai blater. Dalam pandangan Baidlowi,
penguasaan tanah kas desa atau percaton memiliki nilai ekonomi tinggi sehingga
harus diperjuangkan meskipun harus mengorbarkan nyawa. Ketika berhasil
menguasai tanah kas desa, maka status sosialnya sebagai mantan kepala desa atau
blater akan semakin naik, karena menyangkut masalah gengsi, kehormatan, dan harga
diri yang menjadi harga mati.
Terjadinya kasus carok di Bujur Tengah, berkaitan dengan perebutan tanah
percaton yang ditukar guling oleh H. Baidlowi sebagai mantan kepala desa atau
klebun. Bagi H. Baidlowi, tanah menentukan harga diri dan nilai tanah akan semakin
besar bagi kehidupan orang Madura jika di dalam tanah tersebut dikubur para leluhur
mereka. Dari sini, masalah tanah di Madura merupakan unsur yang menimbulkan
konflik sosial atau carok apabila hak-haknya direbut oleh orang lain. Jika terjadi
carok antar kerabat keluarga dapat dipastikan bahwa penyebab utamanya adalah
pembagian warisan keluarga.31 Sebab-sebab lain yang dapat menggangu harga diri
orang Madura selain masalah kehormatan perempuan, tanah, dan leluhur, juga
berkaitan dengan masalah air, penghinaan terhadap agama dan pelecehan terhadap
anggota keluarga terutama di depan umum.
Sikap arogan H. Baidlowi ini membuat H. Mursyidin tidak menerima begitu
saja tanpa ada upaya perlawanan untuk mengambil kembali tanah yang menjadi kas
desa. Bagi H. Mursyidin, perjuangan untuk mengembalikan tanah kas desa adalah
sebuah keharusan demi menjaga aset penting bagi pembangunan desa. Jika ada
mantan kepala desa yang mengambil tanah kas desa, berarti hal itu bisa dimaknai
sebagai pelecehan terhadap gengsi, kehormatan, dan harga diri terhadap kepala desa
yang masih menjabat. H. Mursyidin pun semakin kecewa dan meradang, karena
upaya hukum yang dilakukan ternyata kandas di tingkat banding Pengadilan Tinggi
Jawa Timur. Kondisi ini membuat H. Mursyidin merasa perlu untuk mempertanyakan
kembali status tanah kepada H. Baidlowi yang dianggap telah melakukan pemalsuan
atau memberikan informasi fiktif kepada masyarakat tentang status tanah yang sudah
disengketan di pengadilan tinggi Jawa Timur.
Bagi Baidlowi, kemenangannya di tingkat banding (dengan vonis bebas)
merupakan prestasi tersendiri yang akan semakin menaikkan pamor dan status
sosialnya sebagai blater. Dalam tradisi blater memenangkan perkara di pengadilan
bukan hanya diartikan sebagai kemenangan terhadap lawan dalam tindakan hukum
itu, tetapi lebih bermakna sebagai “kemenangan” terhadap otoritas yudisial.32 Apalagi
31
Andang Subaharianto dkk, Tantangan Industrialisasi Madura: Membentur kultur Menjujung
Leluhur, (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), 65-66.
32
A. Latief Wiyata, Mencari Madura, (Jakarta: Bidik Publishing, 2013), 176.
dalam upaya banding tersebut disertai dengan cara nabang, yakni suatu upaya
memengaruhi putusan aparat yudisial dengan cara memberi sejumlah uang sesuai
kesepakatan. Dalam kasus sengketa tanah kas desa sangat mungkin terjadi upaya
nabang (meski sulit menemukan bukti-bukti material) sehingga putusan banding
akhirnya membebaskan Baidowi. Putusan bebas ini di satu pihak merupakan
kemenangan bagi Baidlowi, di pihak lain justru kian menyakitkan hati Mursyidin.
Gengsi, kehormatan, dan harga diri sebagai kepala desa telah diinjak-injak. Mudah
dipahami jika carok akhirnya meledak setelah turunnya putusan banding itu. Sebagai
sesama blater, Mursyidin maupun Baidowi memiliki banyak pendukung. Ketika
terjadi carok, para pendukung dengan loyalitas tinggi ikut membela patronnya yang
blater. Maka terjadilah carok massal yang menelan korban jiwa.
38
Wawancara dengan Hamdan, salah seorang keluarga H. Mursyidin pada tanggal 27 Maret
2015.
apalagi keterlibatan para kiai telah memberikan kesadaran kepada masyarakat akan
pentingnya hidup saling memaafkan tanpa harus menyimpan dan melampiaskan
dendam yang terselubung).”39
Berdasarkan teori forgiveness dan perkembangan dalam kasus carok di
Pamekasan Madura, dapat dikatakan sudah mencapai tingkatan total forgiveness,
karena masing-masing pihak sepakat untuk tidak melanjutkan permasalahan tanah
percaton ke pengadilan lagi. Dalam teori psikologi, total forgiveness adalah
mengintegrasikan dimensi interpersonal act dan intrapsychic state yang menyatukan
semua pihak yang berkonflik. Ketulusan menjadi cermin seseorang dalam memberi
dan menerima permintaan maaf atas dasar kemanusiaan dan cinta kasih sebagai
hamba Tuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hannah Arendt bahwa cinta
mempunyai kekuatan untuk memaafkan. Cinta menjembatani antara dua pihak, yaitu
korban dan pelaku untuk bertemu dalam satu peristiwa.40
Munculnya total forgiveness yang terdapat dalam kasus carok ini, memberikan
pesan akan wawasan ideal tentang bagaimana seharusnya hubungan manusia dengan
sesamanya dalam kehidupan masyarakat Madura. Meskipun carok merupakan
tindakan amoral dan melanggar hukum negara, namun potensi untuk terciptanya
forgiveness dan rekonsiliasi sangat mungkin terjadi. Apalagi masyarakat Madura
memiliki wawasan ideal tentang rasa kebersamaan (reng odhi’ gun dunnya reya
engje’ tak enneng kadibi’), rasa saling membutuhkan (apolong moso reng bannya’
dha-padha ambutowagin), sikap saling tolong menolog (se settong ban se laen
koduna se patang tolong), dan saling menerima kekurangan orang lain (kadhang
ba’na narema kabecce’an dari reng laen, kadhang ba’na se aberri kabagusan).41
39
Wawancara dengan Badrus, kepala dusun Dungkedung, desa Bujur Tengah, pada tanggal 7
Maret 2015
40
Hannah Arendt, The Human Condition, (London: The University of Chicago, 1959), hlm.
217.
41
Moh. Fatah Yasin dan Femeir Liadi, Representasi Nilai Budaya Madura dan Dayak dalam
Sastra, (Yogyakarta” IRCiSoD, 2007), hlm. 96.
mengakhiri konflik agar tindakan balas dendam tidak terjadi diantara dua pihak yang
bermusuhan.
Tahapan-tahapan seseorang untuk menjalankan forgiveness, tidak bisa hanya
dilihat dari aspek pemulihan kondisi keamanan melalui keterlibatan tokoh masyarakat
dalam mendinginkan kondisi yang mencekam, melainkan juga harus dicermati dari
sisi pihak keluarga korban atau pelaku dari suatu peristiwa yang membawa api
permusuhan. Tahapan atau proses terciptanya sikap saling menerima untuk
mengakhiri konflik yang disertai dengan adanya forgiveness diantara kedua belah
pihak dilakukan setelah situasi dan kondisi desa Bujur Tengah dianggap aman. Di
bawah ini adalah tahapan atau proses tercapainya kehendak untuk mengakhiri konflik
dan tidak lagi mempermasalahkan tanah percaton yang sempat diperebutkan oleh H.
Mursyidin dan H. Baidhowi.
42
Keterangan Kapolres Pamekasan ini bisa dilihat di berbagai media massa, termasuk koran
lokal di Madura.
Sebagai tokoh masyarakat, Kiai Ali Wafa berjuang untuk memulihkan kondisi
dengan cara merangkul (arangkol) pihak-pihak yang berkonflik agar tidak
menjadikan carok sebagai sebuah tindakan balas dendam. Dengan tekad yang kuat,
Kiai Ali Wafa memberanikan diri untuk merangkul masing-masing dari mereka untuk
berbicara dari hati ke hati demi sebuah pemulihan keamanan dan terciptanya sikap
saling memaafkan satu sama lain)”.43
F. Kesimpulan
Dalam kasus carok, model pemaafan dipilih sebagai resolusi konflik yang
mampu mengendalikan kemarahan dan pembalasan untuk mencapai rekonsiliasi
sejati. Mekanisme pengampunan memiliki kekuatan luar biasa untuk membangun
kembali hubungan atau memulihkan efek trauma dari keluarga korban. Kehadiran
mekanisme pemaafan dalam kasus carok tidak lepas dari peran kiai di beberapa
pesantren untuk menyelesaikan perselisihan antara dua pihak.
Ada beberapa tahapan dan mekanisme yang dilakukan oleh para kiai untuk
mempercepat tercapainya rekonsiliasi. Pertama, pemulihan kondisi keamanan
memberikan tiga perspektif dalam penyelesaian konflik, yaitu peacekeeping dan
peacebuilding. Kedua, merangkul keluarga korban carok agar tidak membalas
dendam. Ketiga, memperkuat silaturrahmi sebagai proses penanggulangan konflik.
Keempat, proses tabayyun bertujuan untuk memperjelas permasalahan kedua pihak
yang bertikai. Kelima, mempercepat dialog pemecahan masalah sebagai aspek
penekanan yang mencerminkan proses dialog. Keenam, menghadirkan perwakilan
keluarga kedua belah pihak di pesantren yang dimaksudkan untuk mempercepat
proses pencapaian resolusi konflik melalui pengampunan dan rekonsiliasi. Ketujuh,
mengadakan pengajian rekonsiliasi bulanan untuk kerukunan masyarakat, yang telah
dibagi oleh carok kolektif yang terjadi pada tahun 2006.
Dalam kasus carok, perlu adanya mekanisme lokal yang dapat mencegah atau
mengurangi terjadinya kekerasan di Madura, misalnya dengan mengadakan adat
perdamaian disertai sikap saling memaafkan. Namun, hingga saat ini belum ada
lembaga sosial yang bertindak sebagai pencegah carok. Kemungkinan tercapainya
tindakan pengampunan dan rekonsiliasi akan lebih efektif jika ada lembaga yang
mengaturnya. Dalam kehidupan masyarakat Madura terdapat unsur-unsur sosial yang
berpengaruh yaitu tokoh-tokoh buppa', babu', guru, rato, perlu diefektifkan untuk
memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang pentingnya ketaatan dalam
menjalankan nasehat atau pesan yang telah diberikan oleh keempat tokoh tersebut.
Dengan demikian, peran keempat tokoh ini perlu dioptimalkan, termasuk institusi
yang diwakili oleh kiai sebagai mediator dalam kehidupan masyarakat Madura. Pada
hakekatnya perlu menjadikan lembaga kiai sebagai figur yang mampu
mempersatukan seluruh umat.
Dalam konteks ini, simbol-simbol lokal menjadi penting sebagai alat pemersatu
yang dapat membangun komunikasi untuk mencapai rekonsiliasi sejati. Untuk
menciptakan rekonsiliasi, diperlukan ekspresi perilaku simbolik baru yang
mencerminkan nilai-nilai kerukunan dalam semangat kekeluargaan. Di sinilah
pentingnya menjalani sejarah bersama tanpa saling menyakiti, serta tanda dan simbol
yang menyatukan. Ungkapan simbolik dapat memberikan pengaruh positif terhadap
terciptanya suatu rekonsiliasi. Dalam kehidupan masyarakat Madura terdapat nilai-
nilai budaya yang berkaitan dengan kehidupan yang harmonis yang tercermin dalam
ungkapan “rampak naong bringen korong”. Hal ini sejalan dengan simbol pemersatu
yang mempengaruhi terciptanya rekonsiliasi di Afrika Selatan, yaitu istilah ubuntu,
seseorang merasa menjadi bagian dari yang lain.
Bibliography
A. Dharmawan, G.G Aji & Mutiah. "Madurese Cultural Communication Approach." Journal
of Physics: Conference Series 953, no. 1 (2018): 2. http://doi :10.1088/1742-
6596/953/1/012195
Abdurrahman. Masalah Carok Di Madura. Buku Madura III. Surabaya: Sinar Terang, 1987.
Arendt, Hannah. The Human Condition. London: The University of Chicago, 1959.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Fahrenholz, Geiko Muller. The Art of Forgiveness: Theological Reflections on Healing and
Reconciliation. Jeneva: WWC Publication, 1997.
Fitriana, M. Abu. The Spirit of Forgiveness: Hidup Indah dengan Memaafkan. Solo: Tinta
Media, 2013.
—. Power or Knowledge: Selected Interview and Other Writing. New York: Pantheon, 1980.
Galtung, Johan. Handbook of Peace and Conflict Studies. New York: Routledge, 2007.
—. Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization. London:
SAGE Publication, 1996.
Jonge, Huub De. "Stereotypes of Madures." In Across Madura Strait: The Dynamic of an
Insular Society, by Huub De Jongen & E. Touwen Bouwsma K. Van Diik, 232.
Leiden: KITLV Press, 1995.
Julijanti, Dinara Maya, Yayan Sakti Suryandaru & Myrtati Dyah Artaria. "Remo Celebration
in Blater Community: Traditional Ritual Communication in Madura." Jurnal Studi
Komunikasi 4, no. 2 (2020): 298. https://doi.org/10.25139/jsk.v4i2.2445
Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1994.
M.B. Miles & A.M. Huberman. Qualitative Data Analysis. California: SAGE Publications,
1984.
Makruf, H., interview by Mohammad Takdir. The Potential of Forgiveness in The Case of
Carok (February 19, 2015).
Norris, David. Forgiving from the Heart. New York: Harper Collins Publisher, 1984.
Patton, Michael Quin. Qualitative Evaluations and Research Methods. Newbury Park: SAGE
Pub, 1990.
Pickering, Peg. How To Manage Conflict: Kiat Menangani Konflik, terj. Masri Maris.
Jakarta: Erlangga, 2001.
R. F Baumeister, J. J Exline & K. L Sommer. "The Victim Role, Grudge Theory, And Two
Dimensions Of Forgiveness." In Dimensions of Forgiveness: Psychological
Research and Theological Speculations, by E.L. Worthington, 78. Philadelphipa: The
Templeton Foundation Press, 1998.
Rahmi, Purwati Ayu, Cahyaningrum Dinis, Putri Kholifatul Wanda, Listiyawaty Yuyun.
"Meaning of Carok For Maduranese (Indonesian Tribe): A Case Study in Sampang."
RJOAS 2, no. 74 (2018): 12-14. DOI https://doi.org/10.18551/rjoas.2018-02.02
Rahmi, Purwati Ayu. "Maduranese Meaning About Carok Case Study in Sampang Regency,
Madura Island." Asean Academic Society International Conference. Thailand:
Indonesian Student Association in Thailand (PERMITHA), 2017. 291-292.
http://aasic.org/proc/aasic/article/view/306.
Rifai, Mien Ahmad. Manusia Madura: Perilaku, Etos Kerja, Penampilan, dan Pandangan
Hidupnya. Yogyakarta: Pilar Media, 2007.
Rochmadi, Nur Wahyu. "Virtues of the Madura Society." Advances in Social Science,
Education, and Humanities Research, 2020: 161-166.
https://doi.org/10.2991/assehr.k.210204.025.
Rohman, Syaiful, Margaretha Hanita & Ahmad Luthfi. "The Influence of Carok Culture on
Reproductive Violence for the Younger." ICSGS. Jakarta: Universitas Indonesia,
2018. 5. https://doi:10.4108/eai.24-10-2018.2289677
Rozaki, Abdur. Menabur Kharisma, Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater Sebagai Rezim
Kembar di Madura. Yogyakarta: Pustaka Marwah, 2004.
Smedes, Lewis B. Forgive and Forget: Healing The Hurts We Don't Deserve. San Fransisco:
Harpersan, 1984.
Wafa, Kiai Ali, interview by Mohammad Takdir. Restoring the Effect of Trauma (March 28,
2015).
Wafa, Kiai Ali, interview by Mohammad Takdir. The Stage of Forgiveness in the Case of
Carok (March 25, 2015).
Wahiduddin, Maulana. The Ideology of Peace. New Delhi: Goodwork Books, 2010.
Wiyata, A. Latief. Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta:
LKiS, 2002.
Yasin, Moh. Fatah & Firmier Liadi. Representasi Nilai Budaya Madura & Dayak dalam
Sastra. Yogyakarta: IRCiSoD, 2007.
Yoachim Agus Tridatno, B. Banawiratma & Wening Udasmoro. "Forgiveness: Its Power and
Complexities." Orientasi Baru: Jurnal Filsafat dan Teologi 20, no. 2 (2011): 23.
https://e-journal.usd.ac.id/index.php/job/article/view/1268.