You are on page 1of 31

PEMAAFAN SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK:

ANALISIS PSIKOLOGIS DALAM KASUS CAROK DI


PAMEKASAN MADURA

Mohammad Takdir
Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep
mohammadtakdir86@gmail.com

Abstract
This research efforts to answer the problem of conflict resolution models were used by
Madurese society in the resolve of carok and why forgiveness can be overcome carok
conflict. This research also to understand how the forgiveness stages between the parties
involved in the case of carok in Madura? This research used a qualitative method to
explore the power of forgiveness in the resolve of carok in Bujur Tengah Village, Batu
Marmar, Pamekasan. In the process of collecting data, the researcher used observation,
interview, documentation, and triangulation techniques, while the analysis techniques
used were data reduction, data presentation, and conclusion drawing. This research
shows that the forgiveness model becomes a conflict resolution capable of controlling
anger and retaliation to achieve true reconciliation. This is because the forgiveness
mechanism has extraordinary power to rebuild the relationship or to restore the effects
of trauma from the victim’s family. The forgiveness mechanism in the case of carok
cannot be separated from the role of kiai to resolve the disputes of land swap overland
(village treasury) between two parties. There are many stages carried out by the kiai to
accelerate the achievement of reconciliation, namely restoring security conditions,
embracing the families of carok victims, strengthening friendship as a process of
preventing counter-conflict, the tabayyun process by presenting conflicting parties,
accelerating dialogue, and holding reconciliation studies.
Key Word: Conflict Resolution, Carok, Forgiveness, Local Wisdom, Religiosity, Madura

Abstrak
Penelitian ini berusaha menjawab persoalan tentang model resolusi konflik yang
digunakan masyarakat Madura dalam mengatasi kasus carok dan mengapa pemafaan
mampu mengatasi konflik carok? Penelitian ini juga dilakukan untuk memahami
bagaimana tahapan-tahapan pemafaan secara total diantara pihak-pihak yang
berkonflik dalam kasus carok di Madura? Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
untuk mengeksplorasi kekuatan pemaafaan dalam kasus carok di desa Bujur Tengah,
Batu Marmar, Pamekasan. Dalam proses pengumpulan, peneliti menggunakan teknik
observasi, wawancara, dokumentasi, dan tringulasi, sementara teknik analisa yang
digunakan adalah dengan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa model pemafan menjadi terapi dalam penyelesaian
konflik dalam mengendalikan kemarahan dan pembalasan untuk mencapai rekonsiliasi
sejati dalam kasus carok. Hal ini dikarenakan, mekanisme pengampunan memiliki
kekuatan luar biasa untuk membangun kembali hubungan atau mengembalikan efek
trauma dari keluarga korban. Model pemaafan dalam kasus carok ini tidak bisa lepas
dari peran figur kiai untuk menyelesaikan sengkata tukar guling tanah percaton (kas
desa). Ada banyak tahapan yang dijalankan para kiai untuk mempercepat tercapainya
rekonsiliasi, yaitu pemulihan kondisi keamanan, merangkul keluarga korban carok,
memperkuat silaturrahmi sebagai proses pencegahan konflik balasan, proses tabayyun
dengan menghadirkan pihak yang berkonflik, mempercepat dialog (musyawarah), dan
mengadakan pengajian rekonsiliasi sebagai langkah antisipatif dan responsif.

Kata Kunci: Carok; Resolusi Konflik; Pemaafan; Rekonsiliasi; Madura

A. Pendahuluan
Salah satu bentuk kekerasan yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat
Madura adalah budaya carok yang menjadi simbol identitas atas pembelaan harga diri
dan kehormatan keluarga. Budaya carok oleh beberapa peneliti dianggap sebagai cara
penyelesaian konflik yang paling efektif untuk mempertahankan harga diri dari
penghinaan dan pelecehan yang membawa nama keluarga. Cara penyelesaian konflik
semacam ini bisa disebut sebagai tindakan pertolongan terhadap diri sendiri (self-
punishment), yang merupakan manifestasi dari sikap kesatria laki-laki Madura.
Perilaku carok yang sering terjadi di Madura, membuat tindakan ini menjadi
budaya yang mendapatkan pengakuan sosial sebagai representasi pembelaan harga
diri. Carok adalah perilaku kekerasan yang berkaitan dengan harta, tahta, dan, wanita.
Ungkapan etnografi yang menyatakan, ango’an pote tolang, etembang pote mata
(lebih baik mati daripada harus menanggung malu), merupakan salah satu cikal bakal
lahirnya carok dan menjadi episentrum konflik yang mengakar kuat dalam kehidupan
masyarakat Madura.1 Fenomena carok di Madura merupakan salah satu diantara yang
paling unik sebagai ekspresi penyelesaian konflik yang melibatkan masing-masing
individu atau kelompok masyarakat. Carok di Madura dianggap unik, karena
merupakan ekspresi kekerasan yang diakui secara sosial-budaya, bahkan memperoleh
justifikasi dari masyarakat.
Carok merupakan perbuatan yang dianggap sebagai sebuah penghukuman yang
secara fungsional merupakan kontrol terhadap perilaku yang dianggap mengganggu
atau mengancam secara individu maupun kelompok. Masyarakat Madura telah
menyepakati carok sebagai suatu norma yang harus dilaksanakan apabila terjadi suatu
gangguan atau pelecehan terhadap harga diri keluarga. Carok memiliki pengertian
sebagai penganiayaan yang mempunyai alasan khusus, di mana dalam kajian
sosiologis dapat diartikan sebagai pola prilaku yang berfungsi sebagai suatu modus.
Carok merupakan suatu perkelahian bersenjata tajam (celurit) antara seseorang
1
Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura: Perilaku, Etos Kerja, Penampilan, dan Pandangan
Hidupnya (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), 143.
dengan orang lain yang dimulai dengan adanya perjanjian mengenai waktu dan
tempat.2 Akan tetapi, makna carok sekarang telah mengalami pergeseran yang cukup
timpang terkait dengan konflik antar individu3 yang berubah menjadi konflik kolektif
(kelompok).
Penelitian ini mengambil satu kasus carok di desa Bujur Tengah, Kecamatan
Batu Marmar, Kabupaten Pamekasan, yang terjadi pada bulan Juli 2006. Kasus carok
ini menyita banyak perhatian masyarakat karena terdapat banyak korban yang harus
kehilangan nyawanya akibat peristiwa itu. Dalam kasus carok Bujur Tengah, tindakan
pembunuhan dilakukan secara spontanitas atau sporadis, tanpa persiapan, dilakukan
secara kolektif, tanpa ritual, dan menimbulkan korban perempuan. Karena semua
pelaku carok adalah laki-laki, maka pembunuhan yang dilakukan terhadap perempuan
tidak disebut carok, tapi sebagai pembunuhan biasa atau mate’e oreng. Carok oleh
orang Madura, dianggap semata-mata sebagai urusan laki-laki, bukan urusan
perempuan. Hal ini sesuai dengan ungkapan yang cukup familiar di kalangan
masyarakat Madura bahwa oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi’ (laki-
laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan).4
Dari kasus carok yang terjadi di Bujur Tengah, peneliti ingin mengubah
paradigma kekerasan ini menjadi sebuah langkah awal untuk membangun harmoni
dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagai prinsip dasar dalam
menyebarkan pentingnya pemaafan bagi setiap orang yang terlibat carok. Apalagi
masyarakat Madura memiliki nilai-nilai harmoni yang mengakar kuat, seperti
ungkapan “rampa’ naong bringen korong” (suasana teduh penuh kedamaian
layaknya ada di bawah pohon beringin yang rindang).5
Kasus carok yang terjadi di Pamekasan, sangat penting untuk dikritisi dalam
rangka mengembalikan makna carok secara benar. Pengertian carok masa lalu tidak
ada istilah dendam kedua atau melibatkan orang lain dalam tindakan carok, karena
setiap perbuatan yang mengganggu harga diri orang lain harus diselesaikan secara
personal (kesatria). Bila mengacu pada makna dan carok masa lalu, maka pendekatan
forgiveness bisa menjadi altenatif dalam setiap penyelesaian konflik carok.
Pendekatan forgiveness merupakan langkah nyata untuk mengubah kemarahan
menjadi kesabaran, merasakan indahnya harmoni cinta dan tiadanya permusuhan
2
Abdurrahman, Masalah Carok Di Madura. Buku Madura III (Surabaya: Sinar Terang, 1987),
48.
3
Peg Pickering, How To Manage Conflict: Kiat Menangani Konflik, terj. Masri Maris (Jakarta:
Erlangga, 2001), 12.
4
A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta:
LKiS, 2002), 185.
5
Moh. Fatah Yasin dan Fimeir Liadi, Representasi Nilai Budaya Madura & Dayak dalam
Sastra (Yogyakarta: IRCiSoD, 2007), 93.
antar sesama dengan tetap menjungjung tinggi sikap saling menghormati dan
menghargai satu sama lain. Dalam mereduksi konflik, masyarakat Madura harus
mampu menegasikan kecurigaan dan prasangka-prasangka yang membawa
permusuhan antar sesama, karena sesungguhnya manusia semua adalah mahluk
bersaudara yang diciptakan Tuhan untuk saling menebarkan cinta, kasih sayang, dan
perdamaian.6
Dalam konteks keberagamaan masyarakat Madura, perilaku carok memang
merupakan perilaku amoral yang merugikan banyak pihak, termasuk peningkatan
stigma negatif terhadap Madura. Meski orang luar Madura sudah menganggap carok
sebagai tradisi negatif dan perbuatan melawan hukum negara, namun setidaknya
perubahan paradigma terhadap carok bisa dialihkan untuk mencari penyelesaian
terbaik atas setiap konflik yang terjadi. Perubahan paradigma akan budaya carok ini
dimaksudkan untuk mereduksi anggapan masyarakat bahwa carok bukan semata
tindakan pembunuhan biasa, melainkan sebagai mekanisme yang syarat makna. Di
situlah perlu adanya paradigma baru yang bisa memperkuat ikatan persaudaraan dan
kekeluargaan dengan melibatkan semua elemen masyarakat Madura, khususnya figur
kiai atau ulama yang menjadi teladan utama.7
Pendekatan baru dalam mereduksi konflik carok dan membangun budaya damai
antar sesama merupakan wahana strategis untuk menciptakan kehidupan tanpa
kekerasan, kasih sayang, toleransi, harmoni cinta, dan rukun. Model resolusi konflik
yang dijalankan dalam kasus carok di Pamekasan Madura adalah dengan pendekatan
forgiveness yang mencerminkan kerendahan hati dalam beragama dan ketulusan jiwa
untuk saling memaafkan yang dipenuhi dengan nilai-nilai harmoni serta cinta kasih
yang termanifestasi dalam ungkapan “rampa’ naong bringen korong”. Dalam setiap
ajaran agama, telah diajarkan bahwa konflik bisa dikendalikan dengan adanya
kesediaan setiap orang untuk mengambil jalan atau mekanisme forgiveness.
Pendekatan forgiveness dapat menjadi inspirasi setiap orang untuk hidup tenang tanpa
kebencian dan permusuhan.8
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi pendekatan forgiveness menjadi
pilihan dalam mereduksi carok di desa Bujur Tengah Kecamatan Batu Marmar
Pamekasan Madura. Pertama, kecenderungan semakin meningkatnya budaya
kekerasan (carok) yang dapat mengancam terputusnya ikatan persahabatan dan
kekeluargaan serta menghancurkan tatanan dalam kehidupan masyarakat Madura.
Kedua, budaya carok dan bentuk kekerasan lainnya sangat bertolak belakang dengan
6
Maulana Wahiduddin Khan, The Ideology of Peace (New Delhi: Goodword Books, 2010), 12.
7
Fatah Yasin dan Fimier Liadi, Representasi Nilai Budaya Madura, 99.
8
M. Abu Fitriana, The Spirit of Forgiveness: Hidup Indah dengan Memaafkan, (Solo: Tinta
Medina, 2013), 96.
ajaran dan misi setiap ajaran agama yang menentang tindakan kekerasan atas nama
dan motif apa pun, termasuk motif kehormatan dan harga diri. Ketiga, semakin
menguatnya kecenderungan carok yang dilakukan secara turun temurun karena
menyimpan aksi balas dendam yang tidak bisa dipendam. Permusuhan antar generasi
ini bisa saja menimbulkan tindakan kekerasan yang lebih besar sehingga perlu adanya
kerendahan hati untuk mengakhiri konflik dengan cara pemaafan sebagai terapi
psikologis yang sangat menjanjikan.
Mekanisme forgiveness bisa hadir dalam konflik carok melalui peran sentral
kiai yang menjadi ikon sosial-keagamaan di kalangan masyarakat Madura. 9 Ketika
menjembatani proses forgiveness dalam kasus carok di Pamekasan, kiai
menggunakan pendekatan religius-kultural untuk memberikan pemahaman tentang
pentingnya menjaga semangat persaudaraan dan kekeluargaan melalui siraman rohani
yang dapat menyentuh hati nurani dan jiwa mereka. Dengan peran sentral kiai dan
kerendahan hati maupun kebesaran jiwa dari setiap keluarga atau korban carok, maka
forgiveness dapat diterima sebagai pendekatan dan media dalam memulihkan
hubungan yang sempat terputus menjadi satu langkah awal menuju rekonsiliasi sejati
(genuine reconciliation).

B. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang kasus carok yang terjadi di Madura, sesungguhnya telah
banyak dilakukan oleh para sarjana yang tertarik dengan keunikan carok sebagai
simbol identitas orang Madura. Penelitian A. Latief Wiyata (2002) merupakan
penelitian antropologis yang bertujuan untuk memahami carok sebagai kekerasan
berbasis budaya.10 Beberapa peneliti dari luar, seperti Huub De Jonge (1993), G.
Smith (1997), dan Touwen-Bouwsma (1985) merupakan sarjana Barat yang cukup
familiar di kalangan masyarakat Madura, karena berbagai penelitian telah dilakukan
untuk mengeksplorasi keunikan dan kekhasan Madura sebagai etnis terbesar ketiga di
bumi Nusantara ini. Ketiga peneliti tersebut berupaya untuk mengungkapkan tradisi
carok yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat Madura.
Dalam kasus carok, dinamika kultur kekerasan dan religiusitas di dalam
masyarakat Madura sama-sama memiliki aktor utama, yakni blater dan kiai. Blater
memiliki kekuatan sebagai pengendali kekerasan yang seringkali menghegemoni
masyarakat Madura. Begitu pula dengan kiai, dengan kapasitas dan kemampuannya
dalam menafsirkan wacana agama mampu menghegemoni struktur terdalam di ruang
9
Abdur Rozaki, Menabur Kharisma, Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater Sebagai Rezim
Kembar di Madura, (Yogyakarta: Pustaka Marwah, 2004), hlm. 3.
10
A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, (Yogyakarta:
LKIS, 2002).
batin, pikiran dan perilaku masyarakat.11 Perilaku carok ini tentu saja membutuhkan
resolusi konflik yang tepat dalam rangka mereduksi semakin meluasnya eskalase
kekerasan di kalangan masyarakat Madura. Penelitian tentang forgiveness therapy
untuk resolusi konflik dan perdamaian dilakukan oleh Yoachim Agus Tridatno, J,B.
Banawiratma, dan Wening Udasmoro.12 Penelitian ini menekankan pentingnya
pemaafan (forgiveness) sebagai partikel pembentuk perdamaian dan keadilan di
tengah krisis yang menimpa dunia saat ini, termasuk Indonesia. Dalam relasi
interpersonal, tindakan memaafkan merupakan salah satu terapi untuk memulihkan
kondisi traumatik yang diakibatkan oleh kekerasan.
Penelitian tentang pemaafan dan rekonsiliasi sebagai resolusi konflik dalam
kehidupan masyarakat, termanifestasi dalam karya Geiko Muller-Fahrenhol yang
berjudul“The Art of Forgiveness. Menurut Muller, forgiveness bukanlah dipahami
sebagai usaha untuk “melupakan”, tapi ia merupakan sebuah proses perjumpaan,
penyembuhan, penyingkapan pilihan-pilihan baru yang sejati, dan perbaikan diri
untuk masa depan.13 Selain itu, Desmond Tutu mengatakan bahwa pengampunan
dalam kasus kekerasan menjadi penting, karena “tidak ada masa depan tanpa
pengampunan atau pemaafan.”14 Pendekatan forgiveness sebagai model resolusi
konflik, dilakukan Marc Gopin15 tentang pentingnya pemaafan sejati (genuine
forgiveness). Karena itulah, Lewis Smedes mengungkapkan cara lain untuk
menghindari rasa sakit hati, selain memaafkan adalah melupakan.16
Berdasarkan pada beberapa kajian di atas, tidak ada satu penelitian yang
berkaitan dengan hubungan pemaafaan dengan kasus carok di Madura. Penelitian ini
fokus pada tahapan-tahapan forgiveness sebagai model resolusi konflik dalam kasus
carok di kalangan masyarakat Madura. Pendekatan forgiveness ini telah menjadi
bagian dari resolusi konflik carok yang terjadi di desa Bujur Tengah. Ini karena,

11
Abdur Rozaki, Menabur Kharisma, Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim
Kembar di Madura, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004).
12
Yoachim Agus Tridatno, B. Banawiratma, dan Wening Udasmoro, “Forgiveness: Its Power
and Complexities”, dalam Orientasi Baru (Jurnal Filsafat dan Teologi Fakultas Teologi Universitas
Sanata Dharma, Vol. 20, No. 2, Oktober 2011.
13
Geiko Muller Fahrenholz, The Art of Forgiveness: Theological Reflections on Healing and
Reconciliation, (Jeneva: WCC Publication, 1997).
14
Desmond Tutu, No Future Without Forgiveness, (London: Rider, 1999).
15
Marc Gopin,“Forgiveness as an Element of Conflict Resolution in Religious Cultures:
Walking the Tightrope of Reconciliation and Justice”, In Mohammed Abu-Nimer (ed.),
Reconciliation, Justice and Co-existence: Theory and Practice, (Lanham, MD: Lexington Books,
2001).
16
Lewis B. Smedes, Forgive and Forget: Healing The Hurts We Don't Deserve, (San
Francisco: Harpersan, 1984).
pendekatan forgiveness adalah sebuah terapi-meminjam istilah Asep Haerul Gani17-
yang dapat mereduksi dan menegasikan kemarahan, permusuhan dan dendam dalam
setiap jiwa manusia, sehingga menjadi langkah awal menuju perdamaian sejati
(genuine peace).

C. Kerangka Teori
Teori yang peneliti gunakan untuk mengurai makna dan nilai-nilai carok adalah
teori Michael Foucault tentang kekuasaan, wacana, dan pengetahuan yang merupakan
aspek-aspek penting dan tidak terpisahkan satu sama lain. Pembentukan legitimasi
carok sebagai penyelesaian konflik tidak bisa lepas dari diskursus kuasa (power)
dalam interaksi sosial di Madura. Dalam relasi sosial, kuasa merupakan satu model
yang menjadi arus utama dalam menopang pelestarian budaya atau penghancuran
melalui konflik dan kekerasan. Menurut Foucault, kuasa adalah relasi peran produktif
dalam kehidupan sosial budaya dan dikembangkan melalui media pengetahuan,
karena ia selalu menjalin hubungan yang saling berkaitan dalam mengkonstruksi
wacana (discourse).18 Foucault meyakini bahwa kuasa tidak bekerja melalui tindakan
represif, melainkan melalui aturan atau norma. Kuasa tidak bekerja secara negatif dan
represif, tetapi dengan cara positif dan produktif. Foucault memandang bahwa
kekuasaan disalurkan melalui relasi sosial, dengan memproduksi bentuk-bentuk
katagorisasi perilaku.19
Dalam relasi sosial masyarakat Madura, kekuasaan melahirkan praktik
hegemoni yang hadir secara bersamaan atau bergantian. Praktik carok merupakan
institusionalisasi kekerasan dalam masyarakat Madura yang memiliki relasi sangat
kuat dengan faktor-faktor struktur budaya, sosial, sosial, ekonomi, agama, dan
pendidikan. Ketika carok menjadi instrumen untuk meraih status sosial (kuasa) yang
lebih tinggi, maka praktik kekerasan ini secara simultan telah menjadi budaya orang
Madura. Selain mendapatkan justifikasi secara kultural, carok selalu mendapatkan
persetujuan sosial apabila tindakan kekerasan itu bertujuan untuk mempertahankan
harga diri dan kehormatan keluarga.
Dalam memperkuat teori yang telah dipakai, peneliti mengelaborasi teori
Galtung dalam menganalis perilaku carok yang dianggap sebagai bagian dari budaya
kekerasan (cultural violence) dan dilegitimasi oleh kekuasaan dalam relasi sosial.

17
Asep Haerul Gani, Forgiveness Therapy: Maafkanlah, Niscaya Dadamu Lapang,
(Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 11.
18
Michael Foucault, Archeology of knowledge and Discourse of Language (New York:
Pantheon Books, 1972), 123.
19
M. Foulcault, Power/ Knowledge: Selected Interview and Other Writing (New York:
Pantheon, 1980), 27.
Menurut Galtung, konflik (carok) adalah sebuah tindakan untuk memperoleh
penghormatan dan kemuliaan dengan menjadi pemenang dan untuk menunjukkan
keberanian demi memulihkan martabat dan harga diri melalui kekerasan. Kasus carok
bisa diatasi dengan jalan rekonstruksi yang meliputi rehabilitation (rehabilitasi)
dengan pendekatan traumatis sehingga menurunkan efek trauma, rebuilding
(pembangunan kembali) hubungan masyarakat dengan pendekatan membangun
hubungan, restructuration (restrukturisasi) dengan pendekatan restrukturisasi
struktural masyarakat berbasis kedamaian dan reculturation (rekulturisasi) yang
menggunakan pendekatan kultur kedamaian.20
Forgiveness (pemaafan) dipahami sebagai resolusi konflik dalam meredam
carok yang berkembang pesat di Madura. McCullough dkk mengemukakan bahwa
pemaafan dapat dijadikan seperangkat motivasi untuk mengubah seseorang untuk
tidak membalas dendam dan meredakan kebencian terhadap pihak yang menyakiti
serta meningkatkan dorongan untuk membangun rekonsiliasi dengan pihak yang
menyakiti.21 Pemaafan merepresentasikan dua aspek penting. Pertama, dimensi
interpersonal yang mencerminkan seorang korban memaafkan pelaku yang telah
melukainya bukan semata-mata demi kepentingan diri korban melainkan justru demi
menolong pelaku, pelaku tidak terbebani dengan masa lalunya sebagai pelaku
kejahatan (offender). Kedua, dimensi intrapsikis (intrapychic) yang ditandai dengan
korban berhenti merasa marah atau benci terhadap pelaku kejahatan sehingga muncul
sikap pemaafan sebagai respons mental para korban atas luka yang mereka derita
sebagai terapi mental dan sikap belas-kasih.22

D. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang berusaha mendeskripsikan
peristiwa, perilaku orang atau suatu keadaan pada tempat tertentu secara rinci dan
mendalam dalam bentuk narasi. Tipe penelitian ini adalah deskriptif-analitis yang
bertujuan untuk menggambarkan gejala atau kenyataan yang ada tentang suatu
peristiwa yang terjadi.23 Penelitian deskriptif dilakukan untuk mengeksplorasi

20
Johan Galtung, Handbook of Peace and Conflict Studies (New York: Routledge, 2007), 3.
21
McCullough dkk, “Forgiveness, Forbearance and Time: The Temporal Unfolding of
Transgression-Related Interpersonal Motivations”, dalam Journal of Personality and Social
Psychology, Vol. 73 (2), 1997, 321- 336.
22
E. L. Worthington (Ed.), Dimensions of Forgiveness: Psychological Research and
Theological Perspectives (Radnor: Templeton Foundation Press, 1998), 79.
23
Michael Quin Patton, Qualitative Evalutions and Research Methods, (Newbury Park: SAGE
Pub, 1990), hlm. 390.
perilaku sekelompok manusia, suatu objek, suatu hal kondisi, suatu sistem pemikiran
ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.24
Penelitian ini fokus pada satu kasus carok di Desa Bujur Tengah, Kecamatan
Batu Marmar, Kabupaten Pamekasan yang terjadi pada tahun 2006. Dalam tahap
pengumpulan data di lapangan, penelitian ini menggunakan beberapa instrumen
penting. Pertama, teknik observasi sebagai metode untuk mengamati peristiwa carok
yang sudah terjadi, yakni sebagai participant as observer.25 Kedua, teknik interview
dilakukan untuk menggali data dari informan secara lebih mendalam (indept
interview),26 yakni kepada para kiai, blater, dan tokoh masyarakat. Ketiga, metode
triangulasi yang digunakan untuk mengecek kebenaran data, baik sumber maupun
metodenya27 sehingga peneliti dianggap sebagai investigation triangulation.28
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis mendalam (deep analysis)
untuk mengolah data dari hasil observasi dan wawancara. Dalam melakukan analisis
data, peneliti melakukan beberapa tahapan seperti yang diungkapkan Miles dan
Huberman, yaitu reduksi data, memaparkan bahan emperik, menarik kesimpulan atau
memverifikasi. 29

E. Hasil dan Pembahasan


1. Carok, Blater, Pembelaan Harga Diri
Kasus carok yang terjadi di desa Bujur Tengah Pamekasan Madura pada 12 Juli
2006, menyita banyak perhatian masyarakat dari berbagai daerah. Daerah ini terjadi
carok secara kolektif antara dua pihak keluarga yang saling menumpahkan segala
kemarahan dan kebencian demi harga diri. Pada perkembangannya, carok ini menjadi
isu nasional yang masih melekat dalam ingatan orang Madura, karena menimbulkan
korban yang begitu banyak dari dua keluarga. Dalam kasus carok di Pamekasan,
perebutan tanah percaton atau kas desa menjadi pemicu terjadinya carok yang
melibatkan kepada desa dan mantan kepala desa, yang dianggap sebagai representasi
orang kuat atau blater.

24
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), 23.
25
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), 128.
26
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1994), 144.
27
L. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), 178.
28
Norman K Denzin dan Yvona S. Lincoln (ed.), Handbook of Qualitative Research (London-
New Delhi: SAGE Publications, 1994), 231.
29
M.B. Miles dan A.M. Huberman, Qualitative Data Analysis, (California: SAGE PuB, 1984),
hlm. 134.
Dalam konteks politik lokal di Madura, pemilihan kepala desa selalu
diperebutkan oleh orang-orang yang memiliki pengaruh atau kharisma sebagai
seorang blater. Penguasaan atas politik lokal desa menunjukkan bahwasanya blater
memiliki akar sosial dan jaringan serta pengaruh di kalangan masyarakat. Blater
adalah jagoan desa yang secara sosial-budaya ditakuti oleh seluruh penduduk, karena
keberaniannya menghadapi tiap tantangan (termasuk melakukan carok). Begitu pun
dengan figur Mursyidin dan Baidlowi, yang menjadi aktor terjadinya kasus carok di
Bujur Tengah beberapa tahun yang lalu. Sebagai kepala desa dan mantan kepala desa,
keduanya mewakili dunia keblateran yang menjadi bagian dari identitas orang
Madura.
Banyak kasus menunjukkan bahwa seseorang yang sebelumnya dipandang
bukan sebagai golongan blater, kemudian disebut sebagai blater oleh warga lainnya
karena berani melakukan carok. Jika menang dalam kekerasan carok itu, maka akan
semakin mengukuhkan dirinya sebagai seorang blater. Penyebutan masyarakat atas
sosok blater tidak bisa lepas dari keberanian untuk melakukan carok dalam
menghadapi konflik dan permasalahan di dalam lingkungan masyarakat. Dari sini
carok dijadikan sebagai arena legitimasi untuk mengukuhkan status sosial seseorang
sebagai seorang blater yang memiliki pengaruh kuat dan sosok individu yang angkuh
(angko).30
Sosok blater dalam kehidupan masyarakat Madura sangatlah familiar, karena
banyak dari warga mereka yang abajing (memiliki karakter keblateran). Identitas
keblateran dapat merujuk pada sifat pemberani, angkuh dan memiliki nyali
menempuh jalur kekerasan dalam penyelesaian konflik yang mengatasnamakan harga
diri. Meskipun carok bukanlah satu-satunya mekanisme untuk melegitimasi status
seseorang menjadi blater, namun masih banyak arena sosial yang membentuk dan
memproses seseorang menjadi blater. Misalnya, kedekatan seseorang dengan tradisi
kerapan sapi, sabung ayam, jaringan kriminalitas dan remoh blater. Karakter yang
melekat dalam tradisi keblateran merupakan bagian dari reproduksi kultural yang
mengakar kuat. Seseorang yang sudah memiliki identitas dan status sosial sebagai
seorang blater, maka posisinya selalu disegani dan dihormati secara sosial.
Dalam kontesk carok Bujur Tengah, pembelaan harga diri dari masing-masing
pihak antara H. Mursyidin dan H. Baidlowi dapat dimaknai sebagai pertarungan antar
blater yang memiliki status sosial. Bagi Baidlowi, penguasaan tanah kas desa itu
meski secara hukum merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan atau
melanggar ketentuan, namun secara sosial-budaya merupakan salah satu cara baginya

30
Abdur Rozaki, Menabur Kharisma, Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater Sebagai Rezim
Kembar di Madura, (Yogyakarta: Pustaka Marwah, 2004), 4-10.
untuk mempertegas predikatnya sebagai blater. Dalam pandangan Baidlowi,
penguasaan tanah kas desa atau percaton memiliki nilai ekonomi tinggi sehingga
harus diperjuangkan meskipun harus mengorbarkan nyawa. Ketika berhasil
menguasai tanah kas desa, maka status sosialnya sebagai mantan kepala desa atau
blater akan semakin naik, karena menyangkut masalah gengsi, kehormatan, dan harga
diri yang menjadi harga mati.
Terjadinya kasus carok di Bujur Tengah, berkaitan dengan perebutan tanah
percaton yang ditukar guling oleh H. Baidlowi sebagai mantan kepala desa atau
klebun. Bagi H. Baidlowi, tanah menentukan harga diri dan nilai tanah akan semakin
besar bagi kehidupan orang Madura jika di dalam tanah tersebut dikubur para leluhur
mereka. Dari sini, masalah tanah di Madura merupakan unsur yang menimbulkan
konflik sosial atau carok apabila hak-haknya direbut oleh orang lain. Jika terjadi
carok antar kerabat keluarga dapat dipastikan bahwa penyebab utamanya adalah
pembagian warisan keluarga.31 Sebab-sebab lain yang dapat menggangu harga diri
orang Madura selain masalah kehormatan perempuan, tanah, dan leluhur, juga
berkaitan dengan masalah air, penghinaan terhadap agama dan pelecehan terhadap
anggota keluarga terutama di depan umum.
Sikap arogan H. Baidlowi ini membuat H. Mursyidin tidak menerima begitu
saja tanpa ada upaya perlawanan untuk mengambil kembali tanah yang menjadi kas
desa. Bagi H. Mursyidin, perjuangan untuk mengembalikan tanah kas desa adalah
sebuah keharusan demi menjaga aset penting bagi pembangunan desa. Jika ada
mantan kepala desa yang mengambil tanah kas desa, berarti hal itu bisa dimaknai
sebagai pelecehan terhadap gengsi, kehormatan, dan harga diri terhadap kepala desa
yang masih menjabat. H. Mursyidin pun semakin kecewa dan meradang, karena
upaya hukum yang dilakukan ternyata kandas di tingkat banding Pengadilan Tinggi
Jawa Timur. Kondisi ini membuat H. Mursyidin merasa perlu untuk mempertanyakan
kembali status tanah kepada H. Baidlowi yang dianggap telah melakukan pemalsuan
atau memberikan informasi fiktif kepada masyarakat tentang status tanah yang sudah
disengketan di pengadilan tinggi Jawa Timur.
Bagi Baidlowi, kemenangannya di tingkat banding (dengan vonis bebas)
merupakan prestasi tersendiri yang akan semakin menaikkan pamor dan status
sosialnya sebagai blater. Dalam tradisi blater memenangkan perkara di pengadilan
bukan hanya diartikan sebagai kemenangan terhadap lawan dalam tindakan hukum
itu, tetapi lebih bermakna sebagai “kemenangan” terhadap otoritas yudisial.32 Apalagi

31
Andang Subaharianto dkk, Tantangan Industrialisasi Madura: Membentur kultur Menjujung
Leluhur, (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), 65-66.
32
A. Latief Wiyata, Mencari Madura, (Jakarta: Bidik Publishing, 2013), 176.
dalam upaya banding tersebut disertai dengan cara nabang, yakni suatu upaya
memengaruhi putusan aparat yudisial dengan cara memberi sejumlah uang sesuai
kesepakatan. Dalam kasus sengketa tanah kas desa sangat mungkin terjadi upaya
nabang (meski sulit menemukan bukti-bukti material) sehingga putusan banding
akhirnya membebaskan Baidowi. Putusan bebas ini di satu pihak merupakan
kemenangan bagi Baidlowi, di pihak lain justru kian menyakitkan hati Mursyidin.
Gengsi, kehormatan, dan harga diri sebagai kepala desa telah diinjak-injak. Mudah
dipahami jika carok akhirnya meledak setelah turunnya putusan banding itu. Sebagai
sesama blater, Mursyidin maupun Baidowi memiliki banyak pendukung. Ketika
terjadi carok, para pendukung dengan loyalitas tinggi ikut membela patronnya yang
blater. Maka terjadilah carok massal yang menelan korban jiwa.

2. Pemaafan sebagai Resolusi Konflik dalam Kasus Carok


Kehadiran pendekatan forgiveness sebagai resolusi konflik dalam kasus carok
di Madura berasal dari inisiatif para kiai di beberapa pesantren untuk menyelesaikan
perselisihan antara dua pihak yang berseteru antara H. Mursyidin (klebun anyar) dan
H. Baidhowi (klebun laju). Inisiatif yang datang dari para kiai Pamekasan ini
disambut baik oleh seluruh masyarakat yang sangat menghendaki pemulihan kondisi
keamanan desa. Sambutan positif dari masyarakat ini, membuat para kiai di
Pamekasan berkumpul untuk membicarakan tentang kemungkinan-kemungkinan
dipertemukannya pihak-pihak yang berkonflik.
Ada beberapa pesantren di Pamekasan, yang terlibat langsung dalam
penanganan carok, yaitu pesantren Banyuanyar, pesantren Bata-Bata, pesantren
Pakes, pesantren Beringin, dan pesantren Penyeppen. Sejumlah kiai atau ulama
kharismatik turun tangan dalam menangani penyelesaian konflik yang melibatkan dua
kelompok antara H. Mursyidin dan H. Baidhowi. Figur kiai atau ulama dalam
penyelesaian kasus carok menjadi aktor utama yang bisa meredam tindakan balas
dendam dari kedua belah pihak yang menyimpan kemarahan. Meskipun kasus carok
di Pamekasan merupakan bagian dari carok massal, namun para kiai memiliki
keberanian untuk merangkul pihak-pihak yang terlibat konflik guna melakukan dialog
dan musyawarah secara intens demi tercapainya rekonsiliasi sejati yang
dimanifestasikan dengan semangat persaudaraan dan kekeluargaan.
Figur kiai dalam realitas sosial budaya Madura menjadi center of solidarity dan
sumber panutan dalam segala aspek kehidupan. Figur kiai dalam menyelesaikan
konflik carok begitu sangat penting di Pamekasan, terutama sebagai pengayom umat
untuk menahan tindakan kekerasan secara berkelanjutan. Eksistensi kiai dalam
penyelesaian konflik menempati posisi strategis, karena konstruksi sosial yang
terbentuk dalam kehidupan masyarakat Madura. Penggunaan media penyadaran lewat
institusi yang direpresentasikan oleh figur kiai, lebih efektif dibandingkan dengan
institusi pendidikan formal. Masyarakat secara langsung mengikuti apa yang
dinasehatkan oleh kiai, sehingga muncul wawasan ideal yang terkonsepsikan dalam
ungkapan “ulama’ pada jarna’ narrangngagi, utama monggu oreng se ngeding-
ngagi atau dhadhuna pra sepp sebabab reya bi’ onggu estoagi, dhdhabun se karep-
pagi lampaagi gun onggu”.33
Kontribusi kiai dalam resolusi konflik berperan bukan sekadar sebagai hakam,
tetapi sebagai mediator untuk melakukan dialog bersama dengan pihak-pihak yang
terlibat konflik carok, terutama kepada keluarga korban carok. Pertama, berfungsi
sebagai fasilitator yang mempertemukan dua pihak yang berkonflik. Pada model ini,
beberapa orang kiai melakukan pertemuan untuk membahas konflik yang akan
dimediasikan. Selanjutnya, mereka mengundang pihak yang berkonflik dalam waktu
yang berbeda untuk mendengarkan permasalahan diantara kedua belah pihak. Kedua,
sebagai mediator untuk memutuskan penyelesaikan konflik dengan pertimbangan-
pertimbangan yang matang. Melalui peran dan kontribusi kiai dalam penyelesaian
konflik carok di Pamekasan, kedua belah pihak menerima nasehat dan keputusan
tanpa adanya penolakan atau perasaan tidak menerima satu sama lain. Setelah
terjadinya kasus carok, masyarakat Bujur Tengah Pamekasan secara perlahan mulai
sadar akan pentingnya pengekspresian hasrat lewat budi bahasa (tatakrama ben
andhep asor) ketika sedang menghadapi setiap konflik.

3. Dinamika dan Potensi Pemaafan dalam Kasus Carok


Pada bagian ini, peneliti menghadirkan dinamika dan potensi pemafaan sebagai
sikap kerendahan hati untuk menghilangkan kebencian dan kemarahan akibat
peristiwa carok yang menimbulkan trauma. Potensi forgiveness berarti munculnya
kemungkinan-kemungkinan tercapainya kesepakatan untuk tidak melakukan balas
dendam sesuai dengan makna dan sejarah carok yang sarat dengan nilai-nilai budaya.
Jika potensi forgiveness mewarnai dalam dinamika carok pada saat sekarang, maka
tidak seharusnya ada dendam kedua setelah tercapainya pemulihan harga diri.
Potensi forgiveness dan rekonsiliasi dalam kasus carok di Madura, sudah
muncul ketika adu kejantanan (duel lawan satu atau ngonggai) dalam membela harga
diri masih dalam proses persiapan menuju arena pertarungan. Sebelum melakukan
tindakan carok, biasanya dipersiapkan dalam sidang keluarga agar rencana itu tidak
diketahui oleh pihak musuh (moso). Adanya sidang keluarga sebelum carok
dilakukan semakin menegaskan bahwa carok dilegitimasi oleh institusi sosio-kultural
33
Moh. Fatah Yasin dan Femeir Liadi, Representasi Nilai Budaya Madura, hlm. 99.
sehingga konflik yang terjadi pada awalnya merupakan konflik individual
berkembang atau berubah menjadi konflik kolektif (keluarga). Hal inilah yang
peneliti maksud dengan pergeseran paradigma (shifting paradigm) dalam kasus carok
di Pamekasan.34
Tindakan carok adalah sebuah resiko yang harus dihadapi oleh seseorang
ketika harga diri dan kehormatannya dilecehkan. Sementara seseorang yang
menghina harga diri berarti ia seolah ingin menjemput nyawa (ter ater nyabe) sendiri
ketika berhadapan dengan orang yang disakiti hatinya. Biasanya orang yang selalu
mendapatkan hinaan atau sindiran, pada akhirnya akan terdorong untuk melakukan
carok. Hal ini juga bertujuan untuk mengembalikan harga diri mereka yang sudah
tercemar akibat sebuah penghinaan yang datang dari pihak musuh. Jika tindakan
carok tidak segera dilakukan, maka oleh sebagian masyarakat Madura dianggap
sebagai pengecut (ta’ lake’).35
Potensi forgiveness dan rekonsiliasi dalam kasus carok sudah muncul sebelum
tindakan itu dilakukan, yakni ketika seseorang mendapatkan hinaan dari orang lain
dan berusaha memulihkan harga dirinya yang terinjak-injak dengan melakukan carok.
Carok sebagai bagian budaya yang ada di Madura, bukan berlangsung spontan atau
seketika tanpa ada latar belakang atau motif yang mendorongnya. Dalam kasus carok
di Pamekasan, tindakan carok dilakukan tidak secara secara individu, tanpa persiapan
dan ritual yang matang, melainkan dilakukan secara spontan dan tiba-tiba. Salah satu
pihak, yakni H. Mursyidin tidak dalam kondisi siap karena tidak membawa senjata
celurit sebagai sekep atau senjata yang dipakai untuk melakukan carok. Terjadinya
carok massal di Bujur Tengah berarti menandakan adanya pergeseran carok yang
memiliki makna sosial budaya dalam kehidupan masyarakat Madura.
Hal inilah yang membedakan kasus carok Bujur Tengah pada tahun 2006 silam
dengan kasus-kasus carok lain di Pamekasan. Meskipun carok Bujur Tengah
merupakan carok massal dan tidak bisa dikatagorikan sebagai tindakan carok, namun
justru potensi forgiveness dan rekonsiliasi muncul di tengah-tengah situasi konflik
yang sangat mencekam waktu itu. Kasus carok di Bujur Tengah memang menjadi
pengecualian diantara beberapa peristiwa carok yang pernah terjadi di Pamekasan.
Carok kolektif seperti ini hampir bisa dipastikan akan menyimpan api permusuhan,
namun ternyata hal itu tidak terjadi pasca-carok. Bahkan, semua pihak yang menjadi
pelaku carok beserta keluarga pelaku sepakat untuk tidak melanjutkan peristiwa ini
dengan aksi balas dendam. Bagi warga Bujur Tengah, peristiwa carok massal yang
34
Latief Wiyata, 193.
35
D. Zawawi Imron, “Menggusur Carok”, Makalah dipresentasikan pada seminar tentang
“Carok: Sebuah Fenomena Masyarakat Madura”, diselenggarakan oleh Harian Memorandum,
Surabaya, 23 Maret, 1986, 12.
pernah terjadi di desa mereka adalah sebuah musibah yang menjadi pelajaran bagi
kehidupan mereka di masa depan.36 Sudah seharusnya, musibah yang terjadi dimaknai
sebagai upaya perbaikan dan pemulihan kondisi dengan mengutamakan dialog dan
musyawarah dalam menyelesaikan konflik.

4. Dimensi-Dimensi Pemafaan dalam Kasus Carok


Setelah mengetahui dinamika dan potensi forgiveness dalam kasus carok Bujur
Tengah, peneliti berusaha untuk menguraikan dimensi-dimensi yang berkaitan
dengan forgiveness yang memberikan jaminan akan tercapainya rekonsiliasi sejati
(genuine reconciliation). Sesuai dengan teori forgiveness yang dipaparkan Roy F.
Baumeister (1998), maka nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mempunyai
pengaruh secara signifikan terhadap pihak keluarga korban/pelaku carok untuk
mengakhiri konflik tanpa adanya kehendak untuk melakukan tindakan balas dendam.
Dua dimensi yang dimaksud adalah dimensi intrapsikis dan dimensi interpersonal
sebagai kerangka berpikir dalam mengurai pola-pola resolusi ketika pintu pemaafan
dan rekonsiliasi terbuka lebar dalam situasi konflik.
Dengan adanya dua dimensi forgiveness sebagai teori dalam resolusi konflik,
peneliti merasa perlu untuk menilai apakah konflik carok di desa Bujur Tengah
Pamekasan sudah benar-benar terjadi tindakan forgiveness yang sesuai dengan
dimensi-kombinasi intrapsikis dan interpersonal atau tidak? Hal ini nanti bisa dilihat
dari penuturan para tokoh masyarakat, kiai, pelaku yang masih hidup, keluarga
korban/pelaku, dan warga masyarakat yang mengetahui langsung proses forgiveness
dan rekonsiliasi yang dilakukan di beberapa pesantren terkenal di Pamekasan.
Dengan mencermati dua dimensi forgiveness, peneliti mengkorelasikan dengan
dimensi forgiveness yang terdapat dalam kasus carok. Misalnya, dimensi
interpersonal forgiveness, yang mencerminkan kesediaan keluarga korban
memaafkan pelaku yang membuatnya sakit hati (sake’ ate) dan terluka (loka).
Tindakan ini bukan semata-mata hanya untuk kepentingan diri korban, tetapi justru
untuk menolong pelaku agar tidak terbebani dengan masa lalunya sebagai pelaku
kejahatan (offender). Sementara dimensi intrapsikis (intrapychic) ditandai dengan
kesediaan korban menghilangkan rasa marah atau benci terhadap pelaku dan mulai
memahami peristiwa dari sudut pandang pelaku kejahatan.37
Dalam dua dimensi ini, forgiveness meniscayakan sebuah ketulusan dari
masing-masing pihak yang berkonflik untuk memahami gejolak batin dan penderitaan
36
Wawancara dengan H. Makruf, orangtua kepala desa Bujur Tengah yang baru, pada tanggal
19 Februari 2014.
37
R. F Baumeister, J. J Exline, dan K. L Sommer, “The Victim Role, Grudge Theory, And Two
Dimensions Of Forgiveness”, hlm.. 78.
atau rasa sakit yang terpendam dalam hati. Pemahaman terhadap gejolak batin yang
mencerminkan perasaan emosi dan kognisi merupakan dimensi yang sangat esensial
akan tercapainya forgiveness diantara kedua belah pihak yang bersitegang. Sementara
pemahaman terhadap aspek sosial dalam diri seseorang juga turut berperan penting
dalam menekan kebencian atas dasar nilai-nilai kemanusiaan. Jika dimensi intrapsikis
dan dimensi interpersonal bisa saling berinteraksi satu sama lain, maka akan
menghasilkan beberapa kombinasi forgiveness yang berkaitan satu sama lain sebagai
sebuah kesatuan yang mendorong tercapainya ketulusan dalam memberi dan
menerima permintaan maaf. Kombinasi dari dua dimensi forgiveness itu
menghasilkan hollow forgiveness (interpersonal act+no intrapsychic state), total
forgiveness (intrapsychic state + no interpersonal act), no forgiveness (intrapsychic
state+interpersonal act), and silent Forgiveness (no intrapsychic state+no
interpersonal act).
Kombinasi dalam forgiveness ini mencerminkan sebuah sinyalemen positif dari
pihak yang berkonflik untuk memaafkan atau tidak sama sekali. Dengan mencermati
kombinasi itu, akan ditemukan beberapa kesimpulan tentang langkah yang ditempuh
oleh kedua belah pihak dalam sebuah kasus, terutama kasus caok, apakah mengambil
dimensi-kombinasi hollow forgiveness, total forgiveness, no forgiveness, atau silent
forgiveness. Jika memilih salah satu diantara empat kombinasi itu, apa pertimbangan
dan alasan rasional yang bisa mendorong keluarga korban carok mengambil
keputusan tersebut?
Dalam kombinasi forgiveness ini, masing-masing keluarga dari pihak H.
Mursyidin dan H. Baidlowi telah mengungkapkan sikap saling memaafkan melalui
ekspresi dan verbal yang disaksikan langsung oleh beberapa pihak, yaitu para kiai di
Pamekasan, bupati Pamekasan, dan tokoh-tokoh masyarakat yang diundang dalam
pertemuan untuk forum rekonsiliasi. Selain itu, juga disertai dengan niat mengakhiri
konflik, melepaskan semua kemarahan dan kebencian, dan berjanji untuk tidak
melakukan tindakan balas dendam. Dari pihak keluarga mengatakan bahwa peristiwa
yang terjadi pada tahun 2006, telah selesai dengan adanya rekonsiliasi yang diinisiasi
para kiai di Pamekasan.38
Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengakhiri konflik dan tidak ada istilah
tindakan balas dendam dari masing-masing keluarga korban. Jika masih terjadi carok
balasan, maka siapa pun yang terlibat dan menjadi provokator siap untuk ditembak di
tempat sebagai bagian dari perjanjian yang disepakati. “Saya bisa memastikan kalau
keluarga H. Mursyidin dan H. Baidlowi sudah menerima semua kejadian masa lalu,

38
Wawancara dengan Hamdan, salah seorang keluarga H. Mursyidin pada tanggal 27 Maret
2015.
apalagi keterlibatan para kiai telah memberikan kesadaran kepada masyarakat akan
pentingnya hidup saling memaafkan tanpa harus menyimpan dan melampiaskan
dendam yang terselubung).”39
Berdasarkan teori forgiveness dan perkembangan dalam kasus carok di
Pamekasan Madura, dapat dikatakan sudah mencapai tingkatan total forgiveness,
karena masing-masing pihak sepakat untuk tidak melanjutkan permasalahan tanah
percaton ke pengadilan lagi. Dalam teori psikologi, total forgiveness adalah
mengintegrasikan dimensi interpersonal act dan intrapsychic state yang menyatukan
semua pihak yang berkonflik. Ketulusan menjadi cermin seseorang dalam memberi
dan menerima permintaan maaf atas dasar kemanusiaan dan cinta kasih sebagai
hamba Tuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hannah Arendt bahwa cinta
mempunyai kekuatan untuk memaafkan. Cinta menjembatani antara dua pihak, yaitu
korban dan pelaku untuk bertemu dalam satu peristiwa.40
Munculnya total forgiveness yang terdapat dalam kasus carok ini, memberikan
pesan akan wawasan ideal tentang bagaimana seharusnya hubungan manusia dengan
sesamanya dalam kehidupan masyarakat Madura. Meskipun carok merupakan
tindakan amoral dan melanggar hukum negara, namun potensi untuk terciptanya
forgiveness dan rekonsiliasi sangat mungkin terjadi. Apalagi masyarakat Madura
memiliki wawasan ideal tentang rasa kebersamaan (reng odhi’ gun dunnya reya
engje’ tak enneng kadibi’), rasa saling membutuhkan (apolong moso reng bannya’
dha-padha ambutowagin), sikap saling tolong menolog (se settong ban se laen
koduna se patang tolong), dan saling menerima kekurangan orang lain (kadhang
ba’na narema kabecce’an dari reng laen, kadhang ba’na se aberri kabagusan).41

5. Tahapan Tahapan Pemafaan dalam Kasus Carok


Dalam penelitian ini ditemukan bahwa memaafkan tidak hanya disertai dengan
keinginan untuk tidak membalas dendam atau mengungkit masa lalu yang kelam,
melainkan juga melupakan rasa sakit yang terpendam untuk berkomitmen menjalin
persahabatan dan persaudaraan dalam kehidupan masyarakat. Meski demikian, proses
memaafkan tidak bisa dilakukan secara instan, karena setiap orang memerlukan
waktu dan kesiapan mental untuk menjalankan hidup dengan pemaafan. Tindakan
yang lebih penting adalah kehendak baik (good will) atau willingness untuk

39
Wawancara dengan Badrus, kepala dusun Dungkedung, desa Bujur Tengah, pada tanggal 7
Maret 2015
40
Hannah Arendt, The Human Condition, (London: The University of Chicago, 1959), hlm.
217.
41
Moh. Fatah Yasin dan Femeir Liadi, Representasi Nilai Budaya Madura dan Dayak dalam
Sastra, (Yogyakarta” IRCiSoD, 2007), hlm. 96.
mengakhiri konflik agar tindakan balas dendam tidak terjadi diantara dua pihak yang
bermusuhan.
Tahapan-tahapan seseorang untuk menjalankan forgiveness, tidak bisa hanya
dilihat dari aspek pemulihan kondisi keamanan melalui keterlibatan tokoh masyarakat
dalam mendinginkan kondisi yang mencekam, melainkan juga harus dicermati dari
sisi pihak keluarga korban atau pelaku dari suatu peristiwa yang membawa api
permusuhan. Tahapan atau proses terciptanya sikap saling menerima untuk
mengakhiri konflik yang disertai dengan adanya forgiveness diantara kedua belah
pihak dilakukan setelah situasi dan kondisi desa Bujur Tengah dianggap aman. Di
bawah ini adalah tahapan atau proses tercapainya kehendak untuk mengakhiri konflik
dan tidak lagi mempermasalahkan tanah percaton yang sempat diperebutkan oleh H.
Mursyidin dan H. Baidhowi.

a. Pemulihan Kondisi Keamanan


Untuk mencapai tahapan forgiveness dalam kasus carok di Pamekasan,
dilakukan pemulihan kondisi keamanan yang melibatkan semua elemen masyarakat,
mengingat situasi pasca-carok benar-beenar sangat mencekam. Pemulihan kondisi
keamanan ini sesuai dengan tawaran pendekatan dari Johan Galtung yang
memberikan tiga perspektif tentang resolusi konflik, yakni dengan peacekeeping
(operasi keamanan) melibatkan aparat keamanan dan militer guna meredam konflik
dan menghindari penularan konflik terhadap kelompok lain. Kedua, peacemaking
sebagai upaya negosiasi antara kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan dan
kepentingan. Ketiga, peacebuilding dijadikan sebagai strategi atau upaya untuk
mengembalikan keadaan deskruktif akibat kekerasan yang terjadi dalam konflik
dengan cara membangun jembatan komunikasi antar pihak yang terlibat konflik.
Pemulihan kondisi keamanan pada awalnya fokus pencegahan adanya carok
susulan dan munculnya provokasi yang memanfaatkan situasi dan kondisi untuk
merusak tatanan masyarakat. Selama kurang lebih tiga bulan, aparat kepolisian dari
Pamekasan melakukan patroli dan berjaga-jaga di sekitar lokasi dan rumah-rumah
warga untuk mengantisipasi terjadinya carok susulan. Bahkan untuk menghindari
pertumpahan darah yang lebih banyak, pihak Polres Pamekasan, menyiagakan anak
buahnya di desa Bujur Tengah.42 Dalam proses memulihkan situasi dan kondisi
keamanan desa Bujur Tengah, peran tokoh masyarakat sangat besar untuk meredam
konflik. Kiai Ali Wafa adalah salah satu tokoh masyarakat yang memberanikan diri
menenangkan situasi dan kondisi desa Bujur Tengah yang sempat mencekam.

42
Keterangan Kapolres Pamekasan ini bisa dilihat di berbagai media massa, termasuk koran
lokal di Madura.
Sebagai tokoh masyarakat, Kiai Ali Wafa berjuang untuk memulihkan kondisi
dengan cara merangkul (arangkol) pihak-pihak yang berkonflik agar tidak
menjadikan carok sebagai sebuah tindakan balas dendam. Dengan tekad yang kuat,
Kiai Ali Wafa memberanikan diri untuk merangkul masing-masing dari mereka untuk
berbicara dari hati ke hati demi sebuah pemulihan keamanan dan terciptanya sikap
saling memaafkan satu sama lain)”.43

b. Memulihkan Efek Trauma dengan Pendekatan Kultural


Keberanian Kiai Ali Wafa sebagai mediator bagi kedua belah pihak yang
berkonflik, didasari oleh semangat untuk memulihkan situasi dan kondisi keamanan
dalam kehidupan masyarakat. Ada banyak resiko yang harus dijalani Kiai Ali Wafa
dalam proses memulihkan kondisi keamanan demi tercapainya pemaafaan dan
perdamaian antara kedua belah pihak. Berbagai ancaman dan teror sering dirasakan
oleh Kiai Ali Wafa dalam rangka merangkul semua pihak yang terlibat dalam kasus
carok.
Lalu apa strategi Kiai Ali Wafa dalam merangkul kedua belah pihak yang
bertikai agar segera mengakhiri konflik ini dan tidak sampai ada tindakan balas
dendam? Salah satunya adalah dengan memulihkan efek trauma dengan pendekatan
kultural kepada masyarakat. Kiai Ali Wafa hampir tiap hari ke rumah H. Mursyidin
dan H. Baidhowi dalam rangka mendinginkan hati keluarga, terutama putra dan
menantunya. Dalam proses dialog dan musyawarah, ia memberikan nasehat kalau
peristiwa carok merupakan musibah bersama antara masing-masing keluarga.44
Hal ini sesuai dengan apa yang digagas oleh Johan Galtung tentang bagaimana
memulihkan kondisi kejiwaan yang bergojak akibat sebuah peristiwa yang
memberikan kenangan pahit. Galtung menawarkan jalan rekonstruksi yang meliputi
rehabilitation (rehabilitasi) dengan pendekatan traumatis sehingga menurunkan efek
trauma, rebuilding (pembangunan kembali) hubungan masyarakat dengan pendekatan
membangun hubungan (macellep ate), restructuration (restrukturisasi) dengan
pendekatan restrukturisasi struktural masyarakat berbasis kedamaian (saleng
rokon/tak atokaran) dan reculturation (rekulturisasi) yang menggunakan pendekatan
kultur kedamaian.45 Ketika jalan ini bisa mempersempit peluang terjadinya carok
balasan, karena tidak hanya dilakukan melalui cara atau pendekatan struktural,
melainkan lebih banyak pada sisi memulihkan kondisi kebatinan atau kejiwaan dan
berupaya membangun kultur perdamaian.
43
Wawancara dilakukan di rumah Kiai Ali Wafa pada tanggal 25 Maret 2015
44
Wawancara dengan K. Ali Wafa di Dusun Montor Laok A pada tanggal 28 Maret 2015.
45
Johan Galtung, Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization,
(Londong: SAGE Publication, 1996), hlm, 78
c. Silaturrahmi sebagai Proses Pencegahan Konflik Balasan
Pemulihan kondisi batin keluarga korban membutuhkan proses panjang, karena
masih mengalami trauma dan tekanan. Pemulihan kondisi batin dimulai dengan
adanya silaturrahmi secara intens yang diwakili pihak-pihak yang sangat berpengaruh
dalam merajut kembali hubungan akibat peristiwa carok. Hal itu bisa dilakukan
dengan memperkuat kembali ikatan silaturrahmi secara kekeluargaan dengan
memberikan kesempatan kepada pihak keluarga untuk mengungkapkan perasaan luka
batin yang sempat bergejolak. Berdasarkan pendangan Kiai Ahmad ketika peneliti
melakukan wawancara langsung di rumahnya, beliau mengatakan bahwa kalau
masalah tersebut masih bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan, maka cara
tersebut yang diterapkan. Cara kekeluargaan harus menjadi landasan penting bagi
seseorang untuk menyelesaikan konflik.46
Dalam konteks kasus carok Bujur Tengah, proses forgiveness bisa diterima
dengan baik, karena masing-masing keluarga korban menerima tawaran dan niat baik
dari beberapa kiai berpengaruh di Pamekasan. Diantara kiai yang melakukan
silaturrahmi dengan keluarga korban carok dari kedua belah pihak adalah KH
Muhammad Rafii Baidhawi, pengasuh Ponpes Al Hamidi, Banyu Anyar, KH
Muhammad Syamsul Arifin pengasuh Pesantren Banyu Anyar Barat, KH Hasan
Abdul Hamid dan KH Thoriq Abdul Hamid Pengasuh Pesantren Mambaul Ulum
Bata Bata, K. Mudassir, Pengasuh Pondok Pesantren Panyepen, K. Asnawi, Pengasuh
Pondok Pesantren Pakes, Gus Ali dari pesantren Beringin, dan sejumlah ulama
lainnya.
Para kiai dan tokoh masyarakat menggunakan jalur silaturrahmi sebagai
langkah penting dalam menahan emosi dan kemarahan keluarga atas peristiwa yang
menimpa mereka. Dalam kasus carok ini, sarana silaturrahmi dipakai untuk menjalin
komunikasi dan dialog diantara keluarga dengan perasaan simpati dan empati.
Dengan kunjungan beberapa kiai berpengaruh ini, keluarga korban carok bisa
menyadari bahwa peristiwa yang menimpa keluarga mereka mendapatkan perhatian
langsung dari figur teladan yang mereka hormati sebagai pembimbing dan penuntun
dalam menjalankan aktifitas sosial keagamaan. Jalan silaturrahmi ini bisa tercapai
karena masyarakat Madura memiliki “rasa kebersamaan” (reng odi’ gun dunnya reya
engje’ tak enneng kadibi’) dan “rasa saling membutuhkan” (apolong moso reng
bannya’ dha-padha ambutowagi).

d. Tabayun sebagai Proses Pengelolaan Konflik


46
Wawacana dengan Kiai Ahmad di Dusun Montor Tengah, pada tanggal 22 Februari 2015.
Penyelesaian konflik carok pun membutuhkan perhatian lebih tidak hanya dari
pemerintah, melainkan juga dari para kiai se-kabupaten Pamekasan yang juga
berperan dalam upaya-upaya menghadirkan rekonsiliasi diantara dua pihak yang
terlibat carok. Dari kerjasama antara pemerintah, aparat kepolisian, dan para kiai di
Pamekasan, muncul sebuah harapan dan gagasan tentang pentingnya tabayyun sebagi
proses pengaturan dan pengelolaan konflik carok agar semakin jelas akar
permasalahannya.
Proses tabayyun merupakan langkah penting yang dilakukan para tokoh
masyarakat dan para kiai untuk memperjelas masalah sebenarnya yang terjadi dari
dua pihak yang bertikai dengan melibatkan utusan keluarga masing-masing.
Tabayyun berasal dari kata bahasa Arab yang berarti penjelasan secara mendalam.
Unsur-unsur yang terdapat dalam proses tabayyun diantaranya, menghadirkan pihak
yang berkonflik, mediator yang bisa diterima pihak yang berkonflik, dan masing-
masing pihak yang berkonflik melalui perwakilan keluarga menjelaskan persoalan
yang terjadi. [ CITATION tak20 \l 1033 ]
Setelah para kiai memberikan solusi penyelesaikan konflik, keluarga H.
Mursyidin dan H. Baidlowi dipersilahkan memberikan tanggapan atau respon apakah
solusi yang ditawaran bisa diterima atau ditolak. Jawaban dari proses tabayyun ini
bisa dilihat dari mekanisme forgiveness yang terdapat dalam kasus carok Bujur
Tengah, tepatnya ketika perwakilan keluarga dari kedua belah pihak dipertemukan di
sebuah pesantren yang menjadi tempat tercapainya proses forgiveness dan
rekonsiliasi. Dari sini, para kiai yang terlibat dalam resolusi konflik carok
memberikan penjelasan tentang landasan yang memperkuat pentingnya proses
forgiveness bagi kedua belah pihak demi sebuah keharmonisan dan kerukunan desa
Bujur Tengah. Dalam budaya Madura, konsepsi wawasan ideal ini termanifestasi
dalam katarteban ben karokonan sasarengan jalan da’ kasampornaan sebagai nilai
penting bagi terciptanya harmoni kehidupan.

6. Kekuatan Daya Pemaafan dalam Kasus Carok


Resolusi konflik mengacu pada penyelesaian konflik nyata (manifes) dengan
perubahan sikap, pandangan, tingkah laku, dan tujuan akhir dari pihak-pihak yang
terlibat. Mekanisme penyelesaian konflik bertujuan untuk memberikan solusi yang
diterima oleh semua pihak. Hal ini akan membuat mereka mempunyai kepentingan
untuk memberikan penyelesaian konflik yang diterima semua pihak sehingga bisa
menekan potensi kekerasan selanjutnya.47 Ada beberapa model pemafaan dalam
penyelesaian konflik carok di Madura.

a. Problem Solving Dialogue


Tercapainya forgiveness dalam kasus carok Bujur Tengah sangat ditentukan
oleh problem solving dialogue sebagai aspek penekanan sekaligus penyekatan. Dalam
problem solving dialogue terjadi proses dialog untuk menyelesaikan persoalan yang
menyangkut kepentingan kedua belah pihak yang bertikai. Konflik yang muncul
disekat dalam ruang lingkup yang sempit agar terlokalisir sehingga tidak
menimbulkan tindakan balas dendam. Penyekatan dilakukan karena konflik carok
merupakan konflik yang sangat rawan dan memungkin terjadinya tindakan balas
dendam dari kedua belah pihak.
Setelah melalui proses panjang dan tahapan penting yang berkenaan dengan
permasalahan yang sudah terjadi, maka para kia berbicara dari hati ke hati kepada
keluarga korban carok untuk mengadakan dialog secara intens demi sebuah
penyelesaian konflik yang berlarut-larut. Dalam proses forgiveness, memang
dibutuhkan kemampuan menahan kemarahan dan masing-masing pihak harus
memiliki keikhlasan untuk saling memaafkan satu sama lain. 48 Kahadiran problem
solving dialogue ini dalam kasus carok di Bujur Tengah, tidak bisa lepas dari
kehendak baik baik dari masing-masing keluarga untuk mengambil keputusan besar,
yakni tidak lagi mempersalahkan tanah percaton yang diperebutkan sebelumnya. Dari
kehendak baik ini, keluarga berupaya menerima semua yang terjadi dan siap untuk
menjalani proses forgiveness dan rekonsiliasi melalui nasehat para kiai yang mereka
hormati.
Dalam problem solving dialogue, Kiai Ali melakukan negosiasi untuk
memastikan tercapainya proses forgiveness sebagai bekal adanya rekonsiliasi yang
hendak dirajut oleh kedua belah pihak. Musyawarah dilakukan dengan bebas
mengungkap segala pandangan mengenai solusi yang tepat. Meskipun terdapat
gesekan atas apa yang terjadi, tetapi ketika sudah menjadi keputusan, maka harus
ditaati oleh semua pihak. Sebagai proses tercapainya forgiveness diantara keluarga
korban carok, Kiai Ali dari pesantren Beringin sangat intens melakukan kunjungan ke
rumah keluarga korban carok demi memberikan nasehat yang bisa diterima oleh
semua pihak.49 Bagi Kiai Ali, kasus carok Bujur Tengah harus segera diselesaikan,
karena bisa menimbulkan api permusuhan dalam sekam.
47
Ashutosh Varshney (ed.), Collective Violence in Indonesia, (London: Lynne Rienner
Publisher, Inc, 2010), hlm. 53.
48
David Norris, Forgiving from the Heart, (New York: Harper Collins Publisher, 1984), hlm.
45.
Dengan demikian, yang pertama kali dilakukan dalam upaya menyelesaian
perkara carok berdasarkan nilai-nilai budaya adalah dengan memberi peluang bagi
diakuinya budaya musyawarah dalam kehidupan masyarakat Madura. Upaya ini
dapat berhasil bila dominasi hukum negara dalam segala aspeknya diminimalisir.
Tidak semua konflik (carok) yang terjadi di Madura dapat diselesaikan melalui
prosedur dan proses yang disediakan hukum negara, tapi dengan menjadikan nilai-
nilai budaya masyarakat Madura, seperti musyawarah, sebagai “alat” untuk
memandunya.

Skema Problem Solving Dialogue


Internal Eksternal
Tradisi Inisiasi Formal Inisiasi
1.Perkumpulan 1. 1. Musyawarah 1. Aturan 1. Musyawar
karangtarun 2. 2. Perlombaan hukum ah atau
2.Silaturrahmi persahabatan 2. Ajaran himbauan
ikatan remaja3. 3. Memperingati agama tokoh, spanduk
masjid hari besar 3. Sanksi 2. Forum
keagamaan dan moral pertemuan atau
nasional komunikasi
antar tokoh

b. Memfasilitasi “Forum Rekonsiliasi” di Pesantren


Lalu seperti apa sebenarnya mekanisme atau model pemaafaan untuk mencapai
kesepakatan damai antara dua belah pihak yang pernah terlibat carok? Dalam upaya
memulihkan situasi keamanan di Bujur Tengah, beberapa kiai dari pesantren di
Pamekasan terlibat aktif untuk mendamaikan kedua belah pihak yang terlibat carok.
Kiai tersebut berasal dari pesantren Bata-Bata, pesantren Banyuanyar, pesantren
Pakes, dan pesantren Beringin. Melalui peran sentral kiai ini, upaya mencari solusi
atas konflik yang terjadi terus dilakukan secara intens. Pada puncaknya, dari masing-
masing pihak yang terlibat carok, yakni keluarga sebagai utusan, diundang langsung
untuk menghadiri sebuah proses muhasabah yang nantinya ditinjaklanjuti dengan
adanya islah.
Di pesantren inilah, kedua belah pihak diundang dan dikumpulkan untuk
membicarakan masalah yang telah terjadi dengan harapan ada titik temu. Melalui
proses muhasabah yang dilaksanakan di pesantren Pakes, pintu forgiveness pun
terbuka lebar diantara kedua belah pihak. Muhasabah dilakukan sebagai bentuk
49
Kunjungan ke keluarga korban carok dimulai ketika tahlilan dilaksanakan selama tujuh hari
berturut-turut.
perenungan atas peristiwa yang terjadi kemarin dengan semangat bersama untuk
memperbaiki hubungan atau relasi kekeluargaan antara kedua belah pihak dan secara
umum masyarakat Bujur Tengah. Masing-masing pihak keluarga diberikan waktu
untuk memberikan harapan dan kehendak yang terbaik demi sebuah penyelesaian
konflik yang berlarut-larut akibat terjadinya carok massal.
Ketika masing-masing perwakilan keluarga diberikan waktu untuk
mengungkapkan harapan dan keinginan mereka, maka para kiai dan elemen yang
hadir dalam forum rekonsiliasi menampung semua aspirasi dan pilihan terbaik dari
masing-masing mereka. Setelah itu, apa yang mereka inginkan dari permasalahan ini
dibahas untuk mencari jalan terbaik demi kesepakatan damai bagi kepentingan
bersama antara kedua belah pihak dan masyarakat Bujur Tengah secara umum.
Harapan dan keinginan perwakilan keluarga dari kedua belah pihak ternyata tidak
jauh berbeda, karena pada dasarnya mereka menghendaki adanya perbaikan
hubungan dan membuka pintu selebar-lebarnya adanya forgiveness dan rekonsiliasi
yang memang menjadi tujuan dari kehadiran mereka di pesantren Pakes.
Setelah melalui muhabasah yang cukup panjang dan perenungan secara
mendalam dari permasalahan yang sudah terjadi, maka pemimpin forum rekonsiliasi
yang diwakili oleh Gus Ali dari pesantren Beringin memberikan wejangan dan
nasehat tentang pentingnya membangun semangat persaudaraan di tengah konflik
yang melanda keluarga mereka. Dengan nasehat kiai ini, kedua belah pihak mulai
menyadari bahwa apa yang terjadi kemarin merupakan musibah yang harus diakhiri
dan dilupakan demi kepentingan masa depan bersama.50
Dengan adanya siraman rohani dari beberapa kiai di pesantren Pakes, kedua
belah pihak sepakat untuk mengakhiri konflik dan tidak ada kata balas dendam di
kemudian hari. Terjalinnya pintu pemaafan dan perdamaian ketika itu semakin
menghangatkan suasana yang berlangsung hidmat dan melegahkan. Melalui
musyawarah yang bersifat kekeluargaan, dicapai kesepakatan untuk tidak
mempersoalkan masalah percaton lagi dan tanah tersebut diserahkan kembali sebagai
kas desa Bujur Tengah. Kesepakatan lain yang berujung perdamaian adalah jika
masih terjadi carok susulan yang melibatkan kedua belah pihak, maka dipersilahkan
untuk ditembak di tempat atau lokasi kejadian.

c. Mengadakan “Pengajian Rekonsiliasi”


Ketika pintu pemaafan dan kesepakatan damai terjalin dalam semangat
kekeluargaan di pesantren Pakes, maka suasana keamanan di Bujur Tengah pun
semakin membaik dan normal kembali. Hubungan antara kedua keluarga turut
50
Wawancara dengan H. Ma’ruf pada tanggal 3 Februari 2014
memberikan dampak positif bagi terjalinnya rasa keamanan dan keharmonisan dalam
masyarakat. Ketika forum rekonsiliasi yang diinisiasi oleh para kiai, kehidupan
masyarakat Bujur Tengah yang sempat mencekam berubah menjadi suasana yang
penuh dengan kekeluargaan.
Pengajian bulanan ini dilaksanakan di setiap masjid secara bergiliran di Bujur
Tengah, yang dihadiri masyarakat dan keluarga yang terlibat carok. Tujuan dari
pelaksanaan kegiatan pengajian bulanan ini adalah untuk terus mengingatkan
masyarakat agar senantiasa menjaga semangat kekeluargaan dan persaudaraan serta
menghindari jalan kekerasan. Dengan pengajian bulanan ini, masyarakat diharapkan
memiliki kesadaran dalam beragama dan tidak mudah terpancing emosi atau
terprovokasi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, masyarakat juga
diharapkan selalu menjaga keharmonisan dan kerukunan demi terciptanya suasana
kehidupan yang penuh dengan kesejukan dan kedamaian.
Dengan adanya pengajian bulanan ini, masyarakat bisa mengambil pesan
penting atau hikmah yang disampaikan para kiai agar selalu menjaga kekompakan
dan kedamaian antar elemen masyarakat. Ceramah yang disampaikan para kiai ini,
biasanya disertai dengan doa bersama sebagai manifestasi dari adanya pengajian
perdamaian. Pengajian bulalan ini sering dihadiri oleh Bupati Khalilurrahman dan
Kapolres AKBP Nanang Chadarusman, serta sejumlah ulama berpengaruh. Diantara
para ulama yang hadir adalah KH Muhammad Rafii Baidawi, pengasuh Ponpes Al
Hamidi, Banyu Anyar, KH Muhammad Syamsul Arifin pengasuh Pesantren Banyu
Anyar Barat, KH Hasan Abdul Hamid dan KH Thoriq Abdul Hamid Pengasuh
Pesantren Mambaul Ulum Bata Bata dan sejumlah ulama lainnya.
Kiai Ali Wafa yang menjabat sebagai pelaksana tugas kepala desa Bujur
Tengah mengatakan bahwa pengajian yang digelar setiap bulan adalah pengajian
rekonsiliasi untuk kerukunan masyarakat yang sempat terpecah akibat kasus carok
massal yang terjadi pada tahun 2006 lalu. Pengajian rekonsiliasi ini sebagai tindak
lanjut dari forum yang sudah dilaksanakan di pesantren Pakes dan pesantren
Banyuanyar Pamekasan. Dikatakan pengajian rekonsiliasi karena keluarga korban
carok dan masyarakat secara keseluruhan berbaur bersama dalam satu tempat yang
sangat sejuk dan hening. Suasana kekeluargaan dan persaudaraan dalam setiap acara
pengajian ini tampak harmonis dan hidmat mengiringi salawat Nabi yang sering
dilantunkan oleh para kiai demi mendinginkan gejolak batin agar selalu ingat kepada
Allah dan Rasul-Nya.

F. Kesimpulan
Dalam kasus carok, model pemaafan dipilih sebagai resolusi konflik yang
mampu mengendalikan kemarahan dan pembalasan untuk mencapai rekonsiliasi
sejati. Mekanisme pengampunan memiliki kekuatan luar biasa untuk membangun
kembali hubungan atau memulihkan efek trauma dari keluarga korban. Kehadiran
mekanisme pemaafan dalam kasus carok tidak lepas dari peran kiai di beberapa
pesantren untuk menyelesaikan perselisihan antara dua pihak.
Ada beberapa tahapan dan mekanisme yang dilakukan oleh para kiai untuk
mempercepat tercapainya rekonsiliasi. Pertama, pemulihan kondisi keamanan
memberikan tiga perspektif dalam penyelesaian konflik, yaitu peacekeeping dan
peacebuilding. Kedua, merangkul keluarga korban carok agar tidak membalas
dendam. Ketiga, memperkuat silaturrahmi sebagai proses penanggulangan konflik.
Keempat, proses tabayyun bertujuan untuk memperjelas permasalahan kedua pihak
yang bertikai. Kelima, mempercepat dialog pemecahan masalah sebagai aspek
penekanan yang mencerminkan proses dialog. Keenam, menghadirkan perwakilan
keluarga kedua belah pihak di pesantren yang dimaksudkan untuk mempercepat
proses pencapaian resolusi konflik melalui pengampunan dan rekonsiliasi. Ketujuh,
mengadakan pengajian rekonsiliasi bulanan untuk kerukunan masyarakat, yang telah
dibagi oleh carok kolektif yang terjadi pada tahun 2006.
Dalam kasus carok, perlu adanya mekanisme lokal yang dapat mencegah atau
mengurangi terjadinya kekerasan di Madura, misalnya dengan mengadakan adat
perdamaian disertai sikap saling memaafkan. Namun, hingga saat ini belum ada
lembaga sosial yang bertindak sebagai pencegah carok. Kemungkinan tercapainya
tindakan pengampunan dan rekonsiliasi akan lebih efektif jika ada lembaga yang
mengaturnya. Dalam kehidupan masyarakat Madura terdapat unsur-unsur sosial yang
berpengaruh yaitu tokoh-tokoh buppa', babu', guru, rato, perlu diefektifkan untuk
memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang pentingnya ketaatan dalam
menjalankan nasehat atau pesan yang telah diberikan oleh keempat tokoh tersebut.
Dengan demikian, peran keempat tokoh ini perlu dioptimalkan, termasuk institusi
yang diwakili oleh kiai sebagai mediator dalam kehidupan masyarakat Madura. Pada
hakekatnya perlu menjadikan lembaga kiai sebagai figur yang mampu
mempersatukan seluruh umat.
Dalam konteks ini, simbol-simbol lokal menjadi penting sebagai alat pemersatu
yang dapat membangun komunikasi untuk mencapai rekonsiliasi sejati. Untuk
menciptakan rekonsiliasi, diperlukan ekspresi perilaku simbolik baru yang
mencerminkan nilai-nilai kerukunan dalam semangat kekeluargaan. Di sinilah
pentingnya menjalani sejarah bersama tanpa saling menyakiti, serta tanda dan simbol
yang menyatukan. Ungkapan simbolik dapat memberikan pengaruh positif terhadap
terciptanya suatu rekonsiliasi. Dalam kehidupan masyarakat Madura terdapat nilai-
nilai budaya yang berkaitan dengan kehidupan yang harmonis yang tercermin dalam
ungkapan “rampak naong bringen korong”. Hal ini sejalan dengan simbol pemersatu
yang mempengaruhi terciptanya rekonsiliasi di Afrika Selatan, yaitu istilah ubuntu,
seseorang merasa menjadi bagian dari yang lain.

Bibliography

A. Dharmawan, G.G Aji & Mutiah. "Madurese Cultural Communication Approach." Journal
of Physics: Conference Series 953, no. 1 (2018): 2. http://doi :10.1088/1742-
6596/953/1/012195

Abdurrahman. Masalah Carok Di Madura. Buku Madura III. Surabaya: Sinar Terang, 1987.

Ahmad, Kiai, interview by Mohammad Takdir. Process of Preventing Conflict (February


2015, 2015).

Arendt, Hannah. The Human Condition. London: The University of Chicago, 1959.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, 1993.

Auerbach, Yehudith. "Forgiveness and Reconciliation: The Religious Dimension." Terrorism


and Political Violence 17, no. 1 (2005): 469-485. https://doi:
10.1080/09546550590929174.

Badrus, interview by Mohammad Takdir. The Important of Forgiveness (March 7, 2015).

Bouwsma, E. Touwen. "Kekerasan di Madura." In Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi:


Studi-Studi Interdisipliner tentang Masyarakat Madura, by Huub De Jonge. Jakarta:
Rajawali Press, 1989.

Budiyanti, Syamsu, Hotman M. Siahaan, and Kris Nugroho. "Social Communication


Relation of Madurese People in Max Weber Rationality Perspective." Jurnal Studi
Komunikasi 4, no. 2 (2020): 389-409. https://doi:10.25139/jsk.v4i2.2447.

Cahyono. "The Model of Penal Mediation As A Countermeasures Of Violence Conflict


(Carok) In Madurese Society Based On The Local Wisdom." Jurnal Hukum dan
Peradilan 8, no. 2 (2019): 289. https://doi: 10.25216/JHP.8.2.2019.275-296.

Crapoliccho, Eleonora, Camalio Regalia, Gian Antonio Di Bernardo and Vincenza


Cinquegrana. "The Role of Rational Dependence, Forgiveness and Hope on The
Intention to Return with an Abusive Partner." Journal of Social and Personal
Relationships 38, no. 4 (2021): 1-20. https://doi.org/10.1177/02654075211011546.

Denzin, Norman K & Yvona S. Lincoln. Hanbook of Qualitative Research. London-New


Delhi: SAGE Publications, 1994.

Fahrenholz, Geiko Muller. The Art of Forgiveness: Theological Reflections on Healing and
Reconciliation. Jeneva: WWC Publication, 1997.

Fitriana, M. Abu. The Spirit of Forgiveness: Hidup Indah dengan Memaafkan. Solo: Tinta
Media, 2013.

Foucault, Michael. Archeology of knowledge and Discourse of Language. New York:


Pantheon Books, 1972.

—. Power or Knowledge: Selected Interview and Other Writing. New York: Pantheon, 1980.

Galtung, Johan. Handbook of Peace and Conflict Studies. New York: Routledge, 2007.

—. Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization. London:
SAGE Publication, 1996.

Gani, Asep Haerul. Forgiveness Therapy: Maafkanlah, Niscaya Dadamu Lapang.


Yogyakarta: Kanisius, 2011.

Gopin, Marc. "Forgiveness as an Element of Conflict Resolution in Religious Cultures:


Walking the Tightrope of Reconciliation and Justice." In Reconciliation,Justice and
Co-existence, by Muhammad Abu Nimer, 23. Lanham: Lexington Books, 2001.

Hamdan, interview by Mohammad Takdir. The Dimention of Forgiveness in the Case of


Carok (March 27, 2015).

Haris. "Religiosity of Violence through Pesantren: A Method to Prevent Carok in Madura


Tribe of Indonesia." Journal of Law, Policy, and Globalization 2, no. 57 (2017): 55-
56. https://www.iiste.org/Journals/index.php/JLPG/article/view/35172

Jonge, Huub De. "Stereotypes of Madures." In Across Madura Strait: The Dynamic of an
Insular Society, by Huub De Jongen & E. Touwen Bouwsma K. Van Diik, 232.
Leiden: KITLV Press, 1995.

Julijanti, Dinara Maya, Yayan Sakti Suryandaru & Myrtati Dyah Artaria. "Remo Celebration
in Blater Community: Traditional Ritual Communication in Madura." Jurnal Studi
Komunikasi 4, no. 2 (2020): 298. https://doi.org/10.25139/jsk.v4i2.2445
Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1994.

M.B. Miles & A.M. Huberman. Qualitative Data Analysis. California: SAGE Publications,
1984.

Makruf, H., interview by Mohammad Takdir. The Potential of Forgiveness in The Case of
Carok (February 19, 2015).

McCullough. "Forgiveness, Forbearance and Time: The Temporal Unfolding of


Transgression-Related Interpersonal Motivations." Journal of Personality and Social
Psychology 72, no. 2 (1997): 231-336. https://doi.org/10.1037/0022-3514.84.3.540.

Moleong, L. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Remaja Rosda Karya, 1994.

Nazir, Moh. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998.

Norris, David. Forgiving from the Heart. New York: Harper Collins Publisher, 1984.

Patton, Michael Quin. Qualitative Evaluations and Research Methods. Newbury Park: SAGE
Pub, 1990.

Pickering, Peg. How To Manage Conflict: Kiat Menangani Konflik, terj. Masri Maris.
Jakarta: Erlangga, 2001.

R. F Baumeister, J. J Exline & K. L Sommer. "The Victim Role, Grudge Theory, And Two
Dimensions Of Forgiveness." In Dimensions of Forgiveness: Psychological
Research and Theological Speculations, by E.L. Worthington, 78. Philadelphipa: The
Templeton Foundation Press, 1998.

Rahmi, Purwati Ayu, Cahyaningrum Dinis, Putri Kholifatul Wanda, Listiyawaty Yuyun.
"Meaning of Carok For Maduranese (Indonesian Tribe): A Case Study in Sampang."
RJOAS 2, no. 74 (2018): 12-14. DOI https://doi.org/10.18551/rjoas.2018-02.02

Rahmi, Purwati Ayu. "Maduranese Meaning About Carok Case Study in Sampang Regency,
Madura Island." Asean Academic Society International Conference. Thailand:
Indonesian Student Association in Thailand (PERMITHA), 2017. 291-292.
http://aasic.org/proc/aasic/article/view/306.

Rifai, Mien Ahmad. Manusia Madura: Perilaku, Etos Kerja, Penampilan, dan Pandangan
Hidupnya. Yogyakarta: Pilar Media, 2007.

Rochmadi, Nur Wahyu. "Virtues of the Madura Society." Advances in Social Science,
Education, and Humanities Research, 2020: 161-166.
https://doi.org/10.2991/assehr.k.210204.025.
Rohman, Syaiful, Margaretha Hanita & Ahmad Luthfi. "The Influence of Carok Culture on
Reproductive Violence for the Younger." ICSGS. Jakarta: Universitas Indonesia,
2018. 5. https://doi:10.4108/eai.24-10-2018.2289677

Rozaki, Abdur. Menabur Kharisma, Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater Sebagai Rezim
Kembar di Madura. Yogyakarta: Pustaka Marwah, 2004.

Smedes, Lewis B. Forgive and Forget: Healing The Hurts We Don't Deserve. San Fransisco:
Harpersan, 1984.

Smith, G. "Carok Violence in Madura, From Historical Conditions to Contemporary


Manifestations." Folk: Journal of the Danish Ethnographic Society 39, no. 2 (1997):
58.

Subaharianto, Andang. Tantangan Industrialisasi Madura: Membentur kultur Menjujung


Leluhur,. Malang: Bayumedia Publishing, 2004.

Tutu, Desmond. No Future Without Forgiveness. London: Rider, 1999.

Varshney, Ashutosh. Collective Violence in Indonesia. London: Lynne Rienner Publisher,


2010.

Wafa, Kiai Ali, interview by Mohammad Takdir. Restoring the Effect of Trauma (March 28,
2015).

Wafa, Kiai Ali, interview by Mohammad Takdir. The Stage of Forgiveness in the Case of
Carok (March 25, 2015).

Wahiduddin, Maulana. The Ideology of Peace. New Delhi: Goodwork Books, 2010.

Wiyata, A. Latief. Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta:
LKiS, 2002.

—. Mencari Madura. Jakarta: Bidik Publishing, 2013.

Worthington, E. L. Dimensions of Forgiveness: Psychological Research and Theological


Perspectives. Radnor: Templeton Foundation Press, 1998.

Yasin, Moh. Fatah & Firmier Liadi. Representasi Nilai Budaya Madura & Dayak dalam
Sastra. Yogyakarta: IRCiSoD, 2007.

Yoachim Agus Tridatno, B. Banawiratma & Wening Udasmoro. "Forgiveness: Its Power and
Complexities." Orientasi Baru: Jurnal Filsafat dan Teologi 20, no. 2 (2011): 23.
https://e-journal.usd.ac.id/index.php/job/article/view/1268.

You might also like