You are on page 1of 17

Tinjauan Pustaka

IMPLICATION OF DIPPING AND NON DIPPING PATTERN IN ABPM


Drastis Mahardiana
Rochmad Romdoni
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Abstract

Hypertension is a major health problem in the world that can be easily


found in all population and can also raise the risk factors of cardiovascular
disease. Some artifact can influence the measurement of blood pressure in the
office like time of measurement, clinical environment, phisiology status and
patient’s emotion. ABPM is a method of repeated blood pressure measurement
enabling the evaluation of the circadian blood pressure profile during normal
daily life and during sleep, contrary to convensional blood pressure
measurement. The superiority of ABPM to clinic measurement in predicting CV
mortality and outcome has been considered unrelated to office blood pressure.
Normotensive subjects have a clear diurnal blood pressure rhythm characterized
by a blood pressure decline during sleep and an early morning surge. Dipping is
considered as a categorical variable classifying the population according to day
and nighttime blood pressure values. In a normal dipping pattern the reduction of
blood pressure during nighttime is >10%. In nondipping pattern the nighttime
reduction compared to daytime blood pressure is <10%. Nondipping status has
been related to some cardiovascular risk factors. Nondipping pattern is also
considered as an important predictor of cardiovascular morbidity, mortality and
target-organ damage. The predictive value of the dipping phenomenon and the
negative prognostic value of blunted nighttime blood pressure drop has been
widely accepted. ABPM might be important tool of prognostic and therapeutic
importance for detection of dipping and nondipping blood pressure pattern.
Key words: hypertension, dipping pattern, non dipping pattern, ABPM,
prognostic, mortality and morbidity

I. Pendahuluan
Hipertensi merupakan masalah kesehatan yang sering ditemui pada
sejumlah besar populasi dan menyebabkan peningkatan resiko terjadinya
penyakit jantung dan pembuluh darah1. Tekanan darah yang tinggi biasanya
disertai dengan penyakit metabolik dan diabetes mellitus 2. Hipertensi
merupakan faktor resiko yang dapat dicegah tetapi pengetahuan mengenai
1
patogenesisnya sehingga dapat menyebabkan kerusakan target organ akhir dan
kelainan vaskular belum banyak diketahui3. Diagnosis dan evaluasi tekanan darah
kebanyakan dilakukan pada jam kerja di pagi hari sehingga perlu dipikirkan untuk
memperkirakan tingginya tekanan darah yang sebenarnya. Walau begitu, deviasi
standar tekanan darah sistolik pagi hari pada setiap individu berkisar antara 10
sampai 20 mmHg jika diukur pada beberapa kunjungan klinik yang berbeda 4.
Beberapa artifak dapat mempengaruhi pengukuran tekanan darah pada
jam kerja. Faktor – faktor lingkungan seperti tempat kerja dokter, status fisiologis
dan emosi pasien dan beberapa faktor perancu dapat mempengaruhi nilai
tekanan darah yang sebenarnya. Pengukuran tekanan darah di rumah dapat
digunakan untuk mengurangi kesalahan yang terjadi, tetapi cara ini tidak dapat
digunakan untuk mengukur tekanan darah pada malam hari dan tekanan darah
yang turun selama tidur malam.
Subjek yang normotensif biasanya memiliki irama sirkadian yang jelas
dimana tekanan darah akan lebih tinggi pada siang hari dan lebih rendah pada
malam hari. Profil sirkadian terdiri dari penurunan tekanan darah pada waktu
malam yang disebut dipping dan peningkatan tekanan darah pada dini hari. Pola
dipping pertama kali dipaparkan oleh O’Brien et al. pada tahun 19885. Hubungan
antara kurangnya fenomena dipping (disebut juga non dipping) dan kejadian
kardiovaskular yang tidak diharapkan telah dilaporkan secara luas dalam
berbagai macam penelitian6. Beberapa penelitian juga telah membuktikan
adanya hubungan antara pola nondipping dengan adanya diabetes mellitus7.
ABPM adalah sebuah metode pengulangan pengukuran tekanan darah
yang dapat memberikan evaluasi data – data profil tekanan darah sirkadian
selama aktifitas normal sehari – hari dan selama subjek tidur, berbeda dengan
pengukuran tekanan darah yang konvensional. ABPM dapat menunjukkan data
tekanan darah yang lebih akurat dan spesifik pada pasien yang dicurigai atau
telah diketahui menderita tekanan darah tinggi 8. Kelebihan ABPM jika
dibandingkan dengan pengukuran tekanan darah di klinik untuk memprediksi
mortalitas dan morbiditas kardiovaskular diketahui tidak memiliki hubungan
dengan hasil pengukuran tekanan darah yang diukur pada jam kerja 9. Secara
2
khusus nilai tekanan darah pada malam hari memiliki peran khusus untuk
memprediksi adanya komplikasi kardiovaskular10. Pada makalah ini selanjutnya
akan dibahas mengenai implikasi klinis pola tekanan darah dipping dan non
dipping pada pengukuran menggunakan ABPM sehingga diharapkan dengan
pengetahuan yang baik mengenai pola tekanan darah ini, kita dapat
memperbaiki manajemen pasien dengan tekanan darah tinggi yang pada tahap
lanjut diharapkan dapat digunakan untuk mencegah mortalitas dan morbiditas
kardiovaskular dengan lebih baik.

II. Pengukuran tekanan darah di tempat kerja dokter dan diluar tempat kerja
dokter
Menentukan tingkatan tekanan darah menggunakan
sphygmomanometer raksa dan stetoskop telah dilakukan sejak abad ke sembilan
belas. Pengukuran tekanan darah saat jam kerja memberikan informasi
mengenai tekanan darah sesaat dan sudut pandang potong lintang mengenai
tekanan darah diurnal. Walau begitu, tekanan darah merupakan keadaan yang
bersifat kontinyu dimana pada sebagian besar orang bervariasi setiap harinya
dan dapat dipengaruhi oleh kondisi fisiologis dan lingkungan. Sebagai tambahan,
tekanan darah saat jam kerja menunjukkan bias yang cukup besar baik itu
intraobserver maupun interobserver11. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
hasil pengukuran ini, seperti berbicara saat pengukuran tekanan darah, gagalnya
menyediakan periode istirahat sebelum pengukuran dilakukan, terpapar sakit flu,
ukuran manset yang terlalu kecil maupun terlalu besar, posisi pasien yang salah
terkait dengan tingginya level jantung, pengkempisan manset yang terlalu cepat
dan pengukuran tekanan darah secara bergiliran oleh pengukur tekanan darah
yang sama12. ABPM dapat memberikan data yang mendekati nilai tekanan darah
yang sebenarnya dengan lebih akurat jika dibandingkan dengan pengukuran
tekanan darah pada saat jam kerja, sehingga metode ini disarankan sebagai
standar referensi untuk mendiagnosis hipertensi13.

III. Tekanan darah jas putih dan hipertensi yang terselubung


3
Tekanan darah jas putih didefinisikan dengan peningkatan tekanan
darah pada pengukuran jam kerja dengan tekanan darah > 140/90 mmHg pada
subjek yang dengan pengukuran ABPM siang hari memiliki tekanan darah kurang
dari 135/85 mmHg14. Hipertensi jas putih dideskripsikan pertama kali oleh
15
Mancia et al . dengan mengukur tekanan darah intra arterial pasien yang
dirawat di rumah sakit. Ketika dokter melakukan pemeriksaan tekanan darah
disamping ranjang pasien, terjadi peningkatan tekanan darah yang tiba – tiba
sebesar 27 mmHg/15 mmHg (rata – rata tekanan darah sistolik/diastolik),
dengan puncak yang menetap selama 1-4 menit setelah kedatangan dokter.
Variasi intraindividual cukup besar (4-75 mmHg/1-36 mmHg) dan hal ini tidak
terkait dengan umur, jenis kelamin atau nilai dasar tekanan darah. Denyut
jantung hanya berhubungan kecil dengan peningkatan tekanan darah (rata – rata
respon puncak sekitar 16 denyut per menit, dengan kisaran 4-75 denyut per
menit). Fenomena peningkatan tekanan darah jas putih juga telah dibuktikan
oleh beberapa penelitian yang lain dan hal ini ditengarai terjadi hanya ketika
pengukuran dilakukan di lingkungan pelayanan kesehatan16.
Dengan menggunakan evaluasi tekanan darah ambulatoar, sekitar 15-
30% pasien yang dinyatakan menderita hipertensi di tempat kerja dokter
memiliki tekanan darah yang normal pada pengukuran tekanan darah di luar
tempat kerja dokter17. Muxfieldt et al. melakukan investigasi pada hipertensi
yang resisten dan diantara pasien – pasien yang diteliti tersebut, sekitar 37%
mengalami hipertensi jas putih18. Hipertensi jas putih telah diteliti berhubungan
dengan peningkatan kekakuan arteri, hipertrofi ventrikel kiri dan kerusakan
organ target subklinis19. Pada populasi yang lebih besar, penelitian PAMELA
menyimpulkan adanya komposisi yang tidak diharapkan dari hipertensi jas putih
dan sindroma metabolik. Proses penuaan dapat pula berkontribusi meningkatkan
kecenderungan terjadinya hipertensi jas putih20.
Hipertensi terselubung (kebalikan dari hipertensi jas putih dan
hipertensi terisolasi) dikenal sebagai tekanan darah jam kerja yang normal
dengan kombinasi peningkatan tekanan darah di rumah. Hipertensi terselubung
dapat dijumpai pada subjek yang normotensif dan hipertensif. Prevalensi yang
4
telah dilaporkan sebesar 10-20%21. Hubungan antara hipertensi yang terselubung
dan kerusakan organ target telah dibuktikan, dan kepentingan pengukuran
tekanan darah di rumah telah dibuktikan mempunyai nilai prediktif yang lebih
baik jika dibandingkan dengan pengukuran tekanan darah secara klinis 22.

IV. Profil sirkadian tekanan darah


Subjek yang normotensif memiliki pola tekanan darah diurnal yang jelas
dan ditandai dengan penurunan tekanan darah selama tidur dan peningkatan
mendadak pada dini hari. Variasi tekanan darah sirkadian ini telah diverifikasi
dengan sphygmomanometer dan metode intra arterial di laboratorium
penelitian mengenai tidur23.
Menurut Mancia et al., variabilitas tekanan darah dapat ditentukan
dengan menghitung standar deviasi dari tekanan darah 24 jam, tekanan darah
sistolik, tekanan darah diastolik, dan rata – rata tekanan arteri 24. Tekanan arteri
rata – rata 24 jam bervariasi sekitar 10% diantara subjek – subjek yang diteliti
walaupun perbedaan interindividual cukup besar. Tekanan darah sistolik terlihat
lebih bervariasi jika dibandingkan dengan tekanan darah diastolik berdasarkan
standar deviasinya. Variasinya berkisar antara 50-60 mmHg selama 24 jam.
Variasi tekanan darah berhubungan erat dengan sistem saraf autonom sentral
yang dimediasi oleh mekanisme baroreflek, yang secara esensial menentukan
variabilitas tekanan darah diurnal. Ketika sensitifitas baroreflek meningkat
selama tidur sebaliknya tekanan darah akan menurun 25. Vaile et al. meneliti
adanya perbedaan sensitifitas baroreflek antara hipertensi dipper dan nondipper
yang tidak diobati. Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan bermakna
diantara keduanya26. Grassi et al. meneliti fungsi baroreflek dan aktifitas saraf
simpatis otot. Mereka mengkonfirmasi penemuan sebelumnya dimana aktifitas
simpatis yang terdapat pada individu yang hipertensif tidak disebabkan oleh
baroreflek dan dapat disimpulkan bahwa aktifitas baroreflek tidak ikut
menyebabkan penurunan tekanan darah malam hari pada subjek hipertensif 27.
Nami et al. mengevaluasi efek dari latihan aerobik terhadap tekanan darah 24
jam pada subjek hipertensif yang tidak diobati. Durasi periode latihan adalah tiga
5
bulan, pengukuran tekanan darah ABPM selama 48 jam dilakukan sebelum dan
sesudah periode latihan. Tekanan darah sirkadian menurun pada dippers, tetapi
tidak pada nondippers, yang kemudian dikenali sebagai nondipper juga setelah
periode latihan. Mereka menyimpulkan bahwa status nondipper menutupi faktor
– faktor endogenous dan eksogenous yang mempengaruhi keseimbangan
adrenergik-vagal yang lebih lanjut dapat menyebabkan sinkronisasi tekanan
darah diurnal28.
Kebanyakan penelitian potong lintang mengindikasikan bahwa proses
penuaan meningkatkan nilai tekanan darah sistolik, tetapi tekanan darah
diastolik dapat menurun setelah usia 50 sampai 60 tahun. Pada penelitian
Osohama, peningkatan tekanan darah sistolik yang terkait dengan penambahan
umur mulai 20 tahunan sampai 80 tahunan lebih rendah (9 mmHg) pada ABPM
jika dibandingkan dengan pengukuran klinis (26 mmHg) 29.
Veerman et al. mempelajari variasi tekanan darah 24 jam pada subjek
dewasa sehat. Pada malam hari terjadi penurunan rata – rata tekanan arteri
sebesar 9 mmHg, denyut jantung sebesar 18 denyut per menit lebih rendah dan
terjadi peningkatan kardiak output, volume stroke dan resistensi perifer total
sebesar 29%, 7% dan 22% jika dibandingkan dengan pengukuran siang hari.
Mereka menyimpulkan bahwa tidak adanya aktifitas fisik selama malam hari
termasuk dalam proses pembentukan pola sirkadian kardiovaskular 30.
Baumgart et al. mempelajari tekanan darah diurnal pekerja shift dan
menemukan adaptasi kurva tekanan darah 24 jam pada aktifitas shift yang
mengindikasikan bahwa aktifitas menentukan profil tekanan darah diurnal.
Mereka menyimpulkan bahwa tekanan darah tidak terkait dengan ritme
sirkadian internal31. Menurut Shea et al. keberadaan ritme endogenous sirkadian
pada tekanan darah ini tidak berhubungan dengan ritme sirkadian pada kortisol,
katekolamin, modulasi vagal jantung, denyut jantung, atau aliran urin. Secara
keseluruhan, sirkadian endogenous merupakan sebuah sistem yang komplek
yang terdiri dari nukleus suprakiasmatik yang mengkonduksi kinerja jaringan
perifer, seperti jantung, pembuluh darah, ginjal, kortek dan medula adrenal. Efek
dari stimulasi neural dan endokrin ini secara sekunder akan mempengaruhi
6
kesiagaan dan tidur. Berdasarkan Shea et al, walaupun terdapat penelitian pada
hewan coba yang memfokuskan diri pada waktu sirkadian yang mempengaruhi
tekanan darah, iskemia, toleransi reperfusi dan remodeling vaskular, penelitian
sirkadian secara mekanik dari fungsi kardiovaskuler pada manusia masih
terbilang sedikit32.

V. Pengukuran tekanan darah 24 jam dan prognosis


Variabilitas tekanan darah selama 24 jam dan ketidakstabilan tekanan
darah (perubahan tekanan darah secara tiba – tiba) memiliki kepentingan klinis
dan dihubungkan dengan adanya kejadian kardiovaskuler dan stroke 10. Sturrock
et al. meneliti relevansi variasi tekanan darah sirkadian dengan morbiditas dan
mortalitas pasien dengan diabetes di masa yang akan datang dan pada akhir
penelitian ditemukan bahwa hilangnya variasi sirkadian pada tekanan darah
berhubungan dengan peningkatan laju mortalitas, tidak terkecuali pada pasien
dengan diabetes33. Gupta et al. mendemonstrasikan bahwa pasien obesitas
dewasa yang asimptomatik dengan variabilitas tekanan darah sirkadian yang
abnormal dan fungsi endothelial memicu timbulnya profil kardiometabolik yang
tidak diharapkan34. Nilai prognostik dari tekanan darah sistolik dan diastolik
ambulatoar yang lebih tinggi pada pasien hipertensi yang terkontrol dapat dilihat
dari penelitian yang dilakukan oleh Clement et al. sebaik nilai ABPM untuk
memprediksi kejadian kardiovaskular setelah disesuaikan dengan faktor – faktor
resiko klasik, yang salah satunya terdiri dari pengukuran tekanan darah saat jam
kerja35. Fokus pada perbedaan prediksi antara tekanan darah sistolik dan
diastolik, terdapat eviden bahwa tekanan darah sistolik memiliki nilai prediktif
yang lebih baik jika dibandingkan dengan diastolik, walaupun nilai prediktif dari
tekanan darah diastolik juga telah dilaporkan bisa digunakan sebagai alat
prediktor. Rasio tekanan darah sistolik antara siang dan malam mempunyai
kekuatan yang lebih besar untuk memprediksi semua penyebab kematian dan
kejadian kardiovaskuler36.

VI. Pengukuran tekanan darah ambulatoar (ABPM)


7
ABPM telah tersedia dalam kurun waktu hampir 40 tahun. Pengukuran
menggunakan metode ini awalnya dimulai dengan teknik intra arterial dan
kemudian dikembangkan menjadi pengukuran tekanan darah selama aktifitas
fisik, kerja, istirahat dan tidur. Dari awal tahun 1980 an, metode non invasif yang
sudah otomatis ini juga sudah tersedia dengan luas 11. ABPM adalah sebuah
metode dimana pembacaan tekanan darah yang diulang – ulang dapat
dikerjakan pada pasien yang melakukan aktifitas harian secara normal.
Terkadang subjek yang normotensif dapat memiliki nilai tekanan darah yang
tinggi, ABPM memiliki target untuk mendeteksi profil tekanan darah 24 jam
untuk mendiagnosis hipertensi. Para ahli merekomendasikan untuk dilakukan
pemeriksaan ABPM jika terdapat kecurigaan hipertensi jas putih dan sebelum
mulai untuk memberikan obat antihipertensi karena pengobatan antihipertensi
sendiri biasanya diberikan untuk seumur hidup11. Lebih lanjut, ABPM memiliki
peran yang cukup penting untuk menentukan strategi terapi dengan tujuan
keluaran klinis yang lebih baik pada pasien dengan hipertensi. Gejala yang
menunjukkan episode hipotensif dapat juga diinvestigasi dengan ABPM (World
Health Organization-International Society of Hypertension Guidelines for the
management of hypertension. Guidelines subcommittee 1999). Tabel 1.
merangkum keakurasian beberapa metode pengukuran tekanan darah. Sebagai
tambahan, ABPM telah diketahui dapat membantu pemilihan obat yang rasional
dan menurunkan angka kejadian misdiagnosis dan efektifitas harga ABPM juga
telah ditunjukkan oleh penelitian yang baru – baru ini dilakukan oleh Lovibond et
al37.

Tabel 1. Keakuratan beberapa metode pengukuran komponen tekanan darah 38


Variabel ABPM TD di klinik PTD di rumah
Rata-rata TD yang + ? +
sebenarnya
TD diurnal + - -
Dipping + - -
Variabilitas TD + - ?
Durasi efek obat + - +

8
Menurut O’Brien et al, pengukuran menggunakan ABPM harus
mengandung > 14 tekanan darah sistolik dan diastolik pada siang hari dan > 7
pengukuran pada malam hari. Nilai ABPM untuk menentukan tekanan darah
yang normal dan tekanan darah yang meningkat berbeda dengan pengukuran
tekanan darah di klinik. Berdasarkan eviden dari sebuah penelitian,
direkomendasikan rata – rata hasil pengukuran tekanan darah dengan ABPM
sebesar < 135/85 pada siang hari, < 120/70-75 pada malam hari dan < 130/80
selama periode 24 jam. Teknik yang buruk, manset yang tidak sesuai, instruksi
yang kurang baik pada pasien, aritmia, volume nadi yang kecil dan
ketidakmampuan alat untuk mengukur tekanan darah dapat menyebabkan
kegagalan pada penelitian39.

VII. Fenomena dipping


VII.1 Definisi dipping
Dipping dikenal sebagai sebuah variabel kategorikal untuk
mengklasifikasi populasi berdasarkan nilai tekanan darah siang dan malam hari.
Individu dengan peningkatan tekanan darah malam hari juga dimasukkan dalam
penelitian. Belum ada standar waktu yang jelas untuk memisahkan siang hari dan
malam hari, tetapi kebanyakan penelitian menggunakan periode antara jam 6
pagi sampai jam 10 malam sebagai siang hari (daytime) dan dari jam 10 malam
ke jam 6 pagi sebagai malam hari (nighttime), sementara itu beberapa peneliti
secara spesifik menentukan periode bangun-tidur sesuai dengan laporan aktifitas
pasien sehari – hari untuk menghindari kesalahan klasifikasi. Beberapa penelitian
memfokuskan pola dipping pada tekanan darah sistolik, beberapa yang lain lebih
memilih nilai tekanan darah diastolik yang dianggap lebih akurat karena
variabilitasnya yang lebih kecil, dan beberapa yang lain menggunakan baik nilai
tekanan darah sistolik dan diastolik27. Kaya et al. menggunakan baik nilai tekanan
darah sistolik atau diastolik40, sedangkan Hermida et al. menggunakan tekanan
darah sistolik dan diastolik secara terpisah. Begitu juga tekanan rata – rata
arterial (MAP) juga digunakan dalam penelitian41.

9
Gambar 1. Fenomena Dipping42
Pada pola dipping yang normal, penurunan tekanan darah selama
malam hari berkisar > 10% (dipper). Pada pola nondipping, penurunan tekanan
darah pada malam hari jika dibandingkan dengan tekanan darah siang hari
berkisar < 10% (nondipper). Beberapa subjek dapat diklasifikasikan sebagai
dippers ekstrem (penurunan tekanan darah nokturnal >20%) atau inverse dippers
atau risers ketika tekanan darah saat tidur lebih tinggi dari tekanan darah saat
terjaga43.
Tabel 2. Tekanan darah dan pola dipping40-43
Pola dipping Perbedaan TD siang/malam hari (%)*
Normal 10-20%
Nondipping <10%
Extreme dipping >20%
Inverse dipping <0%
*(Rata – rata TD terjaga – rata – rata TD tidur/ rata – rata TD terjaga) x 100

VII.2 Mekanisme dipping


Mekanisme yang sebenarnya dari nondipping tidak banyak diketahui
dan kemungkinan memiliki beberapa penyebab. Efek dari aktifitas fisik, buang air
kecil saat bangun di malam hari, kualitas tidur, asupan natrium dan natriuresis,
ras dan aktifitas simpatik banyak dipertimbangkan sebagai faktor – faktor yang
mempengaruhi variasi tekanan darah diurnal. Telah dinyatakan dalam berbagai
penelitian bahwa sensitifitas reseptor adrenergik β dapat berkontribusi pada
10
hubungan antara tekanan darah nokturnal yang dipping dengan beberapa
keluaran klinis kardiovaskular44. Efek dari postur horizontal pada malam hari dan
waktu meminum obat banyak dicurigai berpengaruh pada keadaan tersebut27.

VII.3 Nondipping sebagai faktor resiko penyakit kardiovaskular


Status nondipping telah dihubungkan dengan beberapa faktor resiko.
Cuspidi et al. menemukan prevalensi pola nondipping yang persisten pada pasien
diabetes yang hipertensif sekitar tiga kali lipat lebih besar jika dibandingkan
dengan non diabetik. Pada subjek diabetik, pengukuran tekanan darah
menggunakan ABPM lebih bermakna jika dibandingkan dengan non diabetik dan
pengukuran itu memiliki nilai prediktif yang lebih baik terutama pada individu
dengan diabetes45.
Nondipping telah dihubungkan dengan hipertensi dan
mikroalbuminuria. Kombinasi dari nondipping dan nefropati secara khusus
dihubungkan dengan laju mortalitas yang lebih tinggi, dan peran dari ABPM telah
digarisbawahi merupakan suatu usaha untuk memperbaiki keluaran klinis dari
subjek dengan gagal ginjal33,46.
Status nondipping telah dicatat sebagai penanda disfungsi autonom
seperti fase awal dari penyakit parkinson ketika hipotensi orthostatik tidak
ditemukan. Selain itu, ABPM juga memiliki nilai yang menguntungkan pada
pasien dengan penyakit parkinson47.
Ketiadaan penurunan tekanan darah pada malam hari telah
dihubungkan dengan kerusakan serebrovaskular yang tersembunyi pada subjek
yang berusia tua. Reverse dipping (meningkat) telah diketahui berhubungan
dengan perkembangan kerusakan serebrovaskuler karena hipertensi. Di lain
pihak, hipoperfusi serebral merupakan faktor resiko yang signifikan pada usia tua
dan pengobatan hipertensi harus diberikan dengan hati – hati dengan
memperhatikan tekanan darah nokturnalnya48.
Pola nondipping diketahui sebagai prediktor yang penting untuk
terjadinya morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan kerusakan organ target.
Hal ini telah dibuktikan pada populasi penelitian dan diantara penderita
11
hipertensi. Fogari et al. menyatakan bahwa tidak adanya penurunan tekanan
darah nokturnal terbukti berhubungan dengan peningkatan prevalensi hipertrofi
ventrikel kiri dan penyakit kardiovaskular atherosklerosis, deteksi menggunakan
ABPM dapat menentukan prognostik dan kepentingan terapinya5,43,46,48. Beberapa
penelitian lain yang meneliti hubungan antara nondipping dan morbiditas
terangkum dalam Tabel 3.

Tabel 3. Penelitian yang fokus pada nondipping dan morbiditas


(*diobati **tidak diobati)42
Penelitian n Kelompok Umur Definisi Nondippers Nondipping
(SD) dipping (%) berhubungan
dengan
Agorasti et 71* Hipertensif 33-81 TDS 52% Perubahan
al. 2011 homeostasis
de la Sierra 42947* Hipertensif 53 (+13) TDS 41%* 53%** Resiko CV
et al. 2009 **
Kaya et al. 126* Hipertensif, 51 (+4) Baik TDS 47% Peningkatan
2009 kontrol (40) atau TDD aktifitas platelet
dan inflamasi
Fallo et al. 80** Hipertensif 49.7 (+9) TDS + TDD 41% Liver steatosis,
2008 resistensi insulin
dan adiponektin
yang rendah
Hermida et 250* Hipertensif 60 (+12) TDS, TDD 86% 43% Pemberian obat
al. 2008 secara sekali sehari
terpisah
Grassi et al. 79* Hipertensif 47 (+2) TDS + TDD Aktifitas simpatis
2008
Ben-Dov et 4006** Hipertensif, 55 (+16) TDS, TDD TDS 36% Mortalitas
al. 2007 normotensif secara TDD 22%
terpisah
Von Kanel et 76* Hipertensif, 36 (+8) TDS 45% Disfungsi
al. 2004 normotensif endothel,
atherosklerosis

Nilai prediktif dari fenomena dipping dan nilai prognostik negatif dari
penurunan tekanan darah malam hari telah secara luas diterima oleh kalayak
medis36. Boggia et al. menyimpulkan pada analisis data dasar internasional
dengan sekala besar mereka yang terdiri dari 7.458 subjek penelitian bahwa
tekanan darah malam hari terbukti berhubungan dengan kejadian fatal pada
akhir penelitian dan total prediksi rasio malam dan siang, mortalitas
kardiovaskular dan non kardiovaskular 49. Pada pola nondipping, setiap

12
peningkatan 10 mmHg tekanan darah sistolik malam hari, rata – rata resiko
mortalitas meningkat menjadi 21%50.

VIII. Ringkasan
Hipertensi merupakan masalah kesehatan utama di dunia yang dengan
mudah dapat ditemui di setiap populasi yang diteliti dan juga dapat
meningkatkan resiko untuk terjadinya penyakit jantung dan pembuluh darah.
Beberapa artifak dapat mempengaruhi pengukuran tekanan darah di klinik
seperti waktu pengukurannya, lingkungan pengukuran, serta status fisiologis dan
mental pasien. ABPM adalah sebuah metode pengukuran tekanan darah
berulang – ulang yang memungkinkan evaluasi profil ritme tekanan darah
sirkadian selama aktifitas harian yang normal dan selama tidur, sangat bertolak
belakang dengan pengukuran tekanan darah yang konvensional. Kelebihan
ABPM jika dibandingkan pengukuran klinis untuk memprediksi mortalitas
kardiovaskuler dan keluaran klinis telah dibuktikan tidak berhubungan dengan
tekanan darah klinis. Subjek yang normotensif memiliki ritme tekanan darah
diurnal yang jelas dengan ciri – ciri penurunan tekanan darah selama tidur dan
peningkatan tekanan darah pada pagi hari. Dipping dikenal sebagai variabel
kategorikal untuk mengklasifikasikan populasi berdasarkan nilai tekanan darah
siang hari dan malam hari. Pola dipping telah dibuktikan tidak berhubungan
dengan tekanan darah klinis. Subjek yang normotensif memiliki ritme tekanan
darah diurnal yang jelas dengan ciri – ciri penurunan tekanan darah selama tidur
dan peningkatan tekanan darah pada pagi hari. Pada pola dipping yang normal,
penurunan tekanan darah selama malam hari >10%. Pada pola nondipping
penurunan tekanan darah pada malam hari jika dibandingkan tekanan darah
siang hari sebesar <10%. Status nondipping telah dihubungkan dengan beberapa
faktor resiko kardiovaskular. Pola nondipping juga dipercaya menjadi variabel
prediktor yang penting untuk menentukan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskular serta kerusakan target organ. Nilai prediktif dari fenomena
dipping dan nilai prognostik negatif dari penurunan tekanan darah pada malam
hari telah diterima secara luas di kalangan medis. ABPM menjadi alat yang
13
penting untuk menentukan kepentingan terapi dan prognostik dengan
mendeteksi pola tekanan darah dipping dan nondipping.

DAFTAR PUSTAKA

1. Catala-Lopez F, Sanfelix-Gimeno G, Garcia-Torres C, Ridao M & Peiro S. Control of


arterial hypertension in Spain: a systematic review and meta-analysis of 76
epidemiological studies on 341 632 participants. 2011. J Hypertens.
2. Safar ME, Lange C, Blacher J, Eschwege E, Tichet J, Balkau B & DESIR Study Group.
Mean and yearly changes in blood pressure with age in the metabolic syndrome:
the DESIR study. 2011. Hypertens Res 34(1): 91–97.
3. Rothwell PM. Limitations of the usual blood-pressure hypothesis and importance of
variability, instability, and episodic hypertension. 2010. Lancet 375(9718): 938–948.
4. Hebel JR, Apostolides AY, Dischinger P, Entwisle G & Su S. Within-person
variabilityin diastolic blood pressure for a cohort of normotensives. 1980. J Chronic
Dis 33(11–12): 745–750.
5. O'Brien E, Sheridan J & O'Malley K. Dippers and non-dippers. 1988. Lancet 2(8607):
397.
6. Cuspidi C, Meani S, Fusi V, Severgnini B, Valerio C, Catini E, Sala C, Magrini F &
Zanchetti A. Is the nocturnal fall in blood pressure reduced in essential hypertensive
patients with metabolic syndrome? 2004. Blood Press 13(4): 230–235.
7. Cuspidi C, Vaccarella A, Leonetti G & Sala C. Ambulatory blood pressure and
diabetes: targeting nondipping. 2010. Curr Diabetes Rev 6(2):111–115.
8. Hansen TW, Li Y, Boggia J, Thijs L, Richart T & Staessen JA. Predictive role of the
nighttime blood pressure. 2011. Hypertension 57(1): 3–10.
9. Bjorklund K, Lind L, Zethelius B, Berglund L & Lithell H. Prognostic significance of 24-
h ambulatory blood pressure characteristics for cardiovascular morbidity in a
population of elderly men. 2004. J Hypertens 22(9): 1691–1697.
10. Mancia G, Bombelli M, Facchetti R, Madotto F, Corrao G, Trevano FQ, Grassi G &
Sega R . Long-term prognostic value of blood pressure variability in the general
population: results of the Pressioni Arteriose Monitorate e Loro Associazioni Study.
2007. Hypertension 49(6): 1265–1270.
11. O'Brien E. Twenty-four-hour ambulatory blood pressure measurement in clinical
practice and research: a critical review of a technique in need of implementation.
2011. J Intern Med 269(5): 478–495.
12. McAlister FA & Straus SE. Evidence based treatment of hypertension. Measurement
of blood pressure: an evidence based review. 2001. BMJ 322(7291): 908–911.
13. Hodgkinson, J, Mant J, Martin U, Guo B, Hobbs F, Deeks J, Heneghan C, Roberts N &
McManus RJ. Relative effectiveness of clinical and home blood pressure monitoring
compared with ambulatory blood pressure monitoring in diagnosis of hypertension:
systematic review. 2011. BMJ (342):d3621.
14. Verdecchia P, Reboldi GP, Angeli F, Schillaci G, Schwartz JE, Pickering TG, Imai Y,
Ohkubo T & Kario K. Short- and long-term incidence of stroke in white-coat
hypertension. 2005. Hypertension 45(2): 203–208.
15. Mancia G, Bertinieri G, Grassi G, Parati G, Pomidossi G, Ferrari A, Gregorini L &
Zanchetti A. Effects of blood-pressure measurement by the doctor on patient's
blood pressure and heart rate. 1983. Lancet 2(8352): 695–698.
14
16. White WB. Ambulatory blood-pressure monitoring in clinical practice. 2003. N Engl J
Med 348(24): 2377–2378.
17. Pickering TG. A new role for ambulatory blood pressure monitoring? 1997. JAMA
278(13): 1110.
18. Muxfeldt ES, Bloch KV, Nogueira Ada R & Salles GF. True resistant hypertension: is it
possible to be recognized in the office? 2005. Am J Hypertens 18(12 Pt 1): 1534–
1540.
19. de Simone G, Schillaci G, Chinali M, Angeli F, Reboldi GP & Verdecchia P. Estimate of
white-coat effect and arterial stiffness. 2007. J Hypertens 25(4): 827–831.
20. Dolan E, Stanton A, Atkins N, Den Hond E, Thijs L, McCormack P, Staessen J &
O'Brien E. Determinants of white-coat hypertension. 2004. Blood Press Monit 9(6):
307–309.
21. Kawabe H, Saito I & Saruta T. Status of home blood pressure measured in morning
and evening: evaluation in normotensives and hypertensives in Japanese urban
population. 2005. Hypertens Res 28(6): 491–498.
22. Ohkubo T, Kikuya M, Metoki H, Asayama K, Obara T, Hashimoto J, Totsune K, Hoshi
H, Satoh H & Imai Y. Prognosis of "masked" hypertension and "white-coat"
hypertension detected by 24-h ambulatory blood pressure monitoring 10-year
follow-up from the Ohasama study. 2005. J Am Coll Cardiol 46(3): 508–515.
23. Dimsdale JE & Heeren MM. How reliable is nighttime blood pressure dipping? 1998.
Am J Hypertens 11(5): 606–609.
24. Mancia G & Grassi G. Mechanisms and Clinical Implications of Blood Pressure
Variability. 2000. 35(7 Suppl 4): S15–9.
25. Omboni S, Parati G, Castiglioni P, Di Rienzo M, Imholz BP, Langewouters GJ,
Wesseling KH & Mancia G. Estimation of blood pressure variability from 24-hour
ambulatory finger blood pressure. 2000. Hypertension 32(1): 52–58.
26. Vaile JC, Stallard TJ, al-Ani M, Jordan PJ, Townend JN & Littler WA. Sleep and blood
pressure: spontaneous baroreflex sensitivity in dippers and non-dippers. J 1996.
Hypertens 14(12): 1427–1432.
27. Grassi G, Seravalle G, Quarti-Trevano F, Dell'Oro R, Bombelli M, Cuspidi C, Facchetti
R, Bolla G & Mancia G. Adrenergic, metabolic, and reflex abnormalities in reverse
and extreme dipper hypertensives. 2008. Hypertension 52(5): 925–931.
28. Nami R, Mondillo S, Agricola E, Lenti S, Ferro G, Nami N, Tarantino M, Glauco G,
Spano E & Gennari C. Aerobic exercise training fails to reduce blood pressure in
nondippertype hypertension. 2000. Am J Hypertens 13(6 Pt 1): 593–600.
29. Imai Y, Nagai K, Sakuma M, Sakuma H, Nakatsuka H, Satoh H, Minami N, Munakata
M, Hashimoto J & Yamagishi T. Ambulatory blood pressure of adults in Ohasama,
Japan. 1993. Hypertension 22(6): 900–912.
30. Veerman DP, Imholz BP, Wieling W, Wesseling KH & van Montfrans GA. Circadian
profile of systemic hemodynamics. 1995. Hypertension 26(1): 55–59.
31. Baumgart P, Walger P, Fuchs G, Dorst KG, Vetter H & Rahn KH. Twenty-four-hour
blood pressure is not dependent on endogenous circadian rhythm. 1989. J
Hypertens 7(4): 331–334.
32. Shea SA, Hilton MF, Hu K & Scheer FA. Existence of an endogenous circadian blood
pressure rhythm in humans that peaks in the evening. 2011. Circ Res 108(8): 980–
984.
33. Sturrock ND, George E, Pound N, Stevenson J, Peck GM & Sowter H. Nondipping
circadian blood pressure and renal impairment are associated with increased
mortality in diabetes mellitus. 2000. Diabet Med 17(5): 360–364.

15
34. Gupta AK, Cornelissen G, Greenway FL, Dhoopati V, Halberg F & Johnson WD.
Abnormalities in circadian blood pressure variability and endothelial function:
pragmatic markers for adverse cardiometabolic profiles in asymptomatic obese
adults. 2010. Cardiovasc Diabetol 9:58.
35. Clement DL, De Buyzere ML, De Bacquer DA, de Leeuw PW, Duprez DA, Fagard RH,
Gheeraert PJ, Missault LH, Braun JJ, Six RO, Van Der Niepen P, O'Brien E & Office
versus Ambulatory Pressure Study Investigators. Prognostic value of ambulatory
blood-pressure recordings in patients with treated hypertension. 2003. N Engl J
Med 348(24): 2407–2415.
36. Fagard RH. Dipping pattern of nocturnal blood pressure in patients with
hypertension. 2009. Expert Rev Cardiovasc Ther 7(6): 599–605.
37. Lovibond K, Jowett S, Barton P, Caulfield M, Heneghan C, Hobbs FD, Hodgkinson J,
Mant J, Martin U, Williams B, Wonderling D & McManus RJ. Cost-effectiveness of
options for the diagnosis of high blood pressure in primary care: a modelling study.
2011. Lancet 378(9798): 1219–1230.
38. Pickering TG, Shimbo D & Haas D. Ambulatory blood-pressure monitoring. 2006. N
Engl J Med 354(22): 2368–2374.
39. O'Brien E, Beevers G & Lip GY ABC of hypertension. Blood pressure measurement.
Part III-automated sphygmomanometry: ambulatory blood pressure measurement.
2001. BMJ 322(7294): 1110–1114.
40. Kaya MG, Yarlioglues M, Gunebakmaz O, Gunturk E, Inanc T, Dogan A, Kalay N &
Topsakal R. Platelet activation and inflammatory response in patients with non-
dipper hypertension. 2010. Atherosclerosis 209(1): 278–282.
41. Hermida RC, Ayala DE, Fernandez JR & Calvo C. Chronotherapy improves blood
pressure control and reverts the nondipper pattern in patients with resistant
hypertension. 2008. Hypertension 51(1): 69–76.
42. Vasunta, Riitta-Liisa, Ambulatory blood pressure. Association with metabolic risk
indicators, renal function and carotid artery atherosclerosis. 2012. Acta
Universitatis Ouluensis D Medica 1178.
43. Fogari R, Zoppi A, Malamani GD, Lazzari P, Destro M & Corradi L. Ambulatory blood
pressure monitoring in normotensive and hypertensive type 2 diabetes. Prevalence
of impaired diurnal blood pressure patterns. 1993. Am J Hypertens 6(1): 1–7.
44. Profant J, Mills PJ & Dimsdale JE. Nocturnal blood pressure dipping and
betaadrenergic receptor sensitivity. 2002. Am J Hypertens 15(4 Pt 1): 364–366.
45. Cuspidi C, Meani S, Lonati L, Fusi V, Valerio C, Sala C, Magnaghi G, Maisaidi M &
Zanchetti A. Short-term reproducibility of a nondipping pattern in type 2 diabetic
hypertensive patients. 2006. J Hypertens 24(4): 647–653.
46. de la Sierra A, Redon J, Banegas JR, Segura J, Parati G, Gorostidi M, de la Cruz JJ,
Sobrino J, Llisterri JL, Alonso J, Vinyoles E, Pallares V, Sarria A, Aranda P, Ruilope LM
& Spanish Society of Hypertension Ambulatory Blood Pressure Monitoring Registry
Investigators. Prevalence and factors associated with circadian blood pressure
patterns in hypertensive patients. 2009. Hypertension 53(3): 466–472.
47. Sommer S, Aral-Becher B & Jost W. Nondipping in Parkinson's disease. 2011.
Parkinsons Dis 2011: 897586.
48. Kario K, Pickering TG, Matsuo T, Hoshide S, Schwartz JE & Shimada K. Stroke
prognosis and abnormal nocturnal blood pressure falls in older hypertensives. 2001.
Hypertension 38(4): 852–857.
49. Boggia J, Li Y, Thijs L, Hansen TW, Kikuya M, Bjorklund-Bodegard K, Richart T,
Ohkubo T, Kuznetsova T, Torp-Pedersen C, Lind L, Ibsen H, Imai Y, Wang J, Sandoya
E, O'Brien E, Staessen JA & International Database on Ambulatory blood pressure

16
monitoring in relation to Cardiovascular Outcomes (IDACO) investigators.
Prognostic accuracy of day versus night ambulatory blood pressure: a cohort study.
2007. Lancet 370(9594): 1219– 1229.
50. Dolan E, Stanton A, Thijs L, Hinedi K, Atkins N, McClory S, Den Hond E, McCormack
P, Staessen JA & O'Brien E. Superiority of ambulatory over clinic blood pressure
measurement in predicting mortality: the Dublin outcome study. 2005.
Hypertension 46(1): 156–161.

17

You might also like