You are on page 1of 11

Kesehatan, Demokrasi & Hak-hak EKOSOSBUD

indoprogress.com/2009/06/kesehatan-demokrasi-hak-hak-ekososbud/

Harian IndoPROGRESS June 2, 2009

Belajar Dari Rintisan Dokter ”CHE”

If we’re going to have a successful democratic society, we have to have a well educated
and healthy citizenry.
Thomas JeffersonA few months ago, here in Havana, it happened that a group of newly
graduated doctors
did not want to go into the country’s rural areas and demanded remuneration before they
would agree to go …
But what would have happened if instead of these boys, whose families generally were
able to pay for their years of study, others of less fortunate means had just finished their
schooling and were beginning the exercise of their profession? What would have occurred
if two or three hundred campesinos had emerged, let us say by magic, from the university
halls?

What would have happend, simply, is that the campesionos would have run, immediately
and with unreserved enthusiasm, to help their brothers … What would have happend is
what will happen in six of seven years, when the new students, childre of workers and
campesinos, receive professional degrees of all kinds If we medical workers – and permit
me to use once again a title which I had forgotten some time ago – are successful, if we use
this new weapon of solidarity ….

Che Guevara, On Revolutionary Medicine,


Havana, 19 Agustus 1960 (dalam Brouwer 2009)

Pengantar:

APA hubungan antara kesehatan dengan demokrasi dan penegakan hak-hak ekososbud
(ekonomi, sosial, dan budaya)? Sedikitnya, ada empat prinsip yang dapat ditarik dari relasi
di antara ketiga hal itu.

Pertama, menurut Thomas Jefferson, penulis Deklarasi Kemerdekaan AS, ”masyarakat


yang demokratis memerlukan masyarakat yang sehat dan terdidik”
(www.righttohealthcare.org/Democracy.htm, diakses 3 Mei 2009). Dengan demikian,
urusan kesehatan bukan hanya urusan praktisi kesehatan (dokter, paramedis, laboran,
apoteker), tapi urusan semua penentu alokasi anggaran maupun tunjangan kesehatan.

Kedua, makin tinggi perhatian Negara serta segenap penyedia lapangan kerja bagi
kesehatan para warga, pegawai, serdadu, polisi, dan buruh, hak-hak ekososbud para insan
itu, khususnya Pasal 11, akan makin terpenuhi.

Ketiga, sejak diratifikasi melalui UU No. 11/2005, pemerintah dan rakyat Indonesia wajib
mengusahakan segala cara agar hak-hak ekososbud yang digariskan dalam Kovenan
Internasional Hak-Hak Ekososbud 1966 dapat diwujudkan.
1/11
Keempat, makin demokratis sebuah Negara, makin besar kemungkinan Negara itu
memperhatikan kesehatan warganya, sebagai perwujudan dari hak-hak ekososbud
warganya.

Demokrasi a la AS, atau Demokrasi a la KUBA?

Pertanyaannya sekarang: demokrasi macam mana yang paling menjamin tingginya


peningkatan kesehatan masyarakat sebuah negara? Demokrasi liberal a la AS, yang
sering dijadikan model bagi Indonesia? Ataukah demokrasi sentralistis a la Kuba, negara
miskin yang sudah 40 tahun dihantam embargo perdagangan AS, kemudian kehilangan
bantuan Uni Soviet setelah negara itu bubar?

Berbagai indikator kesehatan di Kuba, sama atau lebih tinggi dari AS. Harapan hidup di
Kuba rata-rata 77 tahun, hanya setahun lebih rendah dari harapan hidup orang AS. Tahun
2007, angka kematian bayi di Kuba 5,3 per seribu kelahiran, lebih rendah dari angka
kematian bayi di AS yang 6,37 per seribu kelahiran. Ada 6,5 orang dokter per seribu orang
penduduk di Kuba, dibandingkan dengan 2,4 orang dokter per seribu orang penduduk di
AS. Digambarkan dengan cara lain, di Kuba tersedia seorang dokter bagi 155 orang
penduduk, sedangkan di AS, tersedia seorang dokter bagi 417 orang penduduk (Hughes
2007; Brouwer 2009).

Hebatnya lagi, tingkat kesehatan masyarakat begitu tinggi di Kuba, dicapai dengan
pelayanan kesehatan (health care) yang hanya 250 dollar AS per kapita, dibandingkan
dengan 6000 dollar per kapita di AS, dan sekitar 3000 dollar per kapita di kebanyakan
negara kaya (Hughes 2007).

Ironisnya, ketika topan Katrina memporakporandakan sejumlah negara bagian AS, dokter-
dokter Kuba spontan datang membantu korban-korban topan itu. Walaupun rezim George
Bush masih mempertahankan embargo ekonomi terhadap Kuba, mereka diminta
memperpanjang masa pengabdiannya di AS. Padahal, Kuba sendiri belum lama
sebelumnya dihantam topan yang menghancurkan ½ juta rumah dan jaringan listrik,
namun hanya tujuh orang dari 10 juta penduduk yang meninggal. Bukti kecanggihan Kuba
dalam siaga bencana menghadapi topan di seputar Laut Karibia sudah juga dibuktikan
brigade-brigade medis Kuba, waktu topan George dan Mitch menghantam Haiti, Honduras,
dan Guatemala (Brouwer 2009; www.oxfamblogs.org/fp2/?p=102, diakses 3 Mei 2009).

Dari fakta-fakta di atas ternyata kita perlu sedikit hati-hati dengan label ”demokrasi”, apalagi
kalau suatu rezim hanya disebut ”demokratis” apabila secara periodik menyelenggarakan
pemilu multi-partai, seperti Indonesia pasca-Soeharto. Sebab ”pemerintahan oleh rakyat”,
sebagaimana makna demokrasi menurut bahasa Yunani, yakni demos = rakyat, dan kratos
= memerintah (Elliott 1969: 120), tidak otomatis berarti, seluruh rakyat ikut memerintah.

Demokrasi dengan sistem multi-partai yang bergantian memerintah, sering dikuasai partai-
partai besar yang elitnya berasal dari lapisan atas, sehingga pemerintah pada hakekatnya
hanya mewakili kepentingan kelas atas. Makanya demokrasi liberal sering juga disebut
”demokrasi borjuis”. Demokrasi ini, seperti kata Marx, ”berakhir di gerbang pabrik” (Giddens
1993: 499). Sebab buruh, sebagai warganegara, boleh memilih partai yang akan
menguasai Negara, tapi begitu masuk kerja di pabrik, buruh harus tunduk kepada
manajemen, yang mewakili kepentingan pemilik pabrik.
2/11
Sebagai anti-tesis dari demokrasi liberal atau demokrasi borjuis, kebanyakan rezim sosialis
hanya mengizinkan kehadiran satu partai saja. Kebebasan berpendapat dan berserikat
tetap boleh diwujudkan, tapi di bawah payung partai tunggal itu, di mana kepentingan
berbagai segmen masyarakat – seperti buruh, tani, nelayan, pedagang kecil – tetap
terwakili. Begitu pula kelompok-kelompok minoritas etno- rasial. Makanya, demokrasi
dengan sistem partai tunggal disebut ”demokrasi sosialis” atau ”sentralisme demokratis”
(Wilczynski 1981: 139-40).

Di Kuba, misalnya, berbagai ormas seperti Central de Trabajadores de Cuba (CTC,


konfederasi buruh Kuba), Federacion de Mujeres Cubanas (FMC, federasi perempuan
Kuba), serta Associacion Nacional de Agricultores Pequenos (ANAP, himpunan nasional
petani kecil), berjuang untuk menghapus diskriminasi terhadap penduduk keturunan Afrika
(Serviat 1993: 89).

Penghapusan diskriminasi rasial disusul dengan penghapusan diskriminasi gender.


Federasi Perempuan Kuba, misalnya, berhasil mendesak parlemen Kuba mengeluarkan
UU Keluarga (Family Code) pada Hari Perempuan Sedunia, 8 Maret 1973, yang
menghapus ”beban ganda” perempuan yang menikah atau hidup bersama seorang laki-
laki. Kalau sebelumnya perempuan yang bekerja di pabrik atau kantor, sepulang ke rumah
tetap harus bekerja melayani pasangannya, Family Code 1973 menentukan bahwa semua
pekerjaan domestik harus dibagi secara adil antara laki-laki dan perempuan (Wald 1978:
29, 36, 254-7).

Berkat Kepeloporan Dokter ”Che”:

Kendati demikian, tingkat kesehatan Kuba tidak akan setinggi itu, seandainya seorang
dokter tidak ikut memimpin Revolusi 1959, untuk mengubah Kuba dari negara kapitalis
yang rasis, yang dibangun dari produsen tebu yang mengandalkan buruh keturunan budak
dari Afrika, menjadi sebuah negara sosialis. Orang itu adalah Che Guevara.

Ernesto Guevara de la Serna, yang lebih populer dengan panggilan ”Che”, lebih dikenal
sebagai gerilyawan yang gugur di tangan serdadu Bolivia atas perintah Presiden AS,
Lyndon B. Johnson, 9 Oktober 1967 (Ruiz 2004: 182). Namun orang sering lupa bahwa ia
seorang dokter. Lahir di Rosario, Argentina, 14 Juni 1928, dari ayah keturunan Irlandia dan
ibu keturunan Spanyol, pada masa kanak-kanak, ia terserang asma bronkitis. Barangkali,
pengalaman pribadi bergumul dengan asma sampai dewasa, mendorong ia masuk FK
Universitas Buenos Aires, dengan spesialisasi penyakit kulit atau dermatologi (Guevara
2007: 109).

Sebelum lulus, ia mengajak kawannya, Alberto Granados, ahli farmasi dan bio-kimia,
berboncengan motor keliling Argentina, Chile, Peru, Kolombia, dan Venezuela. Di masa
itulah ia berkenalan dengan penduduk asli Peru keturunan bangsa Inca, dan marah melihat
mereka diperlakukan dengan kejam oleh investor asing. Ia juga marah melihat perlakuan
terhadap para penderita di koloni lepra San Pablo (Peru) di tepi Sungai Amazon, sebelum
kembali ke Buenos Aires untuk menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1953 (Ruiz 2004:
177-8; Guevara 2005: 13; Guevara 2007: 109).

Segera setelah lulus, ia pindah ke Guatemala, mendukung perjuangan petani bangsa Maya
merebut ribuan hektar tanah mereka yang dikuasai United Fruit Company (UFCo), yang
3/11
berbasis di Boston, AS. Perjuangan reforma agraria yang didukung Presiden terpilih,
Jacobo Arbenz Guzman, membangkitkan amarah John Foster Dulles, pemegang saham
dan pengacara perkebunan pisang itu yang juga Menlu AS. Bersama saudara kandungnya,
Allen Dulles, Kepala CIA dan Presiden UFCo waktu itu, John Foster Dulles menyiapkan
dan membiayai pasukan bayaran yang menggulingkan Arbenz di bulan Juni 1954. Arbenz
digantikan oleh junta militer yang diketuai Carlos Castillo Armas, yang dilantik sebagai
”presiden” Guatemala tanggal 8 Juli 1954. Junta militer pro-AS itu bertahan hingga tahun
1990an, dengan korban 200 ribuan jiwa (Gonzalez 1974: 115; Wald 1978: 265; Swift &
DEC 1977: 64-7; Ruiz 2004: 178-9; Guevara 2005: 9; Sierra n.d.; The Social Medicine
Journal, Nov. 2004).

Che, yang di tahun 1953 bergabung dalam pemerintahan Arbenz, berhasil lolos ke Mexico,
berkat bantuan Kedubes Argentina. Sebelumnya, ia mempersunting Hilda Gadea Acosta,
seorang gadis Peru yang bekerja Albenz, dan memperoleh seorang anak perempuan,
Hildita (Guevara 2005: 9; Sierra n.d.).

Sambil bekerja di klinik alergi RS Nasional Mexico, Che berkenalan dengan Raul dan Fidel
Castro, yang sedang menyiapkan invasi kembali ke Kuba, untuk membebaskan negeri
mereka dari kediktatoran Batista. Meskipun mengidap asma kronis, Che diterima sebagai
dokter pasukan. Selama bergerilya di Sierra (Pegunungan) Maestra, Che melatih para
gerilyawan soal-soal persenjataan, jahit-menjahit, serta pembuatan sepatu, roti, dendeng,
rokok, dan cerutu. Tahun 1958, ia memimpin operasi perebutan Santa Klara, Kuba
Tengah, yang menentukan kemenangan terhadap pasukan diktator Batista. Melihat
kemampuannya yang serba bisa, Castro mula-mula mengangkat Che menjadi Gubernur
Bank Nasional, kemudian Menteri Perindustrian (Ruiz 2004: 180; Peterlinz 2004: 163-4;
Guevara 2005: 9; Sierra n.d.).

Selama bergerilya di Sierra Maestra, Che berkenalan dengan seorang gadis Kuba, Aleida
March de la Torre, yang dinikahinya di Havana tahun 1959, dan memperoleh empat orang
anak: Aleida Jr, Camilo, Celia dan Ernesto Jr. (Guevara 2005: 9; Chrisafis 2002).

Setelah enam tahun bekerjasama dengan Castro, perbedaan garis politik ekonomi kedua
mantan gerilyawan itu semakin melebar. Castro terlalu tunduk pada para penasehat
ekonomi Soviet, yang mendorong Kuba melakukan industrialisasi besar-besaran,
khususnya produksi gula untuk dibarter dengan minyak bumi Uni Soviet. Che, sebaliknya,
ingin membalikkan kiblat industrialisasi Kuba ke industri kecil dan menengah, untuk
meningkatkan jumlah barang konsumen bagi rakyat dan meningkatkan nilai mata uang
sehingga mencegah inflasi (Peterlinz 2004: 166-8; Ruiz 2004: 180; Newman 2006: 126).

Perbedaan pendapat soal model pembangunan Kuba itu mengerucut dalam perdebatan
terbuka antara ”sayap kiri” yang mendukung model RRT, dipelopori oleh Che Guevara, dan
”sayap kanan” yang mendukung model Soviet, terdorong oleh embargo AS. Castro sendiri
tidak mengambil sikap tegas dalam debat ini, yang akhirnya di tahun 1966 dimenangkan
oleh tesis guevarista, setelah Che sendiri meninggalkan Kuba (Gonzalez 1974: 181-2).

Selain pemikiran makro Che, yang baru disadari Castro setelah keruntuhan Uni Soviet
(Newman 2006: 127), Menteri Perindustrian yang juga seorang dokter itu sangat peka
terhadap kesehatan buruh pabrik. Sewaktu berkunjung ke sebuah pabrik sepatu, sebagai
4/11
sesama penderita asma, Che sangat berempati dengan buruh-buruh yang meminta
pemasangan kipas angin buat mengurangi debu yang mereka hirup tiap hari, sehingga
banyak yang menderita asma dan TBC (Peterlinz 2004: 165-6).

Makanya, Che minta diturunkan pangkatnya dari Menteri Perindustrian menjadi pemimpin
pabrik, tapi tidak disetujui. Ketika konflik dengan Castro memuncak tahun 1965, dia
menghilang secara misterius. Ternyata dia sudah kembali menyandang senjata dan
membantu gerakan pembebasan di Kongo, sambil membawa beberapa orang dokter Kuba
(Brouwer 2009).

Che kemudian ke Bolivia, di mana ia gugur di ujung peluru Sersan Mario Teran, pada
tanggal 9 Oktober 1967. Dua dasawarsa kemudian, tahun 1997, jasadnya digali kembali
dari bumi Bolivia, dan dikebumikan kembali di tanah air angkatnya, Kuba. Satu dasawarsa
lagi, 9 Oktober 2007, di hari ulangtahun ke 40 kematian Che, media Kuba memberitakan
kesuksesan operasi katarak terhadap Mario Teran, pembunuh Che, oleh seorang anggota
Brigade Medis Kuba (Peterlinz 2004: 167; BBC News, 2 Okt. 2007).

Namun sebelum meninggalkan Kuba, Che telah meletakkan dasar filosofis sistem
kesehatan sosialis Kuba dalam pidato, ”On Revolutionary Medicine” di Havana, 19 Agustus
1960 (lihat Introduksi makalah ini).

Berdasarkan semangat itulah pemerintah Kuba membangun sistem pelayanan kesehatan


negeri itu. Sebelum Revolusi, hanya ada seorang dokter untuk 1051 orang penduduk. Ratio
ini terus berkurang, ketika banyak dokter Kuba hijrah ke AS dan negara-negara kapitalis
lain.

Ketika Fakultas Kedokteran Universitas Havana dibuka kembali tahun 1959, hanya 23 dari
161 orang dosennya kembali untuk mengajar. Baru tahun 1975, rasio dokter per seribu
penduduk Kuba, sebelum Revolusi, bisa dicapai kembali. Sepuluh tahun kemudian, Kuba
menjalankan program Medicina General Integral (Kesehatan Umum Menyeluruh), di mana
tim seorang dokter dan seorang perawat melayani 120 sampai 150 keluarga di setiap
kelurahan. Tim kecil ini secara teratur mengunjungi semua keluarga, dengan memadu
pengobatan, pengumpulan statistik kesehatan setiap warga, pengobatan alternatif, dan
pendidikan kesehatan bagi semua warga. Kerja tim-tim kesehatan keluarga ini didukung
dengan pembangunan poliklinik, yang dilengkapi spesialis medis dan laboratorium dengan
berbagai peralatan pencitraan. Setiap poliklinik dibangun untuk melayani antara 20 sampai
40 ribu orang warga (Brouwer 2009).

Pelayanan kesehatan jasmani itu dibarengi pelayanan kesehatan mental setelah renovasi
Hospital Psiquiatrico de la Habana (HPH) di pinggiran Havana, ibukota Kuba. Ducunge,
pelopor pelayanan kesehatan mental itu, tadinya ahli pembiusan (anaesthecian), yang
bergerilya bersama Che di Sierra Maestra. Berkat perjuangan sahabat Che itu, Kuba kini
telah memiliki seribu orang psikiater, 200 orang di antaranya ahli psikiatri anak-anak.
Mereka memadukan terapi emosional dan sosial, dengan polarisasi pendapat soal terapi
electroconvulsive. Penyembuhan gangguan mental yang diderita para pasien dilakukan
dengan mendorong mereka menari ballet, menata rambut, berbahasa, berhitung, memijat
kaki, dan menciptakan kerajinan tangan, dengan melibatkan komunitas setempat
(Collinson & Turner 2002).

5/11
Selain kawan seperjuangan di medan gerilya, keturunan langsung Che turut membangun
potensi pelayanan medis Kuba. Aleida Guevara (48), putri sulung Che dari isteri keduanya,
Aleida March de la Torre, menjadi dokter anak dengan spesialisi alergi. Dua orang adiknya
menjadi pengacara, dan seorang menjadi dokter hewan dengan spesialisasi lumba-lumba
(Chrisafis 2002; Nakata 2008).

Selain bekerja di RS Anak-Anak William Soler di Havana, dokter Aledia Guevara pernah
menjadi anggota Brigade Kesehatan Kuba di Nikaragua dan Angola. Kini, setelah anak-
anak perempuannya sudah besar semua, Aleida Guevara Jr. sering melanglang buana,
memperjuangkan penghapusan embargo ekonomi AS dan pengembangan kesehatan
kaum miskin di seluruh dunia. Sekaligus, berjuang menentang komersialisasi foto ayahnya
di berbagai produk konsumen, yang bertentangan dengan filosofi sang dokter gerilyawan
(Chrisafis 2002; Jackson 2003; Nakata 2008; New Scientist, 9 Desember 2004).

”Ekspor” Dokter Kuba:

Berkat sistem pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan masyarakatnya yang


begitu maju, Kuba punya banyak dokter yang siap ”diekspor” ke mancanegara.
Pertengahan 2000an, dari 70 ribu dokter produk pendidikan Kuba, lebih dari 28 ribu orang
dokter Kuba tersebar di mancanegara, bersama tenaga medis lain (Anderson 2008;
Brouwer 2009; New Scientist, 24 Desember 2004).

Kehadiran dokter-dokter Kuba di mancanegara, yang dibiayai pemerintah Kuba (kecuali di


Afrika Selatan, Argentina dan Venezuela), selalu dibarengi pengiriman mahasiswa
kedokteran dari negara-negara itu ke fakultas-fakultas kedokteran di Kuba. Sebab
kebijakan pemerintah Kuba adalah bahwa setiap dokter Kuba yang bertugas di negara
tertentu, harus dapat digantikan oleh dokter-dokter muda dari negara itu, dalam jumlah dua
sampai tiga kali lipat (Anderson 2008; Brouwer 2009).

Kadang-kadang, sepulang dari pendidikan kedokteran Kuba yang rata-rata enam tahun,
dokter-dokter muda itu masih mendapat pendidikan pasca-sarjana dari dokter-dokter Kuba
yang masih bertugas di negeri asalnya. Ini dijalani oleh 347 orang dokter muda dari
Honduras (idem).

Dokter-dokter Honduras itu lulusan ELAM (Escuela Latinamericana de Medicina, atau


Sekolah Kedokteran Amerika Latin) di Havana, yang sejak 2005 telah meluluskan 1500
sampai 1800 dokter asing. Selain dari Honduras, para mahasiswa asing berjumlah 24 ribu
orang berasal dari Bolivia (5000), Timor Leste (698), Guatemala (448), Haiti (426), Ghana
(188), Namibia (143), Gambia (134), Belize (113), Mali (109), Botswana (93), AS (100),
Kepulauan Solomon (50), Kiribati (40), dan sejumlah negara lain. Mahasiswa AS disalurkan
oleh Pastors for Peace, organisasi Kristen untuk solidaritas terhadap rakyat Kuba
(Anderson 2008; Brouwer 2009; Buletin La’o Hamutuk, Agustus 2008: 6)

Kebanyakan mahasiswa asing mendapat beasiswa pemerintah Kuba, kecuali dari Afrika
Selatan dan Venezuela. Venezuela, negeri Amerika Latin yang dipimpin Hugo Chavez,
mantan tentara payung yang berjuang melepaskan negerinya dari penjajahan ekonomi AS,
memasok kebutuhan minyak Kuba dengan harga murah, sebagai imbalan atas
penempatan 30 ribu orang dokter dan tenaga medis Kuba. Mereka membangun program

6/11
Barrio Adentro guna memperbaiki kesehatan 18 juta orang miskin di negara kaya minyak,
yang kini membantu pendidikan kedokteran di Kuba (Soyomukti 2007: 124-8; Brouwer
2009).

Dari sini dapat kita lihat bahwa ”ekspor” tenaga medis Kuba bukan untuk menambah
devisa negara miskin itu, melainkan demi solidaritas kemanusiaan internasional,
membantu memperbaiki kesehatan rakyat miskin di berbagai negara, termasuk di
Indonesia dan di Republik Demokrasi Timor Leste (RDTL).

Segera sesudah gempa menghantam Bantul (DIY) dan Klaten (Jateng), 27 Mei tiga tahun
lalu, 65 orang dokter Kuba – separuhnya perempuan – datang melayani sampai seribu
orang pasien sehari. Mereka begitu populer di kalangan penduduk, sehingga tim medis
Kuba yang juga beranggotakan 70 orang perawat, laboran dan teknisi kesehatan diminta
memperpanjang masa pelayanan mereka selama enam bulan (Fawthrop 2006).

Itulah perkenalan pertama Indonesia dengan sistem dan kualitas pelayanan kesehatan
masyarakat Kuba, yang selain melibatkan dokter dan tenaga medis lain, juga dilengkapi
peralatan medis yang canggih. Kedua rumah sakit lapangan Brigade Medis Kuba
dilengkapi peralatan rontgen, laboratorium, dan ruang operasi, sehingga dokter-dokter
mereka dapat membedah tulang patah serta menangani gangguan kesehatan lain. Sampai
medio Agustus 2006 mereka telah melayani 47 ribu pasien, serta menyelenggarakan 900
pembedahan dan imunisasi anti-tetanus terhadap 2000 orang pasien (idem).

Kontribusi Brigade Medis Kuba buat membangun kesehatan rakyat Timor Leste jauh lebih
besar lagi, mengingat hancurnya sebagian prasarana fisik dan meninggalnya sebagian
penduduk negeri baru itu pasca referendum Agustus 1999. Sebagian besar dokter dan
paramedis Indonesia kabur dari pos mereka sesudah kerusuhan pasca referendum itu.

Kerjasama Kuba dan Timor Leste mulai dibicarakan oleh Presiden Fidel Castro dan
Presiden Xanana Gusmao dalam KTT Non-Blok di Kuala Lumpur, Februari 2003. Akhir
tahun itu sekelompok mahasiswa Timor Leste dikirim ke Kuba untuk kuliah kedokteran di
sana, dan sekelompok kecil dokter Kuba dikirim ke Timor Leste di bulan April 2004. Tahun
berikutnya, kunjungan tiga pejabat teras RDTL waktu itu — Menlu Jose Ramos Horta, PM
Mar’i Alkatiri, dan Menkes Rui Araujo — semakin memantapkan kerjasama kedua negara
kecil itu, yang berbuah seribu beasiswa bagi mahasiswa kedokteran dari RDTL dan
pengiriman 300 orang anggota Brigade Medis Kuba ke Timor Leste. Selama kurun waktu
2004 -2008, mereka telah melakukan 2,7 juta konsultasi, termasuk lebih dari sejuta
kunjungan rumah; membantu 17.352 kelahiran, termasuk 848 dengan bedah caesar;
melakukan 19.099 pembedahan, 193.942 test laboratorium dan 27.643 vaksinasi, serta
menyelamatkan 11.406 nyawa (Anderson 2008).

Berbeda dengan tenaga medis Indonesia di Timor Leste pasca referendum 1999, tidak
seorangpun tenaga medis Kuba meninggalkan Timor Leste selama krisis politik 2005-2006,
ketika perang saudara antara tentara, polisi, desertir bersenjata, serta kelompok milisi
begitu banyak menelan korban. Dokter-dokter dan perawat-perawat Kuba tetap bertugas di
Hospital Nasional Timor Leste di Dili, melayani para pengungsi di tenda-tenda mereka di

7/11
seputar kota Dili, sambil tetap melayanai kesehatan masyarakat desa di distrik-distrik.
Dedikasi mereka sangat dipuji oleh PM Jose Ramos-Horta serta Menlu Zacarias Albano da
Costa (Anderson 2008).

Ironisnya, justru kehadiran begitu banyak tenaga medis Kuba menjadi duri dalam daging
dalam hubungan antara Gereja Katolik dengan pemerintahan Fretilin di bawah pimpinan
PM Mar’i Alkatiri. Seorang tokoh Keuskupan Dili, Padre Domingos Soares, lewat
selebarannya memprovokasi aksi biarawan/wati menentang PM Alkatiri di tahun 2005,
dengan menuduh Alkatiri dan Fretilin mau menjadikan Timor-Leste ”negara komunis”
berjulukan ”Kuba Timur” (Aditjondro 2007: 94).

Kenyataannya, walaupun persaingan intra-elit RDTL memaksa PM Alkatiri mengundurkan


diri (2006), dan diganti oleh Jose Ramos-Horta, kehadiran Brigade Medis Kuba tidak
ditolak. Juga setelah pemilu kedua menghasilkan pertukaran posisi antara Ramos-Horta
sebagai Presiden serta Xanana Gusmao sebagai PM. Kehadiran Brigade Medis Kuba tetap
didukung oleh orang-orang Depkes RDTL, baik yang pro- maupun yang anti-Fretilin
(Anderson 2008).

Selama studi lapangan bersama tim CD Bethesda, Yogyakarta, dan Depkes RDTL di
sepuluh distrik RDTL, akhir September 2008, di mana penulis sempat berinteraksi dengan
anggota Brigade Medis Kuba di dua distrik (Oekusi dan Ermera), penulis mencatat tiga hal.
Pertama, ada kesenjangan antara Brigade Medis Kuba dan berbagai tarekat biarawati
Katolik yang juga sangat berperan dalam pelayanan kesehatan masyarakat Timor Leste.
Boleh jadi, di samping faktor bahasa (orang Kuba hanya dapat berbahasa Spanyol,
sedangkan para biarawati hanya dapat berbahasa Indonesia dan Tetun), ketidaksenangan
sebagian hirarki Gereja Katolik terhadap kehadiran orang-orang Kuba di negeri itu, seperti
disinggung di depan, ikut memainkan peranan.

Padahal, berbeda dari kecurigaan sebagian hirarki Gereja Katolik, tenaga medis Kuba tidak
tertarik berbicara tentang ideologi negara mereka. Selain berbicara tentang kesehatan,
mereka lebih tertarik memperkenalkan tari salsa, dan memperkenalkan lagu dan musik
Kuba, yang diwarnai pengaruh Spanyol dan Afrika (lihat Sarduy & Stubbs 1993).

Kedua, berbeda dengan sistem pelayanan kesehatan masyarakat di negara asalnya, yang
mengawinkan pendekatan Barat dengan pendekatan alternatif, Brigade Medis Kuba kurang
menggali berbagai sistem pengobatan alternatif di Kuba. Tampaknya, bahasa dan
kepadatan jadual kerja mereka merupakan dua faktor penghambat untuk mengawinkan
pendekatan Barat dengan berbagai pendekatan alternatif yang bersumber pada fauna,
flora, dan sistim budaya suku-suku bangsa di Timor Leste.

Soalnya, sebagian besar anggota Brigade Medis Kuba hanya mahir berbahasa Spanyol,
sehingga sukar menggali pengetahuan etno-medis di Timor Leste, baik yang menghambat
kesehatan masyarakat (misalnya berbagai pemali makanan bagi perempuan hamil dan
sedang menyusui, serta budaya patriarkis yang sangat kuat di kebanyakan suku), maupun
yang mendukung. Sementara itu, penduduk asli di kampung-kampung hanya dapat
berbahasa Indonesia, Tetun, dan bahasa suku mereka, dan dijauhkan dari bahasa Portugis
– yang dekat dengan bahasa Spanyol — selama masa penjajahan Indonesia.

Kurangnya usaha Brigade Medis Kuba menggali antropologi kesehatan Timor Leste sangat
8/11
disayangkan, sebab berbagai pengetahuan etno-medis Timor Leste sudah mulai
didokumentasi oleh peneliti-peneliti dari Australia, Kanada, dan Timor Leste, dibantu oleh
mantan gerilyawan FALANTIL, dimulai dari pengetahuan etno-medis Fataluku, suku yang
kurang mahir berbahasa Tetun maupun Indonesia.

Ketiga, medan dan jarak yang jauh dari kampung-kampung ke SISCa (Sistema Integrada
Saude do Communitaria ), yang setara dengan Posyandu di Indonesia membuat rakyat di
desa-desa pelosok sangat bergantung pada praktisi pengobatan alternatif (matandok,
mata-blolo, atau daya dalam bahasa setempat). Termasuk dalam membantu persalinan
ibu-ibu hamil. Padahal, para praktisi pengobatan alternatif ini jarang sekali mendapat
kesempatan memperdalam ilmu mereka bersama pada tenaga medis Kuba.

Kesimpulan:

Lalu, apa yang dapat dipelajari oleh Indonesia, dari studi kasus pola kesehatan masyarakat
Kuba ini?

Pertama, berbeda dari citra umum tentang ”Che” Guevara, sebagai pejuang bersenjata
yang teori perang gerilyanya sering diacu para aktivis kiri di samping teori perang gerilya
Mao Zedong, sesungguhnya kontribusi dokter Che dalam meletakkan dasar bagi sistem
pelayanan kesehatan Kuba perlu mendapatkan perhatian yang lebih mendalam.

Kedua, pengalaman Kuba ini menunjukkan bahwa ada sistem demokrasi lain yang lebih
memberikan perhatian pada hak-hak ekososbud para warga miskin, khususnya hak atas
kesehatan, ketimbang sistem demokrasi liberal.

Ketiga, penempatan dokter-dokter dan tenaga medis Kuba lainnya di mancanegara,


dibarengi dengan pembukaan fakultas-fakultas kedokteran Kuba bagi mahasiswa miskin
dari mancanegara, merupakan contoh bagaimana suatu negara miskin berkontribusi untuk
perdamaian dunia melalui perbaikan kesehatan masyarakat, terutama warga miskin.

Keempat, melalui pola yang khas ini, Kuba berhasil membuktikan keunggulan sistem
kesehatan sosialis ketimbang sistem kesehatan kapitalis, di tengah-tengah embargo
ekonomi AS serta berakhirnya bantuan Uni Soviet.

Kelima, dengan mengirimkan bantuan tenaga medis kepada para korban topan Kathrina di
AS, Kuba membuktikan kepada rakyat AS bahwa embargo ekonomi yang dipertahankan
sekian banyak presiden mereka, tidak berhasil mematahkan tekad suatu bangsa untuk
memilih garis politik dan ekonomi mereka.

Keenam, melalui ”barter” minyak dengan tenaga dokter Kuba serta pendidikan kedokteran
di Kuba, Venezuela juga membuktikan, bahwa rezeki migas dari negara anggota OPEC itu
dapat membantu perbaikan kesehatan rakyat miskin Venezuela maupun memperkuat
kemampuan Kuba mendidik calon-calon dokter dari berbagai negara miskin di dunia.
Minyak untuk kesehatan rakyat, kira-kira begitulah.

Yogyakarta, 23 Mei 2009.

George Junus Aditjondro

Kepustakaan:
9/11
Aditjondro, George Junus (2007). ”Challenging the Shrinking Democratic Space in East
Timor.” Dalam Joel Peredes, Marissa de Guzman & Eltheodon Rillorta (peny.). Breaking
through: Political Space for Advocacy in Southeast Asia. Manila: South East Asian
Committee for Advocacy (SEACA), hal. 83-106.

Anderson, Tim (2008). ”Solidarity Aid: The Cuba-Timor Leste Health Programme.” The
International Journal of Cuban Studies, No. 2, Desember.

Brouwer, Steve (2009). ”The Cuban Revolutionary Doctor: The Ultimate Weapon of
Solidarity.” Monthly Review, Januari.

Chrisafis, Angelique (2002). ”Che, my father.” The Guardian, 3 Mei.

Collinson, S.R. & T.H. Turner (2002). ”Not Just Salsa and Cigars: Mental Health Care in
Cuba.” Psychiatric Bulletin, No. 26, hal. 185-8.

Elliott, Florence (1969). A Dictionary of Politics. Penguin Books Ltd.

Fawthrop, Tom (2006). ”Cuba doctors popular in quake-stricken Java.” BBC News, 18
Agustus.

Giddens, Anthony (1993). Sociology. Cambridge, UK: Polity Press.

Gonzalez, Edward (1974). Cuba under Castro: The Limits of Charisma. Boston: Houghton
Mifflin Company.

Guevara, Che (2005). Catatan Harian Che Guevara: The Motorcycle Diaries: Perjalanan
Keliling Amerika Selatan. Depok: Banana Publisher.

————- (2007). Che Guevara, dari Sierra Maestra menuju Havana: Kisah 82 Gerilyawan
yang Berhasil Menumbangkan Pemerintah Kuba. Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Held, David (1989). Political Theory and the Modern State: Essays on State, Power and
Democracy. Cambridge, UK: Polity Press.

Hughes, Colin (2007). ”Cuba’s Superior Health System.” Green Left Weekly, 8 Juni.

Jackson, Andra (2003). ”Guevara’s Daughter has a Cause, in the Image of her Father.”
The Age, Melbourne, 28 Juni.

Nakata, Hiroko (2008). ”Che’s Daughter Speaks Out.” Japan Times, 31 Mei.

Newman, Michael (2006). Sosialisme Abad 21: Jalan Alternatif Atas Neoliberalisme.
Yogyakarta: Resist Book.

Peterlinz, Brian (2004). ”Ada Apa Dengan Che?”. Dalam Peter McLaren dkk. Che Guevara,
Paulo Freire dan Politik Harapan: Tinjauan Kritis Pendidikan. Surabaya: Diglossia Media,
hal. 161-74.

Ruiz, Richard M. (2004). ”Che, Sang Revolusioner”. Dalam McLaren dkk, op. cit., hal. 175-
82.

10/11
Sardeuy, Pedro Perez & Jean Stubbs (peny.). Afro-Cuba: An Anthology of Cuban Writings
on Race, Politics and Culture. London & New York: Latin America Bureau (LAB) & Center
for Cuban Studies.

Serviat, Pedro (1993). ”Solutions to the Black Problem”. Dalam Sardeuy & Stubbs, op. cit.,
hal. 77-90.

Sierra, Jerry A. (n.d.). ’Ernesto Che Guevara.’ www.historyofcuba.com/history/chebio.htm,


diakses tgl. 21/5/2009.

Soyomukti, Nurani (2007). Revolusi Bolivarian Hugo Chavez dan Politik Radikal.
Yogyakarta: Resist Book.

Swift, Jamie & The Development Education Centre (1977). The Big Nickel: Inco at home
and abroad. Kitchener, Ontario: Between the Lines.

Wald, Karen (1978). Children of Che: Childcare and Education in Cuba. Palo Alto, CA:
Ramparts Press.

Wilczynski, J. (1981). An Encyclopedic Dictionary of Marxism, Socialism and Communism.


London: The MacMillan Press Ltd.

11/11

You might also like