You are on page 1of 14

DAMPAK CUACA ANTARIKSA PADA

VARIABILITAS IKLIM DI INDONESIA


Wilson Slnambela, lyus E. RusnadI dan Nana Suryana
Penelld Bldang Mataharl dan Antarllcsa, LAPAN
Email: wIlson@ bdg.lapan.go.ld

ABSTRACT

Since a long time ago the Sun as the main source of energy of the
Earth is considered to give influence the Earth's climate. It is seen from the
analysis of solar activity influence on surface air temperature in various
cities in Indonesian area using available data. The result Weighted Wavelet
Z-transform (WWZ) analysis of surface air temperature which shows similarity
between periodicity of t h a t of solar activity, especially about 11 years, is t h e
first indications of t h e influence of space weather to t h e Indonesian climate
variability. Additionally, from statistical analyzes by using 11 years-running
moving averages, it is seen t h a t t h e pattern of surface air temperature
changes follows t h e pattern of solar activity variability, although they are
sometimes out of p h a s e a n d move ahead in about 5-15 years. Furthermore,
although time series d a t a of surface air temperature is limited, the result
shows a good correlation between the changes of surface air temperature and
solar cycle length/SCL with an applied smoothing with the coefficients 1-2-2-2-1
(from now on we call SCL 12221). We therefore find t h a t this agreement
supports (although it does not prove) the suggestion of a direct solar activity
influence on surface air temperature in Indonesia.

ABSTRAK

Matahari sebagai s u m b e r energi bagi Bumi sejak lama dianggap


sangat mempengaruhi iklim Bumi. Hal ini dapat terlihat setelah dilakukan
analisis p e n g a r u h aktivitas m a t a h a r i p a d a s u h u u d a r a perrnukaan d i
beberapa kota di wilayah Indonesia dengan menggunakan d a t a y a n g tersedia.
Hasil analisis spektral Weighted Wavelet Z-transform (WWZ) deret waktu s u h u
udara perrnukaan menunjukkan k e s a m a a n periodisitas dengan periodisitas
aktivitas matahari, t e r u t a m a periode 11 tahun, m e r u p a k a n indikasi pertama
dampak aktivitas matahari p a d a variabilitas iklim Indonesia. Demikian juga,
dari analisis h u b u n g a n statistik menggunakan rata-rata bergerak 11 t a h u n
terlihat b a h w a pola variasi s u h u u d a r a perrnukaan di Indonesia cenderung
mengikuti pola variasi aktivitas matahari j a n g k a panjang, w a l a u p u n variasi
suhu u d a r a a d a yang sefase d a n a d a yang mendahului variasi bilangan
sunpot berkisar 5-15 t a h u n . Selanjutnya, meskipun dengan menggunakan
data deret w a k t u s u h u u d a r a perrnukaan yang terbatas, hasil analisis
menunjukkan korelasi yang baik antara p e r u b a h a n s u h u u d a r a perrnukaan

131
di Indonesia dengan panjang siklus matahari menggunakan filter pemulus
yang memiliki koefisien-koefisien 1-2-2-2-1 (selanjutnya disebut SCL 12221).
Hal ini m e n d u k u n g dugaan (walaupun itu tidak membuktikan) bahwa
aktivitas m a t a h a r i berpengaruh langsung t e r h a d a p p e r u b a h a n iklim j a n g k a
panjang di Indonesia.
Kata kunci: Cuaca antariksa (Space weather), Sunspot, Panjang siklus matahari,
Variabilitas Iklim, QBO, dan ENSO

1 PENDAHULUAN
Matahari adalah sumber energi u t a m a bagi Bumi d a n sebagai
penggerak c u a c a antariksa [space weather). Matahari juga adalah sumber
energi yang menyebabkan gerakan atmosfer d a n dengan cara demikian
mengendalikan c u a c a dan iklim Bumi. Oleh k a r e n a itu, setiap a d a perubahan
energi matahari yang diterima di permukaan Bumi akan b e r d a m p a k terhadap
variabilitas iklim. Selama Bumi dalam kondisi kesetimbangan termal, m a k a
energi radiasi yang diterima dari matahari h a r u s seimbang dengan energi
radiasi yang kembali ke angkasa (energi yang hilang). Energi yang
diradiasikan kembali ke angkasa ini dalam b e n t u k radiasi gelombang
panjang [Long Wave Radiation/UWR) yang nilainya bersesuaian dengan s u h u
rata-rata Bumi. Keluaran energi matahari diketahui b e r u b a h mengikuti
variasi siklus aktivitas matahari 11 t a h u n d a n variasi dengan pcriode yang
lebih panjang (Frohlich dan Lean, 1998)
Sebagaimana iklim di Bumi yang bervariasi dan b a h k a n berubah,
kondisi di r u a n g a n g k a s a j u g a sangat variabel. Salah satu faktor u t a m a yang
mempengaruhi disebut "cuaca antariksa' adalah tingkat aktivitas matahari.
Meskipun tingkat aktivitas m a t a h a r i b e r u b a h secara t e r u s m e n e r u s , satu
pola tertentu adalah variasi periodik tertentu, dengan siklus yang paling
tampak adalah siklus sekitar 11 t a h u n . Siklus-siklus matahari lainnya
dirangkum oleh Perry (1994) yang meliputi periode 0,64; 1,14; 2,74; 5,49; 11;
22; 47; 8 8 ; d a n 179 tahun. Siklus-siklus itu tampak p a d a parameter aktivitas
matahari, seperti bilangan sunspot, fluks radio matahari 10,7 cm, flare,
polaritas sunspot, k e m u n c u l a n daerah aktif dan neutrino.
Cuaca antariksa sangat bergantung kepada interaksi yang kompleks
antara Matahari d a n Bumi. Keluaran energi matahari memiliki d u a bentuk
utama, yakni radiasi elektromagnetik dan p a n c a r a n partikel-partikel
bermuatan energi tinggi. Pada matahari aktif kedua-duanya b e n t u k keluaran
energi matahari ini bertambah, sebaliknya p a d a matahari tidak aktif (reraltil)
energinya berkurang. Iklim Bumi adalah keadaan c u a c a rata-rata jangka
panjang dan pentingnya peran matahari terhadap kehidupan di Bumi
membuat banyak peneliti melakukan berbagai penelitian tentang pengaruh
aktivitas matahari t e r h a d a p iklim. Indonesia yang terletak di daerah maritim
ekuator Bumi diduga m e r u p a k a n sumber konveksi bagi atmosfer global,
bercurah hujan tinggi, merupakan kunci dalam sistem osilasi selatan
132
menentukan k u a t n y a fenomena ENSO (El Nino-Sourthen Oscitation) (Trcnberth
dan Hoar, 1996), yang berpengaruh t e r h a d a p iklim menjadi d a s a r dalam
penelitian ini.
Sejumlah studi telah memperlihatkan besarnya pengaruh variabilitas
matahari t e r h a d a p sejumlah parameter atmosfer Bumi. Beberapa gejala,
parameter dan variabel di p e r m u k a a n Bumi (baik dalam s k a l a global,
regional, m a u p u n lokal) yang telah diidentifikasi menunjukkan respons yang
signifikan t e r h a d a p variasi keluaran energi matahari, a n t a r a lain s u h u
permukaan laut (SST), s u h u permukaan daratan, curah hujan dan ketinggian
isobar tertentu. Studi yang dilakukan oleh Labitzke d a n Van Loon (1997)
yang m e n d a p a t k a n korelasi statistik yang meyakinkan a n t a r a periode
aktivitas matahari 11 t a h u n dengan parameter stratosfer bawah dan
troposfer atas. Periode 10-12 t a h u n p a d a ketinggian d a n s u h u pada lapisan
isobar tertentu m e n u n j u k k a n fase yang sama dengan siklus m a t a h a r i selama
tiga siklus matahari terakhir. Friis-Christensen dan Lassen (1991) menunjukkan
korelasi yang kuat a n t a r a panjang siklus aktivitas m a t a h a r i dengan s u h u
permukaan u d a r a dalam selang 130 t a h u n terakhir, semakin diperkuat oleh
Baliunas d a n Soon (1995) u n t u k selang waktu yang lebih panjang lagi yakni
sekitar 2 4 0 t a h u n . Reid (1987) mencatat suatu k e s e r u p a a n deret waktu
global s u h u m u k a I a u t (SST) dengan d a t a j a n g k a panjang aktivitas matahari,
yang direpresentasikan oleh rata-rata bergerak 11 t a h u n sunspot Yang patut
diperhatikan minimum yang kuat terjadi pada permulaan dekade dari abad 20,
kenaikan yang tajam ke suatu minimum terjadi pada 1950-an, dan turun
selama 1960-an dilanjutkan dengan kenaikan terakhir. Variabilitas dekadal
dan interdekadal s u h u rata-rata global yang teramati a n t a r a t a h u n 1860
dan 1990 m e r u p a k a n petunjuk nyata d a n k u a t bahwa, selain forcing
perubahan konsentrasi gas-gas r u m a h kaca, terdapat forcing lain {forcing
kosmogenik, t e r u t a m a forcing matahari) yang juga berkontribusi secara
signifikan terhadap suhu permukaan Bumi (Lacis dan Carlson, 1992; Reid, 1987).
Kenaikan tajam suhu rata-rata pada tahun 1920-an dan penurunannya
kemudian dalam selang 1940-1970 sama sekali tidak konsisten dengan
skenario kenaikan monoton konsentrasi gas r u m a h k a c a dalam selang waktu
yang s a m a . Djamaluddin (2001) menyatakan bahwa pola variasi temporal d a n
spasial parameter iklim mengindikasikan adanya pengaruh aktivitas matahari,
baik lokal m a u p u n regional, b a h k a n global dengan waktu t u n d a d a n tanpa
waktu tunda, w a l a u p u n sampai sekarang belum a d a mekanisme yang
menjelaskan h u b u n g a n matahari-iklim.

Oleh k a r e n a itu dalam makalah ini akan dilaporkan penelitian


dampak c u a c a antariksa p a d a variabilitas iklim Indonesia berdasarkan kajian
dan analisis data deret waktu s u h u u d a r a p e r m u k a a n di Indonesia.
Tujuannya adalah u n t u k mengetahui d a m p a k aktivitas matahari pada
variabilitas iklim di Indonesia. J i k a ketergantungan iklim t e r h a d a p aktivitas
matahari diketahui, diharapkan prediksi iklim j a n g k a panjang dapat

133
dilakukan lebih teliti dan dapat memberikan informasi tentang kecenderungan
iklim j a n g k a panjang di Indonesia, sehingga dapat digunakan u n t u k
mengurangi dampaknya.

2 DATA DAN METODE


2.1 Data
Perangkat basis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
basis data parameter c u a c a antariksa, yaitu bilangan sunspot relatif dari
1879-1990 yang b e r s u m b e r dari kompilasi Royal Observatory of Belgium dan
Sunspot Index Data Center {SIDQ [http://www. astro.oma.be/SIDC), dan basis
data variasi panjang siklus matahari (Glessberg, 1944). Basis data parameter
iklim adalah s u h u u d a r a permukaan bulanan di beberapa tempat di atas
Indonesia yang diperoleh dari "The Global Historical Climatology Network: Long-
Term Monthly Temperature, Precipitation, Sea Level Pressure and Station Pressure
Data', ORNL/CDIAC-53, NDP-041. (Vose et. al., 1992),

2.2 Metode
Pada t a h a p awal dikembangkan basis data a c u a n u n t u k kescluruhan
t a h a p a n program penelitian, yaitu (1) basis data sunspot d a n panjang siklus
matahari, d a n (2) basis data s u h u u d a r a p e r m u k a a n di Indonesia. Pada saat
b e r s a m a a n juga akan dilakukan pemilihan d a t a s u h u u d a r a p e r m u k a a n
berdasarkan wilayah, pola c u r a h hujan d a n ketersediaan data di atas
Indonesia. B e r d a s a r k a n pola c u r a h hujan dipilih d a t a d e r e t waktu s u h u
udara p e r m u k a a n b u l a n a n di J a k a r t a , Medan, B a n d u n g mewakili wilayah
Indonesia bagian Barat d a n pola c u r a h hujan jcnis m o n s u n , Padang dan
Pontianak mewakili data pola c u r a h hujan jenis ekuator d a n Pontianak
mewakili Indonesia tengah dan Ambon mewakili Indonesia bagian Timur dan
pola curah hujan jenis lokal. Kemungkinan d a m p a k variabilitas matahari
terhadap parameter iklim di Indonesia dianalisis dengan membandingkan
deret waktu s u h u u d a r a permukaan di tempat-tempat yang telah ditetapkan
dengan bilangan sunspot. Dalam penelitian ini analisis dengan teknik
spektrum wavelet dan analisis statistik rata-rata bergerak 11 t a h u n , dan
dengan membandingkan perubahan s u h u u d a r a p e r m u k a a n dengan variasi
panjang siklus matahari menggunakan suatu filter p e m u l u s yang disebut
SCL12221.

Pada t a h a p pertama penelitian ini dilakukan analisis spektral dengan


Weighted Wavelet Z-Transform (WWZ) (Foster, 1996) deret waktu s u h u u d a r a
permukaan di tempat-tempat yang telah ditetapkan dan membandingkannya
dengan periode siklus aktivitas matahari, terutama periode sekitar 11 tahun.
Pada t a h a p k e d u a , dilakukan analisis statistik s u h u u d a r a dengan rata-rata
bergerak 11 t a h u n dan membandingkannya dengan bilangan sunspot Tahap

134
selanjutnya dilakukan analisis h u b u n g a n variasi s u h u u d a r a p e r m u k a a n
dengan variasi panjang siklus m a t a h a r i SCL12221.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Analisis Spektral Wavelet
Hasil-hasil analisis spektral WWZ deret w a k t u s u h u u d a r a p e r m u k a a n
bulanan di J a k a r t a , Padang, Medan, Bandung, Pontianak, d a n Ambon dalam
selang waktu tertentu ditunjukkan pada Gambar 3-1 sampai dengan Gambar 3-3.
Dari analisis WWZ deret w a k t u s u h u u d a r a p e r m u k a a n , seperti G a m b a r 3-1
sampai dengan 3-3 m e n u n j u k k a n a d a n y a sejumlah sinyal dominan yang
beragam. Seperti diketahui, Indonesia yang terletak di daerah ekuator menerima
energi matahari lebih banyak dibandingkan dengan negara-negara yang
terletak p a d a lintang lebih tinggi. Kondisi n e g a r a Indonesia yang terdiri dari
lautan d a n d a r a t a n d a n m e m p u n y a i pola jenis hujan, s e r t a perbedaan
panjang-pendeknya data yang tersedia, kemungkinan besar yang menyebabkan
sejumlah periodisitas dominan yang m e m p e n g a r u h i p a r a m e t e r s u h u u d a r a
permukaan di Indonesia. Periode sekitar 0,5-1 t a h u n (kuat) berkaitan dengan
efek m u s i m a n / t a h u n a n disebabkan oleh k a r e n a Bumi mengelilingi m a t a h a r i
selama satu t a h u n .

(a) (b)
ambar 3 - 1 : a) Hasil analisis WWZ deret w a k t u s u h u u d a r a p e r m u k a a n di
J a k a r t a d a l a m selang w a k t u 1866-1987. b) S a m a seperti
G a m b a r 3-la) s u h u u d a r a di P a d a n g dalam selang waktu 1913-
1989 y a n g m e n u n j u k k a n a d a n y a sejumlah sinyal dominan p a d a
periode-periode ~ 0,5-1 t a h u n y a n g diduga terkait dengan efek
m u s i m a n / t a h u n a n (kuat), ~ 2,17- 2,78 t a h u n dengan efek QBO
(lemah), -2,96-4,55 tahun dengan efek ENSO, dan ~ 7,14-10 t a h u n
diduga terkait dengan siklus aktivitas m a t a h a r i 11 t a h u n
(sedang)

135
(a) (b)
Gambar 3-2: a) Hasil analisis WWZ deret waktu suhu udara permukaan di
Medan dalam selang waktu 1931-1987. b) sama seperti Gambar
3-2a) suhu udara di Bandung selang waktu 1912-1989 yang
menunjukkan adanya sejumlah sinyal dominan pada periode
~ 0,5-1 tahun di Bandung yang diduga terkait dengan efek
musiman/tahunan, -2,5 tahun di Bandung diduga terkait
dengan efek QBO (sedang), ~ 4,9 tahun terkait dengan efek ENSO
(sedang), dan ~ 6,25 ; 13,24; 37,75 dan 100 tahun terkait dengan
siklus-siklus aktivitas matahari. Sementara periode ~ 20 tahun
(lemah) suhu udara di Medan diduga terkait dengan efek
pasang surut bulan

Gambar 3-3: a) Hasil analisis WWZ deret waktu suhu udara permukaan di
Pontianak dalam selang waktu 1912-1988. b) sama seperti
Gambar 3-3 a) suhu udara di Ambon dalam selang waktu 1947-
1988 yang menunjukkan sejumlah sinyal dominan pada
periode-periode; ~ 1 tahun yang diduga terkait dengan efek
musiman/tahunan, ~ 2,72 tahun di Ambon erkait dengan efek
QBO (lemah), ~ 4 dan 4,35 tahun dengan efek ENSO (sedang),
~10;11,11; 12,5; dan 25 tahun (sedang) terkait dengan efek
siklus-siklus aktivitas matahari (lemah), dan 20 tahun terkait
dengan efek pasang surut bulan

136
Periode sekitar 1,52-2,85 t a h u n diduga berkaitan d e n g a n cfek Quasi
Biannual Oscillation (Q&Q, dan periode sekitar 3 - 5 t a h u n diduga berkaitan
dengan efek El Nino Sourthem Oscillation/ENSO (lemah-sedangj. Sementara
periode-periode t e r u t a m a sekitar 6,25-13,24 t a h u n diduga berkaitan dengan
siKlus matahari 11 tahun (lemah-sedang), dan 25-37,5 t a h u n diduga berkaitan
dengan siklus-siklus aktivitas matahari j a n g k a panjang lainnya, dan periode
sekitar 20 t a h u n di Medan dan Pontianak diduga berkaitan dengan efek
pasang s u r u t bulan p a d a liputan awan yang berdampak p a d a s u h u u d a r a
pcrmukaan (Djamaluddin, 1998). J a d i hasil analisis WWZ deret waktu s u h u
udara p e r m u k a a n di Indonesia yang m e n a m p a k k a n periode-periode yang
bervariasi terhadap waktu terutama periode sekitar 11 t a h u n yang juga
tampak p a d a deret waktu bilangan sunspot menunjukkan indikasi adanya
pengaruh aktivitas m a t a h a r i j a n g k a panjang p a d a variabilitas iklim di
Indonesia.

3.2 Analisis Hubungan Empirik


Analisis d a m p a k variabilitas aktivitas m a t a h a r i 11 t a h u n a n p a d a s u h u
udara permukaan dilakukan dengan membandingkan bilangan sunspot setelah
terlebih d a h u l u dilakukan p e m u l u s a n dengan metoda teknik rata-rata
bergerak 11 t a h u n (11 years Running Moving Average. Suhu u d a r a permukaan
rata-rata t a h u n a n dinyatakan scbagai simpangan (anomali) t e r h a d a p periode
acuan 1959-1970. Selanjutnya dilakukan analisis h u b u n g a n a n t a r a s u h u
udara p e r m u k a a n dan variasi dengan panjang siklus matahari. Karena
panjang siklus m a t a h a r i tidak tetap 11 tahun, tetapi bervariasi terhadap
aktivitas m a t a h a r i . Untuk m e m u l u s k a n panjang siklus m a t a h a r i digunakan
low-pass filter dengan SCL12221, Filter ini dipilih k a r e n a p a d a u m u m n y a
sering digunakan u n t u k m e n e n t u k a n kecenderungan aktivitas matahari
jangka panjang yang dikaitkan dengan d a m p a k n y a p a d a parameter geofisika.
Hasil analisis statistik h u b u n g a n a n t a r a variasi s u h u u d a r a permukaan
dengan variasi bilangan sunspot dan dengan panjang siklus matahari
SCL12221 dalam selang waktu tertentu di setiap kota disajikan dalam
bentuk grafik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3-4 sampai dengan
Gambar 3-9 masing-masing u n t u k kota J a k a r t a dalam selang waktu (1866-
1989), Padang dalam selang waktu (1913-1989), Medan dalam selang waktu
(1931-1987), B a n d u n g dalam selang waktu (1912-1989), Pontianak dalam
selang waktu (1912-1988), d a n Ambon dalam selang waktu (1947-1988).
Tampak dalam G a m b a r 3-4a sampai dengan G a m b a r 3-9a, s u h u u d a r a
permukaan di J a k a r t a , Padang, Medan, Bandung, Pontianak, d a n Ambon
cenderung mengikuti pola variasi aktivitas matahari j a n g k a panjang.

137
Gambar 3-4: a) Rata-rata bergerak 11 tahun dari rata-rata tahunan suhu
udara permukaan di Jakarta dalam selang waktu 1866-1989
relatif terhadap suhu rata-rata 1959-1970 dan rata-rata
bergerak 11 tahun bilangan sunspot. b) Rata-rata bergerak 11
tahun dari rata-rata tahunan anomali suhu udara permukaan
di Jakarta dan panjang siklus matahari SCL12221 dalam
selang 1866-1987. Tampak jelas dalam Gambar 3-4a mengikuti
kenaikan pola sunspot, dan suhu udara di Jakarta cenderung
mengikuti pola bilangan sunspot, tetapi mendahului sekitar 10
tahun. Suhu udara permukaan di Jakarta berkorelasi baik
dengan panjang siklus matahari (Gambar 3-4b). Dalam selang
waktu tersebut suhu di Jakarta sudah bertambah sekitar
1,50°C

(a) W
Gambar 3-5 : Sama seperti Gambar 3-4, a) Rata-rata bergerak 11 tahun dari
rata-rata tahunan anomali suhu udara permukaan di Padang
dan bilangan sunspot. b) Rata-rata bergerak 11 tahun suhu
udara permukaan di Padang dan Panjang siklus SCL12221
dalam selang 1913-1989. Tampak dalam Gambar 3-5a suhu
udara di Padang cenderung mengikuti pola bilangan sunspot
(walaupun banyak data terpotong yang menyebabkan analisis
kurang baik), tetapi mendahului sekitar 15 tahun, Suhu udara
permukaan di Padang berkorelasi baik dengan panjang siklus
matahari (Gambar 3-5b). Dalam selang waktu tersebut suhu di
Padang sudah bertambah sekitar 1,45 C
(a) (b)
Gambar 3-6: S a m a seperti G a m b a r 3-4, a) Rata-rata bergerak 11 t a h u n dari
r a t a - r a t a t a h u n a n anomali s u h u u d a r a p e r m u k a a n d i Medan
d a n bilangan sunspot. b) Rata-rata bergerak 11 t a h u n s u h u
u d a r a p e r m u k a a n d i Medan d a n Panjang siklus m a t a h a r i
SCL12221 dalam selang 1931-1987. Tampak dalam Gambar 3-6a,
s u h u u d a r a di Medan c e n d e r u n g mengikuti pola bilangan
sunspot, tetapi m e n d a h u l u i sekitar 15 t a h u n . S u h u u d a r a
p e r m u k a a n di Medan berkorelasi baik d e n g a n panjang siklus
m a t a h a r i (Gambar 3-6b). Dalam k u r u n waktu t e r s e b u t s u h u
u d a r a di Medan s u d a h b e r t a m b a h sekitar 0,95°C

(a) (b)
Gambar 3-7: S a m a seperti G a m b a r 3-4, a) Rata-rata bergerak 11 t a h u n dari
r a t a - r a t a t a h u n a n anomali s u h u u d a r a p e r m u k a a n d i B a n d u n g
d a n bilangan sunspot b) Rata-rata bergerak 11 t a h u n s u h u
u d a r a p e r m u k a a n d i B a n d u n g d a n Panjang siklus m a t a h a r i
SCL12221 dalam selang 1912-1989. Tampak dalam Gambar 3-7a,
s u h u u d a r a di B a n d u n g c e n d e r u n g mengikuti pola bilangan
sunspot, tetapi m e n d a h u l u i sekitar 10 t a h u n , d a n berkorelasi
baik d e n g a n panjang siklus m a t a h a r i (Gambar 3-7b). Dalam
selang waktu t e r s e b u t s u h u d i B a n d u n g s u d a h b e r t a m b a h
sekitar 0,45°C

139
Gambar 3-8 : Sama seperti Gambar 3-4, a) Kata-rata bergerak 11 tanun dan
rata-rata tahunan anotnali suhu udara permukaan di Pontianak
dan bilangan sunspot b) Rata-rata bergerak 11 tahun suhu
udara permukaan di Pontianak dan Panjang siklus matahari-
filter 12221 dari 1912-1988. Tampak dalam Gambar 3-8a suhu
udara di Pontianak cenderung mengikuti pola bilangan sunspot
(walaupun banyak data terpotong yang menyebabkan analisis
kurang baik), tetapi mendahului bilangan sunspot sekitar 15
tahun. Suhu udara permukaan di Pontianak berkorelasi baik
dengan panjang siklus matahari (Gambar 3-8b). Dalam kurun
waktu tersebut suhu di Pontianak sudah bertambah sekitar
1,30°C

1950 1955 1960 1965 1970 1975 1980 1985


1950 1955 1960 1965 1970 1975 1980 1985
Tahun
Tahun

(a) (b)
Gambar 3-9: S a m a seperti G a m b a r 3- 4, a) Rata-rata bergerak 11 t a h u n dari
rata-rata t a h u n a n anomali s u h u u d a r a p e r m u k a a n d i Ambon
d a n bilangan sunspot b) Rata-rata bergerak 11 t a h u n anomali
s u h u di Ambon d a n Panjang siklus matahari SCL12221 dalam
selang w a k t u 1947-1988. Tampak dalam G a m b a r 3-9a) s u h u
u d a r a di Ambon c e n d e r u n g mengikuti pola bilangan sunspot,
tetapi m e n d a h u l u i sekitar 5 t a h u n . S u h u u d a r a p e r m u k a a n di
Ambon berkorelasi baik d e n g a n panjang siklus m a t a h a r i
(Gambar 3-9b). Dalam k u r u n w a k t u t e r s e b u t s u h u di Ambon
s u d a h b e r t a m b a h sekitar 0.85°C
Pola variasi s u h u u d a r a permukaan di Jakarta (Gambar 3-4a| cenderung
mengikuti pola kenaikan variasi bilangan sunspot j a n g k a panjang 11 tahun,
tetapi hubungannya sulit dinterpreselasikan bila dikorelasikan secara langsung.
Dcmikian j u g a p e r u b a h a n s u h u u d a r a di Padang (Gambar 3-5a), di Medan
(Gambar 6-6a), di Bandung (Gambar 3-7a), di Pontianak (Gambar 3-8a) d a n
di Ambon (Gambar 3-9a), w a l a u p u n dengan d a t a banyak kosong dan relatif
pendek dibandingkan dengan deret waktu data di Jakarta, namun menunjukkan
kecenderungan pola yang mirip dengan pola variasi bilangan sunspot jangka
panjang, tetapi s u h u u d a r a di tempat-tempat tersebut m e n d a h u l u i variasi
bilangan sunspot sekitar 5-15 t a h u n , kecuali s u h u u d a r a di Ambon yang
hampir seirama dengan variasi bilangan sunspot (Gambar 3-9a) dengan
waktu t u n d a sekitar 5 t a h u n .
Selanjutnya, dari hasil analisis a n t a r a variasi s u h u u d a r a p e r m u k a a n
di Indonesia d a n panjang siklus matahari SCL12221 m e n u n j u k k a n korelasi
yang baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis yang diperoleh dalam
Gambar 3-4b sampai dengan Gambar 3-9b bahwa dengan menggunakan
panjang siklus matahari dibandingkan dengan bilangan sunspot rata-rata 11
tahun sebagai parameter aktivitas matahari, waktu t u n d a kecenderungan
ativitas m a t a h a r i yang tampak relatif terhadap kecenderungan s u h u u d a r a
permukaan menjadi hilang. Sebagai contoh, perubahan suhu udara di Jakarta
(deret waktu d a t a yang relatif panjang) memiliki korelasi yang sangat baik
dengan panjang siklus matahari seperti yang ditunjukkan p a d a Gambar 3-4b.
Dari Gambar tersebut terlihat korelasi yang erat a n t a r a kedua parameter
yang dibandingkan, k h u s u s n y a kecenderungan pola yang menaik dari t a h u n
1900 ke t a h u n 1940, serta sejak t a h u n 1970, serta p e n u r u n a n dari 1945 ke
1970. Sama dengan analisis suhu u d a r a di Jakarta, perubahan s u h u u d a r a
permukaan di Padang (Gambar 3-5b), di Medan (Gambar 3-6b), di Bandung
(Gambar 3-7b), di Pontianak (Gambar 3-8b) d a n di Ambon (Gambar 3-9b)
menunjukkan korelasi yang baik, jika dikaitkan dengan panjang siklus
matahari SCL12221, walaupun dengan data yang banyak kosong dan dengan
deret waktu s u h u u d a r a yang iebih pendek dari p a d a di J a k a r t a , tetapi
menunjukkan korelasi yang baik. Untuk data keseluruhan ini, dari hubungan
yang diperoleh, a k a n memberikan suatu Jit yang lebih baik terhadap data s u h u
udara permukaan dibandingkan dengan menghubungkan dengan pemulusan
bilangan sunspot rata-rata 11 tahun. Sehingga diperoleh korelasi yang baik
antara s u h u u d a r a permukaan dan panjang siklus matahari yang mendukung
(meskipun tidak terbukti). Aktivitas matahari langsung diduga mempengaruhi
suhu u d a r a regional m a u p u n global. Dalam selang waktu deret waktu yang
dianalisis, s u h u u d a r a p e r m u k a a n di J a k a r t a telah bertambah sekitar 1,5°C,
di Padang b e r t a m b a h sekitar 1,45°C, di Medan bertambah sekitar 0,95°C, di
Bandung bertambah sekitar 0,45°C, di Pontianak bertambah sekitar 1,30°C,
dan di Ambon s u d a h bertambah sekitar 0,85°C.

141
Kenaikan tajam perubahan s u h u u d a r a p e r m u k a a n seperti yang
ditunjukkan p a d a Gambar 3-4b sampai dengan Gambar 3-9b setelah t a h u n
1970 dibandingkan dengan variasi panjang siklus m a t a h a r i yang naik secara
gradual, secara kuantitatif menunjukkan bahwa p e r u b a h a n s u h u u d a r a
permukaan di Indonesia, tampaknya tidak hanya disebabkan oleh pengaruh
aktivitas matahari, tetapi kemungkinan besar disebabkan oleh penjumlahan
pengaruh aktivitas matahari dan antropogenik (gas-gas r u m a h kaca,
terutama CO2) yang berasal dari aktivitas manusia. Sejak 1970-an industri
di Indonesia s u d a h mulai berkembang d a n menghasilkan gas r u m a h kaca ke
atmosfer lebih banyak dibandingkan dengan periode waktu sebelum t a h u n
1970-an. Gas-gas r u m a h kaca yang bertambah ini cenderung menaikkan
s u h u u d a r a p e r m u k a a n . Dari hasil analisis j u g a tampak bahwa data deret
waktu s u h u u d a r a yang lebih pendek yang d i h u b u n g k a n dengan panjang
siklus m a t a h a r i a k a n menghasilkan korelasi agak kasar. Hal ini disebabkan
oleh k a r e n a sedikitnya titik data panjang siklus matahari yang dibandingkan
dengan titik data p e r u b a h a n s u h u u d a r a permukaan.
Dari hasil analisis statistik dengan memakai rata-rata bergerak 11 tahun
yang m e n u n j u k k a n b a h w a s u h u u d a r a p e r m u k a a n di Indonesia pada
u m u m n y a cenderung mengikuti variasi aktivitas m a t a h a r i j a n g k a panjang
11 tahun, tetapi mendahului perubahan bilangan sunspot sekitar 5-15 tahun,
tampaknya bergantung p a d a wilayah d a n jenis pola c u r a h hujan, serta selang
waktu panjang d a t a yang tersedia. Serupa seperti yang dilakukan oleh Reid
(1987), walaupun pola s u h u u d a r a p e r m u k a a n hemisfer utara mengikuti pola
perubahan sunspot, tetapi p e r u b a h a n s u h u u d a r a p e r m u k a a n di hemisfer
u t a r a m e n d a h u l u i p e r u b a h a n sunspot sekitar 20 t a h u n . Dari hasil analisis
juga m e n u n j u k k a n b a h w a j i k a bilangan sunspot digantikan oleh panjang
siklus matahari, h u b u n g a n a n t a r a perubahan s u h u u d a r a p e r m u k a a n di
Indonesia memberikan hasil korelasi yang lebih baik. Tampaknya bilangan
sunspot b u k a n indikator parameter yang baik u n t u k p e r u b a h a n aktivitas
matahari j a n g k a panjang. Jadi panjang siklus matahari ini m e m p a k a n
indikator lain dari aktivitas matahari yang menyatakan p e r u b a h a n luaran
energi total m a t a h a r i j a n g k a panjang.

4 KESIMPULAN
Dari hasil dan p e m b a h a s a n analisis spektral d a p a t disimpulkan
bahwa s u h u u d a r a p e r m u k a a n di Indonesia p a d a u m u m n y a didominasi oleh
pengaruh m u s i m a n , QBO d a n ENSO. Walaupun mekanisme d a m p a k aktivitas
matahari p a d a variabilitas iklim sampai s a a t ini belum dipahami seutuhnya,
namun dari hasil analisis k e s a m a a n periodisitas s u h u u d a r a p e r m u k a a n di
Indonesia dengan periodisitas aktivitas matahari, t e r u t a m a periode sekitar
11 t a h u n m e n u n j u k k a n a d a n y a dampak aktivitas m a t a h a r i j a n g k a panjang
p a d a variabilitas iklim di Indonesia. Dari analisis spektral wavelet juga
tampak bahwa k u a t / l e m a h n y a sinyal aktivitas matahari p a d a s u h u u d a r a

142
permukaan di Indonesia, secara kuantitatif menunjukkan tidak setiap daerah
memberikan response yang sama terhadap variasi aktivitas matahari, yang
tampaknya bergantung p a d a wilayah d a n pola c u r a h hujan di Indonesia.
Kecenderungan pola yang mirip a n t a r a variasi s u h u u d a r a p e r m u k a a n di
Indonesia dengan bilangan sunspot dengan rata-rata bergerak 11 t a h u n
membuktikan adanya d a m p a k variasi aktivitas matahari p a d a iklim di
Indonesia, w a l a u p u n variasi s u h u u d a r a p e r m u k a a n p a d a u m u m n y a
mendahului p e r u b a h a n bilangan sunspot sekitar 5-15 t a h u n .
Selanjutnya, dari hasil analisis j u g a diperoleh b a h w a s u h u u d a r a
permukaan di Indonesia berkorelasi baik dengan panjang siklus matahari
SCL12221. Tampaknya p e r u b a h a n s u h u u d a r a j a n g k a panjang, bukan
dipengaruhi oleh p e r u b a h a n bilangan sunspot-nya, tetapi dipengaruhi oleh
variasi panjang siklus matahari. Panjang siklus m a t a h a r i ini bervariasi
dengan aktivitas matahari, interval panjang siklus matahari pendek
menyatakan aktivitas tinggi, sehingga energi y a n g d i p a n c a r k a n oleh m a t a h a r i
lebih besar, sebaliknya panjang siklus matahari lebih panjang menyatakan
aktivitas matahari r e n d a h sehingga energi yang dipancarkan oleh matahari
lebih r e n d a h . Pengaruh variasi aktivitas matahari p a d a variabilitas iklim a d a
yang bersifat skala global, lokal m a u p u n regional dengan waktu t u n d a dan
dengan t a n p a waktu t u n d a .

Ucapan Terimakasib
Kami m e n g u c a p k a n terima kasih kepada Bapak Thomas Djamaluddin
yang telah m e m b u a t program pemilihan d a t a iklim di Indonesia, yang
diperoleh dari "The Global Historical Climatology Network: Long - Term Monthly
Temperature, Precipitation, Sea Level Pressure and Station Pressure Data",
ORNL/CDIAC-53, NDP-041, sehingga penelitian ini dapat dilakukan.

D AFT AR RUJUKAN
Baliunas, S. & Soon W., 1995. Are Variations in the Length of Solar Activity
Cycle Related to Changes in Brightness in Solar-Type Stars?, Astrophys,
J. 450, hal. 896.
Djamaluddin T., 1998. Bfek Pasang Surut Bulan dan Aktivitas Matahari pada
Penyebaran Awan di Jhdonesia. Majalah LAPAN No. 8 5 , hal. 62-67.
Djamaluddin T., 2 0 0 1 . Bukti-Bukti Empirik Pengaruh Aktivitas Matahari pada
Iklim, Warta LAPAN Vol. 3, No. 3, hal. 127-139.
Friis-Christensen E.F., and Lassen K., 1991. Length of Cycle: An Indicator of
Solar Activity Closely Associated with Climate, Science, 254, 698-700.
Foster G., 1996. Wavelets for Periods Analysis of Unevenly Sampled Time
Series Astronomical J o u r n a l , Vol. 112 . p. 1709-
Frohlich a n d Lean J., 1998. The Suns Total Irradiance : Cycles, Irradiance and
Related Climate Change Uncertainties Since 1976, Geophys. Res. Lett.
Vol. 2 5 , No. 23 p. 4 3 3 7 7 .
143
Glessberg W., 1944. A Table of Secular Variations of Solar Cycle : Terr. Magn.
Atm. Eleclr. 49, 243-244.
Labitzke K., and H. Van Loon, 1997. The Signal of the 11- year sunspot cycle
in the Upper Troposphere-Lower Stratosphere, Space Sci. Rev. 80, 393-
410.
Lacis A. A., Carlson, B. E., 1992. Nature, Vol. 360, hal. 2 9 7 .
Landscheidt T., 1988. Solar Activity ; A Dominant Factor in Climate Dinamics,
Schroeter Institute for Research in Cycles of Solar Activity, h t t p : / / www.
johndaly.com/solar/htm.
Perry C. A., 1994. Comparison of a solar Luminosity Model With Paleoclimatic
Data, Institute for Tertiary-Quaternary Studies-TER-QUA Symposium
Series, Vol. 2, him. 25-37.
Reid G. C, 1987. Influence of Solar Variability on Global Sea Surface Temperatures
Record, Nature , 3 2 9 , p. 142.
Trenberth K. E., a n d T. J., Hoar, 1996. The 1990-1995 El-Nino/Sourthen
Oscillation Event: Longest on Record, Geophys. Res. Lett., 2 3 , hal. 5 7 - 60.
Vose R. S., Schmoyer R. L., Steuer P.M., Peterson T.C., Heim R., Karl T.L.,
Eischeild J. K., 1992. The Global Historical Climatology Network: Long-
Term Monthly Temperature, Precipitation, Sea Level Pressure, and
Station Pressure Data, ONRL/CDIAC-53, NDP-041.

144

You might also like