Professional Documents
Culture Documents
Love You
Love You
Abstract
The World Health Organization (WHO) explains that Corona Virus or Covid-19 is a
large family of viruses that can cause disease in humans. Covid-19 is known to cause
respiratory infections ranging from the common cold to more severe diseases such as
Middle East Respiratory Syndrome (MERS) and Severe Acute Respiratory Syndrome
(SARS). So the need for policies that can encourage the development of a better life, in
this case through the Paris Agreement. The Paris Agreement is an international
agreement on climate change that aims to keep the global average temperature rise
below 2°C above pre-industrial levels and continue efforts to reduce temperature rise to
1.5.°C above pre-industrial levels. industrialization. The Government of Indonesia has
signed the Paris Agreement to the United Nations Frametuork Convention on Climate
Charrye (Paris agreement on the United Nations Framework Convention on Climate
Change) on April 22, 2016 in New York, United States of America. The research method
used is normative legal research, namely through a statutory approach. Through
renewable energy which is an energy source that comes from natural resources and will
not run out because it is formed from sustainable natural processes. Environmental
economic aspects also affect the condition of Indonesia's earth, through the concept of
Environmental Economics it can be concluded that in utilizing natural resources, efforts
must be directed to increasing the level of community welfare, achieving economic
growth and restoring environmental functions.
Keywords:
Covid-19, Paris Agreement, Renewable Energy, Environmental Economics.
Abstrak
Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) menjelaskan
bahwa Corona Virus atau Covid-19 adalah keluarga besar virus yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia. Covid-19 ini diketahui menyebabkan infeksi pernafasan mulai
dari flu biasa hingga penyakit yang lebih parah seperti Middle East Repiratory Syndrome
(MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrme (SARS) atau sindrom pernafasan akut
berat. Sehingga perlunya kebijakan-kebijakan yang dapat mendorong perkembangan
kehidupan yang lebih baik, dalam hal ini melalui Paris Agreement. Paris Agreement
merupakan perjanjian internasional tentang Perubahan iklim yang bertujuan untuk
menahan kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2°C di atas tingkat di masa pra-
industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk menekan kenaikan suhu ke 1,5.°C di atas
tingkat pra-industrialisasi. Pemerintah Indonesia telah menandatangani Paris Agreement
to the United Nations Frametuork Conuention on Climate Charrye (Perjanjian Paris atas
Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) pada
tanggal 22 April 2016 di New york, Amerika Serikat. Metode penelitian yang digunakan
adalah penelitian hukum normatif yaitu melalui pendekatan perundang-undangan.
Melalui energi terbarukan yang merupakan sumber energi yang berasal dari sumber daya
alam dan tidak akan habis karena terbentuk dari proses alam yang berkelanjutan. Aspek
ekonomi lingkungan pun mempengaruhi kondisi bumi Indonesia, melalui Konsep
Ekonomi Lingkungan dapat disimpulkan bahwa dalam memanfaatkan sumber daya alam
harus diarahkan pada upaya peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat, pencapaian
pertumbuhan ekonomi dan mengembalikan fungsi lingkungan
Kata Kunci:
Covid-19, Paris Agreement, Energi Terbarukan, Ekonomi Lingkungan.
A. Pendahuluan
Pada akhir tahun 2019, dikabarkan sebagian penduduk China, tepatnya
Wuhan, mulai terserang virus baru yang masih ditelurusi penyebabnya, kemudian
pada awal tahun 2020 dunia kembali digemparkan dengan temuan virus baru yang
menyerang hampir seluruh belahan negara didunia. Organisasi Kesehatan Dunia
atau World Health Organization (WHO) menjelaskan bahwa Corona Virus atau
Covid-19 adalah keluarga besar virus yang dapat menyebabkan penyakit pada
manusia. Covid-19 ini diketahui menyebabkan infeksi pernafasan mulai dari flu
biasa hingga penyakit yang lebih parah seperti Middle East Repiratory Syndrome
(MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrme (SARS) atau sindrom pernafasan
akut berat. Covid-19 atau Pandemi Covid-19 yang mulai menjangkit berbagai
belahan dunia ini, menjangkit juga Indonesia pada awal tahun 2020 yang menjadi
dimulainya babak kebijakan darurat Pemerintah untuk menanggulangi Pandemi
dan dampak-dampaknya.
Selain dampak Kesehatan yang mendera korban Covid-19 dan telah
terbukti membunuh, dalam lingkup sebuah Negara seperti Indonesia, dampaknya
bukan hanya itu saja. Terdapat dampak domino dan luar biasa dalam multi-sektor,
antara lain seperti dampak ekonomi dan lingkungan. Ekonomi terdampak parah
pada paruh awal Pandemi di Indonesia dan saat Pandemi sudah berjalan beberapa
waktu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia, dalam Publikasinya
yang berjudul Analisa Hasil Survei Dampak Covid-19 Terhadap Pelaku Usaha #2
menyatakan bahwa 7,28% UMK terpaksa berhenti beroperasi karena Pandemi,
dalam survei yang sama pun mengungkapkan bahwa Perusahaan yang berhenti
sementara karena faktor regulasi 16,30% diantaranya adalah Jasa Perusahaan.
Dari data yang sama juga, mengenai Ketenagakerjaan ada pengurangan jumlah
pegawai sebesar 23,36% untuk Usaha Menengah Besar. Data ini jelas-jelas
menunjukan dampak luar bisa Pandemi Covid-19 terhadap kondisi ekonomi di
Indonesia.
Pada sektor Lingkungan, Indonesia sebenarnya masih perlu menjawab
tantangan lingkungan dari permasalahan sebelumnya, yaitu Perubahan Iklim dan
Komitmen-nya sendiri terhadap penyelesaian masalah tersebut. Perubahan Iklim
adalah isu global, menurut National Oceanic and Atmospheric Adminstration of
US, selain dampak Ekologi terhadap ekosistem satwa dan berbagai spesies,
terhadap Kesehatan manusia, Perubahan iklim pun berdampak besar. Dengan tak
menentunya iklim yang menyebabkan bencana-bencana seperti kekeringan dan
banjir, jelas akan membahayakan manusia dari berbagai faktor. Isu ini semakin
menguat dengan adanya Laporan Intergouernmental Panel on Climate Change
(IPCC), yang mengatakan bahwa proses perubahan iklim berjalan semakin cepat
dan dampak-dampak perubahan iklum mulai bisa dirasakan semakin meluas ke
berbagai belahan dunia dan berbagai sektor kehidupan manusia. Masif dan
seriusnya isu ini yang kemudian mendorong berbagai Negara mulai berkesadaran
untuk bersatu di bawah payung Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang selanjutnya bernegosiasi dan membahas
jalan terbaik dalam mengendalikan perubahan iklim serta dampak-dampaknya.
Mitigasi serta Adaptasi merupakan dua jalan yang diupayakan sebagai unstrumen
utama dalam menangani dampak-dampak dan masalah perubahan iklim.
Dalam konteks nasional, pengendalian perubahan iklim merupakan amanat
konstitusi bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Negara memberikan arah dan berkewajiban
memastikan agar pembangunan yang dibutuhkan untuk memenuhi kesejahteraan
rakyat tetap memperhatikan perlindungan aspek lingkungan dan sosial. Dengan
adanya kesadaran akan ancaman dari dampak-dampak negative perubahan iklim,
pengendalian dan penanganan perubahan iklim bukan merupakan suatu beban bagi
negara, namun sudah saatnya menjadi suatu kebutuhan. Dengan demikian
komitmen negara dalam menangani perubahan iklim merupakan agenda nasional
yang karena urgensinya, diperlukan upaya sungguh-sungguh untuk mengatasinya.
Salah satu upaya tersebut adalah komitmen Indonesia dengan menandatanganninya
Paris Agreement yang kemudian diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations
Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi
Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim).
Disetujui dan diratifikasinya ini menjadikan Paris Agreement bersifat mengikat
secara hukum dan diterapkan semua negara (legall binding and applicable to ali)
dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan dan berdasarkan
kemampuan masing-masing (common but differentiated responsibilities and
Respectiue capabilitiesl) dan memberikan tanggung jawab kepada negara-negara
maju untuk menyediakan dana, peningkatan kapasitas, dan alih teknologi kepada
negara berkembang.
Di samping masing-masing Negara bertanggungjawab terhadap
implementasi perjanjian dan menyelesaikan isu lingkungan khususnya Perubahan
Iklim, Paris Agreement juga mengamanatkan peningkatan kerja sama bilateral dan
multilateral antar negara lebih efektif dan efisien untuk melaksanakan aksi mitigasi
dan adaptasi perubahan iklim dengan dukungan pendanaan, alih teknologi,
peningkatan kapasitas yang didukung dengan mekanime transparansi serta tata
kelola yang berkelanjutan. Indonesia, sebagai salah satu Negara yang
menandatangani Paris Agreement, terletak di wilayah geografis yang sangat rentan
terhadap dampak perubahan iklim.
Dengan kondisi geografis seperti itu, meskipun kemungkinan terdampak
Perubahan Iklim, Indonesia pun punya potensi dalam menyelesaikan masalah
tersebut merujuk kepada kondisi geografisnya. Di Indonesia, kenaikan suhu rata-
rata pada wilayah Indonesia diperkirakan sebesar 0,5 – 3,92.C pada tahun 2100 dari
kondisi periode tahun 1981-2010. Sedangkan untuk curah hujan, berdasarkan data
pengamatan telah terjadi pergeseran bulan basah dan kering. Intensitas curah hujan
yang lebih tinggi dan durasi hujan yang lebih pendek terjadi di Sumatera bagian
utara dan Kalimantan, Sedangkan curah hujan rendah dan durasi hujan lebih
panjang terjadi pada Bagian selatan Jawa dan Bali. Sehubungan dengan hal itu,
Indonesia sesungguhnya memiliki potensi sumber energi terbarukan dalam Jumlah
besar. Beberapa diantaranya bisa segera diterapkan di tanah air, seperti: Bioethanol
sebagai pengganti bensin, Biodiesel untuk pengganti solar, tenaga panas bumi,
mikrohidro, tenaga surya, tenaga angin, bahkan sampah/limbah pun dapat
digunakan untuk membangkitkan listrik. Hampir semua sumber energi tersebut
sudah dicoba diterapkan dalam skala kecil di Indonesia.
Konsep Ekonomi Lingkungan, sebagai upaya untuk menyelenggarakan
Pembangunan Berkelanjutan, berarti bahwa dalam memanfaatkan sumber daya
alam harus diarahkan pada upaya peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat,
pencapaian pertumbuhan ekonomi dan mengembalikan fungsi lingkungan.
Sehingga hubungan keterkaitan antara upaya pencapaian dan peningkatan target
pertumbuhan ekonomi, transformasi masyarakat dari kemiskinan melalui
peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi dan upaya untuk melestarikan
Lingkungan merupakan tujuan yang saling mendukung untuk jangka panjang.
Sehingga, berdasarkan isu-isu diatas, rumusan masalah yang akan kami bahas
adalah, apa dampak Paris Agreement terhadap kehidupan ekonomi dan lingkungan
di Indonesia ?, dan bagaimana komitmen pemerintah Indonesia dalam
melaksanakan upaya menurunkan emisi karbon terkait hasil dari Paris Agreement?
B. Pembahasan
1. Dampak Paris Agreement terhadap kehidupan ekonomi dan lingkungan di
Indonesia
Paris Agreement merupakan sebuah persetujuan dalam konvensi
Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) atau United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang membahas
tentang reduksi emisi karbondioksida efektif yang akan mulai berlaku pada tahun
2020. Disahkannya Paris Agreement bertujuan untuk secara berkelanjutan
mengurangi emisi gas karbon dalam upaya membatasi terjadinya kenaikan suhu
global yang pada saat ini sudah mencapai suhu 2°C, dan berusaha untuk
membatasi terjadinya perubahan temperatur suhu hingga mencapai 1,5°C. Paris
Agreement akan efektif berlaku (entry into force) apabila setidaknya terdapat 55
(lima puluh lima) negara yang mempresentasikan 55% dari total emisi Gas
Rumah Kaca (GRK) global telah mengumumkan instrumen ratifikasi kepada
serikat jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Pada hari Jum'at, 22 April 2016, Menteri Lingkungan hidup dan
Kehutanan Dr.Siti Nurbaya mewakili presiden Joko Widodo menandatangani
Perjanjian Paris tentang aperubahan Iklim pada Upacara Tingkat Tinggi
Penandatanganan Perjanjian Paris (High-level Signature Ceremony for The Paris
Agreement) yang saat itu diselenggarakan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-
bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat. Acara tersebut dibuka oleh
sekertaris jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Ban Ki Moon, yang
menyelenggarakan upacara sesuai dengan mandat dari Konvensi-Kerangka
Perubahan Iklim (UNFCCC COP-21) pada bulan Desember 2015. Memenuhi
permintaan sekjen PBB Mentri LHK bertindak sebagai Co-Chair sesi terakhir
penyampaian national statement.
Dalam pidato yang di sampaikan Dr. Siti Nurbaya pada kesempatan itu,
beliau menjelaskan bahwa Indonesia siap untuk bergabung menjadi salah satu
dari 55 negara pertama yang melakukan ratifikasi. Beliau memaparkan bahwa
subjek lingkungan amat penting bagi Indonesia berdasarkan kepada Undang-
Undang Dasar 1945 atau Konstitusi Negara yang menyatakan pentingnya
lingkungan yang baik dan sehat bagi warga negara, beliau juga memaparkan
mengenai pentingnya dukungan dari Lembaga Legislatif DPR-RI dalam
memenuhi komitmen ini. Lebih jauh, Pemerintah Indonesia pun menyadari
diluar dari sektor Industri yang perlu dijamah untuk memenuhi komitmen
terhadap Paris Agreement, sektor kehutanan dan pemanfaatan lahan pun
signifikan dan perlu diperhatikan.
Mendapat respon yang positif, beliau turut juga memaparkan langkah-
langkah konsisten yang telah diambil pemerintah Indonesia dalam upaya
menghadapi perubahan iklim yang terjadi. Adapun beberapa langkah yang
dipaparkan beliau sebagai berikut:
1. Membentuk Badan Restorasi Gambut pada tahjn 2016 sebagai tindakan
cepat merespon pasca terjadinya kebakaran lahan dan hutan pada tahun
2015.
2. Melanjutkan kebijakan moratorium terkait perizinan pada hutan primer dan
lahan gambut.
3. Moratorium terkait perizinan sawit dan tambang.
Sebagai bukti dari tindakan pemerintah Indonesia dalam upaya
pelaksanaan Paris Climate Agreement yang menjadi program prioritas lanjutan
keputusan COP Paris, pihak kementerian lingkungan hidup dan kehutanan telah
melaksanakan pertemuan II Persiapan Delegasi Indonesia pada 1ST session of
APA, 44TH Seesion of SBI, 44TH Session of SBSTA pada 15 Maret 2016.
Pertemuan tersebut dilaksanakan untuk membahas berbagai isu strategis dalam
Paris Agreement dan persiapan posisi Indonesia terhadap isu-isu lainnya yang
berhubungan dengan agenda SBI-44 dan SBSTA-44 serta perkembangan terhadap
penyusunan submisi di Indonesia pada beberapa isu yang akan dibahas lebih
lanjut pada SBI ke-44 atau SBSTA ke-44. Pertemuan yang dipimpin oleh Dr.Nur
Masripatin Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, yang mana pada
pertemuan tersebut di hadiri sebanyak 95 peserta yang dikirimkan sebagai
perwakilan dari berbagai lembaga/kementrian, lembaga swadaya masyarakat,
lembaga penelitian, perguruan tinggi dan terdapat juga perwakilan dari kalangan
swasta. Sebagai perwakilan kementerian luar negeri, Direktur pembangunan,
ekonomi, dan lingkungan hidup menyampaikan tentang program prioritas dari
kementerian lingkungan hidup dan kehutanan melalui Dritjen PPI mengenai
tindak lanjut Paris Agreement dan mengenai Energi Terbarukan dan baru (EBT)
yang masih Prolegnas hingga saat ini.
Legalisasi terhadap Komitmen Paris Agreement dan untuk menjadi
fondasi terhadap beragam produk undang-undang kedepannya mengenai
Perubahan Iklim, Indonesia kemudian meratifikasi Paris Agreement dalam UU
Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United
Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas
Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan
Iklim). Hal ini mendorong Indonesia harus berkomitmen untuk menurunkan emisi
gas sebesar 29% sampai 41% hingga tahun 2030. Meskipun begitu, progress
Pemerintah dalam memenuhi komitmen terhadap Paris Agreement terbilang
lamban. Dalam ranah bauran Energi Terbarukan sebagai salah satu faktor penentu
penurunan emisi gas saja, Indonesia per 2020 kemarin, masih berada di kisaran
11,3 % dalam hal bauran Energi Terbarukan. Lambannya peran Pemerintah ini
disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut adalah Pandemi Covid-19
yang menyebar di Indonesia yang kemudian memaksa Pemerintah harus focus
dahulu terhadap penanganan bencana, hingga dalam ranah legislative pun,
pengesahan mengenai RUU Energi Terbarukan sebagai bagian dari upaya untuk
memenuhi komitmen Paris Agreement masih belum masuk atau masih dibahas di
Prolegnas. Hal ini mengindikasikan bahwa Pemerintah tidak terlalu serius untuk
memenuhi komitmennya terhadap penurunan emisi gas juga mewujudkan tujuan
yang tertera di Paris Agreement. Padahal, seperti dijelaskan diatas, isu Perubahan
Iklim adalah isu global dan seluruh umat manusia, apabial Pemerintah suatu
negara acuh tak acuh terhadap hal tersebut, justru malah akan memperparah
kondisi iklim dunia.
D. Daftar Pustaka
Andylala, Waluyo (2017): Presiden Jokowi Ingatkan Komitmen Pemimpin Negara
G20 Agenda 2030. In Voice of America, 7/8/2017. Available onlineat
https://www.voaindonesia.com/a/presiden-jokowi-ingatkankomitmen?
pemimpin-negara-g20-agenda2030/3933807.htm
Ghaniyyu, Faris Faza, and Nurlina Husnita. 2021. “Upaya Pengendalian Perubahan
Iklim Melalui Pembatasan Kendaraan Berbahan Bakar Minyak Di
Indonesia Berdasarkan Paris Agreement.” MORALITY : Jurnal Ilmu
Hukum 7(1):110. doi: 10.52947/morality.v7i1.196.
Hardoko, Ervan (2017). Presiden Trump Keluarkan AS dari Kesepakatan Iklim
Paris. In Kompas 2/6/2017. Availableonline at
https://internasional.kompas.com/read/2017/06/02/05383941/presiden.tru
mp.keluarkan.as.dari.kesepakatan.iklim.paris
Indra, Meru, and Kurnia Jati. 2020. “Cukai Karbon Untuk Pembangunan
Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan Di Indonesia.” 7(1):35–40
Miranti, R., Widhiyoga, G., & Haqqi, H. (2019). Analisis Pembangunan
Berkelanjutan Terhadap Kebijakan Perubahan Iklim Indonesia Sebagai
Upaya Mengakomodasi Paris Agreement. Transformasi, 1(34).
Rohmah, Nurruli Fatur. 2019. “Struktur Dan Desain Organisasi.”