You are on page 1of 21

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KOMITMEN PEMERINTAH MENGENAI

RATIFIKASI PARIS AGREEMENT DALAM HAL MENANGANI


PERMASALAHAN LINGKUNGAN DAN EKONOMI DI TENGAH PANDEMI
COVID-19

Nabella Dellia Putri


Kating

Universitas Palangka Raya


Nabellalia21@gmail.com

Abstract
The World Health Organization (WHO) explains that Corona Virus or Covid-19 is a
large family of viruses that can cause disease in humans. Covid-19 is known to cause
respiratory infections ranging from the common cold to more severe diseases such as
Middle East Respiratory Syndrome (MERS) and Severe Acute Respiratory Syndrome
(SARS). So the need for policies that can encourage the development of a better life, in
this case through the Paris Agreement. The Paris Agreement is an international
agreement on climate change that aims to keep the global average temperature rise
below 2°C above pre-industrial levels and continue efforts to reduce temperature rise to
1.5.°C above pre-industrial levels. industrialization. The Government of Indonesia has
signed the Paris Agreement to the United Nations Frametuork Convention on Climate
Charrye (Paris agreement on the United Nations Framework Convention on Climate
Change) on April 22, 2016 in New York, United States of America. The research method
used is normative legal research, namely through a statutory approach. Through
renewable energy which is an energy source that comes from natural resources and will
not run out because it is formed from sustainable natural processes. Environmental
economic aspects also affect the condition of Indonesia's earth, through the concept of
Environmental Economics it can be concluded that in utilizing natural resources, efforts
must be directed to increasing the level of community welfare, achieving economic
growth and restoring environmental functions.
Keywords:
Covid-19, Paris Agreement, Renewable Energy, Environmental Economics.

Abstrak
Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) menjelaskan
bahwa Corona Virus atau Covid-19 adalah keluarga besar virus yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia. Covid-19 ini diketahui menyebabkan infeksi pernafasan mulai
dari flu biasa hingga penyakit yang lebih parah seperti Middle East Repiratory Syndrome
(MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrme (SARS) atau sindrom pernafasan akut
berat. Sehingga perlunya kebijakan-kebijakan yang dapat mendorong perkembangan
kehidupan yang lebih baik, dalam hal ini melalui Paris Agreement. Paris Agreement
merupakan perjanjian internasional tentang Perubahan iklim yang bertujuan untuk
menahan kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2°C di atas tingkat di masa pra-
industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk menekan kenaikan suhu ke 1,5.°C di atas
tingkat pra-industrialisasi. Pemerintah Indonesia telah menandatangani Paris Agreement
to the United Nations Frametuork Conuention on Climate Charrye (Perjanjian Paris atas
Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) pada
tanggal 22 April 2016 di New york, Amerika Serikat. Metode penelitian yang digunakan
adalah penelitian hukum normatif yaitu melalui pendekatan perundang-undangan.
Melalui energi terbarukan yang merupakan sumber energi yang berasal dari sumber daya
alam dan tidak akan habis karena terbentuk dari proses alam yang berkelanjutan. Aspek
ekonomi lingkungan pun mempengaruhi kondisi bumi Indonesia, melalui Konsep
Ekonomi Lingkungan dapat disimpulkan bahwa dalam memanfaatkan sumber daya alam
harus diarahkan pada upaya peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat, pencapaian
pertumbuhan ekonomi dan mengembalikan fungsi lingkungan

Kata Kunci:
Covid-19, Paris Agreement, Energi Terbarukan, Ekonomi Lingkungan.
A. Pendahuluan
Pada akhir tahun 2019, dikabarkan sebagian penduduk China, tepatnya
Wuhan, mulai terserang virus baru yang masih ditelurusi penyebabnya, kemudian
pada awal tahun 2020 dunia kembali digemparkan dengan temuan virus baru yang
menyerang hampir seluruh belahan negara didunia. Organisasi Kesehatan Dunia
atau World Health Organization (WHO) menjelaskan bahwa Corona Virus atau
Covid-19 adalah keluarga besar virus yang dapat menyebabkan penyakit pada
manusia. Covid-19 ini diketahui menyebabkan infeksi pernafasan mulai dari flu
biasa hingga penyakit yang lebih parah seperti Middle East Repiratory Syndrome
(MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrme (SARS) atau sindrom pernafasan
akut berat. Covid-19 atau Pandemi Covid-19 yang mulai menjangkit berbagai
belahan dunia ini, menjangkit juga Indonesia pada awal tahun 2020 yang menjadi
dimulainya babak kebijakan darurat Pemerintah untuk menanggulangi Pandemi
dan dampak-dampaknya.
Selain dampak Kesehatan yang mendera korban Covid-19 dan telah
terbukti membunuh, dalam lingkup sebuah Negara seperti Indonesia, dampaknya
bukan hanya itu saja. Terdapat dampak domino dan luar biasa dalam multi-sektor,
antara lain seperti dampak ekonomi dan lingkungan. Ekonomi terdampak parah
pada paruh awal Pandemi di Indonesia dan saat Pandemi sudah berjalan beberapa
waktu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia, dalam Publikasinya
yang berjudul Analisa Hasil Survei Dampak Covid-19 Terhadap Pelaku Usaha #2
menyatakan bahwa 7,28% UMK terpaksa berhenti beroperasi karena Pandemi,
dalam survei yang sama pun mengungkapkan bahwa Perusahaan yang berhenti
sementara karena faktor regulasi 16,30% diantaranya adalah Jasa Perusahaan.
Dari data yang sama juga, mengenai Ketenagakerjaan ada pengurangan jumlah
pegawai sebesar 23,36% untuk Usaha Menengah Besar. Data ini jelas-jelas
menunjukan dampak luar bisa Pandemi Covid-19 terhadap kondisi ekonomi di
Indonesia.
Pada sektor Lingkungan, Indonesia sebenarnya masih perlu menjawab
tantangan lingkungan dari permasalahan sebelumnya, yaitu Perubahan Iklim dan
Komitmen-nya sendiri terhadap penyelesaian masalah tersebut. Perubahan Iklim
adalah isu global, menurut National Oceanic and Atmospheric Adminstration of
US, selain dampak Ekologi terhadap ekosistem satwa dan berbagai spesies,
terhadap Kesehatan manusia, Perubahan iklim pun berdampak besar. Dengan tak
menentunya iklim yang menyebabkan bencana-bencana seperti kekeringan dan
banjir, jelas akan membahayakan manusia dari berbagai faktor. Isu ini semakin
menguat dengan adanya Laporan Intergouernmental Panel on Climate Change
(IPCC), yang mengatakan bahwa proses perubahan iklim berjalan semakin cepat
dan dampak-dampak perubahan iklum mulai bisa dirasakan semakin meluas ke
berbagai belahan dunia dan berbagai sektor kehidupan manusia. Masif dan
seriusnya isu ini yang kemudian mendorong berbagai Negara mulai berkesadaran
untuk bersatu di bawah payung Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang selanjutnya bernegosiasi dan membahas
jalan terbaik dalam mengendalikan perubahan iklim serta dampak-dampaknya.
Mitigasi serta Adaptasi merupakan dua jalan yang diupayakan sebagai unstrumen
utama dalam menangani dampak-dampak dan masalah perubahan iklim.
Dalam konteks nasional, pengendalian perubahan iklim merupakan amanat
konstitusi bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Negara memberikan arah dan berkewajiban
memastikan agar pembangunan yang dibutuhkan untuk memenuhi kesejahteraan
rakyat tetap memperhatikan perlindungan aspek lingkungan dan sosial. Dengan
adanya kesadaran akan ancaman dari dampak-dampak negative perubahan iklim,
pengendalian dan penanganan perubahan iklim bukan merupakan suatu beban bagi
negara, namun sudah saatnya menjadi suatu kebutuhan. Dengan demikian
komitmen negara dalam menangani perubahan iklim merupakan agenda nasional
yang karena urgensinya, diperlukan upaya sungguh-sungguh untuk mengatasinya.
Salah satu upaya tersebut adalah komitmen Indonesia dengan menandatanganninya
Paris Agreement yang kemudian diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations
Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi
Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim).
Disetujui dan diratifikasinya ini menjadikan Paris Agreement bersifat mengikat
secara hukum dan diterapkan semua negara (legall binding and applicable to ali)
dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan dan berdasarkan
kemampuan masing-masing (common but differentiated responsibilities and
Respectiue capabilitiesl) dan memberikan tanggung jawab kepada negara-negara
maju untuk menyediakan dana, peningkatan kapasitas, dan alih teknologi kepada
negara berkembang.
Di samping masing-masing Negara bertanggungjawab terhadap
implementasi perjanjian dan menyelesaikan isu lingkungan khususnya Perubahan
Iklim, Paris Agreement juga mengamanatkan peningkatan kerja sama bilateral dan
multilateral antar negara lebih efektif dan efisien untuk melaksanakan aksi mitigasi
dan adaptasi perubahan iklim dengan dukungan pendanaan, alih teknologi,
peningkatan kapasitas yang didukung dengan mekanime transparansi serta tata
kelola yang berkelanjutan. Indonesia, sebagai salah satu Negara yang
menandatangani Paris Agreement, terletak di wilayah geografis yang sangat rentan
terhadap dampak perubahan iklim.
Dengan kondisi geografis seperti itu, meskipun kemungkinan terdampak
Perubahan Iklim, Indonesia pun punya potensi dalam menyelesaikan masalah
tersebut merujuk kepada kondisi geografisnya. Di Indonesia, kenaikan suhu rata-
rata pada wilayah Indonesia diperkirakan sebesar 0,5 – 3,92.C pada tahun 2100 dari
kondisi periode tahun 1981-2010. Sedangkan untuk curah hujan, berdasarkan data
pengamatan telah terjadi pergeseran bulan basah dan kering. Intensitas curah hujan
yang lebih tinggi dan durasi hujan yang lebih pendek terjadi di Sumatera bagian
utara dan Kalimantan, Sedangkan curah hujan rendah dan durasi hujan lebih
panjang terjadi pada Bagian selatan Jawa dan Bali. Sehubungan dengan hal itu,
Indonesia sesungguhnya memiliki potensi sumber energi terbarukan dalam Jumlah
besar. Beberapa diantaranya bisa segera diterapkan di tanah air, seperti: Bioethanol
sebagai pengganti bensin, Biodiesel untuk pengganti solar, tenaga panas bumi,
mikrohidro, tenaga surya, tenaga angin, bahkan sampah/limbah pun dapat
digunakan untuk membangkitkan listrik. Hampir semua sumber energi tersebut
sudah dicoba diterapkan dalam skala kecil di Indonesia.
Konsep Ekonomi Lingkungan, sebagai upaya untuk menyelenggarakan
Pembangunan Berkelanjutan, berarti bahwa dalam memanfaatkan sumber daya
alam harus diarahkan pada upaya peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat,
pencapaian pertumbuhan ekonomi dan mengembalikan fungsi lingkungan.
Sehingga hubungan keterkaitan antara upaya pencapaian dan peningkatan target
pertumbuhan ekonomi, transformasi masyarakat dari kemiskinan melalui
peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi dan upaya untuk melestarikan
Lingkungan merupakan tujuan yang saling mendukung untuk jangka panjang.
Sehingga, berdasarkan isu-isu diatas, rumusan masalah yang akan kami bahas
adalah, apa dampak Paris Agreement terhadap kehidupan ekonomi dan lingkungan
di Indonesia ?, dan bagaimana komitmen pemerintah Indonesia dalam
melaksanakan upaya menurunkan emisi karbon terkait hasil dari Paris Agreement?

B. Pembahasan
1. Dampak Paris Agreement terhadap kehidupan ekonomi dan lingkungan di
Indonesia
Paris Agreement merupakan sebuah persetujuan dalam konvensi
Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) atau United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang membahas
tentang reduksi emisi karbondioksida efektif yang akan mulai berlaku pada tahun
2020. Disahkannya Paris Agreement bertujuan untuk secara berkelanjutan
mengurangi emisi gas karbon dalam upaya membatasi terjadinya kenaikan suhu
global yang pada saat ini sudah mencapai suhu 2°C, dan berusaha untuk
membatasi terjadinya perubahan temperatur suhu hingga mencapai 1,5°C. Paris
Agreement akan efektif berlaku (entry into force) apabila setidaknya terdapat 55
(lima puluh lima) negara yang mempresentasikan 55% dari total emisi Gas
Rumah Kaca (GRK) global telah mengumumkan instrumen ratifikasi kepada
serikat jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Pada hari Jum'at, 22 April 2016, Menteri Lingkungan hidup dan
Kehutanan Dr.Siti Nurbaya mewakili presiden Joko Widodo menandatangani
Perjanjian Paris tentang aperubahan Iklim pada Upacara Tingkat Tinggi
Penandatanganan Perjanjian Paris (High-level Signature Ceremony for The Paris
Agreement) yang saat itu diselenggarakan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-
bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat. Acara tersebut dibuka oleh
sekertaris jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Ban Ki Moon, yang
menyelenggarakan upacara sesuai dengan mandat dari Konvensi-Kerangka
Perubahan Iklim (UNFCCC COP-21) pada bulan Desember 2015. Memenuhi
permintaan sekjen PBB Mentri LHK bertindak sebagai Co-Chair sesi terakhir
penyampaian national statement.
Dalam pidato yang di sampaikan Dr. Siti Nurbaya pada kesempatan itu,
beliau menjelaskan bahwa Indonesia siap untuk bergabung menjadi salah satu
dari 55 negara pertama yang melakukan ratifikasi. Beliau memaparkan bahwa
subjek lingkungan amat penting bagi Indonesia berdasarkan kepada Undang-
Undang Dasar 1945 atau Konstitusi Negara yang menyatakan pentingnya
lingkungan yang baik dan sehat bagi warga negara, beliau juga memaparkan
mengenai pentingnya dukungan dari Lembaga Legislatif DPR-RI dalam
memenuhi komitmen ini. Lebih jauh, Pemerintah Indonesia pun menyadari
diluar dari sektor Industri yang perlu dijamah untuk memenuhi komitmen
terhadap Paris Agreement, sektor kehutanan dan pemanfaatan lahan pun
signifikan dan perlu diperhatikan.
Mendapat respon yang positif, beliau turut juga memaparkan langkah-
langkah konsisten yang telah diambil pemerintah Indonesia dalam upaya
menghadapi perubahan iklim yang terjadi. Adapun beberapa langkah yang
dipaparkan beliau sebagai berikut:
1. Membentuk Badan Restorasi Gambut pada tahjn 2016 sebagai tindakan
cepat merespon pasca terjadinya kebakaran lahan dan hutan pada tahun
2015.
2. Melanjutkan kebijakan moratorium terkait perizinan pada hutan primer dan
lahan gambut.
3. Moratorium terkait perizinan sawit dan tambang.
Sebagai bukti dari tindakan pemerintah Indonesia dalam upaya
pelaksanaan Paris Climate Agreement yang menjadi program prioritas lanjutan
keputusan COP Paris, pihak kementerian lingkungan hidup dan kehutanan telah
melaksanakan pertemuan II Persiapan Delegasi Indonesia pada 1ST session of
APA, 44TH Seesion of SBI, 44TH Session of SBSTA pada 15 Maret 2016.
Pertemuan tersebut dilaksanakan untuk membahas berbagai isu strategis dalam
Paris Agreement dan persiapan posisi Indonesia terhadap isu-isu lainnya yang
berhubungan dengan agenda SBI-44 dan SBSTA-44 serta perkembangan terhadap
penyusunan submisi di Indonesia pada beberapa isu yang akan dibahas lebih
lanjut pada SBI ke-44 atau SBSTA ke-44. Pertemuan yang dipimpin oleh Dr.Nur
Masripatin Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, yang mana pada
pertemuan tersebut di hadiri sebanyak 95 peserta yang dikirimkan sebagai
perwakilan dari berbagai lembaga/kementrian, lembaga swadaya masyarakat,
lembaga penelitian, perguruan tinggi dan terdapat juga perwakilan dari kalangan
swasta. Sebagai perwakilan kementerian luar negeri, Direktur pembangunan,
ekonomi, dan lingkungan hidup menyampaikan tentang program prioritas dari
kementerian lingkungan hidup dan kehutanan melalui Dritjen PPI mengenai
tindak lanjut Paris Agreement dan mengenai Energi Terbarukan dan baru (EBT)
yang masih Prolegnas hingga saat ini.
Legalisasi terhadap Komitmen Paris Agreement dan untuk menjadi
fondasi terhadap beragam produk undang-undang kedepannya mengenai
Perubahan Iklim, Indonesia kemudian meratifikasi Paris Agreement dalam UU
Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United
Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas
Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan
Iklim). Hal ini mendorong Indonesia harus berkomitmen untuk menurunkan emisi
gas sebesar 29% sampai 41% hingga tahun 2030. Meskipun begitu, progress
Pemerintah dalam memenuhi komitmen terhadap Paris Agreement terbilang
lamban. Dalam ranah bauran Energi Terbarukan sebagai salah satu faktor penentu
penurunan emisi gas saja, Indonesia per 2020 kemarin, masih berada di kisaran
11,3 % dalam hal bauran Energi Terbarukan. Lambannya peran Pemerintah ini
disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut adalah Pandemi Covid-19
yang menyebar di Indonesia yang kemudian memaksa Pemerintah harus focus
dahulu terhadap penanganan bencana, hingga dalam ranah legislative pun,
pengesahan mengenai RUU Energi Terbarukan sebagai bagian dari upaya untuk
memenuhi komitmen Paris Agreement masih belum masuk atau masih dibahas di
Prolegnas. Hal ini mengindikasikan bahwa Pemerintah tidak terlalu serius untuk
memenuhi komitmennya terhadap penurunan emisi gas juga mewujudkan tujuan
yang tertera di Paris Agreement. Padahal, seperti dijelaskan diatas, isu Perubahan
Iklim adalah isu global dan seluruh umat manusia, apabial Pemerintah suatu
negara acuh tak acuh terhadap hal tersebut, justru malah akan memperparah
kondisi iklim dunia.

Upaya Menurunkan Emisi Karbon Terkait Hasil Dari Paris Agreement.


Kontribusi Nasional Indonesia (NDC) mencakup beberapa aspek mitigasi dan
adaptasi. Menurut ketentuan Paris Agreement, NDC Indonesia harus ditinjau
secara berkala dan disesuaikan dengan kebutuhan. Tujuan NDC Indonesia adalah
untuk mengurangi emisi dari sumbernya sendiri sebesar 29% pada periode
pertama dan, dengan dukungan internasional , menjadi tanpa tindakan (seperti
biasa) hingga 41% pada tahun 2030, yang ingin dicapai melalui sektor kehutanan,
Energi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, serta dalam sektor
pertanian. Dengan meratifikasi Paris Agreement diharapkan dapat memenuhi
komitmen yang ditetapkan dalam perjanjian terkait, Indonesia akan memperoleh
manfaat dari hal tersebut, seperti:
1. Peningkatan perlindungan kawasan di Indonesia yang sangat rentan
terhadap dampak perubahan iklim, melalui mitigasi dan adaptasi terhadap
perubahan iklim.
2. Memperkuat pengakuan komitmen nasional untuk mengurangi emisi dari
berbagai sektor, melindungi hutan, meningkatkan energi terbarukan dan
melibatkan masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam pengendalian
perubahan iklim yang telah diperjuangkan Indonesia.
3. Menjadi pihak yang ikut (memiliki hak suara) dalam keputusan terkait
Perjanjian Paris, termasuk pengembangan modalitas, prosedur dan pedoman
pelaksanaan Perjanjian Paris.
4. Mendapatkan akses mudah ke sumber pendanaan, transfer teknologi,
peningkatan kapasitas untuk menerapkan langkah-langkah mitigasi dan
adaptasi.
Komitmen NDC Indonesia untuk periode berikutnya ditetapkan berdasarkan
performance review dan harus meningkat dari periode sebelumnya. Paris Agreement
mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 4 November 2016 (berlaku), yang
merupakan yang ketiga puluh hari setelah lebih dari 55 negara yang mewakili 55%
dari total emisi gas rumah kaca (GRK) global yang menyerahkan instrumen
ratifikasinya kepada Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Penerimaan dari cukai CO2 berpotensi menjadi bagian penting dari aliran penerimaan
negara. Penggunaan penerimaan cukai CO2 untuk mendukung program multi-negara
sejalan dengan Stop Global Warming. Selain itu, pendapatan tersebut juga dapat
mendorong peningkatan persaingan usaha dan tujuan pembangunan lainnya di dalam
negeri. Pendapatan dari pajak CO2 dapat digunakan untuk antara lain :
1. Melakukan reformasi perpajakan;
2. lahir Mencapai tujuan pembangunan dan tujuan ekonomi;
3. Memberikan subsidi kepada mereka yang terkena dampak biaya karbon;
4. Membayar hutang dan;
5. Misalnya untuk mengurangi pemanasan global.
Menghentikan pemanasan global adalah penggunaan paling umum dari
pendapatan pajak karbon. Dalam hal ini, penerimaan dari cukai CO2 dapat digunakan
untuk mendorong langkah-langkah lain yang juga bertujuan untuk mengurangi emisi
gas rumah kaca, seperti pembangunan hijau di Indonesia. Menurut Komisi Tingkat
Tinggi untuk Penetapan Harga Karbon, paket tindakan semacam itu mungkin
diperlukan untuk memenuhi tujuan Perjanjian Paris. ini disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu sektor swasta enggan menginvestasikan dana dalam kegiatan rendah
karbon; Lahir karena risiko tinggi yang dirasakan dan kurangnya pemberi pinjaman
yang tertarik pada investasi semacam itu, sulit untuk mendapatkan pembiayaan untuk
investasi dan program rendah karbon.Orang dan perusahaan yang kekurangan
informasi atau terpengaruh oleh informasi yang bisa; Tingginya biaya sektor swasta
untuk mengembangkan infrastruktur mandiri; Misalnya kurangnya insentif untuk
kegiatan R&D, permasalahan tersebut dapat diatasi dengan menggunakan penerimaan
cukai CO2, antara lain:
1. Pembangunan hijau yang enggan disentuh oleh sektor swasta;
2. Lahir Pembiayaan proyek investasi untuk pembangunan hijau;
3. Pemberian informasi tentang pengurangan pemanasan global;
4. Pemberian subsidi teknologi hemat energi untuk rumah dan perusahaan;
5. Misalnya, Pembiayaan proyek infrastruktur hijau yang terlalu mahal untuk
dibiayai secara mandiri oleh sektor swasta, dan;
6. Pemberian subsidi untuk kegiatan R&D dalam program pembangunan hijau.
Pendapatan dari pajak CO2 sangat penting untuk mendukung pembangunan
berwawasan lingkungan. dari pendapatan tersebut dapat digunakan untuk membiayai
program penanggulangan pemanasan global, khususnya dalam berbagai proyek
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, seperti pembangunan
pembangkit listrik hingga energi terbarukan dan penanaman hutan penyerap karbon.
Ada beberapa manfaat yang akan diperoleh pemerintah dari penggunaan penerimaan
cukai CO2 untuk pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Keunggulan tersebut sebagai:
1. Efisiensi yang lebih besar dari cukai CO2 dapat diatasi karena kegagalan pasar;
2. Lahir pengurangan emisi di sektor-sektor yang tidak tercakup dan;
3. Meningkatkan penerimaan dan dukungan masyarakat terhadap kebijakan cukai
CO2.
Namun, pemerintah juga menghadapi tantangan dalam memutuskan untuk
menggunakan penerimaan cukai untuk konstruksi, yaitu kemungkinan biaya
administrasi yang tinggi dibandingkan dengan sektor alternatif lain jika distribusi
penerimaan tidak memadai. Dalam jangka panjang, menggunakan pendapatan pajak
karbon untuk mempromosikan pembangunan hijau, seperti membiayai teknologi
hijau, kemungkinan besar akan mengubah perekonomian negara dalam menghadapi
guncangan ekonomi seperti ketidakstabilan harga bahan bakar fosil dan bencana
terkait iklim.

2. Komitmen pemerintah terhadap pengurangan emisi karbon dan pemanfaatan


energi terbarukan berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016

Komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi Emisi Karbon terhadap


pada keikutsertaan dan diratifikasinya Paris Agreement sebagai dasar legalitas bagi
kebijakan pemerintah untuk mengupayakan perbaikan iklim dan menahan laju
pemanasan global. Persetujuan Paris adalah perjanjian dalam Konvensi Kerangka
Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) tentang mitigasi
emisi rumah kaca, adaptasi, dan keuangan. Tujuannya untuk menekan laju global
warming yang disebabkan oleh climate change. Setidaknya ada 195 perwakilan
negara yang turut menegosiasikan perjanjian tersebut pada Konferensi Perubahan
Iklim PBB ke-21 di Paris, Prancis. Setelah negosiasi, Paris Agreement akhirnya resmi
ditandatangani pada peringatan Hari Bumi, 22 April 2016 di New York, Amerika
Serikat. Indonesia termasuk salah satu negara yang menandatangani perjanjian
tersebut dengan komitmen meratifikasi gas rumah kaca sebesar 1,49%.
Sebagaimana diketahui ciri Hard Law pada hukum internasional adalah
bahwa konvensi itu mempunyai kekuatan mengikat (binding power) pada negara-
negara peserta konvensi. Demikian halnya dengan Paris Agreement yang sifatnya
Harf Law with Harg Regulations, yang mempunyai kekuatan mengikat dan memuat
kewajibankewajiban dan larangan-larangan bagi negara-negara Pihak. Tujuan negara-
negara untuk membuat Paris Agreement karena adanya suatu kehendak bersama dari
negara-negara. Hal ini merupakan bentuk perwujudan dari teori hukum internasional
yang dikenal dengan teori kehendak bersama negara-negara. Negara-negara tersebut
telah menyepakati dan menyetujui untuk terikat pada Paris Agreement. Sebagai
konsekuensinya setiap negara peserta harus mentaati dan menghormati Paris
Agreement. Daya mengikat Paris Agreement didasarkan pada prinsip hukum
internasional pacta sunt servanda. Dasar hukum pacta sunt servanda diatur pada Pasal
26 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian, dalam Pasal 26 pacta sunt
servanda berarti tiaptiap perjanjian yang berlaku mengikat negara-negara yang
menjadi anggota perjanjian dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Bentuk implikasi terhadap Indonesia sebagai negara anggota Paris Agreement
menjadikan Indonesia terikat pada Paris Agreement, dan wajib mentaati dan
menghormati Paris Agreement. Melaksanakan kewajiban-kewajiban yang termuat
dalam Paris Agreement. Dalam pelaksanaan Paris Agreement, Indonesia sebelumnya
telah melalui proses persetujuan untuk terikat pada Paris Agreement. Menurut Pasal 1
butir b Konvensi Wina 1969, pengikatan diri atau persetujuan untuk terikat dapat
dilakukan dengan cara ratifikasi, aksesi, penerimaan atau akseptasi, dan persetujuan.
Implementasi Paris Agreement mulai berlaku efektif sejak Januari 2020 lalu.
Keterlibatan Indonesia dalam Paris Agreement bukan tanpa alasan. Selain untuk
mencegah ancaman climate change yang berisiko membahayakan kehidupan manusia
dan lingkungan, hal tersebut sebetulnya juga selaras dengan tujuan negara. Seperti
yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, tujuan negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum.
Apabila tidak ada langkah serius untuk mengatasi masalah perubahan iklim,
maka kesejahteraan umum pun akan terganggu. Karenanya, pemerintah Indonesia
pun turut serta dalam upaya pengendalian dan perlindungan dampak perubahan iklim
melalui Paris Agreement. Komitmen tersebut kembali dibuktikan pada acara
Konvensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC-COP25) di Ifema,
Madrid, Spanyol yang berlangsung selama 2-13 Desember 2019 lalu. Di acara
tersebut, Indonesia kembali menyatakan komitmen untuk mencapai target
implementasi Paris Agreement.
Komitmen Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca dituangkan dalam
dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Dokumen ini merupakan
tindak lanjut dari Paris Agreement yang telah disahkan melalui Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2016. Dalam NDC, disebutkan bahwa Indonesia memiliki target
penurunan emisi nasional sebesar 29% hingga 2030.
Ada lima sektor yang akan menjadi fokus pemerintah Indonesia dalam
upaya penurunan emisi, yaitu industri, energi, pertanian, kehutanan, dan limbah.
Belum lagi, sebagian besar pembangkit listrik PLN yang ada secara khusus
didesain untuk menggunakan batu bara, gas, dan solar sebagai bahan bakar. Selain
karena lebih murah dibandingkan dengan energi terbarukan, energi primer seperti
batu bara tersedia melimpah di Indonesia. Hal mana memberi beberapa
keuntungan kompetitif yaitu sebagai sumber devisa, membuka lapangan kerja dan
menggerakkan ekonomi daerah serta sumber energi murah. Dalam konteks
konservasi energi, permintaan energi final dalam model pembangunan
berkelanjutan diperkirakan menghasilkan rata-rata penghematan 12 %. Pada akhir
2019 Indonesia berhasil menurunkan emisi CO2, melebihi target, hingga 50 juta
ton.
Dalam merumuskan kebijakan energi, pemerintah memperhitungkan
asumsi pertumbuhan ekonomi, ketersediaan energi primer, jaringan listrik, daya
beli industri dan masyarakat, serta kemampuan PLN untuk bertumbuh dan
beroperasi secara sehat. Dalam kenyataannya, asumsi-asumsi pertumbuhan
ekonomi tidak setinggi yang diperkirakan sebelumnya. PLN menyusun Rencana
Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) untuk 10 tahun yang dimutakhirkan
setiap tahun, serta mendapat persetujuan Pemerintah. Mengawali 2020, dunia
termasuk Indonesia dilanda bencana pandemi virus corona. Covid-19 telah
mengakibatkan semua proyeksi ekonomi terkait dengan pertumbuhan ekonomi,
permintaan, pertumbuhan industri, penyediaan pembiayaan maupun daya beli
masyarakat menurun. Hal ini berpengaruh kepada kemampuan negara untuk
melakukan ekspansi dan menjaga momentum pertumbuhan. Negara-negara di
dunia, termasuk Indonesia melakukan penyesuaian dan revisi dalam target-
targetnya. Hal ini tentu berdampak juga dalam bidang kebijakan energi. Indonesia
tetap komit untuk dapat mencapai energy mix. Sehubungan dengan pelemahan
supply and demand global, Indonesia menyiasatinya di bidang energi dengan
beberapa hal sebagai berikut: Aktivitas ekonomi yang terkait dengan fossil based
energy, seperti kegiatan pertambangan batubara, minyak dan gas bumi, akan lebih
difokuskan untuk optimalisasi dan intensifikasi eksisting fields. Kegiatan
eksplorasi berkurang. Peningkatan nilai tambah seperti industrialisasi dan
pemanfaatan primary energy sebagai feedstock untuk petrochemicals. Untuk tetap
menjaga momentum komitmen peningkatan penggunaan energi terbarukan, 
mengantisipasi dan menyikapi dampak Covid-19, pemerintah lebih menekankan
kepada seleksi program yang berkualitas. Peningkatan akses ke energi,
ketersediaan, pemerataan energi ke daerah terpencil, dengan tetap
mengoptimalkan sumber energi setempat merupakan kebijakan taktis responsif
yang baik. Tekanan kepada kualitas ini lebih sesuai daripada mengejar kuantitas,
ketika geliat perekonomian secara keseluruhan terkoreksi ke bawah. Program-
program ekonomi kerakyatan digalakkan pemerintah, dengan berbagai stimulus
untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, kesehatan dan
kualitas hidup rakyat. Hal ini sesuai dengan tujuan pembangunan ekonomi
berkelanjutan yaitu untuk menghapuskan kemiskinan dan memastikan tidak ada
negara yang ditinggalkan. Untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia,
pengaruh Covid-19 sangat signifikan. Kita mendengar, target-target pertumbuhan
dikoreksi ke bawah, anggaran pendapatan dan belanja negara hampir 25 %
direalokasi dan difokuskan untuk menangani dan mengatasi dampaknya. Hal yang
sama juga terlihat di sektor pelaku bisnis swasta maupun ekonomi kerakyatan.
Secara kategoris, hal-hal yang menjadi fokus pemerintah dalam pengembangan
energi terbarukan adalah: Mendorong pengembangan pertumbuhan jaringan
transmisi kelistrikan ke wilayah-wilayah yang secara aktual dan potensial
memiliki sumber listrik tenaga hidro. Pengembangan ekonomi daerah dengan
membangun sentra-sentra dan kluster hibrid pembangkit tenaga matahari dan
biomassa, terutama di daerah terpencil. Sekalipun jumlahnya kecil antara 5 dan 10
MW, namun potensinya ada ratusan wilayah. Hal ini akan memberi keuntungan
ganda, yaitu pemanfaatan energi primer menjadi sumber ekonomi masyarakat,
sekaligus meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat. Untuk energi
terbarukan skala besar, seperti hydropower dan tenaga angin (bayu), diusahakan
tersambung dengan sentra-sentra industri yang padat energi seperti smelter.
Dalam rangka mengurangi ketergantungan kepada impor minyak, biofuel berbasis
minyak kelapa sawit dikembangkan. Indonesia telah berhasil mengembangkan
bahan bakar nabati campuran solar dengan fame yang bersumber dari kelapa
sawit hingga 30 % (B30). Peningkatan penggunaan biodiesel pada 2019 dari B20
ke B30 menambah penyerapan dari 6,6 juta kilo liter ke 9,8 juta kilo liter. Ini
sekaligus merupakan penghematan penggunaan fossil based fuel. Penguasaan
teknologi dan peningkatan nilai tambah, termasuk di dalamnya adalah mendorong
pengembangan mobil listrik, perluasan jaringan gas untuk rumah tangga serta
memperbanyak penggunaan LNG untuk transportasi. L’historie se repete, sejarah
berulang.  Pada awal industrialisasi abad ke-18, negara-negara Barat
mengeksploitasi batu bara sebagai mesin penggerak ekonomi.
Selain membawa keunggulan ekonomi, eksploitasi tersebut meninggalkan
jejak kerusakan lingkungan. Saat ini negara-negara berkembang tidak punya
banyak pilihan untuk meningkatkan ekonomi, memberi lapangan kerja sekaligus
menjaga lingkungan. Nilai tukar produk ekonominya tidak seunggul produksi
barang dan jasa dari  negara-negara maju. Indonesia adalah  salah satu paru-paru
dunia yang memiliki hutan tropis penyumbang O2 secara signifikan. Di sisi lain,
negara-negara maju mengkonsumsi banyak energi, menghasilkan barang-barang
industri yang menghasilkan limbah emisi CO2. Oksigen yang kita hirup atau
karbon dioksida limbah industri, dihasilkan dan digunakan di bumi yang sama.
Demi mewujudkan komitmen ini, pemerintah telah menyusun Peta Jalan
NDC bersama enam kementerian dan lembaga pelaksana kegiatan penurunan gas
rumah kaca pada lima sektor tersebut. Komitmen pertama implementasi NDC
dilakukan pada 2020 dan akan rutin diperbarui setiap lima tahun sekali. Hingga
2021 ini, sudah ada sejumlah upaya yang ditempuh Indonesia untuk menekan
dampak climate change, terutama terkait penurunan gas rumah kaca. Beberapa di
antaranya adalah perbaikan manajemen gambut, pencegahan kebakaran, program
untuk menekan emisi yang disebabkan oleh deforestasi dan perusakan hutan, serta
program campuran minyak nabati 30% dan 60% untuk biodiesel (B30 dan B60).
Salah satu sumber terbesar gas rumah kaca adalah pemakaian bahan bakar fosil
yang menghasilkan karbon dioksida (CO2). CO2 inilah yang menjadi salah satu
kontributor climate change. Beberapa kontributor lainnya adalah metana (CH4)
yang dihasilkan peternakan dan agrikultur serta nitrogen oksida (NO) dari pupuk.
Karenanya, agar produksi gas rumah kaca bisa menurun, penggunaan
bahan bakar fosil pun harus dikurangi. Sebagai gantinya, pemerintah mendorong
masyarakat untuk menggunakan energi baru terbarukan (EBT) yang masih sejalan
dengan komitmen Indonesia terhadap Paris Agreement. Demi mewujudkan hal
ini, disusunlah target bauran EBT sebesar 23% pada 2025 dan 30% pada 2030.
Pada 2020 lalu, realisasi kapasitas pembangkit listrik EBT mencapai 10.467
megaWatt (MW). Jumlah tersebut belum mencakup PLTS Atap sebesar 13,4
MW, PLTA Poso sebesar 66 MW, PLTM Sion sebesar 12,2 MW, dan PLTBm
Merauke sebesar 3,5 MW. Alhasil, total pembangkit yang terpasang sepanjang
2020 adalah 10.291 MW. Sayangnya, jumlah tersebut belum cukup besar untuk
mendorong target bauran EBT. Salah satu alasannya karena jadwal operasi
banyak pembangkit mengalami kemunduran akibat pandemi COVID-19.
C. Penutup
1. Berdasarkan hasil dari pembahasan dan analisis menggunakan metode normatif :
Pendekatan peraturan undang-undang dan turunannya dalam gambaran kebijakan
pemerintah Indonesia meratifikasi Paris Climate Agreement, Indonesia memiliki
alasan yang digolongkan menjadi dua faktor, yakni faktor internal dan faktor
eksternal. Pertama dari sisi internal yakni, masih kurangnya gerakan NGO dan
tekanan dari masyarakat adat yang menjadi pertimbangan tersendiri untuk para
pembuat kebijakan luar negeri Indonesia dalam meratifikasi Paris Climate
Agreement. Hal ini berkaitan dengan ketentuan yuridis yang telah menjamin hak
asasi atas lingkungan hidup sudah menjadi kewajiban bagi setiap negara. Kedua
dari faktor eksternal, pemerintah Indonesia menyadari bahwa kerusakan
lingkungan dan image pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan, serta
melihat tingkat korupsi yang cukup tinggi tentu saja hal ini menjadikan Indonesia
berada dalam kesulitan guna mendapatkan donor untuk mendukung program
pemerintah Indonesia yang berwawasan lingkungan. Mengurangi emisi gas
karbon dalam upaya membatasi terjadinya kenaikan suhu global pada saat ini
yang berpengaruh terhadap ekonomi dan lingkungan di Indonesia dengan
menfaatkan lahan hutan adalah sektor yang paling signifikan dalam pengendalian
iklim selain dari sektor industri. Adapun dampak atau manfaat dari Paris
Agreement terahadap kehidupan ekonomi dan lingkungan di Indonesia sendiri
adalah sebagai berikut :
a. Peningkatan perlindungan kawasan di Indonesia yang sangat rentan
terhadap dampak perubahan iklim, melalui mitigasi dan adaptasi terhadap
perubahan iklim.
b. Memperkuat pengakuan komitmen nasional untuk mengurangi emisi dari
berbagai sektor, melindungi hutan, meningkatkan energi terbarukan dan
melibatkan masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam pengendalian
perubahan iklim yang telah diperjuangkan Indonesia.
c. Menjadi pihak yang ikut (memiliki hak suara) dalam keputusan terkait
Perjanjian Paris, termasuk pengembangan modalitas, prosedur dan
pedoman pelaksanaan Perjanjian Paris.
d. Dapatkan akses mudah ke sumber pendanaan, transfer teknologi,
peningkatan kapasitas untuk menerapkan langkah-langkah mitigasi dan
adaptasi.
2. Kemudian komitmen pemerintah terhadap pengurangan emisi karbon dan
pemanfaatan energi terbarukan berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun
2016 adalah komitmen Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca dituangkan
dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Dokumen ini
merupakan tindak lanjut dari Paris Agreement yang telah disahkan melalui
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Dalam NDC, disebutkan bahwa
Indonesia memiliki target penurunan emisi nasional sebesar 29% hingga 2030.
Ada lima sektor yang akan menjadi fokus pemerintah Indonesia dalam upaya
penurunan emisi, yaitu industri, energi, pertanian, kehutanan, dan limbah. Demi
mewujudkan komitmen ini, pemerintah telah menyusun Peta Jalan NDC bersama
enam kementerian dan lembaga pelaksana kegiatan penurunan gas rumah kaca
pada lima sektor tersebut. Komitmen pertama implementasi NDC dilakukan pada
2020 dan akan rutin diperbarui setiap lima tahun sekali. Hingga 2021 ini, sudah
ada sejumlah upaya yang ditempuh Indonesia untuk menekan dampak climate
change, terutama terkait penurunan gas rumah kaca. Beberapa di antaranya adalah
perbaikan manajemen gambut, pencegahan kebakaran, program untuk menekan
emisi yang disebabkan oleh deforestasi dan perusakan hutan, serta program
campuran minyak nabati 30% dan 60% untuk biodiesel (B30 dan B60). Salah satu
sumber terbesar gas rumah kaca adalah pemakaian bahan bakar fosil yang
menghasilkan karbon dioksida (CO2). CO2 inilah yang menjadi salah satu
kontributor climate change. Beberapa kontributor lainnya adalah metana (CH4)
yang dihasilkan peternakan dan agrikultur serta nitrogen oksida (NO) dari pupuk.
Karenanya, agar produksi gas rumah kaca bisa menurun, penggunaan bahan bakar
fosil pun harus dikurangi. Sebagai gantinya, pemerintah mendorong masyarakat
untuk menggunakan energi baru terbarukan (EBT) yang masih sejalan dengan
komitmen Indonesia terhadap Paris Agreement. Demi mewujudkan hal ini,
disusunlah target bauran EBT sebesar 23% pada 2025 dan 30% pada 2030. Pada
2020 lalu, realisasi kapasitas pembangkit listrik EBT mencapai 10.467 megaWatt
(MW). Jumlah tersebut belum mencakup PLTS Atap sebesar 13,4 MW, PLTA
Poso sebesar 66 MW, PLTM Sion sebesar 12,2 MW, dan PLTBm Merauke
sebesar 3,5 MW. Alhasil, total pembangkit yang terpasang sepanjang 2020 adalah
10.291 MW. Sayangnya, jumlah tersebut belum cukup besar untuk mendorong
target bauran EBT. Salah satu alasannya karena jadwal operasi banyak
pembangkit mengalami kemunduran akibat pandemi COVID-19.

D. Daftar Pustaka
Andylala, Waluyo (2017): Presiden Jokowi Ingatkan Komitmen Pemimpin Negara
G20 Agenda 2030. In Voice of America, 7/8/2017. Available onlineat
https://www.voaindonesia.com/a/presiden-jokowi-ingatkankomitmen?
pemimpin-negara-g20-agenda2030/3933807.htm
Ghaniyyu, Faris Faza, and Nurlina Husnita. 2021. “Upaya Pengendalian Perubahan
Iklim Melalui Pembatasan Kendaraan Berbahan Bakar Minyak Di
Indonesia Berdasarkan Paris Agreement.” MORALITY : Jurnal Ilmu
Hukum 7(1):110. doi: 10.52947/morality.v7i1.196.
Hardoko, Ervan (2017). Presiden Trump Keluarkan AS dari Kesepakatan Iklim
Paris. In Kompas 2/6/2017. Availableonline at
https://internasional.kompas.com/read/2017/06/02/05383941/presiden.tru
mp.keluarkan.as.dari.kesepakatan.iklim.paris
Indra, Meru, and Kurnia Jati. 2020. “Cukai Karbon Untuk Pembangunan
Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan Di Indonesia.” 7(1):35–40
Miranti, R., Widhiyoga, G., & Haqqi, H. (2019). Analisis Pembangunan
Berkelanjutan Terhadap Kebijakan Perubahan Iklim Indonesia Sebagai
Upaya Mengakomodasi Paris Agreement. Transformasi, 1(34).
Rohmah, Nurruli Fatur. 2019. “Struktur Dan Desain Organisasi.”

You might also like