You are on page 1of 82

PEMIKIRAN KARL RAHNER MENGENAI KRISTEN ANONIM DAN

IMPLIKASINYA TERHADAP PRAKSIS HIDUP UMAT KRISTEN


DALAM KONTEKS PLURALISME DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan kepada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero


untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat
Program Studi Ilmu Teologi – Filsafat
Agama Katolik

Oleh:
ALOWYSIUS BELAWA KELLEN
NPM: 13.75.5263

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK


LEDALERO – MAUMERE
2020
ii
iii
ABSTRACT

Religion is an institution formed by humans. Religion is formed to


regulate, guide, and process the relationship between humans and God, others,
and the natural surroundings. However, religion can be a very lethal “weapon” for
others if its adherents are trapped in a radical understanding of their own religion.

Indonesia is a pluralistic country, which is characterized by diversity of


religions and beliefs. This diversity can backfire for religious relations, if each
people judges other religions subjectively. Therefore, in the reality of the life of
the Indonesian people, often claims about absolute truth by adherents of certain
religions have triggered conflict in this country. There is a group of people who
think that their religion is the most correct religion, while the teachings of other
religions are wrong.

In this thesis, the author takes the theme of Anonymous Christians which
was initiated by Karl Rahner. Karl Rahner’s ideas about Anonymous Christians
are assumed to be used to bridge various conflicts in the name of religion that
often occur in Indonesia. The author hopes that by correctly understanding the
concept of Anonymous Christians, Christians in Indonesia can position
themselves better in dealing with people from other religion.

In the Anonymous Christians concept, Rahner argues that all religions are
means to salvation. Salvation is not a Christian monopoly. People of other faiths
are always open to salvation, because basically God wants all humans to be saved.
Rahner’s view provides a kind of warning for Christians, especially Christians in
Indonesia who live in the context of religious pluralism, not to judge other
religions as false beliefs and do not have salvation. Although it is not as perfect as
it is in the Church, but because of the universal gift of God, salvation in Christ
also exists in Anonymous Christians even though it does not use the name of
Christ (Anonymous Christ).

iv
ABSTRAKSI

Agama merupakan institusi bentukan manusia. Agama dibentuk untuk


mengatur, membimbing, dan mengolah hubungan antara manusia dengan Tuhan,
sesama, dan alam sekitarnya. Namun, agama bisa menjadi “senjata” yang sangat
mematikan bagi sesama apabila para penganutnya terjebak dalam pemahaman
yang radikal mengenai agamanya sendiri.

Indonesia adalah negara yang majemuk, yang ditandai dengan


keberagaman agama dan aliran kepercayaan. Keberagaman ini bisa menjadi
bumerang bagi relasi antarumat beragama, apabila setiap umat menilai agama lain
secara subjektif. Karena itu, dalam kenyataan kehidupan bangsa Indonesia,
acapkali klaim tentang kebenaran mutlak oleh penganut agama tertentu menjadi
pemicu terjadinya konflik di tanah air ini. Ada sekelompok orang yang
beranggapan bahwa agama mereka merupakan agama yang paling benar,
sedangkan ajaran agama lain adalah salah.

Dalam skripsi ini, penulis mengangkat tema mengenai Kristen Anonim


yang digagaskan oleh Karl Rahner. Gagasan Karl Rahner tentang Kristen Anonim
diasumsikan dapat dipakai untuk menjembatani pelbagai konflik atas nama agama
yang sering terjadi di Indonesia. Penulis mengharapkan dengan memahami secara
tepat konsep Kristen Anonim, umat Kristen di Indonesia dapat memposisikan
dirinya secara lebih baik berhadapan dengan umat dari agama lain.

Di dalam konsep Kristen Anonim, Rahner menggarisbawahi pemikirannya


bahwa semua agama adalah sarana menuju keselamatan. Keselamatan bukan
merupakan monopoli umat Kristen. Umat yang beragama lain pun senantiasa
terbuka kepada keselamatan, sebab pada dasarnya Allah menghendaki agar semua
manusia selamat. Pandangan Rahner ini memberikan semacam awasan bagi
orang-orang Kristen, secara khusus umat Kristen di Indonesia yang hidup dalam
konteks pluralisme agama, untuk tidak menghakimi agama-agama lain sebagai
keyakinan palsu dan tidak mempunyai keselamatan. Walaupun tidak sesempurna
yang ada dalam Gereja, namun karena anugerah Allah yang universal,
keselamatan dalam Kristus pun ada di dalam orang Kristen Anonim (Anonymous
Christians), walaupun tidak memakai nama Kristus (Anonymous Christ).

v
vi
KATA PENGANTAR

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari


pelbagai macam latar belakang, suku, budaya, adat istiadat, bahasa, dan agama.
Kemajemukan tersebut bukan sekadar berkisar pada konsep, melainkan pada
tindakan di mana masyarakat dapat menerima, menghormati, menghargai, dan
mampu mempraktikkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain,
setiap masyarakat harus mampu menunjukkan sikap yang pluralis.

Namun, keberagaman yang dibanggakan oleh masyarakat Indonesia


sendiri seringkali menimbulkan ketegangan. Ketegangan ini dapat membawa
kerusuhan dan perselisihan yang berakhir pada konflik-konflik sosial, budaya,
serta agama. Berkaitan dengan masalah ini, agama seringkali menjadi sasaran
untuk memicu terjadinya konflik. Masyarakat mayoritas selalu beranggapan
bahwa ajaran dan agamanya yang paling benar, sedangkan agama lain keliru
bahkan salah. Padahal, masyarakat Indonesia pada umumnya sadar akan dasar dan
nilai-nilai yang dituangkan di dalam Pancasila. Indonesia bukan merupakan
negara agama, bukan juga merupakan negara yang sekular melainkan negara
Pancasila yang menjunjung tinggi demokrasi. Oleh karena itu, toleransi sangat
diperlukan demi tercapainya kehidpuan masyarakat yang pluralis.

Karl Rahner, seorang teolog asal Jerman menawarkan suatu jalan menuju
keselamatan universal. Ia memberikan beberapa catatan penting yang sempat
membuka dialog bagi para teolog-teolog lain. Bagi Rahner, setiap manusia secara
kodratnya dapat diselamatkan. Penyelamatan mengandaikan penciptaan dan itu
berarti penyelamatan menyempurnakan penciptaan. Karya penyelamatan
membawa pengandaian bahwa manusia diselamatkan dengan jalan disapa,
ditawari melalui agama-agama yang hadir dan keselamatan itu dapat terjadi
melalui Kristus. Kristus hadir bukan semata-mata hanya menyelamatkan orang

vii
Kristen melainkan semua orang tanpa memandang agama yang mereka anut. Karl
Rahner menyebutnya sebagai Kristen Anonim atau Kristen tanpa nama.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan pernah terselesaikan tanpa
bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan limpah terima
kasih kepada semua pihak yang telah berusaha dengan caranya masing-masing.
Pertama, terima kasih dan syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa, karena atas
anugerah dan berkat bimbingan-Nya penulis bisa merampungkan karya ilmiah ini.
Kedua, kepada STFK Ledalero yang telah mengajar dan membekali penulis
dengan begitu banyak pengetahuan dan keterampilan. Terima kasih kepada Pater
Dr. Georg Kirchberger, SVD yang telah membimbing penulis dengan berbagai
saran, kritik, dan motivasi sehingga karya ini bisa diselesaikan dan sekaligus
menjadi dosen penguji I. Terima kasih pula kepada Pater Sefrianus Juhani, S.Fil.,
Lic., SVD yang telah bersedia menjadi dosen penguji II, dan Pater Dr. Alfons
Betan yang bersedia menjadi penanggung jawab skripsi ini.

Terima kasih juga kepada Biara St. Carolus Borromeus-Kongregasi


Scalabrinian yang telah mengajar penulis tentang kasih persaudaraan melalui
aturan-aturan yang ada. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih
kepada teman-teman angkatan 2012 Scalabrinian, juga kepada saudara Ade
Riberu, Fandy, Selis, Tharsy, Yermis, Safri, Pice, Viktor, Dion, opa Yeremias
Dewa sekeluarga, teman-teman Daniel Kos yang bertempat di Ribang, teman-
teman CSF kos di Wairpelit yang telah menyumbangkan ide-ide dan gagasannya
dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih secara khusus kepada orang-orang


tercinta yang turut berperan penting bagi kesuksesan penulis. Terima kasih kepada
kedua orang tua tercinta, almarhum Bapak Yosep Ola Kelen dan Mama Theresia
Lipe Wain yang telah membesarkan penulis dengan cinta kasih dan menanamkan
nilai-nilai luhur kemanusiaan. Terima kasih pula kepada kedua adikku tercinta
Norbet dan Onkel. Terima kasih yang terakhir penulis sampaikan kepada yang
terkasih Sherly Guslianda Harahap yang telah memberikan motivasi kepada
penulis baik dalam bentuk moral maupun moril.

viii
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis dengan rendah hati menerima segala koreksi, usul, saran dan
kritik demi menyempurnakan skripsi ini.

Penulis

Ledalero, 25 Juni 2020

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i


LEMBARAN PENERIMAAN JUDUL ............................................................. ii
LEMBARAN PENGESAHAN .......................................................................... iii
ABSTRAKSI BAHASA INGGRIS ................................................................... iv
ABSTRAKSI BAHASA INDONESIA ............................................................... v
PERNYATAAN ORISINALITAS..................................................................... vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 5
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................. 5
1.4 Metode Penulisan ............................................................................................ 6
1.5 Sistematika Penulisan ...................................................................................... 7

BAB II MENGENAL KARL RAHNER DAN KARYANYA ......................... 8


2.1 Biografi ............................................................................................................ 8
2.2 Karya-Karya .................................................................................................. 13
2.3 Tokoh-Tokoh yang Memengaruhi Pemikiran Karl Rahner ........................... 16
2.3.1 Thomas Aquinas ........................................................................................ 16
2.3.2 Joseph Maréchal ........................................................................................ 18
2.3.3 Martin Heidegger ...................................................................................... 19
2.3.4 Immanuel Kant .......................................................................................... 21
2.4 Metode Berteologi ......................................................................................... 22
2.4.1 Latar Belakang .......................................................................................... 22
2.4.2 Metode Antropologis Transendental ......................................................... 24
2.5 Beberapa Tema Teologi Karl Rahner ............................................................ 26

x
2.5.1 Pengalaman akan Allah ............................................................................. 26
2.5.2 Rahmat ...................................................................................................... 31
2.5.3 Kristologi ................................................................................................... 34
2.5.4 Soteriologi ................................................................................................. 36

BAB III PANDANGAN RAHNER MENGENAI KRISTEN ANONIM ...... 38


3.1 Latar Belakang Munculnya Pandangan Kristen Anonim .............................. 38
3.2 Definisi Frasa “Kristen Anonim” ................................................................... 40
3.3 Pokok-Pokok Pikiran dalam Konsep Kristen Anonim .................................. 42
3.3.1 Pengalaman Transendental Manusia ......................................................... 42
3.3.2 Rahmat sebagai Bentuk Komunikasi Allah .............................................. 43
3.3.3 Anugerah yang Implisit tanpa Iman yang Eksplisit .................................. 45
3.3.4 Hubungan antara Kekristenan dengan Agama Lain .................................. 46

BAB IV IMPLIKASI PANDANGAN RAHNER MENGENAI KRISTEN


ANONIM TERHADAP PRAKSIS HIDUP UMAT KRISTEN
DALAM KONTEKS PLURALISME DI INDONESIA .................. 49
4.1 Pluralisme di Indonesia .................................................................................. 49
4.1.1 Definisi Pluralisme Agama ....................................................................... 49
4.1.2 Pluralisme Agama di Indonesia ................................................................. 51
4.1.3 Umat Kristen dan Pluralisme Agama di Indonesia ................................... 55
4.2 Implikasi Pemikiran Karl Rahner terhadap Praksis Hidup Umat Kristen
dalam Konteks Pluralisme Agama di Indonesia ............................................ 57
4.2.1 Semua Manusia Dimungkinkan untuk Bertransendensi ........................... 57
4.2.2 Universalitas Keselamatan Manusia ......................................................... 58
4.2.3 Kasih kepada Sesama ................................................................................ 60

BAB V PENUTUP ............................................................................................... 63


5.1 Kesimpulan .................................................................................................... 63
5.2 Usul Saran ...................................................................................................... 64

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 66

xi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

“Tidak ada perdamaian di antara bangsa-bangsa tanpa perdamaian di


antara agama-agama, tidak ada perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog di
antara agama-agama” (“No peace between nations without peace between
religions, no peace between religions without dialogue between religions”).1
Pernyataan Hans Küng ini mengungkapkan bahwa sejarah mengenai eksistensi
agama dan dunia merupakan dua hal yang integral. Agama yang ada di dunia
merupakan institusi bentukan manusia, sebagai suatu jalan untuk mencapai
kehidupan yang lebih baik. Agama dibentuk untuk mengatur, membimbing, dan
mengolah hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam sekitar. Fungsi
penting agama ialah membimbing manusia untuk merealisasikan keterciptaannya
berdasarkan kodratnya. Penekanan pada aspek kodrati ini memungkinkan manusia
mengungkapkan sikap kasih sayang, kedamaian, dan ketenangan. Manusia
beragama juga dapat mengkomunikasikan jalan keselamatan dan kehidupan kekal.
Oleh karena itu, kehadiran agama di dunia merupakan wadah yang sangat penting
bagi keberlangsungan hidup di antara manusia.

Secara historis, agama merupakan salah satu bentuk legitimasi yang paling
efektif bagi eksistensi keyakinan seseorang atau kelompok tertentu. Indonesia
memang bukan merupakan negara agama, melainkan satu bangsa yang unik
dengan adanya pluralitas agama. Apabila terdapat pihak-pihak tertentu yang
mencoba mendorong terciptanya pertentangan antara agama-agama, bangsa
Indonesia akan mudah tercabik-cabik, dan ini merupakan pemicu terjadinya

1
Hans Küng, Global Responsibility: In Search Of a New World Ethics (New York:
Crossroad, 1991), hlm. 15.
konflik. Argumen ini sebenarnya sudah menunjukkan suatu paham bahwa
sesungguhnya pluralitas agama merupakan suatu topik yang kompleks dan perlu
dicermati secara mendalam. Bukan karena setiap orang meyakini bahwa agama
yang diyakininyalah yang paling benar melainkan setiap manusia harus dengan
jeli dan terbuka untuk saling menerima. Bahwasanya, setiap keyakinan yang hadir
di dunia akan selalu membawa kenyataan hidup yang baik, dan melalui sikap
hidup yang baik seperti yang diajarkan oleh agamanya, manusia mendapatkan
kedamaian bahkan sampai pada keselamatan.

Namun, di Indonesia sebagai bangsa yang majemuk yang ditandai oleh


keberagaman agama itu, agama cenderung mengalami objektivikasi. Agama
menjadi sangat kering, formal, dan ketat. Manusia yang beragama menjadi sangat
otoriter dan eksklusif, seolah-olah hanya agama dan tata cara ibadatnya yang
paling valid jika dibandingkan dengan agama-agama lain. Alasan dasar
munculnya sikap tersebut ialah orang-orang hanya memiliki pengetahuan tentang
agamanya saja, sedangkan pengetahuan tentang agama lain sangat minim, bahkan
tidak ada sama sekali. Namun, mereka bertindak seolah-olah mengetahui
segalanya. Muara dari kondisi ini adalah perbedaan masing-masing agama dan
klaim-klaim kebenaran serta kemutlakan tiap-tiap agama sering menimbulkan
gesekan-gesekan dalam masyarakat. Klaim kebenaran mutlak demikian kerap
dianggap sebagai sumber konflik dan kekerasan bernuansa agama, di mana agama
dijadikan sebagai alat legalisasi kekerasan satu terhadap yang lain.

Selain itu, munculnya isu-isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan


Antargolongan) yang tersebar di kalangan masyarakat menjadi sangat familiar
hingga melahirkan konflik dan pertikaian antaragama. Padahal, isu-isu tersebut
bukan merupakan suatu kebenaran. Namun, oleh karena isu-isu tersebut
merupakan isu yang sangat sensitif di dalam kehidupan masyarakat, para oknum
tertentu menggunakannya sebagai alat untuk mencapai kepentingan-kepentingan
tertentu. Akibatnya, konflik semakin marak terjadi dengan mengatasnamakan
agama yang memiliki basis legitimasi yang begitu kuat. Sebagai misal, konflik
yang terjadi di Indonesia, khususnya di Maluku (Ambon) beberapa tahun silam, di
mana kepentingan politik bercampur baur dengan perasaan saleh dari setiap orang.
Kerusuhan tersebut mengindikasikan adanya perang antaragama, umat Muslim di

2
satu pihak dan umat Kristen di pihak lain. Dampak dari kejadian tersebut ialah
banyak banyak korban yang berjatuhan dan terjadi pengrusakan rumah-rumah
ibadah.2 Contoh lain, yaitu masalah mengenai terorisme di Indonesia yang sempat
menjadi perhatian serius bagi dunia. Banyak pihak mengklaim bahwa terorisme di
Indonesia dipelopori oleh kaum radikalis Islam. Peristiwa Bali Blast, misalnya,
yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002 merupakan contoh nyata bagaimana
beroperasinya kriminalitas bertopeng agama. Di sisi lain, kerusuhan yang
mengatasnamakan agama di Indonesia juga kerap terjadi karena adanya
kecemburuan secara ekonomi, yang kemudian dipadukan dengan masalah politik
dan agama.3

Kekhasan dalam rupa konflik antaragama di Indonesia tersebut turut


diperkeruh dengan berbagai ajaran dan pandangan teologis dari para tokoh agama
dengan penafsiran-penafsiran teologis yang cenderung subjektif, provokatif, dan
diragukan akurasi basis pemikiran dan penafsirannya. Pada akhirnya, kekacauan
paham tentang kebenaran sebagai aplikasi dari penafsiran teologis yang subjektif
tersebut justru memprovokasi umat beragama yang berujung pada sikap eksklusif
terhadap agama lain, bahkan bermuara pada konflik antaragama. Hal ini kemudian
melahirkan pandangan bahwa “hanya agama saya yang benar, di luar itu adalah
kekafiran”. Padahal, pluralisme mengindikasikan bahwa di dalam setiap agama
masing-masing ada kebenaran, tidak ada agama yang mutlak benar, yang paling
mungkin adalah relatif. Karena itu, semua agama merupakan jalan yang berbeda,
tetapi memimpin kepada tujuan yang sama. Dalam hal ini, sebagai puncak dari
tiga sikap beragama – selain eksklusivisme dan inklusivisme – pluralisme dapat
menciptakan kehidupan yang damai dan harmonis di antara umat beragama
karena meyakini adanya kebenaran dalam setiap agama. Pluralisme tidak hanya

2
Bernardus Raho, “Konflik di Indonesia: Problematika dan Pemecahannya, Ditinjau dari
Perspektif Sosiologis”, dalam Guido Tisera (ed.), Mengolah Konflik Mengupayakan Perdamaian
(Maumere: Penerbit LPBAJ, 2002), hlm. 122-125.
3
Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia: Dari Radikalisme Menuju
Kebangsaan, Cet. ke-5, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009), hlm. 91.

3
menandakan adanya keberagaman tetapi lebih dari itu, yakni perlu dan pentingnya
mengakui serta menghargai kebenaran iman yang terdapat di dalam agama lain.4

Situasi-situasi sebagaimana yang diuraikan di atas kemudian melahirkan


urgensi untuk mengafirmasi gagasan pluralisme agama di tengah umat beragama
di Indonesia, secara khusus bagi kaum Kristen Indonesia. Sebagaimana umat
beragama lainnya, kekristenan Indonesia tentu mengakui bahwa pluralitas agama
di Indonesia mengandung aspek-aspek positif maupun negatif. Dari perspektif
positif, pluralitas agama merupakan salah satu dimensi untuk memperkaya
sekaligus menantang pemahaman Kristen secara lebih perseptif dan realistis
mengenai keberagaman tersebut. Dampak dari perspektif demikian adalah
pelayanan Kristen akan menjadi lebih relevan dan kontekstual bagi kebutuhan
manusia. Sementara itu dari perspektif negatif, pluralitas agama dalam kondisi
tertentu dapat menjadi penyebab timbulnya ketegangan dan konflik di antara umat
beragama sebagaimana yang telah diuraikan terdahulu. Dalam kondisi dilematis
ini, tentu pluralisme di Indonesia merupakan salah satu tantangan bagi kekristenan
itu sendiri, sebagaimana dikatakan Stevri I. Lumintang, bahwa pluralisme adalah
suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius bagi kekristenan, sebab
pluralisme tidak sekadar berkaitan dengan konsep sosiologis dan antropologis,
melainkan lebih dari itu merupakan konsep filsafat agama yang bertolak bukan
dari Alkitab, melainkan dari fakta kemajemukan yang diikuti oleh tuntutan
toleransi dan diilhami oleh keadilan sosial politik yang didukung oleh
kemajemukan etnis, budaya dan agama, serta disponsori oleh semangat globalisasi
dan relativisme yang mengiringinya.5 Karena itu, pertanyaan urgen yang diajukan
adalah bagaimana orang Kristen memahami pluralisme dan mengaplikasikannya
dalam konteks kehidupan beragama yang majemuk di Indonesia?

Untuk menjawab pertanyaan pokok itu, di dalam tulisan ini penulis


mencoba memadukan gagasan Karl Rahner tentang Kristen Anonim (Anonymous
Christian) dengan fakta pluralitas agama di Indonesia dalam konteks kehidupan

4
Muhamad Wahyuni Nafis, “Konflik Agama atau Politik”, dalam Nur Achmad (ed.),
Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman (Jakarta: Penerbit Kompas Gramedia, 2001),
hlm. 84-85.
5
Stevri I. Lumintang, Theologia Abu-Abu: Pluralisme Agama (Malang: Penerbit Gandum
Mas, 2004), hlm. 15.

4
beragama umat Kristen. Dengan pendekatan filosofisnya, Rahner berusaha
merumuskan pemikiran-pemikirannya hingga sampai pada kesimpulan tentang
Kristen Anonim. Untuk itu, pertama-tama akan ditelaah terlebih dahulu unsur-
unsur dasar yang termuat di dalam gagasan Kristen Anonim tersebut, selanjutnya
bagaimana gagasan itu dapat diaplikasikan ke dalam konteks kehidupan beragama
umat Kristen di Indonesia. Kiranya dengan itu, dialog antara orang-orang Kristen
dengan umat beragama lain dapat turut dijembatani, sehingga kekristenan itu
sendiri dapat diperkaya melalui interaksi dengan kebenaran-kebenaran yang
terdapat di dalam agama lain. Karena itu, penulis memberi judul skripsi ini:
PEMIKIRAN KARL RAHNER MENGENAI KRISTEN ANONIM DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PRAKSIS HIDUP UMAT KRISTEN
DALAM KONTEKS PLURALISME DI INDONESIA

1.2 Rumusan Masalah

Bertolak dari hal-hal yang diuraikan di dalam bagian latar belakang,


penulis menjabarkan beberapa rumusan masalah. Pertama, siapa itu Karl Rahner
dan pokok-pokok pikiran apa saja yang terkandung di dalam konsep Kristen
Anonim yang digagaskan Karl Rahner. Kedua, bagaimana kehidupan umat
Kristen di Indonesia berhadapan dengan pluralitas agama. Ketiga, bagaimana
implikasi pemikiran Karl Rahner terhadap kehidupan beragama umat Kristen
dalam konteks pluralitas agama di Indonesia. Keempat, apa implikasi konkret
yang ditawarkan bagi keberlangsungan praksis hidup beragama umat Kristen di
Indonesia, berhadapan dengan fakta pluralitas agama di Indonesia.

1.3 Tujuan Penulisan

Ada dua tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan skripsi ini, yaitu
tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum, skripsi ini dibuat sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat
Katolik Ledalero.

Sementara itu untuk tujuan khusus, penulis membaginya ke dalam


beberapa bagian. Pertama, mengenal Karl Rahner dan mengetahui karya-

5
karyanya, secara khusus padangan Karl Rahner tentang Kristen Anonim. Kedua,
mengetahui masalah-masalah yang berkaitan dengan penghayatan pluralisme
dalam konteks kehidupan beragama umat Kristen di Indonesia, baik dalam ranah
sosial, ekonomi, budaya, maupun politik. Ketiga, memahami implikasi gagasan
Karl Rahner tentang Kristen Anonim berkaitan dengan fakta pluralisme di
Indonesia, secara khusus bagaimana relevansi gagasan Kristen Anonim untuk
praksis kehidupan beragama umat Kristen di Indonesia.

1.4 Metode Penulisan

Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik dengan pendekatan


kualitatif. Maksudnya, penulis tidak hanya menggambarkan secara deskriptif
variabel yang ditemukan melainkan mencari hubungan antarvariabel (analitik).
Dalam rangka menunjang proses penelitian, metode pengumpulan data yang
digunakan yakni tinjauan pustaka dengan cara menelusuri dokumentasi yang
menunjang hasil kajian. Dokumentasi ini ditelusuri melalui referensi-referensi
yang berkaitan dengan tema yang diangkat penulis di dalam skripsi ini dan
membuat analisis terhadap referensi-referensi itu.

Dalam menganalisis semua data di atas, peneliti berpedoman pada


pandangan Miles dan Huberman dalam Sari Wahyuni (2012) bahwa analisis data
kualitatif dilakukan berdasarkan lima tahapan antara lain: Pertama, setelah semua
data dan informasi yang relevan dikumpulkan, dilakukan analisis dengan cara
memilah-milahnya ke dalam bagian tertentu berdasarkan maknanya. Kedua,
bagian-bagian ini dikoding. Maksud dari koding yaitu memberi label atau nama
kepada data itu dengan kalimat tertntu untuk merujuk pada makna tertentu.
Menurut Strauss dan Corbin (1990), koding berfungsi mereduksi jumlah unit data
dan mengelompokkannya ke dalam konsep yang bverkaitan dengan fenomena
yang dikaji. Ketiga, sesudah melakukan pengkodingan, peneliti
mengelompokkannya ke dalam beberapa kategori. Keempat, setelah
mengelompokkannya ke dalam beberapa kategori, peneliti berupaya mencari dan
menemukan apa yang penting untuk dipelajari. Kelima, selanjutnya, temuan itu
diintepretasi atau ditafsir. Interpretasi data merupakan upaya untuk memperoleh
makna yang lebih mendalam terhadap hasil penelitian yang sedang dilakukan.

6
Sementara itu, untuk mengukur keabsahan atau validasi data kajian ini, dilakukan
dengan cara triangulasi yaitu triangulasi sumber data. Di situ, peneliti berusaha
menelusuri keabsahan data dengan mengecek sumber yang berbeda.

1.5 Sistematika Penulisan

Tulisan ini terdiri dari empat bab, di mana masing-masing bab


memaparkan sub-sub tema yang kemudian membentuk satu kesatuan bagi tulisan
ini. Bab I merupakan bab pendahuluan, yang mencakup latar belakang penulisan,
rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II menguraikan tinjauan singkat tentang biografi Karl Rahner, karya-


karya, metode dalam berteologi, tokoh-tokoh yang memengaruhi pemikiran
Rahner, dan beberapa tema teologi yang digagaskan Karl Rahner.

Di dalam bab III, penulis akan menguraikan unsur-unsur pokok yang


berkaitan dengan pemikiran Karl Rahner tentang Kristen Anonim.

Selanjutnya dalam bab IV yang merupakan bagian inti dari skripsi ini,
penulis membahas hal-hal yang berkaitan dengan pluralisme agama di Indonesia,
dengan memadukan konsep Kristen Anonim dan praksis kehidupan beragama
umat Kristen di Indonesia berhadapan dengan fakta pluralisme di Indonesia.
Penulis juga akan membeberkan relevansi atau implikasi pemikiran Karl Rahner
tentang Kristen Anonim tersebut dalam hubungannya dengan praksis hidup umat
Kristen Indonesia berhadapan dengan fakta pluralisme agama di Indonesia.

Bab V merupakan bagian akhir dari tulisan ilmiah ini, berisikan


kesimpulan akhir dan beberapa tawaran yang diberikan oleh penulis sehubungan
dengan langkah konkret yang bisa dilakukan demi terciptanya solidaritas, dialog,
dan toleransi antara masyarakat dan umat beragama dalam konteks kemajemukan
atau pluralisme agama di Indonesia.

7
BAB II
MENGENAL KARL RAHNER DAN KARYANYA

Pada dasarnya, riwayat hidup Karl Rahner merupakan riwayat


perkembangan teologinya. Hal ini dikarenakan setiap perjalanan kehidupannya
selalu berkaitan dengan pemikiran teologisnya.6 Di dalam bab kedua ini akan
dijabarkan deskripsi umum mengenai Karl Rahner, yang mencakup biografi,
karya-karya, dan konteks historis lainnya yang melatarbelakangi pemikirannya,
termasuk pengaruh pandangan dan pemikiran dari tokoh-tokoh tertentu. Penulis
juga akan menguraikan secara ringkas di dalam bagian ini metode teologi yang
digunakan Rahner dalam merumuskan pemikiran-pemikiran teologisnya dan
beberapa tema teologi yang menjadi kajian reflektifnya. Gambaran-gambaran
mengenai hal-hal ini bertujuan untuk memahami sesuatu dari sejarah hidup
Rahner yang berdampak pada bangunan pemikiran-pemikiran teologisnya.

2.1 Biografi
Karl Rahner lahir pada tanggal 5 Maret 1904 di Freiburg, Breisgau, sebuah
kota yang terletak di bagian barat daya Jerman. Rahner adalah anak keempat dari
tujuh orang bersaudara. Bersama keenam orang saudaranya itu, ia dididik di
dalam sebuah keluarga Katolik Bavaria yang sederhana dan religius, yaitu
keluarga Karl dan Luise (Trescher) Rahner. Ayahnya adalah seorang guru
Gymnasium (setara dengan sekolah menengah). Sedangkan ibunya adalah seorang
ibu rumah tangga yang saleh. Kesalehan yang dimiliki ibunya, yang dipadukan
dengan pembawaan ayahnya yang tenang dan sangat disiplin, membuat suasana di
rumah Rahner menjadi tampak harmonis.

6
Roger Haight, Teologi Rahmat dari Masa ke Masa, penerj. Martin Warus dan George
Kirchberger (Ende: Penerbit Nusa Indah, 2007), hlm. 127.

8
Pada tahun 1910-1913, Karl Rahner menempuh pendidikan sekolah dasar
di Freiburg. Sesudah menyelesaikan pendidikannya di bangku sekolah dasar,
Rahner melanjutkan pendidikannya di sekolah menengah di tempat yang sama.
Pendidikan yang ditempuh Rahner selama masa sekolah dasar maupun sekolah
menengah menjadikannya tampak sebagai seorang yang berjiwa toleran dan
berpikir liberal. Pada usia 18 tahun, Rahner memutuskan untuk mengikuti jejak
kakaknya, Hugo Rahner, untuk menjadi seorang biarawan Serikat Yesuit (Society
of Jesus), tepatnya pada tanggal 20 April 1922.7 Karl Rahner memilih hidup
menjadi biarawan karena termotivasi oleh spiritualitas St. Ignatius Loyola. Karena
itu, dalam tahap-tahap perkembangan pemikiran teologisnya, tampak bahwa ia itu
turut dipengaruhi juga oleh spiritualitas dan pemikiran Ignatius, khususnya dalam
konteks “menemukan Tuhan dalam segala hal”. Rahner kemudian menjadi
seorang Yesuit sepanjang hidupnya.8

Pada tanggal 27 April 1924, Karl Rahner mengikrarkan kaul untuk


menjadi seorang skolastik di dalam Serikat Yesuit. Pada tahun pertama (1924) di
Yesuit, ia menjalani pendidikannya di sekolah tinggi milik Yesuit yang berlokasi
di Feldkirch (Austria). Sesudah itu, pada tahun kedua dan ketiga (1925-1927), ia
menyelesaikan pendidikannya di Pullach, dekat Munchen. Selama masa studi itu,
Rahner cukup banyak mempelajari ilmu-ilmu filsafat Katolik dan berkenalan
dengan pemikiran-pemikiran filsuf-filsuf Jerman modern, selain pengaruh
spiritualitas St. Ignatius Loyola yang semakin kental bertumbuh di dalam dirinya.
Para filsuf yang secara khusus menjadi perhatian Rahner di antaranya Immanuel
Kant, Thomas Aquinas dan dua pengikutnya, yaitu Joseph Marẻchal (filsuf Yesuit
asal Belgia) dan Pierre Rousselot (filsuf Yesuit asal Perancis). Pemikiran-

7
Herbert Vorgrimler, Karl Rahner: His Life, Thought, and Works, penerj. Edward Quinn,
(London: Deus Books Paulist Press, 1966), hlm. 18.
8
“Menemukan Tuhan dalam segala hal” merupakan hasil refleksi St. Ignatius Loyola,
yang diperolehnya melalui Latihan Rohani (Spiritual Exercise). Refleksi ini kemudian dikemas
oleh Anthony de Mello (seorang Pastor Yesuit, hidup pada tahun 1931-1987) dalam bentuk sebuah
buku yang berjudul: Mencari Tuhan dalam Segala. Di dalam buku tersebut, de Mello
mengungkapkan bahwa Latihan Rohani St. Ignatius Loyola yang telah dipelajarinya secara pribadi
menjadi acuan baginya untuk membimbing orang lain, dan mengajar orang untuk menjadi
pembimbing Latihan Rohani. Semuanya itu adalah inti dari praksis “jalan menuju Tuhan”, yang
sekaligus merupakan kekhasan bagi seorang Yesuit. Anthony de Mello, Mencari Tuhan dalam
Segala, penerj. Antonius Puspo Kuntjoro dan Karel Wilhelmus D., (Jakarta: Gramedia, 2013),
hlm. ix.

9
pemikiran kedua orang ini kemudian turut memengaruhi pemahaman Rahner atas
pemikiran-pemikiran Thomas Aquinas.9

Selama masa pendidikannya, atasan Rahner selalu menuntutnya untuk


turut mendalami dunia karir. Artinya, dalam masa pendidikan itu, para siswa juga
diwajibkan untuk bekerja, misalnya menjadi guru di salah satu sekolah. Hal ini
sejalan dengan aturan Yesuit, bahwa jangka waktu kerja harus didahulukan
sebelum pembentukan intelektual lebih lanjut, secara khusus bagi para siswa
filsafat dan teologi. Oleh karena itu, dari tahun 1927 hingga 1929, sebelum
mengakhiri masa studi filsafatnya, Rahner dipercayakan mengajar bahasa Latin
untuk para biarawan di Feldkirch. Hal ini tentu saja merupakan kegiatan yang
tidak mudah, tetapi Rahner mengerjakannya dalam berbagai cara, baik dengan
membuat catatan-catatan kecil mengenai pokok-pokok bahasa Latin maupun
berdiskusi dengan teolog-teolog asing.10

Sesudah itu, Rahner memulai pendidikan teologinya pada tahun 1929 di


Valkenburg, Belanda. Dalam masa ini, ia juga tertarik dengan teologi spiritual,
mistis, dan sejarah Gereja. Setelah menyelesaikan studi teologinya, pada tanggal
26 Juli 1932, Rahner ditahbiskan menjadi imam Yesuit di Gereja St. Michael,
Munchen, oleh Kardinal Faulhaber. Pasca tahbisan itu, ia lalu melanjutkan kuliah
teologinya hingga tahun 1933. Rahner kemudian baru menyelesaikan
pendidikannya di sekolah Yesuit pada tahun 1934.11

Setelah itu, ia mengajukan kepada atasannya untuk mengambil gelar


filsafatnya di Universitas Freiburg, tempat kelahirannya. Selama berada di
Universitas Freiburg, ia menggali lebih dalam filsafat Kant dan Maréchal.
Sementara itu, ia juga menghadiri seminar-seminar Martin Heidegger selama dua
tahun. Selama mengikuti pendidikan tersebut, ia menulis disertasinya dengan
membuat tafsiran tentang metafisika pengetahuan atas ajaran Thomas Aquinas
dalam terang filsafat Kantian. Namun, tesis tersebut tidak diterima. Disertasi yang
tidak diterima itu kemudian baru diterbitkan menjadi buku dengan judul Geist in
Welt (Roh di dalam Dunia) pada tahun 1939. Karya tersebut menjadi karya

9
David F. Ford, The Modern Theologians Volume 1 (Oxford: Blackwell, 1993), hlm. 183.
10
Herbert Vorgrimler, op. cit., hlm. 19-20.
11
Ibid.

10
Rahner yang pertama sekaligus sebagai dasar filosofis bagi metode teologi Karl
Rahner ke depannya.12

Setelah dua tahun berada di Freiburg, Rahner pindah ke Innsbruck. Rahner


kemudian memulai karirnya di Innsbruck sebagai pengajar dengan memberikan
kuliah tentang rahmat sambil terus mengembangkan mata kuliah tersebut hingga
ke tahun-tahun berikutnya. Di sana, ia juga membuat penelitian historis tentang
para Bapa Gereja dan menjadi Doktor Teologi pada bulan Desember 1936. Pada
tahun 1937, Rahner diundang untuk memberikan kuliah di sekolah musim panas
Salzburg tentang Foundations of a Philosophy of Religion.13

Pada tahun 1938, setelah Austria bergabung dengan Jerman, Universitas


Innsbruck tempat Rahner bertugas sebagai dosen ditutup. Pada tahun berikutnya
(1939), pemerintah NAZI melarang kaum Yesuit untuk tinggal di negara bagian
Tirol. Karl Rahner kemudian pindah ke Wina dan mendapat tumpangan di Institut
Pastoral Wina. Di tempat itu, Rahner berada di bawah perlindungan Kardinal
Innitzer hingga tahun 1944. Pada tahun 1944-1945, Rahner dipercayakan untuk
melayani beberapa paroki pedesaan di Bavaria, dalam tugas perutusannya sebagai
seorang pastor.14

Peristiwa yang dialami oleh Rahner semasa berada di Bavaria membuat


dirinya begitu dikenali oleh banyak orang. Khotbah-khotbah yang ia bawakan di
tengah puing-puing kota München yang porak poranda akibat bom sekutu
membuat ia dikenal luas. Di daerah berbahasa Jerman tersebut, khotbahnya terbit
sebanyak 100.000 eksemplar. Setelah peristiwa itu, sejak tahun 1948, Rahner
kembali memberi kuliah di Universitas Innsbruck dan menjadi dosen tetap pada
tanggal 30 Juni 1949, serta sebagai profesor untuk mata kuliah dogmatik dan
sejarah dogma. Pada masa itu, Rahner sangat produktif. Ia menulis banyak artikel
yang kemudian dibukukan dalam bahasa Inggris yang diberi judul Theological
Investigations yang terdiri dari 23 jilid. Selain itu, ia juga dipercayakan sebagai
editor, antara lain Lexikon für Theologie und Kirche (14 jilid), Sacramentum
Mundi dan beberapa kamus terkenal lainnya. Adapun seri Quaestiones Disputatae
12
Roger Haight, loc. cit.,
13
Ibid.
14
Georg Kirchberger, “Teologi Karl Rahner sebagai Teologi Kontekstual”, dalam Jurnal
Ledalero, Vol. 9 No. 2, Desember 2010, hlm. 201.

11
yang dianjurkan oleh Rahner dan dieditnya bersama Heinrich Schlier mulai tahun
1958.15

Selama tahun 1950-an, Rahner juga mengalami kesulitan berhadapan


dengan Gereja. Ia dilarang mempublikasikan beberapa karyanya, termasuk
tulisannya tentang Pengangkatan Maria ke Surga (The Assumption of Mary)
karena dianggap terlalu bersifat berani dan radikal untuk konteks saat itu. Oleh
karena itu, ia harus menyerahkan semua tulisannya kepada Roma dan hanya dapat
diterbitkan apabila mendapat persetujuan dari Vatikan. Namun, pada tahun 1962,
Rahner diikutsertakan di dalam Konsili Vatikan II sebagai penasihat pribadi
Kardinal König. Rahner dipercayakan untuk menyelidiki dan menilai semua
dokumen serta masalah-masalah aktual yang dikerjakan di Roma demi
menentukan arah Gereja ke depannya dan sebagai persiapan bagi Konsili Vatikan
II. Dalam Konsili Vatikan II, Rahner menjadi pusat perhatian karena memiliki
pemikiran yang sangat fundamental dan bekerja sangat intensif dalam menyusun
dan mengolah pelbagai dokumen konsili. Pemikirannya itu memengaruhi antara
lain konstitusi Dei Verbum tentang Wahyu.16 Selain itu, ia juga menjadi pusat
perhatian karena pemikirannya mendasari terciptanya dokumen Gaudium et Spes
dan Lumen Gentium.17

Pada tanggal 7 November dan 25 November 1963, Rahner memiliki


panggilan secara pribadi untuk menghadap Paus Paulus VI. Ia ditunjuk untuk
menjadi anggota dalam Komisi Kepausan Teologi Internasional untuk
mengevaluasi perkembangan teologi semenjak perjalanan Konsili. Selain itu, Paus
Paulus VI juga memintanya untuk terus berani dalam membuka pikiran demi
menentukan arah Gereja yang lebih baik. Mulai saat itu, Rahner diakui tidak
hanya sebagai pemikir yang berpengaruh tetapi juga sebagai teolog yang paling
menarik perhatian dunia teologi modern.18

15
Horst G. Poehlmann, Pembaharuan Bersumberkan Tradisi. Potret 6 Teolog Besar
Katolik Abad Ini (Ende: Nusa Indah, 1998), hlm. 83.
16
Ibid., hlm. 202.
17
Karl Rahner (Online), www.answers.com/topic/karl-rahner, diakses pada 28 Februari
2017.
18
Herbert Vorgrimler, op. cit., hlm. 51.

12
Selain itu, Rahner tidak hanya bergelut dalam ranah Konsili. Ia juga
menerima tawaran untuk menjadi dosen di Universitas München untuk mengajar
mata kuliah “Pandangan Kristen tentang Dunia”. Dia mengajar selama tiga tahun
(1964-1967), dan pada tahun 1967 ia menerima tawaran dari Universitas
München untuk menjadi profesor dogmatik. Pada tahun 1971, Karl Rahner
pensiun dari mengajar. Ia pindah ke Innsbruck dan tinggal di sana selama 13
tahun sebagai seorang penulis aktif dan terlibat aktif dalam mengikuti beberapa
kegiatan pelayanan pastoral. Selama tinggal di Innsbruck, ia juga mengumpulkan
materi-materi kuliahnya selama mengajar di Universitas München, dan diterbitkan
dalam buku yang berjudul Foundations of Christian Faith. Setelah merayakan
hari ulang tahun ke-80 pada tanggal 5 Maret 1984, Rahner menjadi sangat
kelelahan. Tubuhnya begitu lemah dan harus dirawat di rumah sakit. Pada tanggal
30 Maret 1984, ia meninggal dunia dan dimakamkan di Gereja Trinitas di
Innsbruck, Austria.19

2.2 Karya-Karya

Semasa hidupnya, Karl Rahner tidak memiliki talenta yang banyak.


Namun, ia dikenal oleh banyak orang justru karena karya-karyanya yang
mengagumkan. Melalui karya-karyanya itu, ia menuntun pikiran banyak orang
untuk menganalisis dan mendalami lebih jauh hal-hal yang berhubungan dengan
iman dan kehidupan menggereja.

Karya-karya yang dihasilkan oleh Karl Rahner kemudian dibukukan.


Bukunya yang pertama berjudul Geist in Welt atau Spirit in the World (Roh dalam
Dunia). Buku tersebut diterbitkan pada tahun 1939, dan merupakan disertasi
filsafat Rahner yang berisikan pengetahuan atas metafisika Thomas Aquinas
dalam kaitannya dengan filsafat modern. Rumusan dasar Spirit in the World
merupakan pengakuan terhadap materi, dunia, dan sejarah. Dunia yang yang
dimaksudkan mengarahkan diri kepada titik absolut, yaitu Allah: sebuah konsep

19
Horst. G. Poehlmann, op. cit., hlm. 83.

13
cemerlang yang menjadi tantangan untuk mereka yang cenderung
mempertahankan status quo.20

Pendekatan Karl Rahner terhadap pemikiran Thomas Aquinas tidak berarti


ia menolak atau mempertanyakan pemikiran Aquinas. Jika demikian, berarti ia
menempatkan dirinya di luar batas neo-skolastisisme.21 Namun, Karl Rahner
memiliki interpretasi yang berbeda dengan neo-skolatisisme tentang Aquinas. Ia
menggunakan bahasa Martin Heidegger, seorang filsuf abad ke-20, bahwa dalam
pemikiran Aquinas setiap orang dapat menemukan berbagai permasalahan yang
dikemukakan oleh Immanuel Kant, filsuf modern paling terkemuka. Kesetiaan
Rahner pada ajaran Aquinas tidak berarti ia menolak berbagai perkembangan
dunia modern. Namun, kesetiaan pada Aquinas, menurut Rahner, adalah dengan
hidup dalam dunia saat ini dan terlibat dengan pemikiran modern. Dalam hal ini,
ada cara tertentu untuk menjelaskan karya Rahner ini. Salah satu cara untuk
menggambarkan dan memahami tulisan-tulisan Rahner adalah dengan melihatnya
sebagai usaha untuk membuka sikap konservatif neo-skolastisisme. Namun,
penjelasan ini tidak melulu diakui secara mutlak karena hanya merupakan salah
satu cara penggambaran saja. Hal ini berarti pemikiran Karl Rahner yang sangat
kaya dan beragam memang selalu sulit untuk menemukan cara yang tepat untuk
menjelaskan sepenuhnya apa yang diperjuangkan oleh Rahner dalam karya-
karyanya.22

Karl Rahner menerbitkan karya keduanya pada tahun 1941 dengan judul
Hörer des Wortes (Pendengar Sabda).23 Karya ini sebenarnya merupakan

20
Ibid., hlm. 84-85.
21
Neo-skolastisisme merupakan sistem intelektual yang sangat terstruktur, tertutup, serta
cenderung mengesampingkan dunia modern dan hambatan intelektual di dalamnya. Sistem ini
didasarkan pada filsafat dan teologi Thomas Aquinas (1225-1274), yang menawarkan suatu dunia
yang tertata rapi di mana segala sesuatu memiliki tempatnya masing-masing. Sebagian besar
tulisan Rahner, secara khusus sebelum tahun 1960-an dan Konsili Vatikan II, dapat dilihat sebagai
usaha untuk membuka wawasan neo-skolatisme ini. Karen Kilby, Karl Rahner. Tokoh Pemikir
Kristen, penerj. Peter Vardy, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 12-13.
22
Karen Kibly, op. cit., hlm. 13.
23
Menurut Rahner, manusia sebagai roh dalam dunia, adalah pendengar dari satu
kemungkinan revelasi historis tentang Allah. Manusia dalam konteks ini dipahami sebagai ens-
ente, ada yang terealisir hanya dalam sejarah, di mana Allah mengaktualisir kehadiran-Nya
melampaui manusia. Oleh karena sejarah maka hanya merupakan kesempatan bagi manusia untuk
bertemu atau akrab dengan “sabda”, kata-kata yang menerangi dan mendasari eksistensi dan yang
kemudian dilanjutkan oleh rasio manusia. Bdk. Bernardus S. Hayong, “Antropologi Metafisika
Karl Rahner. Dari Antropologi ke Filsafat Agama“ (ms), Diktat Kuliah. STFK Ledalero, 2009.

14
kumpulan ceramahnya di Sekolah Musim Panas Salzburg (1937), yang
merepresentasikan jejak peningkatan Rahner dalam bidang teologi antropologi.
Karya ini kemudian menjadi dasar bagi teologinya. Karya kedua Karl Rahner ini
bertolak dari kuliah-kuliahnya mengenai filsafat agama. Di dalamnya, ia
mengemukakan syarat-syarat yang perlu bagi pribadi-pribadi yang memiliki
kebebasan dan pengetahuan untuk menerima kemungkinan wahyu Ilahi
berdasarkan analisa rasional. Ia juga mencoba mengembangkan satu perspektif
teologi sebagai satu ‘antropologi teologi fundamental’. Karya Hörer des Wortes
ini kemudian diolah lagi oleh J. B. Metz pada tahun 1963 dengan memberikan
penjelasan tambahan mengenai unsur filosofis dan teologis.24

Dalam karya yang kedua tersebut, Karl Rahner menunjukkan perspektif


teologi yang agak berbeda. Perspektif teologi ini berbeda dengan teologi
tradisional yang berkutat pada suatu pertimbangan logis-sistematis dalam
pembicaraan tentang Allah. Karl Rahner sebaliknya berpijak pada suatu
pertimbangan seperti esse subsistens in tribus personis (ada yang berpribadi tiga).
Ia menaruh gagasan yang bersifat metafisis dan belum pasti bersifat teologis.
Namun, pernyataan itu muncul dari landasan filsafat (agama) dan teologi di mana
sifat roh dipertanyakan. Manusia adalah roh di dalam ruang dan waktu. Roh
tersebut dapat bekerja hanya ketika manusia itu terarah kepada realitas absolut.
Manusia akan memperoleh suatu fenomena yang lebih besar ketika ia sudah
mengerti tujuan dari roh yang bekerja di dalam dirinya.25

Selain itu, ada juga karya-karya lain yang dihasilkan Rahner selain dua
karya besar di atas, di antaranya kumpulan artikel dengan judul Schriften zur
Theologie yang diterbitkan sebanyak 16 jilid (karya edisi bahasa Inggris). Karya
ini dinilai hampir setara dengan Summa Theologiae karya Thomas Aquinas.
Rahner juga terlibat di dalam penyuntingan beberapa karya seperti Lexikon für
Theologie und Kirche I-XI (1957-1965). Karya ini merupakan karya editorial
pertama Rahner. Dari kurang lebih 30.000 artikel yang dimuat di dalam leksikon
itu, Rahner menulis sekitar 135 artikel. Ia juga membantu menyusun buku
pegangan teologi pastoral (Handbuch der Pastoraltheologie I-V, 1964-1972) dan

24
Ibid.
25
Herbert Vorgrimler, op. cit., hlm. 27.

15
enksiklopedi teologi (Herders Theologisches Taschenlexikon I-VII, 1972-1973),
serta mengedit serangkaian risalah tentang pokok-pokok persoalan teologi yang
kontroversial dengan judul Quaestiones Disputatae. Pada tahun 1978, satu buku
karya Rahner kembali diterbitkan dengan judul Foundations of Christian Faith,
yang merupakan ringkasan dari seluruh karya teologisnya.26

2.3 Tokoh-Tokoh yang Memengaruhi Pemikiran Karl Rahner


2.3.1 Thomas Aquinas

Thomas Aquinas (1225-1274) merupakan seorang filsuf sekaligus teolog


berpengaruh pada abad ke-16 dan 17. Ia dijuluki sebagai seorang penulis yang
tidak kenal lelah. Tulisan-tulisannya membuat dia bukan hanya dikenal sebagai
filsuf dan teolog, melainkan juga seorang mistikus. Hal ini dikarenakan apa yang
ditulisnya mengandung kebenaran-kebenaran iman yang teguh dalam kesatuan
mistik dengan Tuhan.27

Thomas Aquinas memberikan pengaruh yang besar bagi teologi Karl


Rahner. Dalam Spirit in the World, Karl Rahner menggunakan metafisika Thomas
Aquinas tentang pengetahuan, dengan menggunakan transendensi dan filsafat
eksistensial Aquinas untuk mendefinisikan manusia sebagai ada yang transenden,
yang absolut menuju Allah. Pemikiran filosofis Aquinas tersebut dirumuskan
dengan mengacu pada pemikiran Aristoteles dalam hal cara menyatakan eksistensi
sesuatu, yang mencakup tiga hal.28 Pertama, sesuatu boleh disebut bereksistensi
secara alamiah dan disebut sebagai pengada riil (real being). Pengada riil berbeda
dengan pengada dalam bentuk ide atau konsep (being of reason) karena pengada
riil tidak hanya berada dalam pikiran. Kedua, terdapat perbedaan di dalam sesuatu
yang ada pada dirinya. Dengan kata lain, secara esensial ia memang bereksistensi,
dan sesuatu itu dapat bereksistensi hanya secara aksidental. Hal yang secara
esensial dan bisa bereksistensi disebut “pengada pada dirinya” (ens per se atau
essential being), sedangkan yang bereksistensi secara aksidental disebut pengada

26
Bdk. Nico Syukur Dister, Filsafat Agama Kristiani. Mempertanggungjawabkan Iman
akan Wahyu Allah dalam Yesus Kristus (Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm. 83-84.
27
Johanis Ohoitimur, Metafisika sebagai Hermeneutika: Cara Baru Memahami Filsafat
Spekulatif Thomas Aquinas dan Alfred North Whitehead (Jakarta: Penerbit Obor, 2006), hlm. 6.
28
Bernardus S. Hayong, op. cit.

16
aksidental (ens per accidens). Sebagai contoh, “Manusia adalah makluk rasional”.
Kata “rasional” menjelaskan ciri esensial dari manusia sebagai pengada. Rasional
mengada secara esensial pada manusia, sedangkan “warna kulit hitam” adalah
mengada secara aksidental pada manusia. Dengan itu, semua manusia dikatakan
memiliki akal budi. Ketiga, ada perbedaan mengada sebagai potensial dan aktual
(being as potential and actual). Pengada potensial selalu memliki sifat yang
belum lengkap, sedangkan pengada aktual sudah mencapai kesempurnaannya
sebagai aktualitas. Dengan kata lain, sesuatu yang berstatus potensial pun
mengada, tetapi tidak secara aktual dan yang aktual adalah kesempurnaan itu
sendiri.

Dalam hal substansi, keduanya (Aristoteles dan Aquinas) memberikan


pandangan bahwa substansi terdiri dari materia dan forma, serta potensialitas dan
aktualitas. Namun, Thomas Aquinas memberikan pandangan lain tentang esse,
bahwa setiap substansi “berdiri pada dirinya” (subsisting) dan merupakan “suatu
pengada pada dirinya”. Hal ini berarti bahwa substansi bereksistensi pada dirinya
sendiri dan tidak membutuhkan dukungan eksternal bagi eksistensinya.
Aristoteles membedakannya dalam dua “pengada” (substansi), yakni substansi
primer dan substansi sekunder. Substansi primer memiliki identitas sendiri, yaitu
dapat menjadi subjek, bersifat individual, dan bereksistensi secara independen.
Sebaliknya, substansi sekunder dapat meliputi sekelompok individu. Thomas
Aquinas menggunakan substansi primer sebagai titik acuannya untuk memberikan
penjelasan tentang pengada, bahwa esensi individual tidak dapat ditukar atau
diganti begitu saja dengan yang lain. Ia selanjutnya menyebut kata substansi
primer dengan kata substansi saja, yakni pengada yang esensinya dapat mengada
tanpa terkandung dalam satu subjek.29

Dalam hal metafisika, Karl Rahner kemudian menginterpretasikan


metafisika Thomas Aquinas sebagaimana yang diuraikan terdahulu, yang secara
khusus diinterpretasikan Rahner dalam karyanya, Spirit in the World. Karya ini
sekaligus merupakan tanggapan atas pemikiran Immanuel Kant, bahwa manusia
dapat mengetahui lebih banyak daripada apa yang dialaminya. Manusia sanggup
berorientasi pada realitas absolut di antara ruang dan waktu yang mengemukakan
29
Johanis Ohoitimur, op.cit., hlm. 61-64.

17
persoalan atau pertanyaan dasariah. Hal ini berarti manusia mampu melahirkan
pertanyaan-pertanyaan baru melampaui realitas empiris yang menjadikannya
sebagai makhluk spritual.30 Dengan demikian, Rahner sendiri mengakui ajaran
dari Aquinas. Kesetiaan Rahner pada Aquinas menggambarkan bahwa manusia
tidak harus menolak hubungan dengan pelbagai perkembangan dunia modern
tetapi hidup dan bergabung dengan dunia saat ini dan terlibat dengan pemikiran
modern.

2.3.2 Joseph Maréchal

Joseph Maréchal (1878-1944) merupakan salah seorang profesor filsafat di


Leuven-Belgia yang cukup berpengaruh pada zaman neo-skolatisisme. Saat
berumur 17 tahun, ia bergabung dengan Serikat Yesuit. Selain filsafat dan teologi,
ia juga mempelajari ilmu alam di Leuven dan ilmu psikologi di Jerman. Dalam
bidang psikologi agama, ia menulis sebuah buku yang terkenal dengan dua jilid
(1924 dan 1926), berjudul Etudes sur la psychologie des mystiques (Studi-studi
tentang Psikologi Para Mistik). Sedangkan, dari segi filsafat, karya terpentingnya
adalah Le point de départ de la métaphysique (Titik Tolak Metafisika) yang
diterbitkan dalam lima jilid: jilid I-III (1922-1923), jilid IV (1947), jilid V (1926).
Dalam karya-karyanya itu, Maréchal berusaha menghubungkan thomisme dan
metode filsafat Immanuel Kant. Hasil yang ia dapat berupa suatu thomisme
transendental yang menjelaskan struktur dan berfungsinya pengenalan manusia
berdasarkan dinamisme rasio yang tujuan utamanya ialah Allah.31

Berdasarkan metode yang dirumuskan di dalam karya tersebut, Maréchal


merancang suatu filsafat tentang putusan (judgement) di mana pengetahuan
objektif didasari pada suatu analisa dari finalitas ratio. Ia juga membaca
bagaimana Kant membongkar setiap tradisi metafisika dengan mengafirmasi
ketidakmungkinan sebuah metafisika dan mereferensikan seluruh pengetahuan
pada pengalaman dan fenomena. Dengan kata lain, ia berusaha mengatasi
agnostisisme Kant, dengan mengikuti metode Kant, yaitu mencari syarat-syarat
kemungkinan (the conditions of possibility).
30
Joseph Donceel, A Rahner Reader (New York: The Seabury Press), hlm. 13.
31
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Prancis, Jilid II, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia,
1985), hlm. 284-285.

18
Karl Rahner memang tidak mengikuti secara langsung perkuliahan dari
Josep Maréchal. Namun, konsep Maréchal yang menggambarkan bahwa setiap
afirmasi tentang suatu objek yang mengandaikan keterarahan dinamis rasio pada
Ada Absolut, yaitu Allah, jelas memengaruhi pemikiran Karl Rahner yang
kemudian berkembang dalam karyanya mengenai sifat transendental manusia.32
Rahner rupanya lebih sepakat dengan pemikiran Maréchal dan mengembangkan
apa yang sudah dimulai oleh Maréchal, ketimbang Kant. Bahwasanya,
transendental bukan berdimensi horizon seperti dalam pandangan Kant,
melainkan lebih mengakui kemungkinan adanya pengetahuan metafisis tentang
Allah.33 Dengan demikian, konfrontasi antara metafisika thomistis dan filsafat
Kant berhasil memberikan pencerahan kepada pemikiran thomistis, seperti yang
kemudian tampak dalam karya-karya Rahner mengenai transendental.

2.3.3 Martin Heidegger

Martin Heidegger lahir pada tanggal 26 September 1889 di kota kecil


Messkirch, Jerman. Pada tahun 1909, ia memulai perkuliahan di Universitas
Freiburg di fakultas teologi. Setelah menamatkan kuliah teologinya, Heidegger
memberikan perhatian kepada studi filsafat yang ditambah dengan kuliah-kuliah
tentang ilmu pengetahuan alam dan kemanusiaan. Ia memperoleh gelar doktor
filsafat pada tahun 1913, dengan judul disertasi: Die Lehre vom Urteil im
Psychologismus (Ajaran tentang Putusan dalam Psikologi). Pada tahun 1928, ia
diangkat menjadi profesor di Marburg dan di Freiburg, sekaligus menjadi dosen
tetap di Universitas Freiburg. Ia akhirnya menjadi rektor nasional-sosialis pertama
di Freiburg pada tahun 1933.34

Karl Rahner mulai mengenal Martin Heidegger ketika ia kembali ke tanah


kelahirannya di Freiburg untuk melanjutkan studi filsafat (1934-1936). Di saat itu,
Martin Heidegger sudah menjabat sebagai Rektor Universitas Freiburg. Selama
dua tahun itu, meskipun Rahner tidak secara langsung menjadi murid Heidegger,

32
Ibid.
33
Karl Heinz Weger, Karl Rahner: An Introduction to His Theology, penerj. David
Smith, (London: Burn and Oates Ltd., 1980), hlm. 24.
34
Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat: dari Aristoteles sampai Derrida
(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 114.

19
ia selalu mengikuti seminar-seminar yang diberikan Heidegger. Karl Rahner
secara khusus sangat tertarik dengan karya Heidegger yang berjudul “Ada dan
Waktu” (Sein und Zeit). Di dalam karya tersebut, Heidegger menjelaskan bahwa
tugas filsafat ialah menemukan secara konkret makna “yang ada”, dan tujuan dari
filsafat itu sendiri ialah membuat kebenaran “yang ada” itu berbicara, dan “ada”
yang berbicara itu adalah manusia. Manusia dapat mengajukan pertanyaan tentang
“ada” karena ia mempunyai pengertian tentang “ada” di dalam sesuatu. Oleh
karena itu, dasar untuk menjelaskan makna tentang sesuatu berarti membuat
sesuatu itu menjadi mungkin, dan ia harus menemukan segala kemungkinan yang
ada.35

Selanjutnya, dalam “Ada dan Waktu”, Heidegger menyebut manusia


dengan menggunakan kata Dasein. Manusia adalah “ada” (sein) yang berada “di
sana” (da). Jadi, sebelum yang lainnya, manusia “berada di sana”, dan begitulah
cara manusia memahami eksistensinya. Oleh karena eksistensi berperan sebagai
dasar Dasein, eksistensi manusia yang akan menentukan kemungkinan-
kemungkinan pengetahuan (sekaligus segala sesuatu yang lain). Kepentingan
Dasein dan keterlibatannya merupakan unsur yang intrinsik bagi Dasein. Dengan
kata lain, tidak ada eksistensi, tidak ada “berada di sana”, tanpa sesuatu di mana ia
berada. Oleh karena itu, pribadi tanpa dunia merupakan suatu hal yang tidak
masuk akal. Dunia dan Dasein merupakan hal yang satu dan sama.36 Pengaruh
Heidegger atas Rahner dalam aras pemikiran tersebut ini secara khusus dapat
ditemukan dalam karya kedua Rahner yang berjudul Geist in Welt (1939).

Rahner yakin bahwa mempertanyakan sesuatu merupakan keterbukaan


pikiran secara radikal kepada “ada” dan menampilkan suatu dinamika yang
mengarah kepada Allah. Dari karya Heidegger tentang “Ada dan Waktu”, Rahner
selalu mencoba menghubungkan kembali pikiran terbaik masa lalu dengan pikiran
terbaik masa kini. Setelah itu, ia mulai menyatukan pemikiran Thomas Aquinas
dengan bahasa yang biasa dipakai oleh Martin Heidegger. Karl Rahner

35
Ibid., hlm. 115-116.
36
Eric Lemay & Jennifer A. Pitts, Heidegger for Beginners (Heidegger untuk Pemula),
penerj. P. Hardono Hadi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm. 43-48.

20
menempatkan refleksi Heidegger itu untuk kepentingan teologi dengan
membuktikan bahwa kaum beriman secara ontologis terarah kepada Allah.37

2.3.4 Immanuel Kant

Immanuel Kant (1724-1804) lahir pada tanggal 22 April 1724 di


Konigsberg, Prusia Timur, Jerman (sekarang Kaliningrad, masuk wilayah Rusia),
daerah yang tidak pernah ditinggalkan sepanjang hidupnya.38 Latar belakang
hidup Kant tidaklah mewah. Ia lahir sebagai anak keempat dari keluarga yang
miskin. Pekerjaan orangtua Kant ialah pembuat pelana kuda. Mereka juga
merupakan penganut setia gerakan pietisme. Pada usia delapan tahun, Immanuel
Kant menempuh pendidikan di Collegium Fridericianum, sebuah sekolah yang
berasaskan semangat pietisme. Di sekolah ini, Kant dididik dengan disiplin yang
keras, di mana ia diajarkan untuk menghormati pekerjaan dan kewajibannya. Ia
juga mendalami bahasa Latin yang kemudian sangat membantunya dalam
mengungkapkan pikiran dalam bentuk istilah-istilah.39

Immanuel Kant merintis suatu metode yang kemudian dipakai oleh Karl
Rahner untuk menjelaskan teologinya. Metode ini kemudian disebut sebagai
metode transendental. Dalam penjelasannya, metode transendental memuat
penyelidikan atas prasyarat-prasyarat a priori (prasyarat yang bukan dipelajari
melainkan suatu kondisi yang memampukan manusia untuk belajar) yang hadir
secara implisit tetapi selalu berperan aktif dalam aktivitas berpikir manusia.40
Artinya, realitas bukan dilihat sebagai yang “ada di luar” dan lepas dari
pengenalan manusia, melainkan berada pada dinamika kesadaran diri. Implikasi
teologis yang dikembangkan Rahner dari pemikiran tersebut adalah pengalaman
religius dari setiap pribadi manusia menjadi titik tolak pengenalannya akan Allah,
sebab pewahyuan Ilahi tidak terletak “di luar”, tetapi terjadi di dalam pengalaman
manusia.

37
Bdk. David Edison, (Online), “Heidegger: Sosok Pengubah Zaman”, https://
www.kompasiana.com/heidegger-sosok-pengubah-zaman, diakses pada 8 November 2019.
38
Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf
dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004), hlm. 278.
39
Simon Petrus L. Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan
Imperatif Kategoris (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991), hlm. 25.
40
Leo Kleden, “Filsafat Manusia”, Manuskrip, STFK Ledalero, 2014.

21
2.4 Metode Berteologi

Dalam berteologi, Karl Rahner mengembangkan satu metode berteologi


yang disebut metode antropologis transendental. Pada dasarnya, tujuan utama
yang hendak dicapai Karl Rahner dalam gagasan-gagasan teologisnya dengan
memanfaatkan model teologi antopologis transendental adalah memeriksa secara
saksama tradisi teologi neoskolastik, dan akhirnya mengangkat tradisi ini ke suatu
wawasan baru. Rahner menangkap hal-hal positif yang tercantum di dalam tradisi
teologis itu. Ia tidak membuang tradisi neoskolastik, tetapi mencari sudut pandang
yang akurat dan autentik yang ada di balik pemikiran neoskolastik. Dalam
kerangka pemikiran ini, Rahner menerapkan metode teologi antropologis
transendental. Pada bagian ini, akan dijabarkan mengenai latar belakang
munculnya metode antropologis transendental tersebut, selanjutnya mengenai apa
yang dimaksudkan dengan metode antropologis transendental itu.

2.4.1 Latar Belakang

Pada tahun 1950-an, situasi hidup orang beriman di Jerman dan Eropa
Tengah pada umumnya telah mengalami perubahan secara fundamental.
Kesadaran baru yang dimiliki banyak orang Katolik di Jerman pada pertengahan
abad ke-20 itu berpapasan dengan suatu teologi yang kaku dan beranggapan tidak
perlu melakukan perubahan lebih banyak, selain mengulang secara terus-menerus
formula yang sudah dirumuskan secara resmi dan dianggap baku. Kenyataan ini
menciptakan suatu kesulitan tersendiri yang tak teratasi bagi kehidupan umat
beriman bersangkutan. Kesulitan tersebut disebabkan oleh teologi itu sendiri,
karena teologi tidak berusaha untuk merefleksikan dan menjelaskan iman atas
suatu cara yang dapat dipahami oleh umat beriman, yang memungkinkan mereka
dapat merasakan relevansi iman bagi hidup dan bagi pertanyaan eksistensial
mereka.41

Karl Rahner mengamati dan menyadari suatu perubahan besar yang terjadi
dalam masyarakat pada masanya dan yang tidak boleh diabaikan oleh teologi.
Pada berbagai kesempatan yang berbeda, ia menyebut tiga hal yang menjadi

41
Georg Kirchberger, “Teologi Karl Rahner sebagai Teologi Kontekstual”, op. cit., hlm.
203.

22
alasan bagi perubahan radikal dalam masyarakat dan kesadaran manusia pada
masa sesudah Perang Dunia II. Pertama, manusia pada pertengahan abad ke-20
hidup dalam situasi plural. Masyarakat plural tidak lagi dengan sendirinya
mendukung iman Katolik. Orang berhadapan dengan sejumlah besar keyakinan
dan pandangan dunia yang berbeda dan dibebaskan dari tekanan sosial dalam
lingkup hidup mereka. Kebebasan, dengan demikian, memungkinkan mereka
dapat memilih di antara pelbagai keyakinan dan pandangan dunia tersebut.42

Kedua, kemajuan yang jauh lebih luas dalam bidang pengetahuan yang
secara de facto dapat dimiliki oleh kebanyakan orang. Pengetahuan tersebut
meliputi pengetahuan mengenai keyakinan dan pandangan dunia yang berbeda-
beda atau pengetahuan tentang adanya fakta pluralisme dalam lingkup hidup
manusia di dunia.43

Ketiga, terciptanya kesadaran historis yang jauh lebih tajam yang


membawa relativisasi terhadap kebenaran absolut. Sejarah adalah suatu rentetan
peristiwa yang kurang lebih merupakan suatu kebetulan. Kesadaran historis yang
demikian, menurut Rahner, diterapkan juga oleh kebanyakan orang ke dalam
praksis hidup beriman. Apa yang diimani seseorang menyangkut sesuatu yang
memang pernah terjadi (segi historis), sebenarnya dapat juga berjalan secara lain
dalam praksis hidup kekinian. Selain itu, pengetahuan banyak orang tentang
sejarah digabungkan juga dengan pengetahuan tentang banyak macam budaya.
Pengetahuan orang-orang Eropa tentang keyakinan orang Tibet bahwa Dalai
Lama merupakan reinkarnasi Buddha – walaupun mereka sendiri tidak menerima
keyakinan itu sebagai kenyataan, melainkan sebagai salah satu pandangan primitif
yang tidak bisa diterima oleh orang-orang pada zaman modern – demikian juga
mereka dapat dengan mudah menganggap bahwa Yesus adalah inkarnasi Allah
merupakan keyakinan mitologis yang primitif dan tidak layak diterima oleh
orang-orang modern.44

Situasi-situasi demikian turut menuntut adanya pembaruan dalam ajaran-


ajaran teologi. Bagaimanapun, teologi tidak bisa memberikan jawaban

42
Ibid.
43
Ibid.
44
Ibid., hlm. 204.

23
berdasarkan konsep-konsepnya yang lama dalam berhadapan dengan konteks
hidup manusia yang telah mengalami perubahan secara baru dan signifikan. Sebab
dengan demikian, teologi mesti berhadapan dengan risiko di mana ia tidak dapat
dimengerti dan iman dapat dengan mudah ditinggalkan karena dianggap tidak
relevan.45

Rahner merumuskan keberatan terhadap teologi pada masanya itu, yang


cenderung beranggapan bahwa kebenaran iman bisa dan harus diajarkan sebagai
rumusan baku yang tidak boleh diganggu-gugat dan mesti diterima dan dihafal
oleh umat beriman, meskipun mereka tidak mengerti korelasi antara ajaran iman
tersebut dengan relevansinya bagi eksistensi mereka secara konkret. Bagi Rahner,
teologi bukanlah sesuatu di mana seseorang sekadar melakukan sebuah proses
spekulatif, lebih dari itu ia juga mesti menciptakan teologi krisis (Krisentheologie)
yang tidak hanya saleh, tetapi juga dapat mentransformasikan nilai-nilai teologis
ke dalam kehidupan konkret.46 Bertolak dari kenyataan dan argumen ini, Rahner
berusaha mencari suatu model berteologi baru yang kurang lebih relevan dengan
situasi dan kesadaran manusia modern, yang kemudian dikenal sebagai teologi
antropologis transendental.

2.4.2 Metode Antropologis Transendental

Manusia mengalami diri sebagai makhluk yang terbatas, tetapi sekaligus ia


juga mengalami hidupnya sebagai keterbukaan mutlak. Cita-cita dan
keterarahannya senantiasa menuju kepada yang tak terbatas. Meskipun ia tidak
berkuasa atas dirinya sendiri, namun ia mempunyai hidup di dalam dirinya
sendiri.47 Pengalaman keterbatasan telah menuntun manusia untuk mengajukan
pertanyaan tentang makna dari totalitas realitas.

Metode antropologis transendental Karl Rahner bertolak dari bawah, dari


manusia, dari pengalaman dan pertanyaan aktual manusia pada masa tertentu, di

45
Ibid., hlm. 204
46
Andreas R. Batlogg & Melvin E. Michalski (eds.), Encounters with Karl Rahner.
Rememberances of Rahner by Those Who Knew Him (Milwaukee: Marquette University Press,
2009), hlm. 102.
47
Tom Jacobs, Paham Allah dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi (Yogyakarta:
Kanisius, 2002), hlm, 81.

24
mana pengalaman serta aspek-aspek aktual tersebut direfleksikan secara
mendalam hingga menampakkan struktur dasariah manusiawi. Rahner coba
memperlihatkan bagaimana Allah yang mewahyukan diri itu cocok dan sesuai
dengan struktur dasariah manusia.48 Manusia, pada inti eksistensinya, merupakan
pertanyaan terbuka yang tidak bisa dijawab lagi dengan kemampuannya sendiri
yang terbatas, sehingga ia mesti menerima jawaban dari Allah yang mewahyukan
diri sebagai jawaban yang sepadan dengan pertanyaan yang diajukan manusia.49

Di sini tampak bahwa Rahner mencoba untuk mencari suatu model


berteologi secara baru yang kurang lebih relevan dengan situasi manusia modern.
Usaha itu dibarengi dengan kesadaran bahwa manusia adalah makhluk yang
senantiasa tertuju dan terbuka kepada Allah dalam setiap situasi dan kondisi
kehidupannya. Karena itu, hubungan dengan Allah mesti menjadi hal mendasar
bagi keberadaan manusia. Hubungan ini bersifat sangat menentukan dan
mengakar dalam diri manusia sehingga tidak ada sesuatu pun yang bisa dilakukan
manusia tanpa melibatkan Allah. Hubungan dengan Allah merupakan bagian
paling penting dalam struktur manusia sehingga manusia tidak dapat
menggambarkan dengan tepat apa yang disebut dengan mencintai, menghendaki,
atau bahkan berpikir, dalam suatu cara yang sepenuhnya didasarkan pada pikiran
manusia, tanpa melibatkan Allah dalam gambaran tersebut. Rahner menegaskan
bahwa dalam semua tindakan intelektual yang mendasar dan dalam semua
tindakan mengetahui suatu objek tertentu yang ada di dunia, pihak subjek
memiliki suatu kesadaran tertentu atas “Ada” (Being) “yang tak terbatas” dan
selanjutnya juga kesadaran akan Allah.50

Di lain pihak, dengan titik tolak antropologis yang berangkat dari manusia,
Rahner mengambil jarak dengan teologi tradisional51 Katolik yang senantiasa

48
Bdk. Karl Rahner, “The Experience of God Today”, dalam Theological Investigations
11, penerj. David Bourke, (London: Longman & Todd, 1974), hlm. 149-165.
49
Kirchberger, “Teologi Karl Rahner sebagai Teologi Kontekstual”, op. cit., hlm. 208.
50
Kibly, op. cit., hlm. 16-17.
51
Teologi tradisional secara prinsipiil tidak pernah bertolak ‘dari bawah’, dari manusia.
Teologi ini yakin bahwa pernyataan iman, sebagaimana dirumuskan dalam Magisterium Gereja
berdasarkan Sabda Allah, berlaku dengan sendirinya dan harus dibawa kepada manusia dengan
tuntutan bahwa manusia mesti menerimanya sebagai sesuatu yang benar, tanpa bertanya, apakah ia
mengerti dan apakah ia masih relevan atau tidak dengan konteks hidup manusia. (Kirchberger,
“Teologi Karl Rahner sebagai Teologi Kontekstual”, op. cit., hlm. 206).

25
bertolak ‘dari atas’. Rahner menelaah pernyataan-pernyataan teologi tradisional
dengan cara mengkonfrontasikan pernyataan-pernyataan itu dengan pengalaman
diri manusia modern dan memperlihatkan bahwa pernyataan tertentu dalam
teologi tradisional tidak bisa dipertemukan dengan pengalaman dan kesadaran diri
manusia modern. Dalam pandangan Rahner, modernitas diwarnai oleh pandangan
dunia rasional dengan pusat perhatian pada ilmu alam, kesadaran historis, dan
keyakinan bahwa manusia sendiri harus bisa merancang dan melakukan
perbaikan-perbaikan dalam dunia. Ciri modernitas demikian didasari oleh suatu
pergantian paradigma dari pandangan kosmosentris dalam masa abad pertengahan
ke pandangan antroposentris zaman modern.52

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode antropologis


transendental adalah suatu cara bertanya dan berefleksi yang bertolak dari suatu
situasi konkret dan aktual manusia dengan pelbagai pengalaman, keyakinan, dan
kecenderungan tertentu. Kesadaran diri manusia konkret dalam situasi dan kondisi
tertentu harus dicari dan ditemukan, dengan tetap memperhatikan aspek
transendental. Sebab, dalam diri manusia pada setiap zaman, ada juga kenyataan
yang termasuk kemanusiaan, kodrat manusia, syarat-syarat bagi kemungkinan
manusia bisa bertanya dan bisa berpengalaman sebagai manusia.53

2.5 Beberapa Tema Teologi Karl Rahner

Ada begitu banyak tema teologis yang dikemukan Karl Rahner. Namun
dalam bagian ini, penulis hanya menguraikan beberapa tema teologis Rahner,
yang memiliki korelasi dengan pandangan Rahner tentang Kristen Anonim.

2.5.1 Pengalaman akan Allah

Dalam pandangan Rahner, manusia diciptakan dengan kemampuan untuk


berjumpa dengan Allah yang transenden dalam pengalaman kehidupan sehari-
hari. Manusia adalah sosok yang dapat mendengar Sabda Allah, bukan sekadar
mendengar Sabda ini hanya sebagai informasi tentang Allah, tidak terhubung
dengan kehidupan manusia, melainkan manusia mendengar Sabda ini baik secara

52
Ibid.
53
Ibid., hlm. 207.

26
eksplisit atau pun implisit dalam setiap pengalaman hidupnya. Dalam usaha untuk
melukiskan pengalaman manusia akan Allah, Rahner menggunakan istilah teknis
Vorgriff (bahasa Jerman), yang berarti ‘mendekati’, dan istilah bahasa Inggris:
pre-apprehension (pra-pemahaman) dan anticipation (antisipasi). Pemahaman
akan konsep Rahner sehubungan dengan istilah-istilah tersebut dapat ditelusuri
melalui contoh berikut.

Jauh sebelum para astronom benar-benar melihat planet Neptunus, mereka


menyimpulkan keberadaan planet itu di dalam tata surya dari observasi terhadap
gerakan-gerakan tertentu dari Uranus yang tidak teratur yang dapat dijelaskan
hanya oleh keberadaan planet lain. Melalui pemikiran transendental semacam itu,
mereka dapat mengetahui tentang Neptunus secara nyata, sebelum benar-benar
melihat planet itu melalui teleskop pada tahun 1846.54

Hal yang sama berlaku pula dalam konsep tentang pergerakan pikiran yang
dimaksudkan Rahner, yaitu bahwa dalam setiap tindakan melihat yang sifatnya
terbatas, terdapat suatu dinamisme atau suatu dorongan dasar menuju tujuan tanpa
batas, sementara di pihak lain hanya dengan adanya tujuan tak terbatas dan mata
yang tertuju terus pada planet tersebut, maka tindakan-tindakan yang terbatas
yang dilakukan oleh para astronom tadi dapat terjadi. Demikian pula halnya
dengan dinamisme pikiran terhadap yang tak terbatas dan Allah selalu terjadi
dalam tindakan mengetahui benda-benda tertentu yang ada di dunia. Keinginan
untuk dapat menemukan planet tersebut telah menjadi dorongan bagi para
astronom tersebut setelah memperhatikan pergerakan planet Uranus. Menurut
Rahner, penyelidikan terhadap pengalaman terbatas manusia yang memfokuskan
perhatian pada apa yang ia sebut ‘pengalaman-pengalaman transendental’,
menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya berorientasi menuju kepada misteri
kudus yang disebut Allah.55

Untuk menunjuk pada hubungan antara kesadaran manusia akan Allah dan
pengetahuan manusia akan benda-benda yang ada di dunia ini, Rahner memakai

54
Stanley J. Grenz & Roger E. Olson, 20th Century Theology: God & the World in a
Transitional Age (Downers Grove: InterVarsity, 1992), hlm. 241.
55
Ibid., hlm. 242.

27
gambaran tentang cahaya.56 Cahaya tidak dapat dilihat, namun manusia
mempercayai bahwa pada saat ia melihat sebuah buku, ia dapat melihatnya oleh
karena adanya bantuan cahaya yang memantul pada buku tersebut. Menurut
Rahner, kesadaran manusia akan adanya yang tak terbatas dan Allah dapat sama
dengan sinar cahaya yang menjadikan benda-benda tertentu dapat diketahui. Maka
meskipun manusia memiliki kesadaran akan Allah, namun ia tidak bisa memiliki
pengetahuan akan Allah sama seperti ia mengetahui buku itu. Usaha untuk
menunjukkan bahwa pengetahuan manusia akan benda-benda yang ada di dunia
ini selalu disertai dan dimungkinkan oleh adanya kesadaran akan sesuatu yang
jauh lebih besar dari dunia ini, yakni kesadaran akan Allah. Itulah yang hendak
diungkapkan oleh Rahner dengan istilah Vorgriff tersebut.57

Ada satu cara lain lagi yang sedikit lebih teknis dipakai oleh Rahner untuk
merumuskan pandangannya mengenai manusia dan pengalamannya akan Allah. Ia
membuat dua bentuk perbedaan yang disebut sebagai pengalaman transendental
dan pengalaman kategoris. Pengalaman kategoris adalah pengalaman manusia atas
segala sesuatu yang bersifat terbatas dalam pengetahuan manusia, pengalaman
dengan orang lain atau dengan benda-benda yang nyata, pengalaman dengan
segala sesuatu yang dapat dimasukkan ke dalam bentuk kategori, atau pengalaman
dengan benda-benda yang dapat dimasukkan ke dalam konsep dan dapat
dijelaskan dengan menggunakan bahasa.58

Sedangkan pengalaman transendental adalah pengalaman yang manusia


miliki ketika ia mampu melampaui segala sesuatu atau segala benda yang tampak,
dikenalnya, dipilih dan dicintainya.59 Manusia melihat benda-benda ini dalam
suatu cakrawala60, di mana setiap objek yang tampak ditempatkan dalam kerangka
yang jauh lebih luas, agar dalam kontrasnya dengan kerangka itu, objek konkret
dapat ditangkap. Kerangka itu menjadi semakin luas sehingga akhirnya tidak
dapat dijangkau lagi dan menjadi semacam cakrawala. Meskipun tidak lagi dapat

56
Bdk. Robertson Tillich, “Two Types and the Transcendental Method”, dalam The
Journal of Religion, Seri 55/2, April 1975, hlm. 212).
57
Ibid., hlm. 214.
58
Kibly, op. cit., hlm. 22.
59
Ibid.
60
Istilah ‘cakrawala’ merupakan salah satu istilah yang digunakan Rahner untuk
menggambarkan bagaimana kesadaran manusia akan Allah dihubungkan dengan pemahaman atau
pengetahuan manusia akan segala sesuatu yang ada di dunia. (Bdk. Ibid., hlm. 19-28).

28
ditangkap sebagai suatu objek tersendiri, cakrawala ini merupakan prasyarat untuk
segala pengetahuan dan intensionalitas manusia. Melalui cakrawala itu, manusia
akhirnya terarah kepada dasar dari segala yang ada. Namun keterarahan semacam
ini tidak pernah menjadi pengetahuan objektif dalam arti konsep-tematis, sebab
cakrawala itu sudah selalu ikut dimengerti dalam proses mengetahui segala objek
yang konkret. Inilah yang disebut dengan pengalaman transendental, yang berasal
dari diri manusia sebagai subjek pengetahuan itu sendiri.61 Dengan demikian,
menurut definisinya, pengalaman transendental adalah bagian dari pengalaman di
mana bahasa tidak dapat dipergunakan untuk menjelaskannya, karena manusia
hanya menggunakan bahasa untuk menyebut suatu objek tertentu, untuk
membedakan suatu benda dari benda lain, tetapi bukan untuk menjelaskan sesuatu
yang pada dasarnya bukanlah suatu objek.62

Meskipun pengalaman kategoris dan pengalaman transendental memiliki


perbedaan arti, kedua pengalaman ini bukan merupakan dua bentuk pengalaman
yang berbeda, melainkan dua dimensi yang berbeda dari pengalaman manusia.
Manusia hanya memiliki satu pengalaman yang terpadu, namun mempunyai dua
sisi, yakni sisi kategoris dan sisi transendental. Menurut Rahner, pengalaman
transendental tidak terjadi secara terpisah dari pengalaman kategoris. Dengan kata
lain, pengalaman transendental tidak hanya merupakan penyerta bagi pengalaman
kategoris. Pengalaman ini lebih dari sekadar membuat pengalaman hidup manusia
sehari-hari menjadi sedikit lebih kaya dan memungkinkan pengalaman sehari-hari
bisa terjadi. Pengalaman transendental merupakan syarat bagi terjadinya
pengalaman kategoris, sehingga jika pengalaman itu tidak ada maka manusia tidak
memiliki pengalaman sama sekali.63

Akan tetapi, pengalaman transendental bukan tetap tidak bisa


diartikulasikan sama sekali, namun harus selalu berusaha diekspresikan dalam
bagian pengalaman kategoris. Pengalaman transendental memerlukan suatu cara
untuk mengungkapkan dirinya dalam pengalaman kategoris. Dengan kata lain,
manusia harus selalu berusaha untuk mengungkapkan pengalaman

61
Jacobs, op. cit., hlm. 82.
62
Kibly, op. cit., hlm. 22-23.
63
Ibid.

29
transendentalnya, yang bisa dilakukan dalam bentuk bahasa (filsafat atau puisi),
seni, musik, simbol, tindakan-tindakan religius dan sebagainya. Usaha tersebut
mesti selalu dilakukan, sebab, menurut Rahner, ungkapan atas pengalaman selalu
merupakan pembentukan pengalaman itu sendiri, di mana apa yang dialami
sedikit banyak ditentukan oleh bagaimana pengalaman itu diungkapkan.64

Dalam pengalaman kategoris, manusia tidak dapat menghindari kenyataan


bahwa ia senantiasa memiliki kecenderungan untuk menuju kepada yang tak
terbatas, sesuatu yang tidak dapat dideskripsikan dan dipahaminya secara riil dan
tuntas. Pengalaman manusia ini merupakan pengalaman transendental yang harus
diterimanya, yang diungkapkan oleh kenyataan bahwa dalam tindakannya untuk
menyangkal atau menolak pengalaman tersebut, tindakan tersebut secara implisit
sekaligus ditegaskan atau diakuinya. Dengan kata lain, manusia tidak dapat
menghindari kecenderungannya untuk mentransendensikan dirinya sendiri.
Bagaimanapun juga, manusia tetap merupakan pertanyaan bagi dirinya sendiri,
sebab ia memang memiliki keterbatasan untuk memahami eksistensi dirinya
sendiri, dan karena itu dengannya ia pasti membuka diri bagi suatu cakrawala
yang memungkinkan adanya pertanyaan akan yang tak terbatas. Justru dalam
keadaan demikian, dalam konfrontasinya dengan totalitas dirinya dan
pengalamannya dengan peristiwa dunia, manusia menunjukkan bahwa ia memiliki
kemampuan tertentu dalam dirinya dari antara faktor-faktor lain yang
membentuknya untuk mengadakan transendensi dimaksud.65 Hal-hal tersebut
secara tepat menunjukkan bahwa manusia sejak semula selalu ‘diserahkan kepada
dirinya sendiri’ dan pada saat yang sama ‘diambil dari dirinya’ ketergantungan
atas seluruh pengalaman untuk memahami misteri Allah.

Dengan demikian, dalam pengalaman, manusia berusaha melampaui setiap


jawaban yang terbatas dan di luar setiap objek empiris. Jika manusia
mentransendensikan dirinya dan dunianya maka ia bertemu dengan yang
transenden, Allah. Unsur pertama yang menggerakkan adanya aktus transendensi
ini adalah manusia, dengan pengalaman dan eksistensi adikodrati yang

64
Ibid., hlm. 23.
65
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith: An Introduction to the Idea of
Christianity, penerj. W. Dych, (London: Darton, Longman & Todd, 1978), hlm. 29.

30
dimilikinya, yakni kesadaran untuk senantiasa tertuju dan terbuka kepada Allah.
Transendental di sini mengacu pada pengetahuan dan pengalaman manusia yang
dialaminya di dalam dunia, yang kerap mempertanyakan keberadaan dan
pengalamannya sendiri sebagai makhluk dengan cakrawala yang terbatas, tetapi
senantiasa terbuka terhadap misteri Allah. Jadi apa yang menjadi konsep Rahner
tentang manusia tidak dapat dilepaskan dari pemahamannya tentang Allah yang
menyatakan diri-Nya dalam kehidupan manusia. Lewat berbagai peristiwa dan
pengalaman manusia, yang kerap diabaikan, pada dasarnya manusia terarah
kepada Allah. Sebab manusia menurut Rahner adalah makhluk rohani dan sebagai
makhluk rohani, ia senantiasa mengarah kepada Allah.

2.5.2 Rahmat

Pemahaman Rahner tentang rahmat tidak sama dengan apa yang sering
ditemukan dalam teologi sistematika yang membahas arti rahmat secara terpisah
dan sistematis. Bagi Rahner, berbicara tentang rahmat adalah berbicara tentang
bagaimana Allah mengkomunikasikan diri-Nya yang mencapai titik kulminasi
dalam diri Yesus Kristus. Rahner meyakini bahwa persoalan tentang siapa Kristus
itu dapat dimasukkan ke dalam suatu gambaran yang lebih luas, demikian pula
tentang apa yang dilakukan oleh Kristus dan peranan-Nya dalam proses
penyelamatan. Rahner menempatkan Kristus dalam suatu kisah tentang
bagaimana Allah memberi diri-Nya sendiri kepada dunia dalam bentuk rahmat.
Rahmat, menurut Rahner, tidak ditawarkan kepada manusia sebagai akibat dari
inkarnasi, kematian dan kebangkitan Kristus, melainkan mencakup konteks yang
lebih luas.

Pertama, rahmat pada dasarnya merupakan komunikasi diri Allah. Rahner


menyebutnya sebagai rahmat yang tidak diciptakan (uncreated grace). Pandangan
Rahner ini dimaksudkan untuk membalikkan pemikiran tentang rahmat yang
sebelumnya telah mengakar dalam teologi skolastik. Teologi skolastik membuat
perbedaan antara rahmat jenis pertama, yakni rahmat yang diciptakan (created
grace), di mana melalui rahmat ini Allah mengubah manusia; dan rahmat jenis
kedua (uncreated grace), di mana Allah benar-benar menganugerahkan diri-Nya

31
kepada manusia dan hidup di dalam manusia.66 Rahmat yang diciptakan
merupakan konsekuensi dari rahmat yang tidak diciptakan. Menurut Rahner,
rahmat yang diciptakan mengalir dari rahmat yang tidak diciptakan. Komunikasi
diri Allah terjadi melalui Roh Allah dan Roh Allah itu tinggal di dalam manusia,
maka sebagai konsekuensinya manusia mengalami perubahan yang nyata. Allah
mengubah manusia dengan memberikan diri kepada manusia, bukan Allah
memberi diri kepada manusia karena manusia sendiri telah mengubah dirinya.67
Dengan pandangan demikian, Rahner tidak bermaksud membedakan kedua
rahmat tersebut secara radikal, tetapi ia berusaha menempatkan konsep rahmat
yang tidak diciptakan pada pusat gambaran yang lebih sejalan dengan pandangan
bapa-bapa gereja dan rasul Paulus.68 Dengan demikian, rahmat sebagai
komunikasi diri Allah bukanlah soal Allah yang mengatakan sesuatu tentang diri-
Nya. Komunikasi diri Allah berarti Allah menjadikan diri-Nya sebagai unsur
terdalam dari diri manusia. Secara lugas, hal ini berarti Allah memberikan diri-
Nya sendiri untuk menjadi bagian dari manusia. Dengan memberikan diri-Nya
sendiri kepada manusia, Allah memungkinkan manusia untuk berelasi dengan-
Nya.

Kedua, rahmat diyakini sebagai sesuatu yang ditawarkan dan mungkin


diterima. Menurut Rahner, komunikasi diri Allah kepada manusia terjadi pada
tingkat pengalaman transendental. Pengalaman transendental dapat terjadi pada
saat manusia berhasil melampaui benda-benda kategoris yang ada di dunia, pada
satu tingkat di mana manusia memiliki pengalaman akan kehadiran Allah, di
sanalah rahmat tersebut ditawarkan, yang kemudian dapat diterima atau ditolak.
Bagi Rahner, di satu pihak rahmat itu bisa dialami, dan di pihak lain, menurut
sifatnya, rahmat itu tidak dapat dialami sebagai salah satu dari pengalaman-
pengalaman kategoris.69

66
Karl Rahner, “The Dignity and Freedom of Man”, dalam Theological Investigations 2,
penerj. Karl-H. Kruger, (Baltimore: MD Helicon Press, 1963), hlm. 238.
67
Kibly, op. cit., hlm. 37.
68
Karl Rahner, “Some Implications of the Scholastic Concept of Uncreated Grace”,
dalam Theological Investigations 1, penerj. Cornelius Ernst, (Baltimore: MD Helicon Press, 1961),
hlm. 324.
69
Kibly, op. cit., hlm. 37-38.

32
Ketiga, rahmat bersifat universal. Artinya, rahmat tidak hanya terjadi pada
orang-orang tertentu dan pada waktu tertentu saja, melainkan diberikan pada
setiap manusia dan pada setiap waktu. Manusia selalu dikelilingi oleh rahmat dan
pengalaman manusia selalu dipengaruhi oleh rahmat. Jauh sebelum seseorang
dapat mengambil keputusan moral, orang tersebut telah dipengaruhi oleh rahmat,
walaupun orang tersebut adalah seorang berdosa dan tidak percaya.70

Keadaan manusia yang selalu dipengaruhi oleh rahmat tidak berarti bahwa
manusia tidak dapat menolaknya. Manusia masih dapat menerima tawaran itu dan
dapat juga menolaknya. Dalam pandangan Rahner, di satu sisi tujuan penciptaan
dunia dan manusia adalah pewahyuan diri Allah dan pencurahan cinta kasih, yang
tidak lain adalah Allah itu sendiri. Maka, Allah menciptakan manusia sedemikian
rupa, sehingga manusia bisa menerima cinta kasih itu. Di sisi lain, manusia juga
bisa memilih untuk menolak rahmat itu sendiri. Namun, penolakan manusia atas
rahmat tidak berarti manusia dapat ‘mengusirnya’. Bentuk penerimaan atau
penolakan itu merupakan sesuatu yang terjadi pada tingkat yang sangat
mendalam, bahkan keputusan tersebut merupakan keputusan yang sangat
mendasar, yang mungkin terjadi karena faktor ketidaksadaran manusia dan
kurangnya pemahaman tentang konsep rahmat itu sendiri.71

Lebih jauh Rahner mengatakan bahwa sebelum seseorang tiba pada kontak
dengan Injil Yesus Kristus, ia telah ada dalam keadaan yang telah dipersiapkan
oleh rahmat Allah. Pada saat orang itu mendengarkan kabar Injil yang
disampaikan oleh Gereja yang kelihatan, peristiwa tersebut bukanlah saat di mana
ia mengalami kontak rohani untuk pertama kalinya.72 Rahner menyimpulkan
bahwa sebagai konsekuensi logis, Injil yang disampaikan bertujuan untuk
membangunkan kesadaran. Kesadaran itu sebelumnya telah dipengaruhi oleh
rahmat. Hidup manusia selalu dikelilingi oleh rahmat, dan sejauh ini Rahner telah
menggambarkan rahmat bukan hanya dalam kaitannya dengan pemahaman
tentang komunikasi diri Allah pada manusia, namun juga dapat digambarkan
sebagai komunikasi diri Allah pada dunia secara menyeluruh. Allah telah

70
Karl Rahner, “On Grace”, dalam Theological Investigations 4, penerj. Kevin Smyth,
(Baltimore: MD Helicon Press, 1966), hlm. 180.
71
Ibid., hlm. 180-181.
72
Ibid., hlm. 181.

33
mengambil keputusan untuk mengkomunikasikan diri-Nya kepada dunia melalui
umat manusia sebagai suatu keseluruhan dan pada masing-masing individu secara
terpisah. Titik puncak dari komunikasi diri Allah itu, yang merupakan tawaran
bagi semua orang di sepanjang waktu, ada pada diri Yesus Kristus, dan mencapai
titik puncaknya dalam peristiwa inkarnasi.73 Dengan demikian, jelaslah bahwa
rahmat lebih dari sekadar hal baik yang terjadi dalam hidup manusia. Rahmat
adalah undangan untuk bersahabat dengan Misteri Ilahi itu sendiri dan dalam
Kristus sebagai wujud kehadiran nyata Allah di dunia.

2.5.3 Kristologi

Refleksi kristologis Karl Rahner bertujuan untuk menerangi misteri


Kristus, bahwa Allah telah menjadi manusia dan bahwa Allah yang terjelma itu
ialah Yesus Kristus, atas suatu cara, sehingga menjadi jelas bagi manusia dewasa
ini bahwa inti eksistensinya sendiri diterangi melalui misteri Kristus itu sendiri.
Sebab itu, Rahner mengusahakan sebuah kristologi antropologis transendental.74

Seturut eksistensinya yang konkret, setiap manusia mencari dan


menantikan seorang pembawa keselamatan yang absolut, seorang manusia,
melaluinya Allah menjanjikan secara definitif dan tak terbatalkan pengampunan
dan jaminan hidup kepada dunia. Tanpa manusia semacam itu – dalam iman
Kristen: tanpa Kristus – dunia tidak memiliki jaminan hidup dan keberhasilan
sejarah, maka dunia tinggal tanpa keselamatan. Setiap eksistensi manusia dan
segala usaha manusia secara fundamental terancam oleh kesia-siaan.75

Karena itu, Yesus Kristus dalam eksistensi-Nya yang unik dan historis
mempunyai arti bagi setiap manusia, karena eksistensi-Nya yang unik itu
menjamin kerangka dan dasar, di dalam dan di atasnya hidup setiap orang
mendapat arti yang baru, dan karenanya dibebaskan dari ancaman kesia-siaan.
Sebab itu, dalam perspektif demikian menjadi jelas bahwa kristologi menjamin
antropologi. Baru dalam pemberian diri Allah kepada manusia yang menjadi nyata

73
Kibly, op. cit., hlm. 41.
74
Georg Kirchberger, Allah Menggugat. Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere: Penerbit
Ledalero, 2012), Cet. ke-2, hlm. 216.
75
Ibid., hlm. 221.

34
dalam diri Yesus Kristus, eksistensi dan hidup manusiawi memperoleh dasar dan
jaminan yang kokoh tak tergoyahkan.76

Dalam sketsa ini, menjadi jelas bagaimana refleksi atas pribadi Kristus dan
refleksi atas fungsi Kristus saling berhubungan dan saling mendukung. Refleksi
atas fungsi Kristus sebagai pembawa keselamatan hanya bisa berhasil, fungsi
universal hanya bisa diperlihatkan, berdasarkan konstitusi pribadi-Nya yang
istimewa sebagai kesatuan antara Allah dan manusia. Konstitusi pribadi itu
menjadi lebih terang berdasarkan refleksi atas fungsi Kristus yang
memperlihatkan, bagaimana manusia dalam dan seturut eksistensinya yang
konkret justru membutuhkan dan menantikan pribadi dengan ciri-ciri sebagaimana
manusia mengimaninya berada di dalam diri Yesus Kristus.77

Seluruh kristologi yang dihasilkan Rahner berkisar di sekitar inkarnasi,


persatuan Putra Allah dengan manusia yang membuat Yesus menjadi pembawa
keselamatan definitif yang dicari dan dibutuhkan setiap orang sebagai dasar
eksistensinya. Hidup konkret Yesus historis kurang diperhatikan Rahner. Bagi
Rahner, cukup sebagai kenyataan historis bahwa Yesus menyadari diri sebagai
lebih dari seorang nabi, sebagai pembawa keselamatan eskatologis dan bahwa
pembangkitan dari antara orang mati mensahkan klaim dari Yesus itu sendiri.78

Ringkasnya, inti dari kristologi Karl Rahner adalah penegasan peran Yesus
sebagai Perantara yang tak tertandingi bagi kedekatan antara Allah dan manusia.
Peran itu diklaim oleh Yesus sendiri sebelum Ia disalibkan dan bangkit dari antara
orang mati, bahwa Ia merupakan penyingkapan Allah, meskipun di dalam diri-
Nya sendiri terkandung unsur kemanusiaan. Yesus adalah sejarah kehadiran Allah
yang disingkapkan kepada manusia melalui kebangkitan-Nya. Kebangkitan Yesus
menegaskan bahwa Ia adalah satu-satu-Nya Penyelamat, karena itu Ia adalah yang
Ilahi, dan hanya Penyelamat Ilahi yang mampu memediasi penyingkapan Allah
kepada manusia.79

76
Ibid.
77
Ibid., hlm. 222.
78
Ibid.
79
Soetarman, dkk., Fundamentalisme, Agama-Agama, dan Teknologi (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1996), hlm. 47

35
Dengan demikian, kristologi Karl Rahner menggarisbawahi bahwa
keselamatan ada dalam diri Yesus. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa
dengan itu agama-agama lain di luar kekristenan atau yang menyakini pribadi lain
sebagai penyelamat tidak memiliki keselamatan. Di dalam agama-agama lain pun
terkandung unsur keselamatan, meskipun tidak memakai nama Kristus. Inilah
yang kemudian dinamakan Karl Rahner sebagai anonymous Christ atau “Kristus
Tanpa Nama”. Oleh sebab itu, penganut agama-agama lain juga sebenarnya
adalah orang-orang “Kristen Tanpa Nama” atau anonymous Christian.80

2.5.4 Soteriologi

Pemikiran Karl Rahner mengenai soteriologi atau keselamatan


dilatarbelakangi oleh pernyataan di dalam Konsili Lateran IV, bahwa keselamatan
hanya ada di dalam Gereja Katolik, sementara di luar Gereja tidak ada
81
keselamatan (Extra ecclesiam nulla salus). Pemikiran Rahner mengenai
keselamatan ini dimulai dengan pernyataan: “Tuhan itu kasih”. Pernyataan ini
mengandung arti bahwa Tuhan mau menjangkau semua orang dan semua makhluk
tanpa terkecuali. Dengan kata lain, Tuhan mau menyelamatkan semua orang tanpa
terkecuali. Kata “kasih” itu sendiri mengindikasikan bahwa Tuhan mau
menyatakan diri-Nya kepada semua orang sebagai bentuk komunikasi. Tuhan
membuat diri-Nya hadir dan memampukan setiap orang mengalami realitas dari
kehadiran-Nya. Inilah yang disebut rahmat keselamatan.82

Bagi Rahner, agama-agama lain di luar Gereja juga di dalamnya terdapat


keselamatan. Rahmat Allah bekerja di dalam agama-agama. Allah menawarkan
pengorbanan diri-Nya di dalam dan melalui kepercayaan, perbuatan, dan ritual
agama-agama lain. Agama adalah salah satu sarana yang efektif untuk merasakan
rahmat Allah, di mana melalui agama manusia dapat terus mencari makna yang
lebih dalam mengenai anugerah Allah. Karena itu, agama bisa menjadi jalan
menuju keselamatan. Allah sepenuhnya memberikan keselamatan kepada manusia

80
Ibid., hlm. 48.
81
Herbert Vorgrimler, Understanding Karl Rahner (New York, 1986), hlm. 65.
82
Paul F. Knitter, Pengantar ke dalam Teologi Agama-agama, penerj. Nico A.
Likumahuwa, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 79-87.

36
dan manusia merasakan keselamatan yang Allah berikan berdasarkan pengalaman
kehidupannya.83

83
“Anonimous Christian” (Online), sttbereasalatiga.blogspot.com/2012/07/anonymous-
christian.html, diakses pada 23 Maret 2020.

37
BAB III
PANDANGAN KARL RAHNER MENGENAI KRISTEN ANONIM

3.1 Latar Belakang Munculnya Pandangan Kristen Anonim

Pada masa pra Konsili Vatikan II, hampir semua orang Kristen mengimani
bahwa keselamatan itu diperoleh berkat anugerah Allah. Keyakinan ini
mengandaikan bahwa Allah adalah subjek dalam proses keselamatan dan manusia
bergantung secara mutlak pada anugerah Allah itu. Pernyataan Allah sebagai
subjek dalam proses keselamatan di sini memberikan perbedaan yang esensial
antara kekristenan dengan agama-agama pada umumnya. Hal ini dikarenakan
kekristenan lebih dari sekadar agama, karena setiap agama memiliki karakteristik
dasar, di mana para pengikutnya berusaha untuk dapat menjangkau dan
menemukan Tuhan yang diimaninya melalui usaha sendiri. Sementara itu dalam
kekristenan, Allah-lah yang menjangkau dan menemukan manusia.84 Pengakuan
iman fundamental itu memiliki hubungannya dengan karya keselamatan Kristus
terhadap kehidupan seseorang, yang diperoleh berkat penebusan Kristus melalui
penderitaan, wafat, dan kebangkitan-Nya. Kedatangan Kristus merupakan
representasi dari kehadiran Allah bagi umat-Nya untuk menyelamatkan manusia,
dengan menebus dosa-dosa manusia melalui pengorbanan Kristus di kayu salib.

Pertanyaannya, dosa-dosa siapakah yang sesungguhnya ditebus oleh


Kristus? Kaum universalis (universalisme) berasumsi bahwa keselamatan itu
bersifat universal atau umum. Karenanya, penebusan yang dilakukan Kristus
diperuntukkan bagi semua orang tanpa kecuali. Konsekuensi logis dari pandangan
kaum universalis tersebut adalah semua orang akan diselamatkan, bahkan mereka
meyakini bahwa setan-setan juga akan diselamatkan. Hampir senada dengan kaum

84
Fritz Ridenour, How To Be a Christian Without Being Religious (Yogyakarta: Gloria
Grafia, 2003), hlm. 12.

38
universalis, kaum armenian (armenianisme) mengajarkan bahwa Kristus tidak
mati untuk sebagian orang tertentu, namun melalui karya penebusan-Nya,
penebusan menjadi “mungkin” bagi setiap orang. Term “mungkin”
mengindikasikan adanya unsur relatif, di mana terbukanya kemungkinan bagi
setiap orang untuk memilih Kristus dan menerima penderitaan serta kematian-Nya
sebagai penebusan bagi dosa-dosanya. Simpul kata, manusia itu harus menerima
keselamatan itu sendiri sehingga ia dapat menjadi objek anugerah. Sementara itu,
bertolak belakang dengan kedua pandangan tersebut (universalisme dan
armenianisme), kaum Calvinis (Calvinisme) meyakini bahwa Kristus hanya mati
bagi orang-orang tertentu yang terbatas jumlahnya, yakni bagi mereka yang
dipilih oleh Bapa (Allah) dan yang sejak dari kekekalan telah diberikan kepada
Kristus (sebagai Anak Bapa) untuk diselamatkan. Doktrin Calivinis yang
kemudian dikenal sebagai Doktrin Penebusan Terbatas ini sekaligus menandai
adanya eksklusivitas di dalam kekristenan.85

Konsep mengenai Penebusan Terbatas tersebut sebenarnya juga dianut


oleh Gereja Katolik pra Konsili Vatikan II, dengan ungkapan terkenal: Extra
Ecclesia nulla salus (Di luar Gereja tidak ada keselamatan). Tampak jelas bahwa
dengan pandangan ini Gereja sangat menutup diri terhadap agama-agama lain.
Ajaran ini serentak menegasikan atau tidak mengakui adanya keselamatan yang
terdapat di dalam agama-agama lain, selain agama Katolik itu sendiri.

Namun demikian, pada abad ke-20 muncul kesadaran baru di dalam


Gereja Katolik bahwa eksklusivitas justru akan menciptakan tembok pemisah
antara Gereja dengan dunia luar yang secara riil pluralistik. Kesadaran itu tampak
lebih nyata dalam Konsili Vatikan II, dengan intisari ajaran yang menghapuskan
secara total eksklusivitas dan beralih kepada pandangan yang inklusif, di mana
semua agama lain memiliki otentisitas masing-masing, namun terbuka juga bagi
jalan menuju keselamatan jika mereka masuk berjumpa dengan Kristus di dalam
kekeristenan, sehingga mendapat kepenuhan atau kegenapan kesempurnaannya.

85
G. J. Baan, Tulip: Lima Pokok Calvinisme (Surabaya: Momentum, 2009), hlm. 74-76.

39
Melalui gerak sentripental, yaitu masuk ke dalam pusat Yesus Kristus, agama-
agama lain itu ditransformasikan kepada kesempurnaan.86

Inklusivisme Gereja tersebut diasumsikan sangat dipengaruhi oleh


pemikiran Karl Rahner, melalui pemikirannya mengenai keselamatan yang
digagaskan dalam konsep Kristen Anonim (Anonymous Christians). Konsep ini
memberi pengaruh luas bagi kiprah Gereja di tengah dunia, sekaligus menandai
adanya inklusivisme Katolik, di mana keselamatan yang sesunguhnya diyakini
sebagai keselamatan yang melampaui batas-batas Gereja yang kelihatan dan
bukan saja individu-individu non Kristen yang dapat diselamatkan, tetapi agama-
agama bukan Kristen juga memiliki peran menyelamatkan.87

3.2 Definisi Frasa “Kristen Anonim”

Gagasan Kristen Anonim ini terutama terdapat di dalam uraian teologis


Karl Rahner mengenai agama-agama. Kristen Anonim (Anonymous Christians)
adalah gagasan teologis yang mengemukakan bahwa orang-orang yang tidak
pernah mendengar pewartaan Injil namun tidak menolak Injil dapat diselamatkan
oleh Kristus. Menurut Rahner, agama-agama lain juga menerima rahmat
penebusan dari Allah, melalui Kristus, meskipun mereka tidak pernah mendengar
atau mempelajari revelasi Kristen tersebut.88 Gagasan ini bertolak dari Kristologi
yang disebut Anonymous Christ (Kristus Tanpa Nama), yang mengemukakan
bahwa Kristus ada di setiap agama, sekalipun tidak dikenal dengan nama Kristus.
Karena itu, orang-orang yang beragama lain sebenarnya adalah orang-orang
Kristen Tanpa Nama (Anonymous Christians). Dengan kata lain, Allah yang
menyelamatkan tidak hanya menyatakan diri-Nya melalui inkarnasi menjadi
manusia di dalam dan melalui Yesus Kristus (bernama) menurut keyakinan
Kristen, tetapi juga Allah yang menyatakan diri-Nya dengan cara inkarnasi

86
Darianus Mendrofa, “Suatu Evaluasi Kritis terhadap Pendekatan Inklusivisme dalam
Berteologi Religionum” (Online), http://www.kadnet.info, diakses pada 12 Januari 2020.
87
Lesslie New Bigin, Injil dalam Masyarakat Majemuk (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2000), hlm. 244.
88
Wikipedia, “Karl Rahner” (Online), wikipedia.org/wiki/Karl_Rahner, diakses pada 20
Januari 2020.

40
melalui Kristus (tanpa nama Kristus) di dalam agama-agama lain. Karena itu,
Yesus Kristus bukan hanya monopoli orang Kristen.89

Definisi tentang Anonymous Christians dapat juga ditemukan di dalam


jurnal Cambridge University, di mana Anonymous Christians dijelaskan sebagai
sebuah term yang diciptakan oleh Rahner agar dapat dipergunakan secara
bijaksana oleh orang-orang Kristen untuk menunjukkan universalitas rahmat Allah
di luar batas-batas kekristenan. Orang-orang bukan Kristen (non Kristen),
berdasarkan kehendak universal penyelamatan Allah dan orientasi mereka sendiri
terhadap transendensi, dapat hidup dengan cara Kristen tanpa secara eksplisit
mengartikulasikan kehidupan mereka dalam kekristenan.90

Sementara itu, definisi spesifik mengenai Anonymous Christians dapat


ditemukan di dalam Theological Investigations, di mana Rahner mengemukakan
bahwa term Anonymous Christians adalah orang-orang yang secara de facto dan
bebas menerima dan mempersembahkan dirinya kepada Tuhan melalui iman,
harap, dan cinta, meskipun secara sosial ia bukanlah orang Kristen yang dibaptis
atau anggota Gereja yang sah, atau dalam arti harafiah telah secara sadar
mengobjektifkan kekristenannya bagi dirinya dan pikirannya sendiri, dengan iman
Kristen eksplisit sebagai hasil dari pengetahuannya mengenai Kristen. Dengan
kata lain, Anonymous Christians adalah orang-orang yang disebut kafir pada awal
misi Kristen, namun yang hidup berdasarkan rahmat Kristus melalui iman, harap,
dan kasih, meskipun tidak memiliki pengetahuan eksplisit tentang fakta bahwa
hidupnya senantiasa diorientasikan kepada rahmat keselamatan yang diberikan
oleh Allah melalui Yesus Kristus.91

Simpul kata, Anonymous Christians adalah konsep keselamatan yang


menyatakan bahwa semua orang dikehendaki Allah untuk diselamatkan melalui
Yesus Kristus. Meskipun di dalam agama-agama bukan Kristen nama Kristus
tidak digunakan sama sekali, namun agama-agama tersebut tetap ada dalam

89
Bdk. Paul F. Knitter, No Other Name? A Critical Survey of Christians Attitudes Toward
The World Religions (New York: Orbis Books, 1989), hlm. 186.
90
Declan Marmion dan Mary E. Hines (eds.), Cambridge Companion to Karl Rahner
(London: Cambridge University Press, 2005), hlm. Xiii.
91
Karl Rahner, Theological Investigations, Vol. 14, penerj. David Bourke, (London:
Darton, Longmann & Todd, 1976), hlm. 283.

41
cakupan keselamatan di dalam Allah. Di situ, Kristus (tak bernama) hadir juga di
dalam agama-agama lain di luar kekristenan.92 Konsep ini sekaligus menegasikan
eksklusivisme Kristen, di mana keselamatan diyakini sebagai monopoli
kekristenan, sebab Allah menawarkan anugerah keselamatan-Nya melalui
penebusan Yesus Kristus kepada semua orang di seluruh dunia, tanpa
diskriminasi.

Orang-orang Kristen Anonim diselamatkan bukan karena moralitas, tetapi


karena mereka telah mengalami kasih karunia dari Yesus Kristus tanpa
menyadarinya.93 Secara sederhana, apabila orang-orang beragama lain hidup
dalam agamanya secara sungguh-sungguh dan senantiasa menjaga hati nuraninya,
maka sesungguhnya orang itu adalah Kristen, yang juga terbuka kepada
keselamatan. Namun, ia adalah Kristen Anonim, karena kesungguhan serupa itu
hanya dimungkinkan oleh anugerah Allah dalam Kristus.

3.3 Pokok-Pokok Pikiran dalam Konsep Kristen Anonim

3.3.1 Pengalaman Transendental Manusia

Pemikiran Rahner mengenai Kristen Anonim tidak terlepas dari


kesanggupan diri manusia dari dalam secara misteri untuk mendengarkan sapaan
Allah. Dalam hal ini Rahner memandang bahwa manusia secara positif
berorientasi pada transendensinya dengan yang Ilahi. Di dalam Theological
Investigations, Rahner menjelaskan, landasan bagi pemikiran tentang Kristen
Anonim adalah apa yang dicari dari struktur dasar manusia sebagai makhluk
spiritual dan rancangan Allah pada awal penciptaan dunia. Sebagai makhluk
spiritual, manusia sebagai makhluk senantiasa terbuka kepada Allah, yang disebut
Rahner sebagai misteri. Rahner mengganggap transendensi sebagai ciri khas dari
spiritualitas manusia, yang melaluinya Yang Absolut dapat dijumpai, tanpa
refleksi, dalam setiap tindakan manusia untuk mengetahui atau mencintai objek

92
Harold Coward, Pluralisme. Tantangan bagi Agama-Agama (Yogyakarta: Kanisius,
1994), hlm. 74.
93
Tony Lane, Runtut Pijar. Sejarah Pemikiran Kristiani (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2005), hlm. 267.

42
tertentu. Karena itu, manusia secara konstan dan tak terelakkan senantiasa terarah
pada misteri sebagai dasar dan tujuan transendensi manusia.94

Apa yang diutarakan Rahner di atas mengindikasikan bahwa manusia


adalah makhluk yang senantiasa terbuka dan terarah kepada “horizon yang tak
terbatas”, yang dalam bahasa iman disebut “Allh”.95 Unsur pertama yang
menggerakkan manusia untuk bertransendensi adalah kesadaran untuk senantiasa
tertuju dan terbuka kepada Allah. Transendental di sini mengacu pada
pengetahuan dan pengalaman manusia yang dialaminya di dalam dunia, yang
kerap mempertanyakan keberadaan dan pengalamannya sendiri sebagai makhluk
dengan cakrawala yang terbatas, tetapi senantiasa terbuka terhadap misteri Allah.

Jadi, apa yang menjadi konsep Rahner tentang manusia tidak dapat
dilepaskan dari pemahamannya tentang Allah yang menyatakan diri-Nya dalam
kehidupan manusia. Lewat berbagai peristiwa dan pengalaman manusia, yang
kerap diabaikan, pada dasarnya manusia terarah kepada Allah. Sebab manusia
menurut Rahner adalah makhluk rohani, dan sebagai makhluk rohani ia senantiasa
mengarah kepada Allah. Roh manusia dalam transendensi atau keterbukaannya itu
merupakan potensi atau kesanggupan untuk menerima wahyu atau komunikasi
atau pemberian diri Allah dalam sejarah.

3.3.2 Rahmat sebagai Bentuk Komunikasi Allah

Kata rahmat menggambarkan pertolongan atau pemberian dari Allah.


Melalui bantuan dari Allah, seseorang akan berhasil meninggalkan suatu
kebiasaan buruk atau dosa. Dia akan berharap bahwa melalui rahmat, Allah akan
bermurah hati untuk mengampuni dosanya. Dalam pandangan Karl Rahner, cara-
cara tersebut merupakan cara-cara yang sah untuk berbicara tentang rahmat tetapi
belum sepenuhnya mendasar dan mendalam. Karl Rahner menggambarkan bahwa
hal yang paling penting untuk menggambarkan eksistensi Allah dalam bentuk
rahmat bukan sekadar pada anugerah dan pemberian yang khusus melainkan

94
Karl Rahner, “Anonymous Christians”, dalam Theological Investigations, Vol. 14,
Penerj. David Bourke, (London: Darton. Longman & Todd, 1976), hlm. 390-391.
95
F. Gions, Karl Rahner tentang Yesus Kristus sebagai Jawaban Atas Pertanyaan
Dasariah Manusia (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2006), hlm. 32.

43
melalui diri Allah sendiri. Rahner menyebut hal ini sebagai komunikasi diri Allah,
atau anugerah yang tidak diciptakan (uncreated grace).96

Karl Rahner menarik implikasi gagasan tersebut dalam konteks Kristen


Anonim. Setiap orang dapat diselamatkan karena Allah menghendaki demikian.
Walaupun orang tersebut bukanlah seorang Kristen, ia akan tetap diselamatkan.
Dalam hal ini, Rahner menuntut agar teologi berusaha merumuskan ajaran dan
kebenaran iman. Hal ini bertujuan agar setiap orang dapat merasakan kebenaran
secara mutlak sesuai dengan hidup dan eksistensi mereka. Rahmat diberikan
secara universal kepada semua orang melalui transendensi kodrat spritual mereka.
Rahmat tersebut bekerja dalam konsep definitif yang berhubungan pribadi Kristus.
Kristus secara utuh telah menyerahkan diri-Nya sebagai teladan bagi setiap
manusia, dan tidak ada keselamatan lain selain Dia. Dalam hal ini, Rahner
menempatkan Kristus dalam suatu kisah tentang bagaimana Allah memberi diri-
Nya sendiri kepada dunia dalam bentuk anugerah atau rahmat. Menurut Rahner,
rahmat tidak ditawarkan kepada manusia sebagai akibat dari inkarnasi, kematian,
dan kebangkitan Kristus. Artinya, rahmat mencakup konteks yang lebih luas, di
mana semua manusia tanpa terkecuali berhak dan pantas untuk menerima rahmat
keselamatan dari Allah.97

Rahmat bekerja dalam pribadi setiap orang tanpa melihat keyakinan yang
dianut oleh orang tersebut karena sesungguhnya keselamatan itu sudah ada di
dalam pribadi mereka. Di dalam pribadi setiap orang, ada semacam pengalaman
yang samar, tak bernama, dan bahkan tak dapat dirumuskan. Pengalaman tersebut
mungkin sengaja ditekan, tidak dapat diperhatikan dan dapat diabaikan, dan
pengalaman itu mengarah kepada Allah. Pengalaman akan Allah itu dapat ditekan
tetapi tidak dapat dihancurkan dan itulah pengalaman mistik atau pengalaman
yang terberi.

96
Pandangan ini digagaskan Rahner untuk merevisi pemikiran manusia tentang rahmat
yang sebelumnya telah mengakar di dalam teologi skolastik. Teologi skolastik membuat distingsi
antara anugerah jenis pertama (created grace), di mana melalui anugerah ini Allah mengubah
manusia, dan anugerah jenis kedua (uncreated grace) di mana Allah benar-benar
menganugerahkan diri-Nya kepada manusia dan hidup di dalam manusia. Menurut Rahner,
uncreated grace merupakan konsekuensi dari created grace, atau created grace mengalir dari
uncreated grace. Karl Rahner, “Anonymous Christians”, op. cit., hlm. 324.
97
Ibid., hlm. 392.

44
Rahner juga menghubungkan rahmat keselamatan dengan dosa asali.
Menurut Rahner, tidak ada seorangpun yang dapat dikeluarkan dari keselamatan
karena dosa asali, manusia hanya kehilangan kemungkinan keselamatannya
melalui perbuatan dosa yang serius yang dilakukan oleh dirinya sendiri.
Keselamatan yang dimaksudkan di sini adalah kehadiran Allah sendiri secara
supranatural dan langsung di dalam diri manusia yang diperoleh berkat rahmat itu
sendiri.98 Rahmat ini diperoleh manusia berkat pengalaman transendental sebagai
sesuatu yang ditawarkan dan mungkin diterima.

Simpul kata, dalam pemikiran mengenai rahmat sebagai bentuk


komunikasi Allah dalam konsep Kristen Anonim, pokok pikiran yang
dikemukakan Rahner adalah rahmat tidak ditawarkan kepada manusia sebagai
akibat dari inkarnasi, kematian, dan kebangkitan Kristus, melainkan mencakup
konteks yang lebih luas, di mana semua manusia tanpa terkecuali dimungkinkan
untuk menerima anugerah keselamatan itu.

3.3.3 Anugerah yang Implisit tanpa Iman yang Eksplisit

Menurut Rahner anugerah pada dasarnya bersifat implisit. Karena itu,


dalam pokok pikiran mengenai Kristen Anonim, manusia tidak perlu harus
menyadari apakah anugerah itu benar-benar ada atau tidak, atau bahkan Allah itu
ada atau tidak. Manusia senantiasa siap menerima revelasi diri Allah, sebagaimana
ia menerima dirinya sendiri secara sempurna, sehingga ia pun siap mendengarkan
sapaan Allah untuk dirinya. Rahmat Allah ini terbuka kepada siapa saja, juga
kepada orang yang bukan Kristen. Rahner menegaskan, siapapun yang telah
membiarkan dirinya dikuasai oleh rahmat ini akan disebut Kristen Anonim.99

Rahner juga menggambarkan iman yang implisit sebagai “iman anonim”,


di mana iman tersebut dapat juga menyelamatkan manusia. Ia mengatakan, “iman
anonim” adalah iman yang di satu sisi diperlukan dan efektif untuk keselamatan,
di bawah kondisi umum yang diperlukan untuk pembenaran dan keselamatan
akhir, yaitu harapan dan kasih Allah dan sesama, dan di sisi lain terjadi tanpa
hubungan eksplisit dan sadar (secara konseptual, verbal, dan objektif), untuk

98
Ibid, hlm. 200.
99
Ibid., hlm. 394-395.

45
wahyu yang terkandung di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dan tanpa
referensi eksplisit kepada Allah melalui gagasan objektif tentang Allah.100 Ini
berarti, orang Kristen Anonim diselamatkan bukan karena moralitas alamiah
mereka, tetapi karena mereka telah mengalami kasih karunia Yesus Kristus tanpa
menyadarinya (implisit), yaitu iman yang nyata tetapi tidak diungkapkan. Dengan
kata lain, orang Kristen Anonim memiliki yang iman implisit berhak mengalami
keselamatan, tanpa harus memiliki kesatuan dengan Kristus (iman eksplisit).

3.3.4 Hubungan antara Kekristenan dengan Agama Lain

Menurut Rahner, rahmat Allah bekerja dalam agama-agama bukan


Kristen. Allah menawarkan pengorbanan diri-Nya di dalam dan melalui
kepercayaan, perbuatan, dan ritual agama-agama lain. Allah sepenuhnya
memberikan keselamatan kepada manusia dan manusia merasakan keselamatan
yang diberikan Allah berdasarkan pengalaman kehidupannya.101 Dalam hal ini
jelas bahwa keselamatan itu bergantung sepenuhnya pada pernyataan diri Allah,
dan bukan upaya manusia. Karena itu, agama-agama lain memiliki makna positif
sebagai alat menerima keselamatan dari Allah. Setiap pemeluk agama lain yang
mengalami anugerah kasih Allah di dalam agama mereka masing-masing sudah
terhubung dan terorientasi ke dalam kekristenan. Mereka bisa dikatakan sudah
menjadi Kristen tanpa nama Kristen atau Kristen Anonim, sebab agama-agama
bukan Kristen, meskipun tidak sempurna, kemungkinan benar-benar bisa
menyelamatkan.102

Rahner juga menegaskan bahwa keselamatan itu berasal dari Allah melalui
Yesus Kristus. Namun keselamatan yang diberikan oleh Kristus tidak inklusif
hanya berada di dalam Gereja, melainkan di luar Gereja pun ada keselamatan.
Artinya, keselamatan itu adalah keselamatan universal. Sebab, Allah yang
menyelamatkan itu tidak hanya menyatakan diri-Nya melalui berinkarnasi
menjadi manusia di dalam dan melalui Yesus Kristus (bernama) dalam agama
Kristen, juga adalah Allah yang menyatakan diri dengan cara inkarnasi melalui

100
Ibid., hlm. 52.
101
Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Karl_Rahner#cite_note-Lane-2, diakses pada
23 Maret 2020.
102
Tony Lane, op. cit., hlm. 482.

46
Kristus (tanpa nama) di dalam agama-agama lain. Karena itu, Kristus bukan hanya
monopoli orang Kristen.103

Kristus hadir dan berkarya dalam diri orang percaya bukan Kristen, karena
itu di dalam agama-agama non Kristen Kristus hadir melalaui roh-Nya. Bahkan,
menurut Rahner, mereka juga dapat merespon wahyu melalui karya Roh Kudus.
Demikianpun iman dari semua agama, sejauh itu adalah iman yang dibawa oleh
Roh Allah, merupakan iman yang membenarkan.104 Walaupun orang-orang non
Kristen tidak dapat dikatakan secara eksplisit mengingat Yesus Kristus, namun
mereka telah memiliki pengalaman mendengar firman Allah secara transendental
dan menanggapinya.

Dengan demikian, hubungan antara kekristenan dengan agama lain


dijelaskan Rahner dalam kerangka peran keselamatan yang bersifat universal.
Rahner menarik gagasannya dari implikasi-implikasi kesatuan kodrati dan yang
adikodrati dengan memperlihatkan kehendak Allah yang nyata. Eksistensi
manusia merupakan konsep aktual yang mencakup kemungkinan subjektif untuk
menerima keselamatan Allah dalam rahmat. Rahmat menjadi pendorong manusia
ke arah keselamatan dalam iman dan kasih. Pernyataan ini mengandung arti
bahwa Allah ingin menjangkau dan merangkul semua orang tanpa kecuali. Dari
kata kasih, Allah ingin menyatakan diri-Nya kepada semua orang sebagai bentuk
komunikasi. Allah membuat diri-Nya hadir dan memampukan setiap orang
mengalami realitas dari kehadiran Tuhan.

Tesis Karl Rahner mengenai Kristen anonim dapat digunakan untuk


menyatakan bahwa Allah menyalurkan keselamatan dalam Kristus. Kristen
Anonim merupakan bentuk kasih Allah kepada manusia dengan cara dan bahasa
yang berbeda. Orang-orang Kristen anonim diselamatkan bukan karena moralitas
tetapi karena mereka telah mengalami kasih karunia dari Yesus Kristus tanpa
menyadarinya. Dengan kata lain, mereka telah menerima rahmat dan telah
mengalami rahmat Allah tersebut. Apabila dalam situasi tertentu mereka telah
menerima rahmat sebagai daya dorong kehidupannya, maka ia telah diberikan
wahyu dalam arti yang sebenarnya bahkan sebelum ia dipengaruhi oleh pewartaan

103
Paul F. Knitter, No Other Name?, op. cit., hlm. 186.
104
Karl Rahner, Theologi Investigations, Vol. 16., op. cit., hlm. 318.

47
tentang Allah itu sendiri. Oleh karena itu, semua manusia memiliki kesempatan
untuk diselamatkan. Jika keselamatan dicapai melalui agama lain, itu merupakan
penyelamatan dari agama Kristen anonim. Patokannya adalah semua orang
dicintai Allah. Jadi, semua orang mendapat panggilan universal kepada
keselamatan.

48
BAB IV
IMPLIKASI PANDANGAN RAHNER MENGENAI KRISTEN ANONIM
TERHADAP PRAKSIS HIDUP UMAT KRISTEN
DALAM KONTEKS PLURALISME AGAMA DI INDONESIA

Dalam perspektif filsafat agama, ada tiga sikap dalam beragama, yaitu
eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Eksklusivisme adalah pandangan
yang mengklaim bahwa tradisi dan keyakinan agama yang dianut merupakan satu-
satunya sumber kebenaran, di luar itu tidak ada kebenaran. Dengan kata lain,
kebenaran yang ada di dalam satu agama tertentu menafikkan yang tidak benar
yang dianut oleh agama-agama lain. Berbanding terbalik dengan eksklusivisme,
inklusivisme lebih terbuka terhadap posisi agama-agama lain di luar keyakinan
satu agama tertentu. Meskipun penganut inklusivisme meyakini bahwa agama
yang dianutnya memiliki kebenaran yang kompleks atau sempurna, namun
inklusivisme tetap memberikan ruang bagi kebenaran yang juga diakui terdapat
pada agama lain. Sementara itu, pluralisme memiliki tingkatan yang jauh lebih
tinggi dari inklusivisme. Pluralisme dipandang sebagai puncak dari sikap
keberagamaan manusia, yang dapat menciptakan kerukunan dan perdamaian di
antara umat manusia jika diaplikasikan dengan benar dan tepat. Bagian ini secara
khusus akan membahas hal-hal seputar pluralisme agama di Indonesia dan
korelasinya dengan kehidupan umat Kristen di Indonesia, serta implikasi konsep
Kristen Anonim Karl Rahner terhadap praksis kehidupan umat Kristen dalam
konteks pluralisme agama di Indonesia.

4.1 Pluralisme di Indonesia

4.1.1 Definisi Pluralisme Agama

Secara etimologis, pluralisme merupakan perpaduan dari kata “plural”


yang berarti jamak atau lebih dari satu (banyak); dan “-isme” yang berarti paham

49
atau aliran yang dianut oleh orang atau kelompok tertentu. Karena itu, pluralisme
berarti keadaan masyarakat yang majemuk yang berhubungan dengan suatu sistem
tertentu, seperti sistem politik atau sistem sosial.105 Meskipun demikian, term
“pluralisme” tidak sekadar menunjukkan suatu keadaan atau fakta yang bersifat
plural, jamak, atau banyak. Secara substansional, pluralisme termanifestasi di
dalam sikap untuk saling mengakui, menghargai, menghormati, memelihara, dan
bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang plural, jamak, atau
banyak.106

Dalam hubungannya dengan agama, pluralisme agama dipahami sebagai


kondisi hidup umat beragama yang berbeda-beda keyakinan atau majemuk di
dalam suatu komunitas atau masyarakat dengan tetap mempertahankan ciri-ciri
spesifik dari agama yang dianut, namun tidak menutup kemungkinan untuk
mengakui atau terbuka terhadap agama lain. Dalam hal ini, transformasi Yang
Ilahi terjadi secara nyata dalam masing-masing penganut agama tertentu, dan
karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Namun sebenarnya, pluralisme
mengakui bahwa setiap agama merupakan manifestasi dari realitas yang satu, di
mana semua agama secara substansial berasal dari Wujud yang sama, tidak ada
yang lebih baik dari yang lain. Pandangan pluralisme semacam ini dengan
demikian tidak melulu berkaitan dengan pengakuan iman parsial, melainkan juga
pengakuan atas eksistensi agama-agama lain. Karena itu di dalam pluralisme
agama, sikap yang perlu dibangun bukan saja berhubungan dengan kesadaran
normatif-teologis tetapi juga kesadaran sosial. Pluralisme agama didukung dengan
pengakuan bahwa setiap agama dengan para pemeluknya masing-masing memiliki
hak yang sama untuk eksis. Karenanya, sikap yang harus dibangun adalah sikap
saling menghormati dan menghargai satu sama lain.

Berdasarkan penjelasan di atas, pluralisme agama dapat diartikan sebagai


suatu paham atau gagasan yang mengajarkan bahwa semua agama yang dianut
oleh setiap orang sama dengan berangkat dari persepsi dan konsepsi yang berbeda
tentang Yang Real dari kultur manusia yang bervariasi. Transformasi wujud

105
Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka: Jakarta, 2010),
hlm. 691.
106
Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 75.

50
manusia tersebut terjadi secara nyata dalam kulturnya dan karenanya, kebenaran
setiap agama adalah relatif. Oleh karena itu, setiap agama merupakan manifestasi
dari realitas yang satu dan semua agama sama; tidak ada yang lebih baik dari yang
lain. Pandangan pluralisme tidak melulu adanya pertemuan dalam hal keimanan
tetapi merupakan pengakuan atas keberadaan agama-agama lain.

4.1.2 Pluralisme Agama di Indonesia

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluralis. Salah satu indikator yang
menunjukkan adanya pluralitas itu adalah keragaman agama yang dianut oleh
masyarakat Indonesia. Secara umum, ada lima agama besar yang diakui di
Indonesia, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Budha. Di
antara agama-agama ini, ada juga agama-agama lain yang telah lebih dulu ada
sebelum lahir dan berkembangnya kelima agama besar itu. Agama-agama ini
disebut agama tradisional.

Pluralitas agama di Indonesia pada kenyataannya di satu sisi menuntut


adanya hubungan yang harmonis antaragama demi terciptanya stabilitas
kehidupan dalam masyarakat, di sisi lain mengandung potensi konflik yang sangat
besar dalam masyarakat bila hubungan antaragama tidak dapat dibangun dan
dikembangkan dengan baik. Karena itu, setiap warga negara wajib membina
kerukunan hidup karena nilai-nilai setiap ajarannya memberikan fungsi yang
cukup kritis bagi perkembangan zaman. Dalam hal ini, peranan agama cukup
menyata jika disandingkan dengan azas integritas, azas kerukunan, kerjasama, dan
sebagainya yang melahirkan nilai-nilai positif dalam rangka mencapai
persatuan.107 Hal yang menjadi penting juga bahwa bagaimana setiap agama
menempatkan diri secara benar terhadap keberadaan agama-agama lain. Apabila
setiap orang mampu menjunjung tinggi semangat toleransi, relasi timbal-balik
antarmanusia menjadi aman dan paradigma eksklusif tidak akan mendapat tempat.
Selain itu, sikap keterbukaan dari setiap penganut agama akan menjadi urgen
untuk membangun dialog antaragama.

107
Martyn Sardy, Agama Multidimensional: Kerukunan Hidup Beragama dan Integritas
Nasional (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm. 3.

51
Di dalam konteks masyarakat pluralis dewasa ini, sering terjadi perdebatan
antarsetiap suku maupun agama. Perdebatan tersebut selalu berlandaskan pada
pengakuan atas kepercayaan siapa yang paling benar. Setiap orang berhak
menyampaikan pendapatnya. Namun, hal yang seringkali terjadi ialah mereka
sulit bahkan tidak dapat menemukan jalan keluar terbaik untuk dijadikan sebagai
simpulan. Selain itu, tidak menutup kemungkinan juga bahwa hasil dari
perdebatan ini ialah terjadinya kericuhan bahkan pembunuhan. Melihat realitas
tersebut, faktor yang dapat dikemukakan ialah kurangnya pemahaman manusia
akan eksistensi Allah bagi dirinya. Manusia telah menciptakan agama untuk
menjamin kehidupan mereka dalam hal bertutur kata dan bertingkah laku yang
baik sehingga berterima di hadapan Allah. Namun, manusia sendiri yang pada
akhirnya melanggar setiap aturan yang telah mereka tetapkan. Ia tidak mampu
untuk mempraktikkan lebih jauh hukum-hukum atau aturan-aturan yang telah
ditetapkan oleh setiap kepercayaannya. Terhadap kenyataan seperti ini, ada tiga
hal yang menjadi acuan dalam memahami keanekaragaman tersebut, yakni: “(1)
Eksklusivisme, pada dasarnya agama-agama lain tidak diakui. (2) Inklusivisme,
sesungguhnya tidak ada perbedaan, agama lain merupakan bentuk kurang
sempurna dari suatu agama yang benar. (3) Pluralisme, agama-agama memang
beda tetapi menyembah Allah yang sama”.108

Oleh karena bangsa Indonesia harus menjunjung tinggi keanekaragaman,


ada tiga tema dan prinsip umum bagi setiap orang untuk dapat menanggapi
realitas atau model pluralisme keagamaan pada situasi sekarang, yaitu:

(1) bahwa pluralisme keagamaan dapat dipahami dengan baik dalam kaitan
dengan sebuah logika yang melihat Satu yang berwujud banyak-realitas
transenden yang menggejala dalam bermacam-macam agama; (2) bahwa
ada suatu pengakuan bersama mengenai kualitas pengalaman agama
partikular sebagai alat; dan (3) bahwa spiritualitas dikenal dan diabsahkan
melalui pengenaan kriteria sendiri pada agama-agama lain. Juga diakui
bersama beberapa kesulitan yang ditimbulkan oleh pluralisme modern.109

Berdasarkan perspektif filsafat atau teologi, logika merupakan cabang ilmu


atau sumber yang paling tampak untuk menjelaskan fakta dalam realitas

108
Tom Jacobs, op. cit., hlm. 197.
109
Harold Coward, op. cit., hlm. 168-169.

52
pluralisme keagamaan. Dalam logika, perumusan paling tua ditemukan pada
gagasan Veda mengenai Yang Satu yang disebut dengan banyak nama. Ini
merupakan penjelasan yang paling mutakhir mengenai pluralisme agama. Dalam
penjabarannya, agama pada satu ide umum yang menjadikan semua agama satu
tidak dapat berterima karena akan melanggar prinsip-prinsip kebebasan. Sebuah
agama universal sama dengan paksaan agama dan dapat menyebabkan pengikaran
kebebasan jika berjalan pada kesatuan tanpa keanekaragaman. Apabila
disandingkan antara Yang Satu dan yang banyak, Yang Satu akan dikedepankan
karena merupakan sumber kreatif. Yang banyak (tradisi-tradisi partikular) boleh
berubah tetapi Yang Satu akan tetap berdiri kokoh dengan menggunakan agama
partikular sebagai alat menuju sumber kreatif (Yang Satu) dalam berelasi dan
berinteraksi satu sama lain.110 Dengan kalimat lain, untuk mencapai Yang Satu,
hadirnya beragam agama akan menegaskan keberadaan agama itu sebagai
medium untuk menciptakan keharmonisan bagi setiap perbedaan.

Kenyataannya di Indonesia, kesadaran dan pemahaman yang benar


mengenai pluralisme agama di Indonesia masih jauh dari harapan. Hal ini ditandai
dengan adanya berbagai konflik atas nama agama yang sering terjadi di tanah air
ini. Faktor utama dari konflik yang timbul atas nama agama ini diasumsikan
dilatarbelakangi oleh kedangkalan pemahaman tentang agama yang dianut dan
pemahaman tentang agama lain. Sebagai misal, perang salib antara Islam dan
Kristen yang masih menyisahkan luka batin pada kelompok-kelompok tertentu.
Suatu situasi yang memberikan dampak dan keresahan yang begitu besar bagi
kebanyakan orang yang tidak terlibat di dalamnya. Apabila dikaitkan dengan
konteks sekarang, mental perang tersebut masih ada dan hadir dalam diri para
terorisme. Kaum ini mengklaim dirinya sebagai yang benar dengan menciptakan
peperangan mengatasnamakan agama dan Tuhan. Mereka menutup diri terhadap
agama-agama lain yang kemudian menjadikan kelompok mereka sebagai
kelompok yang eksklusif dan tidak menerima kebenaran agama-agama lain. Tidak
dapat dipungkiri, ketertutupan serupa ini pun masih terdapat di dalam negara yang
menjunjung tinggi kebhinekaan ini.

110
Ibid., hlm.170.

53
Pengakuan kebenaran akan suatu agama ternyata tidak serta-merta
dianggap sebagai suatu pembelaan yang absolut. Dalam banyak kasus ditemukan
ketidakselarasan antara ibadah di dalam doa-doa dengan praktik hidup harian
umat beragama yang ada. Dengan kata lain, munculnya kesenjangan antara iman
dengan praksis hidup penganut agama itu. Faktor yang menjadi alasan dasar
terjadinya sikap demikian dapat berupa banyak bentuk. Pada titik inilah kemudian
munculnya gerakan fundamentalisme. Fundamentalisme di satu sisi dimengerti
sebagai gerakan purifikasi ajaran-ajaran agama, sedangkan di sisi lain ialah satu
bentuk “kekerasan” atas nama agama. Fundamentalisme merupakan pandangan
yang berbau konservatif, anti ekumenis, dan bisa menuntut hidup saleh,
menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama.111 Namun,
fundamentalisme juga merupakan gerakan yang suka menggunakan kekerasan dan
aksi radikal dalam mencapai tujuannya. Ia merujuk pada karakter gerakan
keagamaan yang keras, fanatik, dan reaksioner.112 Dari coraknya seperti ini,
fundamentalisme lantas dipahami sebagai bentuk fanatisme agama. Di Indonesia,
fundamentalisme masih cukup marak terjadi.

Kaum fundamentalis memiliki anggapan yang pasti bahwa kebenaran


absolut memiliki sifat yang berubah-ubah. Ia tidak dapat tinggal tetap sebagai
ajaran murni yang tidak berdampak kepada kehidupan. Dengan kalimat lain,
manusia tidak dapat berada pada satu kebenaran jika pada waktu yang sama, ia
tidak mampu menarik konsekuensi kebenaran untuk kehidupannya. Kaum
fundamentalis menamai diri mereka sebagai pembela iman yang benar. Dalam hal
ini, tanpa kenal kompromi menentang semua kekuatan yang menodai kebenaran
ilahi. Oleh karena keyakinan mereka akan satu kebenaran absolut, kaum
fundamentalis akhirnya mengklaim bahwa kebenaran absolut hanya termanifestasi
di dalam agama atau pandangan hidup mereka sendiri dan mengganggap yang lain
salah karena berada pada kebenaran lain yang tidak serupa. Mereka cenderung
tidak toleran kepada orang lain dan dapat mengarah kepada pemusnahan
eksistensi sesamanya. Oleh karena itu, kaum fundamentalis selalu menjadi

111
Efendi Mokhtar, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, (Palembang: Penerbit Universitas
Sriwijaya, 2000), hlm. 332.
112
J. Badudu dan Sultan Mohammadzin, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Penerbit Pustaka Sinar Harapan, 2001), hlm. 412.

54
penghambatan dalam menjalankan dialog antaragama. Maka bukan lagi menjadi
persoalan baru apabila konflik antaragama terus ada dan terjadi.

Hadirnya pluralisme agama di Indonesia merupakan suatu kebanggaan,


kesempatan sekaligus menjadi motivasi bagi anak-anak bangsa untuk mengubah
pola hidup yang telah lama keliru. Pluralisme agama seharusnya terus dijiwai
karena merupakan kekayaan tersendiri bagi bangsa Indonesia dan perlu
dilestarikan. Pancasila sebagai landasan negara tetap harus dipertahankan dan
dipegang teguh untuk mencegah terjadinya perpecahan, terkhusus berkaitan
dengan konflik sosial. Dengan demikian, seluruh rakyat Indonesia dapat
menjunjung tinggi nilai toleransi, kedamaian, kebebasan, kesejahteraan, dan
lainnya. Hal ini telah mengajarkan masyarakat Indonesia untuk saling terbuka
menerima kebenaran agama-agama lain. Berdirinya wadah musyawarah juga
merupakan harapan yang ideal untuk negara Indonesia yang pluralistis ini. Oleh
karena itu, dengan terbentuknya wadah musyawarah antarumat beragama,
kerukunan sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri bangsa dan masyarakat
dapat terwujud. Selain itu, integritas nasional yang terpadu pun pasti akan
terwujud.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, tampak bahwa kesadaran dan


pemahaman yang benar tentang pluralisme agama di Indonesia masih perlu terus-
menerus dikembangkan. Di sini, semua agama memiliki tanggung jawab yang
sama untuk mengajarkan dan mengembangkan pemikiran yang benar sehubungan
dengan pluralisme agama di Indonesia. Semua agama di Indonesia perlu
menyadari bahwa pluralisme agama dan hubungan antaragama adalah sesuatu
yang tidak dapat dihindarkan. Karena itu tidak ada satupun agama yang dapat
memisahkan atau menutup diri dari pengaruh agama lain. Dengan kata lain, satu
agama di Indonesia selalu ada dalam interaksi dengan agama lain.

4.1.3 Umat Kristen dan Pluralisme Agama di Indonesia

Kenyataan adanya pluralisme agama di Indonesia tentu menjadi tantangan


tersendiri bagi umat Kristen di Indonesia. Harold Coward mengatakan bahwa
hubungan antara agama Kristen dan agama-agama lain merupakan salah satu

55
persoalan pokok dalam pemahaman diri orang Kristen.113 Pernyataan ini menuntut
adanya tanggung jawab bagi umat Kristen Indonesia untuk memahami dirinya
sendiri dan ajaran agamanya sehingga tidak menjadi sumber konflik atas nama
agama. Hal ini memiliki urgensi tersendiri, sebab di Indonesia umat Kristen tidak
dapat hidup terpisah dari agama-agama lain, demikianpun perkembangan
kekristenan di Indonesia dapat berlangsung kondusif jika dibarengi dengan dialog
yang intensif dengan agama-agama lain.

Sebagai bagian dari pluralitas agama di Indonesia, kekristenan tentu


memiliki pandangan dan sikap terhadap pluralitas agama di Indonesia. Pandangan
dan sikap itu memiliki makna dan pengaruh tersendiri bagi kehidupan bersama.
Dalam sejarah perkembangan agama Kristen, pandangan dan sikap yang eksklusif
dan superior terhadap agama lain kerap mewarnai perilaku umat Kristen. Hal ini
bertolak dari pemahaman teologi-teologi Kristen yang cenderung eksklusif,
sehingga menjadi hambatan bagi umat Kristen untuk bersikap secara baik dan
benar terhadap agama lain. Pada akhirnya, berbagai konflik pun bermunculan,
baik dalam lingkungan kekristenan itu sendiri – misalnya antara Protestan dan
Katolik – maupun dengan agama lain di luar kekristenan seperti yang tampak di
dalam tragedi Perang Salib.114

Meskipun demikian, sejarah perkembangan kekristenan yang eksklusif itu


telah mengalami perubahan dalam perkembangannya, di mana banyak orang
Kristen telah berusaha menjalin hubungan yang baik dengan agama lain. Di
Indonesia sendiri hubungan itu dijalin dalam bentuk dialog dan kerja sama,
misalnya di dalam sebuah forum yang dinamakan FKUB (Forum Kerukunan
Antarumat Beragama). Forum ini menjadi salah satu petunjuk adanya pengakuan
dan penerimaan terhadap pluralitas agama di Indonesia.

113
Harold Coward, op. cit., hlm. 31.
114
Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2004).

56
4.2 Implikasi Pemikiran Karl Rahner terhadap Praksis Hidup Umat Kristen
dalam Konteks Pluralisme Agama di Indonesia

Keterbukaaan umat Kristen di Indonesia terhadap agama lain mesti


dibarengi dengan pemahaman yang benar tentang ajaran-ajaran Gereja maupun
para teolog terkemuka. Salah satu gagasan yang ditawarkan di sini untuk
menjembatani keterbukaan umat Kristen Indonesia dengan agama lain adalah
gagasan Kristen Anonim yang dikemukakan oleh Karl Rahner. Di sini, gagasan
Kristen Anonim Karl Rahner diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap
pandangan dan sikap umat Kristen di Indonesia terhadap agama-agama lain.
Berikut akan dijabarkan sejauh mana gagasan Kristen Anonim memiliki
sumbangsih terhadap praksis kehidupan umat Kristen di Indonesia.

4.2.1 Semua Manusia Dimungkinkan untuk Bertransendensi

Titik tolak dan konsistensi bangunan pemikiran teologis Karl Rahner


adalah analisanya tentang manusia yang secara positif berorientasi pada manusia.
Manusia memiliki kemampuan untuk mengetahui dan membedakan macam-
macam pengetahuan khusus menurut pengalaman hidupnya sendiri. Jika dalam
pengalaman hidupnya manusia bersentuhan dengan unsur supranatural, yaitu
sesuatu yang absolut, manusia akan menerima kehadiran Sang Misteri atau Yang
Absolut. Oleh umat Kristen, Sang Misteri atau Yang Absolut ini disebut Allah.
Pengetahuan akan Sang Misteri atau Yang Absolut itu berakar dalam subjektivitas
dan transendensi bebas manusia yang tidak terlepas dari kesanggupan manusia
dari dalam (potentia obendientialis). Kesadaran akan hakikat manusia yang
memiliki kemampuan transendensi ini harus dipahami ada di dalam semua agama.
Sebab, term “manusia” itu sendiri merujuk pada manusia secara universal, bukan
semata-mata manusia Kristen. Hemat penulis, hal ini merupakan dasar yang kuat
untuk dijadikan acuan memahami pluralisme agama di Indonesia, di mana agama-
agama merupakan bentuk respon dari manusia terhadap Sang Misteri atau Yang
Absolut. Transendensi manusia dalam skala universal itu serentak menegaskan
bahwa tidak ada ciptaan lain yang memikiki kedudukan yang istimewa di hadapan
Allah. Pemahaman ini seharusnya mendorong setiap orang untuk berinteraksi

57
dengan orang lain tanpa menonjolkan perbedaan-perbedaan yang
melatarbelakanginya.

Pengalaman transendensi manusia yang digagaskan Rahner memiliki


pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang senantiasa terbuka dan terarah
kepada horizon yang tak terbatas, yang dalam bahasa iman Kristen disebut Allah.
Namun demikian, semua agama tentu menawarkan jawaban masing-masing atas
transendensi manusia tersebut. Semua manusia mencari jawaban atas
keberadaannya melalui transendensinya dengan Yang Absolut. Dalam konteks ini,
pluralisme agama dapat dipahami sebagai keberagaman dari manusia untuk
mencari jawaban atas pengalaman hidupnya melalui aktus transendensi. Karena
itu, setiap orang dalam agama masing-masing tidak perlu saling menjatuhkan,
melainkan saling menghargai, mendorong, dan bekerja sama sehingga pergumulan
dalam hidup ini dapat dipecahkan secara bersama-sama.

4.2.2 Universalitas Keselamatan Manusia

Pemahaman tentang keselamatan dalam hubungannya dengan pluralisme


agama boleh jadi merupakan hal yang amat sensitif bagi orang-orang Kristen di
Indonesia.115 Hal ini disebabkan oleh masih kuatnya eksklusivitas di Indonesia
dalam setiap agama dalam memahami keselamatan. Namun konsep Rahner
tentang Kristen Anonim memiliki dasar-dasar untuk memahami keselamatan yang
universal. Sehubungan dengan hal ini, Rahner menempatkan Kristus dalam suatu
kisah tentang bagaimana Allah memberi diri-Nya sendiri kepada dunia dalam
bentuk anugerah. Anugerah ini mencakup konteks yang lebih luas, di mana semua
manusia tanpa terkecuali berhak dan pantas untuk menerima anugerah
keselamatan dari Allah. Setiap orang yang diselamatkan bukan karena moralitas,
tetapi karena mereka telah mengalami kasih karunia dari Yesus Kristus tanpa
menyadarinya.

Universalitas keselamatan yang digagaskan Rahner melalui Kristen


Anonim tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa Allah menyelamatkan

115
Bdk. E. Gerrit Singgih, “Hidup Kristiani dalam Masyarakat Keagamaan yang Bersifat
Majemuk”, dalam Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 115.

58
semua manusia dalam semua agama-agama melalui Yesus Kristus. Kata
“universal” mengandung pengertian bahwa Allah menawarkan keselamatan
kepada semua manusia, karena Ia sendiri menghendaki agar semua manusia
diselamatkan. Meskipun demikian, pemahaman tentang universalitas keselamatan
ini tidak dimaksudkan untuk merelatifisir keselamatan yang mengandung makna
partikularistik bahwa Kristus adalah satu-satunya Penyelamat, sebagaimana yang
diimani oleh umat Kristen. Kedua makna tersebut, yaitu keselamatan yang
mengandung makna universalistik dan partikularistik, harus dipahami secara
seimbang. Penekanan yang ekstrim terhadap salah satu aspek akan mengakibatkan
pemahaman yang keliru dan menimbulkan eksklusivitas terhadap agama lain.

Orang-orang Kristen Anonim memiliki kesempatan untuk diselamatkan


melalui penerimaan wahyu dari Allah. Dalam hal ini, Karl Rahner
memperlihatkan kehendak Allah pada suatu kemungkinan akan keselamatan
universal kepada semua orang. Manusia secara aktual harus berada pada suatu
situasi eksistensial demi mencapai tujuan supranatural dengan menerima
pemberian diri Allah secara total. Penerimaan pemberian Allah terjadi di saat
manusia secara bebas dan pribadi mengaktualisasikannya di dalam iman dan
kasih. Dengan cara demikian, Allah hadir pada pengalaman sadar setiap orang
melalui dinamisme tendensi roh ke dalam ketidakterbatasan misteri. Jika setiap
orang secara terbuka menerima kodrat mereka sendiri yang spiritual dan
transenden, pewahyuan nyata dan pengalaman iman akan Allah telah hadir di
dalam pribadi manusia, meskipun kabur dan tidak tampak. Allah secara pribadi
telah memberikan diri-Nya sebagai bentuk akan keselamatan manusia. Pemberian
diri Allah yang diterima manusia melalui iman dan kasih juga dirasakan oleh
orang-orang Kristen Anonim. Allah hadir sebagai Allah yang universal dan
manusia memiliki kesempatan memeroleh keselamatan dengan cara demikian.
Allah merupakan dasar dan tujuan eksistensi manusia dan dengan tindakan
penyerahan diri, kodrat dan kebebasan manusia justru disempurnakan.
Kesempurnaan dalam diri manusia ini akan menjadi dasar dan titik akhir bahwa
manusia dapat diselamatkan secara universal.

Sehubungan dengan praksis kehidupan umat Kristen di Indonesia dalam


konteks pluralisme agama, paham tentang eksklusivitas keselamatan dalam

59
Kristus tetap dipertahankan. Namun pada saat yang sama, wawasan berpikir
tentang keselamatan itu harus diperluas secara lebih utuh dengan mengefektifkan
pemberitaan keselamatan kepada orang lain, sebab Rahner juga mengindikasikan
bahwa tugas orang Kristen adalah membawa Kristen Anonim mencapai kehadiran
Kristus yang berinkarnasi. Karena itu, orang-orang Kristen di Indonesia harus
memberikan kesempatan kepada Kristen Anonim dan membuat mereka masuk
dalam suatu kepenuhan yang sama seperti kekristenan yang eksplisit. Namun
harus diperhatikan bahwa usaha ini harus ditunjang dengan penghormatan
terhadap kebebasan yang tercakup dalam iman dan keputusan pribadi dan hanya
memakai sarana yang sesuai dengan sifat dasar iman itu, bukannya melanggar
kebebasan seseorang.116 Di sinilah pluralisme agama turut mendapatkan
tempatnya.

4.2.3 Kasih kepada Sesama

Pada dasarnya, manusia yang menjunjung tinggi nilai kerukunan


merupakan manusia yang pluralis. Hal ini berarti bahwa budaya saling
menghormati dan menghargai sesamanya tidak dapat dipisahkan dari identitas
manusia itu sendiri. Dalam sudut pandang teologis, mencintai sesama manusia
sering dimengerti sebagai cinta kepada Allah yang tak bersyarat. Dengan kata
lain, manusia berbicara tentang cinta Allah kepada dirinya, cinta dirinya kepada
Allah, cinta manusia yang satu terhadap yang lainnya, cinta terhadap segala
ciptaan-Nya, dan cinta yang wajar terhadap diri sendiri. Di sini, Allah dalam diri
manusia mempunyai bagian untuk menopang dan mendukung cinta yang lain.
Walaupun manusia belum mampu menjalani cinta itu secara utuh, Allah akan
menjalankan bagian-Nya sehingga mampu membawa pengaruh kepada manusia
untuk saling melengkapi satu sama lain.

Sehubungan dengan itu, Rahner tidak memandang bahwa agama-agama


kafir tidak penting, sepanjang mereka dapat menunjukkan kebaikan dan kasih
pada sesama yang merupakan manifestasi dari anugerah Kristus yang ada di
dalam agama mereka. Hal ini belum cukup untuk menjadikan mereka sebagai

116
Karl Lehmann dan Albert Raffelt (eds.), The Content of Faith: The Best of Karl
Rahner’s Theological Writings (New York: Crossroad, 1994), hlm. 449.

60
Kristen Anonim. Ada permasalahan lain yang harus diperhatikan, di mana
anugerah yang ditawarkan Allah dapat diterima atau ditolak. Tanggapan seseorang
atas anugerah itu tidak perlu disertai dengan kesadaran bahwa apakah anugerah itu
benar-benar ada atau tidak atau Allah itu ada atau tidak. Tanggapan manusia atas
anugerah itu diberikan secara implisit. Menurut Rahner, karena anugerah Allah
berpengaruh pada pusat keberadaan manusia maka manusia menerimanya jika
manusia menerima keberadaan dirinya sendiri. Dalam pusat keberadaanya, jika
seorang manusia mampu menerima dirinya sendiri, ia dengan segala haknya dapat
dikatakan sebagai seorang Kristen Anonim.117

Ciri khas lain yang ditunjukkan Rahner bahwa Kristen Anonim patut
dipertimbangkan sebagai orang yang berhak untuk memperoleh keselamatan
adalah kasih Kristen Anonim terhadap sesama dan kepekaan mereka terhadap hati
nuraninya. Rahner menegaskan, mengasihi sesama merupakan ciri untuk
mengenali Kristen Anonim. Orang yang mengasihi sesamanya merupakan bukti
kasihnya kepada Allah. Kitab suci mengajarkan bahwa kasih yang ditunjukkan
kepada sesame merupakan kasih yang ditujukkan kepada diri Allah sendiri.
Karena itu dalam pengertian yang nyata, hubungan kasih antara seseorang dengan
sesamanya menunjukkan hubungan kasih antara orang tersebut dengan Allah. Hal
ini tidak harus dikatakan bahwa orang non-Kristen dapat menunjukkan tindakan
mengasihi sesama tanpa pertolongan dari Allah. Sebaliknya, tindakan kasih ini
adalah bukti nyata dari karya Allah di dalam orang tersebut.

Kemampuan seseorang mengasihi juga merupakan kehendak Allah yang


ditawarkan kepada setiap orang secara supranatural. Apabila seseorang, entah
orang ateis atau politeis, dengan sungguh-sungguh mengasihi sesama manusia atas
dorongan hati nuraninya maka perbuatan itu menunjukkan adanya anugerah Allah
telah sampai kepada mereka, di luar kesadaran mereka sendiri. Dalam konteks ini,
kasih yang ditebarkan umat Kristen di Indonesia terhadap agama lain merupakan
bagian dari usaha untuk menunjukkan adanya anugerah Allah di dalam Kristen
Anonim. Dengan itu, umat Kristen sendiri tidak terisolir dari umat lain,
demikianpun sebaliknya, sebab keduanya saling membutuhkan. Hal ini dapat

117
Mark Lowery, “Retrieving Rahner for Orthodox Catholicism,”
http://www.ewtn.com/ library/THEOLOGY/FR91302.HTM, diakses
pada 23 Maret 2020.

61
terwujud jika umat Kristen menyadari kasih karunia Allah yang telah diterimanya
dalam kekristenanannya yang harus mengasihi sesamanya sebagai refleksi dari
imannya kepada Allah. Nilai luhur ini, yaitu kasih kepada sesama, sangat
dibutuhkan dalam konteks kehidupan pluralisme agama di Indonesia, sehingga
dengannya orang Kristen Anonim dapat turut melihat dan mengalami terang Allah
yang menyelamatkan.

62
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Konsep Kristen Anonim yang digagaskan Karl Rahner mengindikasikan


bahwa agama-agama lain bisa menjadi agama yang sah (a lawful religion), dalam
arti dapat memiliki makna positif sebagai alat menerima keselamatan dari Allah.
Pandangan Rahner tentang anugerah yang ada di dalam diri manusia dan
kemampuan transendensi manusia untuk mencapai yang ilahi hingga konsep
soteriologis Rahner, memungkinkan hampir seluruh umat manusia dapat
diselamatkan. Dengannya, mereka yang tidak mengenal Kristus tidak mungkin
akan luput dari cakupan anugerah Allah yang menyelamatkan. Namun demikian,
Rahner masih tetap berpegang pada konsep bahwa keselamatan non-Kristen itu
selalu merupakan keselamatan dalam Kristus (Kristosentris). Jadi dalam agama-
agama lain, Kristus yang menyelamatkan itupun ada di sana tanpa bernama
Kristus (Anonymous Christ). Oleh sebab itu, penganut agama-agama lain adalah
sebenarnya juga orang-orang Kristen tanpa nama (Anonymous Christians).

Pandangan Rahner tersebut memberikan semacam awasan bagi orang-


orang Kristen, secara khusus umat Kristen di Indonesia yang hidup dalam konteks
pluralisme agama, untuk tidak menghakimi agama-agama lain sebagai keyakinan
palsu dan tidak mempunyai keselamatan. Walaupun tidak sesempurna yang ada
dalam Gereja, namun karena anugerah Allah yang universal itu, maka
keselamatan dalam Kristus pun ada di sana (orang Kristen Anonim) walaupun
tidak memakai nama Kristus (Kristus Tanpa Nama).

Namun demikian, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, umat Kristen


dapat memahami bahwa aspek pluralisme tidak lebih dari sekadar salah satu aspek
penghargaan terhadap agama lain yang bersifat universal. Karena itu, usaha umat
Kristen untuk membangun pluralisme yang sejati tidak dengan meruntuhkan garis

63
batas antara ajaran kekristenan dengan keunikan identitas setiap agama. Artinya,
membangun pluralisme tidak dengan mengerucutkan pemikiran dan pemahaman
pada keseragaman pola pikir atau keseragaman tipologi ajaran agama yang
tujuannya menjadi satu dan sepaham. Dalam hal ini, derivatif nilai yang
ditawarkan oleh para teolog, salah satunya Karl Rahner, dapat dijadikan tolok
ukur perbandingan mengenai konsep bahwa berbeda menuju keselarasan bukan
berarti harus menjadi serasi secara identitas.

Pemahaman dan sikap teologis yang dipegang dan dilaksanakan oleh umat
Kristen di Indonesia memiliki implikasi atau pengaruh terhadap usaha untuk
menyalurkan anugerah keselamatan kepada orang lain. Dengan pemahaman,
penerimaan, dan sikap yang tepat, yaitu pluralis dalam menghadapi kondisi
masyarakat Indonesia yang majemuk, tujuan kehadiran Kristen dalam masyarakat
yang majemuk pun mendapatkan makna tersendiri. Di sini, umat Kristen dapat
menjalankan kehidupan beragama atau berimannya secara pribadi dengan efektif,
sekaligus menjalankan peran positifnya di dalam masyarakat sebagai penyalur
anugerah keselamatan Allah kepada seluruh umat manusia. Dengan kata lain,
dalam konteks pluralisme agama di Indonesia, umat Kristen dapat menjadi agen-
agen pendukung terciptanya kerukunan dan persatuan di dalam masyarakat
Indonesia.

5.2 Usul-Saran

Pertama, kepada para pemerintah. Dalam upaya mengatasi konflik


antaragama, pemerintah seharusnya tidak boleh ikut campur tangan terlalu jauh.
Pemerintah yang terjun secara langsung ke dalam persoalan ini mengakibatkan
meningkatnya kasus diskriminasi hukum terhadap agama minoritas yang ada di
Indonesia. Tugas pemerintah seharusnya harus menjaga ketertiban beragama,
bukan mengurusi agama. Selama ini, kerja pemerintah terkesan kurang efektif
sehingga begitu banyak orang salah mengambil langkah dalam menyelesaikan
konflik-konflik antaragama. Kelemahan ini terbukti dari kerja pemerintah yang
secara gampang memberikan perlindungan yang tegas kepada masyarakat
meskipun di dalam konstitusi menjamin kebebasan beragama.Pemerintah
seharusnya berada pada posisi netral yang berdiri membela semua agama di

64
Indonesia. Jika tidak demikian, akan terjadi banyak kejadian kriminalisasi
terhadap umat beragama. Dalam definisi di atas, sudah dijelaskan bahwa di
Indonesia, sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku, semua orang
berhak memilih agamanya masing-masing. Secara tidak langsung, pemerintah
harus lebih efektif menjalankan tugasnya sebagai pembimbing, pendorong,
pengkoordinasi, pembantu, dan pengintegrasi yang memungkinkan diskusi dan
pengambilan keputusan yang adil di antara pihak-pihak yang bertikai sesuai
dengan undang-undang yang berlaku. Kesejahteraan umum, keadilan, dan
kenyamanan masyarakat harus diutamakan. Kebijakan-kebijakan dan undang-
undang harus berdasarkan kenyataan masyarakat umumnya. Selain itu,
pemerintah harus mampu menangani masalah tersebut dengan membuka lapangan
pekerjaan. Paling tidak memberi peluang bagi generasi muda untuk berkarya.
Dengan bekerja demikian, masyarakat akan mengerti keberadaanya sebagai warga
negara dan warga beragama.

Kedua, kepada Gereja. Berdasarkan ajaran Gereja yang tertulis di dalam


Alkitab atau Kitab Suci, semua manusia berada di dalam satu persekuatuan.
Dalam menjalankan interkasi sehari-hari, Gereja melarang keras jika harus terjadi
permusuhan dengan sesama agama Katolik maupun agama-agama lain. Yesus
datang dan hadir di tengah-tengah manusia untuk membuka jalan bahwa
sebenarnya semua manusia dapat diselamatkan. Dengan kata lain, Yesus
membawa keselamatan universal kepada semua orang tanpa mengetahui agama-
agama yang dianut.

Indonesia merupakan negara dengan memiliki banyak keberagaman,


terkhusus soal agama. Dengan demikian, konflik antarumat beragama merupakan
tanggung jawab Gereja. Gereja harus menyadari tugasnya ini sebagai panggilan
untuk melayani manusia. Peran serta Gereja dalam menangani masalah konflik
antaragama sangatlah diharapkan. Gereja harus berani menjalankan tugas
sosialnya, terutama berani keluar dari altar menuju keadaan masyarakat. Gereja
harus berada di depan dan mengajak semua tokoh-tokoh dalam gereja, tokoh-
tokoh agama lain, semua masyarakat untuk melibatkan diri dan berdialog dalam
memerangi masalah konflik antarumat beragama. Dialog dapat menjadi jembatan
bagi kerukunan antarumat beragama. Dialog yang dimaksud bukan berarti setiap

65
umat harus turut merasakan pengalaman iman akan agama lain melainkan dialog
yang jujur dan terbuka akan kehadiran Allah yang menyelamatkan secara
universal. Gereja harus mampu membuka diri dan melahirkan pandangan baru
untuk menjunjung tinggi nilai toleransi, bahwa di dalam setiap agama memiliki
kebenarannya masing-masing. Sebagaimana ensiklik-ensiklik muncul sebagai
reaksi terhadap masalah dunia, hendaknya Gereja sekarang juga demikian
menunjukkan reaksi dan aksinya terhadap semua masalah yang terjadi. Dengan
demikian, kerukunan antarumat beragama dan sikap saling menerima satu sama
lain dapat terwujud melalui nilai-nilai toleransi yang ditanamkan kepada semua
orang.

Ketiga, kepada lembaga-lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan


merupakan salah satu pihak yang beperan aktif dan bertanggung jawab dalam
meningkatkan kesadaran peserta didik agar selalu bersikap humanis, pluralis, dan
demokratis dalam menyikapi pelbagai persoalan akibat adanya keberagaman.
Adanya pelbagai keberagaman selalu dianggap sebagai dasar menculnya konflik
karena langsung berhubungan dengan teknologi dan kepentingan. Padahal, ketika
berada di dalam lembaga pendidikan diajarkan juga sikap untuk saling
menghormati dan menghargai satu sama lain. Namun, tidak ada tindakan praktis
yang terjadi ketika berhadapan dengan orang lain. Bahkan ada orang terdidik juga
yang menjadi faktor memicu terjadinya konflik. Berdasarkan persoalan tersebut,
Lembaga-lembaga pendidikan harus bertanggung jawab dan bekerja keras demi
mengatur dan membangun kembali pola pikir setiap orang untuk bertindak seturut
hukum dan aturan yang berlaku. Dalam konteks kehidupan beragama yang
pluralistis sebagaimana yang terjadi di atas, lembaga-lembaga pendidikan harus
mengupayakan agar setiap peserta didik mampu memahami doktrin yang
berkaitan dengan prinsip-prinsip beragama dari keyakinan agama yang berbeda.
Lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun non-formal harus
menanamkan nilai-nilai kerukunan, toleransi, solidaritas, dan saling menghormati
antarpenganut agama. Oleh karena itu, pengetahuan tentang rukun bukan hanya
berasal dari doktrin agama saja melainkan kultur lokal yang juga diberikan
kesadaran kemanusiaannya.

66
Keempat, kepada semua masyarakat. Masalah-masalah yang terjadi dalam
kehidupan bermasyarakat merupakan tanggung jawab bersama. Hal ini bukan
hanya dinilai dari sudut pandang Gereja, tetapi juga dari segi manusia sebagai
makhluk sosial, di mana manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan dari sesamanya
yang lain. Berdasarkan pernyataan tersebut, manusia wajib sadar akan pribadinya
dan kehadiran orang lain di tengah kehidupannya. Saling membantu, berbagi,
menghargai, dan singkatnya mencintai sesama merupakan bagian dari sikap
toleransi kepada orang lain, terkhusus bagi mereka yang memiliki keyakinan lain.
Semua masyarakat dituntut untuk bertanggung jawab terhadap sesamanya bahwa
ketika ada sesamanya menghina atau mengejek orang yang memiliki kepercayaan
lain, ia bisa mengambil tindakan berupa teguran dan menjelaskan bahwa yang
dilakukannya merupakan suatu kesalahan. Setelah itu, ia diberikan pengarahan
agar di kemudian hari tidak terjadi lagi hal-hal semacam itu. Namun, apabila ia
membantahnya, persoalan tersebut bisa diajurkan ke lembaga-lembaga keagamaan
melalui pemerintah sebagai pengarah dan pendamping.

Singkatnya, dalam upaya mengatasi persoalan di dalam pluralisme agama


ketika disandingkan dengan pemikiran Karl Rahner mengenai Kristen anonim,
penulis senada dengan apa yang dijabarkan oleh Karl Rahner bahwa semua
manusia memiliki kesempatan untuk diselamatkan. Walaupun dalam kehidupan
sehari-hari manusia berhadapan dengan banyak keragaman, tetapi Allah hadir di
tengah-tengah tidak memandang apakah orang itu beragama sama atau berbeda.
Semua manusia sebenarnya telah memeroleh rahmat dari Allah secara cuma-cuma
tanpa manusia itu sendiri menyadarinya. Oleh karena itu, penulis berkeyakinan
bahwa konflik antaragama dapat terselesaikan jika manusia dapat menunjukkan
sikap cinta kasih kepada sesamanya yang berbeda kepercayaan. Allah hadir
menyelamatkan semua orang tanpa melihat agama mana yang benar dan agama
mana yang tidak benar. Agama hanya merupakan sarana bagi manusia untuk lebih
mendekatkan diri dengan Allah tetapi di balik itu, kuasa Allah jauh lebih tinggi
melebihi agama-agama yang hadir di dunia.

67
DAFTAR KEPUSTAKAAN

KAMUS DAN ENSIKLOPEDI


Badudu, J. dan Sultan Mohammadzin. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Penerbit Pustaka Sinar Harapan, 2001.
Moeliono, Anton M. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2008.
Mokhtar, Efendi. Ensiklopedi Agama dan Filsafat. Palembang: Penerbit
Universitas Sriwijaya, 2000.

BUKU-BUKU
Aritonang, Jan S. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2004.
Baan, G. J. Tulip: Lima Pokok Calvinisme. Surabaya: Momentum, 2009.
Batlogg, Andreas R. & Melvin E. Michalski (eds.). Encounters with Karl Rahner.
Rememberances of Rahner by Those Who Knew Him. Milwaukee:
Marquette University Press, 2009.
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX, Prancis. Jilid II. Jakarta: Penerbit PT.
Gramedia, 1985.
Coward, Harold. Pluralisme. Tantangan bagi Agama-Agama. Yogyakarta:
Kanisius, 1994.
Donceel, Joseph. A Rahner Reader. New York: The Seabury Press.
Ford, David F. The Modern Theologians Volume 1. Oxford: Blackwell, 1993.
Gions, F. Karl Rahner tentang Yesus Kristus sebagai Jawaban Atas Pertanyaan
Dasariah Manusia. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2006.
Grenz, Stanley J. & Roger E. Olson. 20th Century Theology: God & the World in
a Transitional Age. Downers Grove: InterVarsity, 1992.
Haight, Roger. Teologi Rahmat dari Masa ke Masa. Penerj. Martin Warus dan
Georg Kirchberger. Ende: Penerbit Nusa Indah, 2007.
Jacobs, Tom. Paham Allah dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi.
Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Kilby, Karen. Karl Rahner. Tokoh Pemikir Kristen. Penerj. Peter Vardy.
Yogyakarta: Kanisius, 2001.

68
Kirchberger, Georg. Allah Menggugat. Sebuah Dogmatik Kristiani. Cet. ke-2.
Maumere: Penerbit Ledalero, 2012.
Knitter, Paul F. No Other Name? A Critical Survey of Christians Attitude Toward
The World Religions. New York: Orbis Books, 1989.
____________. Pengantar ke dalam Teologi Agama-agama. Penerj. Nico A.
Likumahuwa. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Küng, Hans. Global Responsibility: In Search of a New World Ethics. New York:
Crossroad, 1991.
Lane, Tony Runtut Pijar. Sejarah Pemikiran Kristiani. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2005.
Lehmann, Karl dan Albert Raffelt (eds.). The Content of Faith: The Best of Karl
Rahner’s Theological Writings. New York: Crossroad, 1994.
Lemay, Eric & Jennifer A. Pitts. Heidegger for Beginners (Heidegger untuk
Pemula). Penerj. P. Hardono Hadi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001.
Lumintang, Stevri I. Theologia Abu-Abu: Pluralisme Agama. Malang: Penerbit
Gandum Mas, 2004.
Marmion, Declan dan Mary E. Hines (eds.). Cambridge Companion to Karl
Rahner. London: Cambridge University Press, 2005.
Mello, Anthony de. Mencari Tuhan dalam Segala. Penerj. Antonius Puspo
Kuntjoro dan Karel Wilhelmus D. Jakarta: Gramedia, 2013.
Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. Pendidikan Multikultural, Konsep dan
Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
New Bigin, Lesslie. Injil dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2000.
Ohoitimur, Johanis. Metafisika sebagai Hermeneutika: Cara Baru Memahami
Filsafat Spekulatif Thomas Aquinas dan Alfred North Whitehead. Jakarta:
Penerbit Obor, 2006.
Poehlmann, Horst G. Pembaharuan Bersumberkan Tradisi. Potret 6 Teolog Besar
Katolik Abad Ini. Ende: Nusa Indah, 1998.
Rahner, Karl. Theological Investigations, Vol. 14. Penerj. David Bourke. London:
Darton, Longmann & Todd, 1976.
____________. Foundations of Christian Faith: An Introduction to the Idea of
Christianity. Penerj. W. Dych. London: Darton, Longman & Todd, 1978.
Ridenour, Fritz. How To Be a Christian Without Being Religious. Yogyakarta:
Gloria Grafia, 2003.
Sardy, Martyn. Agama Multidimensional: Kerukunan Hidup Beragama dan
Integritas Nasional. Bandung: Penerbit Alumni, 1983.
Siswanto, Joko. Sistem-Sistem Metafisika Barat: dari Aristoteles sampai Derrida.
Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 1998.

69
Soetarman, dkk. Fundamentalisme, Agama-Agama, dan Teknologi. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1996.
Syam, Nur. Tantangan Multikulturalisme Indonesia: Dari Radikalisme Menuju
Kebangsaan. Cet. ke-5. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009.
Syukur Dister, Nico. Filsafat Agama Kristiani. Mempertanggungjawabkan Iman
akan Wahyu Allah dalam Yesus Kristus. Yogyakarta: Kanisius, 1985.
Tjahjadi, Simon Petrus L. Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika
dan Imperatif Kategoris. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991.
Vorgrimler, Herbert. Karl Rahner: His Life, Thought, and Works. Penerj. Edward
Quinn. London: Deus Books Paulist Press, 1966.
_________________. Understanding Karl Rahner. New York, 1986.
Weger, Karl Heinz. Karl Rahner: An Introduction to His Theology. Penerj. David
Smith. London: Burn and Oates Ltd., 1980.

ARTIKEL
Kirchberger, Georg. “Teologi Karl Rahner sebagai Teologi Kontekstual”, dalam:
Jurnal Ledalero, Vol. 9 No. 2, Desember 2010.
Nafis, Muhamad Wahyuni. “Konflik Agama atau Politik”, dalam: Nur Achmad
(ed.). Pluralitas Agama: Kerukunan Dalam Keragaman. Jakarta: Penerbit
Kompas Gramedia, 2001.
Rahner, Karl. “Some Implications of the Scholastic Concept of Uncreated Grace”,
dalam: Theological Investigations 1. Penerj. Cornelius Ernst. Baltimore:
MD Helicon Press, 1961.
_____, Karl. “The Dignity and Freedom of Man”, dalam Theological
Investigations 2. Penerj. Karl-H. Kruger. Baltimore: MD Helicon Press,
1963.
______, Karl. “On Grace”, dalam: Theological Investigations 4. Penerj. Kevin
Smyth. Baltimore: MD Helicon Press, 1966.
______, Karl. “The Experience of God Today”, dalam Theological Investigations
11. Penerj. David Bourke. London: Longman & Todd, 1974.
______, Karl. “Anonymous Christians”. Dalam: Theological Investigations. Vol.
14. Penerj. David Bourke. London: Darton. Longman & Todd, 1976.
Raho, Bernardus. “Konflik di Indonesia: Problematika dan Pemecahannya,
Ditinjau dari Perspektif Sosiologis”, dalam: Guido Tisera (ed.). Mengolah
Konflik Mengupayakan Perdamaian. Maumere: Penerbit LPBAJ, 2002.
Singgih, E. Gerrit. “Hidup Kristiani dalam Masyarakat Keagamaan yang Bersifat
Majemuk”, dalam Tim Balitbang PGI. Meretas Jalan Teologi Agama-
Agama di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
Tillich, Robertson. “‘Two Types’ and the Transcendental Method”, dalam: The
Journal of Religion, Seri 55/2, April 1975.

70
MANUSKRIP
Hayong, Bernardus S. “Antropologi Metafisika Karl Rahner. Dari Antropologi ke
Filsafat Agama“ (ms). Diktat Kuliah. STFK Ledalero, 2009.
Kleden, Leo. “Filsafat Manusia”, Ms., STFK Ledalero, 2014.

INTERNET
“Anonimous Christian” (Online). sttbereasalatiga.blogspot.com/2012/07/
anonymous-christian.html. Diakses: 23 Maret 2020.
Edison, David. Online. “Heidegger: Sosok Pengubah Zaman”. https://
www.kompasiana.com/heidegger-sosok-pengubah-zaman. Diakses: 8
November 2019.
Lowery, Mark. “Retrieving Rahner for Orthodox Catholicism,”
http://www.ewtn.com/ library/THEOLOGY/FR91302.HTM. Diakses: 23 Maret
2020.
Mendrofa, Darianus. “Suatu Evaluasi Kritis terhadap Pendekatan Inklusivisme
dalam Berteologi Religionum” (Online), http://www.kadnet.info. Diakses:
12 Januari 2020.
Rahner, Karl. Online. www.answers.com/topic/karl-rahner. Diakses: 28 Februari
2017.
Wikipedia, “Karl Rahner” (Online), wikipedia.org/wiki/Karl_Rahner. Diakses: 20
Januari 2020.
Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Karl_Rahner#cite_note-Lane-2, Diakses: 23
Maret 2020.

71

You might also like