You are on page 1of 21

HUKUM NIKAH KARENA ZINAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Masail Al-Fiqhiyah


Al-Haditsah
Dosen Pengampu : Ibu Dr. Oyoh Bariah, M.Ag.

Disusun Oleh :

1. Firdaus Indra Redani 1810631110188


2. Teguh Setiawan 1810631110157
3. Nakulo Juniantorro H 1810631110185
4. Windi Hanika Maulida 1810631110167

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA
KARAWANG
2021
Hukum Nikah Karena Zinah
Disusun oleh : Firdaus Indra Redani, Windi Hanika Maulida, Teguh
Setiawan, Nakulo Juniantorro Harfsanto

ABSTRAK

This article discusses married by accident, which is a marriage that is


forced to be carried out between a pair of men and women because the woman is
already pregnant, their parents must marry her, in order to cover up their
disgrace in the community. Using juridical-normative research methods. The
results of the study are, first, the law of being married by accident is permitted
both by positive law and Islamic law, secondly, the position of a married by
accident child becomes a legitimate child in the perspective of positive law, and
an illegitimate child in the perspective of Islamic law. Third, in a positive legal
perspective, the legal guardianship and inheritance rights of a daughter from
married by accident are her biological father and inheritance rights from her
parents, whereas in Islamic legal perspective the child resulting from married by
accident biological father has no right to give heirs and is not entitled also
becomes the child's guardian when married.

keywords: Islamic law, married by accident, positive law.

ABSTRAK
Artikel ini membahas tentang married by accident, yaitu pernikahan yang
terpaksa dilakukan antara sepasang laki-laki dan perempuan karena
perempuannya sudah hamil terlebih dahulu, orang tua mereka harus
menikahkannya, dalam rangka menutupi aib mereka di masyarakat.
Menggunakan metode penelitian yuridis-normatif. Hasil penelitian, pertama,
hukumnya married by accident di bolehkan baik oleh hukum positif dan hukum
Islam, kedua, kedudukan anak married by accident menjadi anak sah dalam
perspektrif hukum positif, dan anak tidak sah dalam perspektif hukum Islam.
Ketiga, dalam perspektif hukum positif, hak wali dan hak waris anak perempuan
dari married by accident adalah ayah biologisnya dan memperoleh hak waris
dari kedua orang tuanya, sedangkan dalam perspektif hukum Islam anak hasil
dari married by accident ayah biologis tidak berhak memberikan waris dan tidak
berhak pula menjadi wali anak tersebut ketika menikah.
kata kunci: hukum Islam, hukum positif, married by accident.

PENDAHULUAN

A. Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum Nikah Karena Zinah”
Penyusunan makalah ini dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Masail
Al-Fiqhiyah Al-Haditsah yang diampu oleh Ibu Dr. Oyoh Bariah, M.Ag.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini, untuk itu kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
tanda baca, tata bahasa maupun isi. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sekalian untuk kami jadikan
bahan evaluasi. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk kita semua.

B. Latar Belakang
Masalah married by accident ini sudah sangat popular, baik terjadi
dikalangan remaja kota maupun desa. Hal ini karena kasus-kasus hamil di
luar nikah telah menjadi sesuatu yang sangat marak dan biasa terjadi di
masyarakat. Dan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakat adat, baik
patrilineal (suku Nias) maupun matrilineal (Minangkabau), dan belateral
(Jawa), kalau terjadi perempuan hamil di luar nikah biasanya langsung di
nikahkan, untuk menutupi aib. Rupanya pandangan adat tersebut di atas yang
diambil untuk merumuskan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan dan KHI (Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam.
Dalam konsep Islam akad nikah merupakan tonggak pemisah antara yang
haram dan yang halal. Jadi yang di lihat adalah kapan dibenihkan anak
tersebut bukan kapan dilahirkan anak tersebut. Berbeda dengan hukum positif
yang dilihat adalah kapan anak tersebut di lahirkan, bukan kapan anak
tersebut dibenihkan, dengan kata lain, biarkan sekarang menikah dan
kemudian besok melahirkan maka status anak tersebut dalam persektif hukum
positif, maka anak tersebut anak sah.
Karena dalam hukum Islam nasab hanya bisa dibentuk dengan
perkawinan, bukan perzinaan atau yang lainnya.1 Sabda Nabi
Salllallahu’alaihi wasallam, “nasab itu dari perkawinan yg sah, sedangkan
bagi pezina adalah batu rajam”(HR Muslim). Hadist Nabi dari Abu Abdillah
An-Nu’man bin Basyir RA. Ia berkata, “Aku mendengar Nabi bersabda”,
sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara
keduanya ada perkara yang samar-samar, kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya, maka barang siapa menjaga dirinya dari yang samar-samar
itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barang
siapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus
kedalam wilayah yang haram,…(HR Bukhari Muslim). Maksudnya kita tidak
boleh mengkompromikan antara yang halal dan haram.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam
“Hukum Nikah Karena Zinah” ialah sebagai berikut:
1. Bagaimana mendeskripsikan permasalahan married by accident dalam
Islam?
2. Bagaimana dampak dari married by accident?
3. Bagaimana tanggapan fiqh dalam memberikan solusi kasus married by
accident?
4. Bagaimana praktik budaya dan hukum yang berlaku di Indonesia?

D. Kerangka Berfikir
Perbuatan zina merupakan perbuatan keji (fahisyah) dan jalan yang buruk.
Ujung pangkalnya tumbuh dari pandangan mata, maka perintah memalingkan

1
Irfan Nurul, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: AMZAH, 2012.
pandangan mata lebih dahulu sebelum perintah menjaga kemaluan. Mulanya
hanya pandangan, kemudian khayalan, kemudian langkah nyata, kemudian
tindak kejahatan besar (zina). Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa
barang siapa yang bisa menjaga empat hal, maka berarti dia telah
menyelamatkan agamanya: al-Lahazhat (pandangan mata), al-Khatharat
(pikiran yang terlintas di hati), al-Lafazhat (ucapan), al-Khuthuwat (langkah
nyata untuk sebuah perbuatan) (al-Thahir, 2004: 66-67).
Dalam kehidupan sekarang ini pergaulan pemuda pemudi banyak keluar
dari norma-norma agama, hingga terjadi apa yang diistilahkan dengan
accident (kecelakaan). Ia merupakan sebuah akibat perbuatan yang
menabrakkan syahwatnya pada hal yang haram, sehingga terjadilah hamil di
luar nikah. Hamil di luar nikah sendiri sudah diketahui sebagai perbuatan
zina, baik oleh laki-laki yang menghamilinya maupun perempuan yang hamil,
dan itu merupakan dosa besar. Konsekuensinya bagi yang belum menikah
adalah didera seratus kali dan bagi yang sudah menikah adalah direjam
sampai mati. Namun, di saat umat Islam yang berada pada wilayah-wilayah
yang syariat Islam tidak diterapkan dan pemimpinnya bukanlah berada pada
tataran Negara yang menjalankan syariat Islam, timbullah persoalan, yaitu
dibiarkan hamil dengan menanggung aib yang besar sampai anak lahir atau
dinikahkan baik dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan yang tidak
menghamilinya untuk menutup aib.
Hukum Islam yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia dapat dibagi dua,
yaitu : Pertama, hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis yaitu hukum
Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda di
dalam masyarakat yang disebut dengan istilah mu’amalah. Artinya, bagian
dari hukum Islam ini menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk
oleh peraturan perundang-undangan, seperti hukum perkawinan, hukum
kewarisan dan wakaf. Bagian hukum ini memerlukan bantuan penyelenggara
negara untuk menjalankannya secara sempurna. Kedua, hukum Islam yang
berlaku secara normatif yaitu hukum Islam yang mempunyai sanksi
kemasyarakatan dan mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti
kaidah hukum Islam tentang pelaksanaan ibadah-ibadah murni : shalat, puasa,
zakat dan lain-lain, juga tentang kesadaran manusia untuk tidak melakukan
perbuatan yang diharamkan seperti berjudi, mencuri, berzina, dan lain-lain.
Bagian hukum ini tidak memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk
menjalankannya. Dijalankan atau tidaknya hukum Islam yang bersifat
normatif ini bergantung pada tingkatan iman dan taqwa serta akhlak umat
Islam itu sendiri. Atau dengan kata lain, pelaksanaannya bergantung pada
kuat atau lemahnya kesadaran masyarakat muslim mengenai norma-norma
hukum yang bersifat normatif itu.2
Kedua bentuk hukum Islam di atas didasarkan dari pemahaman terhadap
hasil ijtihad yang dilahirkan oleh para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik bin
Anas, Muhammad bin Idris Asy-Syafi‟i, dan Ahmad ibn Hanbal), khususnya
mazhab Syafi‟i, yang ternyata pengaruhnya begitu besar dan banyak
diterapkan dalam kehidupan masyarakat kaum muslimin di Indonesia. Sudah
menjadi maklum adanya bahwa di antara keempat mazhab tersebut terdapat
kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan antara satu sama lainnya.

PEMBAHASAN

A. Deskripsi Permasalahan Married By Accident Dalam Islam


Secara harfiah kata married by Accident terdiri dari 3 (tiga) kata, yaitu
married, by dan accident. Married adalah kata kerja pasif dari marry yg artinya
kawin atau nikah. By artinya karena/dengan, merupakan kata keterangan. Dan
accident artinya sebuah kejadian yg mengejutkan atau kecelakaan. Married by
accident adalah nikah karena kehamilan telah terlanjur terjadi yg pada
umumnya tidak direncanakan oleh salah seorang atau kedua pasangan yg
mengalaminya. 3

2
Mohammad Daud Ali, “Hukum Islam : Peradilan Agama dan Masalahnya”, dalam Eddi Rudiana
Arief, dkk, (ed.), Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran Dan Praktek, cet. ke-1 (Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya, 1991), 75.

3
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2004, hlm. 29
Dalam perspektif hukum Islam, perempuan hamil dibedakan menjadi dua
keadaan. Pertama, perempuan yang diceraikan suaminya dalam keadaan
hamil, baik cerai hidup maupun cerai mati. Kedua, perempuan yang hamil
akibat melakukan zina. Dan yang akan di bahas adalah hukum perempuan
yang hamil di luar nikah kemudian mereka melangsungkan pernikahan
(married by accident).
1. Nikah Karena Zinah adalah Tidak Sah
Arah yang diharapkan dari pernikahan adalah terwujudnya suatu
institusi yang sah berupa mahligai rumah tangga yang kokoh, dan diakui
baik secara agama maupun hukum. Married by accident merupakan
penghimpunan dua hamba Allah dalam suatu ikatan lahir dan batin yang
secara normatif tampak terpaksa sebab kecelakaan (hamil luar nikah).
Realitas pernikahan ini seakan-akan tidak bertujuan untuk mewujudkan
keluarga yang bahagia dan tenteram, tapi hanya menyelamatkan muka dan
menutup dosa. Kedudukan nikah MBA dalam wujudnya hanya dijadikan
sebagai jalan solusi yang tidak dibenarkan syariat. Maka pernikahan MBA
dalam kenyataan hukum secara lahir adalah tidak sah, sedangkan secara
batin melegalkan perzinaan.
Dalam hadits Ruwaifi’ ibn Tsabit dan tawanan Authas tentang
larangan menggauli perempuan yang hamil luar nikah sebagai ketetapan
yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah
hamilnya itu karena kecelakaan, atau sebab perbuatan tuannya. Jika ia
adalah seorang hamba sahaya, atau terjadi persoalan syubhat yakni nikah
dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada
kesamar-samaran, atau karena zina.
Hadits Nabawi yang menetapkan hukum hudud dan larangan
menikahkan orang yang hamil adalah implementasi dari makna semua
sarana atau jalan yang membawa kepada sesuatu perbuatan yang haram
harus ditutup. Sedangkan sebuah perbuatan yang tampak secara kasat mata
masuk dalam kategori mubah, yakni pernikahan tapi dapat membawa
kepada mafsadah atau mudharrah (bahaya) adalah dilarang. Sebab
membolehkan pernikahan bagi perempuan yang hamil luar nikah sama
dengan melegalkan perzinaan. Kita berkewajiban untuk menutup pintu-
pintu perbuatan zina dan sebagai pertanggungjawaban di hadapan Allah
kelak, maka menikahkan orang hamil sebab zina adalah haram.
2. Nikah Karena Zinah adalah Sah
Nikah yang disebabkan adanya kecelakaan atau hamil disebab
perbuatan zina merupakan kenyataan yang dihadapi saat ini, di saat hukum
hudud tidak terlaksana dengan beberapa sebab, di antaranya tidak adanya
pemerintahan Islam yang menjalankan syariah secara utuh.
Pernikahan disyariatkan sejalan dengan naluri pernikahan yang sah
dalam Islam menjauhkan manusia dari dosa zina. Sasaran utama dari
disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya ialah untuk
membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah
menurunkan dan meninabobokkan martabat manusia yang luhur. Islam
memandang pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efektif
untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi
masyarakat dari kekacauan.
Hamil luar nikah yang disebabkan perbuatan zina ini dihaluskan
bahasanya dengan accident (kecelakaan). Istilah kecelakaan dari akibat
perbuatan dosa yang konsekuensinya adalah didera seratus kali bagi yang
belum menikah, dan bagi yang sudah menikah adalah direjam sampai
mati. Namun disaat syariat Islam tidak berjalan dengan tidak adanya
pemerintahan Negara Islam yang menegakkan hudud, maka perempuan
yang hamil luar nikah bila dibiarkan hamil dengan menaggung aib yang
besar sampai anak lahir atau dinikahkan, baik dengan laki-laki yang
menghamilinya atau dengan laki-laki lain untuk menutup perbuatan
tersebut. Landasan dilaksanakan pernikahan adalah hadits-hadits Nabawi
yang menyatakan keabsahan suatu pernikahan dengan beberapa analisis
yang mengukuhkannya. Masalah yang dijadikan acuan analisis mencakup:
a. Pezina dapat menikah dengan pezina
b. Anjuran Nabi SAW untuk menutup aib
c. Tidak ada hubungan antara dosa zina dengan nikah

B. Dampak Dari Married By Accident


Married by accident merupakan suatu pernikahan yang dilakukan
seakan-akan terpaksa dan sebagai alternatif untuk menutup perbuatan dosa
zina, sedangkan di sisi Allah tercatat serta harus dipertanggungjawabkan di
akhirat kelak.
Di saat pernikahan hamil duluan baru nikah menjadi sebuah fenomena
yang mengerikan bagi hamba-hamba Allah yang mengetahui hukum dan
besarnya dosa perbuatan zina. Di antara penyebabnya adalah dekadensi moral
dan nilai-nilai agama dikesampingkan dengan mencontoh budaya barat.
Dalam pelaksanakan nikah bagi orang yang hamil duluan dengan laki-laki
yang menzinainya atau laki-laki lain yang menerima kehamilan pasangannya
dari orang lain berdampak legalisasi perzinaan. Dan pada aspek yang lain
nikah tersebut mempunyai kemaslahatan yang ingin digapai.
Implementasi maslahah dan mafsadah bertentangan dengan tujuan
manusia sebab kemaslahatan manusia didasarkan pada kehendak syara` dan
begitu juga mafsadah. Tujuan dari hukum Islam adalah untuk mencapai
kemaslahatan umat manusia dunia maupun akhirat. Kemaslahatan ini
merupakan lima tujuan syara’ yaitu: terpeliharanya agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Di samping itu, juga segala upaya untuk mencegah
segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan
syara’ tersebut juga dinamakan mashlahah.
Nikah MBA merupakan perwujudan dari pemeliharaan keturunan
dengan disyariatkan pernikahan sehingga tercapai suatu kemaslahatan di
antaranya menutup aib dan secara kejiwaan ibu yang hamil dapat santai
dalam menjalani masa-masa kehamilannya sampai melahirkan. Namun, di
sisi lain terdapat mafsadah yang berkaitan dengan nasab anak yang tidak
dapat dinisbah kepada bapak yang menikahi ibunya saat hamil luar nikah,
sehingga anak itu tetap menjadi anak zina luar nikah. Secara hukum terputus
hubungan tali darah dengan bapak yang menikahi ibunya saat hamil luar
nikah, serta tidak ada perwalian dan kewarisan.
Dalam penggunaan penalaran mashlahah ini dengan memenuhi
beberapa kriteria: (1) Mashlahah itu harus bersifat pasti, bukan sekedar
anggapan atau rekaan, bahwa ia memang mewujudkan suatu manfaat atau
mencegah terjadinya kerusakan. (2) Mashlahah itu tidak merupakan
kepentingan pribadi atau segolongan kecil masyarakat, tapi harus bersifat
global dan menjadi kebutuhan umum. (3) Hasil penalaran mashlahah itu tidak
berujung pada terabaikannya suatu prinsip yang ditetapkan oleh nash atau
ijma’ (al-Zuhaily, 1986: 92-96; Zaidan, 1993: 236-237).
Kerangka acuan suatu kerusakan yang terjadi dan timbul dari suatu
perbuatan mencakup mafsadah lizatiha, yakni suatu kerusakan yang terdapat
dalam substansi perbuatan tersebut, dan mafsadah lighairiha, yakni suatu
kerusakan yang berkaitan dengan perbuatan tersebut. Kedua mafsadah ini
terdapat di dalam perbuatan zina, baik bersifat substansi dan korelasi dari
kerusakan yang terdapat dalam perzinaan. Pembagian mafsadah dalam
realisasinya mencakup: mafsadah yang diakui ajaran Islam sehingga
keberadaannya harus dihindari tanpa pengecualian, mafsadah yang tidak
diakui ajaran Islam dalam realitasnya merujuk kepada ketentuan nash.
Mafsadah yang timbul dari suatu perbuatan itu harus bersifat pasti, bukan
sekedar anggapan atau rekaan saja. Wujud dari mafsadah yang akan terjadi
adalah nyata dan bersifat umum.
Nikah MBA dalam realitanya merajut beberapa dampak mafsadah
yang tidak dapat dihindari. Mafsadah yang terdapat dalam nikah MBA adalah
:
1. Masalah Nasab Anak
Konteks permasalahan married by accident kemudian melahirkan
seorang anak, di mana anak tersebut terwujud dari akibat perbuatan zina,
tentu tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki yang menikahi ibunya saat
hamil akibat zina. Alur keturunan anak hasil zina tidak dinasabkan
kepada bapak biologisnya, sehingga anak tersebut tidak dapat di-bin-kan
atau di-bintikan kepada laki-laki yang memasukkan bibitnya kepada
perempuan dan juga laki-laki yang menikahi perempuan sedangkan
hamil sebab zina. Sebab laki-laki yang meletakkan bibitnya sebab
perbuatan zina bukan bapak biologis, maka haram hukumnya anak itu
dibin-kan ke bapaknya. Menisbatkan seorang anak kepada laki-laki yang
bukan bapaknya adalah perbuatan yang dilarang dalam Islam.
Dari `Ashim berkata: saya mendengar Abu Usman berkata: saya
mendengar Sa`ad orang yang pertama pemanah dijalan Allah dan Abu
Bakrah, dan naik benteng Thaif ada sekelompok orang dimana Nabi
SAW datang, maka mereka berkata: kami mendengar Nabi SAW
bersabda: “Barangsiapa menisbatkan dirinya kepada bukan bapaknya,
padahal ia tahu kalau is bukan bapaknya, maka surga diharamkan
padanya”
Dalam menasabkan status anak tersebut yang tidak punya bapak
legalitas dengan pernikahan yang sah, maka dia di-bin-kan ke ibunya.
Membin-kan pada ibunya dengan analog hukum kepada Nabi Isa AS
yang dengan kuasa Allah, dia diciptakan tanpa ayah. Namun, harus
diingat bahwa Nabi Isa bukan anak zina tapi penciptaannya sama seperti
penciptaan Nabi Adam AS.
2. Masalah Wali Nikah
Islam memandang anak hasil zina mempunyai kedudukan yang
berbeda dengan anak yang sah dari hasil pernikahan yang benar.
Kenyataan perbedaan ini bahwa anak yang lahir dari hasil perbuatan zina
dalam mendapatkan hak-haknya dari orangtua tidak sama, sebagaimana
yang didapatkan oleh anak yang lahir dari hubungan pernikahan yang sah.
Realisasi dari kelahiran anak sebab perbuatan zina yang melalui
jalan yang diharamkan Islam, sehingga anak tersebut secara alur
keturunan tidak dinasabkan kepada bapak biologisnya dan bapak yang
menikahi ibunya saat hamil akibat zina. Dalam hal ketiadaan nasab di
antara mereka berdua, maka anak tersebut akan terputus kewaliannya dan
jika dia seorang anak perempuan pada saat mau menikah nantinya, maka
tidak mendapat hak wali untuk melakukan ijab qabul. Wali nikahnya
dikembalikan kepada qadi atau penghulu yang mendapat tauliyah dari
pemerintah, untuk orang yang tidak punya wali dalam pernikahan.
Dari Abu Sofyan dari Jabir berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali, maka jika wali enggan
menikahkan, maka sultan (qadi) yang menjadi wali bagi yang tidak
punyai wali”.
3. Masalah Warisan
Dampak mafsadah dari nikah MBA adalah anak yang lahir dari
hasil perbuatan zina tidak mempunyai hubungan kewarisan dengan laki-
laki yang menikahi ibunya saat hamil akibat zina dan juga kepada laki-
laki yang menzinai ibunya sehingga hamil, karena tidak ada nasab yang
sah.
Anak yang lahir sebab zina tidak berkaitan dengan pernikahan
yang sah dan tidak mempunyai hubungan ikatan karib kerabat yang
berlandaskan pada hubungan nasab, sehingga jalur penerimaan harta
warisan terputus dan tidak berhak mendapatkannya. Namun dalam hal
hukum waris, anak yang lahir dari hasil zina masih memiliki jalur
hubungan kewarisan dengan ibunya (al-Kuwait, jilid 6, 1427H: 78).
Mereka dapat harta warisan dari ibunya yang meninggal dunia dan
kerabat-kerabat ibunya dapat mewarisi harta peninggalannya (al-Jaziri,
1994: 404).
Tidak terdapat perbedaan Fuqaha dalam masalah warisan anak dari
hasil zina pada ibu serta kerabat-kerabat ibunya, tapi mereka berbeda
dalam kewarisan ibu dan kerabat-kerabatnya terhadap anak dari hasil
perbuatan zina mencakup; Jumhur Ulama (Abu Hanifah, Malik, dan al-
Syafi’i) menyatakan bahwa pewarisan mereka sama, baik dari sisi anak
atau juga sisi ibu serta kerabat-kerabat ibunya sesuai dengan ketentuan
pembagian harta warisan, yakni fard. Sedangkan Hanabilah menjelaskan
bahwa pewarisannya bersifat ‘ashabah, yakni semua harta jatuh
kepemilikan pada ibunya, jika tidak ada ibunya kepada kerabat-kerabat
ibunya sesuai dengan tertib pewarisan (Washil, 1994: 233).
Dari Amru ibn Syua`ib dari ayahnya dari kakeknya bahwa
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa berzina dengan perempuan
merdeka atau budak perempuan, maka anak yang lahir adalah anak hasil
zina tidak mewarisi dan tidak mewariskan”. Berkata Abu `Isya dan
meriwayatkan Ghair ibn Luhai`ah bahwa hadits ini dari `Amru ibn
Syua`ib dan praktik bagi ulama adalah anak zina tidak mewarisi dari
bapaknya.
Hadits Nabawi di atas menjelaskan dengan tegas bahwa tidak ada
hubungan saling mewarisi antara bapak biologis dengan anak hasil zina.
Karena sebagaimana ditegaskan sebelumnya, bapak biologis bukan
bapaknya.

C. Tanggapan Fiqh Dalam Memberikan Solusi Kasus Married By Accident


Kasus kawin hamil di luar nikah secara khusus diatur dalam Pasal
53 KHI. Pasal tersebut menjelaskan tentang kebolehan melangsungkan
perkawinan bagi wanita hamil di luar nikah. Meskipun demikian, ada
ketentuan yang harus dipenuhi dalam perkawinan tersebut, diantaranya:
 Seorang wanita hamil di luar nikah bisa dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya;
 Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya; (3)
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Ketentuan Pasal 53 KHI tentang kebolehan melangsungkan


perkawinan bagi wanita hamil ini bisa dikategorikan kontroversial karena
akan melahirkan perdebatan dan silang pendapat dari berbagai kalangan.
Pendapat yang kontra tentu akan merasa keberatan dengan ketentuan ini
yang dinilai longgar dan cenderung kompromistis. Bisa dimungkinkan
ketentuan ini justru akan dijadikan payung hukum legalisasi perzinaan.

Pasal 53 KHI tersebut tidak memberikan sanksi atau hukuman bagi


pezina, melainkan justru memberi solusi kepada seseorang yang hamil
akibat perzinaan itu untuk segera melangsungkan perkawinan. Padahal
dalam fiqh telah dijelaskan perihal hukuman terhadap pelaku zina,
diantaranya: jika pelaku zina itu sudah menikah (zina muhsan)
hukumannya adalah didera seratus kali dan kemudian dirajam. Bagi
pelaku zina yang belum menikah (zina ghairu muhsan) hukumannya
adalah didera seratus kali dan kemudian diasingkan ke tempat lain
selama satu tahun (Asy Syaukani, 1994: 550).

Kendati demikian, ketentuan Pasal 53 KHI tersebut juga berpegangan


pada alasan logis dan bisa dijadikan landasan hukum untuk diterapkan
dalam tatanan kehidupan masyarakat di Indonesia. Kebolehan
melangsungkan perkawinan bagi wanita hamil menurut ketentuan Pasal
53 KHI, secara tegas dibatasi pada perkawinan dengan laki-laki yang
menghamilinya.Hal tersebut berlandaskan pada firman Allah SWT dalam
surat An-Nur ayat 3 yang Artinya “Laki-laki yang berzina tidak
mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang
musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan laki-laki
yang berzina atau laki-laki yang musyrik. Dan yang demikian itu
diharamkan atas orang-orang mukmin” (Q.S. An-Nur : 3). Istilah
perkawinan wanita hamil adalah perkawinan seorang wanita yang sedang
hamil dengan laki-laki sedangkan dia tidak dalam status nikah atau masa
iddah karena perkawinan yang sah dengan laki-laki yang mengakibatkan
kehamilanya.

Mengenai ketentuan-ketentuan hukum perkawinan wanita hamil


dalam pendapat para imam mazhab (Hanafi, Malik, Syafi'i dan Ahmad
bin Hambal), mereka berbeda pendapat, pada umumnya dikelompokkan
kepada dua kelompok pendapat:
a. Imam Hanafi dan Imam Syafi'i mengatakan:
Wanita hamil akibat zina boleh melangsungkan perkawinan
dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan laki-laki lain.
Sebagaiman pendapat imam Hanafi sebagai berikut: “Wanita hamil
karena zina itu tidak ada iddahnya, bahkan boleh mengawininya,
tetapi tidak boleh melakukan hubungan seks hingga dia melahirkan
kandungannya”. Sementara Imam Syafi'i mengatakan: “ hubungan
seks karena zina itu tidak ada iddahnya, wanita yang hamil karena
zina itu boleh dikawini, dan boleh melakukan hubungan seks
sekalipun dalam keadaan hamil”.
Menurut mereka wanita zina itu tidak dikenakan ketentuan-
ketentuan hukum perkawinan sebagaimana yang ditetapkan dalam
nikah. Karena iddah itu hanya ditentukan untuk menghargai sperma
yang ada dalam kandungan isteri dalam perkawinan yang sah.
Sperma hasil dari hubungan seks di luar nikah tidak ditetapkan oleh
hukum.
Mereka beralasan dengan Al-quran pada surah An-Nur ayat 3
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang
berjina, atau perempuan musyrik; dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki
musyrik”.
Menurut Imam Hanafi meskipun perkawinan wanita hamil
dapat dilangsungkan dengan laki-laki, tetapi dia tidak boleh
disetubuhi, sehingga bayi yang dalam kandungan itu lahir. Ini
didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya:
Janganlah kamu melakukan hubungan seks terhadap wanita hamil
sampai dia melahirkan.
Menurut Imam Syafi'i perkawinan wanita hamil itu dapat
dilangsungkan, dapat pula dilakukan persetubuhan denganya, ini
didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya “Bagi
dia maskawinya, karena kamu telah meminta kehalalanya untuk
mengumpulinyasedang anak itu hamba bagimu”...
Memperhatikan imam Syafi'i maka seorang wanita hamil
karena hasil melakukan hubungan seks di luar nikah jika dia
melangsungkan perkawinan dengan laki-laki, maka kehamilan itu
tidak mempengaruhi dalam perkawinannya.
Jika memperhatikan pendapat imam Hanafi, meskipun boleh
wanita hamil melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki,
tetapi dia dilarang melakukan hubungan seksual. Dilarangnya wanita
hamil melakukan hubungan seksual dengan lakilaki yang
mengawininya, berarti kehamilanya mempengaruhi terhadap
kelangsungan kehidupan rumah tangganya, sebagaimana layaknya
orang yang kawin.
b. Imam Malik dan Ahmad bin Hambal mengatakan :
Tidak boleh melangsungkan perkawinan antara wanita hamil
karena zina dengan laki-laki lain sampai dia melahirkan
kandungannya.
Menurut Imam Malik dan Ahmad bin Hambal sama halnya
dengan yang dikawini dalam bentuk zina atau syubhat atau kawin
pasid, maka dia harus mensucikan diri dalam waktu yang sama
dengan iddah. Untuk mendukung pendapatnya mereka
mengemukakan alasan dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang
artinya: “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepad Allah dan ha
ri akhir a t mmenyir amkan a irnya (spermanya) kepada tanaman
orang lain, yakni wanita-wanita tawanan yang hamil, tidak halal bagi
seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat mengumpuli
wanita tawanan perang sampai menghabiskan istibra'-nya (iddah)
satu kali haid.
Mereka juga beralasan dengan sabda Nabi Muhammad SAW
yang lainya: “Jangan kamu menggauli wanita hamil sampai dia
melahirkan dan wanita yang tidak hamil sampai haid satu kali”.
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal mengambil
kesimpulan dari kedua hadis tersebut, bahwa wanita hamil tidak
boleh dikawini, karena dia perlu iddah. Mereka memberlakukan
secara umum, termasuk wanita hamil dari perkawinan yang sahh,
juga wanita hamil dari akibat perbuatan zina.
Adanya penentuan larangan perkawinan wanita hamil
tersebut berawal dari pendapat mereka yaitu, wanita hamil karena
zina tetap memiliki iddah, maka wanita hamil tidak boleh
melangsungkan pe rkawinan sampai dia melahirkan kandungannya.
Dengan demikian wanita hamil dilarang melangsungkan perkawinan.
Bahkan menurut Imam Ahmad bin Hambal, wanita hamil
karena zina harus bertaubat, baru dapat melangsungkan perkainan
dengan laki-laki yang mengawininya. Pendapat kedua Imam ini
dapat dimengerti agar menghindari adanya percampuran keturunan,
yaitu keturunan yang punya bibit dan keturunan yang mengawini
ibunya.4
Oleh karena itu imam Malik dan Ahmad bin Hanbal
memberlakukan iddah secara umum terhadap wanita hamil, apakah
hamilnya itu karena perkawinan yang sah, ataukah kehamilanya itu
akibat dari hubungan seksual di luar nikah. Dengan demikian
perkawinan wanita hamil dilarang.

D. Praktik Budaya Dan Hukum Yang Berlaku Di Indonesia

Adapun hal-hal yang menjadi perhatian Kompilasi Hukum Islam dan


mempertegas hal-hal kembali yang telah disebutkan dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan pemerintah Nomor 9
tahun 1975 antara lain adalah tentang perkawinan wanita hamil. Dalam
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
secara eksplisit tidak ada mengatur tentang perkawinan wanita hamil tetapi
4
HR Abu Daud no 2083 dan dinilai shahih oleh al Albani
secara implisit ada yaitu dalam Pasal 2 ayat (1) bahwa :“ Perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”.

Dengan demikian Perkawinan wanita hamil karena zina sah sesuai


dengan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perakwinan Nomor 1 Tahun 1974 dan
juga harus memenuhi syarat- syarat sahnya suatu perkawinan.

Khususnya pada Bab VIII Perihal KAWIN HAMIL, Pasal 53 yang


bunyinya adalah sebagai beikut:
"(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.

(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak


diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir." 

Dari bunyi pasal 53 KHI di atas, cukup jelas bahwa akibat hukum
dari keadaan married by accident (MBA) ada tiga, pertama hukumnya adalah
boleh menikahi wanita hamil di luar nikah oleh pria yang menghamilinya.
Kedua, perkawinan antara pasangan married by accident (MBA) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran anak. Ketiga dan terakhir, tidak
diperlukannya perkawinan ulang setelah anak pasangan dimaksud lahir. 

KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa KHI berpendapat


wanita hamil di luar nikah hanya dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya tanpa harus menunggu kelahiran si bayi, dan tidak
diperlukan kawin ulang (tajdidun nikah), sehingga apabila perkawinan
tersebut dinyatakan sah, maka anak yang dilahirkan dalam perkawinan
yang sah tadi adalah anak sah. Sedangkan mengenai ketentuan-ketentuan
hukum perkawinan wanita hamil dalam pendapat para imam mazhab
(Hanafi, Malik, Syafi'i dan Ahmad bin Hambal), mereka berbeda
pendapat, pada umumnya dikelompokkan kepada dua kelompok
pendapat:

1. Imam Hanafi dan Imam Syafi'i mengatakan:


Wanita hamil akibat zina boleh melangsungkan perkawinan
dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan laki-laki lain.
Sebagaiman pendapat imam Hanafi sebagai berikut: “Wanita hamil karena
zina itu tidak ada iddahnya, bahkan boleh mengawininya, tetapi tidak
boleh melakukan hubungan seks hingga dia melahirkan kandungannya”.
Sementara Imam Syafi'i mengatakan: “ hubungan seks karena zina itu
tidak ada iddahnya, wanita yang hamil karena zina itu boleh dikawini, dan
boleh melakukan hubungan seks sekalipun dalam keadaan hamil”.
2. Imam Malik dan Ahmad bin Hambal mengatakan :
Tidak boleh melangsungkan perkawinan antara wanita hamil
karena zina dengan laki-laki lain sampai dia melahirkan kandungannya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, 2007, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Akademika


Pressindo, Jakarta.
Anshary M. H., 2014, Kedudukan Anak dalam perspektif Hukum Hukum Islam
dan Hukum Nasional. Redaksi Mandar Maju, Bandung.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1978. Hukum-Hukum Fiqih Islam. Bulan Bintang, Jakarta.

Intruksi Presiden Nomor. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Irfan Nurul, 2012, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, AMZAH, Jakarta.

Mohammad Daud Ali, 1991, “Hukum Islam : Peradilan Agama dan Masalahnya”,
dalam Eddi Rudiana Arief, dkk, (ed.), Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran Dan
Praktek, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, cet.ke-3, Jakarta : Kencana Prenada
Media Group, 2009

You might also like