Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh :
ABSTRAK
ABSTRAK
Artikel ini membahas tentang married by accident, yaitu pernikahan yang
terpaksa dilakukan antara sepasang laki-laki dan perempuan karena
perempuannya sudah hamil terlebih dahulu, orang tua mereka harus
menikahkannya, dalam rangka menutupi aib mereka di masyarakat.
Menggunakan metode penelitian yuridis-normatif. Hasil penelitian, pertama,
hukumnya married by accident di bolehkan baik oleh hukum positif dan hukum
Islam, kedua, kedudukan anak married by accident menjadi anak sah dalam
perspektrif hukum positif, dan anak tidak sah dalam perspektif hukum Islam.
Ketiga, dalam perspektif hukum positif, hak wali dan hak waris anak perempuan
dari married by accident adalah ayah biologisnya dan memperoleh hak waris
dari kedua orang tuanya, sedangkan dalam perspektif hukum Islam anak hasil
dari married by accident ayah biologis tidak berhak memberikan waris dan tidak
berhak pula menjadi wali anak tersebut ketika menikah.
kata kunci: hukum Islam, hukum positif, married by accident.
PENDAHULUAN
A. Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum Nikah Karena Zinah”
Penyusunan makalah ini dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Masail
Al-Fiqhiyah Al-Haditsah yang diampu oleh Ibu Dr. Oyoh Bariah, M.Ag.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini, untuk itu kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
tanda baca, tata bahasa maupun isi. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sekalian untuk kami jadikan
bahan evaluasi. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk kita semua.
B. Latar Belakang
Masalah married by accident ini sudah sangat popular, baik terjadi
dikalangan remaja kota maupun desa. Hal ini karena kasus-kasus hamil di
luar nikah telah menjadi sesuatu yang sangat marak dan biasa terjadi di
masyarakat. Dan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakat adat, baik
patrilineal (suku Nias) maupun matrilineal (Minangkabau), dan belateral
(Jawa), kalau terjadi perempuan hamil di luar nikah biasanya langsung di
nikahkan, untuk menutupi aib. Rupanya pandangan adat tersebut di atas yang
diambil untuk merumuskan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan dan KHI (Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam.
Dalam konsep Islam akad nikah merupakan tonggak pemisah antara yang
haram dan yang halal. Jadi yang di lihat adalah kapan dibenihkan anak
tersebut bukan kapan dilahirkan anak tersebut. Berbeda dengan hukum positif
yang dilihat adalah kapan anak tersebut di lahirkan, bukan kapan anak
tersebut dibenihkan, dengan kata lain, biarkan sekarang menikah dan
kemudian besok melahirkan maka status anak tersebut dalam persektif hukum
positif, maka anak tersebut anak sah.
Karena dalam hukum Islam nasab hanya bisa dibentuk dengan
perkawinan, bukan perzinaan atau yang lainnya.1 Sabda Nabi
Salllallahu’alaihi wasallam, “nasab itu dari perkawinan yg sah, sedangkan
bagi pezina adalah batu rajam”(HR Muslim). Hadist Nabi dari Abu Abdillah
An-Nu’man bin Basyir RA. Ia berkata, “Aku mendengar Nabi bersabda”,
sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara
keduanya ada perkara yang samar-samar, kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya, maka barang siapa menjaga dirinya dari yang samar-samar
itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barang
siapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus
kedalam wilayah yang haram,…(HR Bukhari Muslim). Maksudnya kita tidak
boleh mengkompromikan antara yang halal dan haram.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam
“Hukum Nikah Karena Zinah” ialah sebagai berikut:
1. Bagaimana mendeskripsikan permasalahan married by accident dalam
Islam?
2. Bagaimana dampak dari married by accident?
3. Bagaimana tanggapan fiqh dalam memberikan solusi kasus married by
accident?
4. Bagaimana praktik budaya dan hukum yang berlaku di Indonesia?
D. Kerangka Berfikir
Perbuatan zina merupakan perbuatan keji (fahisyah) dan jalan yang buruk.
Ujung pangkalnya tumbuh dari pandangan mata, maka perintah memalingkan
1
Irfan Nurul, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: AMZAH, 2012.
pandangan mata lebih dahulu sebelum perintah menjaga kemaluan. Mulanya
hanya pandangan, kemudian khayalan, kemudian langkah nyata, kemudian
tindak kejahatan besar (zina). Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa
barang siapa yang bisa menjaga empat hal, maka berarti dia telah
menyelamatkan agamanya: al-Lahazhat (pandangan mata), al-Khatharat
(pikiran yang terlintas di hati), al-Lafazhat (ucapan), al-Khuthuwat (langkah
nyata untuk sebuah perbuatan) (al-Thahir, 2004: 66-67).
Dalam kehidupan sekarang ini pergaulan pemuda pemudi banyak keluar
dari norma-norma agama, hingga terjadi apa yang diistilahkan dengan
accident (kecelakaan). Ia merupakan sebuah akibat perbuatan yang
menabrakkan syahwatnya pada hal yang haram, sehingga terjadilah hamil di
luar nikah. Hamil di luar nikah sendiri sudah diketahui sebagai perbuatan
zina, baik oleh laki-laki yang menghamilinya maupun perempuan yang hamil,
dan itu merupakan dosa besar. Konsekuensinya bagi yang belum menikah
adalah didera seratus kali dan bagi yang sudah menikah adalah direjam
sampai mati. Namun, di saat umat Islam yang berada pada wilayah-wilayah
yang syariat Islam tidak diterapkan dan pemimpinnya bukanlah berada pada
tataran Negara yang menjalankan syariat Islam, timbullah persoalan, yaitu
dibiarkan hamil dengan menanggung aib yang besar sampai anak lahir atau
dinikahkan baik dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan yang tidak
menghamilinya untuk menutup aib.
Hukum Islam yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia dapat dibagi dua,
yaitu : Pertama, hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis yaitu hukum
Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda di
dalam masyarakat yang disebut dengan istilah mu’amalah. Artinya, bagian
dari hukum Islam ini menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk
oleh peraturan perundang-undangan, seperti hukum perkawinan, hukum
kewarisan dan wakaf. Bagian hukum ini memerlukan bantuan penyelenggara
negara untuk menjalankannya secara sempurna. Kedua, hukum Islam yang
berlaku secara normatif yaitu hukum Islam yang mempunyai sanksi
kemasyarakatan dan mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti
kaidah hukum Islam tentang pelaksanaan ibadah-ibadah murni : shalat, puasa,
zakat dan lain-lain, juga tentang kesadaran manusia untuk tidak melakukan
perbuatan yang diharamkan seperti berjudi, mencuri, berzina, dan lain-lain.
Bagian hukum ini tidak memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk
menjalankannya. Dijalankan atau tidaknya hukum Islam yang bersifat
normatif ini bergantung pada tingkatan iman dan taqwa serta akhlak umat
Islam itu sendiri. Atau dengan kata lain, pelaksanaannya bergantung pada
kuat atau lemahnya kesadaran masyarakat muslim mengenai norma-norma
hukum yang bersifat normatif itu.2
Kedua bentuk hukum Islam di atas didasarkan dari pemahaman terhadap
hasil ijtihad yang dilahirkan oleh para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik bin
Anas, Muhammad bin Idris Asy-Syafi‟i, dan Ahmad ibn Hanbal), khususnya
mazhab Syafi‟i, yang ternyata pengaruhnya begitu besar dan banyak
diterapkan dalam kehidupan masyarakat kaum muslimin di Indonesia. Sudah
menjadi maklum adanya bahwa di antara keempat mazhab tersebut terdapat
kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan antara satu sama lainnya.
PEMBAHASAN
2
Mohammad Daud Ali, “Hukum Islam : Peradilan Agama dan Masalahnya”, dalam Eddi Rudiana
Arief, dkk, (ed.), Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran Dan Praktek, cet. ke-1 (Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya, 1991), 75.
3
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2004, hlm. 29
Dalam perspektif hukum Islam, perempuan hamil dibedakan menjadi dua
keadaan. Pertama, perempuan yang diceraikan suaminya dalam keadaan
hamil, baik cerai hidup maupun cerai mati. Kedua, perempuan yang hamil
akibat melakukan zina. Dan yang akan di bahas adalah hukum perempuan
yang hamil di luar nikah kemudian mereka melangsungkan pernikahan
(married by accident).
1. Nikah Karena Zinah adalah Tidak Sah
Arah yang diharapkan dari pernikahan adalah terwujudnya suatu
institusi yang sah berupa mahligai rumah tangga yang kokoh, dan diakui
baik secara agama maupun hukum. Married by accident merupakan
penghimpunan dua hamba Allah dalam suatu ikatan lahir dan batin yang
secara normatif tampak terpaksa sebab kecelakaan (hamil luar nikah).
Realitas pernikahan ini seakan-akan tidak bertujuan untuk mewujudkan
keluarga yang bahagia dan tenteram, tapi hanya menyelamatkan muka dan
menutup dosa. Kedudukan nikah MBA dalam wujudnya hanya dijadikan
sebagai jalan solusi yang tidak dibenarkan syariat. Maka pernikahan MBA
dalam kenyataan hukum secara lahir adalah tidak sah, sedangkan secara
batin melegalkan perzinaan.
Dalam hadits Ruwaifi’ ibn Tsabit dan tawanan Authas tentang
larangan menggauli perempuan yang hamil luar nikah sebagai ketetapan
yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah
hamilnya itu karena kecelakaan, atau sebab perbuatan tuannya. Jika ia
adalah seorang hamba sahaya, atau terjadi persoalan syubhat yakni nikah
dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada
kesamar-samaran, atau karena zina.
Hadits Nabawi yang menetapkan hukum hudud dan larangan
menikahkan orang yang hamil adalah implementasi dari makna semua
sarana atau jalan yang membawa kepada sesuatu perbuatan yang haram
harus ditutup. Sedangkan sebuah perbuatan yang tampak secara kasat mata
masuk dalam kategori mubah, yakni pernikahan tapi dapat membawa
kepada mafsadah atau mudharrah (bahaya) adalah dilarang. Sebab
membolehkan pernikahan bagi perempuan yang hamil luar nikah sama
dengan melegalkan perzinaan. Kita berkewajiban untuk menutup pintu-
pintu perbuatan zina dan sebagai pertanggungjawaban di hadapan Allah
kelak, maka menikahkan orang hamil sebab zina adalah haram.
2. Nikah Karena Zinah adalah Sah
Nikah yang disebabkan adanya kecelakaan atau hamil disebab
perbuatan zina merupakan kenyataan yang dihadapi saat ini, di saat hukum
hudud tidak terlaksana dengan beberapa sebab, di antaranya tidak adanya
pemerintahan Islam yang menjalankan syariah secara utuh.
Pernikahan disyariatkan sejalan dengan naluri pernikahan yang sah
dalam Islam menjauhkan manusia dari dosa zina. Sasaran utama dari
disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya ialah untuk
membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah
menurunkan dan meninabobokkan martabat manusia yang luhur. Islam
memandang pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efektif
untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi
masyarakat dari kekacauan.
Hamil luar nikah yang disebabkan perbuatan zina ini dihaluskan
bahasanya dengan accident (kecelakaan). Istilah kecelakaan dari akibat
perbuatan dosa yang konsekuensinya adalah didera seratus kali bagi yang
belum menikah, dan bagi yang sudah menikah adalah direjam sampai
mati. Namun disaat syariat Islam tidak berjalan dengan tidak adanya
pemerintahan Negara Islam yang menegakkan hudud, maka perempuan
yang hamil luar nikah bila dibiarkan hamil dengan menaggung aib yang
besar sampai anak lahir atau dinikahkan, baik dengan laki-laki yang
menghamilinya atau dengan laki-laki lain untuk menutup perbuatan
tersebut. Landasan dilaksanakan pernikahan adalah hadits-hadits Nabawi
yang menyatakan keabsahan suatu pernikahan dengan beberapa analisis
yang mengukuhkannya. Masalah yang dijadikan acuan analisis mencakup:
a. Pezina dapat menikah dengan pezina
b. Anjuran Nabi SAW untuk menutup aib
c. Tidak ada hubungan antara dosa zina dengan nikah
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Dari bunyi pasal 53 KHI di atas, cukup jelas bahwa akibat hukum
dari keadaan married by accident (MBA) ada tiga, pertama hukumnya adalah
boleh menikahi wanita hamil di luar nikah oleh pria yang menghamilinya.
Kedua, perkawinan antara pasangan married by accident (MBA) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran anak. Ketiga dan terakhir, tidak
diperlukannya perkawinan ulang setelah anak pasangan dimaksud lahir.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Intruksi Presiden Nomor. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Irfan Nurul, 2012, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, AMZAH, Jakarta.
Mohammad Daud Ali, 1991, “Hukum Islam : Peradilan Agama dan Masalahnya”,
dalam Eddi Rudiana Arief, dkk, (ed.), Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran Dan
Praktek, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, cet.ke-3, Jakarta : Kencana Prenada
Media Group, 2009