You are on page 1of 18

Realisme Moral dalam Pandangan Ṭabāṭabā’ī

(Respons terhadap Natuaralisme, Emotivisme, dan Anti-Realisme Moral)

Basrir Hamdani
Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra Jakarta
rierlucky@yahoo.com

Abstract: The main purpose of this article is to point out Ṭabāṭabā’ī’s metaethical idea, that is
moral realism, based on the principle of moral philosophy which found in his theory of I’tibāriyat,
a theory of perception dealing with various kinds of perception related to practical action of human
being whether individual or social. Departing from many problems related to ontological and
epistemological statuses of morality that have not been solved yet by several modern metaethical
theories, cognitivism and non-cognitivism, this Ṭabāṭabā’ī’s metaethical idea is considered enable
to give alternative solutions by proposing two points as the results of reflection on it that morality
in the case of metaethical study is imaginative-cognitive-relative and existent in threefold
components (action, pupose, and nature of an actor). The elaboration of this reflection in the same
time constitutes a response to those modern metaethical theories especially Naturalism, Emotivism,
and Anti-Realism. The method by which the writer presents this article is analytical-critical-
comparative method, that is, to analyze every idea or theory of metaethics mentioned and, then, by
comparative-critical approach, the writer attempts to provide a response to some claims from
Naturalism, Emotivism, and Anti-Realism.

Keywords: Moral Realism, Ṭabāṭabā’ī, Naturalism, Emotivism, Anti-Realism.

Abstrak: Tujuan pokok dari tulisan ini adalah menunjukkan gagasan meta-etika Ṭabāṭabā’ī, yaitu
realisme moral, yang berpijak pada prinsip filsafat moral yang terdapat dalam teori I’tibāriyat,
suatu teori persepsi yang mengupas jenis-jenis persepsi yang terkait dengan tindakan praktis
manusia baik secara individual maupun sosial. Berangkat dari persoalan-persoalan yang belum
terselesaikan terkait status ontologis dan epistemologis moral oleh beberapa teori meta-etika
modern, kognitivisme dan non-kognitivisme, gagasan meta-etika Ṭabāṭabā’ī ini dirasa mampu
memberi solusi alternatif dengan mengajukan dua hal sebagai hasil refleksi bahwa moralitas
dalam kajian meta-etika adalah imaginatif-kognitif-relatif dan Eksistensi dalam Tiga Serangkai
Komponen (tindakan, tujuan, dan tabiat pelaku). Elaborasi atas refleksi ini sekaligus merupakan
respons terhadap teori-teori meta-etika modern khususnya Naturalisme, Emotivisme, dan Anti-
Realisme. Metode yang penulis gunakan dalam menyajikan tulisan ini adalah analitis-kritis-
komparatif, yaitu menganalisis setiap gagasan atau teori meta-etika yang telah disebutkan dan
kemudian dengan pendekatan komparatif-kritis penulis berusaha memberi respons terhadap klaim-
klaim emotivisme dan naturalisme moral.

Kata Kunci: Realisme Moral, Ṭabāṭabā’ī, Naturalisme, Emotivisme, Anti-Realisme.

19
20 Ilmu Ushuluddin, Volume 7, Nomor 1, Januari 2020

Pendahuluan artinya ‘jujur adalah objek yang dikehendaki’


Salah satu isu yang paling menyita atau ‘jujur adalah tindakan yang diharuskan
perhatian ketika membincangkan tentang oleh masyarakat’ atau ‘jujur adalah perintah
moral atau nilai suatu tindakan manusia Tuhan’.2 Pandangan ini mengukur aspek
adalah masalah dasar epistemologis dan ontologis dan epistemologis nilai moral
ontologisnya; pengetahuan tentang nilai baik dengan objek-objek faktual lain yang
menyangkut konsepsi maupun justifikasi dan dianggap sebagai landasan berpijaknya.3
eksistensinya. Kedua masalah tersebut sangat Berbeda dengan Naturalisme,
saling terkait di mana, jika mengikuti tren Intusionisme meyakini bahwa nilai moral
filsafat modern, status epistemologis memiliki eksistensi sendiri yaitu sebagai sifat
berkorelasi dengan status ontologisnya. Status yang melekat pada setiap tindakan itu sendiri,
ontologis nilai moral dipahami apakah bukan sebagai sifat atau entitas aksidental
terhubung dengan objek-objek faktual dan bagi objek-objek faktual lainnya. Suatu
kongkret sehingga persepsi tentangnya harus tindakan ‘menolong orang lain’, misalnya,
diperlakukan seperti pengetahuan faktual memiliki sifat ‘baik’ pada dirinya sendiri,
tersebut ataukah tidak terkait sama sekali bukan karena objek-objek lain di luar
dengan realitas ekstra mental sehingga nilai tindakan moral. Namun demikian nilai moral
moral hanyalah kreasi dan konstruksi mental, tersebut, menurut paham ini, hanya bisa
maka pengetahuan tentangnya adalah diketahui makna dan kebenarannya melalui
imajinasi, fiksi, atau subjektivitas? intuisi; tidak memerlukan justifikasi untuk
Dalam kajian tentang nilai moral membuktikan kebenarannya karena bersifat
(value), kedua aspek ontologis dan swabukti (self-evident). Proposisi-proposisi
epistemologis di atas dibahas dalam satu moral bersifat ‘terang-benderang’
bidang khusus, yaitu apa yang disebut dengan kebenarannya atau, dalam istilah Descartes
‘meta-etika’ (meta-ethics), satu bidang kajian ‘clearly and distinctively true’.4
menyangkut nilai suatu tindakan manusia Adapun non-Kognitivisme moral yang
dengan menelusuri seluk-beluknya secara bersandar pada paradigma positivistik, yaitu
filosofis, yaitu tinjauan ontologis dan Emotivisme, sebagaimana yang dipopulerkan
epitemologis.1 Terkait hal ini, paling tidak ada oleh A. J. Ayer, meyakini bahwa nilai moral
tiga pandangan yang penulis dapat sebutkan tidak memiliki pijakan ontologis atau tidak
di sini, yaitu: naturalisme, intuisionisme, dan merepresentasikan realitas dan [pernyataan/
non-kognitivisme. Pandangan yang pertama proposisi tentangnya] tidak berurusan dengan
meyakini bahwa nilai moral dapat ditemukan
2
pada objek-objek faktual baik dilihat secara William K. Frankena, Ethics (USA: Prentice-
Hall International Inc., 1973), 97-98.
empiris, meta-fisis, maupun teologis. Artinya 3
Charles R. Pidgen, “Naturalism,” dalam Peter
nilai moral dapat didefinisikan sebagai fakta Singer (eds), A Companion to Ethics (UK: Blackwell
Publiṣer Ltd., 1993), 421-422.
empiris atau meta-fisis yang dalam istilah 4
Pandangan ini cukup populer dan diterima
para pendukung pandangan ini, “nilai sama oleh banyak filsuf moral hingga saat ini, di antara
dengan fakta” (value is defined in terms of filsuf-filsuf yang mendukungnya adalah Butler,
Sidgwick, Raṣdall, G.E. Moore, Prich Ard, Ross,
fact). Misalnya, pernyataan ‘jujur adalah baik’ Carritt, Hartmann, Ewing, dan bahkan kemungkinan
Plato juga menganut pandangan ini. Lihat William K.
1
Adrew Fiṣer, Metaethics: An Introduction (UK: Frankena, Ethics (USA: Prentice-Hall International
Acumen Publiṣing, 2011), 1. Inc., 1973), 102.

DOI: 10.15408/iu.v%vi%i.14760
Basrir Hamdani, Realisme Moral dalam Pandangan Ṭabāṭabā’ī... 21

penilaian salah atau benar.5 Lebih jauh, Pandangan pertama terkait masalah menakar
menurut Ayer, nilai ‘baik’ dan ‘buruk’ konsepsi dan justifikasi nilai moral dengan
hanyalah ekspresi dan emosi mental tanpa sesuatu di luar moral itu sendiri. Sebagaimana
makna tak ubah suatu ungkapan kosong kritik G. E. Moore bahwa naturalisme moral
seperti ‘booo’ atau ‘huuu’ sehingga persepsi telah melakukan apa yang ia sebut sebagai
tentangnya hanyalah kreasi mental yang tidak kesalahan naturalistik (naturalistic fallacy)
dapat dijustifikasi secara rasional. karena memahami konsep dan justifikasi nilai
Mengatakan ‘tolong-menolong adalah baik’, moral dengan sesuatu di luar moral itu sendiri
misalnya, sama saja dengan mengatakan (non ethical terms).7 Selain itu, menurut
‘tolong-menolong adalah booo’ atau ‘mencuri penulis, paham ini juga mengklaim nilai
adalah buruk’ sama dengan mengatakan ‘baik’ dan ‘buruk’ sebagai sifat-sifat yang
‘mencuri adalah huuu’. Ungkapan-ungkapan melekat secara esensial pada tindakan
tersebut dalam susunan kata hanyalah layaknya sifat-sifat seperti kualitas dan
membentuk suatu kalimat esai (insyā’i), kuantitas objek-objek faktual, sehingga cara
bukan proposisi (khabar) yang dapat justifikasi kebenaran moral seperti
dihukumi salah dan benar.6 menjustifikasi objek-objek faktual yang
Ketiga pandangan tentang nilai dan memiliki kebenaran objektif dan universal.
persepsi moral di atas sama-sama memiliki Hal ini terlihat dari sikapnya yang
konsekuensi terhadap status ontologis dan menyamakan proposisi-proposisi moral
epistemologis nilai moral. Pandangan pertama dengan proposisi-proposisi faktual.
dan kedua mengafirmasi keberadaan nilai Pandangan kedua juga tidak terbebas dari
moral dan kemampuan mental menangkap syak karena menjadikan nilai moral sebagai
konsep serta justifikasinya, meskipun sifat sesuatu yang melekat secara esensial
keduanya berbeda dari segi cara mengetahui pada setiap tindakan dan hanya bisa diketahui
dan membuktikan kebenarannya. Adapun secara intuitif yang mana sangat bersifat
pandangan yang ketiga berada pada posisi subjektif dan tidak memberikan ruang untuk
menegasikan kedua aspek di atas; menolak dipahami secara bersama-sama serta
keberadaan nilai moral dan menganggap dibuktikan kebenarannya oleh orang lain,
mental tidak dapat mengonstruksi sementara penyifatan ‘baik’ dan ‘buruk’ pada
pengetahuan apa pun tentangnya selain suatu tindakan, ‘jujur adalah baik’ atau ‘tirani
menganggapnya sebagai ungkapan-ungkapan adalah buruk’, misalnya, tidak bisa dipahami
emosional atau perasaan sentimental semata. begitu saja dan butuh pembuktian atas
Semua pandangan di atas memiliki kebenarannya.8 Sedangkan paham ketiga
kelemahan-kelemahan dan menuai banyak dengan berpijak pada paradigma positivistik
kritik. Pandangan pertama dan kedua yang mengukur segala sesuatu baik ontologis
meskipun mengafirmasi status ontologis nilai dan epistemologis berdasarkan standar entitas
moral, namun dari segi epistemologis faktual-kongkret layaknya benda-benda di
memberi ruang persoalan yang cukup serius. alam ekstra-mental, telah menafikan nilai

5 7
Alexander Miller, An Introduction to Frankena, Ethics, 99.
8
Contemporary Metaethics (UK: Polity Press, 2003), M. Taqi Miṣbaḥ Yazdī, Manhaj al-Jadīd fī
322. Ta’līm al-Falsafah, Vol. I (Beirut: Dār al-Ta’aruf wa
6
Frankena, Ethics, 105. al-Maṭbu’at, 1998), 248.
22 Ilmu Ushuluddin, Volume 7, Nomor 1, Januari 2020

moral itu sendiri; nilai ‘baik’ dan ‘buruk’ ‘buruk’, sehingga tindakan tersebut tidak
tidak lebih hanyalah perasaan sentimental harus dilakukan.9
terhadap sesuatu tanpa ada relasi apa pun Adapun nilai moral ‘baik’ dan ‘buruk’,
dengan realitas. menurut Ṭabāṭabā’ī adalah sifat esensial yang
Berdasarkan penjelasan di atas, ketiga melekat di antara tindakan dan efek yang
pandangan tersebut menyisakan persoalan dimunculkannya serta karakter subjek/pelaku
menyangkut kedua aspek dari nilai moral, tertentu (partikular), sehingga nilai moral
sehingga, menurut penulis, masih sangat tidak bersifat tetap dan universal bagi satu
membutuhkan penjelasan dan analisis yang tindakan dan bagi seluruh pelaku. Ia sangat
lebih komprehensif dan lebih proporsional. tergantung kepada tindakan dan karakter
Dalam hal ini, penulis mencoba melakukan pelaku-pelakunya yang berbeda-beda.
analisis terhadap satu pandangan tentang nilai Tindakan ‘belajar’, misalnya, efeknya bisa
moral yang diajukan oleh Ṭabāṭabā’ī, seorang berbeda-beda jika dihubungkan pada karakter
filsuf Muslim kontemporer, yang dianggap setiap pelaku. Bagi si A mungkin efeknya
memiliki orisinalitas dalam gagasannya. akan mengantarkan kepada kesempurnaan si
Menurut penulis, pemikirannya tentang nilai A berdasarkan karakternya, sehingga mental
moral bisa dianggap cukup komprehensif dan akan menyebut ‘belajar’ sebagai sebuah
proporsional serta tidak tergesa-gesa dalam kebaikan. Namun di pihak lain, bagi si B,
menyimpulkan. Ṭabāṭabā’ī menelusuri mungkin saja efeknya justru sebaliknya, tidak
realitas nilai moral dengan memulai dari mengantarkan pada kesempurnaannya sesuai
aspek epistemologis sebagaimana tertuang dengan karakter si B yang membuat mental
dalam satu bab khusus yang ia namakan akan menyebutnya sebagai sebuah
dengan bab ‘I’tibāriyat’, yaitu persepsi keburukan. 10

imaginatif. Sekilas gagasan Ṭabāṭabā’ī di atas


Dalam persepsi I’tibāriyat, persepsi seperti mengafirmasi baik pandangan
moral ‘baik’ dan ‘buruk’ merupakan salah emotivisme maupun naturalisme, karena di
satu di antaranya. Menurut Ṭabāṭabā’ī, satu sisi, menganggap konsep moral bukanlah
persepsi moral bukanlah sifat esensial konsep yang memiliki dasar ontologis dan
tindakan yang ditangkap mental secara merepresentasikan objek faktual sehingga
langsung, melainkan suatu persepsi yang proposisinya tidak bisa dihukum benar dan
diciptakan mental untuk menyebut suatu salah sebagaimana anggapan emotivisme, dan
tindakan, yaitu tindakan yang dapat di lain sisi, mengatakan bahwa konsep moral
mengantarkan pada kesempurnaan atau tidak memiliki relasi dengan karakter subjek
bagi pelakunya. Jika tindakan tersebut sebagaimana klaim naturalisme. Namun
membawa pelakunya pada kesempurnaan, demikian, jika dicermati secara seksama,
maka tindakan tersebut akan disematkan pemikiran Ṭabāṭabā’ī di atas berbeda dan
padanya oleh mental sebagai ‘baik’, yaitu tidak mengafirmasi kedua pandangan
suatu sifat yang diciptakan mental
berdasarkan tujuan esensial dari suatu 9
Muḥammad Ḥusein Ṭabāṭabā’î, Majmü’at
tindakan. Sebaliknya, jika tidak mengantarkan Rasā’il al-‘Allāmah al-Ṭabāṭabā’ī (Qom: Maktabah
maka, mental akan menyebutnya sebagai Fadak, 2007), 352.
10
Ṭabāṭabā’î, Majmu’at Rasā’il Al-‘Allamah Al-
Ṭabāṭabā’î, 352.

DOI: 10.15408/iu.v%vi%i.14760
Basrir Hamdani, Realisme Moral dalam Pandangan Ṭabāṭabā’ī... 23

tersebut. Meskipun Ṭabāṭabā’ī menganggap dengan Etika Terapan (Applied Ethics), yaitu
bahwa nilai moral bukanlah sifat bagi objek kajian filosofis moral yang menekankan pada
faktual sebagai basis ontologisnya, namun ia pembahasan tentang nilai tindakan tertentu,
tidak mengatakan bahwa nilai moral adalah misalnya apakah tindakan aborsi itu baik atau
sekedar perasaan emosional dan ilusi, buruk, berlaku adil adalah baik, dan lain
melainkan nilai moral adalah entitas yang ada sebagainya. Yang kedua, dikenal dengan
di antara tindakan, efek, dan karakter pelaku istilah Etika Normatif (Normative Ethics),
yang konsepnya (baik dan buruk) dipersepsi yaitu penyelidikan terhadap prinsip-prinsip
mental berdasarkan karakter setiap pelaku nilai yang melandasi moralitas dan faktor-
yang berbeda satu dengan yang lain. Begitu faktor yang menentukan keputusan moral,
pula, meskipun Ṭabāṭabā’ī, mengaitkan nilai misalnya menjelaskan apa yang dimaksud
moral dengan karakter subjek, namun ia tidak tindakan baik atau buruk? Mengapa harus
mengukur nilai moral dengan sesuatu di luar berbuat baik dan menghindari tindakan yang
moral, melainkan tetap pada tindakan itu buruk? dan lain sebagainya. Sedangkan yang
sendiri dengan melihat efeknya bagi pelaku. ketiga, disebut dengan istilah Meta-Etika
Selain itu, Ṭabāṭabā’ī juga tidak melihat nilai (Meta-Ethics), yaitu tinjauan filosofis moral
moral sebagai sesuatu yang memiliki muatan yang berusaha menyelidiki persoalan-
objektif sebagaimana klaim naturalisme, persoalan terkait eksistensi nilai moral dan
melainkan bermuatan relatif yang berbeda- justifikasi keputusan-keputusan moral.
beda bagi setiap individu. Andrew Fisher menganalogikan ketiga
Akhirnya, berangkat dari uraian di atas, bagian filsafat moral tersebut dengan unsur-
tulisan ini berusaha menganalisis pandangan unsur dalam sepak bola, di mana para pemain
meta-etika Ṭabāṭabā’ī untuk merespons kedua yang bermain sepak bola dapat diasumsikan
pandangan meta-etika moral, emotivisme sebagai para pelaku langsung tindakan
yang bersifat anti-realis dan naturalisme tertentu moral atau sebagai applied ethicists.
moral. Adapun metode yang penulis gunakan Hal ini mengingat yang lebih ditelisik adalah
adalah analisis-komparatif, yaitu menganalisis sisi praktis dalam menentukan nilai moral
setiap gagasan dan kemudian dengan suatu tindakan tertentu, misalnya bagaimana
pendekatan komparatif penulis berusaha seseorang harus berjalan, berbicara, bekerja
memberi respons terhadap klaim-klaim sama dengan orang lain, dan lain sebagainya
emotivisme dan naturalisme moral. dalam bertindak yang baik dan benar. Adapun
wasit dan hakim garis yang adalah para
Meta-etika dan Ragam Teorinya pengatur jalannya permainan dapat dianggap
Dalam filsafat moral, pembahasan sebagai yang memperhatikan prinsip-prinsip
tentang moralitas dibedakan dalam tiga sudut yang mendasari tindakan moral atau sebagai
pandang, yaitu nilai suatu tindakan tertentu, normative ethicists. Ini tidak berlebihan
prinsip dan faktor yang menentukan nilai karena, sebagaimana penjelasan di atas, dalam
tersebut, dan status ontologis serta etika normatif hal yang disoroti adalah
epistemologis nilai. Ketiga sudut pandang investigasi tentang makna nilai-nilai moral
tersebut, selanjutnya, menjadi basis dan rasionalisasi terhadap setiap tindakan
pembagian filsafat moral menjadi tiga bagian; moral; apa yang dimaksud dengan ‘baik’ atau
secara berurutan, yang pertama disebut ‘buruk’ pada suatu tindakan tertentu dan apa
24 Ilmu Ushuluddin, Volume 7, Nomor 1, Januari 2020

standar nilai-nilai moral tersebut? Sedangkan deskriptif.14 Sedangkan pada bahasan status
analis dan komentator yang adalah orang- ontologis, pandangan-pandangan meta-etika
orang yang tidak bermain dan mengatur terpulang pada dua aliran besar, yaitu
permainan, melainkan menganalisis jalannya realisme dan anti-realisme moral. Berikut
pertandingan dan apa yang terjadi di pemaparan ragam teori dan gagasan meta-
dalamnya dapat disebut sebagai yang etika tersebut di atas secara ringkas.
menganalisis status epistemologis yang
meliputi aspek logis pernyataan moral (moral 1. Teori Definis
language) dan psikologi moral (moral Berangkat dari keyakinan bahwa
psychology),11 dan status ontologis moral atau moralitas atau nilai moral dapat dijustifikasi
‘benar’ dan ‘salah’ sebagaimana nilai realitas
disebut sebagai meta-ethicists.12 Selaras
faktual, oleh para filsuf moral hal ini disebut
dengan apa yang ditegaskan oleh Frankena
dengan istilah kognitivisme moral.15 Secara
bahwa meta-etika menyelidiki persoalan-
garis besar kognitivisme memiliki dua bentuk,
persoalan seperti makna atau kegunaan dari
ekspresi ‘baik’ atau ‘buruk’, justifikasi yaitu a). Justifikasi nilai moral mengikuti
terhadap keputusan-keputusan moral; apakah justifikasi benda-benda faktual yang dapat
memungkinkan untuk melakukan justifikasi diukur dan ditentukan. Bentuk ini disebut
terhadap nilai moral? Perbedaan antara moral dengan teori definis (definist theory of moral),
yaitu teori meta-etika yang menganggap
dan non-moral, dan lain sebagainya.13
bahwa nilai moral dijustifikasi secara objektif
Berdasarkan tema yang diangkat, tulisan ini
dan ditarik akarnya pada hal-hal yang bersifat
tidak akan membahas lebih jauh Etika
faktual. Dengan kata lain, nilai moral dapat
Terapan dan Etika Normatif, melainkan hanya
fokus pada eksposisi ringkas Meta-Etika. didefinisikan dengan objek-objek faktual atau
Berdasarkan fokus bahasan meta-etika value in terms of facts.16 Misalnya, ketika
pada status epistemologis dan ontologis di dikatakan bahwa ‘membunuh adalah tindakan
atas, terdapat beragam pandangan atau teori yang buruk’, maka nilai buruk pada tindakan
meta-etika. Pada bahasan status membunuh dapat didefinisikan dengan
sesuatu yang bersifat faktual di luar tindakan
epistemologis, beragam teori meta-etika
itu sendiri, yaitu ‘sesuatu yang tidak
terangkum secara garis besar, mengadopsi
diinginkan’ atau ‘kesepakatan masyarakat
klasifikasi yang dibuat oleh Frankena, dalam
tiga tipe, yaitu definis, intuisionisme atau non- menuntut untuk tidak dilakukan’ atau ‘karena
naturalisme, dan non-kognitif atau non- dilarang oleh Tuhan’. Salah satu filsuf yang
mendukung gagasan ini adalah R. B. Perry. Ia
mengajukan bentuk-bentuk definisi terhadap
nilai moral: "good" means “being an object of
11
Disebut dengan istilah psikologi moral (moral
psychology) karena metaetika mengivestigasi ihwal
favorable interest (desire)" (“baik” artinya
pikiran subjek apakah ketika ia membuat keputusan- “suatu objek keinginan (hasrat) yang
keputusan moral, keputusan-keputusan tersebut menguntungkan) dan "right" means "being
mengekspresikan sebuah keyakinan (belief) atau nafsu
(emosi) belaka? Lihat Fiṣer, Metaethics: An conducive to harmonious happiness'' (“baik”
Introduction, 3.
12 14
Fiṣer, Metaethics: An Introduction, 1-2. Frankena, Ethics, 96.
13 15
Frankena, Ethics, 5. Lihat juga James W. Miller, An Introduction to Contemporary
Gray, A Free Introduction to Moral Philosophy (2010), Metaethics, 3.
16
7. Frankena, Ethics, 97.

DOI: 10.15408/iu.v%vi%i.14760
Basrir Hamdani, Realisme Moral dalam Pandangan Ṭabāṭabā’ī... 25

artinya “mendatangkan kebahagiaan baik’ adalah benar berdasarkan kontemplasi


harmonis”). 17
Pandangan seperti yang yang kita lakukan. Pengetahuan intuitif moral,
diajukan oleh Perry inilah, menurut Frankena, Ross menegaskan, seperti pengetahuan
disebut sebagai Naturalisme moral atau Etika aksiomatis matematika yang tunduk pada
Naturalis, sedangkan yang mengembalikan hukum kontradiksi atau tidak mungkin benar
hukum moral pada kesepakatan sosial atau dan salah di waktu yang sama. Keputusan
kepada agama dinamakan sebagai Moral matematis yang self-evident ‘benar’ seperti ‘2
Meta-fisis.18 + 2 = 4’ tidak mungkin juga ‘salah’ di saat
yang sama, tidak berbeda dengan proposisi-
2. Intuisionisme atau Non-Naturalisme proposisi moral seperti contoh di atas ‘jujur
Kognitivisme tidak saja menekankan adalah baik’ adalah benar secara self-evident
pada kemungkinan justifikasi moral dengan dan juga salah di saat bersamaan.19
sesuatu yang bersifat faktual, tetapi juga Pandangan seperti yang diajukan oleh Ross
kemungkinan justifikasi tersebut inilah yang disebut dengan intuisionisme
dikembalikan kepada hal yang bersifat non- moral yang merupakan bentuk lain dari
faktual, yaitu kepada nilai-nilai objektif moral Kognitivisme namun berbeda dengan
itu sendiri, namun tidak dalam kerangka Naturalisme.
persepsi konseptual-inferensial akal, 3. Non-Kognitif atau Non-Deskriptif
melainkan pemahaman mental secara intuitif Kebalikan dari Kognitivisme adalah
atau kejernihan naluri. Nilai ‘baik’ atau non-Kognitivisme atau non-Deskriptivisme
‘buruk’ pada suatu tindakan bersifat esensial yang menolak bahwa nilai-nilai moral dapat
dan niscaya, hanya saja tidak dapat dipahami dihukumi benar atau salah. Aliran ini
atau dicerap secara konsepsi mental, berkeyakinan bahwa nilai moral tidak
melainkan secara intuitif mental. Melalui memiliki basis yang objektif di realitas
kejernihan hati dalam sebuah prosesi eksternal sehingga mental mampu
kontemplasi akan dapat mengantarkan pada menghukuminya sebagai benar atau salah.
pengetahuan tentang fakta-fakta moral secara Proposisi-proposisi yang terbentuk darinya
jelas dan nyata tanpa memerlukan pembuktian tidak ubah seperti ungkapan-ungkapan ilusif
secara konseptual dan di realitas eksternal. tanpa makna. Proposisi moral hanyalah
Paham ini dikembangkan oleh para keputusan psikis atau emosi, ia hanya berupa
filsuf moral seperti Moore, Ross, Rashdal, ekspresi dari luapan emosi seseoarang bukan
dan lain-lain. Menurut Ross, kita dapat mengekspresikan sebuah keyakinan/kepastian
mengetahui fakta-fakta moral melalui intuisi (epistemik).20 Oleh sebab itu, aliran ini
dan pengetahuan tersebut bersifat jelas pada dikenal pula dengan emotivisme sebagaimana
dirinya tanpa memerlukan pembuktian atau dikembangkan oleh seorang Positivis, A. J.
self-evident, artinya, dengan kejernihan hati Ayer, sebagai tokoh utamanya.
dalam proses kontemplasi terhadap tindakan-
4. Realisme dan Anti-Realisme Moral
tindakan moral, kita dapat mengetahui secara Realisme moral yang lebih menekankan
intuitif bahwa proposisi ‘berkata jujur adalah pada aspek ontologi moral secara otomatis

17 19
Perry R. B., Realms of Value (Cambridge: Gray, A Free Introduction to Moral, 99.
20
Harvard University Press, 1954), 3. Miller, An Introduction to Contemporary
18
Frankena, Ethics, 98. Metaethics, 6-7.
26 Ilmu Ushuluddin, Volume 7, Nomor 1, Januari 2020

adalah Kognitivisme moral pada aspek Ᾱmūli, dan lain-lain. Secara umum, corak
epistemologinya, namun tidak semua paham filsafat Ṭabāṭabā’ī merupakan pengembangan
yang dikategorikan sebagai Kognitivisme dari filsafat ‘Ḥikmah Muta’āliyah’ yang
adalah otomatis realis, melainkan sebagian digagas oleh Mullā Ṣadrā, namun tidak sedikit
paham menganut bentuk anti-realisme moral. inovasi dan modifikasi darinya sehingga
Hal ini ditengarai oleh reduksi yang terjadi Ḥikmah Muta’āliyah bernuansa khas
pada makna realitas atau sesuatu yang nyata pemikirannya. Beberapa inovasi Ṭabāṭabā’ī
ada (real existent/thing) dan tidak tergantung antara lain menyangkut isu-isu sebagai
pada proyeksi mental (mind independent berikut: Burhān Limmī, Nafs al-Amr, Wujūd
reality) kepada hal-hal yang bersifat material Rābiṭ, Burhān Shiddiqīn, Kembalinya ilmu
atau natural (alamiah) sebagai sesuatu yang Ḥuṣūlī (konseptual) kepada ilmu Huḍūrī
riil. Oleh sebab itu, sesuatu yang berada di (presentasional/kehadiran), Filsafat Moral
luar area material dan natural secara otomatis atau Etika dan lain-lain, yang semua isu
akan disebut sebagai tidak riil. Berdasarkan tersebut, kecuali Filsafat Moral, tidak dapat
hal ini dapat disimpulkan bahwa, tidak saja penulis paparkan satu persatu dalam artikel
paham non-Kognitivisme tetapi juga paham- ini.22
paham Kognitivisme non-Naturalis akan Berkenaan dengan filsafat moral yang
digolongkan sebagai anti-Realisme moral, menjadi fokus dari tulisan ini, pemikiran
yaitu paham yang meyakini bahwa moral Ṭabāṭabā’ī dianggap oleh sebagian kalangan
adalah fakta riil yang tidak tergantung pada pemikir dan filsuf, terutama oleh murid-
proyeksi mental (mind-independent reality) muridnya seperti Muṭahhari dan Taqi Miṣbāḥ
namun hanya sebatas fakta-fakta material dan Yazdī,23 sebagai temuan dan sumbangsih
natural.21 orisinal darinya bagi perkembangan diskursus
tentang filsafat moral, khususnya meta-etika,
Teori I’tibāriyat sebagai Landasan Meta- yang dituangkan dalam gagasan besar tentang
Etika Ṭabāṭabā’ī persepsi-persepsi I’tibāriyat dengan makna
Muḥammad Ḥusein Ṭabāṭabā’ī (lahir khusus di dalam satu bab tersendiri baik
pada tahun 1321 H/1904 M di kota Tabriz, dalam kitab Uṣūl al-Falsafah maupun kitab
Iran dan wafat pada tahun 1398 H/1981 M di Majmū’ Rasā’il. Melalui pembahasan tentang
kota Qum, Iran) adalah seorang filsuf Muslim persepsi I’tibari dengan makna khusus,
terkemuka di era kontemporer yang pemikiran Ṭabāṭabā’ī memaparkan pandangannya
dan karya-karya filosofisnya – di antara yang tentang meta-etika, yaitu status ontologis dan
utama antara lain: Bidāyat dan Nihāyat al- epistemologis nilai-nilai moral, dalam sub bab
Ḥikmah, Uṣūl al-Falsafah, Majmu’ Rasā’il, khusus “baik dan buruk” (al-ḥusn wa al-
dan lain-lain – banyak menjadi rujukan bagi qubḥ).
para intelektual dan filsuf lain baik yang
sezaman dengannya seperti Ruhullah Imam
Khomeini maupun yang hidup di era 22
Hasan Mu’allimi, Dkk., Tārīkh Falsafeh
setelahnya seperti Murtadhā Muthahhari, Islāmī (Qom: Markaz Jahānī ‘Ulūm Islāmī, 1385), 319-
327.
Muḥammad Taqi Miṣbaḥ Yazdi, Ḥasan Zādeh 23
Muṭahhari menyebutkan hal ini dalam
komentarnya terhadap kitab Uṣūl al-Falsafah,
sedangkan Taqi Miṣbaḥ Yazdī menyebutkannya dalam
21
Fisher, Metaethics: An Introduction, 55. kitab Risālat al-Tasyayyu’ fi al-‘Ālam al-Mu’āṣir.

DOI: 10.15408/iu.v%vi%i.14760
Basrir Hamdani, Realisme Moral dalam Pandangan Ṭabāṭabā’ī... 27

Ṭabāṭabā’ī memecahkan persoalan menerapkannya dalam argumentasi-


tentang nilai-nilai moral dengan berangkat argumentasi filosofis atau ilmiah [ilmu
dari diskursus persepsi (idrāk). Ia menelusuri alam atau matematika], sehingga dapat
seluk-beluk pengetahuan manusia dengan menghasilkan kesimpulan yang ilmiah
memisahkan persepsi yang terikat oleh objek- ataupun filosofis.26
objek faktual, baik berupa persepsi langsung Adapun persepsi-persepsi I’tibāriyāt,
maupun tidak langsung dari abstraksi mental, menurut Ṭabāṭabā’ī, adalah pengetahuan yang
yang ia sebut sebagai persepsi-persepsi tidak terikat oleh objek-objek faktual dan
faktual (al-idrākāt al-ḥaqīqiyah), yaitu tidak terefleksi darinya, melainkan persepsi
persepsi-persepsi yang merepresentasikan yang diperoleh mental dari upaya kreatifnya
objek-objek faktual, baik langsung berupa tanpa diawali oleh proses abstraksi dari objek
persepsi inderawi (idrāk ḥissī) dan konsep- faktual dan bukan berupa representasi
konsep inteleksi (mafhūm mahuwiyah/ darinya. Oleh sebab itu, persepsi jenis ini dari
ma’qūlāt awwaliyah) maupun tak langsung segi konsepsi tidak mengacu kepada suatu
berupa konsep-konsep logis dan filosofis makna atau realitas tertentu di alam eksternal,
(mafhūm manṭiqī dan falsafī/ma’qulāt sehingga tidak memiliki definisi, dan dari segi
tsanawiyah).24 Persepsi-persepsi tersebut justifikasi tidak dapat diterapkan dalam
diperoleh mental baik melalui proses argumentasi logis, filosofis atau ilmiah
pengindraan maupun proses abstraksi melalui sebagaimana persepsi-persepsi faktual.
analisis akal atau intelek dari objek-objek Namun demikian, persepsi ini bukan
faktual di alam eksternal. Lebih lanjut, pengetahuan fiktif dan ilusif, melainkan
Ṭabāṭabā’ī menegaskan bahwa persepsi- persepsi yang berhubungan dengan tindakan
persepsi jenis ini dari segi konsepsi manusia dan dikreasi berkenaan dengan
(taṣawwur) mengacu pada suatu makna kebutuhan hidupnya. Selain itu, meskipun
kongkret dan dari segi justifikasi (taṣdīq) tidak merefleksikan secara langsung objek-
dapat diterapkan dalam argumentasi logis atau objek faktual, persepsi jenis ini tetap memiliki
kaidah-kaidah logika, karena susunan kalimat relasi dengan realitas faktual di alam ekstra-
yang terbentuk dari persepsi jenis ini adalah mental. Ṭabāṭabā’ī menerangkan bahwa:
kalimat berita (khabar) atau pernyataan Adapun persepsi-persepsi I’tibāriyāt
(proposisi/qadhiyah). Dalam kitab Uṣūl al- merupakan kreasi murni mental
Falsafah, ia mengungkapkan: manusia berkenaan dengan kebutuhan
Persepsi-persepsi faktual merupakan hidupnya. Persepsi jenis ini adalah
persepsi yang terefleksi di mental dan rekaan, konsiderasi, dan upaya kreatif
mengacu kepada realitas (eksternal) dan mental, tidak memiliki relasi [reflektif]
nafs al-amr.25 … dan memungkinkan dengan realitas eksternal (objek faktual)
dan nafs al-amr. Persepsi-persepsi
24
Ṭabāṭabā’î, Nihāyat Al-Ḥikmah (Qom:
Mu’assese-i Ᾱmuzesy-i va Phezuhesy-i Imām objeknya tidak ditemukan di realitas eksternal dan
Khumeini, 1390 H), 275. mental. Lihat Basrir Hamdani, Modus Realisme
25
Nafs al-Amr merupakan alasan bagi wujud Berdasarkan Teori Persepsi I’tibāriyat Ṭabāṭabā’ī,
atau tsubūt yang bersifat asumtif bagi subjek berupa (Disertasi Program Doktoral Jami’at al-Mustafa-Iran
objek-objek yang tidak ditemukan di realitas eksternal yang telah disidangkan pada tanggal 29 Maret 2016),
atau mental. Dengan kata lain, ia adalah realitas yang 75.
diperluas yang menjadi lokus bagi persepsi yang 26
Ṭabāṭabā’î, Nihāyat al-Ḥikmah, 485.
28 Ilmu Ushuluddin, Volume 7, Nomor 1, Januari 2020

I’tibāriyat tidak memiliki nilai [asensi] Pada sebagian persepsi I’tibāriyat lainnya,
logis (tidak dapat diterapkan dalam menurut Ṭabāṭabā’ī, mental menciptakannya
justifikasi dengan argumentasi logis, melalui proses imaginatif dengan
pen.).27 mempertimbangkan suatu tindakan dan segala
yang terkait dengannya seperti tujuan dan
Poin paling penting yang menjadi batas kebutuhan hidup subjeknya untuk selanjutnya
pembeda bagi persepsi I’tibāriyat baik dengan disifatkan dengan persepsi tersebut. Konsep
persepsi faktual maupun dengan persepsi ‘baik’ dan ‘buruk’, ‘memilih yang lebih
fiktif atau ilusif adalah relasinya dengan mudah’, dan lain sebagainya, diciptakan
tindakan-tindakan manusia. Tindakan seolah mental secara imaginatif (I’tibārī) dengan
menjadi objek tidak langsung dari persepsi mempertimbangkan suatu tindakan ‘belajar’,
ini, karena atas dasar tindakan dan tujuannya misalnya, dan melihat tujuan dan kebutuhan
dalam rangka memenuhi kebutuhan- pelakunya. Jika tindakan tersebut sesuai
kebutuhan hidup manusia, mental dengan tujuan dan kebutuhan hidup yang
menciptakan persepsi-persepsi ini. Oleh sebab dapat mendatangkan kesempurnaan bagi
itu, dalam penjelasan berikutnya, Ṭabāṭabā’ī pelaku, maka mental akan menyifatinya
menamakan jenis persepsi I’tibāriyat dengan dengan konsep ‘baik’ dan begitu juga
makna khusus sebagai persepsi praktis atau sebaliknya, jika tidak sesuai, maka mental
(al-I’tibāriyat al-‘Amaliyah).28 akan menyifatinya dengan konsep ‘buruk’.
Dalam proses konsepsinya, Jadi, dari segi konsep, persepsi
sebagaimana telah disebutkan, persepsi I’tibāriyat tentunya tidak seperti persepsi
I’tibāriyat tidak berpangkal dari objek faktual yang dicerap baik langsung maupun
faktual, namun tetap memiliki relasi dengan tidak langsung, dan merupakan refleksi dari
objek faktual dan konsepnya sebagai bahan objek-objek faktual. Persepsi I’tibāriyat
bagi mental mereplika sebagian persepsi merupakan kreasi mental murni yang tidak
I’tibāriyat dengan daya imajinasi (tawahhum) dicerap dari objek faktual dan merupakan
untuk digunakan oleh mental menyebut suatu refleksi darinya. Namun begitu, bukan berarti
nilai yang berhubungan dengan tindakan, persepsi I’tibāriyat dalam proses konsepsinya
misalnya konsep “ri’asat” (kepemimpinan), terlepas sama sekali dari fakta-fakta eksternal,
“rā’is” (pemimpin), dan “mar’ūs” (yang melainkan tetap terkait meskipun hanya
dipimpin) yang direplika dari konsep “ra’s” sebatas bahan pertimbangan mental untuk
(kepala) yang dalam makna aslinya adalah menciptakan konsep dan selanjutnya
anggota badan yang tertinggi yang berfungsi menyifatinya secara metaforis. Fakta-fakta
sebagai komandan dalam mengatur anggota- yang menjadi pertimbangan dan objek
anggota badan lainnya. Ṭabāṭabā’ī menyebut penyifatan metaforis mental tersebut, tidak
proses replika tersebut dengan istilah isti’ārat lain adalah tindakan-tindakan bukan benda-
(metafora), sebagaimana isti’ārat dalam
benda kongkret.
terminologi bahasa dan sastra untuk Berdasarkan penjelasan di atas, maka
menunjuk makna yang bukan makna aslinya. berkenaan dengan moralitas atau nilai-nilai
moral, boleh dan tidak boleh, baik dan buruk,
27
Ṭabāṭabā’î, Nihāyat Al-Ḥikmah, 485. dapat ditegaskan bahwa Ṭabāṭabā’ī
28
Ṭabāṭabā’î, Uṣūl-i Falsafeh va Ravishe meyakininya bukan sebagai sesuatu yang
Ri’ālism, 568.

DOI: 10.15408/iu.v%vi%i.14760
Basrir Hamdani, Realisme Moral dalam Pandangan Ṭabāṭabā’ī... 29

faktual, bukan pula sebagai sifat esensial esensial (baik pada diri tindakan itu
(dzātī) dan niscaya (ḍarūri) bagi suatu objek sendiri, pen.), karena jika kita tidak
eksternal termasuk tindakan, karena jika melihat kebaikan itu terletak pada
demikian maka setiap tindakan bernilai tetap ‘keselarasan’ dengan tabiat mereka,
dan tidak mungkin berbeda-beda bagi setiap (melainkan pada perbuatan
subjeknya. Jika tindakan ‘belajar’ nilainya sebagaimana perbuatan, pen.) maka
adalah baik dan bersifat esensial, maka tidak niscaya tindakan tersebut bernilai baik
mungkin bernilai kebalikannya bagi subjek pula bagi kaum lain meskipun mereka
yang berbeda, namun pada kenyataannya tidak menganggapnya baik. Tidak pula
‘belajar’ tidak selalu baik bagi semua orang, kebaikan tindakan tersebut karena
bagi orang yang tidak memerlukannya, belajar keselarasan dengan tabiat dari segi
adalah kesia-siaan dan tidak berdampak bahwa kebaikan adalah sifat bagi jiwa-
positif baginya. Lebih jauh, menurut jiwa manusia sehingga berlaku seperti
Ṭabāṭabā’ī, nilai moral adalah sifat yang rasa lezat dan sakit, melainkan kebaikan
dilekatkan secara nisbi atau relatif dan adalah sifat yang dipersepsi secara
imaginatif, bukan esensial atau niscaya, bagi imaginatif berdasarkan tindakan. Tidak
subjek tertentu terhadap tindakan, tujuan, dan ada tindakan yang baik secara esensial
kebutuhannya. Nilai ‘baik’ dan ‘buruk’, dan niscaya, karena jika demikian maka
sebagaimana telah dijelaskan sekilas, secara tidak mungkin [bagi semua tindakan]
konsepsinya diciptakan oleh mental secara tidak bernilai baik, melainkan ‘baik’
imaginatif sebagai sebuah persepsi untuk secara niscaya imaginatif (baik secara
menyifatkan suatu tindakan yang memiliki niscaya karena selaras dengan tabiat).29
kesesuaian (mulā’amah) atau tidak (ghair
mulā’amah) dengan tujuan dan kebutuhan Nilai moral tidak terdapat pada tindakan
hidup subjek tertentu. Nilai tersebut tidak sebagai sebuah sifat esensial dan niscaya
dicerap secara langsung dan niscaya (ḍarūrī) darinya sehingga memungkinkan mental
dari suatu tindakan, melainkan dipersepsi untuk memersepsinya secara langsung dan
konsep ‘baik’ atau ‘buruk’ dapat
secara imaginatif dari tindakan ketika
dikategorikan sebagai persepsi faktual serta
dikaitkan dengan tujuan dan kebutuhan
dapat dijustifikasi secara faktual pula dengan
subjek; apakah tindakan tersebut dapat
mengantarkan kepada kesempurnaan atau argumentasi logis. Akan tetapi nilai moral
tidak baginya. Dalam kitab Majmū’ Rasā’il, merupakan sifat dari suatu tindakan ketika
Ṭabāṭabā’ī menegaskan bahwa: dikaitkan dengan tujuan, kebutuhan, dan
Kebaikan suatu tindakan [belajar, tabiat subjek dalam bingkai keselarasan atau
misalnya] tidak lain karena selaras tidak, sehingga darinyalah mental secara
imaginatif menciptakan konsep ‘baik’ dan
dengan fitrah suatu kaum berdasarkan
‘buruk’ bagi suatu tindakan. Dan dari
tradisi (‘adat) yang familier di tengah-
ketentuan ‘keselarasan atau tidak’ justifikasi
tengah mereka, sehingga mereka
nilai moral dapat dilakukan; akan benar
cenderung terhadapnya karena diyakini
(melakukannya) merupakan
kesempurnaan bagi mereka. Kebaikan
pada tindakan tersebut tidak bersifat
29
Ṭabāṭabā’ī, Majmū’at Rasā’il al-‘Allamah al-
Ṭabāṭabā’i, 352.
30 Ilmu Ushuluddin, Volume 7, Nomor 1, Januari 2020

bernilai baik jika memenuhi syarat selaras dan agama, sebagaimana yang diyakini kaum
tidak benar jika sebaliknya. naturalis, adalah sumber-sumber perseptual
bagi konsep moral. Berbeda dengan
Respons terhadap Naturalisme dan kognitivisme, non kognitivisme seperti
Emotivisme (Anti-Realisme) Moral emotivisme meyakini selain tindakan adalah
Berdasarkan elaborasi tentang netral, tetapi juga tidak ada nilai apa pun pada
pandangan moralnya yang berangkat dari apa yang disebut dengan konsep moral. Pada
analisis isu persepsi di atas, gagasan meta- titik ini pun bahwa suatu tindakan adalah
etika (filsafat moral) Ṭabāṭabā’ī memiliki netral, berdasarkan penjelasan sub bab
posisi tersendiri di antara paham-paham meta- sebelumnya, gagasan meta-etika Ṭabāṭabā’ī
etika lainnya seperti kognitivisme, khususnya memiliki kesamaan dengan kedua paham di
naturalisme, non-kognitivisme dengan paham atas. Namun demikian, titik perbedaannya
emotivismenya, dan relativisme. Meta-etika terletak pada anggapan Ṭabāṭabā’ī bahwa
Ṭabāṭabā’ī dapat pula dijadikan alternatif konsep moral bersifat imaginatif (persepsi
sudut pandang di tengah-tengah problematika I’tibārī).
moralitas yang masih aktual diperbincangkan. Konsep moral tidak bersumber dari
Keunikan pandangan meta-etika fakta non moral dan tidak pula tidak bernilai
Ṭabāṭabā’ī dari segi epistemologis dan atau tidak bermakna, melainkan dicerap oleh
ontologis berdasarkan teori I’tibāriyat dapat mental dari upaya imaginatif-kreatifnya yang
ditemukan, paling tidak, pada dua hal, yaitu tetap berpijak pada tindakan itu sendiri,
prinsip imaginatif-relatif-kognitif moral dan tujuan, dan karakter/tabiat (ṭabi’at) setiap
prinsip eksistensi moral dalam tiga rangkaian individu yang berkaitan dengan kebutuhan
komponen. Berikutnya, pemaparan kedua hidupnya. Ketiga rangkaian unsur tersebut,
prinsip ini penulis jadikan sekaligus sebagai tentu, bukanlah sesuatu di luar moral, tetapi
respons terhadap paham-paham meta-etika bukan pula sumber langsung dari konsep
modern, khususnya naturalisme moral dan moral. Nilai ‘baik’ dan ‘buruk’ adalah konsep
emotivisme moral. Berikut ini penjelasannya: imaginatif mental yang disifatkan kepada
suatu tindakan dengan mempertimbangkan
1. Epistemologi Moral: Imaginatif-Relatif- unsur-unsur lain, yaitu tujuan dan karakter
Kognitif individu. Konsep moral tidak secara langsung
Polemik seputar moralitas pada ranah dicerap dari tiga serangkai unsur tersebut,
meta-etika terpulang pada penelusuran secara akan tetapi ketiga rangkaian unsur tersebut
epistemologis. Keputusan justifikasi moral adalah objek pertimbangan bagi mental untuk
baik kognitivisme dan non-kognitivisme menyifatkan suatu konsep moral. Dari tiga
bersinggungan pada anggapan bahwa nilai serangkai unsur tersebut mental mencerap
moral tidak dapat dipersepsi atau dicerap secara langsung konsep keutamaan yang
secara langsung dari suatu tindakan. Kedua
membuat suatu tindakan harus atau tidak
paham di atas menganggap bahwa suatu harus/boleh dilakukan. Dari konsep
tindakan bersifat netral. Nilai moral keutamaan dan konsep ‘harus’ (al-wujūb al-
dikonsepsi dari hal-hal di luar tindakan (non ‘am), yang juga persepsi imaginatif (I’tibārī)
moral instrumen), misalnya keinginan mental menyifatkan persepsi imaginatif ‘baik’
individu, kesepakatan sosial, dan perintah atau ‘buruk’ jika, sebaliknya, dari suatu

DOI: 10.15408/iu.v%vi%i.14760
Basrir Hamdani, Realisme Moral dalam Pandangan Ṭabāṭabā’ī... 31

tindakan mental mencerap ‘tidak nilai kebenarannya dengan hal-hal faktual di


mendatangkan keutamaan’ dan ‘tidak harus’ luar moral dan, di sisi lain, paham non
dilakukan. Ṭabāṭabā’ī menegaskan: “Maka kognitivisme-emotivisme menganggap
jelaslah bahwa kebaikan mutlak pada proposisi moral tidak mungkin diukur nilai
tindakan memiliki bentuk relasi, yaitu relasi kebenarannya, karena tidak termasuk
keniscayaan atau keutamaan (awla), dan proposisi afirmatif, melainkan hanyalah
[konsep] ‘baik’ adalah konsep imaginatif ekspresi emosional subjek, maka Ṭabāṭabā’ī
(I’tibārī). Demikian pula halnya pada memosisikan proposisi moral sebagai
keburukan.”30 proposisi afirmatif yang dapat dijustifikasi
Keutamaan (awlawiyah) pada suatu namun tidak memperlakukannya seperti
tindakan moral yang menjadi penentu bagi proposisi faktual yang dinilai hukumnya
subjek atau pelaku untuk harus melakukan dengan demonstrasi akal sesuai dengan
atau tidak harus (yanbaghi aw lā yanbaghi) hukum-hukum logika.
melakukannya, menurut Ṭabāṭabā’ī, terletak Sekilas gagasan Ṭabāṭabā’ī
pada efek yang ditimbulkan oleh tindakan bersinggungan dengan kognitivisme-naturalis
tersebut, yaitu dapat mengantarkan subjek dalam hal kemungkinan justifikasi proposisi
pada kesempurnaannya atau fitrahnya sebagai moral karena termasuk dalam proposisi
manusia. Ia menyatakan bahwa: afirmatif, namun berbeda dalam hal
([konsep] ‘harus’ dan ‘tidak harus’ metodenya. Menurut Ṭabāṭabā’ī, justifikasi
melakukan suatu tindakan) merupakan proposisi moral haruslah dengan tetap
konsep imaginatif (I’tibārī) pertama mempertimbangkan tindakan moral itu sendiri
yang dicerap fitrah (jiwa) manusia bukan dengan sesuatu di luar moral (non
untuk mengantarkannya kepada moral instrumen) sebagaimana klaim
keutamaan secara esensial dan kognitivisme-naturalis. Hanya saja, ia
kesempurnaan mutlak nan hakiki … 31
menambahkan, proposisi moral tidak dapat
Hal ini mempertegas dalam etika dihukum dengan metode demonstrasi
normatif bahwa Ṭabāṭabā’ī termasuk filsuf (burhān) sesuai dengan kaidah-kaidah logika,
yang menganut paham etika keutamaan atau melainkan dengan kriteria lain tetapi masih
virtue ethics sebagaimana mayoritas filsuf terkait dengan tindakan, yaitu dengan melihat
pendahulunya seperti Alfarabi dan Ibnu Sina. aspek keselarasan (mulā’amah) antara
Berbanding lurus dengan perbedaan tindakan dan fitrah (ṭabi’at) pelaku. Suatu
pandangan menyangkut konsep moral di atas tindakan dapat diberi hukum benar bernilai
dengan paham kognitivisme dan non- ‘baik’ jika terjadi keselarasan antara tindakan
kognitivisme, maka gagasan Ṭabāṭabā’ī dalam dan fitrah pelaku (kesempurnaannya) dan,
hal justifikasi kebenaran nilai moral pun sebaliknya, benar bernilai ‘buruk’ jika tidak
memiliki perbedaan yang cukup tegas. Jika terjadi keselarasan (ghair mulā’amah) antara
kognitivisme memperlakukan proposisi moral keduanya, sebagaimana telah dijelaskan.
seperti proposisi faktual namun mengukur Relasi keniscayaan antar subjek dan predikat
dalam proposisi moral tidak dapat dilihat
30
Ṭabāṭabā’î, Majmu’at Rasā’il Al-‘Allamah Al- langsung pada makna antara kedua term
Ṭabāṭabā’ī, 352. (subjek dan predikat dalam proposisi),
31
Ṭabāṭabā’î, Majmu’at Rasā’il Al-‘Allamah Al- melainkan dari efek yang ditimbulkan oleh
Ṭabāṭabā’ī, 347.
32 Ilmu Ushuluddin, Volume 7, Nomor 1, Januari 2020

tindakan bersama dengan tujuan dan fitrah bahwa tidak ada satu kaidah moral yang benar
pelakunya. Misalnya, sebagaimana contoh atau paling masuk akal, sebaliknya semua
sebelumnya, ‘belajar adalah baik’, relasi kaidah moral yang berbeda secara substansial
kebenaran predikasi ‘baik’ bagi subjek adalah semuanya benar dan tidak ada yang
‘belajar’ tidak didapati secara langsung, tetapi paling di antara yang lainnya.33 Lebih jauh,
ketika efek ‘belajar’ dikaitkan dengan tujuan relativitas moral menurut Ṭabāṭabā’ī tidak
dan fitrah pelaku. melihat bahwa nilai moral tidak memiliki
Berangkat dari kriteria penilaian yang basis yang objektif melainkan subjektivitas
didasarkan pada relasi tindakan dengan tujuan seseorang sehingga menegasikan suatu
dan fitrah pelaku, nilai ‘benar-salah’ proposisi kebenaran objektif. Ketidak-tetapan dan
moral tidak dapat berlaku universal, ketidak-niscayaan sifat ‘baik’ dan ‘buruk’
mengingat setiap individu pelaku memiliki pada suatu tindakan tidak berarti tidak ada
tujuan dan fitrah (ṭabi’at) yang berbeda-beda. kebenaran moral objektif, melainkan
Oleh sebab itu, nilai hukum proposisi moral kebenaran moral tersebut akan terbukti seiring
sangat tergantung pada subjek yang terpenuhinya syarat, yaitu keselarasan
melakukan berikut tujuan dan fitrahnya (mulā’amah) antara tindakan, tujuan, dan
sendiri yang berbeda dengan pelaku lainnya. tabiat pelaku yang mencerminkan keutamaan
Berdasarkan penjelasan ini, nilai hukum atau non-keutamaan. Moralitas pada ‘belajar
proposisi moral dapat dikategorikan bersifat adalah baik’, misalnya, adalah benar dan akan
relatif. Ṭabāṭabā’ī menyebutkan bahwa ‘baik’ selalu demikian selama berkesesuaian dengan
dan ‘buruk’ merupakan dua sifat I’tibārī tujuan dan tabiat pelaku yang memang
(imaginatif) dan relatif yang sangat terkait menuntut penyifatan dengan sifat ‘baik’. Jadi
pada bentuk struktur semangat masyarakat relativitas moral dalam meta-etika Ṭabāṭabā’ī
atau pikiran (tabiat) kita.32 Dengan kata lain, tidak dalam makna bahwa tidak ada satu
penyifatan suatu tindakan dengan sifat ‘baik’ kebenaran moral dan setiap orang tidak bisa
dan ‘buruk’ tidak bersifat niscaya jika ditinjau menghukumi moral orang lain, karena
dari tindakan sebagaimana tindakan, semuanya benar sesuai dengan subjektivitas
melainkan sangat terkait, pada tahap masing-masing, sebagaimana klaim
34
berikutnya, dengan tujuan dan tabiat pelaku. relativisme ekstrim dalam meta-etika.
Sifat ‘baik’ dan ‘buruk’ berlaku tidak tetap
dan tidak niscaya, akan tetapi berubah-ubah 2. Ontologi Moral: Eksistensi Moral dalam
atau berlaku relatif mengikuti tujuan dan Tiga Serangkai Komponen
tabiat individu atau masyarakat tertentu. Hal Sebagai seorang filsuf realis, tidak
ini pulalah yang semakin menegaskan bahwa terkecuali dalam moralitas dan etika,
sifat baik dan buruk adalah sifat I’tibārī Ṭabāṭabā’ī meyakini bahwa nilai moral
memiliki objektivitas dan bukan sekedar
(imaginatif) suatu tindakan.
kreasi subjektif mental. Namun demikian,
Dalam hal ini, gagasan relativitas moral
Ṭabāṭabā’ī tidak sampai pada titik relativisme
ekstrim atau disebut juga dengan istilah 33
Mohammad A. Ṣomali, Ethical Relativism:
An Analysis of the Foundations of Morality,
“meta-etika relativisme” yang menganggap diterjemahkan oleh Zaimul Am, (Jakarta: Sadra Press,
2011), 50-51.
32
Ṭabāṭabā’ī, Uṣūl-i Falsafeh va Ravisye 34
Piers Benn, Ethics, (London: UCL Press,
Ri’ālism, 576. 1998), 18.

DOI: 10.15408/iu.v%vi%i.14760
Basrir Hamdani, Realisme Moral dalam Pandangan Ṭabāṭabā’ī... 33

menurutnya, eksistensi nilai moral tidak tindakan tersebut harus ditinggalkan atau
semata terdapat pada tindakan sebagaimana tidak harus dilakukan. Dari sifat esensial
tindakan atau tindakan an sich, karena jika keutamaan dan ketidakutamaan, harus dan
demikian nilai moral pada setiap tindakan tidak harus dilakukannya suatu tindakan
tidak akan berbeda-beda bagi semua orang. bersama tujuan dan tabiat pelaku inilah
Misalnya, tindakan ‘memukul’ niscaya akan kemudian mental menyifatkan konsep I’tibārī
bernilai buruk bagi siapa pun, meskipun bagi ‘baik’ dan ‘buruk’. Sifat ‘baik’ dan ‘buruk’
orang tertentu akan menganggapnya baik memang tidak dicerap secara langsung dari
ketika itu dilakukan untuk mempertahankan suatu tindakan, namun penyifatannya tetap
diri saat ia dianiaya orang lain. Hal ini, memiliki alasan atau konteks (qarīnah),
menurut Ṭabāṭabā’ī, menunjukkan bahwa keutamaan atau tidak dan harus atau tidak
nilai moral tidak bersumber langsung dari harus, dengan realitas hakiki yaitu tindakan.
tindakan sebagai sifat esensialnya, “buruk” Dengan kata lain, keutamaan (awlawiyat) atau
bukanlah sifat esensial bagi “memukul” ketidakutamaan (ghair awlawiyat) merupakan
sehingga berlaku niscaya dan tetap pada alasan bagi keputusan harus (yanbaghi) atau
semua tindakan ‘memukul’ dan oleh siapa tidak harus (lā yanbaghi) dilakukannya suatu
pun.35 Selain itu, hal ini tidak pula berarti tindakan. Selanjutnya, harus dan tidak harus
bahwa tindakan tidak memiliki nilai sama adalah alasan bagi mental untuk menyebut
sekali, sebagaimana nihilisme yakini, suatu tindakan ‘baik’ atau ‘buruk’; sifat
sehingga mental tidak menangkap apa pun ‘harus’ meniscayakan mental untuk menyebut
darinya dan nilai moral hanyalah ekspresi dari suatu tindakan sebagai ‘baik’ dan sifat ‘tidak
emosi pelaku atau orang lain, sebagaimana harus’ meniscayakan mental untuk menyebut
klaim emotivisme. Sebaliknya, setiap ‘buruk’ tindakan tersebut. Hal ini
tindakan tetap memiliki nilai yang selalu sebagaimana ditegaskan oleh Ṭabāṭabā’ī
menjadi pertimbangan bagi seseorang untuk bahwa pertimbangan keharusan melakukan
melakukan atau tidak. Nilai tersebut berada suatu tindakan merupakan keniscayaan bagi
pada tindakan bersama dengan tabiat pelaku penyifatan sifat baik oleh mental terhadap
dan tujuan atau kebutuhan hidupnya. Ketiga tindakan tersebut dan, sebaliknya,
rangkaian komponen tersebut merupakan pertimbangan ketidakharusan untuk
sumber dari nilai moral berupa nilai melakukan suatu tindakan adalah keniscayaan
keutamaan atau sebaliknya yang kemudian bagi mental untuk menyifati secara I’tibārī
menjadi objek bagi mental untuk memersepsi sifat buruk terhadap tindakan.36
konsep ‘baik’ dan ‘buruk’ dan menyifati suatu Rangkaian tindakan bersama dengan
tindakan dengannya. tujuan dan tabiat pelaku bukanlah objek
Berdasarkan penjelasan di atas, sifat sesungguhnya (hakiki) bagi konsep ‘baik’ dan
esensial tindakan ketika dikaitkan dengan ‘buruk’, sebab keduanya bukanlah makna
tabiat dan tujuan pelaku adalah keutamaan yang dapat diaplikasikan atau
sehingga tindakan tersebut harus dilakukan dikorespondensikan secara hakiki terhadap
atau, sebaliknya, tidak utama (membawa tiga serangkai tersebut. Konsep ‘baik’ dan
kepada ketidaksempurnaan) sehingga ‘buruk’ dicerap dan disifatkan mental secara

35
Ṭabāṭabā’î, Majmu’at Rasā’il al-‘Allamah al- 36
Ṭabāṭabā’î, Majmu’at Rasā’il Al-‘Allamah Al-
Ṭabāṭabā’ī, 352. Thabāthabā’i, 353.
34 Ilmu Ushuluddin, Volume 7, Nomor 1, Januari 2020

I’tibārī dengan tetap berangkat dari Ṭabāṭabā’ī juga bersinggungan dengan


pertimbangan tiga serangkai tersebut. Jadi, Emotivisme dalam hal bawa tindakan pada
fungsi tiga serangkai tersebut adalah dirinya sendiri (action an sich) adalah netral,
materi/bahan pertimbangan dan sumber yang tidak ada nilai baik dan buruk, atau ‘baik’ dan
di dalamnya terdapat alasan kesesuaian ‘buruk’ bukanlah sifat esensial yang dapat
penyifatan, bukan objek yang dipresentasikan dicerap secara langsung, namun berbeda
secara langsung sebagaimana persepsi hakiki. dengan Emotivisme yang mengklaim
Meski demikian, bukan berarti nilai moral moralitas hanyalah ekspresi dari luapan emosi
bersifat subjektif dan ilusif, melainkan riil dan seseorang, melainkan realitas objektif yang
objektif yang terjaga oleh ketiga rangkaian ada pada tindakan bersama dengan tujuan dan
antara tindakan, tujuan dan tabiat pelaku. tabiat pelaku. Hal ini menegaskan pula, di
saat yang bersamaan, bentuk realisme moral
Simpulan yang dianut oleh Ṭabāṭabā’ī.
Investigasi dan analisis terhadap teori Selain itu, keunikan meta-etika
I’tibāriyat ‘Allamah Ṭabāṭabā’ī yang Ṭabāṭabā’ī berdasarkan teori I’tibāriyat
memperlihatkan salah satu jenis konsep adalah menekankan pada relativisme moral
I’tibāri berupa konsep moral, ‘baik’ dan meskipun bukan dengan makna ekstrem yang
‘buruk’ merefleksikan suatu bentuk meta- menentang adanya kebenaran objektif moral.
etika yang unik. Secara sekilas gagasan Hal ini ditunjukkan dalam prinsip bahwa
Ṭabāṭabā’ī ini, di satu sisi, mengafirmasi penyifatan sifat ‘baik’ dan ‘buruk’ oleh
beberapa aliran meta-etika modern seperti mental terhadap tindakan sangat terkait
Naturalisme moral dan Emotivisme moral dengan tujuan dan tabiat individu dan
dari sudut pandang masing-masing, namun, di kelompok pelaku tertentu yang berbeda
sisi lain, berbeda jauh dengan keduanya. dengan individu dan kelompok lain.
Meta-etika Ṭabāṭabā’ī berangkat pada poin Berangkat dari keunikan-keunikan meta-etis
yang sama dengan Naturalisme bahwa tersebut berdasarkan teori I’tibāriyat, dua hal
moralitas dapat dijustifikasi, namun berbeda menyangkut moralitas dapat direfleksikan,
dengan klaim Naturalisme bahwa moralitas yaitu: status epistemologis moral adalah
diperlakukan seperti benda-benda faktual, Imaginatif-Relatif-Kognitif dan status
“nilai adalah fakta”, dan dihukum dengan ontologis moral adalah Eksistensi Moral
sesuatu di luar moral, melainkan moralitas dalam Tiga Serangkai Komponen. Kedua
harus perlakukan sebagai nilai yang ada pada bentuk refleksi ini dalam elaborasinya
tindakan atau moral dan dihukum dengan sekaligus merupakan respons terhadap klaim-
realitas tindakan itu sendiri. Hal ini klaim meta-etika, khususnya dari Naturalisme
ditegaskan dalam teori I’tibāriyat bahwa nilai moral dan Emotivisme moral yang bersifat
moral secara objektif terdapat dalam tindakan Anti-Realis.
yang terangkai dengan tujuan dan tabiat
pelaku yang melahirkan sifat keutamaan Pustaka Acuan
(awlawiyah) atau kontra-keutamaan (ghair Amal, Taufik Adnan dan Panggabean,
awlawiyah) dan darinyalah mental secara Syamsurizal. Tafsir Kontekstual Al-
kreatif memersepsi secara tidak langsung Qur’an, Bandung: Mizan, 1989.
konsep ‘baik’ dan ‘buruk’. Meta-etika

DOI: 10.15408/iu.v%vi%i.14760
Basrir Hamdani, Realisme Moral dalam Pandangan Ṭabāṭabā’ī... 35

Baljon, J.M.S. Modem Muslim Koran Miller, Alexander. An Introduction to


Interpretation, Leiden E J Brill, 1968. Contemporary Metaethics. UK: Polity
Press, 2003.
Benn, Piers. Ethics, London: UCL Press,
1998. -------. “Non-Cognitivism.” In The Routledge
Companion to Ethics, edited by John
Baqirshani, Ali Naqi, “Dasar-dasar Nilai
Skorupsi. USA: Routledge, 2010.
Moral Studi Komparatif atas Pandangan
Allamah Thabathaba’i dan Ayatullah Nasr, Sayyid Hosen. “Sang Alim dari Tabriz",
Muthahhari”, Al-Huda: Jurnal Kajian dalam Thabathaba'i”, Menyingkap
ilmu-ilmu Islam, Vol. 1, No. 2. 2000. Rahasia Al-Qur’an, terj. A Malik
Madaniy dan Hamim Ilyas, Bandung
Baqir, Haidar (peny), S H Nasr, “Tentang
Mizan, 1993.
Penulis", dalam Thabathaba’i, Hikmah
Islam, Bandung: Mizan, 1993. Perry, R. B. Realms of Value. Cambridge:
Harvard University Press, 1954.
Fisher, Andrew. Metaethics: An Introduction.
UK: Acumen Publishing, 2011. Pigden, Charles R. “Naturalism.” In A
Companion to Ethics, edited by Peter
Frankena. William K. Ethics. USA: Prentice-
Singer. UK: Blackwell Publisher Ltd,
Hall International Inc, 1973.
1993.
Gray, James W. A Free Introduction to Moral
Shomali, Mohammad A. Ethical Relativism:
Philosophy, 2010.
An Analysis of the Foundations of
Haleem, Muhammad Abdul. Understanding Morality, terj. Zaimul Am. Jakarta:
the Qur'anic Themes and Style, New Sadra Press, 2011.
York: I.B Tauris Publisher, 1999.
Ṭabāṭabā’ī, Muḥammad Ḥusein. Nihāyat Al-
Hamdani, Basrir. Modus Realisme Ḥikmah. Qom: Mu’assese-i Āmuzesy-i
Berdasarkan Teori Persepsi I'tibāriyat va Phezuhesy-i Imām Khumeini, 1390
Ṭabāṭabā’ī. Disertasi program Doktoral H.
pada al-Mustafa International
-------. Bidāyat Al-Hikmah, Qum: Muassasah
University - Iran yang telah disidangkan
An-Nasyr Al-Islami, 1422 H.
pada 29 Maret, 2016.
-------. Uṣūl-i Falsafeh va Ravisye Ri’ālism.
Hasan Mu’allimi, Dkk. Tārīkh Falsafeh
Iraq: al-Mu’assasah al-‘Iraqiyah, 1418
Islāmī. Qom: Markaz Jahāni ‘Ulūm
H.
Islāmī, 1385 H.
-------. Majmū’at Rasā’il Al-Allamah Al-
Husein, Fatimah. Fazlur Rahman’s Islamic
Ṭabāṭabā'ī. Qom: Maktabah Fadak,
Philosophy, Metreal: Institute of Islamic
2007.
Studies McGill University, Tesis, 1997.
-------. “Hidupku” dalam, Inilah Islam:
Irawan, Bambang. “Pemikiran Epistemologi
Upaya Memahami seluruh Konsep
Ṭabāṭabā’ī”, Teologia: Jurnal Ilmu-ilmu
Islam secara Mudah, Bandung: Pustaka
UShuluddin, Vol. 25, No. 1, Semarang:
Hidayah, 1996.
Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo,
2014. Yazdi, M. Taqi Miṣbaḥ. Al-Manhāj Al-Jadīd
36 Ilmu Ushuluddin, Volume 7, Nomor 1, Januari 2020

Fi Ta’līm Al-Falsafah. Beirut: Dār al-


Ta’aruf wa al-Maṭbū’at, 1998.
Yazdi, Mahdī Ḥāirī. The Principles of
Epistemology in Islamic Philosophy:
Knowledge by Presence, New York:
State University of New York Press,
1992.
------. Epistemologi Iluminasionis dalam
Filsafat Islam: Menghadirkan Cahaya
Tuhan, terj. Ahsin Muhammad,
Bandung: Mizan, 2003.

DOI: 10.15408/iu.v%vi%i.14760

You might also like