You are on page 1of 12

Neraca Massa Pengomposan TKKS Sugiharto et al

TINJAUAN NERACA MASSA PADA PROSES PENGOMPOSAN TANDAN


KOSONG KELAPA SAWIT DENGAN PENAMBAHAN AIR LIMBAH
PABRIK KELAPA SAWIT
[A Review of Mass Balances in Composting Process of Empty Fruit Bunches by
Addition of Palm Oil Mill Effluent]

Ribut Sugiharto*, Erdi Suroso, dan Budi Dermawan


Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung
Jl. Soemantri Brodjonegoro No. 1 Gedong Meneng Bandar Lampung 35145
*Email korespodensi: ribut.sugiharto@fp.unila.ac.id

Diterima : 17-10-2015
Disetujui : 20-02-2016

ABSTRACT
The waste generated from oil palm mills in the form of empty fruit bunches (EFB)
and palm oil mill effluent (POME) can be used utilized to be processed into compost,
which is beneficial for treating waste from palm oil mills as well as generate organic
fertilizer that can be applied to land. The research was conducted to determine the mass
balance in the form of input and output during the compost production process and carried
out in a pilot scale in order to give an idea if composting is done on a large scale. This
research aimed to analyze the mass balance of composting process of EFB and POME and
calculate C/N ratio of EFB and compost, respectively. The research was conducted in a
descriptive experimental method and data were presented in tables and graphs. The
composting is carried out in two replications and without treatment. The composting was
carried out for 54 days, during the research, temperature, pH and water content were
monitored. The results showed that the maximum temperature during the composting
process were 49.9 to 50.90 °C, the pH value were 6.85 to 7.94, the water content during
were 76.81 to 77.88%. Overall, the input as EFB and POME were 34.91 to 37.33% and
POME 62.67 to 65.09%, respectively. The Output in form of leachate and compost were
about 27.02 to 27.58%, and 24.04 to 26.09%, respectively, and evaporated materials were
about 46.33 to 48.94%. For composing, 1.0 ton EFB required POME about 1.57 to 1.74
m3, produced compost about 688.62 to 698.85 kg, leachate about 0.724 to 0.758 m3
(density = 1.02 kg/dm3), and evaporated material about 1241.26 to 1401.95 Kg. The C/N
ratio on EFB was 28.86 and C/N ratio of the compost was 8.91.
Keywords: empty fruit bunches, mass balance, palm oil mill effluent

ABSTRAK
Perkembangan agroindustri kelapa sawit di Indonesia berjalan dengan sangat pesat.
Seiring dengan itu, limbah yang dihasilkan juga semakin banyak. Limbah berupa tandan
kosong kelapa sawit (TKKS) dan air limbah pabrik kelapa sawit (ALPKS) dapat
dimanfaatkan untuk diolah menjadi kompos. Pengomposan bermanfaat untuk mengolah
limbah sekaligus menghasilkan pupuk organik yang dapat dimanfaatkan untuk lahan.
Penelitian dilakukan untuk mengetahui neraca massa berupa input dan output selama
proses pengomposan serta dilakukan dalam skala pilot agar dapat memberikan gambaran
apabila pengomposan dilakukan dalam skala besar. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui neraca massa dari proses pengomposan TKKS dengan penambahan ALPKS
pada skala pilot agroindustri kelapa sawit dan menghitung jumlah C/N rasio dari Tandan
Kosong Kelapa Sawit dan kompos. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif dan
data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Selama penelitian, dilakukan pengamatan
terhadap suhu, pH, kadar air, kadar karbon, kadar nitrogen, dan C/N rasio. Pengomposan

Jurnal Teknologi Industri & Hasil Pertanian Vol. 21 No.1, Maret 2016 51
Sugiharto et al Neraca Massa Pengomposan TKKS

dilakukan dalam dua ulangan dan tanpa perlakuan. Lama pengomposan adalah 54 hari.
Hasil penelitian menunjukkan, suhu maksimum selama proses pengomposan sebesar 49,9 –
50,90 °C. Nilai pH pada pengomposan sebesar 6,85 – 7,94. Kadar air rata – rata selama
pengomposan sebesar 76,81 - 77,88 %. Total secara keseluruhan, input berupa TKKS yang
digunakan sebanyak 34,91- 37,33 % dan ALPKS sebanyak 62,67- 65,09 %. Output berupa
lindi sebanyak 27,02 - 27,58 %, kompos sebanyak 24,04 - 26,09 %, dan bahan yang
menguap sebanyak 46,33 - 48,94 %. Massa jenis ALPKS sebesar 1,071 Kg/dm3, sehingga
jika data TKKS dikonversikan dalam ton, maka 1 ton TKKS memerlukan ALPKS
sebanyak 1,57 - 1,74 m3. Hasil yang diperoleh, berupa kompos sebanyak 688,62 - 698,85
Kg, lindi sebanyak 0,724 – 0,758 m3 (massa jenis = 1,02 Kg/ dm3) dan bahan yang
menguap sebanyak 1241,26 - 1401,95 Kg. C/N rasio pada Tandan Kosong Kelapa Sawit
sebesar 28,86 dan C/N rasio kompos sebesar 8,91.
Kata kunci: air limbah pabrik kelapa sawit, neraca massa, tandan kosong kelapa sawit

PENDAHULUAN sebesar 7,4-9,8 kg/ton berat kering TKKS.


Kandungan nitrogen sebesar 0,75 kg/ton
Proses pengembangan agribisnis
berat kering ALPKS. Nilai C/N rasio
kelapa sawit merupakan salah satu
pada TKKS sebesar 35-45, hal ini yang
langkah yang sangatdiperlukan sebagai
menyebabkan proses degradasi berjalan
kegiatan pembangunan sektor perkebunan.
lambat jika dijadikan mulsa (Yeoh et al.,
Pola pengembangan pada berbagai
2010). ALPKS yang ditambahkan pada
subsistem yang sangat pesat terjadi sejak
TKKS, diharapkan akan mempercepat
menjelang akhir tahun 1970-an. Hal ini
terjadinya proses pengomposan karena
terlihat dari pertambahan luas areal
kandungan nitrogen yang tinggi pada
perkebunan kelapa sawit Indonesia yang
ALPKS (Schuchardt et al., 2002).
semula pada tahun 1970 sebanyak 133268
Proses pengomposan merupakan
ha dengan produksi CPO sebesar 216827
proses dekomposisi biologis dan stabilisasi
ton, telah meluas hingga menjadi
bahan organik dengan produk akhir yang
11300370 ha dengan produksi CPO
cukup stabil untuk memperbaiki tanah
sebanyak 31328306 ton pada tahun 2010
pertanian tanpa menimbulkan dampak
(Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015).
buruk terhadap lingkungan (Haug, 1993).
Menurut Schuchardt et al. (2002), apabila
Tujuan dari penambahan ALPKS adalah
sebuah pabrik kelapa sawit (PKS)
untuk menurunkan nilai C/N rasio dan
melakukan pengolahan maka ada
menjaga ketersediaan air pada TKKS.
sejumlah limbah yang dihasilkan. Limbah
ALPKS yang ditambahkan, diharapkan
yang berbentuk padat antara lain tandan
akan meningkatkan kadar nitrogen pada
kosong kelapa sawit (TKKS), cangkang,
bahan. Jumlah Nitrogen yang meningkat
dan serabut yang dihasilkan berturut-turut
akan menurunkan C/N rasio sehingga
adalah sebesar 23%, 15%, dan 13% dari
semakin mempercepat waktu
total bahan yang diolah. Jumlah air limbah
pengomposan (Schuchardt et al., 2002).
pabrik kelapa sawit (ALPKS) yang
Kadar C/N Rasio optimum TKKS adalah
dihasilkan adalah sebanyak 0,6- 0,65
30-40 (Oviasogie, et al,. 2010). Tujuan
m3/ton TBS.
lain dari penambahan ALPKS untuk
Tandan kosong kelapa sawit
mempertahankan jumlah kadar air yang
memiliki potensi bahan organik yang
dibutuhkan selama proses pengomposan.
tinggi, yaitu karbon sebesar 480-490
TKKS dan ALPKS yang dimanfaatkan
kg/ton berat kering TKKS dan nitrogen
sebagai bahan pengomposan sangat

52 Jurnal Teknologi Industri & Hasil Pertanian Vol. 21 No.1, Maret 2016
Neraca Massa Pengomposan TKKS Sugiharto et al

membantu dalam mengurangi pengolahan pengomposan dengan penambahan


limbah agroindustri kelapa sawit. ALPKS. Selama pengomposan, dilakukan
Selama pengomposan terdapat analisis neraca massa. Untuk menghitung
aliran input dan output bahan. Input neraca massa, dilakukan pengukuran kadar
merupakan jumlah bahan yang masuk air pada bahan, pH TKKS, jumlah air
dalam proses pengomposan, sedangkan lindi, dan kadar air kompos. Selain itu,
output adalah jumlah bahan yang keluar juga dilakukan analisis terhadap kadar C/N
selama proses pengomposan. Oleh karena rasio, pengukuran suhu, dan penghitungan
itu, perlu dilakukan penghitungan neraca air yang menguap.
massa proses pengomposan, supaya
diketahui aliran input dan output nya. Pelaksanaan Penelitian
Neraca massa merupakan aplikasi dari
Proses pengomposan dilakukan
hukum kekekalan massa yang menyatakan
dengan penumpukan TKKS dalam kotak
bahwa massa tidak dapat diciptakan atau
ukuran 1,5 meter x 1 meter x 1 meter.
dihancurkan. Dengan mengetahui neraca
Kotak diberi alas berupa terpal yang
massa, akan diketahui input nya berupa
terhubung ke penampung lindi. Kotak
jumlah TKKS maupun ALPKS yang
juga diberi atap berupa terpal untuk
terpakai dan output nya berupa kompos
melindungi dari air hujan. Sebelum
yang dihasilkan, jumlah air yang menguap,
dilakukan pengomposan, TKKS terlebih
air lindi yang keluar selama pengomposan
dahulu dicacah sehingga ukurannya lebih
serta keefektifan pengelolaan limbah.
kecil. Penyiraman ALPKS dilakukan
selama delapan minggu. Teknis
BAHAN DAN METODE penyiraman sebanyak dua kali dalam satu
Bahan dan Alat minggu. Pada proses penyiraman, jumlah
ALPKS yang ditambahkan ke TKKS
Bahan utama yang digunakan
diukur dengan gelas ukur. Jumlah ALPKS
untuk pembuatan kompos dalam penelitian
yang ditambahkan berbeda-beda.
ini adalah tandan kosong kelapa sawit
Penambahan ALPKS dilakukan hingga
(TKKS) dan air limbah pabrik kelapa
tumpukan terlihat jenuh. Indikator
sawit (ALPKS). Bahan-bahan tersebut
kejenuhan dapat terlihat dari air yang
semuanya didapatkan dari PTPN VII Unit
mulai merembes keluar dari tumpukan.
Usaha Bekri. Alat yang digunakan dalam
Selama proses pengomposan, dilakukan
penelitian terdiri dari peralatan
pembalikan untuk menjaga aerasi bahan.
laboratorium seperti: oven, termometer,
Proses pembalikan dilakukan sebanyak
cawan porselen, timbangan digital.
satu kali dalam satu minggu. Jadwal
Sedangkan peralatan yang digunakan di
pembalikan dilakukan pada hari Selasa
lapangan antara lain: kotak kayu ukuran
sedangkan penyiraman dilakukan pada
1,5 m x 1 m x 1m, terpal, sarung tangan.
hari Selasa dan Jumat. Proses pembalikan
dilakukan dengan cara mengeluarkan
Metode Penelitian
kompos mulai dari tumpukan teratas
Metode yang digunakan dalam hingga terbawah. Bahan lalu dimasukkan
penelitian ini adalah metode deskriptif, kembali ke kotak dengan urutan bahan
data hasil percobaan disajikan dalam yang berada pada posisi teratas dan
bentuk tabel dan grafik. Pada penelitian ini terbawah diletakkan dibagian tengah,
bahan baku berupa TKKS dilakukan begitu sebaliknya. Proses pengamatan

Jurnal Teknologi Industri & Hasil Pertanian Vol. 21 No.1, Maret 2016 53
Sugiharto et al Neraca Massa Pengomposan TKKS

dilakukan selama delapan minggu yang diperoleh dianalisis secara deskriptif,


meliputi pengamatan kadar air bahan serta disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
kompos, pH, dan jumlah lindi. Data yang Proses pengomposan disajikan Gambar 1.

Gambar 1. Diagram alir proses pengomposan

Pengamatan ditimbang. Selanjutnya sampel dipanaskan


kembali dalam oven selama 30 menit,
Pengamatan kadar air
didinginkan kembali dalam desikator dan
Kadar air kompos dianalisis ditimbang kembali beratnya. Hal ini
dengan mengacu pada penetapan kadar air dilakukan berulang-ulang hingga
di Badan Penelitian Tanah Departemen didapatkan berat sampel yang konstan
Pertanian (Eviati dan Sulaeman, 2009). (selisih penimbangan berturut-turut kurang
Sebanyak 25 g sampel ditimbang dalam dari 0,2 mg). Selisih antara berat basah dan
cawan yang telah diketahui berat berat kering merupakan kandungan air
keringnya. Kemudian dikeringkan dalam dalam bahan atau dapat dihitung dengan
oven pada suhu 100-105 ºC selama 12 jam, menggunakan perhitungan:
didinginkan dalam desikator dan
Berat kering -Berat basah
Kadar Air (b/b) = —————————— x 100%
Berat Basah

Nitrogen Total kemudian ekstrak diencerkan dengan


aquades hingga tepat 50 ml. Lalu dikocok
Analisis kandungan N-total pada
sampai homogen, dan dibiarkan semalam
tumpukan kompos menggunakan Metode
agar partikel mengendap. Ekstrak
Semi-Mikro Kjeldahl (Eviati dan
digunakan untuk pengukuran N dengan
Sulaeman, 2009). Sampel ukuran<0,5 mm
cara destilasi. Seluruh ekstrak contoh
ditimbang sebanyak 0,5 g, dan dimasukan
dipindahkan secara kualitatif ke dalam
ke dalam tabung digest. Lalu ditambahkan
labu didih (menggunakan aquades dan
1 g campuran selen dan 3 ml asam sulfat
labu semprot). Lalu ditambahkan sedikit
pekat, didestruksi hingga suhu 350 ºC (3-4
serbuk batu didih dan aquades hingga
jam). Proses destruksi selesai bila keluar
setengah volume labu. Disiapkan
uap putih dan didapat ekstrak jernih
penampung untuk NH3 yang dibebaskan
(sekitar 4 jam). Tabung diangkat dan

54 Jurnal Teknologi Industri & Hasil Pertanian Vol. 21 No.1, Maret 2016
Neraca Massa Pengomposan TKKS Sugiharto et al

yaitu erlenmeyer yang berisi 10 ml yang berisi contoh dan secepatnya ditutup.
asamborat 1% yang ditambah 3 tetes Didestilasi hingga volume penampung
indikator Conway (berwarna merah) dan mencapai 50–75 ml (berwarna hijau).
dihubungkan dengan alat destilasi. Destilat dititrasi dengan H2SO4 0,050 N
Dengan gelas ukur, tambahkan NaOH hingga warna merah muda. Catat volume
40% sebanyak 10 ml kedalam labu didih titar contoh (Vc) dan blanko (Vb).

Kadar Nitrogen (%) = (Vc-Vb) x N x 2,8 x CF


Vc, Vb = ml titar contoh dan blanko
N = normalitas larutan baku H2SO4
CF = faktor koreksi kadar air = 100/(100 – % kadar air)

Total C-organik kontak dengan pereaksi. Labu akan


Kandungan C-organik dianalisis menjadi panas saat asam sulfat
menggunakan metode Walkey and Black ditambahkan dan dibiarkan selama 30
(Eviati dan Sulaeman, 2009). Sampel menit. Sebanyak 100 ml air ditambahkan
sebanyak 0,2 g yang lolos ayakan 2 mm dan dibiarkan hingga dingin.
ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Menambahkan 5 ml H3PO4 pekat, 2,5 ml
Erlenmeyer 250 ml. Sebanyak 5 ml larutan NaF 4% dan 5 tetes indikator
K2Cr2O71 N ditambahkan ke dalam labu. difenilamin. Sampel dititrasi dengan
Kemudian ditambahkan 10 ml H2S04 pekat larutan Fe(NO4)2SO4 0,5 N hingga warna
dan digoyang secara perlahan dengan cara larutan berubah dari coklat kehijauan
memutar labu selama 2 menit. Diusahakan menjadi lebih keruh (turbid blue). Sampel
sampel jangan sampai naik ke atas bagian blangko disiapkan dan dilakukan prosedur
sisi gelas labu sehingga tidak terjadi yang sama.

ml K2Cr2O7 x [1 - (S/B)]
Kadar Karbon (%) = ——————————- x 0,3886 %
Berat Sampel
S = ml titrasi sampel
B = ml titrasi blanko

Suhu kemudian dilakukan pengukuran pH.


Pengukuran suhu dilakukan Sebelum dilakukan pengukuran, pH meter
dengan menggunakan termometer digital harus distandarisasi dahulu dengan
yaitu dengan cara memasukan termometer menggunakan larutan indikator pH 7,0
pada tumpukan kompos di tempat yang atau pH 4,0. Selanjutnya dilakukan
berbeda sebanyak dua tempat. Data yang pengukuran terhadap larutan sampel
didapatkan kemudian dihitung rata-ratanya dengan elektrodanya ke dalam larutan
dan kemudian dijadikan data suhu sampel dan dibiarkan beberapa saat sampai
pengomposan (Yuwono, 2009). diperoleh pembacaan yang stabil.
Pengukuran Derajat Keasaman (pH)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data derajat keasaman (pH)
mengacu pada AOAC No. 973.04 (1990), Suhu
yaitu dengan menggunakan pH meter. Proses pengamatan suhu dilakukan
Sebanyak 10 gr sampel dicampur dengan dua kali setiap minggu selama 54 hari
50 ml air, didiamkan selama 24 jam dan pengomposan. Proses pengamatan suhu

Jurnal Teknologi Industri & Hasil Pertanian Vol. 21 No.1, Maret 2016 55
Sugiharto et al Neraca Massa Pengomposan TKKS

dilakukan dengan menggunakan masing-masing titik dicatat. Nilai suhu


termometer digital, yaitu dengan cara pengomposan didapatkan dari jumlah rata-
menancapkan termometer pada tumpukan rata dari setiap tumpukan. Hasil
TKKS selama kurang lebih dua menit. pengukuran suhu pengomposan disajikan
Termometer ditancapkan pada dua titik pada Gambar 2.
tumpukan kompos, selanjutnya nilai dari

Gambar 2. Grafik pengamatan suhu pengomposan

Pada hari pertama hingga hari Mikroorganisme yang tidak mendapat


kelima terjadi peningkatan suhu yang substrat akan mati sehingga jumlah
cukup drastis. Suhu tumpukan adalah 29- mikroorganisme akan berkurang.
30ºC meningkat hingga 46-47ºC. Suhu tertinggi selama proses
Peningkatan ini terjadi karena energi yang pengomposan terjadi pada hari ke delapan,
dihasilkan selama proses fermentasi oleh yaitu mencapai 49,9ºC pada kotak 1 dan
mikroorganisme. Pada hari ke 5 hingga 50,90ºC pada kotak 2. Tahap termofilik
29, suhu pengomposan berkisar antara 46- terjadi pada hari ke lima hingga ke-15,
51ºC. Menurut Yurmiati (2008), suhu selanjutnya terjadi tahap mesofilik mulai
optimum untuk fase termofilik berkisar hari ke-16 hingga hari ke-58. Tahap
antara 50-70ºC dan akan terjadi setelah mesofilik ditandai dengan suhu berkisar
hari kedua. Mikroba yang dominan akan antara 15-45ºC. Menurut Erwan et al.
mulai mendekomposisi senyawa yang (2012), peningkatan suhu disebabkan oleh
mudah terlarut, yang mudah terdegradasi, energi panas yang dilepaskan dari oksidasi
yang mengandung nutrien tinggi, dan metabolik bakteri.
berukuran partikel yang relatif kecil. Pada
Derajat Keasaman (pH)
suhu 45-55ºC merupakan suhu optimum
untuk mendegradasi bahan yang Faktor lain yang berpengaruh
dikomposkan (Stentiford, 1996). Setelah terhadap proses pengomposan adalah pH.
hari ke 29, suhu perlahan-lahan menjadi Data pengamatan pH berfungsi sebagai
turun. Fenomena ini terjadi karena karbon indikator proses dekomposisi kompos.
yang ada di TKKS mulai berkurang, Reaksi kimia yang terjadi selama proses
sedangkan jumlah mikroorganisme banyak pengomposan menyebabkan perubahan
sehingga mikroorganisme saling berebut pada pH bahan yang dikomposkan.
karbon sebagai substratnya. Pengamatan pH dalam penelitian ini

56 Jurnal Teknologi Industri & Hasil Pertanian Vol. 21 No.1, Maret 2016
Neraca Massa Pengomposan TKKS Sugiharto et al

dilakukan di setiap pembalikan kompos, yang terambil benar-benar homogen.


yaitu dua kali setiap minggu. Sampel Pengamatan pH selama proses
diambil setelah dilakukan pembalikan pengomposan disajikan pada grafik
kompos. Hal ini dimaksudkan agar sampel pengamatan pH pengomposan (Gambar 3).

Gambar 3. Grafik pengamatan derajat keasaman (pH)

Nilai pH untuk awal pengomposan ekstrim pada kotak 1. Hal tersebut


pada kotak 1 adalah 6,85 dan pada kotak 2 kemungkinan besar terjadi karena jumlah
sebesar 7,01. Pada akhir pengomposan, pH mikroba yang ada di dalam kotak 1 lebih
pada kotak 1 dan kotak 2 sebesar 7,94 dan banyak melakukan proses amonifikasi
7,86. Fenomena kenaikan pH disebabkan daripada kotak 2. Menurut Razali et al.
peningkatan Amonia oleh reaksi biokimia (2012), fenomena kenaikan pH selama
dari bahan yang mengandung Nitrogen. proses pengomposan disebabkan oleh
Menurut Baharuddin et al. (2009), peningkatan amonia yang dihasilkan oleh
penambahan ALPKS pada proses reaksi biokimia dari bahan yang
pengomposan akan meningkatkan nitrogen mengandung nitrogen. Siklus perubahan
yang menjadi pemicu peningkatan pH pH dari asam ke basa dapat dikaitkan
selama proses pengomposan, dari pH asam dengan aktifitas mikroba dan proses
mendekati netral. penguraian amonia yang mengarah pada
Produksi amonia dari senyawa pembentukan NH4OH, sehingga kondisi
yang mengandung nitrogen akan asam bergerak ke arah basa. Pada
meningkatkan pH pada awal masa penelitian Baharuddin et al. (2009),
pengomposan. Menurut Kananam et al. tercatat penggunaan ALPKS dan bahan
(2011), kadar pH kompos yang sudah nitrogen secara kontinyu menjadi metode
mendekati matang akan mendekati netral. yang bagus untuk menghasilkan kompos
Bahan baku yang semula asam akan dengan kondisi akhir pH sebesar 6-8,5.
menjadi netral karena adanya penambahan Kondisi ini dilaporkan baik untuk semua
NH4+ hasil dari proses amonifikasi. Jumlah jenis tanaman.
nitrogen yang semakin banyak dari
Kadar Air
ALPKS akan semakin meningkatkan pH.
Mikroorganisme dapat mengurai
Pada hari ke 15, terjadi kenaikan pH yang
bahan organik apabila tersedia cukup air.

Jurnal Teknologi Industri & Hasil Pertanian Vol. 21 No.1, Maret 2016 57
Sugiharto et al Neraca Massa Pengomposan TKKS

Air yang ada pada bahan berfungsi untuk sebagian air akan teruapkan karena
metabolisme dan pertumbuhan mikroba. dilakukan di tempat terbuka sehingga perlu
Oleh karena itu, pemantauan terhadap dilakukan pengaturan serta penyiraman
kadar air tumpukan kompos harus selalu yang dilakukan bersamaan dengan
dilakukan agar kadar air kompos selalu pembalikan. Hasil pengamatan kadar air
dalam keadaan optimum. Proses selama 54 hari pengomposan disajikan
pengomposan berlangsung dengan asumsi pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik pengamatan kadar air (KA)

Data grafik pengamatan kadar air sebesar 76,81-77,88%. Penambahan


(Gambar 4) dapat dilihat bahwa kadar air ALPKS dilakukan dengan indikator
pada setiap kotak perlakuan berada dalam kejenuhan pada TKKS, yaitu pada saat air
kondisi diatas 75% selama proses yang digunakan untuk menyiram mulai
pengomposan. Kondisi tersebut bertahan keluar dari tumpukan.
dari awal hingga akhir pengomposan, Menurut Setyorini et al.(2010),
menyebabkan suhu proses yang cenderung kadar air memegang peranan yang sangat
dibawah 50ºC. Kondisi kadar air sejumlah penting dalam proses metabolisme
ini membuat aktifitas mikroba tidak mikroba dan secara langsung berpengaruh
optimum dan cenderung mengubah pada suplai oksigen. Kadar air 50-60%
kondisi aerob menjadi anaerob. Hal ini adalah kisaran optimum untuk
juga mengakibatkan terlarutnya unsur hara metabolisme mikroba. Apabila kadar air di
yang ada pada TKKS ke lindi. Selain itu, bawah 50%, aktivitas mikroba akan
di sisi lain juga memperlambat waktu mengalami penurunan. Apabila kadar air
pengomposan. lebih besar dari 60%, volume udara
Proses pengomposan yang berkurang. Akibat hal ini, aktivitas
dilakukan dengan penambahan ALPKS mikroba akan menurun dan terjadi
bertujuan untuk menjaga kadar air. Pada fermentasi anaerobik yang menimbulkan
penambahan pertama, kadar air pada bau tidak sedap.
TKKS yang semula 59,49-66,13% Menurut Baharuddin et al. (2009),
ditambah ALPKS hingga jenuh menjadi selama pengomposan dapat dilakukan
74,72-77,82%. ALPKS yang ditambahkan penambahan ALPKS untuk menjaga kadar
pada hari selanjutnya hingga akhir air. Dengan demikian, aktifitas
pengomposan dilakukan dengan rata-rata mikroorganisme dapat tetap berjalan
kadar air TKKS setelah penyiraman dengan optimum. Suhu lingkungan yang

58 Jurnal Teknologi Industri & Hasil Pertanian Vol. 21 No.1, Maret 2016
Neraca Massa Pengomposan TKKS Sugiharto et al

tinggi serta seringnya pembalikan aliran masuk sama dengan jumlah aliran
mengakibatkan air dari tumpukan kompos keluar. Menurut Maflahah (2010), suatu
terus-menerus menguap. Oleh karena itu, sistem apapun, jumlah materi akan tetap
ALPKS ditambahkan untuk mengatasi air walaupun terjadi perubahan secara fisik.
yang menguap selama pengomposan. Oleh karena itu, dalam suatu proses
Kadar air yang diharapkan pada akhir pengolahan akan terjadi jumlah bahan
pengomposan adalah sebesar 60%. yang masuk akan sama dengan jumlah
bahan yang keluar sebagai produk yang
Neraca Massa
dikehendaki ditambah dengan
Nerasa massa digunakan untuk jumlahlimbah. Berikut disajikan data rata-
melihat jumlah aliran bahan yang masuk rata neraca massa pengomposan TKKS
dan keluar dalam suatu proses berdasarkan pada Gambar 5a dan data neraca massa per
Hukum Kekekalan Massa, yaitu jumlah ton TKKS pada Gambar 5b.

Gambar 5. Neraca Massa Pengomposan pada kotak 1 (gambar 5a) dan kotak 2 (gambar 5b)
* = Jumlah persentase pada masing – masing input
**= Jumlah persentase pada masing – masing output

Bahan baku berupa TKKS dan kotak dua, input berupa TKKS sebanyak
ALPKS yang digunakan dibagi dalam dua 179,2 Kg (34,91 %) dan ALPKS sebanyak
buah kotak. Input kotak pertama berupa 334,15 Kg (65,09 %). Output berupa lindi
TKKS sebanyak 181,8 Kg (37,33 %) dan sebanyak 138,72 Kg (27,02 %), kompos
ALPKS sebanyak 305,24 Kg (62,67 %). sebanyak 123,4 Kg (24,04 %), dan bahan
Output berupa lindi sebanyak 134,33 Kg yang menguap sebanyak 251,23 Kg (48,94
(27,58 %), kompos sebanyak 127,05 Kg %). Rata-rata input berupa TKKS
(26,09 %), dan bahan yang menguap sebanyak 180,5 Kg (36,09 %) dan ALPKS
sebanyak 225,66 Kg (46,33 %). Pada sebanyak 319,695 Kg (63,91 %). Output

Jurnal Teknologi Industri & Hasil Pertanian Vol. 21 No.1, Maret 2016 59
Sugiharto et al Neraca Massa Pengomposan TKKS

berupa lindi sebanyak 136,53 Kg (27,29 proses pengomposan aerob antara lain
%), kompos sebanyak 125,225 Kg (25,04 bakteri dan jamur. Sedangkan Jamur tidak
%), dan bahan yang menguap sebanyak tumbuh pada proses pengomposan anaerob
238,445 Kg (47,67 %). karena membutuhkan oksigen untuk
Jika data TKKS dikonversikan pertumbuhan dan aktifitasnya. Proses
dalam ton, maka 1 ton TKKS memerlukan perubahan kimia yang terjadi pada proses
ALPKS sebanyak 1,89 m3. Hasil yang pengomposan yaitu adanya penurunan C/N
diperoleh, berupa kompos sebanyak rasio akibat adanya aktifitas mikroba.
693,90 Kg, lindi sebanyak 0,771 m3 dan Menurut Amira et al. (2012), proses
bahan yang menguap sebanyak 1321,01 pengomposan akan mendegradasi
Kg. Untuk pengolahan sebanyak 4,35 ton lignoselulosa berupa selulosa,
TBS maka akan menghasilkan TKKS hemiselulosa, dan lignin. Proses degradasi
sebanyak 1 ton dan ALPKS sebanyak 2,61 lignoselulosa melibatkan enzim Cellulase
m3 . Jumlah ALPKS yang belum dan Xylanase. Enzim dihasilkan oleh
termanfaatkan sebanyak 0,17 m3/ ton TBS. jamur yang tumbuh selama proses
Hal ini berarti bahwa tidak seluruh pengomposan. Cellulase akan
ALPKS akan digunakan untuk penyiraman mendegradasi selulosa dan Xylanase akan
selama pengomposan berlangsung, sisa mendegradasi hemiselulosa. Selulosa dan
ALPKS yang tidak termanfaatkan perlu hemiselulosa yang berbentuk senyawa
diolah supaya tidak mencemari kompleks akan didegradasi menjadi gula
lingkungan. sederhana berupa glukosa yang akan
Perubahan fisik yang terjadi pada mengalami proses fermentasi secara
kompos antara lain: perubahan tinggi aerobik yang menghasilkan
tumpukan, berat bahan, warna, dan tekstur. karbondioksida, air, dan energi. Dari
Tinggi tumpukan yang semula mencapai proses fermentasi yang terjadi, akan
75 cm, turun menjadi 57cm. Hal ini terjadi menyisakan kompos yaitu berupa hasil
karena adanya perubahan struktur bahan dari degradasi bahan organik
organik yang dilakukan oleh (Widyapratami, 2011).
mikroorganisme. Proses penguraian ini Selama proses pengomposan,pada
memberikan dampak pada berat bahan setiap kotak mengalami penurunan berat
selama proses pengomposan. Menurut (padatan) sebesar: 56,93 % pada kotak 1
Widyapratami (2011), mekanisme dan 68,57% pada kotak 2. Penurunan
pengomposan secara umum dimulai saat berat terjadi karena adanya penguapan
mikroorganisme mengambil air, oksigen karbon dalam bentuk CO2 dan CH4.
dari udara dan makanan dari bahan Selama proses fermentasi, terjadi proses
organik. Bahan-bahan tersebut akan perubahan lignoselulosa yang berupa
dikonversi menjadi produk metabolis selulosa, hemiselulosa, dan lignin.
biologis berupa CO2, H2O, humus, dan Selulosa dan hemiselulosa selama proses
energi. Energi dimanfaatkan untuk fermentasi akan berubah menjadi gula
melakukan pertumbuhan dan sisanya sederhana berupa glukosa (Widyapratami,
dibebaskan menjadi panas. Menurut 2011). Gas metan akan dihasilkan dari
Kananam et al. (2011), jumlah rata-rata proses fermentasi anaerob pada glukosa.
degradasi bahan organik pada proses Pada proses pengomposan aerob,
pengomposan aerob lebih besar daripada kemungkinan terjadinya proses anaerob
proses pengomposan anaerob. Ini terjadi akan mungkin terjadi apabila kadar air
karena mikroorganisme yang tumbuh pada terlalu tinggi (Setyorini, 2010). Hal ini

60 Jurnal Teknologi Industri & Hasil Pertanian Vol. 21 No.1, Maret 2016
Neraca Massa Pengomposan TKKS Sugiharto et al

terjadi karena oksigen akan susah masuk yang menghasilkan CH4 dan CO2.
di bagian tengah tumpukan. Akibat dari Widyapratami (2011), reaksi yang terjadi
hal tersebut, pada bagian tengah tumpukan pada sistem aerobik dan anaerobik terjadi
akan terjadi proses fermentasi anaerob sebagai berikut.
Mikroba aerob
Gula (CH2O)x + O2 H2O + CO2 + energi (selulosa, hemiselulosa)

Bakteri penghasil asam Methanomonas


Gula (CH2O)x xCH3COOH CH4 + CO2
(selulosa, hemiselulosa)

Proses pengomposan yang Menurut Priyono (2008), lindi


dilakukan selama 54 hari dengan kadar air adalah cairan sampah hasil ekstraksi bahan
rata-rata 76,81 - 77,88 %. Hal ini dapat terlarut maupun tersuspensi dengan
memicu fermentasi anaerob karena kandungan polutan yang tinggi yang terdiri
oksigen tidak dapat masuk ke tumpukan dari senyawa-senyawa kimia hasil
bagian dalam, sehingga jumlah selisih dekomposisi kompos. Lindi dapat
padatan diperkirakan berupa selulosa dan merembes melalui tanah sehingga
hemiselulosa yang telah menjadi gula dimungkinkan dapat mencemari air tanah.
sederhana yang terfermentasi secara Jumlah lindi yang banyak mengandung
anaerob dan menjadi CH4 dan CO2 yang NH3, apabila dibuang ke badan sungai
menguap. Pada proses penurunan C/N dapat menyebabkan blooming alga yang
rasio selama pengomposan ada dua hal menyebabkan turunnya DO air sungai.
yang terjadi, yaitu penurunan karbon dan
kenaikan jumlah nitrogen dari KESIMPULAN
penambahan ALPKS. Proses penurunan
Berdasarkan penelitian yang telah
jumlah karbon terjadi karena adanya
dilakukan maka kesimpulan yang dapat
karbon yang menguap diduga dalam
diambil adalah (1) Secara keseluruhan,
bentuk CO2 dan CH4. Menurut Oviasogie
input berupa TKKS yang digunakan
et al. (2011), proses pengomposan yang
sebanyak 179,2 - 181,8Kg dan ALPKS
optimum dilakukan dengan C/N rasio awal
sebanyak 305,24 - 334,15Kg. Output
sebesar 30-40. Pada awal pengomposan,
berupa lindi sebanyak 134,33-138,72Kg,
nilai C/N rasio sebesar 28,86 dengan
kompos sebanyak 123,4–127,05Kg, dan
rincian karbon sebesar 32,32 % dan
bahan yang menguap sebanyak 225,66-
nitrogen sebesar 1,12 %. Pada akhir masa
251,23Kg; (2) C/N rasio pada Tandan
pengomposan, nilai C/N rasio sebesar 8,91
Kosong Kelapa Sawit sebesar 28,86 dan
dengan rincian karbon sebesar 23,07 %
C/N rasio kompos sebesar 8,91.
dan nitrogen sebesar 2,59 %. Nilai rata-
rata C/N rasio pada TKKS adalah 35-45
DAFTAR PUSTAKA
(Yeoh, 2010). Pada penelitian ini, C/N
rasio TKKS sebesar 28,86 karena TKKS Amira, R. D., A.R. Roshanida, and M.I.
sempat dibiarkan selama 15 hari di ruang Rosli. 2012. Effects of xylanase
terbuka karena menunggu persiapan and cellulase production during
tempat penelitian. Sehingga kemungkinan composting of EFB and POME
using fungi. International Journal
terjadi penurunan C/N rasio akibat
of Biological, Biomolecular,
fermentasi. Agricultural, Food and

Jurnal Teknologi Industri & Hasil Pertanian Vol. 21 No.1, Maret 2016 61
Sugiharto et al Neraca Massa Pengomposan TKKS

Biotechnological Engineering. 6 Anaerob. (Makalah Penelitian).


(8): 581-584. Universitas Diponegoto. Semarang.
AOAC. 1990. Official Methods of 7 hlm.
Analysis 15thEdition. Association of Razali, W. A. W., A. S. Baharuddin, A. T.
Official Analitical Chemist. Talib, A. Sulaiman, M. N. Naim, M.
Washington D.C. pp10. A. Hassan, and Y. Shirai. 2012.
Baharuddin A. S., N. Kazunori, S. Abd- Degradation of palm empty fruit
Aziz, M. Tabatabaei, N. A. A. bunch (OPEFB) fibre during
Rahman, M. A. Hassan, M. composting process using in-vessel
Wakisaka, K. Sakai and Y. Shirai. composter. BioResources. 7(4):
2009. Characteristics and microbial 4786 - 4805.
succession in co-composting of oil Schuchardt, F., D. Darnoko, and P.
palm empty fruit bunch and partially Guritno. 2002. Composting of
treated palm oil mill effluent. The Empty Oil Palm Fruit Bunch (EFB)
Open Biotechnology Journal. 3: 92- With Simultaneous Evaporation of
100. Oil Mill Waste Water (POME).
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2015. International Oil Palm Conference.
Luas Areal Dan Produksi Nusa Dua. Bali. Indonesia. July 8 –
Perkebunan Seluruh Indonesia 12. pp: 1-9.
Menurut Pengusahaan. Departemen Setyorini, D., R. Saraswati, dan E. K.
Pertanian. Jakarta. 2 hlm. Anwar. 2010. Kompos.
Erwan, M. R. Ismail, H. M. Saud, S. H. Departemen Pertanian. Jakarta. 37
Habib, S. Siddiquee and H. Kausar. hlm.
2012. Physical, chemical and Stentiford. 1996. Composting Control:
biological changes during the Principle and Practice. In: The
composting of oil palm frond. Science of Composting, Bertoldi,
African Journal of Microbiology M., P. Sequi, B. Lemmes, T. Papi
Research. 6(19): 4084-4089 (eds). Springer. pp:49-59.
Haug, R.T.. 1993. The Practical Eviati dan Sulaeman. 2009. Petunjuk
Handbook of Compost Engineering. Teknis Analisis Kimia Tanah,
CRC Press. pp 752. Tanaman, Air, dan Pupuk. Edisi 2.
Kananama, W, T. T. Suksaroja, Balai Penelitian Tanah. Departemen
C.Suksaroj. 2011. Biochemical Pertanian. Bogor. 234 hlm.
changes during oil palm (Elaeis Widyapratami, H. 2011. Pemanfaatan
guineensis) empty fruit bunches Enzim Selulase Dalam Dekomposisi
composting with decanter sludge Tandan Kosong Kelapa Sawit.
and chicken manure. Science Asia . (Skripsi). Universitas Indonesia.
37 : 17–23. Depok.
Maflahah, I. 2010. Analisis proses Yeoh, C. Y., N. L. Chin, C. S. Tan and H.
pembuatan pati jagung (maizena) S. Ooi. 2012. Industrial scale co-
berbasis neraca massa. Jurnal composting of palm oil mill waste
Embryo 7(1): 40 - 45. with starter cultures. Journal of
Oviasogie, P. O., N. O. Aisueni, and G. E. Food, Agriculture & Environment.
Brown. 2010. Oil palm composted 10 (2): 771-775.
biomass: a review of the preparation, Yuwono, D. 2009. Seri Agritekno
utilization, handling, and storage. Kompos. Penebar Swadaya, Jakarta.
African Journal of Agricultural 92 hlm.
Research. 5(13): 1553-1571.
Priyono, A., dan D. U. Wahyu. 2008.
Pengolahan Leachate (Air Lindi)
Pada Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) Jatibarang Semarang Secara

62 Jurnal Teknologi Industri & Hasil Pertanian Vol. 21 No.1, Maret 2016

You might also like