You are on page 1of 28

Gereja Santo Antonius Purbayan:

Sejarah Awal Gereja Katolik Belanda di Solo

Ahmad Yunani
Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
yunanipurba@gmail.com

Abstract
The Catholic Church Santo Antonius Purbayan be evidence of history
in the development and spread of Catholicism in Solo or Surakarta. This
article attempts to examine the role of the church as the center spread of
Catholicism in Solo and its surroundings, from the activities of the church
became a place of worship, even to the historical development of Catholic
educational institutions are quite old. This study uses Arkheologis
Historical approach that is supported by the data history of the church in
question. And in the findings of this study, it was found that the existence of
this church to witness the historical presence of the Catholic religion in
Solo, and some other areas in Java. Spread starts from Semarang by a
Catholic priest is Father Van Lith, SJ. When coming in Java, he learned a
few things that made the failure of the missionaries before. They came as a
waitress Faith to Dutch society that has been present with different
purposes and objectives. The Church was built by the Dutch in the form of
Neo Gothic, to conform and adapt to the cultural conditions that developed
at that time. In its development, to support its existence, the church
establish educational institutions that cater for the Catechist who trained
as priests and Catholic Faith waitress in Solo and its surroundings.

Keywords: Church of Santo Antonius Purbayan, Solo, Catholicism,


Architecture

Abstrak
Gereja Katolik Santo Antonius Purbayan menjadi bukti sejarah dalam
perkembangan dan penyebaran agama Katolik di Solo atau Surakarta. Ar-
tikel ini mencoba mengkaji peran gereja sebagai pusat penyebaran Agama
Katolik di Solo dan sekitarnya, dari aktifitas gereja yang menjadi tempat

229
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 14, No. 1, 2016: 229-256

ibadah, bahkan hingga sejarah berkembangnya lembaga pendidikan


Katolik yang cukup tua. Penelitian ini menggunakan pendekatan Historis
Arkheologis yang didukung dengan data sejarah gereja dimaksud. Dan
dalam temuan penelitian kali ini, ditemukan bahwa keberadaan gereja ini
menjadi saksi sejarah hadirnya agama Katolik di Solo, dan beberapa daerah
lainnya di tanah Jawa. Penyebarannya dimulai dari kota Semarang oleh
seorang Imam Katolik yaitu Romo Van Lith, SJ. Saat datang di tanah Jawa,
ia mempelajari beberapa hal yang menjadikan kegagalan para missionaris
sebelumnya. Mereka datang sebagai Pelayan Iman bagi masyarakat
Belanda yang telah hadir sebelumnya dengan berbagai maksud dan tujuan.
Gereja dibangun oleh Belanda dengan bentuk Neo Gothik, dengan
mengikuti dan menyesuaikan dengan kondisi budaya yang berkembang
saat itu. Dalam perkembangannya, untuk mendukung keberadaannya,
pihak gereja membentuk lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi
para Katekis yang dididik menjadi Imam dan Pelayan Iman Katolik di Solo
dan sekitarnya.

Kata kunci: Gereja Santo Antonius Purbayan, Solo, Katolik,


Arsitektur

Pendahuluan
Sejarah dalam pengertian sederhana dapat dipahami sebagai
rangkaian peristiwa yang sangat penting yang meliputi tanggal,
tempat kejadian, pelaku dan fakta lainnya. Karena itu, sejarah
dapat dipahami sebagai kronologi dari sebuah peristiwa, dan
kehilangan rasa kesejarahan (sense of history) bagi seseorang
dapat diatasi dengan adanya catatan sebagai sejarah. Adapun
objek yang menjadi sasaran sejarah dapat memberikan gambaran
pada peristiwa dan kehidupan masa lampau. Demikian halnya
dengan keberadaan gereja Katolik Purbayan di Surakarta. Gereja
ini dapat memberikan gambaran tentang dinamika keagamaan
masyarakat setempat.
Surakarta merupakan salah satu kota terkenal dengan corak
budaya Jawanya yang kuat bahkan melekat sebuah slogan Solo
The Spirit of Jawa. Selain dari bidang budaya, kota ini juga
terkenal dengan banyaknya bangunan bersejarah yang menjadi
saksi adanya dinamika perkembangan kehidupan manusia.
Bangunan-bangunan bersejarah tersebut, dengan adanya dan
dibangunnya Gereja Santo Antonius dan beberapa gereja lain
sesudahnya. Bangunan peninggalan Belanda sebagai tempat

230
Gereja Santo Antonius Purbayan — Ahmad Yunani

peribadatan tersebut mempunyai sejarah panjang serta peran


yang penting dalam perkembangan umat Katolik maupun Kristen
di Solo.
Bangunan gereja tersebut dibangun dan telah berumur
hampir satu abad ini telah melewati fase-fase dimana banyak
mempengaruhi kehidupan masyarakat khususnya umat Katolik.
Bangunan tersebut menjadi bangunan cagar budaya yang patut
dilindungi dan dilestarikan keberadaannya, karena dengan ada-
nya upaya pelestarian, maka akan terjaga juga informasi dan
sejarah yang mewarnai sejarah keberadaan Surakarta, khususnya
sejarah gereja dan umat Katolik di Solo.
Kota ini berada di jalur yang strategis, yang senantiasa
dijadikan jalur utama yang mempertemukan jalur antar provinsi,
yaitu jalur dari arah Jakarta ke Surabaya atau Bali, dari arah
Semarang dan dari Yogyakarta menuju Surabaya dan Bali,
begitupun sebaliknya. Secara historis, Kerajaan Mataram meru-
pakan cikal bakal dari kota Surakarta. Pada saat itu banyak
terjadi perselisihan dan perbedaan yang mengakibatkan muncul-
nya berbagai pemberontakan, sehingga mengakibatkan terjadinya
perpindahan tempat untuk Karaton. Perpindahan dilakukan oleh
Paku Buwono II, karena istana dan Karaton yang lama telah
hancur akibat terjadinya perselisihan dan pemberontakan saat itu.
Peristiwa yang menghancurkan tersebut adalah; pada tahun 1742
terjadi Geger Pecinan, peperangan Cakraningrat, dan peperangan
Cakraningrat melawan Belanda.
Paku Bowono II berhasil merebut kembali Karaton Karta-
sura dari para pemberontak, akan tetapi Karaton saat itu sudah
dalam keadaan hancur. Dan keadaan inilah kemudian Paku
Bowono II berniat memindahkan Karaton Kartasura ke tempat
yang lebih baik dan layak, maka kemudian dipilihlah beberapa
alternatif selain Desa Sala, yaitu Desa Talawangi dan Desa
Sanasewa. Namun, Desa Sala lah yang dipilih sebagai tempat
untuk membangun kembali Karaton Kartasura, meskipun saat itu
keadaan desa ini masih berujud rawa yang tergenang air. Desa
ini terletak 14 kilometer sebelah timur Karaton Kartasura yang
lama. Selanjutnya Paku Bowono II, di desa Sala inilah Karaton
Kartasura didirikan kembali, yang kemudian setelah berdiri
beliau mengganti nama Karaton Kartasura menjadi Karaton

231
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 14, No. 1, 2016: 229-256

Surakarta Hadiningrat atau Nagari Surakarta Hadiningrat. Ada-


pun ketetapan berdirinya Karaton Surakarta Hadiningrat ditentu-
kan dari saat kepindahan Karaton ke Desa Sala, yaitu pada hari
Rabu, tanggal 17 Suro tahun je 1670 (tahun Jaawa), sinengkalan
“Kombuling Pudya Kapyarsihing Nata”, atau bertepatan tanggal
17 Februari 1745.1
Dalam perkembangan selanjutnya adalah bahwa Karesi-
denan Surakarta terbagi menjadi dua pemerintahan, yaitu yang
dikuasai Kasunanan dan yang setengahnya kemudian menjadi
wilayah milik Praja Mangkunegaran. Dengan demikian, di
Surakarta memiliki dua Pemerintahan Tradisional, hal ini tidak
bisa dilepaskan dari kisah pemberontakan R.M. Said yang dijulu-
ki Pangeran Sambernyawa. Julukan ini diberikan kepadanya
karena ia dianggap oleh para musuhnya sebagai penebar maut,
dan tidak ada yang dapat menaklukan kegagahannya. Karena itu,
VOC meminta kepada Paku Buwono III untuk mengadakan
perjanjian damai dengan R.M. Said, selanjutnya R.M. Said
menyetujui dengan perjanjin ini dengan syarat bahwa VOC tidak
diperkenankan untuk campurtangan dalam perjanjian yang akan
dilaksanakan.
Perjanjian damai antar keduanya ini ditandai dengan penan-
datanganan Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757.
Adapun hasil perjanjian ini berupa pembagian Karisidenan
Surakarta menjadi dua, yaitu Kabupaten Surakarta, Klaten,
Boyolali, dan Sragen, masuk ke dalam wilayah Kasunanan, se-
dangkan Kota Surakarta bagian utara, wilayah Mangkunegaran,
seluruh Kabupaten Karanganyar, seluruh kabupaten Wonogiri,
sebagaian wilayah Ngawen dan Semin Kabupaten Gunung
Kidul, masuk ke dalam wilayah Mangkunegaran. R.M. Said pun
diangkat menjadi Pangeran Adipati dengan gelar Mangkunegara
I.
Surakarta sejak dahulu memiliki penduduk yang beragam
suku bangsa dan agama. Hal ini sebagaimana orang Jawa sebagai
penduduk lokal dan juga pendatang dari luar negeri (Cina, Arab,
dan Belanda). Mereka diperkirakan datang ke negeri ini sejak

1
R.Ay. Sri Winarti P., Sekilas Sejarah Karaton Surakarta (Sukoharjo-
Surakarta, Cendrawasih, 2004), hlm. 16.

232
Gereja Santo Antonius Purbayan — Ahmad Yunani

tahun 1746, sejak kota Surakarta dijadikan sebagai ibu kota


Mataram oleh Paku Buwono II.2 Seiring dengan perkembangan
penduduk yang majemuk, maka dibangunlah berbagai fasilitas
untuk masyarakat saat itu sebagai sarana pendukung dalam ber-
bagai kegiatan. Selain itu juga terdapat fasilitas yang dibangun,
seperti kantor, sekolah, pasar, dan juga tempat sembahyang yang
salah satunya adalah gereja. Tempat sembahyang ini sebelumnya
pada zaman kolonial hanya diperuntukan sebagai layanan bagi
pendatang Belanda, namun kemudian diperkenalkan juga kepada
masyarakat pribumi yang ada di Surakarta.

Penyebaran Agama Katolik di Jawa


Sebelum kedatangan Belanda, beberapa Rahib Fransiscan
asal Portugis telah datang ke Indonesia, tepatnya di Kota Ternate
Maluku pada tahun 1522. Mereka pun menetap dengan mem-
bawa missie Katolik. Namun, karena beberapa hal yang menye-
babkan mereka berselisih dan faktor lainnya menyebabkan
mereka pulang kembali ke negeri mereka sendiri. Pada tahun
1546, seorang missionaris bernama Fransiscus Xaverius tiba di
Ambon. Missie kali ini dapat dikatakan cukup berhasil. Sebab,
dalam waktu hanya lima belas bulan saja, ia berhasil membabtis
ribuan penduduk setempat. Keberhasilan ini karena adanya
motivasi bagi penduduk setempat saat itu adalah semata-mata
agar dapatnya perlindungan bagi mereka dari bangsa Portugis.
Dengan menganut agama Katolik, mereka juga menganggap
bahwa Tuhan merekalah (Bangsa Portugis) yang sangat berkuasa
atas segalanya. Karena itu, pada tahun 1570-an gerakan missie
Katolik ini dapat berkembang dengan pesat. Agama Katolik saat
itu telah menyebar di Ambon-Liase, Bacan, Halmahera-Morotai,
Ternate-Tidore, Banggai, Manado, dan Sangir. Keberhasilan ini
berakhir pada tahun 1605, saat Portugis berhasil dikalahkan oleh
Belanda. Umat Katolik pun bertempat tinggal hanya di pulau
Ternate, Tidore, Kepulauan Sangihe, dan Sulawesi Utara yang
diduduki Spanyol.

2
Rustopo., Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa: Menjadi
Jawa, (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm. 62.

233
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 14, No. 1, 2016: 229-256

Pada tahun 1677 Belanda sebagai penguasa tidak memper-


kenankan penyebaran agama Katolik, bahkan Belanda berhasil
mengusir orang-orang Spanyol dan Portugis beserta pengikutnya
kembali pulang ke negeri mereka masing-masing. Adapun ma-
syarakat pribumi yang sudah menganut agama Katolik, diperin-
tahkan agar meninggalkan agamanya dan menganut agama
Kristen Protestan. Pada tahun 1789 terjadi gerakan Reformis
(Revolusi Perancis), dan Belanda adalah salah satu negara Eropa
yang mendukung aliran Reformis, maka missie Katolik menjadi
terhambat dan dilarang untuk berkarya di wilayah missie-nya.
Karena itu, Belanda sebagai penguasa di Indonesia saat itu juga
melarang kegiatan missie Katolik di Indonesia hingga berakhir-
nya VOC yang bubar pada tahun 1799 VOC.3
Namun, pada tanggal 7 Agustus 1807, Belanda menjadi
jajahan Perancis yang memberikan kebebasan dalam beragama.
Karena itu, pada tahun 1808 pernyataan yang sama diumumkan
oleh Gubernur Jendral Daendels di seluruh Nusantara. Karena
itu, selanjutnya missie Katolik, baik di Negeri Belanda sendiri
maupun di Negeri Hindia-Belanda lainnya dapat bergeliat aktif
kembali, dan begitupun kegiatan missie Katolik di Indonesia.
Adapun kehadiran Agama Katolik di Jawa tidak terlepas dari
kiprahnya para missionaris Eropa yang datang dan menetap di
Indonesia tahun 1807. Missie Katolik di Hindia Belanda banyak
mengalami pasang surut seiring dengan perkembangan politik di
Belanda sebagai penguasa saat itu. Hal ini sebagaimana terjadi
pada tahun 1850. Kehadiran missie Katolik telah memiliki empat
paroki, yaitu; Batavia, Semarang, Surabaya, dan Padang. Missie
Katolik ini pada mulanya hanya melayani iman dan kebutuhan
rohani bagi masyarakat Eropa, namun selanjutnya missie ini juga
memberikan layanan dan perhatiannya kepada kepada masya-
rakat timur asing dan pribumi.
Dari keempat paroki yang ada, tiga diantaranya berada di
Pulau Jawa, yang dalam missienya banyak mendapatkan kesulit-
an. Hal ini terjadi karena di Pulau Jawa, jauh sebelum kedatang-
an para missionaris, telah memiliki pola kehidupan sendiri, adat

3
Huub J.W.M. Boelars., Indonesiasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia
Menjadi Gereja Katolik Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 70.

234
Gereja Santo Antonius Purbayan — Ahmad Yunani

dan kebudayaan yang sudah mengakar dan membentuk kehidup-


an tradisional yang kuat. Tradisi dan pola kehidupan tersebut
merupakan pengaruh dari tradisi Hindu dan Islam, yang telah ada
dan hadir jauh sebelum kehadiran para missionaris ke negeri ini.
Para missionaris yang datang ke negeri ini sangat dikaitkan
dengan hadirnya para penjajah. Karena kedatangan mereka
berlangsung saat datangnya para kolonial, sehingga istilah missie
ini diidentikkan dan dihubungkan dengan ekspansi Eropa yang
identik dengan kekuasaan politik dan ekonomi barat di negeri
jajahan. Karena itu, penduduk daerah-daerah yang dijajah akan
menganggap para missionaris dan kegiatannya missie Katolik
yang religius tersebut sebagai agama penjajah, meskipun
sesungguhnya missie Katolik yang ada tidak memiliki hubungan
dan keterkaitan secara langsung dengan kekuasaan, politik, dan
ekonomi penjajah. Kondisi seperti ini berlangsung cukup lama,
dan mengakibatkan terjadinya pasang surut missie, baik missie
Katolik mapun Zending-Kristen. Istilah “masuk Belanda” men-
jadi sebutan dan gelar bagi mereka yang turut masuk ke dalam
agama dan kepercayaan mereka, baik agama Katolik maupun
Kristen, karena dengan masuknya mereka kepada agama mereka,
berarti mereka masuk menjadi “orang Belanda”.4 Gelar dan
sebutan tersebut menjadi penyebab takutnya masyarakat pribumi
di Hindia Belanda untuk mengikuti ajaran yang mereka bawa.
Missie Gereja Katolik di Jawa mulai bangkit bergeliat
kembali saat munculnya seorang Imam Katolik yaitu Romo Van
Lith, SJ. Saat datang di tanah Jawa, ia mempelajari beberapa hal
yang menjadikan kegagalan para missionaris sebelumnya. Ia pun
mempelajari terlebih dahulu bahasa setempat (bahasa Jawa),
mempelajari adat dan budaya, dan selanjutnya membangun hu-
bungan dan interaksi dengan penduduk setempat dan masyarakat
lainnya Kegiatan missie ini ia lakukan pertama di Muntilan Jawa
Tengah. Tahun 1904 merupakan puncak dari keberhasilan
missienya, karena pada tanggal 14 Desember 1904 ia berhasil
membabtis 172 orang di Sendangsono.

4
Muskens Pr., Sejarah Gereja Katolik di Indonesia jilid IV: Pengin-
tegrasian di Alam Indonesia, (Jakarta: Bagian Dokumentasi Penerangan
Kantor Waligereja Indonesia, 1973), hlm. 60.

235
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 14, No. 1, 2016: 229-256

Romo Van Lith SJ, dalam missie selanjutnya melihat sekolah


akan menjadi jalan utama dalam membangun hubungan dan
interaksi dengan masyarakat pribumi. Hal ini dilakukan karena ia
merasa prihatin dengan kondisi masyarakat pribumi yang hidup
dalam keadaan miskin. Padahal sejak tahun 1901 di negeri
Belanda telah merubah sistem kekuasaannya pada negeri jaja-
hannya, yaitu terjadinya perubahan dari Politik Kolonial kepada
Politik Etis atau Hutang Kehormatan. Dalam hal ini Belanda
merasa berhutang kepada Bangsa Indonesia atas semua kekayaan
yang telah diperas dari negeri mereka. Hutang ini harus
dibayarkan kembali dengan jalan memberikan prioritas utama
kepada kepentingan rakyat Indonesia di dalam kebijakan kolo-
nial.5 Namun, dalam kenyataannya meskipun pendidikan tersebut
mengalami kemajuan saat itu, diskriminasi ras masih terjadi.
Orang Eropa bersekolah di sekolah Eropa, sedangkan orang
pribumi hanya bersekolah di sekolah pribumi. Hal ini menim-
bulkan kesan masyarakat pribumi tidak memiliki kesempatan
mendapatkan jenjang pendidikan seluas-luasnya. Karena itu,
Romo Van Lith berniat melakukan pembaharuan sistem pendi-
dikan dengan membuka sekolah-sekolah bagi seluruh kalangan
tanpa melihat golongan dan ras, terutama bagi masyarakat
miskin yang tersingkir dan luput dari perhatian pemerintah.

Penyebaran Agama Katolik di Surakarta


Pada tahun 1802 hingga 1855 pelayanan iman orang Katolik
di Surakarta, dilayani oleh pelayan rohani yang berasal dari
Paroki St. Yosef Gedangan Semarang. Selama kurun waktu
tersebut, pada tahun 1827 Belanda mengutus Lambertus Prinsen,
yaitu seorang Imam Katolik untuk berkarya di Indonesia. Per-
utusan ini merupakan salah satu reaksi Belanda setelah beberapa
peristiwa yang mengakibatkan terhambatnya perkembangan
missie Katolik, dan bahkan terhentinya missie Katolik selama
bertahun-tahun. Ia kemudian ditugaskan untuk melayani umat di
Jawa Tengah dan dibantu oleh tiga Imam Sekulir, yang salah
satunya adalah Pastor Yakobus Sholten.

5
M.C. Ricklefs., Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1991, hlm. 228.

236
Gereja Santo Antonius Purbayan — Ahmad Yunani

Pada masa awal-awal penugasan, di tahun yang sama, Pastor


Lambertus Prinsen dan Pastor Sholten datang berkunjung di
Surakarta serta menginap keduanya di Kasunanan Surakarta.
Kunjungan ini bertujuan untuk dapat mengenal dan menjalin
hubungan baik dengan masyarakat setempat maupun pemimpin-
nya di kota Surakarta. Berdasarkan kunjungan tersebut, kedua-
nya berpendapat bahwa orang Jawa dalam kesehariannya adat
dan budayanya sangatlah dekat dengan Islam, akan tetapi ada
sebahagian mereka yang masih percaya dengan hal-hal yang
berbau tahayul. Keduanya pun menyimpulkan jika ingin melaku-
kan perubahan keyakinan, maka harus dimulai dengan mendekat-
kan dengan atasannya/pemimpinnya, karena kebanyakan orang
Jawa sangat percaya dan patuh dengan apa yang dilakukan
pimpinannya.6
Missie Katolik yang dilakukan di Surakarta semakin lama
semakin menampakkan keberhasilannya. Hal ini sebagaimana
dilakukannya pembabtisan terhadap 59 orang menjadi Katolik.
Namun, pencapaian tersebut belum dapat dikatakan mendapat-
kan keberhasilan yang sempurna dari missie Katolik di Surakar-
ta, karena hingga saat terjadinya pembatisan, Surakarta belum
bisa menjadi stasi yang tetap. Sebab, suatu daerah dan wilayah
yang menjadi tempat berkaryanya missie Katolik, dapat dikata-
kan berhasil dengan ditetapkannya daerah tersebut menjadi
“stasi”, artinya “tempat pemberhentian” atau “suatu pusat kegiat-
an pelayanan Pastoral yang letaknya jauh dari pusat Paroki.7
Adapun syarat suatu daerah dapat menjadi stasi adalah adanya
umat/orang Katolik setempat, yaitu masyarakat yang berada di
suatu wilayah dimaksud memenuhi jumlah yang memadai.
Pada tahun 1859, Surakarta masuk ke dalam stasi Ambarawa
bersama dengan daerah Salatiga, Madiun, dan Pacitan. Amba-
rawa merupakan stasi dari Paroki St. Yusuf Gedangan Semarang.
Stasi Ambarawa memilki umat Katolik yang berjumlah diper-

6
Wawancara dengan pimpinan Kantor Sekretariat Gereja St. Antonius
Purbayan, tanggal 5 April 2016.
7
Tim Penyusun 75 Tahun Gereja St. Antonius Purbayan Surakarta., 75
tahun Gereja St. Antonius Purbayan Surakarta, (Surakarta: Paroki St.
Antonius Purbayan, 1991), hlm. 3

237
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 14, No. 1, 2016: 229-256

kirakan 1250 orang, yang sebahagian besar dari mereka adalah


orang-orang Belanda dan orang asing lainnya. Pada tahun 1896
Ambarawa secara resmi barganti status, yaitu perubahan dari
Ambarawa sebagai Stasi menjadi Paroki. Karenanya Surakarta
secara otomatis berubah menjadi stasi yang masuk ke dalam
Paroki St. Yusuf Ambarawa. Dan di tahun yang sama kehidupan
umat Katolik di Paroki Ambarawa semakin mengalami pening-
katan, karena bertambahnya stasi yang masuk ke dalam Paroki
Ambarawa selain Surakarta. Suatu Paroki dapat memilki
beberapa stasi yang disesuaikan dengan jarak dan jumlah umat.8

Berdirinya Gereja Santo Antonius Purbayan

a. Stasi Surakarta
Stasi merupakan salah satu tahap yang harus dilalui sebelum
terbentuknya Paroki dan Gereja di suatu tempat. Stasi adalah
perkumpulan umat beriman Kristiani yang karena jumlah umat
yang memenuhi syarat dan ukuran jarak yang jauh dari Paroki,
serta memiliki tempat/kapel sendiri sehingga dalam kegiatan
pelayanan iman dapat dilakukan dan pelayanan misa dapat
diberikan khusus sejak terhitung sebagai stasi dan masuk
menjadi bagian dari Paroki.9
Kehadiran missionaris yang didatangkan dari Belanda,
adalah missie yang memberikan pangaruh dalam pembentukan
sebuah stasi. Meskipun hampir semua missionaris berasal dari
Belanda, Kitab suci yang diwartakan oleh mereka bukanlah
berasal dari Belanda dan tidak berhubungan dengan perkara
Kolonial. Bahwa Visi dan Misi Katolik tertuang di dalam surat
Apostolik Maximum Ilud Paus Benediktus XV, tertanggal 30
Nopember 1919, yang berisi Penyebaran Iman Katolik di seluruh
dunia. Kepada mereka yang bertugas sebagai misioner, Paus
menyampaikan pedoman-pedoman dalam melaksanakan tugas
missie. Selain pedoman, di dalam naskah tersebut paus

8
Adolf Heuken., Ensiklopedi Populer tentang Gereja Katolik di
Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Loka Caraka, 1989).
9
Wawancara dengan Staf Kantor Sekretariat Gereja St. Antonius
Purbayan, tanggal 4 April 2016.

238
Gereja Santo Antonius Purbayan — Ahmad Yunani

memberikan saran kepada para misioner untuk mendirikan stasi-


stasi missie di tempat missie-missie yang baru. Karena dengan
didirikannya stasi di tempat yang baru, maka kegiatan pewartaan
injil dapat berjalan dengan baik dan lancar dan dapat didengar
oleh banyak orang. Pada tahun 1896 Ambarawa resmi menjadi
Paroki (Paroki St. Yusuf Ambarawa), maka Surakarta secara
otomatis menjadi stasi yang masuk ke dalam Paroki Ambarawa.

Gambar : Pastoran Purbayan Surakarta sebelum dibangunnya Gereja St.


Antonius Purbayan (Koleksi: Gereja St. Antonius Purbayan)

Surakarta menjadi Stasi, dengan sebuah bangunan yang telah


dimiliki dan dibangun sebuah rumah Pastoran. Bangunan ini
berdiri di atas sebidang tanah dengan sertifikat Hak Milik, tertera
bahwa Persil yang terletak di Karisidenan Surakarta, Asisten
Residen Surakarta, Kewedanaan Surakarta, Kampung Purbayan,
Ibukota Surakarta, Wilayah Kadaster Surakarta. Tanah seluas
3005 m2, dimiliki orang asing yang berwarga negara Indonesia
di zaman Belanda atau berstatus Verponding, dan pemegang hak
atas tanah tersebut adalah Yayasan Katolik-Roma Magelang,
sebagaimana tercantum dalam surat ukur tanah no. 7 tahun 1905.
Pastoran Surakarta dibangun oleh Pastor Stiphout SJ., yaitu
seorang Pastor yang bertugas di Paroki Ambarawa tahun 1905.
Pastoran dibangun untuk mendukung kegiatan pelayanan iman
dan rohani kepada orang-orang Katolik di Surakarta. Selama
gedung gereja yang sebenarnya belum dibangun, maka bangunan

239
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 14, No. 1, 2016: 229-256

pastoran inilah dapat digunakan sebagai sarana ibadah, dan dapat


juga digunakan sebagai kediaman bagi pastor yang datang atau
pada saat pastor melakukan perjalanan di kota Surakarta.10
Bangunan tersebut dibuat sedemikian rupa dengan dua pintu,
satu pintu berada di sebelah kiri merupakan pintu masuk ke
kamar-kamar milik Pastor, dan pintu yang berada di sebelah
kanan merupakan pintuk masuk ke ruang tempat ibadah (gereja).
Surakarta setelah memiliki Pastoran, maka aktifitas missie-
Katolik di kota ini mengalami banyak perkembangan dan kema-
juan. Hal ini dapat dilihat dari adanya peristiwa yang monumen-
tal, yaitu pada tanggal 22 Desember 1907, Pastor Cornelis
Stiphout SJ., seorang Pastor dari Ambarawa merayakan Misa
Ekaristi yang pertama di gedung Pastoran Purbayan Surakarta.
Pristiwa ini menjadi hari yang sangat bersejarah bagi Gereja
Katolik Surakarta, karena setelah peristiwa ini Romo Cornelis
Stiphout SJ. ditugaskan sebagai Pastor pertama di Paroki
Purbayan.

b. Pembangunan Gereja Santo Antonius Purbayan Surakarta


Suatu tempat yang ditentukan sebagai tempat ibadah bagi
umatnya, tentunya memiliki berbagai harapan, karena tempat
ibadah bagi umat beragama tidak hanya sebagai tempat
melakukan ritual agama semata, tetapi juga memiliki potensi dan
fungsi yang sangat signifikan dalam kehidupan keberagamaan
secara menyeluruh. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kegiatan
keagamaan yang dilakukan di beberapa tempat ibadah dari
berbagai komunitas umat beragama, baik yang dilakukan di
Masjid, Gereja, Vihara, Pura, dan lain sebagainya.11 Karena itu,
gereja tidak hanya diartikan sebagai tempat bagi orang Kristen
untuk berkumpul dan beribadah, akan tetapi Gereja juga
mempunyai arti yang lebih mendalam yaitu Gereja Misioner.
Gereja sebagai perantara dari Missie Yesus, yakni mengkabarkan

10
R. Kuris., Purbayan di Tengah Rakyat dan Ningrat, (Solo, Araya:
2009). hlm. 67.
11
Malik M., “Tempat Ibadah dan Doktrin Agama: Kasus Gereja Masehi
Advent Hari Ketujuh di Jakarta”, Jurnal Penamas, Vol. XX. No. 1. (2007).
hlm. 27.

240
Gereja Santo Antonius Purbayan — Ahmad Yunani

kabar tentang Yesus Kristus atau mewartakan Injil. Karenanya


secara khusus bahwa Gereja tersebut diutus untuk membantu
bagi mereka yang sedang menderita, lemah, dan tidak berdaya.12
Pembangunan Gereja Purbayan, merupakan harapan yang
telah dinanti oleh masyarakat iman Katolik Surakarta. Proses
pembangunan Gereja telah dimulai oleh Pastor Cornelis Stiphout
SJ. saat masih bertugas di Ambarawa, di mana pada tanggal 29
Oktober 1905, ia mendapatkan izin untuk mengadakan undian
berhadiah bagi pengumpulan dana pembangunan Gereja.13
Pengadaan Undian Berhadiah adalah salah satu cara yang
dimungkinkan untuk penghimpunan dana pembangunan Gereja.
Dari hasil pembelian undian oleh masyarakat, dihimpun dan
dikumpulkan untuk pembangunan. Usaha yang dilakukan oleh
Pastor Cornelis Stiphout SJ. mendapatkan hasil yang luar biasa,
sehingga misa suci pertama dapat dilaksanakan di gedung
Pastoran pada tanggal 22 Desember 1907.
Rencana pembangunan Gereja Purbayan, selanjutnya selain
dengan undian, Pastor Cornelis Stiphout SJ. juga berkirim surat
melayangkan usulannya ke Negeri Belanda untuk mendapatkan
bantuan untuk mendirikan gereja. Usulan ini dikabulkan sehing-
ga biaya pembangunan ditanggung oleh seorang yang kaya di
Belanda. Saat menjelang kematiannya, ia menuliskan dalam
testamennya, bahwa seluruh warisannya boleh dipakai oleh para
misionaris Yesuit di Hindia-Belanda, dengan syarat mencantum-
kan nama Antonius pada nama gereja yang akan dibangunnya.
Akhirnya dibangunlah Gereja Antonius Purbayan dengan biaya
tersebut pada tahun 1916, dan pada tahun 1917, Gereja Purbayan
resmi diberkati, serta Romo Cornelis Stiphout SJ. menjadi Pastor
pertama yang menetap di Paroki Pubayan.14
Selain Gereja Antonius Purbayan (1916) ada beberapa
gereja yang dalam pembangunannya dibantu oleh orang kaya di
atas, dengan mencantumkan nama Antonius pada nama Gereja-
12
Pedoman Gereja Katolik Indonesia: Sidang Agung KWI-Umat
Katolik, (Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia, 1995), hlm. 126.
13
Tim Penyusun 75 Tahun Gereja St. Antonius Purbayan Surakarta.,
op.cit, hlm. 3
14
Wawancara dengan Koster Soegianto, Staf Kantor Sekretariat Gereja
St. Antonius Purbayan, tanggal 4 April 2016.

241
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 14, No. 1, 2016: 229-256

nya. Hal ini sebagaimana gereja di Muntilan (1915), Yogyakarta


(1921), Ambarawa (1924) dan lima gereja di Minahasa.15
Dengan diberkatinya Gereja Antonius Purbayan, maka umat
Katolik di Surakarta langsung dilepaskan dari Paroki Ambarawa.
Gereja Antonius Purbayan kemudian mengalami proses
perkembangan sejak berdirinya hingga kini. Gereja yang kini
terletak diantara Balai Kota Surakarta dengan gedung polisi
militer, merupakan salah satu bukti dari peninggalan sejarah
Belanda yang pernah berkuasa di Solo. Gereja ini pun berkem-
bang dengan melewati tiga masa kekuasaan yang berbeda dan
dengan kondisi situasi yang berbeda pula. Ketiganya yaitu masa
penjajahan Belanda (1916-1942), masa penjajahan Jepang (1942-
1945), dan masa kemerdekaan (1945-1966), hingga saat ini.

Arsitektur Gereja
Gereja St. Antonius Purbayan merupakan salah satu dari
sekian banyak arsitektur peninggalan kolonial Belanda di Solo
yang berdiri pada tahun 1916. Sembilan tahun sebelumnya sudah
ada aktivitas gereja di Purbayan yang dimulai di gedung Pastoran
pada tahun 1907. Gereja ini merupakan cikal bakal berdirinya
Gereja St. Antonius Purbayan yang pada waktu itu masih
menjadi stasi dari gereja Gedangan Semarang. Gereja ini juga
merupakan saksi salah satu peninggalan arsitektur kolonial dari
masa ke masa kota Solo, dimana denyut nadi kehidupan baik
politik, ekonomi, budaya, maupun agama bermuara disekitar
lanskap itu. Benteng Vastenburg, Bank Indonesia, Balaikota
Surakarta, Pasar Gede pun diperluas dan diberkati oleh Uskup
Agung Semarang Mgr. Julius Darmaatmaja, SJ pada tahun
1986.
Gereja ini merupakan gereja tertua di Surakarta yaitu
sebagai bangunan peninggalan zaman penjajahan kolonial
Belanda. Karena itu, gaya desain pada interiornya termasuk
elemen yang terdapat di dalamnya mendapat pengaruh dari gaya
yang sedang berkembang di Eropa. Bangunan gereja ini tidak
lepas dari gaya arsitektur klasik Eropa pada masa lampau yang
menjadi cikal bakal timbulnya gaya arsitektur maupun interior
15
R. Kuris., op.cit., hlm. 80.

242
Gereja Santo Antonius Purbayan — Ahmad Yunani

pada bangunan gereja. Hal ini terlihat dari tampak bangunannya


yang mencerminkan gaya klasik Eropa dan telah disesuaikan
dengan keadaan dan iklim setempat. Dengan demikian, gereja
tersebut dapat dikatakan sebagai gereja yang memiliki gaya Neo
Gothik. Hal ini sebagaimana dapat dilihat dari bentuk detail yang
sangat sederhana, yang sangat berbeda dengan gaya Gothik pada
masa awal yang cenderung memiliki gaya sangat detail, khusus-
nya pada ornamen dan pelipit yang menempel pada dinding-
dinding dan pilar gereja.
Gereja ini memiliki luas bangunan 1733,30 m2 di atas
sebidang tanah, yang telah mengalami perlusan seiring bertam-
bahnya jemaat.

Gambar tampak atas


Sumber: Arsip Data dan Bangunan Gereja Purbayan

243
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 14, No. 1, 2016: 229-256

Bangunan utama gereja:


Altar, Ruang sakristi, Ruang gereja, Ruang pengampunan
Sumber: Arsip Data dan Bangunan Gereja Purbayan

Bangunan belakang gereja: Ruang konsultasi, Ruang makan,


Kamar tidur, pantri, Ruang doa, Ruang putra altar, Ruang tamu,
Beberapa kamar tidur pastur, dan Kapel
Sumber: Arsip Data dan Bangunan Gereja Purbayan

Gambar tampak samping


Sumber: Arsip Data dan Bangunan Gereja Purbayan

244
Gereja Santo Antonius Purbayan — Ahmad Yunani

Sumber: Arsip Data dan Bangunan Gereja Purbayan

Bangunan Gereja Purbayan

Bentuk Bangunan
Gereja ini tidak memiliki bentuk salib Yunani sebagaimana
terdapat di gereja kuno Eropa. Adapun bentuk denah salib gereja
ini berasal dari tipe Baskilia berbentuk persegi panjang yang
membentang dari pintu masuk sampai ke altar dan memusat di
area jemaat di bagian tengah (Winarwan, 2001:27). Tampak
muka bangunan bergaya kolonial Gereja Katolik St Antonius
Purbayan yang tidak sepenuhnya simetri. Bagian sebelah kiri
dengan satu pintu lengkung kecil dan satu pintu lengkung besar

245
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 14, No. 1, 2016: 229-256

berbentuk berbeda dan sedikit masuk ke belakang. Sementara


bagian sebelah kanan memiliki simetri sendiri dengan dua pintu
lengkung kecil dengan menara pendek di puncaknya, dan satu
pintu lengkung besar dengan tiga jendela kaca patri, dan salib di
puncaknya. Adapun pintu kecil di tengah adalah sebenarnya
pusat tengah gedung, yang ruang dalamnya berbentuk simetri
penuh.
Gereja ini memiliki atap berbentuk
tajuk, dengan dua buah menara pada
bagian depan. Menara sebelah kiri gereja
berfungsi sebagai jalan penghubung an-
tara ruang balkon dan ruang atap, dan
menara sebelah kanan, berfungsi untuk
meletakkan dua buah lonceng penanda
waktu peribadatan. Tampak depan ba-
ngunan gereja Purbayan ini terlihat
kokoh. Hal ini menunjukkan pengaruh
gaya Indische Empire Style yang
berkembang pada bangunan megah
kolonial. Bangunan ini ditopang dengan
12 pilar di bagian tengahnya dan 22 pilar yang menyatu dengan
dinding bangunan. Pada dua menara memiliki hiasan di
puncaknya berupa sulur-sulur geometris dengan bahan logam,
dan hiasan ini diprediksi penulis bahwa hanya gereja inilah yang
memiliki hiasan puncak dengan model tersebut. Dinding batu
bata di luar bangunan diplester dengan finishing cat tembok
warna putih. Keseluruhan bangunan memang memiliki dinding
warna putih yang memberi kesan kolonial. Bangunan ini
memiliki teras sederhana pada pintu masuk utama yang
menghadap ke Selatan. Bangunan dikelilingi oleh pagar yang
memisahkan bangunan dengan jalan raya dan taman di samping
gereja, dilengkapi dengan lampu taman yang terletak di empat
sudut bangunan sebagai penerangan sekitar lingkungan gereja
pada malam hari. Bangunan yang dikelilingi oleh 10 buah
jendela kembar tiga dan dua buah jendela kembar dua. Pada tiap
jendela memiliki hiasan geometris dengan kaca patri dengan
dominan warna merah.

246
Gereja Santo Antonius Purbayan — Ahmad Yunani

Organisasi Ruang
Ruang-ruang yang terdapat pada gereja ini, yaitu area
eksterior (bagian teras), bilik pertama, bilik kedua (ruang
peralihan, area tangga menuju kantor sekretariat gereja, dan area
meletakkan persembahan), bilik ketiga (area peralihan menuju
ruang kebaktian), bilik keempat (ruang peralihan dan area tangga
menuju balkon tempat memainkan orgel), bilik kelima (ruang
peralihan dan area tangga menuju ruang sound system), ruang
jemaat (area duduk jemaat, area mimbar, area paduan suara, dan
alat musik), ruang kantor sekretariat (area menyimpan arsip dan
area kerja), ruang sound system, ruang pengoperasian orgel
musik gerejawi, dan menara lonceng. Batas ruang bisa berupa
wujud elemen fisik maupun non-fisik, tidak harus berupa
dinding, namun bisa berupa sesuatu yang tidak berwujud, baik
peninggian lantai, perbedaan material lantai, dan jajaran kolom.
Sirkulasi memusat karena pintu masuk bangunan terletak di
empat penjuru mata angin. Area jemaat menjadi pusat pertemuan
sirkulasi jika empat pintu tersebut dibuka, meskipun kadang
pintu Barat tidak dibuka karena difungsikan sebagai ruang
persiapan pelayanan ibadah.

Ruang Altar
Foto dok. Sekretariat Gereja Purbayan

Pada area altar sebagai meja persembahan terletak di area


tengah depan, yang diantaranya terdapat meja altar dengan

247
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 14, No. 1, 2016: 229-256

membelakangi tabernakel. Biasanya imam berdiri di balik altar


menghadap ke arah jemaat untuk memimpin ibadah (Neufert,
1987:185). Sakristi adalah kamar dalam gereja dimana para
pendeta berganti pakaian (jubah) menjelang upacara ibadah. Di
kamar ini pengurus gereja juga menyimpan jubah-jubah pendeta
serta persediaan lilin altar. Sakristi letaknya dekat dengan altar.
(Bentel, 1983 : 559).
Bagian utama Gereja Katolik St Antonius Purbayan menjadi
tempat diletakkannya tiga perabot utama gereja, yaitu kursi
pemimpin, ambo dan meja altar. Ambo adalah mimbar, tempat
bagi Lectionarium atau Buku Bacaan Misa.
Pada dinding terdapat sebuah jendela kaca patri bulat dengan
ornamen bunga dan merpati di pusatnya, diapit oleh patung
bidadari bersayap. Di bawahnya terdapat jendela kaca patri lagi,
diapit oleh masing-masing tiga jendela kaca patri di sayap kiri
kanan dinding. Ketujuh jendela kaca patri itu memiliki pola dasar
ornamen yang sama, namun isi ornamen utama pada masing-
masing jendela kaca patri itu berbeda-beda. Ada lukisan kijang,
huruf, garuda, hati, dan lambang lainnya.

Foto dok. Sekretariat Gereja Purbayan

Pada meja altar terdapat dua pasang lilin yang berdiri di atas
tempat lilin tinggi berwarna keemasan. Hiasan bebungaan di
depan meja altar memberi kesan tersendiri. Agak ke belakang
ada lagi dua pasang tempat lilin di kedua sayap yang masing-

248
Gereja Santo Antonius Purbayan — Ahmad Yunani

masing berisi tujuh batang lilin yang belum dibakar. Menutupi


kaca patri kedua di sebelah kiri terdapat foto merpati dengan
sayap terpentang dan tulisan “Kenaikan Isa Almasih” melingkari
separuh bagian atasnya. Di bawahnya terdapat penggambaran
Yesus berpakaian putih dengan tangan mengembang. Pada sayap
satunya lagi terdapat foto burung merpati juga, namun dengan
tulisan “Novena St. Antonius Purbayan”, lalu ada patung seorang
pendeta tengah menggendong bayi.
Sanctuary sitting atau bangku jemaat adalah kursi-kursi
yang disediakan untuk jemaat dilengkapi dengan tempat berlutut
yang nyaman, menarik, dan ergonomic, serta perlu diperhitung-
kan jumlah jarak peletakannya (Bentel, 1983 : 559).

Elemen Pembentuk Ruang


Lantai adalah bidang interior yang mempunyai dasar yang
rata. Lantai menjadi batas antar ruang dengan pemakaian
material yang sama atau berbeda pada tiap bilik. Pola lantai yang
dipakai pada bilik-bilik berbeda dengan pola lantai yang dipakai
di area jemaat. Material lantai yang digunakan adalah terasso 16
cm x 16 cm, dipotong-potong membentuk pola lantai. Renovasi
pertama penggantian material lantai tahun 1987. Warna yang
dipakai adalah warna monokromatik coklat (coklat tua, coklat
muda dan krem) dengan variasi warna hitam untuk mempertegas
pola geometrik pada lantai. Terasso merupakan material lantai
yang dipakai pada rumah tinggal
Belanda tempo dulu. Pengaruh bud-
aya Indis terlihat dari pemakaian
material terasso dengan warna mo-
no-kromatik coklat yang disusun
berpola geometris grid.

Dinding adalah struktur padat


yang melindungi suatu area, mem-
batasi suatu bangunan, dan menyo-
kong struktur lainnya. Dinding ba-
gian terpengaruh gaya The Empire
Indische Style dengan penggunaan
batu bata finishing plesteran dan

249
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 14, No. 1, 2016: 229-256

kuas kapur putih, berdinding tebal dan dominan warna putih, ada
ornamen motif garis, bunga, dan geometris yang ditumpuk-
tumpuk dari plesteran. Terdapat pilaster pada dinding dan
jendela yang memperlihatkan adanya pengaruh Renaissance, Art
Deco, dan Jawa. Pilaster merupakan salah satu ciri bangunan
The Indische Empire Style saat itu. Pilaster adalah bagian
bangunan untuk memperkuat dinding, berfungsi sebagai penguat
atau kolom, menyatu dengan dinding pada jarak-jarak tertentu
(Sumalyo, 1993:10). Penempatan pintu utama bangunan gereja
mendapat pengaruh gaya Art and Craft, dan jendela yang
menghadirkan sinar saat beribadah.
Ruang terbuka luas dipenuhi deretan bangku simetris dengan
langit-langit tinggi yang disebut Panti Umat. Rangkaian bunga
digantung selang-seling pada ujung meja. Ada pula dua kotak
sumbangan, satu di masing-masing kolom, berbungkus kain
putih untuk diedarkan keliling pada saat misa berlangsung. Di
belakang pilar-pilar penyangga di sisi kanan kiri ruangan,
terdapat deretan patung yang menceritakan perjalanan Yesus
yang disebut jalan salib, dimulai dari bagian depan sebelah kiri
ruangan gereja.

Gambar timbul Jalan Salib Tempat meletakkan lilin


persembahan

250
Gereja Santo Antonius Purbayan — Ahmad Yunani

Pintu dan Jendela


Pintu merupakan elemen transisi yang berfungsi untuk
keluar masuk orang atau barang selain udara. Pintu berguna
menghubungkan ruang-ruang interior sebuah bangunan. Penem-
patannya mempengaruhi pola-pola sirkulasi dari satu ruang ke
ruang lain, maupun di dalam ruang itu sendiri. Pintu masuk
utama gereja menghadap Selatan dan memiliki bentuk yang
paling berbeda dengan pintu yang lain. Pintu masuk utama ini
memiliki bentuk dan ornamen geometris yang mendapat
pengaruh dari gaya Art and Craft yang muncul pada tahun 1888-
1920. Pintu dengan gaya Art and Craft menggunakan daun pintu
kayu berpanel yang diberi detail geometris.
Jendela merupakan elemen bangunan yang berfungsi untuk
keluar masuk udara dan cahaya alami. Terdapat beberapa jenis
jendela dari bahan kaca pateri (stained glass). Pada jendela ini
terlihat adanya pengaruh gaya kolonial tanpa pengaruh budaya
Jawa. Jendela pada area jemaat berbeda dengan jendela bilik, hal
ini hanya mempertimbangkan aspek fungsi ruang saja, termasuk
perbedaan ukuran jendela yang bermotif dan berwarna-warni.

Pada dinding terdapat sebuah jendela kaca patri bulat dengan


ornamen bunga dan merpati di pusatnya, diapit oleh patung
bidadari bersayap. Di bawahnya terdapat jendela kaca patri lagi,
diapit oleh masing-masing tiga jendela kaca patri di sayap kiri
kanan dinding. Ketujuh jendela kaca patri itu memiliki pola dasar
ornamen yang sama, namun isi ornamen utama pada masing-

251
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 14, No. 1, 2016: 229-256

masing jendela kaca patri itu berbeda-beda. Ada lukisan kijang,


huruf, garuda, hati, dan lambang lainnya.

Elemen Pengisi Ruang


Perabot di gereja ini merupakan perabot asli yang sudah
ada sejak dulu. Renovasi-renovasi yang dilakukan hanya
perbaikan finishing. Pada area jemaat terdapat dua jenis kursi
yaitu kursi jemaat tunggal dan kursi panjang di balkon. Kursi
jemaat ditata linier ke arah mimbar pendeta. Material yang
digunakan yakni kayu ebony warna hitam kombinasi anyaman
rotan. Bentuk kursi dinamis lengkung, terkesan klasik, hampir
tanpa ornamen pada badan kursi, terdapat bentuk lengkung pada
sandaran tangan. Kursi yang terletak di balkon, disusun berben-
tuk segi delapan mengelilingi area jemaat. Kursi balkon ini
dibedakan menjadi tiga yaitu kursi balkon untuk majelis, paduan
suara, dan jemaat. Bentuk secara keseluruhan terkesan alami,
menunjukkan ciri-ciri gaya Indis.
Meja persembahan biasanya ditutup dengan kain warna
hijau atau putih. Pilihan warna kain disesuaikan dengan acara
atau kegiatan gereja. Material yang digunakan yakni kayu jati.
Bentuknya memperlihatkan adanya perpaduan gaya klasik Eropa
dengan motif ukiran tradisional Jawa berupa motif lunglungan.
Kotak persembahan terletak di samping mimbar pendeta ber-
fungsi sebagai tempat persembahan diakonia, perpuluhan atau-
pun ucapan syukur. Kotak ini terbuat dari kayu jati finishing
politur. Terdapat ukiran motif daun pokok relung dengan tam-
bahan ulir dan motif tumpal dengan ulir yang saling berhadapan.
Keseluruhan bentuknya menun- jukkan perpaduan gaya Eropa
dengan ukiran tradisional Jawa.

252
Gereja Santo Antonius Purbayan — Ahmad Yunani

Mimbar pelayan firman dibuat tinggi untuk menggambar-


kan pendeta berhubungan langsung dengan Tuhan dalam
penyampaian firman, terletak di bagian depan jemaat. Bentuk
mimbar tidak memiliki bentuk khusus, berwarna coklat politur,
terdapat simbol salib di bagian tengah, berdekatan dengan gong
jawa yang berfungsi sebagai penanda akan dilakukannya
upacara. Mimbar ini terbuat dari kayu jati finishing politur.
Selain mimbar pendeta, terdapat pula mimbar majelis lainnya
bersebelahan agak jauh dengan mimbar imam. Bentuk keselu-
ruhan mimbar imam maupun majelis menunjukkan ciri-ciri gaya
kolonial dengan motif ukiran tradisional Jawa.

Patung orang yang disucikan

Selain elemen yang berada pada ruang altar, ada juga


elemen-elemen yang mengisi dan menghiasi ruang jemaat dan
difungsikan sebagai penambah kehidmatan dalam beribadah.
Seperti patung Bunda Maria, Santo, dan patung orang-orang

253
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 14, No. 1, 2016: 229-256

kudus pengikut Tuhan, yang berfungsi sebagai pengingat akan


perjuangan tokoh para Santo dan Santa yang memiliki karya-
karya pelayanan dalam bidang misi, hak asasi manusia, keadilan
sosial, dan pendidikan tinggi. Adanya gambar berukir di
sekeliling dinding ruang jemaat yang bertemakan jalan salib,
yaitu mengandung makna mengingatkan kembali masa sengsara
Tuhan Yesus yang telah rela mati untuk menebus dosa-dosa, dan
agar umat jangan berputus asa untuk terus bangkit kembali dari
dalam dosa, karena kelak memiliki kehidupan yang kekal
bersama Tuhan pada waktu-Nya16.

Penutup
Surakarta atau biasa dikenal dengan Solo adalah kota dengan
budaya jawanya yang kental. Kota yang merupakan bekas daerah
kerajaan Mataram Islam ini selama beratus-ratus tahun juga
banyak bercampur dengan budaya kolonial. Pengaruh dari
kolonial ini tidak hanya dalam bidang politik dan ekonomi
namun juga dalam bidang keagamaan dan kebudayaan.
Gereja adalah salah satu bukti dimana pengaruh kolonial da-
lam bidang agama dan budaya. Gereja Santo Antonius Purbayan
merupakan salah satu bentuk dari pengaruh kolonial. Gereja
yang telah berumur hampir satu abad ini menjadi saksi sejarah
dalam perkembangan agama Katolik di Surakarta. Karena peran
historisnya maka bangunan gereja tersebut mendapat peng-
hargaan sebagai cagar budaya yang patut dilestarikan.
Gereja tersebut memiliki keunikannya masing-masing
terutama dari segi arsitektur. Gereja Santo Antonius Purbayan
memiliki corak arsitek bergaya neo gotik yang sangat identik
dengan bangunan-bangunan gereja yang ada di Eropa umumnya.
Gereja ini menjadi cikal dari adanya gereja gereja lainnya di
kota Solo, sebagai pelayan iman Katolik di tanah Jawa, sehingga
dalam pelaksanaanya banyak ditemukan beberapa aktifitas dan
ritual ibadah yang disesuaikan dengan tradisi yang ada.

16
Wawancara dengan Alexander Didik Partomo, Kepala Kantor Sekreta-
riat Gereja St. Antonius Purbayan, tanggal 4 April 2016.

254
Gereja Santo Antonius Purbayan — Ahmad Yunani

Daftar Pustaka

Adolf Heuken., Ensiklopedi Populer tentang Gereja Katolik di


Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Loka Caraka, 1989).
Huub J.W.M. Boelars., Indonesiasi: Dari Gereja Katolik di
Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, (Yogyakarta:
Kanisius, 2005), hlm. 70.
M.C. Ricklefs., Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 1991, hlm. 228.
Malik M., “Tempat Ibadah dan Doktrin Agama: Kasus Gereja
Masehi Advent Hari Ketujuh di Jakarta”, Jurnal Penamas,
Vol. XX. No. 1. (2007). hlm. 27.
Muskens Pr., Sejarah Gereja Katolik di Indonesia jilid IV:
Pengintegrasian di Alam Indonesia, (Jakarta: Bagian
Dokumentasi Penerangan Kantor Waligereja Indonesia,
1973), hlm. 60.
Pedoman Gereja Katolik Indonesia: Sidang Agung KWI-Umat
Katolik, (Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia, 1995),
hlm. 126.
R. Kuris., Purbayan di Tengah Rakyat dan Ningrat, (Solo, Araya:
2009). hlm. 67.
R.Ay. Sri Winarti P., Sekilas Sejarah Karaton Surakarta
(Sukoharjo-Surakarta, Cendrawasih, 2004), hlm. 16.
Rustopo., Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa:
Menjadi Jawa, (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm. 62.
Tim Penyusun 75 Tahun Gereja St. Antonius Purbayan
Surakarta., 75 tahun Gereja St. Antonius Purbayan
Surakarta, (Surakarta: Paroki St. Antonius Purbayan, 1991),
hlm. 3

255
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 14, No. 1, 2016: 229-256

Wawancara:
• Alexander Didik Partomo, Kepala Kantor Sekretariat Gereja
St. Antonius Purbayan, tanggal 4 April 2016.
• Koster Soegianto, Staf Kantor Sekretariat Gereja St. Antonius
Purbayan, tanggal 4 April 2016.
• Pimpinan Kantor Sekretariat Gereja St. Antonius Purbayan,
tanggal 5 April 2016.
• Staf Kantor Sekretariat Gereja St. Antonius Purbayan, tanggal
4 April 2016.

256

You might also like