Professional Documents
Culture Documents
Ririen Ambarsari
Fakultas Hukum Universitas Kanjuruan Malang
Jalan S. Supriadi No. 48, Malang, Jawa Timur
E-mail: ririen_ambarsarie@unikama.ac.id
DOI: http://dx.doi.org/10.51825/nhk.v3i2.8573
Info Artikel
|Submitted: 16 Juli 2020 |Revised: 21 Oktober 2020 |Accepted: 21 Oktober 2020
How to cite: Muhammad Fajar Hidayat, Ririen Ambarsari, “Anotasi Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/Puu-Xiv/2016 dalam Perspektif Hermeneutika
Hukum”, Nurani Hukum : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 2, (Desember, 2020)”, hlm. 1-14.
ABSTRACT
In its verdict read out on December 14, 2017 against case Number 46 / PUU-XIV / 2016, the
Constitutional Court ruled in rejecting the lawsuit for adultery and same-sex, or lesbian, gay, bisexual,
transgender (LGBT) matters that are regulated in the Criminal Code with the Petitioner namely Prof. Dr. Ir.
Euis Sunarti, M.S. and friends. In principle, the Petitioners request that the Constitutional Court omit a
number of verses, words and / or phrases in Article 284 paragraph (1), paragraph (2), paragraph (3),
paragraph (4), paragraph (5), Article 285 and Article 292 Criminal Code. Although there are dissenting
opinions from 4 (four) Constitutional Justices namely Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams,
and Aswanto, still 5 (five) other Constitutional Justices namely Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna,
Suhartoyo, Manahan MP Sitompul, and Saldi Isra argued that the MK only had the authority as a negative
legislator. That is, the Constitutional Court can only cancel the Act and cannot take the authority of
Parliament in making laws or regulations as positive legislators. The purpose of this study is to find out and
analyze whether the Constitutional Court Decision reflects the sense of justice that lives in the community or
not when analyzed in the perspective of legal hermeneutics. The research method used is legal research. The
results showed that the Constitutional Court's Decision, did not reflect a sense of justice that lives in the
community when analyzed in the perspective of legal hermeneutics. The Constitutional Court's decision
emphasizes the aspect of legal certainty at the expense of justice and expediency. The needs of positive
legislators are not partial but comprehensive needs. Positive legislators see that judges must have an idea of
substantive justice that changes with the development of society, not merely procedural justice. Positive
legislators by expanding the scope of a criminal act (strafbaar feit) can be done, when the norms of the law
actually reduce and even conflict with religious values and the divine light which is basically 'given' for the
order and welfare of human life.
Nurani Hukum : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 2 Desember 2020, ISSN.2655-7169 | 1
Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/Puu-Xiv/2016
Dalam Perspektif Hermeneutika Hukum
ABSTRAK
Dalam putusannya yang dibacakan pada tanggal 14 Desember 2017 terhadap perkara
Nomor 46/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan uji materi
tentang zina dan hubungan sesama jenis atau Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) yang
diatur dalam KUHP dengan Pemohon yakni Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.S. dan kawan-kawan.
Pada prinsipnya, para Pemohon memohon agar MK menghilangkan sejumlah ayat, kata dan/atau
frasa dalam Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP.
Walaupun ada pendapat berbeda (dissenting opinion) dari 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yakni
Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, dan Aswanto, tetap saja 5 (lima) orang Hakim
Konstitusi lainnya yakni Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Manahan MP
Sitompul, dan Saldi Isra berpendapat bahwa MK hanya memiliki kewenangan sebagai negative
legislator. Artinya, MK hanya dapat membatalkan UU dan tidak dapat mengambil kewenangan
Parlemen dalam membuat UU atau peraturan sebagai positive legislator. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui dan menganalisis apakah Putusan MK tersebut sudah mencerminkan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat atau tidak apabila dianalisis dalam perspektif hermeneutika
hukum. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Putusan MK tersebut, belum mencerminkan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat apabila dianalisis dalam perspektif hermeneutika hukum. Putusan MK tersebut lebih
mengedepankan aspek kepastian hukum semata dengan mengorbankan keadilan dan
kemanfaatan. Kebutuhan positive legislator bukan kebutuhan yang parsial tapi komprehensif.
Positive legislator lebih melihat bahwa hakim harus memiliki gagasan keadilan substantif yang
berubah mengikuti perkembangan masyarakat, tidak semata-mata keadilan prosedural. Positive
legislator dengan memperluas ruang lingkup suatu tindak pidana (strafbaar feit) dapat dilakukan,
manakala norma undang-undang secara nyata mereduksi dan bahkan bertentangan dengan nilai
agama dan sinar ketuhanan yang pada dasarnya bersifat 'terberi' (given) bagi ketertiban dan
kesejahteraan kehidupan manusia.
2 | Nurani Hukum : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 2 Desember 2020. ISSN. 2655-7169
Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/Puu-Xiv/2016
Dalam Perspektif Hermeneutika Hukum
Nurani Hukum : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 2 Desember 2020. ISSN. 2655-7169 | 3
Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/Puu-Xiv/2016
Dalam Perspektif Hermeneutika Hukum
4 | Nurani Hukum : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 2 Desember 2020. ISSN. 2655-7169
Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/Puu-Xiv/2016
Dalam Perspektif Hermeneutika Hukum
XIV/2016. 10 Ibid.
Nurani Hukum : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 2 Desember 2020. ISSN. 2655-7169 | 5
Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/Puu-Xiv/2016
Dalam Perspektif Hermeneutika Hukum
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum pidana Indonesia sehingga jika
kekuatan hukum mengikat. norma hukum (legal substance) tersebut
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 diperbaiki maka diharapkan struktur
ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 hukum (legal structure) dan budaya
Tahun 2009 tentang Kekuasaan hukum (legal culture) masyarakat di
Kehakiman dapatlah diketahui bahwa Indonesia dalam menyikapi fenomena di
“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib atas dapat berubah menjadi lebih baik
menggali, mengikuti, dan memahami lagi. Hal inilah yang mendorong para
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang pemohon untuk menguji beberapa pasal
hidup dalam masyarakat”. Ini artinya, terkait zina dan LGBT tersebut ke
Hakim Konstitusi wajib menggali, Mahkamah Konstitusi.
mengikuti, dan memahami nilai-nilai Berdasarkan latar belakang
hukum yang hidup di tengah-tengah masalah tersebut, yang menjadi rumusan
masyarakat (living law) seperti hukum masalah dalam penelitian ini yaitu
agama dan hukum adat serta rasa apakah Putusan MK RI No. 46/PUU-
keadilan yang diyakini oleh masyarakat. XIV/2016 sudah mencerminkan rasa
Dalam kasus tersebut, saya menilai MK keadilan yang hidup dalam masyarakat
belum maksimal dalam mengikuti apabila dianalisis dalam perspektif
ketentual Pasal tersebut. Hal ini dapat hermeneutika hukum ?
dilihat dari 5 (lima) orang Hakim Adapun unsur kebaruan (novelty)
Konstitusi mendasarkan pendapatnya dari artikel ini adalah penulis
dari perspektif yuridis semata dan dalam menggunakan perspektif hermeneutika
mengambil keputusan belum optimal hukum untuk menganalisis Putusan MK
untuk menggali, mengikuti, dan tersebut apakah sudah mencerminkan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa rasa keadilan yang hidup dalam
keadilan yang hidup dalam masyarakat. masyarakat atau tidak.
Dari segi sosiologis, jelaslah
bahwa mayoritas masyarakat Indonesia B. HASIL PENELITIAN DAN
menginginkan agar zina dan LGBT itu PEMBAHASAN
dilarang karena hal tersebut tidak sesuai LGBT adalah akronim dari
dengan hukum agama yang ada di “lesbian, gay, biseksual dan transgender”.
Indonesia. Sayangnya, hal tersebut belum Istilah ini digunakan semenjak tahun
bisa direalisasikan karena Kitab Undang- 1990-an dan menggantikan frasa
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang "komunitas gay"11 karena istilah ini lebih
dipakai masih mengacu pada ketentuan mewakili kelompok-kelompok yang telah
peninggalan Belanda itu atau yang lebih disebutkan.12 Akronim ini dibuat dengan
dikenal dengan Wetboek van Straftrecht tujuan untuk menekankan
(WvS). Memang, ada usaha untuk keanekaragaman "budaya yang
merevisi KUHP tersebut agar sesuai berdasarkan identitas seksualitas dan
dengan nilai-nilai yang berlaku di gender". Kadang-kadang istilah LGBT
masyarakat Indonesia. Namun, setelah digunakan untuk semua orang yang tidak
hampir 55 tahun belum juga terealisasi. heteroseksual, bukan hanya homoseksual,
Banyaknya perilaku main hakim
sendiri (eigenrichting) yang selama ini 11 Mike Gunderloy, “Acronyms,
dilakukan masyarakat terhadap pelaku initialisms & abbreviations dictionary”, Volume 1,
hubungan seksual terlarang (baik dalam Part 1 Gale Research Co., 1985, Factsheet five,
bentuk zina, perkosaan, maupun Issues 32-36, (1989).
12 Shankle, Michael D., The Handbook of
homoseksual) justru terjadi karena nilai
Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender Public Health:
agama dan living law masyarakat A Practitioner's Guide To Service, Haworth Press,
Indonesia tidak diakomodir dalam sistem 2006.
6 | Nurani Hukum : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 2 Desember 2020. ISSN. 2655-7169
Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/Puu-Xiv/2016
Dalam Perspektif Hermeneutika Hukum
biseksual, atau transgender. Maka dari ijtihad para ahli hukum (doktrin). 16
itu, seringkali huruf Q ditambahkan agar Metode dan teknik menafsirkannya
queer dan orang-orang yang masih dilakukan secara holistik dalam bingkai
mempertanyakan identitas seksual keterkaitan antara teks, konteks, dan
mereka juga terwakili, contohnya kontekstualisasi.17
"LGBTQ" atau "GLBTQ", tercatat Untuk menjawab apakah Putusan
semenjak tahun 1996. 13 Istilah LGBT MK RI No. 46/PUU-XIV/2016 yang
sangat banyak digunakan untuk menolak permohonan para Pemohon
penunjukkan diri. Istilah ini juga untuk seluruhnya sudah mencerminkan
diterapkan oleh mayoritas komunitas dan rasa keadilan yang hidup dalam
media yang berbasis identitas seksualitas masyarakat apabila dianalisis dengan
dan gender di Amerika Serikat dan pendekatan hermeneutika hukum maka
beberapa negara berbahasa Inggris penulis akan berangkat dari apa yang
lainnya. 14 Adanya kelompok Lesbian, menjadi substansi permohonan para
Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) Pemohon dan pendapat para hakim
di Indonesia merupakan salah satu dasar sampai terjadinya dissenting opinion. Para
pertimbangan permohonan yang Pemohon menganggap hak-hak
dimohon oleh Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, konstitusionalnya telah terlanggar atau
M.S. dan kawan-kawan untuk diuji oleh berpotensi untuk terlanggar yang
Mahkamah Konstitusi. disebabkan oleh berlakunya Pasal 284
Untuk membedah isu hukum di ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat
atas, diperlukan teori yang tepat agar (5), Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP.
permasalahan tersebut bisa dikupas Adapun hak-hak konstitusional
secara lebih mendalam dan dimaksud, menurut para Pemohon,
komprehensif. Dalam penelitian ini, adalah18:
penulis menggunakan pisau analisis 1. hak untuk mendapatkan
hermeneutika hukum sebagai teori perlindungan negara dan hak untuk
penemuan hukum baru. Menurut Jazim menjadi masyarakat yang adil dan
Hamidi, hermeneutika hukum adalah beradab, sebagaimana dimaksud
ajaran filsafat mengenai hal dalam Pembukaan UUD 1945;
mengerti/memahami sesuatu, atau 2. hak untuk tinggal dalam negara
sebuah metode interpretasi (penafsiran) yang berdaulat, negara yang
terhadap teks.15 Kata “sesuatu/teks” yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
dimaksudkan di sini, bisa berupa: teks Esa serta kemanusiaan yang adil
hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dan beradab sesuai dengan sila
dokumen resmi negara, naskah-naskah pertama dan kedua Pancasila dan
kuno, ayat-ayat ahkam dalam kitab suci, sebagaimana juga diatur dalam
ataupun berupa pendapat dan hasil Pembukaan UUD 1945;
3. hak untuk memperjuangkan hak
13 The Santa Cruz County in-queery,
secara kolektif untuk kemajuan
“Santa Cruz Lesbian, Gay, Bisexual & bangsa dan negara, sebagaimana
Transgendered Community Center”, Volume 9, diatur dalam Pasal 28C ayat (2)
1996. UUD 1945;
14 The 2008 Community Center Survey
4. hak atas rasa aman untuk bebas
Report: Assessing the Capacity and Programs of
Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender dari rasa takut dan ancaman bagi
Community Centers 29 Agustus 2008, Terry Stone, diri, martabat, dan keluarga
CenterLink (formerly The National Association of
Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender
Community Centers). 16 Ibid.
15 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, UB 17 Ibid.
Press, Malang, 2011, hlm. 94. 18 Putusan MK, Op.Cit., hlm. 423-424.
Nurani Hukum : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 2 Desember 2020. ISSN. 2655-7169 | 7
Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/Puu-Xiv/2016
Dalam Perspektif Hermeneutika Hukum
8 | Nurani Hukum : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 2 Desember 2020. ISSN. 2655-7169
Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/Puu-Xiv/2016
Dalam Perspektif Hermeneutika Hukum
Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan perbuatan yang dapat dipidana menjadi
keniscayaan yang tidak dapat ditawar- perbuatan pidana (delict), yaitu :
tawar. Agama-agama di Indonesia pada 1. Zina, sebagaimana diatur dalam
dasarnya juga melarang perzinahan di Pasal 284 KUHP, akan menjadi
luar perkawinan, melarang pemerkosaan mencakup seluruh perbuatan
kepada siapa saja, dan melarang persetubuhan antara laki-laki dan
hubungan sesama jenis. perempuan yang tidak terikat
Para Pemohon berpendapat dalam suatu ikatan perkawinan
bahwa KUHP yang merupakan produk yang sah;
Pemerintah Kolonial Belanda dan 2. Pemerkosaan, sebagaimana diatur
diberlakukan sejak 1886 sudah tidak dalam Pasal 285 KUHP, akan
sesuai lagi dengan perkembangan sosial menjadi mencakup semua
budaya di Indonesia. Oleh karena itu, kekerasan atau ancaman kekerasan
keinginan untuk memperbarui KUHP untuk bersetubuh, baik yang
telah lahir sejak 1963 namun hingga saat dilakukan oleh laki-laki terhadap
ini tidak ada tanda-tanda untuk segera perempuan maupun yang
disahkannya revisi terhadap KUHP dilakukan oleh perempuan
tersebut sementara gejolak sosial di terhadap laki-laki;
masyarakat, menurut para Pemohon, 3. Perbuatan cabul, sebagaimana
sudah demikian parah dan memerlukan diatur dalam Pasal 292 KUHP, akan
tindakan serius pembuat kebijakan. menjadi mencakup setiap
Dalam penilaian para Pemohon, saat ini perbuatan cabul oleh setiap orang
telah terjadi pergeseran nilai-nilai dengan orang dari jenis kelamin
dikarenakan ketidakjelasan hukum yang sama, bukan hanya terhadap
perihal kesusilaan, terutama dalam hal anak di bawah umur.
perzinahan, pemerkosaan, dan cabul Dengan demikian, apabila
sesama jenis. Meskipun telah ada ditelaah lebih jauh berarti para Pemohon
program legislasi nasional yang akan memohon agar Mahkamah bukan lagi
merevisi KUHP yang telah berlangsung sekadar memperluas ruang lingkup
sejak lama, belum tampak ada tanda- perbuatan atau tindakan yang
tanda bahwa revisi tersebut akan segera sebelumnya bukan merupakan perbuatan
disahkan sementara gejolak sosial pidana atau tindak pidana tetapi juga
memerlukan tindakan dan aksi serius mengubah sejumlah hal pokok atau
dari pembuat kebijakan. prinsip dalam hukum pidana, bahkan
Menurut MK, maksud merumuskan tindak pidana baru. Sebab,
permohonan para pemohon pada intinya dengan permohonan demikian secara
adalah meminta Mahkamah untuk implisit Pemohon memohon agar
memperluas cakupan atau ruang lingkup, Mahkamah mengubah rumusan delik
bahkan mengubah, jenis-jenis perbuatan yang terdapat dalam pasal-pasal KUHP
yang dapat dipidana dalam pasal-pasal yang dimohonkan pengujian sehingga
KUHP yang dimohonkan pengujian dengan sendirinya bukan hanya akan
karena menurut para Pemohon sudah mengubah kualifikasi perbuatan yang
tidak sesuai lagi dengan perkembangan dapat dipidana tetapi juga kualifikasi
masyarakat, sementara jika menunggu subjek atau orang yang dapat diancam
proses legislasi yang sedang berlangsung pidana karena melakukan perbuatan
saat ini tidak dapat dipastikan kapan tersebut. Putusan MK memiliki
akan berakhir. Dengan kata lain, para kedudukan setara dengan UU sehingga
Pemohon meminta Mahkamah untuk daya ikatnya pun setara dengan UU.
melakukan kebijakan pidana (criminal Namun kesetaraan itu adalah dalam
policy) dalam pengertian merumuskan konteks pemahaman akan kedudukan
Nurani Hukum : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 2 Desember 2020. ISSN. 2655-7169 | 9
Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/Puu-Xiv/2016
Dalam Perspektif Hermeneutika Hukum
10 | Nurani Hukum : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 2 Desember 2020. ISSN. 2655-7169
Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/Puu-Xiv/2016
Dalam Perspektif Hermeneutika Hukum
Nurani Hukum : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 2 Desember 2020. ISSN. 2655-7169 | 11
Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/Puu-Xiv/2016
Dalam Perspektif Hermeneutika Hukum
satu kesatuan antara teks, konteks, dan main hakim sendiri (eigenrichting) dalam
kontekstualisasinya. 25 Dalam hal ini, menyikapi perbuatan zina, pemerkosaan
peristiwa hukum maupun peraturan dan perbuatan cabul atau yang lagi
perundang-undangan tidak semata-mata fenomenal saat ini adalah zina dan LGBT.
dilihat atau ditafsirkan dari aspek Terkait dengan pertimbangan
legalitas formal berdasar bunyi teks-nya Hakim Konstitusi yang menyatakan
semata, tetapi juga harus dilihat dari bahwa Mahkamah sebagai negative
faktor-faktor yang melatarbelakangi legislator, bukan dalam pemahaman
peristiwa atau sengketa itu muncul, apa sebagai pembentuk UU (positive legislator)
akar masalahnya, adakah intervensi dan ketika menyangkut norma hukum
politik yang membidani dikeluarkannya pidana, Mahkamah dituntut untuk tidak
putusan itu, serta sudahkah dampak dari boleh memasuki wilayah kebijakan
putusan itu dipikirkan bagi proses pidana atau politik hukum pidana
penegakan hukum dan keadilan (aspek (criminal policy). Apabila dicermati
sosio-politik-kulturalnya) di kemudian dengan seksama, sepertinya
hari. 26 Sepertinya hal ini belum terlihat pertimbangan MK di atas bertolak
dari 5 (lima) orang Hakim Konstitusi belakang bahkan berbanding terbalik
yang menolak permohonan para dengan apa yang menjadi Putusan MK
Pemohon untuk seluruhnya. No. 21/PUU-XII/2014. Dalam Putusan
Terhadap putusan tersebut, MK tersebut, diputuskan bahwa
penulis menilai akan ada benturan atau ketentuan Pasal 77 huruf A KUHAP tidak
gesekan antara nilai-nilai hukum dan rasa memiliki kekuatan hukum mengikat
keadilan yang hidup dalam masyarakat sepanjang tidak dimaknai termasuk
(living law) seperti hukum agama dan penetapan tersangka, penggeledahan dan
hukum adat dengan hukum nasional penyitaan. Adapun salah satu
sebagaimana diatur dalam KUHP terkait pertimbangan hukumnya, penetapan
zina, pemerkosaan dan perbuatan cabul tersangka adalah bagian dari proses
sebagai produk hukum yang tidak sesuai penyidikan yang merupakan perampasan
dengan nilai-nilai dan jati diri bangsa. terhadap hak asasi manusia maka
Dalam agama Islam, zina adalah seharusnya penetapan tersangka oleh
perbuatan bersenggama antara laki-laki penyidik merupakan objek yang dapat
dan perempuan yang tidak terikat oleh dimintakan perlindungan melalui ikhtiar
hubungan pernikahan (perkawinan). hukum pranata praperadilan. Hal
Dalam Islam, ulama fikih sepakat bahwa tersebut semata-mata untuk melindungi
perzinahan diharamkan sebagaimana seseorang dari tindakan sewenang-
disebutkan dalam Q.S. Al-Israa’: 32 yang wenang penyidik yang kemungkinan
artinya “Dan janganlah kalian mendekati besar dapat terjadi ketika seseorang
zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu ditetapkan sebagai tersangka, padahal
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan
buruk”. Sejalan dengan ini, agama Kristen maka tidak ada pranata lain selain
dalam Injil Matius 5: 27 yang bersabda pranata praperadilan yang dapat
“Kamu telah mendengar firman, Jangan memeriksa dan memutusnya. MK
berzina”. Ini artinya, pada prinsipnya putuskan penetapan tersangka masuk
semua agama di Indonesia melarang objek praperadilan, bukankah itu
perbuatan tersebut. Apabila ini terus termasuk penambahan norma baru
dibiarkan tidak tertutup kemungkinan (positive legislator) dan Mahkamah sudah
masyarakat akan melakukan tindakan masuk wilayah kebijakan pidana atau
politik hukum pidana (criminal policy).
25 Ibid.
Oleh karena itu, penulis tidak
26 Ibid. sependapat dengan Putusan MK yang
12 | Nurani Hukum : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 2 Desember 2020. ISSN. 2655-7169
Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/Puu-Xiv/2016
Dalam Perspektif Hermeneutika Hukum
Nurani Hukum : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 2 Desember 2020. ISSN. 2655-7169 | 13
Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/Puu-Xiv/2016
Dalam Perspektif Hermeneutika Hukum
14 | Nurani Hukum : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 2 Desember 2020. ISSN. 2655-7169