You are on page 1of 32

Picture Exchange Communications System Therapy To Improve

Communications In Autistic Children, Literature Review

Hilmi Tri Mahfiroh1, Musviro2

Prodi D3 Nursing, Faculty of Nursing University of Jember, Indonesia

Corresponding Author

Hilmi Tri Mahfiroh htrimahfiroh@gmail.com Faculty of Nursing,

University of Jember, Indonesia

ABSTRACT

Autism is a disease that causes sufferers to experience disturbances in the

development of their brain work and affects communication skills both verbally

and non-verbally in their social life. In general, people with autism have

expressive communication that must be developed and trained. One method that

can be used to assist the communication process functionally is the Picture

Exchange Communications System (PECS). Purpose: The purpose of writing

Scientifiec Paper to improve PECS therapy is to analyze and find out an increase

in verbal and non verbal Communications in autistic Children. Method: The

design of this paper uses a literature review. Initial search of research articles with

Science Direct, PubMed and Google Scholar databases. The literature search

study on PECS therapy in autistic children found 592 articles, after the selection

of studies adjusted to the inclusion and exclusion criteria resulted in 10 articles.

Results: According to the results of a literature review, Picture Exchange

Communications System (PECS) therapy can be given to autistic children who

experience communication

barriers because it can improve communication both verbally and non-verbally in


autistic children. Conclusion: Giving Picture Exchange Communications System

(PECS) therapy is a method that is quite effective for autistic children who

experience nursing problems with communication barriers in order to help the

process of social interaction in the surrounding environment.

INTRODUCTION

Autis merupakan suatu penyakit yang dapat menyebabkan seseorang

penderitnya mengalami gangguan pada perkembangan kerja otaknya secara normal

dalam kemampuan sosialitasnya dan juga kemampuannya dalam berkomunikasi

(verbal mau pun non verbal) dengan lawan bicaranya. Hal tersebut umumnya

disebabkan oleh Autisme Spectrum Disorder (ASD).

Berdasarkan data dari Centre of Disease Control (CDC) di Amerika

memperkirakan prevalensi (angka kejadian) anak dengan gangguan spektrum

autisme di tahun 2018 yakni 1 dari 59 anak, meningkat sebesar 15% dibandingkan

tahun 2014 yaitu 1 dari 68 anak. Sedangkan WHO memprediksi 1 dari 160 anak di

dunia menderita gangguan spektrum autisme (Kemenkes RI, 2020). Menurut

Kemenkes (2018) prevalensi anak berkebutuhan khusus di berbagai provinsi di

Indonesia cukup memprihatinkan. Angka Anak berkebutuhan khusus (ABK)

tertinggi terdapat di provinsi Sulawesi Tengah 7,0 %, Gorontalo 5,4%, Sulawesi

Selatan 5, 3%, Banten 5,0%, Sumatera Barat 5,0%. Sedangkan di pulau Jawa,

Jawa Barat mendapat posisi kelima, setelah DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa

Timur dan Jawa Tengah yaitu sebanyak 2,8%. Di Jawa Timur, khususnya kota

Lumajang yang dilansir oleh Supriyanto (2021) salah satu sekolah menengah

pertama Luar Biasa

bagi penyandang ABK pada tahun 2014 telah menampung anak didik ABK

sebanyak 31 siswa. Yang terbagi dalam klasifikasi A tuna netra, B tuna rungu
wicara, C tuna rungu grahuta, D tuna daksa dan autis.

Taryadi & Kurniawan (2017) mengemukakan bahwa pada penderita

autisme terdapat adanya gangguan perkembangan kompleks dengan gejala yang

dapat muncul pada anak usia 3 tahun. Gangguan neurologi pervasif terjadi pada

aspek neurobiologis otak dan berpengaruh pada proses perkembangan anak.

Gangguan perkembangan fungsi otak yang terjadi pada autis juga bevariasi,

sehingga gangguan-gangguan tersebut berpengaruh pada cara berkomunikasi,

berinteraksi sosial, kemampuan berimajinasi dan perilaku (Purnamasari, 2018)

akibatnya anak 2 tidak dapat belajar secara otomatis dalam berinteraksi dan

berkomunikasi serta bersosialisasi terhadap lingkungan sekitar, seolah-olah hidup

dalam dunianya sendiri (Taryadi & Kurniawan, 2017).

Goa, dkk. (2017) menjelaskan bahwa pada umumnya anak dengan autis

memiliki komunikasi eksprensif, karenanya harus dikembangkan dan dilatih sebab

hal tersebut berpengaruh terhadap interaksi yang dilakukan si anak dengan dunia

sekitar. Wijayakusuma (2008) dalam Goa, dkk (2017) menjabarkan karakteristik

yang dimiliki oleh penderita autis yaitu komunikasi, sosialisasi, perilaku dan

kelainan penginderaan. Dalam berkomunikasi penderita mengalami kesulitan

dalam berbicara atau berbahasa sehingga yang dapat dilakukan berkomunikasi

dengan menggunakan bahasa tubuh. Sedangkan dalam bersosialisasi, penderita

autis enggan untuk berinteraksi karena cenderung menghabiskan waktunya untuk

menyendiri. Tidak ada ketertarikan untuk berteman satu sama lain serta

bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.

Akibat yang dapat timbul dari gangguan autisme pada anak-anak seperti

yang dijelaskan oleh Purnama (2019) yaitu penderita autis akan mengalami

kesulitan berkomunikasi hingga dewasa. Yang mana kesulitan dalam


berkomunikasi dapat menimbulkan perilaku yang tidak terkontrol seperti

melempar benda-benda di sekitar, menendang, menyakiti diri sendiri mau pun

orang lain yang berada di dekatnya, serta perilaku tantrum lainnya. Gangguan

komunikasi yang dialami oleh anak autis terdiri dari dua bagian yaitu:

perkembangan komunikasi verbal yang meliputi keterlambatan berbahasa bahkan

di antaranya kemampuan berbahasanya hilang, echolalia dan menggunakan

bahasa yang aneh dan sulit dimengerti. Selanjutnya pada bagian kedua,

perkembangan komunikasi non verbal, kemampuan komunikasi non verbal

menggunakan gestur tubuh atau menggunakan keinginan dengan ekspresi dan

emosi (seperti: marah, menangis, menjerit).

Salah satu strategi visual yang dapat diberikan dalam mempermudah

proses interaksi berkomunikasi dan bersosialisasi anak autisme menurut Taryadi

& Kurniawan (2017) yaitu dengan metode PECS (Picture Exchange

Communication System), strategi tersebut mampu meningkatkan kecakapan

berkomunikasi bagi 3 penderita autisme melalui symbol-simbol. Karena

kebanyakan anak autis memiliki visual memori lebih baik dibandingkan auditor

memory. Melalui visual learner atau visual thingking, yakni belajar secara visual

memudahkan anak autis dalam berkonsentrasi serta memahami pembelajaran.

Purnamasari (2018) mengemukakan metode PECS merupakan perpaduan

dari terapi berbicara dengan memahami komunikasi dari seorang anak yang tidak

bisa mengartikan kata, kurang memahami dalam berkomunikasi, sehingga adanya

metode PECS dapat membantu khususnya penderita autisme dalam

mengungkapkan interaksi yang komunikatif, dan memberikan pemahaman fungsi

serta dapat mengembangkan kemampuan berkomunikasi.

Metode komunikasi PECS juga merupakan sistem augmentative alternatif


yang dirancang untuk membantu anak-anak dan orang dewasa yang mengalami

autis serta anak disabilitas dalam berkomunikasi secara fungsional. Metode yang

cukup efektif bila diberikan pada mereka yang sulit untuk berkomunikasi dan sulit

memahami komunikasi, karena dengan adanya metode komunikasi PECS dapat

membantu meningkatkan kemampuan berkomunikasi penderita autis melalui

media gambar dan simbol sebagai strategi visual. Seperti halnya yang

dikemukakan Anggraini (2016) dalam Purnama (2018) metode PECS terbukti

cukup efektif untuk mengurangi luapan ekspresi siwa autis yang tidak dapat bicara

seperti menginginkan dan meminta sesuatu pada orang lain. begitu juga pada

penelitian Goa, dkk (2017) yang berjudul “Komunikasi Ekspresif dengan Metode

PECS bagi Anak dengan Autis” yang mengungkapkan bahwa hasil yang

didapatkan dalam menggunakan metode PECS menunjukkan adanya peningkatan

komunikasi ekspresif anak dengan autis setelah diberikan metode PECS. Untuk

itu, metode PECS dapat menjadi salah satu acuan dalam meningkatkan

komunikasi ekspresif anak dengan autis.

Goa & Derung (2017) mengemukakan bahwa gangguan kualitatif dalam

komunikasi merupakan salah satu karakteristik yang dimiliki oleh anak autis.

Sering kali sulit mengungkapkan berbagai hal baik tentang dirinya maupun

lingkungan sekitar. Anak autis mengalami keterlambatan dalam bicara dan bahkan

tidak berkembang. Apabila anak autis berbicara, pembicaraannya tidak dipakai 4

untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesama. Kondisi tersebut

disebabkan adanya hambatan dalam perkembangan bahasa, yang mana bahasa

adalah sarana utama dalam berkomunikasi.

Adanya hambatan anak autis dalam berkomunikasi, terdapat beberapa

solusi sesuai NIC menurut Wilkinson (2016) antara lain mendengar aktif,

penurunan ansietas, peningkatan komunikasi (defisit pendengaran), peningkatan


komunikasi (defisit wicara), peningkatan komunikasi (defisit penglihatan) dan

pelatihan memori disertai dengan intervensi keperawatan lain. Kemudian juga

ditambahkan solusi dari hasil penelitian Purnama, dkk. (2019) melalui metode

Picture Exchange Communication System (PECS) yang merupakan salah satu

metode dalam penanganan dari masalah hambatan komunikasi yang dialami anak

dengan autis. Hasilnya terdapat peningkatan keterampilan berkomunikasi pada

subjek dua anak autisme yang telah diberikan metode Picture Exchange

Communication System (PECS).

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk menggali lebih jauh

tentang study literatur review yang berjudul “Terapi Picture Exchange

Communication System (PECS) untuk Meningkatkan Komunikasi pada Anak

Autis”.

METHOD

Protokol dan Registrasi

Rangkuman menyeluruh dalam bentuk literatur review mengenai pengaruh

Picture Exchange Communication System (PECS) terhadap Anak yang Mengalami

Autisme dalam Berkomunikasi dan Bersosialisasi.

Database Pencarian

Data yang digunakan dalam penelitian berasal dari hasil-hasil penelitian

yang telah dilakukan serta diterbitkan dalam jurnal Online nasional dan

internasional. Pencarian literatur dilakukan pada bulan Maret 2021. Bahan yang

dipakai menggunakan sekunder yang didapatkan bukan dari penelitian langsung,

namun dari penelitian sebelumnya yang sudah dipublikasikan. Dalam pencarian

jurnal penelitian yang telah dipublikasikan di internet, penulis menggunakan

pencarian pada Science Direct, PubMed dan google Scholar .


Kata Kunci

Pencarian artikel jurnal menggunakan kata kunci dengan tabel PICO dan

Boolean operator (AND, OR, NOT) yang digunakan untuk memperluas atau

menspesifikasi pencarian, sehingga memudahkan dalam menentukan artikel jurnal

yang akan digunakan.

Tabel 3.1 Kata Kunci Literature Review


Database Kata kunci Hasil Science Direct (Autism) AND (PESC)

434 PubMed (Autism) AND (PESC) 75

Kriteria Inklusi dan Ekslusi


Google Scholar (Austism) ; pengaruh metode 100
PESC terhadap penderita autisme

Strategi yang digunakan untuk mencari artikel menggunakan PICO, yang

terdiri dari:

a. Population/problem yaitu populasi atau masalah yang hendak diulas sesuai

dengan tema yang sudah ditentukan penulis.

b. Intervention yaitu suatu tindakan penatalaksanaan terhadap permasalahan baik

secara individu atau kelompok perorangan serta penjabaran tentang

penatalaksanaan studi sesuai dengan tema yang sudah ditentukan. c. Comparation

yaitu intervensi atau penatalaksanaan lain yang digunakan sebagai pembanding,

jika tidak ada bisa menggunakan kelompok kontrol dalam studi terpilih.
d. Outcome yaitu hasil yang didapatkan dari studi terdahulu yang sesuai dengan

tema yang sudah ditentukan.

e. Study desaign yaitu desain penulisan yang dipakai dalam artikel


Tabel Format PICO dalam literatur review

Kriteria Inklusi Ekslusi


Population Komunikasi pada anak autis System
(PECS)
Intervention Picture Exchange Communication Bukan anak autis -

Comparators - - Outcomes - -

Study desaign Kuantitatif, Pre eksperimental single case, quasi


desing, experimental
kualitatif deskriptif, Non review

Publication years ≥2017 ≤2017


Language Bahasa Indonesia dan Inggris Seleksi studi
Selain bahasa Indonesia dan Inggris

Strategi pencarian yang digunakan penulis yaitu Science Direct, PubMed dan

google scholar. Pada pencarian awal ditemukan (Science Direct = 434, PubMed=

75, Google scholar= 83), kemudian disaring berdasarkan tahun terbitan mulai dari

tahun 2017-2021, dan Research article,penulis mendapatkan (Science Direct = 12,

PubMed= 14, Google scholar= 35). Setelah disaring, penulis memilah dan

menelaah isi dari artikel tersebut. Setelah ditelaah didapatkan 2 artikel

internasional atau jurnal yang sesuai dengan topik dan pembahasan penulis, lalu 8

artikel atau jurnal nasional yang telah dipilih sesuai dengan kriteria dari penulis.

Sehingga total artikel yang dapat direview 10 artikel.


RESULTS

Hasil yang disajikan berupa data umum dan data khusus, sebagaimana

berikut:

Data Umum

Berikut data umum yang akan disajikan penulis meliputi karakteristik

penelitian dan karakteristik responden penelitian.

a. Karakteristik penelitian

Dari sepuluh artikel didapatkan data berupa: Firmansyah (2019) dalam

risetnya dilakukan di UPT PLA Malang, Goa dan Derung (2017) di unit Terapy

Bhakti Luhur, Tamimah (2017) di TK Mentari School Sidoarjo, Purnama, et al

(2019) Pondok Terapi Autisma Anak Manis Banjarmasin, SDLB Sungai Paring

(Purnamasari (2018)), SDLB YPLB Banjarmasin (Mirnawati & Amka (2018)),

SDLB Sungai Paring Martapura (Purnamasari, 2018)). Beberapa artikel lainnya

tidak mencantumkan tempat penelitian dan menggunakan review artikel sebagai

bahan penelitian.

b. Karakteristik responden penelitian

1) Umur

Karakteristik responden pada sepuluh artikel review yang digunakan sebagai

sampel pada anak autis rata-rata berusia 3-10 tahun.

2) Jenis kelamin

Pada 10 artikel penelitian rata-rata lebih banyak terjadi pada laki-laki

daripada perempuan dengan perbandingan 2:1.

3) Pendidikan
Rata-rata pendidikan yang ditempuh oleh responden yaitu SDLB dan

Yayasan khusus bagi anak dengan autis.


Data Khusus

a. Terapi picture exchange communication system (pecs)


Tabel 4.1 Metode PECS dan Pelaksanaan
JURNAL JENIS PECS METODE PELAKSANAAN
(Firmansyah, 2019) Dalam pembelajarannya, peneliti sesuai yang diharapkan.
menggunakan multimedia AR Beta test dilakukan dengan
(augmented reality) yang dapat membagikan kuesioner kepada
menyesuaikan dengan kebutuhan pengguna aplikasi terutama anak
end user. autis.
Proses pengujian dengan
menggunakan media gadget
berbasis android. Media yang
ditunjukkan kepada anak, dapat
membantu nak dalam proses
berkomunikasi. Juga ditunjang
dengan informasi berupa audio,
video dan teks.
Dalam artikel diberikan perlakuan
dengan waktu selama satu tahun. a)
Fase 1 (cara anak berkomunikasi)

Peneliti menggunakan enam fase


(Taryadi & Kurniawan, 2017) yang disebut indiktor:
Pada soal tes pertama dilakukan
sesuai dengan fase 2
(mengembangkan spontanitas)
mengajarkan “segitiga komunikasi”
yaitu: saya, buku komunikasi saya
dan mitra komunikasi saya.
Pada soal tes kedua dilaksanakan
sesuai dengan fase 3 (diskriminasi
gambar) yakni mengajarkan
memilih gambar yang benar dari
banyak kemungkinan.
Pada soal tes ketiga dilaksanakan
sesuai dengan fase 1 (pertukaran
fisik) dengan mengajarkan anak
bagaimana cara berkomunikasi.
Pada soal tes keempat dilaksanakan
(Goa & Derung, sesuai dengan fase 4 (struktur
2017) kalimat) dengan mengajarkan siswa
Menggunakan tes empat fase dalam untuk mengucapkan permintaan
metode PECS: 1) Fase 1 (pertukaran lagi.
fisik) 2) Fase 2 (mengembangkan Pelaksanaan penelitian
spontanitas) menggunakan dua metode yakni
3) Fase 3 (mengajarkan memilih alpha test dan beta test. Penggunaan
gambar) alpha test menggunakan teknik
4) Fase 4 (mengajarkan struktur Black box yakni pengujian
kalimat) berdasarkan analisis spesifikasi
bagian perangkat lunak. Tidak
melihat cara kerja aplikasi
melainkan sejauh mana komponen
aplikasi dapat berjalan dengan baik
(Hermawan, 2016) Pelatih meletakkan buku (Vistasari & Patria, 2019)
1) Fase 1 (cara anak komunikasi sejauh mungkin lalu Metode PECS yang digunakan
berkomunikasi) meminta anak mengambil gambar berupa potongan gambar/simbol
2) Fase 2 (jarak, ketekunan dan di buku komunikasi lalu membawa yang mirip dengan wujud aslinya.
kemauan yang kuat) 3) Fase 3 ke pelatih untuk menukar dengan
(diskrimasi) 4) Fase 4 (struktur benda kesukaannya. Dapat
kalimat) 5) Fase 5 (responsive dilakukan disepanjang sesi/aktivitas
requesting) dengan 15-20 kali kesempatan
6) Fase 5 (commenting) latihan.
c) Fase 3 (diskriminasi)
Anak mampu mengambil gambar Metode PECS yang digunakan
yang paling disukai dari beberapa peneliti menggunakan alat bantu
gambar yang tidak disukai. Dapat gambar dan simbol, cara
dilakukan selama 10 kali latihan. berkomunikasi dengan cara
d) Fase 4 (struktur kalimat) Anak melakukan pertukaran simbol
mampu menyusun sebuah kalimat visual seperti mengenal benda
dengan merekatkan kata “saya sekitar atau meminta sesuatu.
mau” pada papan kalimat. Dalam Program PECS yang digunakan
fase ini gunakan bantuan sedikit dalam penelitian yaitu visual
secara fisik saat latihan dengan support, yaitu penerapan program
pengulangan latihan sebelumnya. melalui kartu bergambar dengan
e) Fase 5 (responsive requesting) keempat fase yang dimiliki oleh
Anak dapat menjawab dengan program PECS.
menyusun kalimat di buku Tahapan yang diterapkan meliputi:
komunikasi ketika pelatih bertanya Pelatihan komunikasi awal atau
“apa yang kamu mau” dan anak memperkenalkan gambar,
menjawab dengan menyusun pengambilan dan pemberian
kalimat “saya mau”. Dengan gambar/simbol, diskriminasi
pelaksanaan di berbagai gambar/simbol ikon atau mathcing,
kesempatan sepanjang hari dalam membuat frase, menjawab
kegiatannya. pertanyaan dengan menyebutkan
f) Fase 6 (commenting) gambar dan memberikan komentar.
Anak dapat menyusun kalimat pada Hal tersebut diberikan sesuai
buku komunikasi satt pelatih dengan kemampuan anak.
bertanya “apa yang kamu lihat?” Peneliti ikut serta dalam kegiatan
dan anak dapat menjawabnya belajar mengajar selama dua bulan
dengan menyusun kalimat “saya dengan menggunakan metode
melihat”. pembelajaran PECS. Subyek diajak
Pengenalan pembelajaran PECS untuk menyampaikan pikiran
diberikan melalui aspek kegiatan melalui media gambar atau tulisan
sehari hari. Anak akan diajak untuk yang diberikan oleh peneliti mau
melakukan kegiatan pembelajaran pun pengajar.
secara visual dengan menggunakan
beberapa flashcard sesuai dengan a) Fase 1 (pengenalan kartu
instruksi yang diberikan guru. bergambar)
Visual learning menggunakan (Tamimah, 2017)
gambar/isyarat tubuh. (1)Trainer Memperlihatkan satu
Pelatih memegang benda, anak persatu setiap klasifikasi kartu
berusaha mendapatkan benda itu (2)Menanyakan mengenai setiap
dengan mengambil gambar di buku gambar yang ada di kartu
komunikasi lalu memberikan b) Fase II (Penyusunan kalimat
kepada pelatih. Dengan pola S-P)
pelaksanaan 15-20 kali kesempatan (1)Trainer Menyebutkan contoh
dalam latihan untuk meminta. kalimat sederhana yang terdiri dari
b) Fase 2 (jarak, ketekunan dan subjek dan predikat
kemauan yang kuat) (Purnamasari, 2018) (2) Menyusun kartu bergambar
dalam sebuah kalimat (SP)
(3)Menyebutkan ulang secara lisan method in the study will develop in the PECS, Children are given a
mengenai kartu bergambar expressive language skills in stimulus in the form of clothes and
c) Fase III (Penyusunan kalimat Children by using Communications toys in turn. Then the child is faced
pola P-O) aids in the form of picture cards with a card of two or more different
(1)Trainer menyebutkan contoh and Communication books. This is images where one of them is the
kalimat sederhana terdiri dari by the learning abilities of autistic wrong picture and the child selects
predikat dan objek (P-O) Children who are visual learning ” the images that matches the object
(2)Mengajak responden menyusun (2)Mengajak responden untk indicated by the teacher and gives
kartu bergambar menyusun kalimat the picture to the teacher.
(3)Responden menyebutkan ulang (3)Responden menyebutkan ulang d) Phase IV: expanding requests
secara lisan mengenai kartu secara lisan dari susunan kartu with attributes, in this phase the
bergmbar bergambar child is focused on being able to
d) Fase IV (Penyusunan kalimat compile images into collapsed
pola S-P-O) Children ‘s Communications sentences. Children pay attention
(1)Trainer menyebutkan contoh checklist (CCC) yang digunakan to the Communication book that
kalimat sederhana terdiri dari untuk menilai aspek gangguan contains various kinds of images
subjek, predikat dan objek (S-P-O) komunikatif yang tidak dievaluasi shown by the teacher. Then the
secara memadai oleh tes bahasa teacher directs the child to
standar kontemporer. Digunakan compose sentences using model in
pada saat pretest dan posttest, the Communications book.”
sebelum dan sesudah penerapan (Khoiriyah, 2020)
metode PECS. “The PECS method with images
“The intervention is carried out presented on the picture of the
(Purnama, et al., 2019) through four phases, namely: cards. ”
a) Phase I : initiation in “The researcher applied what has
Communications, in this phase is been planned, namely the
focused so that children can researcher and the teacher
exchange objects with image provided picture cards that have
according to the initiative of the been adjusted to the theme. After
child. that the Children were invited to
(Mirnawati & Amka, 2018) b) Phase II: Expansion of the use take 4 picture cards and stick them
Metode PECS menggunakan of images, Children respond by on the sticky Board, then the
gambar untuk saling menukar taking objects/food and the teacher teacher asked the question: why do
gambar yang diinginkan. directs the child to take and you choose this picture? With these
exchange it for the card the child questions, it the Children should be
wants. able to answer with simple
c) Phase III: choosing a massage sentences and convey opinions to
“The application of the PECS others.”

b. Komunikasi anak autis


Dari sepuluh artikel yang telah di review, didapatkan data bahwa terjadi
peningkatan pada komunikasi verbal dan non verbal. Peningkatan pada
komunikasi verbal sebesar 40% sedangkan 60% dengan hasil peningkatan
komunikasi non verbal. Pencapaian peningkatan komunikasi verbal digambarkan
dengan meningkatnya kemampuan berkomunikasi secara terstruktur/ berbicara
sesuai dengan kriteria pada masing-masing fase di setiap terapi. Sedangkan pada
komunikasi non verbal, responden menunjukkan peningkatan kemampuan
komunikasi ekspresif sesuai dengan terapi yang telah diajarkan.
c. Pengaruh terapi picture exchange communication system (pecs) terhadap peningkatan komunikasi
pada anak autis. 4.3 Tabel Peningkatan dan Hasil Uji Terapi Picture Exchange Communication
System (Pecs)
No. Author Judul Desain dan Sampel Intervensi Hasil JURNAL NASIONAL

1. Zhakaria
Firmansyah
(Firmansyah,
2019)

2. Taryadi, Ichwan Kurniawan


(Taryadi &
Kurniawan,
2017)
Efektivitas Metode Pecs (Picture Exchange Communication System) Pada Anak Autis (Studi Desktiptif
Kuantitatif Metode PECS dalam Komunikasi Non Verbal Anak Autis Di UPT PLA Malang)

Jurnal:

Jurnal VoxPop Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Jawa Timur

Pembelajaran Anak Autis dengan Metode Picture Exchange Communication System (PECS) Berbasis
Multimedia Augmented Reality Jurnal:
Desain:

Metode penelitian yang digunakan yaitu metode kuantitatif

Sampel:
Anak autis di UPT PLA Malang yang berusia 4- 10 tahun.
Desain:

Menggunakan desain augmented reality

Sampel:
anak autis (ASD)
Penerapan metode PECS dalam penelitian ini dengan menggunakan kemampuan komunikasi pada anak
dengan alat bantu komunikasi berupa buku komunikasi dan kartu gambar.

Intervensi yang diberikan yaitu dengan menerapkan teknik pelatihan Picture Exchange Communication
System (PECS). Berupa pembelajaran bantuan gambar atau benda bersamaan dengan kata kunci atau frasa
terkait
Hasil penelitian adalah H0 ditolak H1 diterima yang artinya ada perbedaan antara hasil pretest dan post test
dan hasil post test lebih besar daripada pre test. Ditunjukkan dengan nilai t hitung 15,7 yang lebih besar dari
ttotal yaitu 1,67.

Kesimpulan yaitu penggunaan metode PECS efektif diberikan untuk anak autis di UPT PLA Malang.

Hasil pengujian pada subyek dengan membandingkan antara sebelum dan sesudah perlakukan didapatkan
hasil terjadi peningkatan rata-rata sebesar 70% mengalami peningkatan pada kemampuan komunikasi.

3. Lorentius Goa, Teresia Noiman


Derung
(Goa & Derung,
2017)
4. (Hermawan, 2016)
Jurnal:

Seminar Nasional Informatika Medis (SNIMed) VIII, p. 29, 2017.

Komunikasi Ekspresif Dengan Metode PECS


Bagi Anak dengan Autis (2017)

Jurnal:
JURNAL NOMOSLECA

Metode PECS (Picture Exchange Communication System) Terhadap Kemampuan Komunikasi Non Verbal
Anak (2016)

Jurnal:
Pendidikan Khusus
Desain:

Menggunakan metode Pre-Eksperimental


Design dalam bentuk one-group Pretest posttest design.

Sampel:

Anak autis di unit Terapy Bhakti Luhur Tahun 2016-2017 dengan jumlah 24 orang.

Desain:

Menggunakan metode penelitian pra eksperimen dengan bentuk “one group pretest posttest desaign”

Sampel:
yang sesuai dengan interaksi yang cepat.

Intervensi yang dilakukan yakni dengan memberi perlakukan kepada 4 anak dengan autis melalui 6 fase:

1. Indiktor, yaitu fase bagaimana anak berkomunikasi,

2. Fase jarak ketekunan dan kemauan yang kuat,


3. Fase diskriminasi,
4. Fase struktur kalimat,

5. Fase responsive requesting, dan 6. Fase commenting.

Intervensi yang diberikan yaitu dengan menerapkan teknik pelatihan Picture Exchange Communication
System (PECS) melalui aspek mengenal kegiatan sehari-hari.
Hasil yang dapatkan yaitu meningkatnya komunikasi ekspresif anak dengan autis setelah menggunakan
metode PECS. Nilai tertinggi diperoleh subyek MM dan LV, dengan peningkatan nilai komunikasi ekspresif
12. Subyek KF memperoleh peningkatan nilai 10 dan subyek VR 8. Dengan demikian, Metode PECS dapat

menjadi salah satu acuan untuk meningkatkan komunikasi ekspresif anak dengan autis.

Hasil penelitian diperoleh nilai ZH = 2,05. Karena ZH nilainya 2,05 (di atas / lebih besar dari 1,96), maka
disimpulkan ditolaknya H0 (hipotesis nol) berarti Ha (hipotesis kerja) diterima. Jika Ha diterima artinya ada
pengaruh penggunaan metode PECS terhadap kemampuan komunikasi anak autis di YP PG/TK Puri Mutiara
Bunda Sidoarjo.

5. Isy Tamimah
(Tamimah,
2017)

6. Sekar
Purnamasari
(Purnamasari,
2018)
Implementasi Picture Exchange Communication System (PECS) Pada Anak Autis Yang Mengalami Hambatan
Komunikasi Di TK Mentari School Sidoarjo (2017)

JURNAL:
Jurnal Pendidikan Khusus
Efektivitas Metode ABA dan PECS untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Pada Siswa Autis Di Kelas
1 Sdlb Sungai Paring (2018)

Jurnal:
Semua anak autis yang mengalami hambatan komunikasi non verbal
Desain:

Menggunakan desain kualitatif jenis deskriptif.

Sampel:

siswa TK Menatri School dengan anak autis, anak tunarungu, dan semua anak yang komunikasinya belum
bisa atau masih mengalami kesulitan, autis yang mengalami hambatan komunikasi di TK Mentari School
Sidoarjo.
Desain:

Menggunakan desain kualitatif deskriptif

Sampel:
Tahapan PECS yang diterapkan di TK Mentari School meliputi pelatihan komunikasi awal, pengambilan dan
pemberian gambar/symbol, diskriminasi gambar/symbol ikon, frase, menjawab pertanyaan dan komentar.
Namun tahapan tersebut tetap disesuaikan dengan kemampuan awal anak.

Penerapan metode PECS dalam pembelajaran kepada siswa penderita autisme yakni menggunakan buku
bergambar dan juga penerapan metode ABA namun sebagai pembanding, penulis tidak mencantumkan
hasil penelitian ABA.
Hasil dari penelitian tersebut adalah adanya peningkatan kemampuan bahasa verbal dari ketiga anak
tersebut dan dan meningkatnya perilaku komunikasi sosial serta menurunnya masalah perilaku.
Pada penerapan metode PECS (Picture Exchange Communication System) pada siswa autisme, terdapat 1
anak yang merespons dengan cara memberikan buku bergambar dan menyuruh anak untuk menyebutkan
nama

7. Restu Vistasari1 & Bhina Patria


(Vistasari &
Patria, 2019)

8. Muhammad Aditya Ais


Purnama, Jehan
Safitri dan Rika
Vira Zwagery
(Purnama, et
al., 2019)
MUTAKALLIMIN; Jurnal Ilmu Komunikasi

Program PECS (Picture Exchange Communication System) untuk Meningkatkan Kemampuan Berbicara
Terstruktur pada Anak Autis (2019)

Jurnal:
Gadjah Mada Journal Of Professional Psychology (GAMAJPP)

Penerapan Metode picture exchange Communications system (PECS) dalam meningkatkan keterampilan
berkomunikasi pada anak dengan autisme (2019)

Jurnal:
Jurnal Kognisia
Siswa autis kelas 1 SDLB Sungai Paring dengan jumlah 4 anak.

Desain :
Menggunakan
eksperimen single case dengan desain A-B-A.
Sampel:

Dua partisipan anak autis


Desain:

Menggunakan desain quasy-experiment atau eksperimental- kuasi dengan rancangan one group pretest-
post-test desaign

Sampel:

Dua orang anak dengan autisme


Pelaksanaan pengambilan data di fase baseline dan juga post treatment dilakukan pada setting natural, pada
suasana proses pembelajaran di kelas yaitu ketika partisipan berinteraksi dengan guru ataupun teman-
temannya

Anak dengan autisme discreening terlebih dahulu menggunakan childhood autism rating scale (CARS) dan
Children’s Communications checklist (CCC) untuk mengetahui tingkat keparahan autisme yang diderita.
Instrumen tersebut digunakan untuk mengukur keterampilan berkomunikasi pada saat pretest dan posttest¸
sebelum dan sesudah penerapan metode picture exchange Communications system (PECS).
gambarnya dengan membuka buku dan tersenyum.

Penggunaan metode PECS mampu meningkatkan komunikasi anak autis.

Hasil penelitian ditunjukkan meningkatnya dalam kemampuan berbicara ter-struktur kedua partisipan
melalui program PECS yang telah dilakukan..

Hasil menunjukkan bahwa data yang diperoleh, variabel mean empirik sebesar 68 poin dengan standar
deviansi sebesar 5,657 poin, serta mean hipotetik sebesar 70 dengan standar deviasi sebesar 2,3.
Perbedaan nilai antara pretest dan posttest yang telah dilakukan juga dapat dilihat melalui perbandingan
rerata. Pada pretest rerata hanya diperoleh sebesar 44,5 sedangkan pada posttest rerata diperoleh sebesar
68. Artinya rerata posttest
meningkat sebanyak 23,5 dari rerata
pretest.

Kesimpulannya terjadi peningkatan


keterampilan berkomunikasi pada
subjek dua anak autisme yang
diberikan metode picture exchange
communication system (PECS).
JURNAL INTERNASIONAL
1. Mirnawati, Amka
(Mirnawati &
Amka, 2018)
Application of PECS (Picture Exchange Communication System) to Improve The Expressive Language Skills
of Autism Children (2018)

JURNAL:

Advances in Social Science, Education and Humanities Research


Desain:

The method used in this study is a quasi experimental design with a time series design

Sampel:

Subjects in this study were autistic students of grade IV SDLB YPLB in Banjarmasin.
From the results of the expressive language ability of students at pre test results obtained O1 = 27.5 O2 =
32.5 O3 = 32.5 and O4 = 35. After being given treatment using the PECS method to improve the ability of
expressive language can be seen from the activities of students during the learning process using the PECS
method looks very enthusiastic and active. While the expressive language ability of students increased
during the post test with the results of O5 = 82.5 O6 = 87.5 O7 = 95 and O8 = 100. The ability of students to
be seen from students can answer. Expressive language learning with the PECS method uses a variety of
media
After being given treatment using the PECS method to improve the ability of expressive language can be
seen from the activities of students during the learning process using the PECS method looks very
enthusiastic and active. .

2. Khoiriyah (Khoiriyah,
2020)
Picture Exchange Communication System (PECS): A strategy to improve
children’s speaking ability (2020)

Jurnal:

Journal of Early Childhood Care and Education


Desain:

This study uses qualitative method with the type of action research.

Sampel:

The participants were 17 children aged 4-5 years old of group A1 TK ABA 4 Mangli Kaliwates Jember
including picture cards and communication books.

The research is carried out in stages, starting from planning, implementing, observing, and reflecting.
The first stage started with planning, in which there were three basic Activities The research is carried out
in stages, starting from planning, implementing, observing, and reflecting. The first stage started with
planning, in which there were three basic Activities.
The second stage is implementation. In this stage the researcher applied what has been planned, namely the
researcher and the teacher provided picture cards that have been adjusted to the theme.
The third stage is observation. This stage is a tool to get an idea of how far the action has reached the target.
The last stage is reflection. This stage contains activities to study and analyze the results of observations, to
find out weaknesses to be fixed.
The result showed that prior to PECS the children's speaking development rate was 17%, after the PECS
action the speaking ability increased from 35% in the first cycle to 88% in second cycle. This shows that the
speaking ability of early childhood can be improved with PECS approach.
DISCUSSION

Pembahasan

Berikut pembahasan yang akan diulas penulis, meliputi: Hubungan

Karakteristik Responden dengan Teori Anak Autis, Pemberian Terapi PECS

terhadap responden, Komunikasi yang Dihasilkan dari Pemberian Terapi PECS,

Hubungan Pengaruh Terapi PECS terhadap Responden.

4.4.1 Hubungan Karakteristik Responden dengan Teori Anak Autis

a. Umur

Pada artikel didapatkan rata-rata umur yang dijadikan subjek penelitiaan

mulai dari 3-10 tahun, sebagai berikut: Karakteristik responden berdasarkan umur

pada penelitian didapatkan rata-rata berusia berusia 4-10 tahun (Firmansyah

(2019)), 4-5 tahun (Khoiriyah (2020)), 3-5 tahun (Purnama, et al (2019)). Menurut

teori Depape & Lindsay (2015) dalam Purnama, dkk. (2019) menyatakan bahwa

autism dapat dilihat sebelum anak berusia 3 tahun

Menurut penulis berdasarkan fakta tersebut sejalan dengan teori,

bahwasannya pada umur 3-10 tahun dari penelitian sudah didapatkan banyak

hambatan komunikasi yang terjadi, bahkan hambatan tersebut benar-benar menjadi

masalah dalam proses sosialisasinya dan tidak mungkin gejala hambatan

komunikasi muncul dalam waktu yang singkat, hal itu dapat membuktikan bahwa

sebelum berumur 3 tahun subjek sudah mengalami gejala autis dan dapat terlihat
dengan jelas ketika berumur lebih dari 3 tahun.

Sejalan dengan teori Pangestu dan Fibriana (2017) bahwa autisme diklasifikasikan

ICD (International Classification of Deseases) menjadi 5 meliputi: childhood

autism (autisme masa kanak-kanak) gejala yang timbul sebelum anak berusia 3

tahun. Pervasive developmental disorder not otherwise specified (PDD NOS)

gangguam autisme yang tidak umum dan adanya ketidakmampuan beberapa

penderita. Rettt’s syndrom hanya dialami oleh anak wanita. Childhood

disintegrative disorder (gangguan disintegrasi masa kanak-kanak) gangguan

perkembangan yang terjadi setelah melewati proses perkembangan yang sangat

baik yang setelahnya mengalami kemunduran. Asperger syndrome gangguan

perkembangan yang terjadi lebih banyak dialami anak laki-laki. Perlu diberikan

terapi untuk membantu proses perkembengan otak terutama pada anak autis.

b. Jenis kelamin

Sedangkan pada jenis kelamin, didapatkan pada penelitian Hermawan (2016)

yang menyebutkan bahwa subjek terdiri dari 4 subjek berjenis kelamin laki-laki

dan 2 subjek berjenis kelamin perempuan. Hal tersebut sejalan dengan Aditya &

Wijaya (2017) yang menyatakan prevalensi anak laki-laki tiga sampai empat kali

lebih besar daripada anak perempuan. Menurut penulis antara fakta dari beberapa

penelitian sejalan dengan teori yang menyebutkan bahwa kejadian autisme lebih

banyak terjadi pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan.

Serupa dengan hasil penelitian Pangestu dan Fibriana (2017) berdasarkan

hasil penelitiannya telah diketahui anak laki-laki berisiko 2,875 kali lebih besar

mengalami autisme daripada anak perempuan. Adapun penyebab dari terjadinya

kondisi tersebut adanya proses genetik tertentu yang berujung pada dominannya

jenis kelamin laki-laki mengalami autisme, kausatif gen yang melekat pada
kromosom X (X-linked disorders) dan imprinting gen.

c. Pendidikan

Pendidikan yang ditempuh responden penelitian meliputi: Pondok Terapi

Autisma Anak Manis Banjarmasin (Purnama, et al (2019)), kelas 1 SDLB Sungai

Paring (Purnamasari (2018)), kelas 4 SDLB YPLB Banjarmasin (Mirnawati &

Amka (2018)), SDLB Sungai Paring Martapura (Purnamasari, 2018)). Menurut

Wardani dalam Dewi, dkk (2018) strategi coping orang tua saat mengetahui

anaknya penyandang autis adalah berorientasi terhadap penyelesaian masalah

dengan mencari informasi terkait upaya penyembuhan anak dan lembaga

pendidikan yang sesuai dengan masalah yang dialami sang anak.

Menurut penulis pendidikan yang ditempuh responden sejalan dengan teori,

bahwasannya dibutuhkan lembaga pendidikan khusus untuk dapat memberikan

pendidikan yang sesuai dengan kemampuan anak serta sesuai dengan hambatan

yang dialami oleh anak autis yang jelas berbeda dengan anak normal lainnya.

Sehingga anak autis mampu belajar dengan kondisinya baik belajar secara

akademis mau pun non akademis.

4.4.2 Pemberian Terapi PECS terhadap responden

Terapi PECS yang diberikan pada responden pada artikel, melalui beberapa

tahapan meliputi penggunaan 4 dan 6 fase pada pemberian program PECS di

antaranya penelitian Firmansyah (2019) menggunakan empat fase dalam

memberikan tes PECS meliputi: Fase 1 (pertukaran fisik), Fase 2

(mengembangkan spontanitas), Fase 3 (mengajarkan memilih gambar), Fase 4

(mengajarkan struktur kalimat). Taryadi dan Kurniawan (2017) menggunakan

multimedia AR (augmented reality). Pada penelitian Goa dan Derung (2017)

menggunakan metode enam fase meliputi: Fase 1 (cara anak berkomunikasi),


Fase 2 (jarak, ketekunan dan kemauan yang kuat), Fase 3 (diskrimasi), Fase 4

(struktur kalimat), Fase 5 (responsive requesting) dan Fase 5 (commenting).

Hermawan (2016) menggunakan visual learning. Tamimah (2017) metode PECS

yang digunakan berupa gambar/simbol yang mirip dengan wujud aslinya.

Purnamasari (2018) menggunakan alat bantu gambar dan simbol sama halnya

dengan Vistasari dan Patria (2019) dengan program visual suport menggunakan

kartu bergambar. Pada Purnama, dkk. (2019) media yang digunakan melalui

gambar untuk saling bertukar gambar yang akan diinginkan anak.

Sedangkan pada Mirnawati dan Amka (2018) :

“The application of the PECS method in the study will develop

expressive language skills in Children by using Communication aids

in the form of picture cards and Communication books. This is by the

learning abilities of autistic Children who are visual learning.”

Pada penelitian Khoiriyah (2020):

“The PECS method with images presented on the picture of the

cards”

Adapun faktor yang mempengaruhi interaksi sosial dalam menerapkan terapi

PECS ini meliputi: kerja sama (cooperation) di mana dibutuhkan kerja sama

antara terapis dan responden untuk mencapai tujuan yang sama dan saling

menguntungkan, akomodasi atau penyesuaian diri yang mana antara terapis dan

responden bisa menjaga kestabilan sehingga mengurangi bila terjadi pertentangan

dalam prosesnya, persaingan yang dapat terjadi seperti persaingan dalam bermain

dan menggambar, pertikaian/pertentangan adanya pertikaian/ pertentangan dapat

berpengaruh pada solidaritas dan perubahan pada sosialnya.


Dalam penerapannya, diharapkan terapi PECS ini mampu memberikan

pengaruh pada anak autis dalam proses interaksinya dengan baik. Perlu adanya

pendampingan yang adekuat dari peneliti mau pun guru. Karena pada bentuk

usahanya terapi PECS merupakan salah satu usaha yang dapat meningkatkan

kemampuan interaksi sosial anak autis. Ada pun hal lain yang harus dilakukan

pendamping saat berinteraksi sosial yaitu melakukan kontak langsung seperti

berbicara, tersenyum dan bahasa isyarat (Raga, et al., 2017).

Dapat disimpulkan dari beberapa penelitian ada yang menggunakan kartu

bergambar/simbol sebagai media PECS, ada juga yang menggunakan metode 6

atau 4 fase, bahkan ada juga yang menggunakan aplikasi yang dapat membatu

memudahkan kegiatan pembelajaran. Sesuai dengan teori dalam perawatan dan

pengobatan Yuliani (2020) dan Yanti (2020) terdapat 3 cara yakni analisis

perilaku terapan, sistem komunikasi pertukaran gambar dan ahli terapi wicara.

Menurut Ganz (2007) dalam Raga, dkk (2017) menyatakan bahwa terapi PECS

menjadi cara yang sangat baik bagi anak-anak dalam hal berinterkasi. Karena

salah satu

metodenya yaitu penggunaan simbol dan gambar yang dapat dengan mudah

dipahami oleh anak-anak, sehingga mereka pun juga dapat menerapkannya dalam

interaksi sosialnya. Pengaruh yang diberikan metode PECS ini cukup signifikan

dalam meningkatkan kemampuan komunikasi anak terutama pada pengidap autis.

Jadi kesimpulan penulis dari pembahasan di atas, 3 cara tersebut sudah secara

garis besar dalam melakukan pemberian terapi PECS terhadap anak autis,

sehingga antara fakta dan teori sudah sejalan. Adapun teori yang dapat

memperkuat opini oleh Pangestu dan Fibriani (2017) yaitu terapi secara bertahap

serta sedini mungkin cukup efektif diberikan sebelum anak berusia 5 tahun,
karena perkembangan pesat otak pada anak puncaknya pada usia 2-3 tahun.

Terapi yang dapat diberikan meliputi: terapi wicara, terapi okupasi, terapi

bermain, terapi perilaku, terapi biomedik dan terapi sensori integrasi.

4.4.3 Komunikasi yang Dihasilkan dari Pemberian Terapi PECS Dari sepuluh

artikel yang telah di review, didapatkan data bahwa terjadi peningkatan pada

komunikasi verbal dan non verbal. Peningkatan pada komunikasi verbal sebesar

40% sedangkan 60% dengan hasil peningkatan komunikasi non verbal.

Pencapaian peningkatan komunikasi verbal digambarkan dengan meningkatnya

kemampuan berkomunikasi secara terstruktur/ berbicara sesuai dengan kriteria

pada masing-masing fase di setiap terapi. Sedangkan pada komunikasi non verbal,

responden menunjukkan peningkatan kemampuan komunikasi ekspresif sesuai

dengan terapi yang telah diajarkan. Secara teori Pangestu dan Fibriani (2017)

adapun gangguan perkembangan yang dialami anak dengan autis berupa

terganggunya perkembangan komunikasi

baik verbal maupun non verbal. Dari setiap perkembangan anak dampak dari

autisme berbeda-beda, dampak pada pra sekolah disebut tantrum (ledakan emosi),

telat berbicara, kurangnya kontak mata dan senyum sosial, menyendiri, dan tidak

dapat memahami aturan. Memasuki masa sekolah, sikap menarik diri berkurang

namun ketika proses bersosialisasi dengan teman sebaya tetap sulit dan tidak dapat

berempati, terdapat hambatan perkembangan bahasa dan performa yang tidak

seimbang dalam tugas kognitif. Pun menjelang dewasa, anak memiliki gangguan

kualitatif dalam interaksi sosial timbal balik, gangguan kualitatif dalam

komunikasi verbal atau pun non verbal. Karakteristik kemampuan komunikasi

menurut Dewi, dkk (2018) anak autis secara umum mengalami ggangguan

komunikasi verbal mau pun non berval. Gejala yang sering muncul meliputi:
perkembangan bahasa yang lambat, membeo (senang meniru), tampak seperti tuli,

kemampuan berbicara yang sulit, penggunaan kata yang tidak sesuai arti,

mengoceh tanpa arti dan berulang ulang dan bicara tidak digunakan untuk

berkomunikasi.

Sehingga penulis menyimpulkan bahwa hasil komunikasi penerapan PECS

terhadap anak autis dari beberapa penelitian sejalan dengan teori, sebelum

pemberian terapi perlu adanya observasi perkembangan yang dialami oleh anak

yang mana setiap anak mengalami perkembangan yang berbeda-beda, dengan usia

responden yang berbeda-beda atau pun dengan usia yang sama. Namun

perkembangan yang seharusnya menyesuaikan usia tumbuh kembangnya

mengalami hambatan yang secara garis besar sama-sama mengalami hambatan

komunikasi baik verbal maupun non verbal dan berpengaruh terhadap interaksi

sosialnya. Sehingga hasil yang didapatkan setelah pemberian terapi pada masing-

masing responden, akan menghasilkan peningkatan sesuai dengan hambatan yang

dialami berupa peningkatan verbal atau pun non verbal.

4.4.4 Pengaruh Terapi PECS terhadap Responden

Berikut pengaruh yang didapatkan terhadap komunikasi non verbal dan

verbal yang dialami responden:

a. Komunikasi non verbal

Berdasarkan hasil uji terapi yang didapatkan Firmansyah (2019) H0 ditolak H1

diterima artinya ada perbedaan yang mana hasil post test lebih besar daripada pre

test, dengan nilai thitung (15,7) lebih besar dari ttotal (1,67) dengan kesimpulan PECS

efektif dalam pembelajaran anak autis. Metode penelitian yang digunakan dengan

metode kuantitatif dengan sampling anak autis di UPT PLA Malang yang berusia

4-10 tahun. Penggunaan penerapan metode PECS berupa alat bantu komunikasi
dan kartu gambar, dengan hasil terdapat peningkatan pada komunikasi non verbal

pada responden. Metode pelaksanaan terapi PECS menggunakan tes empat fase

meliputi: Fase 1 (pertukaran fisik), Fase 2 (mengembangkan spontanitas), Fase 3

(mengajarkan memilih gambar), Fase 4 (mengajarkan struktur kalimat). Di mana

pada pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan masing-masing fase, seperti pada

soal tes pertama sesuai dengan penelitian yaitu pelaksanaan metode pada fase 2

(mengembangkan spontanitas) dengan mengajarkan “segitiga komunikasi”

meliputi: saya, buku komunikasi saya dan mitra komunikasi saya. Kemudian pada

soal tes kedua menggunakan fase 3 (diskriminasi gambar) dengan mengajarkan

memilih gambar yang benar dari banyak kemungkinan. Lalu pada soal tes ketiga

menggunakan fase 1 (pertukaran fisik) dengan mengajarkan anak cara

berkomunikasi. Terakhir, menggunakan fase keempat (Struktur kalimat) dengan

mengajarkan responden mengucapkan permintaan lagi.

Asumsi penulis, dari keempat fase yang dipilih dalam menerapkan metode

PECS tidak harus monoton dalam penggunaan fasenya. Dilihat dari metode

pelaksanaannya peneliti menggunakan fase 2 terlebih dahulu dalam memberikan

soal tes, kemudian menggunakan fase 3, lalu kembali ke fase 1 terakhir ke fase 4.

Peneliti sebelumnya telah mengobservasi hambatan dalam perkembangan yang

dialami responden, jadi besar kemungkinan peneliti menggunakan fase termudah

terlebih dahulu hingga tersulit dalam sol tesnya. Karena penggunaan metode 4

fase, dapat digunakan menyesuaikan hambatan komunikasi yang dialami

responden. Adapun hasil uji penelitian yang serupa dengan Firmansyah (2019)

dengan peningkatan komunikasi non verbal yaitu Hermawan (2016) hasil

penelitiannya menunjukkan nilai ZH = 2,05. Karena ZH nilainya 2,05 (di atas /

lebih besar dari 1,96), maka disimpulkan ditolaknya H 0 (hipotesis nol) berarti Ha

(hipotesis kerja) diterima. Jika Ha diterima artinya ada pengaruh penggunaan


metode PECS terhadap kemampuan komunikasi anak autis. Dengan sampling

anak autis yang mengalami hambatan komunikasi non verbal, kesimpulannya hasil

yang diperoleh yakni peningkatan komunikasi non verbal. Dengan hasil dan

kesimpulan yang sama namun terdapat pembeda terhadap metode dan pelaksanaan

dari kedua peneliti. Pada Firmansyah (2019) penggunaan metode 4 fase,

sedangkan pada Hermawan (2016) metode dalam penerapan PECS menggunakan

visual learning jadi penerapan terapi PECS lebih kepada penggunaan

gambar/isyarat tubuh. Pelaksanaannya pun berbeda, pada Hermawan pengenalan

pembelajaran yang

diberikan melalui aspek kegiatan sehari-hari anak. Mengajak responden melakukan

kegiatan pembelajaran secara visual dengan menggunakan flashcard lalu mengikuti

instruksi terapis. Walaupun terdapat perbedaan pada kedua peneliti dalam

menggunakan metode pelaksanaan terapi PECS, namun perbedaan tersebut

tidaklah jauh hanya berbeda penggunaan tahapan. Metode yang digunakan

Firmansyah (2019) sudah salah satunya sudah mencakup pelaksanaan yang

digunakan Hermawan (2016), sedangkan Hermawan (2016) hanya menggunakan 1

fase dari ke-4 fase yang digunakan Firmansyah (2019).

Dari kedua penelitian yang telah dibahas di atas, penulis hanya mengambil

beberapa peneliti yang hasil uji penelitiannya serupa tetapi berbeda dalam

penggunaan metode terapi PECS dan membandingkan dari kedua penelitian. Dapat

disimpulkan dari kedua metode sama-sama efektif dalam meningkatkan

perkembangan komunikasi non-verbal dari setiap respondennya. Jadi asumsi

penulis, penggunaan metode dan pelaksanaan terapi tidak harus melalui 4 fase,

adapun pada penelitian lain yang menggunakan 6 fase kurang lebih tahap dan

pelaksanaannya sama. Di sisi lain ada juga yang menggunakan hanya dengan

menggunakan flashcard sebagai bahan pembelajaran sehari-hari, meskipun hanya


mengandalkan flashcard hasil uji yang didapatkan lumayan cukup efektif sama

sama meningkatkan komunikasi non verbal anak autis.

b. Komunikasi verbal

Selain adanya komunikasi non verbal, terapi PECS juga dapat meningkatkan

komunikasi verbal seperti halnya peneliti Tamimah (2017) hasil yang diperoleh

dalam penelitiannya yaitu adanya peningkatan kemampuan bahasa verbal dan

perilaku komunikasi sosial. Penerapan metode dan pelaksanaan tahapan PECS

berupa pelatihan komunikasi awal, pengambilan dan pemberian gambar/simbol,

diskriminasi gambar/simbol ikon, frase, menjawab pertanyaan dan komentar.

Tahapan tersebut diberikan sesuai dengan kemampuan responden. Dengan

sampling siswa TK Mentari School dengan nak autis, anak tunarungu dan semua

anak yang mengalami hambatan komunikasi. Metode dan pelaksanaannya yang

digunakan berupa potongan gambar/simbol yang mirip dengan wujud asli objek.

Dengan tahapan meliputi: pelatihan komunikasi awal atau memperkenalkan

gambar, pengambilan dan pemberian gambar/simbol, diskriminasi gambar/simbol

ikon atau mathcing, membuat frase, menjawab pertanyaan dengan menyebutkan

gambar dan memberikan komentar. Hal tersebut diberikan sesuai dengan

kemampuan anak. Dapat diulas lagi, secara garis besar tahapan PECS yang

diberikan pada penelitian Tamimah (2017) hampir sama dengan penggunaan

metode 4 fase yang digunakan Firmansyah (2019), namun yang membedakan

adalah hasil akhir dari kedua peneliti. Pada peneliti Tamimah (2017) hasil yang

diperoleh berfokus pada komunikasi verbal.

Hasil peningkatan komunikasi Tamimah (2017) serupa dengan hasil penelitian

Vistasari dan Patria (2019) yang mana hasil dari penelitian Vistasari dan Patria

(2019) menunjukkan meningkatnya dalam kemampuan berbicara terstruktur


melalui program PECS. Dalam eksperimennya menggunakan single case dengan

desain A-B-A. dalam metode dan pelaksanaannya Vistasari dan Patria (2019)

menggunakan program PECS media visual support yaitu dengan pembelajarannya

menggunakan kartu bergambar disertai 4 fase yang dimiliki program PECS sendiri.

Penerapannya tidak jauh berbeda pada Firmansyah (2019) berupa 4 fase meliputi:

Fase 1 (pengenalan kartu bergambar), Fase II (Penyusunan kalimat pola S-P), Fase

III (Penyusunan kalimat pola P-O), Fase IV (Penyusunan kalimat pola S-P-O).

Namun yang membedakan penerapan antara Firmansyah (2019) dengan Vistasari

dan Patria (2019) adalah penggunaan fase ke-3 sampai fase ke-4, yang mana pada

Vistasari dan Patria (2019) lebih berfokus pada penggunaan kalimat berstruktur.

Asumsi penulis dari kedua sampel peneliti di atas dengan hasil penelitian

yang berfokus pada komunikasi verbal yaitu terdapat pembeda antara metode dan

pelaksanaan pada kedua peneliti. Pada Tamimah (2017) dengan tahapan meliputi:

pelatihan komunikasi awal atau memperkenalkan gambar, pengambilan dan

pemberian gambar/simbol, diskriminasi gambar/simbol ikon atau mathcing,

membuat frase, menjawab pertanyaan dengan menyebutkan gambar dan

memberikan komentar. Sedangkan pada Vistasari dan Patria (2019) menggunakan

metode 4 fase dan kartu bergambar, 4 fase yang dilalui berfokus pada kalimat

terstruktur. Sehingga untuk hasil yang sesuai dengan tujuan peningkatan

komunikasi verbal metode Vistasari dan Patria (2019) yang lebih sesuai. Namun

dari hasil penelitian penggunaan metode yang diterapkan Tamimah (2017) juga

dapat menghasilkan peningkatan komunikasi verbal pada anak autis.

Dari hasil dan pembahasan yang telah diulas, terapi Picture Exchange

Communication System (PECS) terbukti cukup efektif diberikan terapis kepada

anak autis yang mengalami hambatan komunikasi baik secara verbal mau pun non

verbal. Penerapan yang diberikan secara bertahap dan juga konsisten serta
menyesuaikan dengan hambatan perkembangan yang dialami oleh anak, tidak

hanya sekali dua kali namun berkali-kali secara terus menerus dengan begitu anak

dapat mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari ketika proses

bersosialisasinya. Membutuhkan lembaga pendidikan yang khusus untuk

memberikan pembelajaran terhadap anak autis, karenanya anak autis berbeda

dengan anak pada umumnya sehingga pembelajaran yang diberikan juga harus

lebih istimewa dalam proses penerapannya.

CONCLUSION

Kesimpulan yang dapat diambil dari penerapan terapi PECS terhadap


peningkatan anak autis yang telah penulis lampirkan mulai dari latar belakang
permasalahan hingga pembahasan penerapan terapi PECS terhadap responden
meliputi:
1.1.1 Hambatan komunikasi yang dialami anak autis dapat berupa hambatan
komunikasi salah satunya pada komunikasi verbal dan non verbal, adanya
hambatan komunikasi tersebut dapat berdampak buruk pada proses interaksi
sosialnya sehingga dapat menyebabkan anak lebih suka menyendiri daripada
beraktivitas sosial.
1.1.2 Penerapan terapi PECS pada anak autis dapat dilakukan dengan beberapa
cara, seperti melalui 4 dan 6 fase tahapan PECS itu sendiri, melalui visual support
dan media aplikasi AR (Augmented Reality).
1.1.3 Terapi PECS terhadap anak autis terbukti cukup efektif dalam mengatasi
hambatan komunikasi yang dialami oleh anak autis. Diperlukan kesabaran dan
pembelajaran yang konsisten agar menghasilkan dampak yang diinginkan terapis
yaitu adanya peningkatan komunikasi salah satunya pada komunikasi verbal dan
non verbal.

CONFLICT OF INTEREST

The author declared that no competing interests.


REFERENCES

You might also like