You are on page 1of 16

Available online al Ashriyyah: Journal of Qur’an and Hadits Studies Website:

http://jurnal.nuruliman.or.id/index.php/alashriyyah
al Ashriyyah: Journal of Qur’an and Hadits Studies, Vol. 6 (No. 02), Oktober 2020

WAWASAN AL-QUR’AN TENTANG RESPON IBLIS TERHADAP PERINTAH


SUJUD
(Studi Pendekatan Teologis dan Sufistik)

Muhtolib, Umar Fauzi


Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Nurul Iman
Jl. Nurul Iman No. 01 Desa Waru Jaya RT: 01/01, Kec. Parung, Kab. Bogor
Email: tholieb17@gmail.com mailto:el.karimah@gmail.com
Diterima: 3 Agustus 2020 ; Diperbaiki: 12 Agustus 2020 ; Disetujui: 28 Agustus 2020

Abstract
Iblis is a creature of Allah SWT, who created from fire while Adam was created from the
ground. His story is mentioned repeatedly in several surahs in the Qur’an. When Iblis was
ordered by Allah SWT to prostrate to Adam, the Iblis was arrogant and considered himself
better than Adam. So that Iblis becomes a group of infidels. This is expressed by Theological
commentator based on QS. al-Baqarah [2]: 34. While according to Sufistic scholars, the Iblis is
a creature of Allah SWT, who has ever had the most noble position and the highest
monotheism towards Allah SWT. His reluctance to carry out Allah's command to prostrate to
Adam is as proof that Iblis truly tawheed to Allah SWT and does not want to prostrate to other
than Allah SWT.When rejecting the command to prostrate to Adam, Iblis considered the
commandment of prostration as a form of test of monotheism. In the end, Allah SWT will
forgive his sins and put them in heaven. The author tries to analyze these two problems by
using the method of interpretation maudhu 'i, namely by collecting verses related to the story
of Iblis in the Qur’an.
Keywords: Iblis, Theological, Sufistic.
Abstrak
Iblis adalah makhluk Allah SWT, yang diciptakan dari api sementara Adam diciptakan
dari tanah. Kisahnya disebutkan berulang kali dalam beberapa surat di dalam al-Qur'an.
Ketika Iblis diperintahkan oleh Allah SWT, untuk bersujud kepada Adam, Iblis bersikap
sombong dan merasa dirinya lebih baik daripada Adam. Sehingga Iblis menjadi golongan
makhluk yang kafir. Hal inilah yang diungkapkan oleh Mufasir Teologis berdasarkan QS al-
Baqarah/2:34. Sementara menurut Ulama Sufistik, Iblis adalah makhluk Allah SWT, yang
pernah mempunyai kedudukan yang paling mulia dan yang paling tinggi tauhidnya kepada
Allah SWT. Keenganannya menjalankan perintah Allah SWT untuk bersujud kepada Adam
adalah sebagai bukti bahwa Iblis benar-benar bertauhid secara murni dan tidak mau bersujud
kepada selain Allah SWT. Ketika menolak perintah bersujud kepada Adam, Iblis menganggap
perintah sujud itu adalah sebagai bentuk ujian ketauhidan dan atas kehendaknya Allah SWT.
Pada akhirnya Allah SWT mengampuni dosanya dan memasukkannya ke dalam surga. Penulis
mencoba menganalisis dua permasalahan tersebut dengan menggunakan metode tafsir
tematik (maudhu’I, yakni dengan cara mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan
kisahnya Iblis dalam al-Qur’an.
Kata Kunci: Iblis, Teologis, Sufistik.

45
al Ashriyyah: Journal of Qur’an and Hadits Studies, Vol. 6 (No. 02), Oktober 2020: 45-60.

Pendahuluan menambahkan, kata kâna dalam firman


Allah SWT: wa kâna min al-kâfirîn (al-
Iblis muncul dalam Al-Qur’an
Baqarah[2]:34), menjadi bahasan cukup
berkaitan dengan kisah Adam sebagai
panjang dikalangan para Ulama. Ada
bapak Manusia.1 Sementara
yang memahaminya dalam arti sejak
pengulangan kata-kata Iblis disebutkan
dahulu yakni dalam ilmu Allah, Iblis
dalam Al-Qur’an sebanyak 11 kali dalam
telah kafir. Ada lagi yang memahami
9 Surat.2 Dalam al-Qur’an sering
kata kâna dalam arti menjadi, sehingga
dipahami bahwa pada mulanya yang
ayat itu bermakna keengganan Iblis
diperintah sujud hanyalah para
sujud menjadikan ia termasuk
Malaikat. Hal ini dapat diidentifikasi
kelompok orang-orang kafir.4 Para
melalui lafal (al-
ulama sepakat setiap Iblis itu kafir,
Baqarah[2]:34). Lafal ini memberi karena dari kekafiranya dalam menolak
makna bahwa Allah SWT perintah sujud kepada Adam.5
memerintahkan hanya kepada para
Sementara ada perbedaan
Malaikat, tidak ada indikasi terhadap
pendapat dari sebagian kalangan
Iblis. Lalu mengapa dalam lanjutan ayat
Ulama Sufistik. Seperti seorang sufi
tersebut tiba-tiba muncul istilah “Iblis”?
Rabiyah al-Adâwiyah yang tidak
Sebagian ulama berpendapat menyisahkan ruang dalam hatinya
kisah kejadian manusia, dialog Allah untuk membenci setan atau Iblis,
dengan Malaikat dan sujudnya mereka karena hakekat sesuatu hanya Allah
kepada Adam dan keenganan Iblis SWT, demikian juga Iblis bukanlah
untuk sujud, semuanya tidak pernah patut dibenci. Begitu juga seorang
terjadi dalam dunia nyata. Sementara tokoh sufi al-Hallâj beranggapan, Iblis
Quraish Shihab berpendapat, kisah adalah figur sang pencinta sejati,
tersebut hanyalah metafor, tetapi seorang yang teguh, Ia adalah sang
memang benar-benar terjadi. Kapan mursyid bagi para Malikat-Nya. Iblis
dan bagaimana tidak harus diketahui, adalah sosok figur sempurna, kecintaan
kerena Al-Qur’an tidak mutlaknya kepada yang Maha Pencipta
menjelaskannya. 3 Quraish Shihab Alam Semesta, ketika Iblis dengan
tegas menolak bersujud kepada Adam,
1
Ahmad Musthâfâ al-Maraghî, pada hakikatnya Ia mempertahankan
Terjemah Tafsîr al-Marâghî, Cet. II, Jus 2
(Semarang: PT Karya Toha Putra, 1974), h. 102.
2
Ali Audah, Konkordansi Al-Qur’an:
Panduan Kata Dalam Mencari Ayat Al-Qur’an,
Cet. II (Bandung: Mizan, 1997), h. 267 dan h. Al-Qur’an-As-Sunnah Serta Wacana Pemikiran
610–14. Lihat juga: M. Ishom El-Saha dan Saiful Ulama Masa Lalu dan Masa Kini, Cet. V
Hadi, Sketsa Al-Qur’an: Tempat, Tokoh, Nama (Jakarta: Lentera Hati, 2003), h. 83.
4
Dan Istilah Dalam Al-Qur’an, (t.tp: Lista Fariska M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,
Putra, 2005), h. 247; lihat juga: Ahmad vol. I (Tangerang: PT. Lentera Hati, 2016), h.
Muhammad Yusuf, Ensiklopedi Al-Qur’an, 155.
5
(Jakarta: Widya Cahaya, 2009), jilid I, h. 527-528 Mirfaqo Ibnu Mansur, Misteri Alam
3
M. Quraish Shihab, Yang Setan Menurut Kaca Mata Syari’at (Lirboyo:
Tersembunyi: Jin, Iblis, Setan & Malaikat Dalam Pustaka Pojok Press, 2009), h. 27.

Page | 46 Muhtolib, Umar Fauzi


al Ashriyyah: Journal of Qur’an and Hadits Studies, Vol. 6 (No. 02), Oktober 2020: 45-60.

keyakinanya bahwa hanya Allah SWT, manusia untuk menundukkan ruh asy-
yang berhak menerima sujudnya.6 Syarr yakni menghilangkan bisikan-
bisikan kotor yang mengantar kepada
Menurut hemat penulis
perselisihan, perpecahan, agresi, dan
penafsiran respon Iblis di atas, tentunya
permusuhan.7 Ketika Tuhan
menuntut sebuah pengkajian dan
memerintahkan kepada para Malaikat
penafsiran yang benar-benar utuh dan
untuk bersujud kepada Adam, mereka
komprehensif. Oleh karena itu, penulis
semua bersujud kecuali Iblis. Ia
tertarik mengangkat judul, Wawasan
membangkang dan menolak bersujud
Al-Qur’an Tentang Respon Iblis
kepada Adam.8 Iblis khawatir Adam
Terhadap Perintah Sujud: Sebuah
akan mengambil “kasih sayang” yang
Pendekatan Teologis dan Sufistik.
selama ini diberikan sepenuhnya oleh
Metode Penelitian Allah kepadanya. Secara sederhana
Penelitian ini masuk dalam kategori hubungan antara Iblis dengan Adam
jenis penelitian kepustakaan (library adalah hubungan senior dan junior
research), olehnya data yang digunakan yang memperebutkan kasih sayang
adalah data sekunder. Adapun Allah. Iblis dimurkai oleh Allah, karena
pendekatan yang digunakan untuk sikap sombongnya yang tidak mau
menganalisa data adalah pendekatan tunduk kepada perintah Allah, untuk
kualitatif, dengan mengadopsi teori sujud kepada Adam. Hal ini banyak
Miles dan Hubermen, yaitu teknik dari kalangan ulama memperdebatkan
analisa data menggunakan tiga tentang sujud dan penghormatan. Di
langkah, reduksi data, penyajian data dalam Al-Qur’an terdapat kata sujud,
kemudian penarikan kesimpulan. dan sebagian ulama mengartikan
sebagai penghormatan, sementara
Tinjauan Analisis Terhadap Respon
sebagian lagi memaknai sebagai
Iblis
penyembahan. Bagaimana mungkin
1. Penafsiran Teologis Iblis mau sujud kepada Adam, sebelum
Berkenaan dengan kisah respon Adam diciptakan oleh Tuhan, posisi
Iblis dalam Al-Qur’an tentunya muncul Iblis sudah menjadi seorang ahli ibadah
berbagai macam penafsiran. yang kehebatannya di atas rata-rata
Muẖammad Abduh ketika menafsirkan semua Malaikat. Iblis terjebak dengan
QS. al-Baqârah [2]: 34, ayat ini adalah pandangan yang nampak sehingga
mengenai keengganan Iblis untuk mata bathinnya tidak mampu melihat
sujud, yang mengimplikasikan
kelemahan dan ketidakmampuan 7
Muẖammad Abduh dan Rasyid Ridhâ,
Tafsîr al-Manar, Juz I (Beirut: Dâr al-Ma’rifah,
6
Ali bin Anjabi al-Sa’i al-Baghdadî, t.t.), h. 281.
8
Akhbȃr al-Hallȃj (Damaskus: Dar al-Taliy’ah al- Abî al-Fadhl Syihâb al-Dîn Sayyid
Jadidah, 1997), h. 32. Lihat Juga: Michael A. Maẖmûd al-Alûsî al-Baghdâdî, Tafsîr Rûẖ al-
Sells, Terbakar Cinta Tuhan: Kajian Eksklusif Ma’ânî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa al-Sabu’
Spiritual Islam Awal, terj. Alfatri, (Bandung: al-Matsanî, Jiz V (Beirut: al-Turâts al-‘Arabî,
Mizan, 2004), h. 353. t.t.), h. 28.

Muhtolib, Umar Fauzi Page | 47


al Ashriyyah: Journal of Qur’an and Hadits Studies, Vol. 6 (No. 02), Oktober 2020: 45-60.

yang ada di dalam diri Adam yaitu berpendapat, perintah sujud kepada
Allah SWT.9 Adam, sebenarnya ada dua pendapat:
Pertama, pendapat yang shahih
Dalam menaggapi apakah
(benar), bahwa sujud kepada Adam
perintah sujudnya itu kepada Allah
hanya secara hakikat, yang
ataukah kepada Adam, Kamal Faqih
mengandung makna ketaatan kepada
Imani berpendapat, tentu saja sajdah
Allah, yakni dengan menjalankan
atau penghormatan yang
perintah-Nya. Kedua, sujud di sini
diformulasikan dengan tujuan ibadah
adalah sujud sebagai bentuk
hanya layak ditujukan kepada Allah.
memuliakan dan penghormatan bukan
Dan demikian pula makna dari tauhid
sujud ibadah, yakni bukan meletakkan
ibadah yakni hanya menyembah dan
wajah ke bumi.12 Sementara sujud
hormat kepada Allah saja. Jika tidak,
kepada selain Allah, dalam hal ini sujud
maka akan terjerat syirik
kepada makhluk adalah sebagai bentuk
(menyekutukan suatu objek kepada
penghormatan. Berbeda dengan
Allah). Oleh karena itu, tentu saja
komentar al-Baidhâwî, sujud kepada
makhluk ma’sum seperti para Malaikat
Adam, secara hakikatnya yaitu sujud
hanya sujud kepada Allah. Adapun
kepada Allah, yang Allah
sujudnya mereka kepada Adam tidak
menjadikannya (Adam) sebagai kiblat
lebih daripada kekaguman terhadap
terhadap sujudnya para Malaikat.
penciptaan makhluk yang luar biasa ini
Kemudian keengganan Iblis yang
dimana mereka diperintahkan sujud
menyebabkan ia masuk dalam
kepada Adam, sujud mereka sejenis
kekafiran yakni di dalam ilmunya
penghormatan, bukan sebagai laku
Allah.13
ibadah.10
Sementara menurut kaum
Sementara al-Qumî, bahwa sujud
Mu’tazilah, Malaikat itu lebih mulia
kepada Adam bukanlah termasuk
daripada manusia, dan sujudnya
Ibadah, karena Allah tidak
Malaikat kepada Adam itu seperti sujud
memerintahkan kepada kekufuran.
ke arah kiblat.14 Dalam hal ini al-Zuhailî
Beribadah kepada selain Allah maka
berpandangan, semua para malaikat
kufur.11 Namun al-Baghâwî

(Kairo: Muassasah al-Mathbu’ah al-Islamiyyah,


t.th), juz I, h. 212
9 12
Firyal Ulwan, Rahasia Alam Gaib, Cet. Abî Muẖammad al-Husain bin
III (Semarang: PT Semarang Press, 2003), h. 117- Mas’ûd al-Baghâwî, Tafsîr al-Baghâwî, Jilid I
118. (Riyadh: Dâr Kaibah, 1409), h. 82.
10 13
Allamah Kamal Faqih iman, Tafsir Nâshir al-Dîn Abî Sa’id Abd. Allah
Nurul Qur’an Sebuah Tafsir Sederhana Menuju bin ‘Umar bin Muẖâmmad al-Syirâzi al-
Cahaya Al-Qur’an, trans. oleh R Hikmat Baidhâwi, Tafsîr Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-
Danaatmaja, Jilid I (Jakarta: al-Huda, 2003), h. Ta’wil, Juz I (Mesir: Dâr al-Kutub al-‘Arabiyah
166-167. al-Kubrâ, t.t.), h. 140-141.
11 14
Al-Qumi al-Naisabûrî, “Gharâib Al- Muẖammad Sayyid Thanthawî, Tafsîr
Qur’an wa Raghâ’ib Al-Qur’an” (Aplikasi Tafsir al-Wasith li Al-Qur’an al-Karim: Tafsîr Surat al-
Klasik, oktober 2018), www. Al-tafsir.com. Lihat Fâtihah wa al-Baqârah, Cet. III, Juz I, 1987, h.
juga: Imam al-Fakhru al-Râzî, al-Tafsir al-Kabir, 125.

Page | 48 Muhtolib, Umar Fauzi


al Ashriyyah: Journal of Qur’an and Hadits Studies, Vol. 6 (No. 02), Oktober 2020: 45-60.

sujud kecuali Iblis yang ia adalah Malaikat, sedangkan banyak ahli


golongan jin. Ia meninggalkan sujud hukum (fiqih) telah beranggapan
kepada Adam, dan ia merasa lebih bahwa Iblis adalah seorang Malaikat.
tinggi. Sehingga ia dalam Ilmunya Allah Namun al-Râzî menegaskan bahwa
tergolong kafir, karena pelanggarannya Iblis adalah golongan Jin hal ini
dan kesombongannya kepada Adam.15 berdasarkan dalam QS. al-Kahfi [18]:50
Pembangkangan yang dilakukan
Iblis ini kemudian menimbulkan     
perdebatan dikalangan ulama dan
pertanyaan yang muncul adalah
siapakah Iblis. Apakah ia termasuk
    
malaikat atau jin. Setidaknya ada dua
pendapat yang menonjol. Seperti ….kecuali iblis. Dia adalah dari
halnya pandangan al-Qasimi yakni: (1) golongan jin, Maka ia
Iblis termasuk golongan Malaikat, dan mendurhakai perintah Tuhannya
(2) Iblis termasuk golongan jin.Yang ... (al-Kahfi [18]:50).
kedua ini berargumentasi bahwa Iblis Menurut hemat penulis, untuk
termasuk golongan Jin, karena ia dari lebih mempertegas pendapat tentang
bangsa jin, sebagaimana Adam, bangsa asal-usul Iblis di atas. Iblis itu bukan
manusia. Iblis diciptakan dari api termasuk golongan malaikat ialah
sebagaimana malaikat dari nûr.16 adanya lafazh pengecualian (istiṡnâ’).
Berbeda dalam pandangan al-Qurtubi, Iblis hanya hadir dan berbaur dengan
Iblis dulunya adalah Malaikat, yakni Malaikat sehingga mirip mereka. Untuk
dengan melihat kata-kata illa iblis ini lebih meyakinkan lagi bahwa Iblis
dinisbahkan karena istisna mutashil. bukan golongan Malaikat, berdasarkan
Seperti mayoritas ulama diantaranya keterangan lain dalam Al-Qur’an Iblis
Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ibnu Juraij, adalah golongan Jin. Jin tercipta dari
Ibnu Musayyib, Qatadah dan yang api atau api yang sangat panas (nâr al-
lainnya.17 samûm) seperti yang digambarkan
Ketika membahas perdebatan di dalam QS. al-Hijr/15:27.
atas, al-Râzî menunjukkan bahwa Selanjutnya Al-Samarqandî
sebagian khususnya kaum mu’tazilah, berpendapat mengenai Iblis ketika
beranggapan bahwa Iblis adalah merespon perintah sujud. Iblis itu
enggan dan takabur sehingga menjadi
15
Wahbah al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Wajîz tergolong makhluk yang kafir. Namun
‘alâ Hamsyi Al-Qur’an al-‘Azhim, Cet. II
(Damsyiq-Suriah: Dâr al-Fikr, 1994), h. 7. ada sebagian ulama yang berpendapat
16
Muẖammad Jamâl al-Dîn al-Qâsimî, bahwa Iblis adalah kafir dalam ilmunya
Maḥāhasin al-Ta’wil, Juz I (Beirut: Dâr al-Fikr, Allah. Sebagian Ulama lagi yakni
1996), h. 103.
17
Imam al-Qurtubi, Tafsir Al-Qurtubi, golongan Jabariyah berpendapat, setiap
trans. oleh Ahsan Askan (Jakarta: Pustaka orang yang kafir yang masuk Islam,
Azzam, t.t.), h. 648.

Muhtolib, Umar Fauzi Page | 49


al Ashriyyah: Journal of Qur’an and Hadits Studies, Vol. 6 (No. 02), Oktober 2020: 45-60.

maka jelas bahwa ia adalah Islam di para malaikat.20 Dalam hal ini Sayyid
dalam asalnya. Setiap orang Islam yang Thanthawî menafsirkan, wa kâna min
kafir maka jelas bahwa ia kafir di dalam al-kâfirîn yakni, yang menjadikan Iblis
asalnya. Oleh karena itu, ia termasuk itu tergolong orang-orang yang jauh
golongan kafir nanti hari akhir.18 dari rahmat dan ridha Allah.21
Sementara Mu’tazilah beranggapan, Dalam menghakimi Iblis, al-
seseorang yang melakukan kekufuran Zamakhsyarî menafsirkan bahwa lafazh
maka ia adalah orang yang kafir, wa kâna min al-kâfirîn yaitu ia kafir
seseorang yang melakukan kefasikan dari jenisnya Jin dan Setan. Oleh karena
maka ia disebut orang fasik, dan itu, ia enggan untuk sujud dan
sesorang yang melakukan kebenaran sombong. Seperti firman Allah: (al-
maka ia disebut orang yang benar. Kahfi/18:50).22 Hamka pun akhirnya
Begitu juga orang yang beriman maka berpandangan, Iblis merupakan takdir
ia adalah orang yang mukmin. yang ditentukan Allah SWT dalam
Kalaupun ada orang yang fasik yang iradad-Nya sebagai bukti akan
tidak beriman dan tidak kafir, maka kekayaan Allah SWT, juga merupakan
baginya tidak kafir dan tidak beriman.19 kenyataan bahwa setiap ada kebaikan
Kamal Faqih Imani beranggapan akan ada keingkaran dan kekufuran.
dengan melihat kenyataan, bahwa Iblis digambarkan Hamka sebagai
penolakan Iblis untuk sujud kepada simbol pembangkangan kepada Allah
Adam bukanlah jenis penolakan biasa SWT.23 Sama halnya Quraish Shihab
dan sederhana, dan juga bukan juga beranggapan, Iblis adalah simbol
termasuk dosa kecil, tetapi merupakan kejahatan, sedangkan keenggananya
pembangkangan yang disertai dengan sujud merupakan bertanda bahwa
protes dan penolakan terhadap apa kejahatan tidak mungkin akan sirna
yang dibanggakan Allah SWT. Atas sama sekali, dan Manusia harus terus
perlawanannya itu kemudian menjadi
jalan kekafiran dan penolakan terhadap
ilmu dan kebijaksanaan Allah SWT.
Akibatnya ia harus kehilangan
kedudukan dan statusnya dirinya di
20
pintu gerbang kedekatan Ilahiah. Maka Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir
Nurul Qur’an: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju
Allah megusirnya dari kedudukan Cahaya Al-Qur’an,…jilid 5, h. 397
penting yang telah diperoleh di deretan 21
Muẖammad Sayyid Thanthawî, Tafsîr
al-Wasith li Al-Qur’ân al-Karîm: Tafsîr Surat al-
Fâtihah wa al-Baqârah, 1987, h. 126.
22
Abî al-Qâsim Maẖmûd bin ‘Umar Al-
18
Abî Laits Nashr bin Muẖammad bin Zamakhsyarî, al-Kasyâf ‘an Haqâ’iq Ghâwamidh
Aẖmad bin Ibrâhim al-Samarqandî, Tafsîr al- al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujuh al-Ta’wîl,
Samarqandî: Baẖru al-‘Ulûm, Cet. I, Jilid I Jilid I (Riyadh: Maktabah al-‘Abikân, 1998), h.
(Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), h. 110. 254.
19 23
Abû al-Hasan al-‘Asy’ arî, Kitâb al- Haji Abdulmalik Karim Amrullah
Luma’ (Matbhba’ah Mashira Syarikah Mâhimah (Hamka), Tafsir al-Azhar, Cet. VI, Juz I (Jakarta:
Madhiriyah, 1955), h. 124. PT Mitra Kerjaya Indonesia, 2005), h. 165.

Page | 50 Muhtolib, Umar Fauzi


al Ashriyyah: Journal of Qur’an and Hadits Studies, Vol. 6 (No. 02), Oktober 2020: 45-60.

menerus berjuang menghadapi kemanusiaannya melalui fanâ’.27 Yang


kejahatan.24 demikian ini, merupakan bentuk
pemahaman al-Hallâj dalam
Dari pandangan para Ulama di
menafsirkan QS. al-Baqarah [2]:34.
atas maka bisa dipahami bahwa, arti
Paham ẖulul al-Hallâj merupakan
perintah sujud kepada Adam bermakna
kelanjutan dan peningkatan dari
penghormatan, bukan berupa sujud
paham ittiẖâd yang diajarkan oleh al-
meletakkan kening di tanah. Sementara
Busthâmî (w. 261 H/ 875 M).28
penolakan Iblis untuk sujud kepada
Adam dikarenakan Iblis merasa lebih Al-Hallâj beranggapan, Allah
baik daripada Adam. Sehingga memberi perintah kepada Malaikat
menyebabkan Ia menjadi kelompok agar sujud kepada Adam. Karena yang
makhluk yang kafir. Hal ini menjadikan berhak untuk diberi sujud hanya Allah.
Iblis sebagai simbol kejahatan yang Maka al-Hallâj memahami bahwa
berdasarkan keterangan di dalam al- dalam diri Adam (Manusia) terdapat
Quran. unsur ketuhanan. Di sisi lain hal ini
(sujud) dikarenakan pada diri Adam,
2. Penafsiran Sufistik
Allah menjelma sebagaimana Dia
Dalam teori tasawuf, Allah menjelma pada diri Isa as. Kalau sifat-
memiliki dua sifat dasar yaitu sifat sifat kemanusiaan itu telah hilang yang
ketuhanan (laẖut) dan sifat tinggal hanya sifat-sifat ketuhanan,
25
kemanusiaan (nasut). Demikian pula dalam dirinya maka di situlah baru
pada diri Manusia juga terdapat dua Tuhan dapat mengambil tempat dalam
sifat dasar yaitu sifat ketuhanan dan dirinya.29 Teori penciptaan Adam ini
sifat kemanusiaan dalam dirinya. dapat dilihat dalam kerangka
Apabila sifat-sifat kemanusiaan telah pemikiran yang dikutip oleh Harun
dapat dilenyapkan melalui fanâ’ dan Nasution. Yakni sebelum Tuhan
sifat-sifat ketuhanan dikembangkan, menciptakan makhluk, ia hanya
maka akan tercapailah persatuan melihat diri-Nya sendiri (tajallâ al-haq
dengan Tuhan dalam bentuk ẖulul.26 linafsihi). Dalam kesendirian tersebut,
Paham ẖulul berarti bahwa Tuhan terjadi dialog antara Tuhan dengan
mengambil tempat dalam tubuh
manusia tertentu, yaitu Manusia yang 27
Simuh, Tasawuf dan
dapat melenyapkan sifat-sifat Perkembangannya dalam Islam,…h. 149
28
Simuh, Tasawuf dan
Perkembangannya dalam Islam, … h. 144; lihat
juga: Qâsim Muẖammad ‘Abbâs, Abû Yazîd al-
24
M. Quraish Shihab, Yang Halus Dan Busthâmî al-Majmu’ah al-Shûfiyah al-Kâmilah,
Tak Terlihat: Setan Dalam Al-Qur’an (Jakarta: (Damaskus: Dâr li Tsaqâfah wa al-Nasyr, 2004),
Lentera Hati, 2010), h. 50. cet. 1, h. 35-36
25 29
Simuh, Tasawuf dan Mansur al-Hallâj, al-Thawȃzun,
Perkembangannya dalam Islam (Jakarta: Raja trans. oleh Am Santrie (al-Ma’had Tanwirul
Grafindo Persada, 2002), h. 149. Qulub, t.t.), h. 4. Lebih jelasnya lihat:
26
Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of
(Medan: Proyek Pembinaan PTA IAIN Islam, (USA: The University of North Carolina
Sumatera Utara, 1982), h. 162. Press, 1999). h. 72

Muhtolib, Umar Fauzi Page | 51


al Ashriyyah: Journal of Qur’an and Hadits Studies, Vol. 6 (No. 02), Oktober 2020: 45-60.

diri-Nya sendiri, dialog yang di Ghazalî dan al-Râzî. Berbeda menurut


dalamnya tidak terdapat kata-kata madzhab malikiyah dari ahli Baghdad
ataupun huruf-huruf. Yang dilihat Allah dan Abu Hanifah beserta pengikutnya.
hanyalah kemuliaan dan ketinggian Tetapi Pembahasan ini sebenarnya
dzat-Nya. (shâhada subẖâna dhâtahi fî masuk dalam ranah ushul fiqh.
dzâtihi). Allah melihat kepada dzat-Nya Sehingga dari sini muncul perbedaan
dan Ia pun cinta pada zat-Nya sendiri. pendapat mengenai lafazh usjudû yang
Cinta yang tak dapat disifatkan dan tidak menunjukkan unsur kesegeraan
cinta inilah yang menjadi sebab wujud untuk dikerjakan ataupun unsur
dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun pengakhiran (tidak mengundur-
mengeluarkan dari yang tiada, bentuk undurkan).32

(copy) dari diri-Nya yang mempunyai Sementara Abu Abd. Allah Amr
segala sifat dan namanya. Bentuk copy bin Ustman al-Makkiy (salah seorang
itu adalah Adam. Setelah menjadikan murid Imam al-Junaid) berpandangan
Adam dengan cari ini, Ia memuliakan bahwa, sujudnya para Malaikat kepada
dan mengagungkan Adam. Ia cinta Adam, sesungguhnya bukan sujud
pada Adam. Pada diri Adamlah Allah kepada makhluk-Nya. Karena sujudnya
menampakkan diri dalam bentukNya.30 Malaikat pada hakikatnya sujud kepada
Di sisi lain, Ibnu ‘Arabi Allah. Sebab Adam mengetahui asmaul
beranggapan bahwa sujudnya Malaikat husna (nama-nama yang baik).
kepada Adam, karena menjadi pilihan Sebagaimana yang dinyatakan dalam
mereka dan sebagai bentuk Al-Qur’an. Adam, dengan demikian
merendahkan diri serta sebagai bentuk telah mencapai wushul ilallah (sampai
menghinakan dirinya kepada Adam.31 kepada Allah) sehingga Allah pun
al-Andalusî pun menafsirkan kata memuliakan Adam dan
usjudû pada lafazh tersebut adalah memerintahkan semua Malaikat
perintah (amr) yang mesti dengan ini bersujud kepadanya.33

menggunakan shighat permintaan yang Berbeda komentarnya oleh Para


berhubungan dengan perbuatan yang Salaf al-Shâlih (Ulama klasik),
harus dikerjakan secara mutlak, yang menuturkan bahwa Iblis menolak
menunjukkan waktu yang akan datang, untuk bersujud kepada Adam, sewaktu
dan tidak menunjukkan atas bentuk Ia melihat nur kenabian di dalam sulbi
kesegeraan (spontan). Hal ini sesuai Adam. Ia sangat berhasrat agar nur
pendapat madzhab syafi’i, al-Qadhi kenabian itu berada diantara
Abu Bakar bin Thayib dan telah
memilih pendapat tersebut oleh
32
Muhammad bin Yusuf (Abu Hayan
al-Andalusî), Tafsîr al-Baẖri al-Muẖith, Cet. I,
30
Harun Nasution, Falsafat dan Juz I (Beirut-Lebanon: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah,
Mistisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 304.
33
1992), h. 88. Wawan Susetya, Kisah Para Sufi:
31
Muẖyi Al-Dîn Ibnu ‘Arabî, Tafsîr Ibnu Perjalanan Menuju Maqam Cinta Sejati, Cet. I
‘Arabi, t.t., h. 88. (Solo: Tiga Serangkai, 2006), h. 42.

Page | 52 Muhtolib, Umar Fauzi


al Ashriyyah: Journal of Qur’an and Hadits Studies, Vol. 6 (No. 02), Oktober 2020: 45-60.

keturunannya sendiri. ketika itu, Iblis menanggung petaka besar. Mengapa


adalah bintangnya para Malaikat. Iblis yang menyembah Tuhan ribuan
Secara terang-terangan ia menjelaskan tahun harus terkutuk sampai hari
tentang sebab penolakannya untuk kiamat karena satu maksiat saja.
sujud kepada Adam dan membangkang Sebetulnya bukan maksiatnya itu yang
perintah Tuhannya. Ia berargumentasi mendatangkan malapetaka besar
dengan bahan penciptaannya. Ia baginya, tetapi kerusakan Iman
berasal dari api sementara Adam dari batinnya. Ia meragukan kebenaran dan
tanah. Hanya saja, ini adalah penyebab kepatutan perintah Tuhan.35
secara lahir yang diungkapkan oleh Sementara Ibn ‘Arabi
Iblis. Padahal sebelumya ia adalah salah menggambarkan bahwa Iblis adalah
satu penyembah Allah yang paling suatu makhluk yang paling banyak
utama di samping Malaikat. Pasti ada dipengaruhi oleh daya ilusi (al-quwah
penyebab utama yang ditutup-tutupi al-wahmiyah), sehingga ia terhalang
oleh Iblis. Oleh karena itu, menurut dari kebenaran karena daya ilusi
para ahli makrifat, Iblis telah melihat tersebut. Maka ketika mendapat
nur kenabian di dalam sulbi Adam. perintah dari Tuhan agar melakukan
Sementara ia mengidam-idamkan nur sujud kepada Adam, ia tidak
kenabian itu berada di sulbinya sendiri. mematuhinya. Iblis disebut juga Jin,
sehingga akal sehat Iblis pun hilang dan yakni suatu kelompok alam gaib yang
ia membangkang perintah Tuhannya rendah (al-malakut as-sufliyah), yang
padahal ia sebelumnya makhluk yang pada mulanya hidup bersama-sama
begitu mulia.34 Malaikat-Malaikat langit yang suci,
Dari peristiwa penolakan nya Iblis tetapi tidak dapat mencapai kebenaran
untuk sujud kepada Adam, maka mutlak karena terhalang oleh
menunjukan bahwa, secara lahiriah, kebenaran nisbi. 36 Sedangkan al-
Iblis melakukan maksiat, ia adalah Qusyairî lebih dalam lagi menafsirkan
membantah Tuhan. Secara batiniah, ia bahwa, Iblis itu enggan sujud yakni
meragukan kebenaran dan kepatutan dengan hatinya, dan ia takabur dari
perintah Tuhan. Ia menerima sujud kepada Adam dengan dasar
rububiyyah takwiniyyah (bahwa Tuhan nafsunya. Ia kafir yaitu sudah sejak
yang menciptakan dan yang mengatur dahulu dalam hukum dan Ilmunya
alam semesta ini), tetapi ia menolak Allah.37 Sedangkan Abdul Qadir Al-
rububiyyah tasyri’iyyah (bahwa
perintah Tuhan selalu benar dan layak). 35
Jalaluddin Rahmat, Membuka Tirai
Imannya rusak, karena itu ia Kegaiban: Rahasia-Rahasia Sufistik, Cet. I
(Bandung: Mizan Pustaka, 2008), h. 46.
36
Muhyi al-Dîn Ibn ‘Arabî, Tafsîr Ibnu
34
Ahmad Syauqi Ibrahim, Misteri ‘Arâbi, (t.tp: t.p, t.th) h. 29; lihat juga: Yunasril
Potensi Gaib Manusia, trans. oleh Muhyiddin Ali, Manusia Citra Ilahi, (Jakarta: Paramadina,
Mas Ridha, dari Judul, al-Rus wa al-Nafs wa wl- 1997), h. 83
37
‘Aql wa Al-Qarîn (Jakarta: Qisthi Press, 2011), h. Abî al-Qâsim Abd al-Kârîm bin
81. Hawâzan bin Abd al-Malik al-Qusyairî, Tafsîr

Muhtolib, Umar Fauzi Page | 53


al Ashriyyah: Journal of Qur’an and Hadits Studies, Vol. 6 (No. 02), Oktober 2020: 45-60.

Jilani, menganggap bahwa bentuk sujud Seorang Iblis, dengan mustahil


kepada Adam, yakni dengan mempermasalahkan hal-hal fisik jasadi
merendahkan diri kepada Adam.38 semacam itu. Melalui cermin Iblis,
sebetulnya Allah, sedang mengajarkan
Ribuan kali Allah memerintahkan
Manusia tentang bahaya ego dan
Iblis bersujud kepada Adam, akan
kesombongan akibat kesadaran rendah.
tetapi dia tetap enggan, lalu ia bersyair:
Di sisi lain, Dia mengajari para
‘‘Segala sesuatu termasuk diriku ini
Malaikat tentang penghormatan murni
adalah milik-Mu dan Kau telah
model Iblis. Di sisi lain lagi, melalui
memberikanku pilihan namun Kau
para Malaikat. Dan sesungguhnya para
telah menentukan pilihan-Mu bagiku
malaikat mengajarkan kesalehan itu
jika Kau melarangku dari bersujud, Kau
pada Manusia. Pada saat yang sama,
adalah pelarang jika aku salah paham,
Iblis mempertunjukkan jalan
jangan Kau tinggalkan aku, jika Kau
keburukan pada Manusia, agar Manusia
menginginkanku bersujud
menghindarinya. Tampak
dihadapannya, hamba patuh namun
bertentangan, ibarat kain bagus yang
tak seorangpun lebih mengetahui
ditenun di atas bahan kasar.40
tentang Maksud-Mu selain nuraniku
ini’’. Atas penolakannya, Allah, Oleh karena itu, sebagian kaum
menganugerahkan pada Iblis berupa Sufistik meyakini bahwa Iblis adalah
kutukan dan penderitaan. Dengan hamba yang paling sempurna dan
langsung tanpa bertanya lagi, tanpa makhluk yang paling utama tauhidnya,
mengeluh, ia menerima anugerah-Nya karena ia tidak mau sujud kepada
yang tertinggi, sekaligus terberat. Sang Adam, ia hanya mau sujud kepada
kekasih bertanya, ‘‘Tidakkah kau Allah saja. Dan Allah mengampuni
menolak anugerah-Ku?’’ Iblis sang dosanya dan memasukkannya ke dalam
pencinta sejati menjawab, ‘‘Dalam cinta surga.41 Dalam hal ini al-Hallaj,42 Iblis
di sana ada penderitaan di sana pula adalah figur sang pencinta sejati,
ada kesetiaan dengan begitu, seorang seorang yang teguh, Ia adalah sang
pencinta menjadi sepenuhnya matang mursyid bagi para Malaikat-Nya, Iblis
atau berkat kelembutan dan keadilan adalah sosok figur sempurna, kecintaan
Sang kekasih.’’ tuntutan Iblis yang
mengatakan bahwa ia terbuat dari api Kembali Pesan Al-Qur’an, Cet. I (Yogyakarta:
Pustaka Penerbit, 2009), h. 94.
dan Adam dari tanah, sehingga ia 40
Syarifuddin, Paradigma Tafsir
enggan bersujud.39 Tekstual dan kontekstual Usaha Memaknai
Kembali Pesan Al-Qur’an,…h. 95
41
‘Abd al-Rahman Abd al-Khalik, al-
Fikr al-Shûfî fî Daui al-Kitâb wa al-Sunnah
Al-Qusyairi (Lathâ’if Al-Isyârât), juz I (Beirut- (Kuwait: Maktabah Ibn Taimiyyah, t.t.), h. 39.
42
Libanon: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 2007), h. 37. Nama lengkapnya al-Hallâj adalah
38
‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî, Tafsîr al- Abu al-Mughîts al-Husain Ibn Mansûr Ibn
Jîlânî, Juz II (Pakistan: al-Maktabah al- Muhammad al-Baidhâwȋ, lahir di Baida, sebuah
Ma’rûfiyah, 2010), h. 73. kota kecil di wilayah Persia tahun 244H/858 M.
39
Syarifuddin, Paradigma Tafsir lihat, Rosihon Anwar, Menelusuri Ruang Batin
Tekstual dan kontekstual Usaha Memaknai Al-Qur’an (Jakarta: Erlanga, 2010), h. 100.

Page | 54 Muhtolib, Umar Fauzi


al Ashriyyah: Journal of Qur’an and Hadits Studies, Vol. 6 (No. 02), Oktober 2020: 45-60.

mutlaknya kepada yang Maha Pencipta Pujaan.44 Lebih jauh lagi al-Hallâj
Alam Semesta, tidak diragukan lagi. al- berpandangan tentang Iblis, Iblis di situ
Hallâj telah menjadikan Iblis sebagai telah melihat penampakan Dzat Ilahi.
salah satu ikon yang telah bersungguh- Ia pun tercegah bahkan dari
sungguh memperjuangkan kebenaran mengedipkan mata kesadarannya, dan
sejati melalui komitmen cinta dan mulailah ia memuja Sang Esa Pujaan
pengorbanan diri. al-Hallâj dalam pengasingan khusyuknya. Ia
menyebutkan, ketika Iblis dengan tegas dikutuk ketika menjangkau
menolak bersujud kepada Adam, pada pengasingan ganda, dan ia didakwa
hakikatnya Ia mempertahankan ketika menuntut kesendirian (Allah)
keyakinanya bahwa hanya Allah yang mutlak. Allah berfirman kepadanya:
berhak menerima sujudnya. Iblis dalam ‘‘Sujudlah (kepada Adam As)!’’ Iblis
konteks ini adalah sosok yang monoteis menjawab: ‘‘Tidak, kepada yang selain
(muwahhid) yang tidak pernah Engkau.’’ Allah berfirman lagi
menyerah dalam hal apapun terkait kepadanya: ‘‘Bahkan, apabila kutuk-Ku
dengan pengesaan terhadap Allah. jatuh menimpamu?’’ Iblis menjawab
Meskipun ia terancam menjadi lagi: ‘‘Itu tidak akan mengadzabku!
penghuni surga selama-lamanya. Pengingkaranku adalah untuk
Penolakanya untuk sujud merupakan menegaskan Kesucian-Mu, dan
bentuk taqdis, yaitu mensucikan Tuhan alasanku (ingkar) niscaya melanggar
melalui penegasan akan transendensi bagi-Mu. Tetapi, apalah Adam
absolut dan penyatuan.43 dibandingkan dengan-Mu, dan siapalah
aku (Iblis), hingga dibedakan dari-
Kaum Sufi yang paling terjaga pun
Mu!.’’ Ia jatuh ke Samudera Keluasan, ia
tetap bungkam tentang Iblis, dan para
menjadi buta, dan berkata: ‘‘Tidak ada
ʹArifîn (ahli makrifat) tidak memiliki
jalan bagiku kepada yang lain selain
kemampuan untuk menjelaskan apa
dari-Mu. Aku pecinta yang buta!’’. Allah
yang telah dipelajarinya (tentang Iblis).
pun berfirman kepadanya: ‘‘Kamu telah
Iblis lebih kuat daripada mereka dalam
takabur!’’ Iblis menjawab: ‘‘Apabila ada
hal pemujaan, dan lebih dekat daripada
satu saja kilasan pandang diantara kita,
mereka kepada Sang Dzat Wujud. Ia
itu cukup membuatku sombong dan
(Iblis) mengerahkan dirinya lebih dan
takabur. Kendati begitu, aku adalah ia
lebih setia pada perjanjian, serta lebih
yang mengenal-Mu sejak ke-baqa’-an
dekat daripada mereka kepada Sang
masa Terdahulu, dan ‘‘aku lebih baik
daripadanya’’ (QS. al-A’râf[7]:12), sebab
aku lebih lama mengabdi kepada-Mu.
Tidak ada satu pun, di antara dua jenis
43
Ali bin Anjâbi as-Sa’i al-Baghdâdî, makhluk (Adam dan Iblis) ini, yang
Akhbâr al-Hallâj (Damaskus: Dâr at-Taliy’ah al-
Jadîdah, 1997), h. 32. Lihat Juga: Michael A.
44
Sells, Terbakar Cinta Tuhan: Kajian Eksklusif Qâsim Muẖammad ‘Abbâs, al-Hallâj
Spiritual Islam Awal, terj. Alfatri, (Bandung: al-A’mâl al-Kâmilah (Beirut: Riad el-Rayyes,
Mizan, 2004), h. 353 2002), h. 194.

Muhtolib, Umar Fauzi Page | 55


al Ashriyyah: Journal of Qur’an and Hadits Studies, Vol. 6 (No. 02), Oktober 2020: 45-60.

mengenal-Mu secara lebih baik kemudian ditiru oleh Mulla Shadra,48


daripadaku!’’, ‘‘Ada Kehendak-Mu yang terkait dengan kisah penolakan
bersamaku, dan ada kehendakku Iblis untuk sujud kepada Adam. Ia
bersama-Mu, sedangkan keduanya berkomentar bahwa, kedurhakaan dan
mendahului Adam. Apabila aku pembelotan Iblis itu adalah pada
bersujud kepada yang selain Engkau, tataran lahiriyyah saja. Pada hakikatnya
ataupun tidak bersujud, niscaya harus adalah ketatan kepada Tuhan. Dengan
bagiku untuk kembali ke asalku. kata lain, Ketidaktaatan Iblis untuk
Karena Engkau menciptakan aku dari sujud kepada Adam adalah sujud dan
api, dan api kembali ke api, menuruti ketatan kepada Tuhan yang selaras
keseimbangan (sunnah) dan pilihan dengan qadha-Nya yang azali. KeMaha
yang adanya milik-Mu’’.45 Dari Muliaan Tuhan, akan tetap menjadi
ungkapan Iblis tersebut, menunjukkan rahasia yang terhijab, dan baru terkuak
bahwa Iblis adalah makhluk yang setelah Iblis membangkang, membelot
bertauhid murni kepada Allah SWT. dan durhaka.49
Al-Hallâj melihat Iblis dan Sementara Ibn ‘Arabi
Muhammad adalah sebagai karakter menambahkan pandangannya, Iblis di
yang sangat penting dalam sini, memiliki potensi keraguan, dan
mengungkapkan perbuatan Tuhan. kesangsian, mengabaikan Perintah
Keduanya adalah instrumen yang taat, Allah. Ia terhijab dari pemahaman
yang ketaatannya sangat teguh hakikat Adam. Hijab itu adalah bentuk
meskipun masing-masing mengalami wujudnya Adam saja yang dilihat Iblis.
perubahan yang berbeda.46 Sikap Iblis Padahal kalau Iblis tahu akan hikmah-
yang sedemikian teguh hikmah samawiyah pada Adam, pasti Ia
mempertahankan apa yang diyakininya akan tetap dalam maẖabbah menuju
sebagai kebenaran itu telah memotivasi ridha Allah.50
al-Hallâj untuk juga mempertahankan Selanjutnya para Ulama juga
apa yang dalam keyakinannya banyak memperdebatkan apakah
merupakan kebenaran yang harus permohonan Iblis dikabulkan Allah.
dipegang teguh. Seperti dalam sejarah,
bahwa al-Hallâj tidak mau mencabut
48
pernyataannya ‘‘aku adalah al-ẖaq’’.47 Mulla Shadra nama aslinya yaitu
Shadr al-Dîn Syirazî (w. 1050 H/1640M), yang
Pandangan kontroversial al-Hallâj ditangannya sintesis antara tiga aliran
intelektual Islam yaitu makrifat sufi, filsafat
atau teosofi, teologi syi’ah. Lihat: Rosihon
Anwar, Menelusuri Ruang Batin Al-Qur’ȃn…, h.
45
Qâsim Muẖammad ‘Abbâs, al-Hallâj 78.
49
al-A’mâl al-Kâmilah….h.190 Mukti Ali El-Qum, Spirit Islam
46
Peter J. Awn, Tragedy Setan: Iblis Sufistik: Tasawuf Sebagai Instrument
Dalam Psikologi Sufi, trans. oleh Arif Rakhmat Pembacaan Terhadap Islam (Bekasi Timur:
(Yogyakarta: Yayasan Banteng Budaya, 2000), h. Pustaka Isfahan, 2011), h. 224.
50
265. Muẖyi al-Dîn Ibnu ‘Arabî, Tafsîr Ibnu
47
Qâsim Muḥammad ‘Abbâs, al-Ḥallâj ‘Arabî,…h. 29; lihat juga:Yunasril Ali, Manusia
al-A’mâl al-Kâmilah….h.193. Citra Ilahi,… h. 83

Page | 56 Muhtolib, Umar Fauzi


al Ashriyyah: Journal of Qur’an and Hadits Studies, Vol. 6 (No. 02), Oktober 2020: 45-60.

Oleh karena itu, al-Thabârî bagi para Nabi, Kristus, Avatar,


menegaskan bahwa Allah tidak Buddha, Wali. Mereka adalah
mengabulkan permohonannya. perangkat Ilâhi. Sebagaimana Iblis,
Permohonannya baru dapat dikatakan Kanjeng Nabi Muhammad pernah
dikabulkan Allah seandainya Allah mengalami tes serupa. Beliau
berfirman kepadanya: ‘‘engkau diperintahkan-Nya, ‘‘Lihatlah!’’. Beliau
termasuk yang ditangguhkan sampai tidak bergeming, tidak berputar ke
waktu yang engkau minta atau sampai kanan, tidak pula ke kiri (beliau tahu
hari kebangkitan atau sampai hari bahwa Dia bersemayam di dalam diri).
mereka dibangkitkan dan lain-lain yang Jangan mengkambing hitamkan Iblis
dapat menunjukkan bahwa atas perilaku buruk kita. Manusia
permohonannya menyangkut benar-benar mandiri dan
penangguhan itu diterima Allah. Hal ini bertanggungjawab sendiri untuk
adalah sebagai istidrâj baginya.51 Begitu memilih jalan yang baik atau buruk.
juga Ibnu Katsir lain pula Baik dan buruk hanyalah refleksi
pandangannya. ‘‘Allah Kebenaran. Dan Allah SWT di atas baik
memperkenankan apa yang dan buruk, di atas cahaya dan
dimohonkannya karena adanya kegelapan. Nûr 'alâ nûr, Allah itu
hikmah, iradah, dan kehendak yang cahaya di atas cahaya.53
tidak dapat ditolak dan Dia Maha Cepat Ibnu ‘Arabi menegaskan bahwa,
perhitungan-Nya.’’ Pendapat inilah seseorang yang beriman di dunia ini,
yang dikutip oleh Rasyid Ridha. Begitu pada hakikatnya ia telah beriman
juga al-Nasafi menjelaskan bahwa, manakala ia masih di dalam ilmu Allah,
Allah menerima permohonan Iblis begitu juga orang kafir, ia telah menjadi
karena dalam permohonan itu kafir sejak azali. Ibnu ‘Arabi kemudian
terkandung ujian, sekaligus untuk membedakan antara kehendak Tuhan
mendekatkan hati para pencinta Allah. dengan perintah taklif. Kehendak
Bahwa inilah anugerah Allah bagi yang Tuhan adalah ketentuannya atas segala
durhaka kepada-Nya, maka bagaimana yang berlaku, yang tidak mungkin
pun, yakni tentu jauh lebih besar dilanggar atau keluar darinya. Oleh
anugerah-Nya bagi yang mencintai- karena itu, sebuah kesalahan adalah
Nya.’’52 dosa dalam syari’at dan amar taklif, dan
Pada akhirnya al-Marâghî pun bukanlah dosa bagi kehendak Tuhan.
mengakui Iblis sebagai monoteis sejati, Atas dasar inilah Ibnu ‘Arabi
begitu pula ‘‘Muẖammad’’, simbolik beranggapan dosa Iblis dan Fir’aun
terjadi karena kehendak Tuhan.54
51
Abdullah bin Muhammad bin
Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Lubâbu Al-
53
Tafsîr Min Ibni Katsîr, Jilid V (Jakarta: Pustaka Aẖmad Mustafa al-Marâghî,
Imam Syafi’i, 2017), h. 123. Terjemah Tafsîr al-Marâghi,… Juz 23, h. 57
52 54
M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Musthafa Hilmi, Ibn al-Faridh wa al-
Mishbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al- Hubb al-Ilahi (Kairo: Dâr Al-Ma’arif, t.t.), h.
Qur’an,…vol. 6, h. 461 390.

Muhtolib, Umar Fauzi Page | 57


al Ashriyyah: Journal of Qur’an and Hadits Studies, Vol. 6 (No. 02), Oktober 2020: 45-60.

Pendapat dari Ulama Sufi di atas, seorang makhluk kepada Tuhan, dan
tentunya sangat kontradiksi dengan perintah sujud tersebut kepada Adam
pernyataan Ulama pada umunya. Oleh sebagai penghormatan, serta bukan
karena itu, di dalam kisah Iblis sebagai bentuk ibadah. Adapun
memberikanI pelajaran kepada kengganan Iblis untuk sujud kepada
Manusia tentang sebab-akibat ketaatan Adam, merupakan pembangkangan
dan pelanggaran yang dilakukan oleh yang disebabkan oleh sifat
Iblis baik secara penafsiran teologis kesombongan. Penolakan Iblis untuk
maupun sufistik. Di sisi lain bahwa sujud kepada Adam, yang akhirnya
sujud untuk menegaskan bahwa mengakibatkan ia masuk ke dalam
konsepsi ketundukkan Manusia kepada golongan kafir. Kedua, dalam
Tuhannya sangat diutamakan. Maka penafsiran Sufistik: Perintah sujud
perintah sujud dalam al-Qur'an kepada Adam adalah sebagai bentuk
memiliki kandungan yang sangat ibadah. Kengganan dan penolakan Iblis
mendalam. Sebagai Manusia harus untuk sujud kepada Adam adalah
memiliki kemampuan mengolah dan sebagai bentuk (taqdis), yakni
menundukkan nafsunya, untuk tunduk, mensucikan Allah SWT, yang pada
patuh, berserah diri secara total, sesuai hakikatnya adalah ketatan. Pada
dangan sunatullah dan taqdirullah. akhirnya Allah mengampuni dosa Iblis
dan memasukkannya ke dalam surga.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Dari pemaparan di atas dapat
disimpulkan bahwa, wawasan al-Qur'an ‘Abbâs, Qâsim Muẖammad. al-Hallâj
tentang respon Iblis terhadap perintah al-A’mâl al-Kâmilah. Beirut: Riad
sujud kepada Adam, memunculkan dua el-Rayyes, 2002.
perdebatan pendapat oleh para Ulama Abduh, Muẖammad, dan Rasyid Ridhâ.
yang kontroversial. Bila al-Qur’an saja Tafsîr al-Manar. Juz I. Beirut:
telah menceritakan kisahnya Iblis Dâr al-Ma’rifah, t.t.
maka, sudah pasti itu merupakan hal Abdullah bin Muhammad bin
yang sangat penting untuk Abdurrahman bin Ishaq Alu
diperhatikan bagi umat Manusia. Syaikh. Lubâbu Al-Tafsîr Min
Terlebih lagi kisah tersebut diulang- Ibni Katsîr. Jilid V. Jakarta:
ulang dalam al-Qur’an, di dalam Pustaka Imam Syafi’i, 2017.
beberapa Surat. hal tersebut Abî al-Qâsim Abd al-Kârîm bin
mengindikasikan bahwa banyak Hawâzan bin Abd al-Malik al-
pelajaran dan manfaat yang harus Qusyairî. Tafsîr Al-Qusyairi
diambil untuk kebaikan Manusia. Dua (Lathâ’if Al-Isyârât). Juz I.
pendapat tersebut yang kotroversial Beirut-Libanon: Dâr al-Kutub al-
yaitu: Pertama, dalam penafsiran Ilmiyah, 2007.
teologis perintah sujud, adalah Abî al-Qâsim Maẖmûd bin ‘Umar Al-
merupakan sebagai bentuk ketundukan Zamakhsyarî. al-Kasyâf ‘an

Page | 58 Muhtolib, Umar Fauzi


al Ashriyyah: Journal of Qur’an and Hadits Studies, Vol. 6 (No. 02), Oktober 2020: 45-60.

Haqâ’iq Ghâwamidh al-Tanzîl wa El-Qum, Mukti Ali. Spirit Islam Sufistik:


‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujuh al- Tasawuf Sebagai Instrument
Ta’wîl. Jilid I. Riyadh: Maktabah Pembacaan Terhadap Islam.
al-‘Abikân, 1998. Bekasi Timur: Pustaka Isfahan,
Abî Laits Nashr bin Muẖammad bin 2011.
Aẖmad bin Ibrâhim al- Haji Abdulmalik Karim Amrullah
Samarqandî. Tafsîr al- (Hamka). Tafsir al-Azhar. Cet.
Samarqandî: Baẖru al-‘Ulûm. VI, Juz I. Jakarta: PT Mitra
Cet. I, Jilid I. Beirut: Dâr al- Kerjaya Indonesia, 2005.
Kutub al-Ilmiyah, 1993. Hallâj, Mansur al-. al-Thawȃzun.
Abî Muẖammad al-Husain bin Mas’ûd Diterjemahkan oleh Am Santrie.
al-Baghâwî. Tafsîr al-Baghâwî. al-Ma’had Tanwirul Qulub, t.t.
Jilid I. Riyadh: Dâr Kaibah, 1409. Hilmi, Musthafa. Ibn al-Faridh wa al-
Ali bin Anjabi al-Sa’i al-Baghdadî. Hubb al-Ilahi. Kairo: Dâr Al-
Akhbȃr al-Hallȃj. Damaskus: Dar Ma’arif, t.t.
al-Taliy’ah al-Jadidah, 1997. Ibrahim, Ahmad Syauqi. Misteri Potensi
Ali bin Anjâbi as-Sa’i al-Baghdâdî. Gaib Manusia. Diterjemahkan
Akhbâr al-Hallâj. Damaskus: Dâr oleh Muhyiddin Mas Ridha. Dari
at-Taliy’ah al-Jadîdah, 1997. Judul, Al-Rus wa al-Nafs wa wl-
Anwar, Rosihon. Menelusuri Ruang ‘Aql wa Al-Qarîn. Jakarta: Qisthi
Batin Al-Qur’an. Jakarta: Press, 2011.
Erlanga, 2010. iman, Allamah Kamal Faqih. Tafsir
arî, Abû al-Hasan al-‘Asy.’ Kitâb al- Nurul Qur’an Sebuah Tafsir
Luma’. Matbhba’ah Mashira Sederhana Menuju Cahaya Al-
Syarikah Mâhimah Madhiriyah, Qur’an. Diterjemahkan oleh R
1955. Hikmat Danaatmaja. Jilid I.
Audah, Ali. Konkordansi Al-Qur’an: Jakarta: al-Huda, 2003.
Panduan Kata Dalam Mencari Jîlânî, ‘Abd al-Qadîr al-. Tafsîr al-Jîlânî.
Ayat Al-Qur’an. Cet. II. Juz II. Pakistan: al-Maktabah al-
Bandung: Mizan, 1997. Ma’rûfiyah, 2010.
Awn, Peter J. Tragedy Setan: Iblis Khalik, ‘Abd al-Rahman Abd al-. al-Fikr
Dalam Psikologi Sufi. al-Shûfî fî Daui al-Kitâb wa al-
Diterjemahkan oleh Arif Sunnah. Kuwait: Maktabah Ibn
Rakhmat. Yogyakarta: Yayasan Taimiyyah, t.t.
Banteng Budaya, 2000. Mansur, Mirfaqo Ibnu. Misteri Alam
Baghdâdî, Abî al-Fadhl Syihâb al-Dîn Setan Menurut Kaca Mata
Sayyid Maẖmûd al-Alûsî al-. Syari’at. Lirboyo: Pustaka Pojok
Tafsîr Rûẖ al-Ma’ânî Tafsîr al- Press, 2009.
Qur’ân al-‘Azhîm wa al-Sabu’ al- Maraghî, Ahmad Musthâfâ al-.
Matsanî. Jiz V. Beirut: al-Turâts Terjemah Tafsîr al-Marâghî. Cet.
al-‘Arabî, t.t.

Muhtolib, Umar Fauzi Page | 59


al Ashriyyah: Journal of Qur’an and Hadits Studies, Vol. 6 (No. 02), Oktober 2020: 45-60.

II, Jus 2. Semarang: PT Karya ———. Yang Halus Dan Tak Terlihat:
Toha Putra, 1974. Setan Dalam Al-Qur’an. Jakarta:
Muhammad bin Yusuf (Abu Hayan al- Lentera Hati, 2010.
Andalusî). Tafsîr al-Baẖri al- ———. Yang Tersembunyi: Jin, Iblis,
Muẖith. Cet. I, Juz I. Beirut- Setan & Malaikat Dalam Al-
Lebanon: Dâr al-Kutub al- Qur’an-As-Sunnah Serta Wacana
‘Ilmiyah, 1993. Pemikiran Ulama Masa Lalu dan
Muẖyi Al-Dîn Ibnu ‘Arabî. Tafsîr Ibnu Masa Kini. Cet. V. Jakarta:
‘Arabi, t.t. Lentera Hati, 2003.
Naisabûrî, Al-Qumi al-. “Gharâib Al- Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya
Qur’an wa Raghâ’ib Al-Qur’an.” dalam Islam. Jakarta: Raja
Aplikasi Tafsir Klasik, oktober Grafindo Persada, 2002.
2018. www. Al-tafsir.com. Susetya, Wawan. Kisah Para Sufi:
Nâshir al-Dîn Abî Sa’id Abd. Allah bin Perjalanan Menuju Maqam Cinta
‘Umar bin Muẖâmmad al-Syirâzi Sejati. Cet. I. Solo: Tiga
al-Baidhâwi. Tafsîr Anwâr al- Serangkai, 2006.
Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wil. Juz I. Syarifuddin. Paradigma Tafsir Tekstual
Mesir: Dâr al-Kutub al-‘Arabiyah dan kontekstual Usaha
al-Kubrâ, t.t. Memaknai Kembali Pesan Al-
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisme Qur’an. Cet. I. Yogyakarta:
Dalam Islam. Jakarta: Bulan Pustaka Penerbit, 2009.
Bintang, 1992. Thanthawî, Muẖammad Sayyid. Tafsîr
Qâsimî, Muẖammad Jamâl al-Dîn al-. al-Wasith li Al-Qur’an al-Karim:
Maḥāhasin al-Ta’wil. Juz I. Tafsîr Surat al-Fâtihah wa al-
Beirut: Dâr al-Fikr, 1996. Baqârah. Cet. III, Juz I., 1987.
Qurtubi, Imam al-. Tafsir Al-Qurtubi. ———. Tafsîr al-Wasith li Al-Qur’ân al-
Diterjemahkan oleh Ahsan Karîm: Tafsîr Surat al-Fâtihah wa
Askan. Jakarta: Pustaka Azzam, al-Baqârah, 1987.
t.t. Ulwan, Firyal. Rahasia Alam Gaib. Cet.
Rahmat, Jalaluddin. Membuka Tirai III. Semarang: PT Semarang
Kegaiban: Rahasia-Rahasia Press, 2003.
Sufistik. Cet. I. Bandung: Mizan Zuhailî, Wahbah al-. al-Tafsîr al-Wajîz
Pustaka, 2008. ‘alâ Hamsyi Al-Qur’an al-‘Azhim.
Said, Usman. Pengantar Ilmu Tasawuf. Cet. II. Damsyiq-Suriah: Dâr al-
Medan: Proyek Pembinaan PTA Fikr, 1994.
IAIN Sumatera Utara, 1982.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah.
Vol. I. Tangerang: PT. Lentera
Hati, 2016.

Page | 60 Muhtolib, Umar Fauzi

You might also like