You are on page 1of 26

AD-DAKHIL FI TAFSIR AL-QURAN: MENYIKAPI AD-

DAKHIL DALAM TAFSIR MAFATIH AL-GHAIB

Muhamad Reza Wijaya


Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Email: rezabunwijaya@gmail.com

Salim Rosyadi
Uiversitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Email: salim.rosyadi@uin.banten.ac.id

Abstract
Apart from being the words of Allah SWT, the Qur'an also contains various
issues in it, so it requires an interpretation to find out the meaning of the
contents of these verses. At the time of the revelation of the Qur'an, the
Prophet SAW. who was the first to interpret the Koran. However, after his
death, efforts to interpret the Koran encountered difficulties. Apart from
adhering to the interpretation of the Prophet SAW. During their lifetime,
friends often sought interpretations of verses through their own ijtihad. Tafsir
is a human product, which means that interpretation cannot be free from
shortcomings and even misuse, such as the inclusion of invalid data into
discussions of the interpretation of the Qur'an which has become known as
ad-Dakhil. Ad-Dakhil has existed since classical times along with the
development of the spread of Islam. This can be found in several classical and
modern interpretive works, with incompatible interpretive systems,
orientations and methods. Including the book of commentary on Mafatih al-
Ghaib by Imam Fakhruddin al-Razi, which is considered to contain elements
of dakhil both from a historical and religious perspective. In terms of history,
al-Razi often used israiliyat narrations as a source of interpretation. The
israiliyat history that al-Razi quoted in his story was about the origins of the
descendants of the Prophet Job as. and the type of disease. Apart from the
israiliyat history, al-Razi also has an interpretation using the dhaif hadith,
namely the interpretation of the verse about the appearance of animals as a
1
sign of the end of the world in Q.S. an-Naml verse 82. In terms of dirayah, al-
Razi divides it into at least three. First, forcing kalam thinking. The
interpretation developed by al-Razi is more characterized by discussions and
debates about kalam. Almost every verse is led into a kalam debate,
especially the debate between Jabari and Qodari. Second, forcing reasoned
argumentation. Third, forcing interpretation with a scientific approach. In
interpreting Q.S. al-Baqarah verse 29 which was forced to conform to the
astronomical knowledge that was developing at that time.
Keywords: ad-dakhil, tafsir, al-razi, mafatih al-ghaib

Abstrak
Selain sebagai kalam Allah Swt., al-Qur’an juga memuat berbagai persoalan
di dalamnya, sehingga membutuhkan adanya suatu penafsiran untuk
mengetahui makna isi dari ayat-ayat tersebut. Pada Masa turunnya al-Qur’an,
Nabi Saw. yang pertama kali menafsirkan al-Qur’an. Akan tetapi selepas
meninggalnya beliau, upaya untuk menafsirkan al-Qur’an menemukan
kesulitan. Selain berpegang pada penafsiran Nabi saw. semasa hidup, para
sahabat tak jarang mencari penafsiran ayat melalui ijtihadnya sendiri. Tafsir
merupakan produk manusia, yang artinya tafsir tidak bisa lepas dari
kekurangan bahkan penyelewengan, seperti dimasukkannya data-data tidak
valid ke dalam pembahasan tafsir al-Qur’an yang kemudian dikenal dengan
istilah ad-Dakhil. Ad-Dakhil sudah ada sejak masa-masa klasik seiring
perkembangan penyebaran Islam. Hal ini dapat dijumpai dalam beberapa
karya tafsir klasik maupun modern, dengan adanya sistem, orientasi dan
metode penafsiran yang tidak sesuai. Termasuk kitab tafsir Mafatih al-Ghaib
karya Imam Fakhruddin al-Razi yang di dalamnya dinilai terdapat unsur
dakhil baik dari segi riwayat maupun dirayah. Dari segi riwayat, al-Razi
sering menggunakan riwayat-riwayat israiliyat sebagai salah satu sumber
penafsiran. Riwayat israiliyat yang al-Razi kutip dalam kisahnya adalah
tentang asal-usul keturunan Nabi Ayub as. serta jenis penyakitnya. Selain
terdapat riwayat israiliyat, al-Razi juga terdapat penafsiran menggunakan
hadits dhaif, yakni penafsiran ayat tentang munculnya binatang sebagai tanda
akan terjadinya kiamat pada Q.S. an-Naml ayat 82. Dari segi dirayah, al-Razi
sedikitnya membagi menjadi tiga. Pertama, pemaksaan pemikiran kalam.
Tafsir yang dikembangkan al-Razi lebih banyak diwarnai pembahasan dan
perdebatan kalam. Hampir tiap ayat digiring dalam perdebatan kalam,
terutama perdebatan antara Jabari dan Qodari. Kedua, pemaksaan
agrumentasi akal. Ketiga, pemaksaan penafsiran dengan pendekatan sains.

2
Dalam menafsirkan Q.S. al-Baqarah ayat 29 yang dipaksa untuk sesuai
dengan pengetahuan astronomi yang berkembang saat itu.
Kata Kunci: ad-dakhil, tafsir, al-razi, mafatih al-ghaib

PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan kalam Allah Swt. yang berfungsi sebagai
petunjuk bagi kebahagiaan umat manusia. Kitab ini memuat banyak ajaran-
ajaran yang masih bersifat global, sehingga memerlukan penafsiran. Pada
masa turunnya Al-Quran, upaya untuk memahami isi setiap ayat yang
diturunkan didasari oleh Nabi Muhammad Saw. untuk mendapatkan
penjelasan yang jelas. Inilah awal kemunculan penjelasan ayat Al-Qur'an dan
ayat-ayat lainnya serta dengan bantuan hadits. Namun sepeninggal Nabi Saw.
upaya memahami Al-Quran mengalami kesulitan. Selain berpegangan kepada
penafsiran Nabi Saw. atas beberapa ayat semasa hidupnya, tidak jarang para
sahabat mencari makna ayat-ayat Al-Qur’an melalui hasil ijtihatnya sendiri.
Penafsiran al-Qur’an semakin lama semakin berkembang semenjak
banyak orang Ajam atau non Arab yang masuk ke dalam agama Islam.
Namun dalam perjalanannya banyak penafsiran yang tidak sesuai dengan Al-
Qur’an dan hadits. Inilah yang dimaksud dengan ad-dakhil dalam tasfir.
Dakhil dalam tafsir merupakan suatu aib atau kecacatan yang bersumber dari
kekeliruan dalam berpikir, atau adanya unsur-unsur lain yang sengaja
disisipkan ke dalam tafsir al-Quran. Unsur-unsur tersebut bisa berupa kisah
Israiliyyat, hadis-hadis palsu maupun kesalahan akibat penggunaan kaidah
bahasa yang tidak sesuai. Dakhil yang berupa unsur ini banyak ditemukan
dalam tafsir bi al-ma'sur, terlebih tafsir-tafsir yang dalam menyebutkan
riwayat tidak menyebutkan sanad-sanadnya. Atau menyebutkan sanad akan
tetapi tanpa ada komentar lebih lanjut dari si pengarang.

3
Studi mengenai ad-Dakhil dapat memberi sumbangan yang berarti
bagi para pengkaji dan peminat kajian tafsir secara khusus, dan umat Islam
pada umumnya tentang pentingnya mewaspadai kesalahan dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Semua itu tidak akan luput dari sebuah
perkembangan ilmu pengetahuan, yang tidak didasari dengan pedoman al-
Qur’an dan hadits sebagai petunjuk yang murni. Kebanyakan suatu golongan
memiliki kepentingan tersendiri dalam mengembangkan pemikirannya, hal
itu dikarenakan ada tujuan pokok yaitu adanya fanatisme dan dukungan
terhadap mufassir serta aliran tertentu. Seorang mufassir juga beranggapan
bahwasanya akal adalah sumber segala ilmu pengetahuan, sehingga lebih
condong untuk mengedepankan akal dalam penafsiran.

HASIL dan PEMBAHASAN


A. Definisi Ad-Dakhil fi Al-Tafsir Al-Qur’an
Secara bahasa, ad-Dakhil berasal dari kata ‫ دخ))ل‬yang merupakan
bentuk kata dari isim fi’il yang bermakna fa’il, sehingga kata ad-Dakhil
berubah bentuk menjadi ‫دخيل‬. Lebih jelasnya, kata ad-Dakhil dapat diartikan
sebagai semua kalimat yang masuk dalam kata atau literatur Arab tetapi tidak
memiliki keaslian kata atau kalimat dalam bahsa Arab. Menurut pengertian
yang lebih luas, ad-Dakhil adalah kerusakan, kehancuran, kecacatan,
pelanggaran dan tipu daya.1 Dalam kitab Mukhtar al-Shihab disebutkan
bahwa ad-Dakhil merupakan tipu daya dan muslihat, sesuatu yang tidak asli
yang jika diumpamakan seperti imigran dari desa A ke desa B, maka imigran
tersebut adalah ad-Dakhil karena bukan penduduk asli desa B. Lanjutnya, ad-
Dakhil juga diumpamakan sebagai aib, atau suatu kejelekan yang berasal dari

1
Arfian Darmansyah, “Rangkaian Wujud Ad-Dakhil dalam Tafsir Az-Zamakhsyari”,
Jurnal Ilmu Agama Islam, Vol. IV, No. 1, (2022), p. 5-6.

4
luar.2 Menurut Ibrahim Khalifa, ad-dakhil merupakan penafsiran al-Qur’an
yang tidak memiliki sumber yang jelas dalam Islam, baik itu penafsiran yang
menggunakan riwayat-riwayat dari hadits dha’if, maudhu’, ataupun
menafsirkannya dengan tafsiran yang sesat karena lalai atau ada unsur
kesengajaan.3
Secara istilah, ad-Dakhil merupakan segala sesuatu yang disandarkan
secara bohong kepada Rasul atau Sahabat atau Tabi’in atau sesuatu yang
diapstikan riwayatnya atas sahabat atau tabi’in namun tidak memenuhi
syarat-syarat-syarat diterimanya suatu riwayat. Lebih lanjut al-Najjār juga
menyatakan bahwa sesuatu yang bersumber dari logika yang rancu karena
tidak memenuhi beberapa syarat juga bisa masuk dalam pengertian ad-Dakhil
secara istilah. Sementara itu ‘Atiyyah ‘Iram merujuk pada pendapat ‘Abd al-
Wahhab Fayid menyatakan bahwa pengertian ad-Dakhil secara istilah adalah
suatu tafsir yang tidak memiliki dasar agama sama sekali, di mana tafsir
tersebut menyusup masuk ke dalam dunia tafsir al-Qur’an di saat terjadi
kelengahan di kalangan kaum muslimin karena adanya peristiwa tertentu
pasca wafatnya Rasul.4
Tafsir diambil dari kata ‫ َتْفِس يًر ا‬- ‫ ُيَفِّسُر‬- ‫ َفَّسَر‬yang berarti keterangan
penjelasan atau uraian. Secara istilah, tafsir berarti menjelaskan makna ayat
al-Qur’an, keadaan kisah dan sebab turunya ayat tersebut dengan lafal yang
menunjukkan kepada makna zahir. Menurut al-Jurjani, tafsir adalah
menjelaskan makna ayat keadaannya, kisahnya, dan sebab yang karenanya
ayat diturunkan, dengan lafadz yang menunjukkan kepadanya dengan jelas

2
Ahmad Rozy Ride dan Abdul Kadir Riyadi, “Ad-Dakhil dalam Tafsir Ilmi (Kajian
Kritik Husein Al-Dzahabi atas Kitab Al-jawahir fi Tafsir al-Qur’an”, TAJDID, Vol. XXI, NO. 2,
(Juli-Desember, 2022), p. 242.
3
Enok Ghosiyah, “Al-Dakhil Fi Al-Tafsir Sebagai Objek Kajian Ilmu Al-Qur’an”, Jurnal
Al-Fath, Vol. IX, No. 1, (Januari-Juli, 2015), p. 97.
4
Khoirul Umami, Al-Dakhil dalam Tafsir MTA, (Depok: Rajawali buana Pustaka,
2021), p. 88-89.

5
sekali. Sedangkan menurut az-Zarkazyi, tafsir ialah suatu pengetahuan yang
dapat dipahamkan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.,
menjelaskan maksud-maksudnya, mengeluarkan hukum-hukumnya dan
hikmahnya.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ad-Dakhil
dalam tafsir al-Qur’an adalah suatu aib atau kerusakan yang tersembunyi,
hakikatnya samar dan disisipkan di dalam tafsir al-Qur’an. Karena kesamaran
tersebut, usaha untuk mengetahui dan mengungkapkannya membutuhkan
suatu penelitian.

B. Sejarah Munculnya Ad-Dakhil fi Al-Tafsir Al-Qur’an


Potensi ad-Dakhil sejatinya telah muncul sejak sebelum Islam datang.
Pasalnya, sebelum Islam datang di jazirah Arab, telah ada sekelompok Ahli
Kitab yang sebagian besar berbangsa Yahudi. Mereka berhijrah dan masuk
jazirah Arab pada sekitar tahun 70 Masehi. Mereka bermukim di sebuah
lembah yang dikelilingi oleh pegunungan serta terdapat banyak pohon kurma,
tempat itu dinamakan Yatsrib. Mereka datang berbondong-bondong ke
jazirah Arab karena ramalan para pemuka agama mereka tentang diutusnya
Nabi akhir zaman sebagai penerus Musa a.s yang akan mengembalikan
mereka kepada tanah suci sebagaimana telah dijanjikan Tuhan. Selain tinggal
di Yatsrib, sebagian ada juga yang hidup berkelompok di Yaman dan
Yamamah.5
Interaksi keseharian dan hubungan sosial yang berlangsung lama
inilah yang menyebabkan pertukaran kultur dan budaya diantara kaum
Yahudi dan bangsa Arab. Ketika Rasul saw. datang dengan syarat Islam dan
memperluas medan dakwah hingga menjamah Yatsrib, kemudian diikuti para

5
Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Ad-Dakhil Fit-Tafsir, (Jakarta: Pt QAF. Media
Kreativa, 2019), p. 54-55.

6
sahabat yang berhijrah dari Mekkah menuju Madinah. Mulai dari sinilah
beberapa orang Yahudi masuk Islam, di antaranya adalah Ka’b ibn Mati’ al-
Humyari al-Ahbar, ’Abdullah ibn Salam dan Tamim al-Dari. Setelah
memeluk Islam, mereka menjadi salah satu rujukan para sahabat dalam
menafsirkan Al-Qur’an terutama yang berkaitan dengan kisah-kisah umat
terdahulu.
Dari keterangan singkat di atas, dapat ditarik benang merah bahwa,
proses merasuknya ad-Dakhil ke dalam tafsir al-Qur’an paling tidak melalui
dua jalan. Pertama, ketika Rasulullah Saw. tinggal di Madinah, beliau
mendakwahi Ahli Kitab dari bangsa Yahudi (Bani Qaynuqa, Bani Nadir dan
Bani Qurayzah) sehinggah terjadilah pertemuan antara Nabi Saw. dan
Sahabat dengan Ahli Kitab. Proses pertemuan dan perhelatan intelektual
inilah yang menyebabkan masuknya ad-Dakhīl dalam tafsir.6 Kedua,
masuknya sebagian orang Yahudi ke dalam Islam, seperti ‘Abdullah ibn
Salam, Mukhayriq ibn al-Nadir dan Ka’b al-Ahbar. Ketika segelintir orang
Yahudi memeluk Islam dan sebagian sahabat bertanya kepada mereka
mengenai isi Taurat dan Injil, terutama mengenai cerita umat terdahulu yang
disebutkan secara global dalam alQur’an, maka terjadilah kontak
pengetahuan diantara mereka. Pada awalnya. Rasul memang melarang,
bahkan beliau sangat marah ketika melihat ‘Umar ibn al-Khatab datang
dengan membawa lembaran-lembaran berupa kitab Suci yang diperoleh dari
Ahli Kitab. Tetapi seiring berjalannya waktu dan penyebaran Islam ke
seluruh penjuru Madinah dan sekitarnya. Rasul pun mengizinkan para
sahabat untuk meriwayatkan cerita-cerita Israiliyat selama tidak bertentangan
dengan ajaran Islam.
Dari generasi ke generasi fenomena ad-Dakhil dalam tafsir al-Qur’an
khusunya ad-Dakhīl bi al-ma’sur yang berasal dari Israiliyat terus
6
Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Ad-Dakhil Fit-Tafsir, p. 56.

7
berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Adapun terkait dengan
ad-Dakhil dalam tafsir bi al-ra’yi antara lain, yang paling utama adalah
pemahaman mufassir yang sangat subjektif. Subjektivitas pemahaman atau
penafsiran tersebut terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat sebagai
penafsir al-Qur’an dan menafsirkan al-Qur’an untuk menjustifikasi
pandangan golongan atau kelompok tertentu, seperti yang dilakukan oleh
sebagian sekte Muktazilah.7
Pada zaman Rasulullah Saw., ad-Dakhil belum ada, sebab semua
penafsiran al-Qur’an dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan di bawah
pengawasaan Allah Swt. secara langsung. Jadi, penafsiran yang dilakukan
Rasulullah Saw. tidak mungkin ada kesalahan. Jika para sahabat menemukan
kesulitan dalam memahami isi al-Qur’an, maka mereka akan langsung
bertanya pada Rasulullah Saw. Ad-Dakhil muncul pertama kali pada era para
sahabat. Tepatnya sejak tahun 41 H, dengan munculnya perpecahan umat
Islam pada saat itu. Sehinggga tak sedikit mufasir yang memasukkan ad-
Dakhil ke dalam penafsirannya hanya untuk menguatkan ideologi
golongannya tersebut atau sebab lainnya.
Ad-Dakhil bisa muncul dari dua sudut, pertama, ad-Dakhīl yang
timbul dari orang-orang non Islam (al-Dakhil alKharij). Ad-Dakhil semacam
ini muncul dari pemikiran musuh-musuh umat Islam yang ingin
menghancurkan agama Islam baik itu dari orang Yahudi, Nasrani, orang yang
tidak memiliki agama, maupun dari golongan Orientalis yang mereka hanya
bertujuan untuk mempermainkan agama dan ingin menampakan bahwa kitab
suci al-Qur’an sangat bertentangan dengan dinamika kehidupan manusia.
Kedua, ad-Dakhil yang muncul dari orang Islam sendiri. Dakhil macam ini
biasa muncul dari golongan beragam yang mengatas namakan golongannya
beragama Islam, namun pada kenyataaannya mereka mempunyai hubungan
7
Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Ad-Dakhil Fit-Tafsir, p. 59.

8
gelap dengan musuh-musuh Islam. Golongan Islam itu hanya menjalankan
strategi yang dirumuskan oleh musuh-musuh Islam.8

C. Sekilas Tentang Tafsir Mafatih Al-Ghaib


1. Biografi Ar-Razi
Nama lengkap al-Razi adalah Muhammad bin ‘Umar bin al-Husain
bin al-Hasan bin ‘Ali al-Timiy al-Bakariy al-Thabariy al-Ashl, 9 dan memiliki
nasab sampai kepada Abu Bakar Shiddiq ra. Beliau memiliki banyak
julukan, di antaranya Abu Abdullah, Abu al-Ma’ali, Abu al-Fadhl, Ibn
Khatib al-Ray, al-Imam, Fakhr al-Din, al-Razi dan Syaikh al-Islam. Gelaran-
gelaran ini diberikan kepadanya karena beliau telah menguasai berbagai
bidang ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun umum. Ia lahir
di kota Ray, Iran pada tanggal 25 Ramadhan 544 H/ 543 H dan wafat pada
hari raya Idul fitri tahun 606 H di kota Herat.
Sejak kecil, al-Razi dididik oleh ayahnya, Khathib al-Ray. Dialah
yang mula-mula mengajarinya ilmu keislaman, terutama ushul fiqhi. Setelah
ia wafat, al-Razi belajar kepada al-Simnany kemudian pada al-Majd al-Jiliy
(murid al-Ghazali) tentang ilmu kalam dan hikmah dalam waktu yang cukup
lama. Bahkan ia telah menguasai risalah teologi al-Syamil fi Ushul al-Din
(karya Imam Haramain), al-Musthashfa (karya al-Ghazali) dan al-Mu’tamad
(karya Abu Hasan al-Bishri). Di samping itu, ia juga menaruh perhatian yang
sangat besar terhadap kitab al-Mufashshal (karya al-Zamakhsyariy) dalam
ilmu nahwu dan kitab al-Wajiz (karya al-Ghazali) dalam ilmu fiqhi. Kedua
kitab tersebut telah disyarahnya. Kemampuan al-Razi menguasai berbagai
disiplin ilmu sangat menakjubkan, melihat situasi dan kondisi dunia Islam
8
M. Faiz Abdillah dan Nasrul Arifiyanto, “Sejarah Kemunculan Dan Berkembang Al-
Dakhil Al-Tafsir”, ACADEMIA, (2019), p. 1-2.
9
Muhammad al-Razi Fakhr al-Din, Tafsir Mafatih al-Ghaib, (t.tp: Dar al-Fikr, t.th) p.
3.

9
saat itu sedang mengalami disintegrasi politik dan labilnya keamanan. Dalam
hal ini, Sayyid Husain Nashr mengatakan bahwa jarang sekali seorang
pemikir Islam dapat menguasai berbagai disiplin ilmu seperti yang dialami
oleh al-Razi. Karena pada saat itu, biasanya para mutakallimin sunni dan ahli
fikihnya telah menjauhkan diri dari cabang-cabang pengetahuan di luar
bidang agama.10
Menjelang akhir hayatnya, ar-Razi mengalami skeptis terhadap
kemampuan rasio sebagaimana yang telah dialami oleh al-Ghazali. Karena
itu ia berpesan kepada salah seorang muridnya agar tidak mencari kebenaran
tidak hanya melalui perdebatan akal, tetapi yang terpenting adalah
menelusuri kandungan al-Qur’an sampai ke titik terdalamnya. Ia sakit keras
menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam usia 57 Tahun. Berita
kematian al-Razi sangat kontroversial, ada yang mengatakan bahwa ia
meninggal karena diracuni oleh lawan-lawannya dari kelompok Karomiyah
dan ada yang mengatakan bahwa ia meninggal secara wajar akibat sakit
keras yang dideritanya.
Di antara karya-karyanya, antara lain Mafatih al-Ghaib (tafsir al-
Kabir), Ikhtisar Dalail al-I’jaz, Asas al-Taqdis, Asrar al-Tanzil wa Anwar al-
Ta’wil, I’tiqadat Faeq al-Muslimin wa al-Musyrikin, Al-Bayan wa al-Burhan
fi al-Rad ‘Ala Ahl al-Zayan wa al-Thughyan, Al-Tanbih ala Ba’dhi al-Asrar
al-Maudhi’ah fi Ba’dhi Suwar al-Qur’an, Syifa’ al-Ayyi’ wa al-Ikhtilaf, Al-
Thariq fi al-Jadl, Ashamah al-Anbiya’, Fadha’il al-Shahabah, Lubab al-
Isyarat dan masih banyak lagi.

2. Manhaj Tafsir Mafatih al-Ghaib

10
Sayyid Husain Nashr, Fakhr al-Din al-Razi, dalam M.M. Syarif, “a History of
Muslim Philosophy (td), p. 54.

10
Kitab tafsir ini mempunyai tiga nama, yaitu tafsir al-Kabir, tafsir al-
Razi dan Mafâtih al-Ghaib. Penamaan kitab tafsir al-Kabir didasarkan pada
kebesarannya, sedangkan nama al-Razi disandarkan pada julukan
pengarangnya dan mafatih al-Ghaib diilhami oleh sebuah istilah dalam al-
Qur’an surat al-An’am ayat 59. Penyebutan ketiga nama tersebut sama-sama
populer di kalangan umat Islam. Menurut sejarah, tafsir ini disusun oleh al-
Razi setelah menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu kalam dan
logika. Kitab tafsir ini menjadi lebih populer lagi setelah adanya usaha dari
ulama untuk melakukan kajian dari berbagai aspek yang terdapat di
dalamnya. Sebagaimana lazimnya penulisan sebuah kitab tafsir, al-Razi juga
menggunakan metode penulisan sebagaimana yang dilakukan oleh penulis
tafsir lainnya. Tafsir al-Razi yang beredar sekarang ini terdiri dari dua belas
jilid. Jilid pertama memuat mukaddimah yang berisi beberapa penjelasan
tentang penyusunan kitab tafsir ini dan riwayat hidup al-Razi yang ditulis
oleh al-Farrakh. Dalam jilid ini pula, al-Razi menguraikan penafsiran surat
al-fatihah dan sebagian surat al-Baqarah.
Ada perbedaan di kalangan ulama mengenai penulisan kitab ini. Al-
Dzahabi mengemukakan pendapat Ibnu Hajar al-Asqalani bahwa yang
menyempurnakan tafsir Fakhr al-Din al-Razi adalah Ahmad bin Muhammad
bin Abi al-Hazm Makkiy Najm al-Din al-Mahzumi al-Qamuli (w. 727 H).
Sedangkan Musthafa Ibnu Abdullah (pengarang kitab Kasyf al-Zunun)
berkata bahwa Syihab al-Din bin Khalil al-Khufi al-Dimasyqi yang
melanjutkan penulisan kitab tafsir al-razi, kemudian al-Syaikh Najm al-Din
Ahmad bin Muhammad al-Qamuli yang menyelesaikannya.11
Berdasarkan pendapat ulama di atas dapat disimpulkan bahwa
sebenarnya al-Razi tidak sempat menyelesaikan tulisannya secara lengkap. Ia

11
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Juz 1, (Kairo:
Maktabah Wahbah, 2000), p. 291.

11
hanya mampu menyelesaikannya sampai surat al-Anbiya’. Kemudian
dilanjutkan oleh muridnya yang setia, yaitu Najm al-Din al-Qamuli. Karena
sang murid betul-betul telah menguasai metodologi dan idiom gurunya
sedemikian tepatnya sehingga gaya penulisan keduanya dalam kitab tafsir al-
Kabir tersebut tidak dapat dibedakan.12

3. Metode Tafsir Mafatih Al-Ghaib


Al-Razi menggunakan metode tahliliy dalam menyusun kitab
tafsirnya. Langkah-langkah yang ditempuh oleh Beliau adalah sebagai
berikut:
a. Menyebutkan jumlah ayat dalam setiap surat dan jumlah ayat
makkiyah dan madaniyah.
b. Menafsirkan ayat berdasarkan urutan Mushaf Usmani
c. Setelah mengemukakan ayat yang akan dijelaskan, ia menyebut kata
fi al-ayat masâ’il, lalu memasuki penafsiran ayat dengan merincinya
kepada beberapa masalah.
d. Menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan beberapa ilmu yang telah
dikuasainya, seperti ilmu bahasa, ushul, fiqhi, qira’at, asbab al-nuzul,
syair dan sedikit hadis.

4. Corak Tafsir Mafatih Al-Ghaib


Tafsir al-razi diwarnai dengan corak teologis-filosofis dan fiqih.
Ayat-ayat yang bernuansa teologis al-Razi gunakan visi kalam Asy’ari,
sementara ayat-ayat fiqih al-Razi terapkan elaborasi fiqih Syafi’i.

5. Sumber Tafsir Mafatih al-Ghaib

12
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jil.I (ttp: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, tth), p. 175-
176.

12
Tafsir al-Razi membuat pandangan-pandangan mufassir, seperti Ibnu
Abbas, Ibnu al-Kalabiy, Mujahid, Qatadah al-Saddiy dan Sa’id bin Jubair.
Sementara itu dalam bidang bahasa, al-Razi menukil pendapat perawi-perawi
besar, seperti al-Ashamiy, Abi Ubaidah dan dari golongan ulama seperti al-
Farra, al-Zujjaj dan al-Mubarrad. Sedangkan dalam bidang tafsir, al-Razi
menukil pendapat Muqatil bin Sulaiman al-Marwaziy, Abu Ishak al-
Tsa’labiy, Abu al-Hasan ‘Ali bin Ahmad al-Wahidi, Ibnu Qutaibah,
Muhammad bin Jarir al- Thabariy, Abu Bakar al-Baqillaniy, Ibnu Furak
(guru al-Razi), al-Quffal al-Syasyi al-kabir, dan Ibnu Urfah. Adapun Ulama
Mu’tazilah yang dinukil pendapatnya oleh al-Razi, diantaranya Abu Muslim
al-Isfahaniy, al-Qadiy ‘Abd al-Jabbar, al-Zamakhsyari. Al-Razi menukil
pandangan al-Zamakhsyari dalam rangka menolaknya dan membatalkan
kehujjahannya. Pendapat-pendapat para ulama tersebut memperkaya kitab
tafsir al-Razi.

D. Ad-Dakhil dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib


1. Ad-Dakhil Berdasarkan Riwayat (Ma’tsur)
a. Israiliyat
Fakhrudin al-Razi sering menggunakan riwayat israiliyat sebagai
salah satu sumber penafsiran. Riwayat israiliyat ini biasa digunakan
untuk menafsirkan ayat-ayat yang ada kaitanya dengan kisah-kisah para
nabi dan kisah umat terdahulu. Diantara contoh bentuk al-Dakhil ini
adalah penafsiran al-Razi tentang kisah Nabi Ayub as. Dalam Q.S. Al-
Anbiya ayat 83. Riwayat israiliyat yang dikutip oleh al-Razi dalam kisah
ini adalah tentang:
1. Asal-usul keturunan Nabi Ayub as. adalah dari Rum, berdasarkan dari
riwayat Wahab ibn Munabbih. Padahal menurut Ibn Ishak, Nabi Ayub

13
as adalah ketururnan Bani Israil dari keturunan Luth dan pendapat
inilah yang dianggap benar. Kedua pendapat ini dipaparkan al-Razi
dalam al-Mas’alah al’Ula dalam penafsiran surat al-Anbiya’ ayat 83.
Namun al-Razi tidak menyimpulkan pendapatnya sendiri mengenai
perbedaan pendapat diatas.
2. Jenis Penyakit Nabi Ayub as. Menurut al-Razi, para ulama berbeda
pendapat tentang penyebab sakitnya Nabi Ayub dan lama
penderitaannya. Ada enam riwayat israiliyat yang al-Razi kutip untuk
menjelaskan hal tersebut, yaitu:
 Riwayat Ibn Syihab yang diterima dari Anas ra, bahwa Nabi saw
berkata, “Nabi Ayub as ditimpa musibat selama 18 tahun”.
 Riwayat yang bersumber dari Al-Hasan, bahwa setelah Ayub as
ditimpa musibat selama 7 tahun 7 bulan.
 Riwayat yang bersumber dari Dhahak dan Muqatil. Menurutnya,
Ayub ditimpa musibat selama 7 tahun 7 bulan 7 hari dan 7 jam.
 Wahab ibn Munabbih menuturkan bahwa untuk mendapatkan
makanan terpaksa istri Ayub as menjual (qarn) rambutnya untuk
ditukar dengan roti. Ketika Ayub as mengetahuinya maka Ayub
berkata:
‫الراحمين ارحموانت مسني الضراني‬
 Menurut Ismail al- Sudy, ada tiga alasan yang menjadi penyebab
perkataan Ayub as. (‫) ال))راحمين ارحم))وانت مسني الض))راني‬. Pertama,
perkataan kedua temannya yang meragukan keihlasan perbuatan
Ayub. Kedua, perbuatan istrinya yang mau menjual rambutnya
demi mendapatkan makanan sehingga penampilannya menyerupai
laki-laki dan hal ini 195 dilakukan atas godaan iblis. Ketiga, ketika
istrinya mengatakan perbuatan yang telah dilakukannya.216

14
 Diceritakan bahwa setiap ulat yang jatuh dari  pahanya, Ayub
selalu menempatkannya kembali pada tempatnya dan berkata,
“Allah telah menjadikanku sebagai makanan bagimu.” sehingga
ulat tersebut menggigitnya kembali menyebabkan rasa sakit yang
sangat. Ketika itulah Ayub berkata:
‫الراحمين ارحموانت مسني الضراني‬

Kesahihan riwayat Ibn Syihab diatas yang lengkapnya


diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dengan rangkaian sanad diterima
dari Ibn Syihab al-Zuhri dari Anas ibn Malik ra. dari Nabi saw. telah
disangkal oleh para Muhaditsin. Meskipun Ibn Hajar menilai sanad
tersebut merupakan yang paling sahih, namun para ulama menyatakan
bahwa penisbatan pernyataan tersebut kepada Nabi saw merupakan
perbuatan sebagian para pemalsu hadits yang selalu memanfaatkan
rangkaian sanad untuk memperkuat matan, atau merupakan kesalahan
sebagian rawi hadits. Padahal kesahihan sanad tersebut tidak dapat
mengingkari kenyataan bahwa kisah tersebut merupakan cerita dan
bualan israiliyat yang semuanya bersumber dari Wahab ibn Munabih
yang tidak didukung oleh dalil aqli dan naqli.
Menurut Ibrahim Nayil, semua riwayat yang menceritakan
kisah Ayub as di atas merupakan dakhilat mardudat sebab semua nabi
terhindar dari penyakit yang dapat mengurangi martabat kemanusiaan
sehingga mereka diasingkan oleh umatnya, seperti penyakit lepra
yang menyebarkan bau tidak enak. Dan dengan tegas alAlamah
Muhamad al-Dasuki menyatakan, “ Segala sesuatu yang dapat
mengurangi martabat kenabian, seperti penyakit lepra dan corob,
mustahil menimpa para nabi. Begitu pula mengenai lamanya penyakit

15
atau musibah yang menimpa Ayub as, tidak ada riwayat sahih yang
menerangkan hal tersebut. Imam al-Qurthubi menuturkan pendapat
Ibn al-Arabi, “Tidak ada satu khabar sahih pun yang menerangkan
lamanya musibah Ayub as.
Dalam penafsirannya tersebut, al-Razi tidak memberi
kesimpulan melainkan memaparkan pandangan Muktazilah tentang
ayat tersebut dan langsung menyalahkannya atau menolaknya dengan
kalimat “Hadza jahlun”. Riwayat Israiliyat lain yang dipakai sumber
penafsiran al-Razi dapat ditemukan dalam penafsirannya tentang
Kisah Nabi Ibrahim as. Dalam Q.S. Ibrahim ayat 68-69, Kisah Nabi
Sholih as dalam Q.S. Al-A’raf ayat 73, Kisah tentang Nabi Musa as
dalam Q.S. Al-Qashshash ayat 31, Jumlah Tukang sihir Fir’aun dalam
Q.S. Thaha ayat 65, Kisah Dua Anak Adam dalam Q.S. Al-Maidah
ayat 27, Kisah Nabi Idris as., dalam Q.S. Maryam ayat 56-57, Kisah
Ashab al-Kahfi; Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir; Kisah Dzul
Qarnain; Kisah Ya’juj wa Ma’juj.

b. Hadits Dhaif
Dalam tafsir Mafatih al-Ghaib terdapat penafsiran dengan
menggunakan Hadits Dhaif. Diantara contoh al-Dakhil al-Naqli dalam
bentuk penafsiran dengan menggunakan Hadits Dhaif adalah Penafsiran
ayat tentang munculnya binatang sebagai tanda akan terjadinya kiamat
yaitu Q.S. Al-Naml ayat 82. Menurut al-Razi ayat ini menerangkan tanda
akan terjadinya kiamat, yaitu munculnya seekor binatang. Ada beberapa
pendapat yang menjelaskan kehadiran binatang tersebut, yaitu:
 Disebutkan dalam sebuah Hadits, bahwa tinggi binatang tersebut
adalah enam hasta. Diriwayatkan lagi bahwa kepalanya mencapai

16
awan, Diterima dari Abi Hurairah bahwa jarak antara dua
tanduknya sepanjang dua Farsakh (mil).
 Diriwayatkan bahwa binatang tersebut tingginya empat kali
manusia, berbulu dan bertanduk. Menurut Ibn Juraij, “Kepala
binatang tersebut seperti kepala sapi jantan, matanya seperti mata
babi, telinganya seperti telinga gajah, tanduknya seperti tanduk
unta, dadanya seperti dada singa, kulitnya seperti kulit harimau,
perutnya seperti perut sapi, ekornya seperti ekor kambing, dan
telapak kakinya seperti telapak kaki unta.
 Menurut Ali ra, “binatang tersebut muncul selama tiga hari
sedangkan manusia tidak berani keluar rumah kecuali sepertiga
jumlah manusia.” Menurut Hasan al-Bashri, “Binatang tersebut
tidak muncul dengan sempurna kecuali setelah tiga hari.”
 Rasulullah saw ditanya mengenai tempat keluarnya binatang
tersebut. Beliau menjawab, “Binatang itu keluar dari mesjid yang
paling besar, sebagai penghormatan terhadap al- Masjid al-
Haram.” Diriwayatkan lagi bahwa ia keluar dari Bukit Shafa dan
berbicara dengan Bahasa Arab sambil membawa tongkat Nabi
Musa dan cincin Nabi Sulaiman. Kemudian binatang tersebut
memukul muka orang beriman tepat antara dua matanya yang
mengakibatkan wajah orang tersebut menjadi bercahaya (terang),
berbeda dengan wajah orang kafir yang berubah menjadi hitam
setelah dipukul telinganya.
 Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa ia muncul sebanyak tiga
kali, yaitu: Pertama muncul dan menetap di pinggir kota Yaman;
Kemudian muncul dan menetap lama di pegunungan; Kemudian
yang terakhir muncul dari antara tiang tepat di rumah Bani

17
Makhzum yaitu sebelah kanan al- Masjid alHaram, sehingga
sebagian orang melarikan diri dan sebagian lagi tetap tinggal di
dalam mesjid.13

Komentar al-Razi tentang kisah di atas: “Ketahuilah bahwa tidak


ada keterangan yang jelas dalam al-Quran mengenai hal ini, jika
informasi tentang hal tersebut benar- benar dari Rasul saw maka dapat
diterima, tetapi jika tidak maka informasi tersebut jangan dihiraukan”.
Jika dilihat dari komentarnya tersebut, al-Razi memaparkan hadi-hadis
dhaif tersebut hanya sebagai penjelasan yang lebih luas namun tidak
mengklaim kebenaran penjelasan dari hadis tersebut.

2. Ad-Dakhil Berdasarkan Dirayah (Al-ra’yi)


a. Pemaksaan Pemikiran Kalam
Sesuai kapasitasnya sebagai teolog, tafsir yang dikembangkan al-
Razi lebih banyak diwarnai pembahasan dan perdebatan kalam. Hampir
tiap ayat digiring dalam perdebatan kalam, terutama perdebatan antara
Jabari dan Qodari, dan antara Mu’tazili dan Asy’ari, padahal tidak semua
ayat al-Qur’an terkait langsung dengan pembahasan yang digiring oleh
alRazi. Misalnya, ada ayat yang langsung terkait dengan masalah kalam
Allah seperti al-Qur’an surat al-Zukhruf ayat 2, sehingga pembahasan
tentang itu akan dianggap tepat, tetapi al-Razi memaksakan perdebatan
itu dalam ayat lain yang secara dzahir tidak terkait dengan masalah
kalam Allah, seperti Q.S. Al-A’raf ayat 54. Tentunya argumentasi yang
dianggap kuat adalah argumentasi yang dipegang oleh pengikut Asy’ari.
Hal ini karena al- Razi adalah dikenal sebagai salah seorang ulama yang
membela paham Asy’ari. Argumentasi dan pemikiran Asy’ari yang
dipegang dalam tafsir ini sering dibahasakan dengan istilah Ashabuna.
13
Muhammad Al-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib, p. 217-218.

18
Menurut Imam adz-Dzahabi dalam karyanya alTafsir wal mufassirun,
Imam al-Razi dalam penafsirannya yang membahas tentang ilmu kalam
tidak sedikitpun memberi celah atau kesempatan pada kelompok
Mu’tazilah untuk bisa membenarkan pendapatnya atau menolak
pendapat kelompok Ahlussunnah.14
Sementara salah satu contoh al-Razi mencantumkan perdebatan
kalam antara Jabariyah dan Qodariyah yaitu terdapat pada surat al-
Fatihah ayat 3. Dalam penafsirannya. al-Razi menampilkan perdebatan
kalangan Jabariyah dan Qodariyah. Aapakah iman merupakan nikmat
atau bukan. Menurut kelompok Qodariyah, iman merupakan prestasi dan
buah usaha manusia, karena tidak masuk akal bagi mereka bahwa jika
Allah yang memberikan nikmat keimanan, mengapa Ia menciptakan
penghalang (godaan) bagi iman itu. Sementara kelompok Jabariyah
menegaskan bahwa iman merupakan nikmat tertinggi, sebab jika tidak,
maka nama Al-Rahman dan Al-Rahim lebih identik dengan manusia.15
b. Pemaksaan Argumentasi Akal
Diantara contoh ad-Dakhil dalam bentuk argumentasi akal adalah
penafsirannya dalam kata ‫ فراشا‬dalam ayat:
‫اَّلِذ ي َج َعَل َلُك ُم اَألْر َض ِفَر اًشا‬
Dalam penggalan ayat di atas, kata ‫ فراشا‬bermakna “terhampar”.
Namun al-Razi mengajukan empat syarat agar bumi ini terhampar.
Syarat Pertama adalah keadaan bumi harus diam tidak bergerak, baik
gerakan vertikal (turun-naik) maupun memutar. Jika bumi bergerak
turun–naik maka bumi kehilangan gravitasinya sehingga manusia akan

14
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Juz 1, (Kairo:
Maktabah Wahbah, 2000), p. 209.
15
Anas Shafwan Khalid, “Metodologi Tafsir Fakhru al-Din al-Razi: Telaah Tafsir Q.S.
Al-Fatihah dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib”, Al-Tadabbur: Jurnal Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. III,
No. 1, (2018). p. 110.

19
melayang-layang. Hal ini karena bumi lebih berat dibanding manusia,
sedangkan sesuatu yang lebih berat akan akan lebih cepat turun
dibanding sesuatu yang lebih ringan. Sedangkan jika bumi bergerak
memutar maka manusia akan jalan di tempat, manusia tidak akan sampai
ke tujuannya. Hal ini karena perputaran bumi lebih cepat dibanding jalan
manusia. Maka semua gerakan itu mangakibatkan bumi tidak dapat
dimanfaatkan oleh manusia. Syarat kedua adalah keadaan bumi tidak
terlalu keras sekeras batu. Jika sekeras batu, akan menyakitkan badan
ketika ditiduri dan berjalan, bumi susah ditanami, dan manusia tidak
akan dapat membangun karena susah untuk menggali sesuai
keinginannya. Begitu pula bumi tidak terlalu lembek selembek air, sebab
manusia akan terbenam kedalamnya.
Syarat ketiga adalah keadaan bumi tidak terlalu lembut dan tipis,
karena sesuatu yang tipis tidak akan dapat menahan cahaya bintang dan
matahari sehingga bumi akan menjadi dingin. Dengan demikian Allah
pun menjadikan bumi sebagai debu yang dapat menahan cahaya
sehingga dapat didiami oleh makhluk hidup. Adapun syarat keempat
adalah bumi harus muncul di atas air. Meskipun pada dasarnya bumi
akan tenggelam kedalam air sehingga lautan meliputi bumi dan bumi pun
tidak dapat didiami manusia, tetapi kemudian Allah mengembalikan
hukum tersebut yang akhirnya sebagian permukaan bumi muncul diatas
lautan sehingga dapat didiami manusia.16
c. Pemaksaan Penafsiran dengan Pendekatan Sains
Contoh penafsiran dengan pendekatan sains, di antaranya terdapat
dalam penafsiran surat al-Baqarah ayat 29, yang dipaksa sesuai dengan
pengetahuan astronomi yang berkembang saat itu. Perbuatan Allah swt.
tidak didasarkan atas satu kepentingan. Karena jika Allah mempunyai
16
Muhammad Al-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib, p. 112-113.

20
kepentingan, maka Dia tidak sempurna dalam dzat-Nya, sedangkan hal
itu mustahil bagi Allah. Ayat ini menjadi dalil para Fuqaha bahwa
hukum asal pemanfaatan adalah al-ibahah (boleh). Dengan demikian
diperbolehkan untuk memanfaatkan kekayaan dan kandungan bumi.
Allah tidak membutuhkan sesuatu, karena jika Allah membutuhkan
sesuatu maka semua perbuatan-Nya pun pasti diarahkan untuk
memenuhi kebutuhanNya itu dan bukan untuk kepentingan yang lainnya
(untuk makhluk-Nya). Ayat ini menunjukkan keberadaan 7 macam
langit. Tetapi maksud langit menurut al-Razi dalam ayat tersebut adalah
bintang dan planet. Ketujuh langit tersebut adalah sama seperti
keyakinan ashabul hai’at, yaitu: Planet terdekat dengan bumi adalah
Qamar (bulan), di atasnya ada Atharid (Merkurius), kemudian Zahrah
(Venus), Syams (Matahari), Murikh (Mars), Musytary (Jupiter), dan
Zuhal (Saturnus). Kemudian al-Razi menjelaskan secara panjang lebar
mengenai posisi dan pergerakan masing-masing planet tersebut disertai
pendapat para ahli. Pada akhirnya, al-Razi mengakui bahwa jumlah
tersebut masih mungkin untuk bertambah karena penggunaan redaksi al-
sab’a tidak menaikan untuk adanya tambahan.17
Kelihatan jelas bahwa al-Razi tidak memisahkan antara matahari,
bintang dan planet. Padahal jumlah planet yang baru bisa ditemukan
sekarang ada Sembilan bukan tujuh. Sedangkan matahari tidak termasuk
planet melainkan bintang. Hal ini menunjukkan adanya pemaksaan
jumlah benda langit tersebut untuk memenuhi tuntutan ayat yang
menyatakan ‫َسْبَع َس َم اَو اِت‬

E. Menyikapi Ad-Dakhil dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib

17
Muhammad Al-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib, p. 168-169.

21
Abdul Mun’im Namir mengategorikan Mafatih al-Ghaib sebagai
salah satu jenis tafsir bi al-Ra’yi. Bahkan as-Suyuthi menyebut al-Razi
sebagai “sahib al-‘ulum al-‘aqliyah”. Identifikasi rasionalitas atau
penggunaan ra’yi merupakan sesuatu yang wajar bagi para ulama
muta’akhirin sebagaimana digambarkan di atas. Secara umum, al-Razi
mengaku memilihi metode kalam dengan pendekatan filosofis, meski
terkadang kesan yang muncul dari karyanya melebihi dari yang seharusnya
disampaikan. Jika dibandingkan dengan tafsiral-Ra’yi lainnya, terlihat tafsir
al-Razi lebih unggul dari sisi kuantitas. Bahkan, berkenaan dengan QS. al-
Fatihah yang menjadi perhatian penulis, Tafsir Khazin karya al-Baghdadi
hanya menghabiskan 7 halaman, sama seperti tafsir al-Baydhawi karya
Nasiruddin al-Syirazi, yang menghabiskan al-Fatihah juga dalam 7 halaman.
Sementara Abu al-Barakat al-Nasafi menjelaskan al-Fatihah dalam 9 halaman
melalui tafsir al-Nasafi. Jauh melebihi tafsir-tafsir tersebut, al-Razi
membahas al-Fatihah dalam 1 jilid kitabnya, setebal 293 halaman.18
Dalam buku al-Tafsir wal mufassirun juz 2 halaman 450 karya Imam
Husein adz-Dzahabi, disebutkan bahwa kitab tafsir mafatih al-ghaib termasuk
pada kitab tafsir al-ra’yi almahmudah. Dan jika dilihat dari ad-dakhil pada
bagian riwayat terkadang al-Razi menyimpulkan riwayat-riwayat yang
dikutipnya seperti contoh diatas pada bagian hadis dha’if, beliau memberi
komentar pada pendapat-pendapat tersebut. Namun ad-dakhil pada bagian
dirayah (al-ra’yi) disini yang terkesan banyaknya pemaksaan-pemaksaan
pada penafsirannya, menurut penulis, jika memang penafsiran ra’yi-nya tidak
sesuai dengan logika dan menyalahi realita disiplin keilmuan, maka tidak ada
paksaan bagi kita untuk mengikutinya atau meyakininya.

18
Anas Shafwan Khalid, “Metodologi Tafsir Fakhru al-Din al-Razi: Telaah Tafsir QS.
Al-Fatihah dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib”, p. 101-102.

22
KESIMPULAN
Fakruddin Al-Razi adalah ulama besar yang memiliki beberapa gelar,
diantaranya Abu Abdullah, Abu Ma’ali, Abu Fadhal dan Ibnu Khatib al-Rayy
Namun, diantara gelar yang biasa dicantumkan di beberapa literatur adalah
Abu Abdullah seperti yang tersemat di awal namanya. Beliau juga biasa
dipanggil dengan beberapa nama seperti Imam Fakhruddin, Al-Razi dan
Syakh al-Islam. Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin
Umar bin alHusain bin al-Hasan bin Ali at-Taimy al-Bakri al-Tabrastani Al-
Razi, Beliau dilahirkan di Ray nama sebuah kota kecil di Iran pada tanggal
25 Ramadhan 544 H bertepatan 1149 M. Beliau adalah penulis kitab Mafatih
al-Ghaib.
Abdul Mun’im Namir mengategorikan kitab Mafatih al-Ghaib
sebagai salah satu jenis tafsir bi al-ra’yi, bahkan as-Suyuthi menyebut al-Razi
sebagai Sohib al-Ulimal-Aqliyyah. ‘Abdul Jawad meringkas metode tafsir
Al-Razi ke dalam enam ciri berikut: pertama, menampilkan ayat atau surat
yang memiliki munasabah dengan ayat yang ditafsirkan. Kedua,
menampilkan kajian empirik dan teologis seputar ayat yang dibahas. Ketiga,
menentang pemikiran Muktazilah. Keempat, menjelaskan aspek hukum
berkenaan dengan ayat yang dibahas. Kelima, menampilkan masalah-masalah
yang berkaitan dengan ayat. Keenam, memaparkan aspek kebahasaan, ragam
qiraat, yang biasanya digunakan untuk mendalami makna kata per kata.
Dalam kitab tafsirnya, ada beberapa yang mengandung unsur ad-dakhil, di
antaranya ada ad-dakhil bi al-ma’tsur dan ada bi al-ra’yi. Ad-Dakhil bi al-
ma’tsur, al- Razi mengambil sumber dari beberapa riwayat ahli kitab yang
sudah masuk Islam, hadis dha’if, dan lain-lain. Sedangkan ad-dakhil bi
alra’yi yaitu bersumber pada pemikirannya sendiri mengingat bahwa
tafsirnya lebih dominan pada pemikiran. Dan jika dilihat dari ad-dakhil pada

23
bagian riwayat terkadang al-Razi menyimpulkan riwayat-riwayat yang
dikutipnya seperti contoh diatas pada bagian hadis dha’if, beliau memberi
komentar pada pendapat-pendapat tersebut. Namun addakhil pada bagian
dirayah (al-ra’yi) disini yang terkesan banyaknya pemaksaan-pemaksaan
pada penafsirannya, menurut penulis, jika memang penafsiran ra’yu-nya
tidak sesuai dengan logika dan menyalahi realita disiplin keilmuan, maka
tidak ada paksaan bagi kita untuk mengikutinya/meyakininya.

24
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, M. Faiz dan Nasrul Arifiyanto, “Sejarah Kemunculan Dan

Berkembang Al-Dakhil Al-Tafsir”, ACADEMIA, (2019).

‘Abd al-Rahman, Muhammad Ibrahim, Manhaj al-Fakhral-Razy fiy al-Tafsir,

Nashr: al-Shadr Likhidmati ath-Thaba’ah, 1989.

Adz-Dzahabi, Muhammad Husein, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Juz 1, Kairo:

Maktabah Wahbah, 2000.

Al-Razi, Muhammad Fakhr Al-Din, Tafsir Mafatih al-Ghaib, ttp: Dar al-Fikr,

tt.

Darmansyah, Arfian, “Rangkaian Wujud Ad-Dakhil dalam Tafsir Az-

Zamakhsyari”, Jurnal Ilmu Agama Islam, Vol. IV, No. 1, (2022).

Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jil. I, ttp: PT Ichtiar Baru Van

Hoeve, tth.

Ghosiyah, Enok, “Al-Dakhil Fi Al-Tafsir Sebagai Objek Kajian Ilmu Al-

Qur’an”, Jurnal Al- Fath, Vol. IX, No. 1, (2015).

Khalid, Anas Shafwan, “Metodologi Tafsir Fakhru al-Din al-Razi: Telaah

Tafsir Q.S. Al- Fatihah dalam Tafsir Mafatih alGhaib”, Al-

Tadabbur: Jurnal Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. III, No. 1, (2018).

Nashr, Sayyid Husain, Fakhr al-Din al-Razi, dalam M.M. Syarif, “a History

of Muslim Philosophy, ttp: tp, tt.

25
Ride, Ahmad Rozy dan Abdul Kadir Riyadi, “Ad-Dakhil dalam Tafsir Ilmi

(Kajian Kritik Husein Al-Dzahabi atas Kitab Al-jawahir fi Tafsir al-

Qur’an”, TAJDID, Vol. XXI, NO. 2, (2022).

Ulinnuha, Muhammad, Metode Kritik Ad-Dakhil Fit-Tafsir, Jakarta: Pt QAF.

Media Kreativa, 2019.

Umami, Khoirul, Al-Dakhil dalam Tafsir MTA, Depok: Rajawali buana

Pustaka, 2021.

26

You might also like