You are on page 1of 8

Indonesian Journal of Pharmaceutical Education (e-Journal) xxxx; x (x): x – x

ISSN: 2775-3670 (electronic)


Journal Homepage:
DOI: 10.22487/.xxxx.vx.ix.xxxx

PROFIL TERAPI DAN KEPATUHAN PASIEN ISPA (INFEKSI


SALURAN PERNAFASAN AKUT) DI PUSKESMAS
KAB.GORONTALO KEC. LIMBOTO PERIODE 2019

Regina Bumulo1, Teti, S. Tuloli2, Madania3*

1,2,3Jurusan Farmasi, Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo
*E-mail: reginabumulo48@gmail.com

Article Info:
ABSTRACT
Received:
in revised form:
Accepted: ARI is an abbreviation of acute respiratory infection causes flu,
Available Online: cough, and fever. This acute respiratory infection can be
experienced by everyone, especially children and the elderly.
Keywords:
The study animed to discover how therapy profile and
ARI, Therapy, Compliance
compliance of patients with acute respiratory infection at
Corresponding Author: Puskesmas Limboto, Gorontalo District. This research applied a
Regina Bumulo descriptive research design where the data was secondary data
Jurusan Farmasi that were obtained retrospectively. The data used in this
Fakultas Olahraga dan research were a medical prescription document including the
Kesehatan
Universitas Negeri Gorontalo patient’s name, age, address type of drug used, and drug use
Kota Gorontalo pattern, Besides, it employed questionnaire sheets as the
Indonesia instrument to determine ARI patients’, compliance. Findings
E-mail: revealed that the most widely prescribed trearment therapy for
reginabumulo48@gmail.com ARI patients at Puskesmas Limboto was cough medicine
(Glyceryl guaiacolate) as many as 82 patients, antihistamine
medicine (chlorpheniramine maleate) as many 56 patients and
analgesic medicine (paracetamol) as many as 45 patients
recorded from july to December 2019. Moreover, the highest
number of ARI cases was male by 64% an female by 36%. Age
of 0 to 13 years was the most cases with a percentage of 46,1%,
while the compliance level of ARI patients with a high category
was 45 or 50,56%.

Copyright © 2021 IJPE-UNG


UNGThis open access article is distributed under a Creative Commons Attribution (CC-BY-NC-SA) 4.0
International license.

How to cite (APA 6th Style):


Bumulo, R., Tuloli, S., T., Madania. (2021). Profil Terapi Dan Kepatuhan Pasien ISPA (Infeksi Saluran
Pernapasan Akut) Di Puskesmas Kab. Gorontalo Kec. Limboto Periode 2019. Indonesian Journal of
Pharmaceutical (e-Journal),x(x), x-x. doi:10.22487/j24428744.xxxx.vx.ix. xxxxx

1
Bumulo et al., 2021; Indonesian Journal of Pharmacetical Education (e-Journal); x(x): x-x

ABSTRAK
ISPA adalah infeksi saluran pernafasan akut yaitu yang menyebabkan gejala pilek, batuk,
dan demam. Infeksi saluran pernapasan akut dan dapat di alami oleh siapa saja, terutama
pada anak-anak dan orang tua. Tujuan penelitian ini untuk untuk mengetahui bagaimana
profil terapi dan kepatuhan pasien ISPA di Puskesmas Kabupaten Gorontalo Kecamatan
Limboto. Penelitian ini merupakan kategori rancanan penelitian deskriptif dimana data yang
diperoleh adalah data sekunder yang dikumpulkan secara retrospektif. Data yang digunakan
yakni dokumen rekapan resep yang meliputi nama pasien, umur, alamat, jenis obat yang
digunakan, aturan pakai. Serta menggunakan lembar kuisioner untuk melihat kepatuhan
pasien ISPA. Hasil penelitian menunjukan bahwaterapi pengobatan pasien ISPA yang paling
banyak diresepkan di Puskesmas Limboto yaitu golongan obat batuk (gliseril glucolat)
sebanyak 82 pasien, golongan obat antihistamin (clorpheniramine maleat) 56 pasien dan
golongan obat analgetik (paracetamol) 45 pasien tercatat dari bulan Juli-Desember 2019.
Angka kasus ISPA tertinggi pada jenis laki-laki sebesar 64% dan perempuan 36%. Angka usia
yang paling banyak yaitu 0-13 tahun sebesar 46,1%.Tingkat kepatuhan pasien ISPA dengan
kategori tingkat tinggi yaitu 45 (50,56%).
Kata Kunci: ISPA, Terapi, Kepatuhan

1. Pendahuluan
Kesehatan adalah sebuah sumber daya yang dimiliki semua manusia dan bukan merupakan
suatu tujuan hidup yang perlu dicapai. Kesehatan tidak terfokus kepada fisik yang bugar tetapi
meliputi jiwa yang sehat dimana individu dapat bersikap toleran dan dapat menerima
perbedaan. [10]
ISPA yaitu gangguan pada saluran pernafasan yang bersifat akut di sebabkan oleh virus atau
bakteri. ISPA merupakan utama penyebab dari morbiditas dan mortalitas pada balita di negara-
negara berkembang contohnya di Indonesia. [13]
Penyebab dari infeksi saluran pernafasan akut adalah virus dan bakteri yang sangat menular,
infeksi bakteri atau virus yang dapat menyebabkan AID yang bisa menular dari kontak dengan
air liur orang yang terinfeksi. Virus atau bakteri yang ada di dalam air liur dapat menyebar
melalui udara, ke hidung. Gejala ISPA terjadi pada minggu ke 1-2 sebagian besar penderita
akan mengalami perbaikan gejala setelah minggu ke satu. Gejala ISPA tersebut yaitu bersin,
pilek, batuk, nyeri tenggorokan, sesak nafas, hidung tersumbat, sakit kepala, nyeri otot.
Menurut World Health Organzation (WHO) tahun 2020, penyakit ISPA yaitu penyakit yang
banyak di dunia. Ada 4 juta orang meninggal karena infeksi saluran pernapasan akut setiap
tahun, di mana 98% kematian tersebut di sebabkan dari infeksi saluran pernapasan atas
maupun bawah. Tingkat kematian tertinggi yaitu pada kalangan bayi, anak-anak dan orang tua
terutama (lanjut usia) di negara berpendapatan rendah dan menengah. Akan tetapi menurut
data dinas kesehatan kabupaten kepulauan Talaud penderita penyakit ISPA tahun 2019
menurun. [15]
Ketidak patuhan pasien ISPA dalam mengkonsumsi obat ISPA dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti yang di kemukakan oleh peneliti-peneliti sebelumnya menjelaskan bahwa
pengetahuan, sosial ekonomi, dan usia berhubungan dengan kepatuhan minum obat ISPA.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah pengetahuan, kualitas interaksi,
dukungan keluarga, dan sikap.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin mengetahui apakah di Puskesmas Kabupaten
Gorontalo Kecamatan Limboto pada periode 2018-2020 terdapat profil terapi dan kepatuhan
pasien ISPA.
2. Metode
Penelitian menggunakan jenis penelitian survey yang bersifat deskriptif, yaitu pengumpulan
data untuk mendapatkan gambaran pada pasien ISPA. Untuk ketepatan terapi yang digunakan
yaitu lembar pengumpulan data pasien ISPA. Dan untuk melihat data kepatuhan pasien ISPA
dilakukan dengan membagi kuesioner pada pasien ISPA di Puskesmas Kabupaten Gorontalo
Kecamatan Limboto pada periode Januari hingga Desember 2019.

2
Indonesian Journal of Pharmaceutical Education.1(1): xxx-xxx

2.1. Bahan
Bahan yang digunakan yaitu untuk profil terapi peneliti memilih yakni lembar pengumpulan
data. Dan untuk kepatuhan pasien peneliti memilih yang digunakan yaitu (kuesioner,
kepatuhan dengan isi menyangkut faktor predeposisi dan faktor penguat). Selain itu
menggunakan sumber data (pasien yang di wawancara).
2.3 Populasi
Populasi target pada penelitian ini adalah pasien penderita ISPA. Populasi terjangkau pada
penelitian ini adalah pasien penderita ISPA yang datang memeriksa diri ke Puskemas
Kabupaten Gorontalo Kecamatan Limboto, Kelurahan Hepu Hulawa dari tanggal 1 Juli hingga
30 Desember 2019.
2.3 Sampel
Dengan memasukan data pasien ISPA ke rumus solvin maka di dapatkan jumlah sampel
sebanyak 88,165 yang di bulatkan menjadi 89 sampel.
2.3. Analisis data
Data yang diperoleh dari penelitian ini di analisis dengan menggunakan metode analisis
statistik deskriptif yang menggunakan aplikasi SPSS yaitu analisis univariat untuk mengetahui
gambaran karakteristik pasien, terapi pasien, skor kepatuhan pasien ISPA.
3. Hasil dan Pembahasan
Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 3.1 Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Pasien ISPA di Puskesmas
Limboto pada bulan Juli-Desember 2019.

Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)


Laki-laki 57 64%

Perempuan 32 36%

Total 89 100%

Dari hasil wawancara di Puskesmas Limboto bahwa laki-laki lebih banyak mengalami ISPA
dibandingkan perempuan. Dan juga pada jenis kelamin laki-laki banyak yang berkunjung ke
Puskesmas Limboto. Salah satu teori yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA adalah faktor
perbedaan hormonal antara laki-laki dan perempuan. Mekanisme lain mengenai hubungan
antara jenis kelamin dengan kejadian ISPA dapat disebabkan oleh faktor laki-laki yang
cenderung lebih aktif dibandingkan dengan perempuan sehingga memungkinkan laki-laki
lebih sering terpapar agen penyebab ISPA.
Laki-laki lebih sering mengalami ISPA dibandingkan perempuan. Hal ini dikarenakan
adanya perbedaan perilaku dan lingkungan antara laki-laki dan perempuan[1]. Jenis kelamin
ikut mempengaruhi terjadinya paparan agen infeksi dan tatalaksana dari suatu penyakit. Laki-
laki lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah sehingga resiko kontak dengan agen
penyakit lebih tinggi dibandingkan perempuan. Selain itu, dilihat dari kepedulianya terhadap
kesehatan, perempuan akan lebih peduli jika dia sakit dibandingkan laki-laki sehingga jika
terkena suatu penyakit, perempuan akan cepat mendapatkan pengobatan dibandingkan laki-
laki.[14]
Menurut Ramani dkk (2016), laki-laki lebih banyak menderita ISPA dibandingkan
perempuan kemungkinan alasanya adalah laki-laki cenderung menghabiskan lebih banyak
waktu di luar rumah dari pada anak perempuan, yang membuat mereka rentan tertular aerosol
yang terinfeksi dari atmosfer.[9]
Penelitian yang dilakukan oleh Maharani dkk (2017) diperoleh jumlah, presentase laki-laki
menderita ISPA lebih tinggi dibandingkan perempuan yaitu sebesar 55,7%. Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian oleh Sugiarti dkk (2015) di Puskesmas Sumbersari yang menyatakan
bahwa penderita ISPA lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki yaitu sebesar 53%
dibandingkan anak perempuan sebesar 47%. [6] [11]
Distribusi Pasien Berdasarkan Usia

3
Bumulo et al., 2021; Indonesian Journal of Pharmacetical Education (e-Journal); x(x): x-x

Tabel 4.2 Distribusi Pasien Berdasarkan Usia Pada Pasien ISPA di Puskesmas Limboto pada
bulan Juli-Desember 2019.

Usia Jumlah Persentase (%)


0-13 tahun 41 46,1%
14-26 tahun 8 9%
27-39 tahun 9 10,1%
40-52 tahun 10 11.2%
53-65 tahun 8 9%
66-78 tahun 13 14,6%
Total 89 100%

Usia 0-13 tahun (46,10%) lebih banyak mengalami penyakit ISPA dari hasil wawancara
bahwa di usia ini banyak yang berkunjung ke Puskesmas Limboto dan penyebab yang sering
dijumpai pada anak adalah anak diusia seperti ini lebih banyak beraktivitas di luar rumah.
Untuk usia 14-26 tahun 8 kasus (9%), usia 27-39 tahun yaitu 9 kasus (10,1%), usia 40-52 tahun 10
kasus (11,2%), usia 53-65 tahun yaitu 8 kasus (9%), dan usia 66-78 tahun yaitu 13 kasus (14,6%)
ISPA dapat menyerang semua tingkat usia, terutama pada usia 5 tahun karena daya tahan
tubuh lebih rendah dari orang dewasa sehingga mudah menderita ISPA. Usia diduga terkait
dengan system kekebalan tubuhnya.
Usia 0-13 tahun lebih banyak mengalami penyakit ISPA. Hal ini terjadi karena pada rentang
usia tersebut biasanya anak sudah mulai aktif. Mereka mulai bisa bergerak, berdiri, berjalan,
dan bermain-main diluar rumah, serta belajar makan dan minum sendiri sehingga pada
kelompok umur ini lebih rentan terkena penyakit ISPA dan tertular penyakit ISPA. [4]
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kholisah dkk (2013) bahwa faktor penyebab ISPA anak
ialah terpapar dengan asap rokok dan riwayat imunisasi karena secara statistik keduanya
memiliki nilai yang signifikan sebagai faktor pada kasus ISPA.Sedangkan pada usia 14 sampai
60 tahun. Umur seseorang mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang.
Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya,
sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin membaik. Maka dari itu pada usia 14 keatas
lebih sedikit terkena infeksi ini. Dan beberapa hal menyangkut pendidikan yang dapat
mempengaruhi perilaku pencegahan seseorang, pendidikan dapat meningkat individu untuk
memahami informasi mengenai kesehatan. Hal ini akan menyebabkan individu lebih waspada
untuk memeriksa dirinya sebelum terjadinya penyakit. [5]
Distribusi Penggunaan Golongan Obat Pasien ISPA Berdasarkan Golongan Di
Puskesmas Limboto
Tabel 3.3 Distribusi Penggunaan Golongan Obat Pasien ISPA Berdasarkan Golongan di
Puskesmas Limboto pada bulan Juli-Desember 2019.

No Nama Obat Jumlah Kasus

N %

1 Golongan Antibiotik
Amoxilin 500 Mg 3 1,1%
Cefixime 100 Mg 9 3,2%
2 Golongan Analgetik
Paracetamol 500 Mg Tab 45 16,0%
Paracetamol Sirup 120mg/5ml 10 3,5%
3 Golongan Obat Batuk
Gliseril Glucolat 100 Mg 82 29,1%
4 Golongan Obat Antihistamin
Clorpheniramine Maleat 56 19,9%
Betahistin Masilat 1 0,4%
5 Golongan Obat Kortikosteroid &

4
Indonesian Journal of Pharmaceutical Education.1(1): xxx-xxx

Steroid
Dexamethason 19 6,7%
Metilprednisolon 5 1,8%
6 Golongan Obat Antiinflamasi
Nonsteroid
Natrium Diclofenac 50 1 0,4%
Asam Mefenamat 500 Mg 3 1,1%
7 Golongan Vitamin
Tiamin (Vit B1 50 Mg) 2 0,7%
Vitamin B Com 5 1,8%
Vitamin B6 2 0,7%
Vitamin C 28 9,9%
8 Obat Kombinasi
Metformin 500 Mg 1 0,4%
Amlodipine 2 0,7%
Simvastatin 10 Mg 1 0,4%
Salbutamol 2 Mg 3 1,1%
Ranitidin
1 0,4%
Antasida Sirup 1 0,4%
Lansoprazol 30 Mg 2 0,7%

Total 282 100,0%

Berdasarkan pada tabel 4.3 distribusi berdasarkan golongan penggunaan obat terbanyak di
Puskesmas Limboto pada bulan Juli-Desember 2019. Hal ini terjadi karena obat antibiotik yang
sering di resepkan yaitu obat cefixime, golongan obat batuk yaitu gliseril glucolat, golongan
analgetik yaitu paracetamol, golongan antihistamin yaitu obat clorpheniramine maleat,
golongan antiinflamasi yaitu obat asam mefenamat dan pada golongan vitamin yaitu vitamin
C, pada golongan obat kombinasi yaitu obat salbutamol lebih banyak di resepkan di Puskesmas
Limboto dan obat kombinasi lainnya seperti pada tabel 3.3. Selain itu obat gliseril glucolat lebih
banyak diresepkan karena merupakan obat yang dapat meredakan batuk dan melancarkan
pengeluaran dahak di saluran napas.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Nuraeni Syarifuddin dkk (2019), terapi pasien ISPA
golongan ekspektoran, jenis ekspektoran yang paling banyak digunakan pasien dengan
diagnosa ISPA adalah jenis obat glyseril guaicolat sebanyak 83 pasien dengan presentase
(92,2%). Glyseril guaicolat memperbanyak produksi dahak dan demikian mengurangi
kekentalanya, sehingga mempermudah pengeluaranya dengan batuk. Untuk golongan
antihistamin jenis golongan yang paling banyak digunakan pasien yaitu chlorpheniramine
maleta sebanyak 72 kasus. Obat ini menghambat kerja histamin, senyawa didalam tubuh yang
memicu terjadinya gejala alergi. ISPA dapat disebabkan karena cuaca, cuaca yang dingin dapat
menyebabkan alergi bagi orang yang sensitif terhadap cuaca dingin. [8]
Golongan analgetik, obat analgetik yang paling banyak digunakan pasien adalah
paracetamol sebanyak 61 kasus, paracetamol digunakan karena gejala dan tanda awal dari
ISPA seperti demam yang terkait dengan infeksi. Selanjutnya golongan kortiskosteroid yang
paling banyak digunakan adalah dexametason sebanyak 42 kasus dapat digunakan sebagai
terapi suportif yang efektif dalam menurunkan nyeri yang siakibatkan oleh proses inflamasi
pada ISPA. Dan yang terahir golongan vitamin penggunaan vitamin yang paling banyak
digunakan adalah vitamin C sebanyak 27 kasus. Pemberian vitamin pada pasien diberikan
untuk memperkuat sistem imun, terlebih pada balita dan anak-anak, karena pada pasien ISPA
sistem imunitas sangat lemah. [7] [2]
Distribusi Ketepatan Terapi Pada Pasien ISPA Berdasarkan Tepat Pasien, Tepat
Indikasi, Tepat Obat, Tepat Dosis.

5
Bumulo et al., 2021; Indonesian Journal of Pharmacetical Education (e-Journal); x(x): x-x

Tabel 4.4Distribusi Ketepatan Terapi Pada Pasien ISPA Berdasarkan Tepat Pasien, Tepat
Indikasi, Tepat Obat, Tepat Dosis.

Ketepatan Terapi

Tepat Tidak Tepat


No Variabel
Penelitian N % N %

1. Tepat Pasien 89 100% - -

2. Tepat Indikasi 80 89,888% 9 10,112%

3. Tepat Obat 88 98,877% 1 1,123%

4. Tepat Dosis 83 93,259% 6 6,741%

Berdasarkan gambar 4.4 di atas didapatkan hasil rasionalitas obat berdasarkan tepat pasien
yaitu 89 pasien dengan presentase 100% yang meliputi nama pasien, jenis kelamin, usia. Yang
berda di Puskesmas Limboto pada bulan Juli-Desember 2019. Dikatakan tepat pasien dengan
presentase 100% karena pasien yang berkunjung di Puskesmas dengan keluhan penyakit ISPA
benar-benar sudah sesuai dengan nama, jenis kelamin,usia pasien masing-masing. Pada
penelitian Maharani dkk (2017), dari hasil tepat pasien dikarenakan sangat terbatasnya data
catatan dan tidak adanya data laboratorium. Sehingga cara analisis untuk tepat pasien sendiri
hanya terbatas berdasarkan data rekam medis yang ada. Dari hasil penelitian diperoleh hasil
100% tepat pasien. [6]
Berdasarkan tepat indikasi yaitu 80 pasien dengan presentase 89,88% karena obat yang
diberikan telah sesuai dengan indikasi dan gejala penyakit yang timbul sehingga obat dapat
memberikan efek terbaik sehingga di katakan tepat indikasi, dan yang tidak tepat 9 pasien
dengan presentase 10,12% karena obat yang diberikan tidak sesuai dengan indikasi dan gejala
penyakit yang timbul sehingga obat tidak dapat memberikan efek terbaik.Contoh kasus pada
pasien Ny. SM yang diberikan obat paracetamol, vitamin C dan antibiotik yaitu cefixime.
Dikatakan tidak tepat karena pasien tidak mengalami diagnosa batuk, pilek tetapi diberikan
obat antibiotik, karena gejala-gejala yang timbul bukan dikarenakan infeksi bakteri namun
tetap diberikan antibiotik,di Puskesmas Limboto pada bulan Juli-Desember 2019. [3]
Berdasarkan tepat obat yaitu 89 pasien dengan presentase tepat obat yaitu 98,90% dan tidak
tepat yaitu 1,10% di Puskesmas Limboto pada bulan Juli-Desember 2019. Dikatakan tepat obat
apabila yang dipilih dapat memberikan efek terapi yang sesuai dengan spektrum penyakit,
ketepatan obat pada Puskesmas Limboto yaitu 98,90%. Contoh kasus ketidaktepatan obat yaitu
pasien diberikan obat antibiotik cefixime dikarenakan cefixime tidak digunakan untuk terapi
faringitis. ketidaktepatan pemilihan obat yaitu karena digunakannya cefixime untuk beberapa
indikasi ISPA yang tidak sesuai dengan acuan yaitu peraturan menteri kesehatan Republik
Indonesia nomor 5 tahun 2014 tentang panduan praktik klinis. Meskipun cefixime
merupakanantibiotik yang juga mampu untuk mengeradikasi bakteri penyebab ISPA, namun
antibiotik yang menjadi pilihan pertama yaitu golongan penisilin atau amoksisilin. [3] [8]
Berdasarkan tepat dosis yaitu 83 pasien dengan presentase 93,26% dan yang tidak tepat 6
pasien dengan presentase 6,74% di Puskesmas Limboto pada bulan Juli-Desember 2019. Hasil
penelitian pada tepat dosis yaitu pemberian obat dikatakan tepat dosis apabila besaran dosis
yang diberikan, frekuensi, dan lama pemberian obat telah tepat untuk pasien. Ketepatan dosis
juga sangat berpengaruh akan hasil dari pengobatan pasien, karena apabila dosis berlebih
makan akan dapat menjadi racun bagi pasien. [3]
Distribusi Kepatuhan Pasien ISPA Berdasarkan Faktor Predeposisi dan Faktor Penguat
Tabel 4.5 Distribusi Kepatuhan Pasien ISPA

6
Indonesian Journal of Pharmaceutical Education.1(1): xxx-xxx

No Kepatuhan Jumlah Persentase (%)


1. Tinggi 45 50,56%
2. Sedang 30 33,70%
3. Kurang 14 15,74%
Total 89 100%
Menurut Novlan (2014) kepatuhan adalah derajat pasien mengikuti anjuran klinis dari
dokter yang mengobatinya. Berdasarkan gambar diatas kepatuhan pasien ISPA menurut
parameter-parameter menunjukan bahwa kepatuhan pasien ISPA berdasarkan faktor
predeposisi dan faktor penguat untuk parameter tinggi lebih banyak yaitu 45 (50,56%), untuk
parameter sedang 30 (33,70%) sedangkan untuk parameter kurang 14 (15,74%).
Tingginya tingkat kepatuhan ini berasal dari sub variabel kepatuhan yang meliputi
beberapa pertanyaan kuisoner. Persentase dari 5 sub variabel kuisioner kepatuhan masuk
dalam kategori tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian Stefanus dkk (2017) bahwa responden
dengan kepatuhan tinggi memiliki prevelensi sebesar 80%. Tingginya prevalensi dalam
penelitian disebabkan karena pola kunjungan berobat pasien dan peran keluarga dalam
mengingatkan untuk berobat. [12]
4. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang profil terapi dan kepatuhan pasien ISPA
(Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Puskesmas Kabupaten Gorontalo, Kecamatan Limboto
periode 2019 maka dapat disimpulkan bahwa:
1. a. Terapi pengobatan pasien ISPA yang paling banyak diresepkan di Puskesmas Limboto
yaitu golongan obat batuk (gliseril glucolat) sebanyak 82 pasien, golongan obat
antihistamin (clorpheniramine maleat) 56 pasien dan golongan obat analgetik
(paracetamol) 45 pasien tercatat dari bulan Juli-Desember 2019.
b. Angka kasus ISPA tertinggi pada jenis laki-laki sebesar 64% dan perempuan 36%.
c. Angka usia yang paling banyak yaitu 0-13 tahun sebesar 46,1%.
2. Tingkat kepatuhan pasien ISPA dengan kategori tingkat tinggi yaitu 45(50,56%).
Referensi
[1] Falagas EM, Mourtzoukou EG, Vardakas KZ., 2015. Sex difference in the incidence and severity
of respiratory tract infection. Elsevier Respiratory Medicine
[2] Ikawati, Z,.2011. Farmakoterapi Penyebab Sistem Saraf Pusat. Yogyakarta: Bursa Ilmu
[3] Kemenkes RI. 2011. Modul penggunaan Obat Rasional, Bina Pelayanan Kefarmasian. Jakarta
[4] Kemenkes RI, 2012, Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
[5] Kholisah N, Azharry MRS. Kartika EB, Krishna A, Wibisana, Yassien, 2013, Infeksi Saluran
Napas Akut pada Balita di Daerah Urban. Sari Pediatri. Jakarta.
[6] Maharani D, Yani F.F, Lestari Y., 2017, Profil Balita Penderita Infeksi Saluran Nafas Akut Atas di
Poliklinik Anak RSUP DR. M, Djamil Padang Tahun 2012-2013. Jurnal Kesehatan Andalas.
Padang
[7] Maakh Yorida Febry, Ivonne Laning, Rambu Tattu. 2017. Profil Pengobatan Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita Di Puskesmas. Rambangaru Tahun 2015. Jurnal Info
Kesehatan. Farmasi, Poltekkes Kemenkes Kupang.
[8] Nuraeni Syarifudin dan Maksum, Tika Wulandari 2019. Profil Penggunaan Obat pada Pasien
ISPA di Puskesmas Empagae Kabupaten Sindenreng Rappang. Jurnal Ilmiah Kesehatan. Malang
[9] Ramani C.K., Patankar S.K., dan Puttahonnappa., 2016. Acute Respiratory Infection among
under five age group children at urbon slums of gulbarga city : Journal of clinical.
[10] Robert H. Brook., 2017. The Distinguised Chair In Health Care Services at the RAND
Corporation. Journal of the American Medical Association
[11] Sugiarti T., Sidemen A. and Wiratmo, 2015, Studi penggunaan antibiotik pada pasien penyakit
ISPA usia bawah lima tahun di instalasi rawat jalan puskesmas sumbersari, e-Jurnal Pustaka
Kesehatan, 3 (2), 262–266.

7
Bumulo et al., 2021; Indonesian Journal of Pharmacetical Education (e-Journal); x(x): x-x

[12]Stefanus Lukas, Hadi Nugroho, Jeaneth P. 2017. Kepatuhan Penggunaan obat dan kualitas
hidup pasien rawat jalan di RSUP Persahabatan Jakarta periode Juli-Agustus 2017. Jakarta :
Universitas 17 Agustus 1945.
[13] Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasanya.
Erlangga. Jakarta
[14] World Health Organization, 2014, Infection Prevention and Control of Epidemicand Pandemic-
Prone Acute Respiratory Infections in Health Care, WHO, Geneva, pp. xiv, xvi, xvii.
[15] WHO. 2020. Clinical managemet of severe acute respiratory infection when novel coronavirus is
suspecte: Jenewa

You might also like