You are on page 1of 28
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 39 No. 2 2018 Dewan Penasihat Dekan Fakultas Hmu Sosial dan mu Politik, Universitas Indony Ketua Departemen Antropologi, Fakultas llmu Sosial dan Imu Politik, Universitas Indonesia Pemimpin Redaksi Dave Lumenta Redaksi Pelaksana Dian Sulistyawati, Ezra M. Choesin, Imam Ardhianto, Irwan M. Hidayana Penyelaras Akhir Muhammad R, Damm Manajer Tata Laksana Sinta Uti Administrasi dan Keuangan Dewi Zimarny Pembantu Teknis Febrian, M. Arief Wicaksono Dewan Redaksi ‘Achmad Fedyani Saifuddin (Universitas Indonesia, Indonesia) Yasmine Zaky Shahab (Universitas Indonesia, Indonesia) ‘Timo Kaartinen (University of Helsinki, Finland) Ratna Saptari (Leiden University, Netherlands) Kari Telle (Chr. Michelsen Institute) Meutia Farida Swasono (Universitas Indonesia, Indonesia) Martin Slama (Austria) Heddy Shri Ahimsa-Putra (Universitas Gadjah Mada, Indonesia) Greg Acciaioli (University of Western, Australia) Engseng Ho (Duke University, United States of America) Birgit Brauchler (University of Frankfurt, Germany) Yunita T. Winarto (Universitas Indonesia, Indonesia) ISSN 1963-167X E-ISSN 1693-6086 ANTROPOLOGI INDONESIA is a refereed international journal ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018, Antropologi Biologi di Indonesia: Sebuah Penelusuran dan Kemungkinan Pengembangan! Iman Fachruliansyah Departemen Antropologi, Universitas Indonesia fachruliansyah.iman@ui.ac.id Abstract Indonesia has a great diversity of ethnic groups, languages, physical characteristics, and human genetic structures. Various studies of human physical variation and their evolutionary history in the world have received substantial contributions from biological anthropology researches in Indonesia. However, biological anthropology studies in Indonesia are not established or less familiar even ‘among Indonesian anthropology milieu. This condition is reflected in a small numbers of Indonesian biological anthropologists, despite the vision of the founders of Indonesian anthropology that programmed the development of biological anthropology as a part of the anthropology department. This article aims to review the history of biological anthropology studies in Indonesia. Therefore, as a preliminary note, considerable scientific publications in biological anthropology in Indonesia will be discussed briefly to demonstrate the development of Indonesian biological anthropology: Keywords: anthropology department, biological anthropology, Indonesia, Indonesian anthropology Pendahuluan Indonesia sebagai entitas sosial _politik pascakolonial, sangat diminati oleh para abli Indonesia merupakan bagian penting dalam sejarah perkembangan keilmuan antropologi Beberapa karya etnografi tentang Indonesia, misalnya yang dituliskan oleh Geertz (1960), Wouden (1968), Jong (1980), atau Koentjaraningrat (1990), memiliki signifikansi kuat dalam perjalanan tumbuh kembang keilmuan antropologi di dunia. antropologi dari berbagai negara, terutama Amerika Serikat dan Belanda, sebagai fokus penelitian, Koentjaraningrat (1987) mencatat bahwa paling tidak ada tiga universitas di Amerika Serikat yang mendirikan pusat kajian dengan Indonesia sebagai peminatan Khususnya (special interest), yaitu Comell University, Massachusetts Institute of Technology (MIT), dan Yale University? " Tulisan ini merupakan pengembangan dari makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional dan Pra Lokakarya Asosiasi Departemen/Jurusan Antropologi Indonesia (ADIASI), “Sudut Pandang Antropoloai dalam Menyambut Tahun Politik Tingkat Lokal dan Nasional”, Universitas Halu Oleo, Kenda, Sulawesi Tenggara, 29-30 November 2018, Menurut Koenijaraningrat (1987), abi antopolosi Amerika Serikat memiliki ketertrikan yang kuat dengan Indonesia terutama setelah perang kemerdeksan, Yale University, misalnya, memulai ketertarikannya semenjak R, Kennedy rmengompilasi buku Bibliography of Indonesian Peoples and Cultures sebelum masa perang. MIT babkan mengka)i Indonesia, terutama dalam persoalan aspek budaya, ekonomi, dan poitk setelah masa perang, melalui Kajian Modjokuto yang fokus utama pada perkembangan ekonomi dan pembangunan dengan koordinator program seorang ekonom bernama BB. Higgins. Meskipun demikian, program tescbut just lebih banyak menstimulasi studi aspek-aspek sosial masyarakat 90, Salah satu hasil studi mengenai masyarakat Indonesia kemudian dikompilasi dalam buku The Human Relations Area Files volume I, yang berjudul Ethnic Groups of Insular Southeast Asia (LeBar, 1972). Setelah dekade 1960-an, lebih banyak lagi ahli antropologi dari negara lain seperti Inggris, Jerman, Prancis, Kanada, Australia, dan Jepang yang datang ke Indonesia untuk melakukan studi ‘etnografi (Koentjaraningrat, 1987). Ketertarikan ahli_—_antropologi mancanegaraterhadap Indonesia sudah dimulai sejak masa kolonial Belanda pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pada mas itu, Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indié), wilayah koloni Belanda di Asia Tenggara yang sekarang menjadi Indonesia, menjadi lokasi pusat penelitian dan pengembangan keilmuan antropologi untuk kepentingan kolonialisasi. Catatan-catatan yang bersumber dari pelancong, penjelajah, ahli geografi, misionaris, serta pegawai-pegawai kolonial menjadi batu fondasi bagi pengetahuan etnologi dan etnografi ahli_antropologi Belanda mengenai masyarakat Indonesia (Koentjaraningrat, 1987; Prager, 2005: 180- 189), Pasca-kemerdekaan, —perkembangan antropologi di Indonesia, khususnya oleh ahli antropologi berkebangsaan Indonesia, lebih berkutat pada arah keilmuan aplikatif (applied anthropology) yang diharapkan berperan dalam pembangunan bangsa dan persoalan integrasi_nasional (Koentjaraningrat, 1974; Indor EJ. Ryan, A. C. Dewey, dan R. R. Jay. ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 Vesser, 1988; Ramstedt, 2005). Pada perkembangan saat itu, Koentjaraningrat menyadari bahwa keanekaragaman suku bangsa di Indonesia justru menjadi penguat identitas bangsa melalui konsep “kebudayaan nasional” dan bukannya pemieu disintegrasi bangsa seperti yang dikhawatirkan oleh pihak pemerintah (Koentjaraningrat, 1987; Ramstedt, 2005).> Pada masa itu pula, Koentjaraningrat (1987) mengubah arah antropologi di Indonesia, dari tradisi antropologi Belanda yang fokus pada kajian bahasa, sastra, hukum adat, dan sejarah budaya,‘ menjadi lebih ke sosial-budaya yang berorientasi kepada tradisi_antropologi Amerika Serikat yang berfokus pada transformasi sosial menuju modernisasi. Antropologi di Indonesia, dalam hal ini di Universitas Indonesia (UI), kemudian mengembangkan keilmuannya_ berdasarkan empat cabang antropologi yang menjadi ciri antropologi Amerika (The Four Fields), yaitu antropologi sosial budaya, antropologi fisik, linguistik, dan arkeologi. Untuk mewujudkan hal tersebut, beberapa upaya dilakukan. Salah satunya, kerja sama dalam bidang perkuliahan antaraantropologi dengan arkeologi dan linguistik, yang sudah menjadi departemen tersendiri di FakultasSastra, Untuk antropologifisik, Koentjaraningrat_merasa bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat penting dalam kajian sejarah evolusi manusia karena banyaknya penemuan fosil sia yang menghasilkan antropolog terkemuka melalui hasil disertasi mereka di Jawa, seperti C Geertz, H. Geertz * Pada perkembangannya, antropologi di Indonesia tidak permah jauh dari isu pembangunan dan integrasi nasional, seperti isu multikulturalisme, kebudayzan lokal (indigenous), serta globalisasilihat Alam, 1998; Suparlan, 2001; 2002; Suryadinata, 2003). Setelah itu, perkembangan antropologi di Indonesia lebih mengarah kepada isu kajian ewilayahanintas-negara, atau mencoba hergerak Keluar dari Indonesia (studying others) dalam lingkaran isu politik identitas (lihat Winarto dan Pirous, 2008). “ Tradisi antropologi Belanda terutama fokus pada kajian hukum adat untuk kepentingan kodifikasi pemerintahan kolon ppada masa itu (ihat Prager, 2005). on ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 hominid, khususnya di Jawa. Sementara itu, universitas-universitas di Indonesia lainnya masih mengikuti tradisi keilmuan Eropa yang menempatkan —antropologi_fisik di Departemen Anatomi di Fakultas Kedokteran, seperti Universitas Gadjah Mada (UGM). Koentjaraningrat alu berencana mengembangkan antropologi fisik di UI, dan ‘mencanangkan bahwa antropologi fisik dalam beberapa tahun ke depan akan menjadi bagian dari Departemen Antropologi UI (lihat Koentjaraningrat, 1987). Pada perkembangannya, antropologi fisik atau antropologi biologi’ di UI belum: benar-benar menjadi bagian sepenuhnya dari Departemen Antropologi. Hingga saat ini, misalnya, hanya ada dua mata kuliah yang memberi mahasiswa dasar_pengetahuan antropologi biologi, yakni mata _kuliah Antropologi Biologi dan Evolusi Manusia.® Berbeda dengan antropologi biologi di Universitas Airlangga (UNAIR) yang telah menjadi bagian dari Departemen Antropologi dan menjadi peminatan tersendiri, yaitu antropologi ragawi, di samping antropologi sosial. Sementara itu, antropologi biologi di UGM tetap berada di bawah Fakultas Kedokteran dan telah memiliki pusat kajian antropologi biologi, yaitu Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi (LBP- UGM). Di luar persoalan struktural organisasi keilmuan antropologi_di__Indonesia, perkembangan antropologi biologi mungkin bisa dibilang tidak secerah atau kurang dikenal jika dibandingkan dengan kajian- kajian antropologi sosial budaya. Kendatipun demikian, beberapa kajian di dalam antropologi biologi seperti paleoantropologi (atau antropologiforensik yang lebih aplikatif) memilikiperan penting dalam perkembangan antropologi di Indonesia. Tulisan ini merupakan upaya awal dalam ‘meninjau perjalanan studi antropologi biologi di Indonesia arena belum pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa tulisan atau hasil penelitian dalam kajian antropologi biologi yang pemah dilakukan di Indonesia akan dibahas secara ringkas untuk memperlihatkan perkembangan studi antropologi biologi Indonesia, Ruang Lingkup Studi Antropologi Biologi di Indonesia: Hotspot Penelitian Indonesia, sebagai wilayah tropis yang terletak di antara benua Asia dan Australia menyimpan banyak misteri bagi para ilmuwan, Karena memiliki_—tingkat keanekaragaman tinggi pada makhluk hidup yang menempatinya, baik tumbuhan maupun hewan, termasuk manusia. Tingginya tingkat Keanekaragaman inilah yang kemudian menjadi faktor pendorong para ilmuwan ‘untuk melakukan studi di Indonesia. Mungkin pula keanekaragaman hayati inilah hal pertama dari Indonesia yang paling dikenal 5 Sebenaraya tidak ada perbedaan antara antropologi fisik dan antropologi biologi. Para abli menggunakannya secara ‘ergantan karena sat ini i dalam antropotogifisik juga mempelajari biologi manusia seta aspek genetiknya dan tidak terbatas pada anatomi atau osteologi, sehingga banyak juga yang menyebutnya dengan antropologi biologi. Di Indonesia, selain Ul, antopologi fisik lebih dikenal dengan nama antropologi ragawi yang. merupakan terjemahan langsung dari physical anthropology. Dalam tulisan ini, untuk selanjutnys saya akan lebih menggunakan istilah ‘antropologi biologi dalam artian bidang studi seperti yang digunakan oleh para abli saat ini dan bukan peminatan kajian merupakan hal yang enigmatic dalam diskusi evolusi manusia (Cooper & Stringer, 2013). Fosil gigi bersama dengan DNA yang diekstraksi dari tulang jari (distal phalanx) di gua Denisova, Pegunungan Altai Siberia, menggambarkan bahwa manusia Denisova pernah Kontak dengan leluhur manusia modern. Tidak hanya itu, gene flow akibat kawin silang Denisova dengan manusia modern justru ditemukan pada populasi-populasi Melanesia di wilayah timur Indonesia, Negrito Filipina, Papua Nugini, Oseania, Polinesia, dan Aborigin Australia, alih-alih populasi yang berada di Afrika, Eropa, atau bahkan di daratan Asia ‘Tengah dan Timur yang secara geografis lebih dekat dengan Siberia (Reich et al., 2010, 2011; Meyer et al., 2012; Vernot et al., 2016). Analisis genetik pada manusia modern di wilayah timur Indonesia juga menarik, Karena menggambarkan proses migrasi manusia modem setelah masa Pleistosen dan Holosen, terutama dalam perdebatan ekspansi populasi penutur bahasa_—Austronesia. Hipotesis dominan dalam studi migrasi ® Sebetumnya, telah ditemukan adanya gene flow Neandertal pada gen manusia moder yang tinggal di (Green et al., 2010), ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 Austronesia, yaitu model “Out of Taiwan”, menggambarkan bahwa _populasi-populasi yang ada di Indonesia saat ini berasal dari nenek moyang penutur bahasa Austronesia yang bermigrasi dari wilayah Cina bagian selatan ke Taiwan, lalu. menuju ke arah selatan Gilipina dan kepulauan Nusantara) sekitar 4,000 tahun yang lalu. Mereka bermigrasi sambil menyebarkan bahasa, _pertanian agrikultur, tembikar, domestikasi hewan, dan tentu saja, juga genetiknya (Lihat Blust, 1995; Diamond & Bellwood, 2003; Bellwood, 2006; Lansing ef al., 2011; Xu et al., 2012; Lipson et al, 2014). Skenario berbeda, dikenal dengan model “Out of Sundaland”, menggambarkan hal yang berlawanan. Model ini menggambarkan —penutur_—_bahasa Austronesia justru berasal dari wilayah Nusantara, Mereka bermigrasi akibat naiknya permukaan laut yang membanjiri Paparan Sunda pada akhit masa Pleistosen, sekitar 11.000 tahun alu (Solheim, 1984; Oppenheimer, 1999; Oppenheimer & Richards, 2001; Soares er al., 2008, 2011; Denham & Donohue, 2012; Brandio et al., 2016). Studi genetik, termasuk antropologi molekuler, yang juga dikuatkan dengan studi Jinguistik, menggambarkan fakta yang lebih Kompleks daripada itu. Struktur genetik populasi-populasi di Indonesia digambarkan merupakan hasil dari beberapa proses arus migrasi bolak-balik dan tidak langsung atau searah/lineal—dikenal dengan pulses and pauses (Gray et al., 2009; Jinam et al., 2012; Lipson et al., 2014; Soares et al., 2016; Hudjashov et al., 2017). Dari penelusuran di atas_nampak bahwa — penelitian-penelitian antropologi biologi di Indonesia sejak awal memberikan ilayah Eurasia 95 ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 kontribusi signifikan terhadap perkembangan keilmuan antropologi dan biologi, khususnya pada pemutakhiran teori evolusi manusia dan diskusi sejarah migrasi manusia di wilayah Asia Tenggara. Lebih lanjut, Indonesia sebagai hotspot penelitian memiliki banyak topik kajian yang masih perlu diteliti (understudied), terutama oleh ahli antropologi biologi Indonesi Perkembangan Awal Antropologi Biologi Indonesia: Manusia Purba, Ras, dan Ethnogenesis Di Indonesia, ahli-ahliantropologi_ biologi saat ini sangat sedikit atau bisa dibilang langka, Pada dekade 1970-an hingga 1980-an, studi antropologi biologi (disebut juga dengan antropologi fisik/ragawi) di Indonesia dirimtis, oleh C. A. R. D. Snell dari Belanda,"* Adi Sukadana, dan Josef Glinka di UNAIR, Teuku Jacob di UGM, dan Boedihartono (atau Boedhihartono) di UI. Selain ketiga universitas negeri tersebut, untuk saat ini bisa dibilang tidak ada lagi universitas yang bidang ilmu antropologi biologi di Indonesia. Ketiadaan bidang pengajaran antropologi biologi secara umum di __universitas- universitas Indonesia terutama disebabkan oleh sangat terbatasnya ketersediaan abli antropologi biologi setelah berakhirnya masa bakti para perintis tersebut. Beberapa universitas mungkin menawarkan mata kuliah yang merupakan cabang kajian dari antropologi biologi, seperti _antropologi forensik di fakultas kedokteran dalam kaitannya dengan kedokteran forensik dan arkeologi dalam konteks teknik ekskavasi kerangka tubuh manusia (Indriati, 2009).! Selain itu, kajian lainnya. seperti primatologi diajarkan terpisah di departemen biologi dan lebih dikenal sebagai bagian dari bidang ilmu biologi itu senditi.!® Sejarah —_perkembangan—_awal antropologi biologi oleh para _perintis, meskipun dengan jumlah terbatas, dimulai dari kajian-kajian paleoantropologi_ dan variasi sisa- sik manusia seperti pada perkembangan studi antropologi biologi di dunia.'? Di Indonesia, kajian variasi fisik memiliki ali atau mengajarkan secara khusus manusia dan paleoantropologi dipelopori oleh C, A.R. D. Snell banyak melakukan penelitian mengenai kerangka dan ras manusia di Indonesia, la menyimpulkan bbahwa sejarah ras manusia Indonesia dibentuk oleh percampuran (akibat Kontak) antara ras Australomelanosoid dan ‘Malayan Mongoloid (Lihat Snell, 1948: von Koenigswald, 1952) " Pada awalnya, pengajaran studi antropologi biologi di Indonesia dilangsungkan di fakultas kedokteran. Hal tersebut bisa dipahami karena para perintis antropologi biologi pun sebenarnya berasal dari latar belakang ilmu kedokteran atau. ‘anatomi manusia, Hal itu memang tidak mengherankan Karena dasar Keilmuan antropologi biologi dibangun dari atau lebih condong/berat ke bidang ilmu sains (biologi dan anatomi) dan bukan sosial. Berdasarkan penelusuran saya, perintis, ‘antropologi biologi di Indonesia pun berlatar pendidikan anatomi dan kedokteran. C. A. R.D. Snell merupakan abi ‘anatomi dari Universitas Utrecht Belanda yang kemudian mengembangkan studi anatomi di Fakultas Kedokteran (FK) UNAIR; Adi Sukadana (Lie Gwan Liong) berasal dari Bagian Anatomi FK UNAIR; Teuku Jacob lulusan FK UGM ppada tahun 1956; Josef Glinka merupakan pastor yang juga ahli anatomi; dan Boedibartono lulusan FK Ul tahun 1960. © Beberapa ahli primatologi, sepengetahuan pribadi saya, berasal dari Iulusan departemen biologi atau Kehutanawlingkungan dan bukan dari antropologi Kemunculan antropologi biologi (lisik) di Eropa dan Amerika pada abad ke-18 dan 19 bermula dari minat para itmuwan (ahli anatomi) dalam mengklasifikasikan ras manusia yang didominasi oleh kajian anatomi, kraniologi, dan biologi skeletal, bahkan sebelum antropologi biologi diformalkan sebagai satu studi tersendiri pada awal abad ke-20. Setelah tahun 1930-an, terutama pada 1950-an, kajian antropologi biologi mulai berpusat ke asal sul manusia, primata, ddan evolusi manusia, serta varias fisik manusia dengan teori evolusi Darwin dan genetika sebagai perspekiif utama 96) Teuku Jacob (1929-2007) yang mungkin paling produktif menuliskan karya ilmiah dan berkontribusi dalam dunia —_akademis internasional. Penemuan fosil H. erectus di Indonesia banyak dipublikasikan oleh Teuku Jacob, dan menurut saya, memiliki_ nilai keilmuan luar biasa dalam diskusi evolusi manusia (lihat Jacob, 1966, 1967a, 1972, 1973, 1975, 1978). Misalnya, Jacob (2001) mengemukakan bahwa variasi yang muncul pada fosil-fosil H. erectus di Indonesia ‘merupakan peran dari faktor isolasi geogratis, ekologis, serta perilaku. Oleh karena itu, ia mengusulkan untuk mengklasifikasikannya ke dalam subspesies H. erectus dan bukan sebagai spesies yang terpisah. Ia juga menjelaskan bahwa kemungkinan pernah berlangsung interaksi antara manusia purba (H. erectus) dengan manusia modern di Indonesia pada akhir masa Pleistosen (Jacob & Curtis, 1971; Jacob, 1974). Usulan tersebut didukung dengan hasil analisis metode penanggalan uranium-series dan teknik ESR (Electron Spin. Resonance) yang menyimpulkan bahwa paling tidak H. erectus masih hidup antara 100.000 hingga 50.000 tahun lalu di Ngandong, Jawa (Swisher et al., 1996). Setelah itu, Jacob menyimpulkan bahwa temuan H. floresiensis di Liang Bua merupakan H. sapiens yang bisa kita temukan di tempat Jain, terutama di Flores, namun mengalami kondisi kekerdilan (microcephaly) dan bukan spesies manusia purba (Jacob et al., 2006). ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 2 2018 Kajian paleoantropologi di Indonesia pada akhir dekade 1990-an juga sempat diwarai_oleh_kasus penyelundupan_ fosil manusia purba ke luar negeri. Boedhihartono (1998) menceritakan bahwa spesimen fosil tempurung kepala tersebut ditemukan di tepian Sungai Solo dan ingin dijual kepada kolektor/lembaga _ pengumpul _—_benda purbakala di luar negeri (lembaga pendidikan atau kolektor benda antik).'® Boedhihartono berkesempatan untuk mengidentifikasi fosil tersebut, yang menurutnya dapat diklasifikasikan ke dalam H. erectus erectus dan sangat mirip dengan fosil H. erectus yang ditemukan di Sambungmacan. Ia kemudian mengemukakan bahwa fosil tersebut memberi kesan seolah H. erectus telah mengalami proses yang ia sebut dengan sapientization. Penelitian lebih lanjut oleh tim gabungan Amerika dan Indonesia (Teuku Jacob) menggambarkan bahwa spesimen tersebut merupakan fosil H. erectus dengan morfologi lebih modem dari fosil H. erectus yang sebelumnya ditemukan di lokasi sekitar. Fosil tersebut juga memperlihatkan proses evolusi in situ atau mungkin hanya variasi pada tingkatan individu dan bukan populasi (lihat Delson et al., 2001). Dalam kajian variasi fisik manusia di Indonesia, para perintis ahli_ antropologi biologi juga berkontribusi pada diskusi keanekaragaman fisik dan suku bangsa (ethnogenesis) dalam payung studi evolusi manusia, Teuku Jacob, misalnya, berperan dalam pengidentifikasian kelompok ras yang melandasi keilmuan antropologi biologi. Semenjak periode tersebut, terutama pada 1960-an hingga 1980-an mula bbermunculan cabang-cabang kajian antropologi biologi yang lebih spe sifik, yaitu paleoantropologi, primatologi,

You might also like