You are on page 1of 24

TUTORIAL SKENARIO 4

Kelompok Tutorial 3:
1. Aftin Istaqroba Saifi Elhaq 19/438944/KU/21250 > Leader
2. Angelie Tirza Suryanto 19/438947/KU/21253
3. Farah Shahnaz Pravinovia 19/438956/KU/21262
4. Rizqiko Pandai Hamukti 19/438980/KU/21286
5. Chessa Dameria Sidabutar 19/442019/KU/21565
6. Dharma Yafi Dhanusiri 19/442021/KU/21567
7. Flavio Alexsandro 19/442030/KU/21576
8. Kholida Fauziyah 19/442042/KU/21588 > Scriber
9. Siti Afna Hanifah 19/442071/KU/21617
10. Gabriel Julian Iriany Awom 19/445310/KU/21737

Less Urinating
A 50 years old man presented to the clinic because of his urination problem. Here, in the next paragraph
contain of the conversation between patient and doctor in charge.
Doctor : Good morning, what can I do for you?
Patient : Good morning doctor. I have a problem of decreased urinating during 3 month. The urine
volume around 2 cups a day only.
Doctor : Besides decreasing volume of urination, can you describe your urine, such as: color,
clarity, foamy etc.?
Patient : The urine is rather reddish, somewhat turbid, and foamy.
Doctor : Do you have any history of Illess?
Patient : Yes, I have, I suffered hypertension and diabetes since last 5 years, and I took routine
medicatons.
Doctor : Now, I want to perform physical examniations, and after that I will send your urine and
blood to the laboratory. Are you agree?
Patient : Yes, doctor, I agree.
Doctor was doing the physical examination and sending specimens of uriene and blood to the laboratory
Doctor : I will show you the result of physical and laboratory examination.
 Physical examination showed blood pressure of 170/100 mmHg, heart rate of 84 x/min, and
respiration rate 24 x/min.
 Urine examination showed: 3+ of erythrocyte, 3+ of protein, positive granular cast and 2+ of
glucose.
 Blood examination showed: blood urea 50 mg/dL, creatinine 6 mg/dL and potassium 5 mmol/L.
Patient : Would you like to explain about my condition and what should I do?

STEP 1
Granular cast : silinder berbentuk granular, sedimen urin yang mengandung hasil pemecahan protein
dll
Clarity : kejernihan
Turbid : keruh
Creatinine : kreatinin, hasil pembongkaran dari kreatin (?)
STEP 2
1. Komposisi urin normal?
2. Patofisiologi dari infeksi pada sistem urinari?
3. Apa saja penyakit pada ginjal dan bagaimana patofisiologinya?
4. Mengapa produksi urin menurun?
5. Apa hubugan hipertensi dan diabetes terhadap kondisi pasien di skenario?
6. Apa pengaruh obat terhadap kerja ginjal?
7. Apa diagnosis dan diagnosis banding dari skenario?
8. Bagaimana interpretasi dari hasil laboratorium?
9. Dalam urinalysis yang perlu diperhatikan apa saja?

STEP 3
1. Komposisi urin normal?
Air, urea, asam urat, kreatinin, garam, klorida
Komponen: organik dan anorganik, elektrolit

2. Patofisiologi dari infeksi pada sistem urinari?


Dari atas: streptococcal
Dari bawah: E. coli
Organisme lain: Klebsiella, Proteus, dll
Infeksinya dapat melalui hematogenous atau reflux
Contoh penyakit: Urethritis, cystitis, ureteritis, nephritis, pyelonephritis

3. Apa saja penyakit pada ginjal dan bagaimana patofisiologinya?


Acute Kidney Injury, Chronic Renal Failure (bisa disebabkan karena hipertensi),
Glomerulonephritis (bisa terjadi karena reaksi antigen antibodi atau vasospasm), Renal Tubular
Necrosis, Nephrolithiasis (karena urine mengalami supersaturasi sehingga terbentuk batu pada
ginjal), pyelonephritis (acute dan chronic)
Pyelonephritis bisa terjadi karena infeksi bakteri

4. Mengapa produksi urin menurun?


Mungkin ada hubungan dengan penyakit terdahulu atau karena pengaruh penggunaan obat-
obatan yang menyebabkan kerusakan pada ginjal dan produksi urin menurun.
Kerusakan pada glomerulus sehingga urin yang terfiltrasi menjadi berkurang
Mungkin merupakan efek dari renal failure (karena menurut skenario terjadi peningkatan RBC,
protein, dll)

5. Apa hubugan hipertensi dan diabetes terhadap kondisi pasien di skenario?


Hipertensi yang berkepanjangan bisa merusak arteri pada renal, dan menyebabkan renal failure.
Kalo sudah terjadi renal failure akan terjadi gangguan pada filtrasi.
Hipertensi bisa mempengaruhi sekresi insulin dari pancreas sehingga kadar gula dapat meningkat/
hiperglikemia.
Diabetes merupakan salah satu faktor resiko dari renal failure.
Diabetes menyebabkan terjadinya pembentukan urin yang lebih banyak, karena filtrasi gula
terjadi lebih banyak dan urin diproduksi lebih banyak serta mengandung gula. Pada skenario
terjadi sedikit kontradiksi mungkin karena tingkat keparahan kondisi pasien.

6. Apa pengaruh obat terhadap kerja ginjal?


Berpengaruh pada clearance obat-obatan. Ginjal bekerja lebih berat (workload lebih dari biasanya
karena lebih banyak zat yang harus diregulasi)

7. Apa diagnosis dan diagnosis banding dari skenario?


Diabetic nephopathy, glomerulonephritis
Renal failure > karena pengaruh obat obatan yang dikonsumsi (diabetes dan hipertensi)

8. Bagaimana interpretasi dari hasil laboratorium?


Makroskopis urinalysis
- Foamy : adanya protein > kerusakan pada glomerulus. Mungkin ada kaitannya dengan
nephrotic syndrome
- Turbid : adanya bakteri
- Reddish : ada eritrosit > ada pendarahan di urinary tract. Juga bisa karena kerusakan di
glomerulus
Kimiawi
- Glukosa : mungkin ada gangguan pada tubulus (terutama proximal)

9. Dalam urinalysis yang perlu diperhatikan apa saja?


Makroskopis : warna, kekeruhan,
Mikroskopis : RBC, WBC, cast
Kimiawi : dengan dipstick, pH, specific gravity, protein
Faktor preanalitik : maksimal 2 jam

STEP 4
1. Komposisi urin normal?
Air, urea, asam urat, kreatinin, garam, klorida, amonia, vitamin yang berlebih, asam amino, sulfat
Komponen: organik dan anorganik, elektrolit
96% air, 4% zat terlarut lain (2% urea, 2% zat organik dan anorganik)
Organik: kreatinin, urea,
Anorganik: klorida, amonia

2. Patofisiologi dari infeksi pada sistem urinari?


Dari atas: streptococcal
Dari bawah: E. coli
Organisme lain: Klebsiella, Proteus, dll
Infeksinya dapat melalui hematogenous atau reflux
Contoh penyakit: Urethritis, cystitis, ureteritis, nephritis, pyelonephritis
Ada 3 faktor yang mempengaruhi UTI :
- Lingkungan sekitar saluran kemih. Contoh: pada wanita, saluran kemih dekat dengan vagina,
infeksi dari prosedur tertentu
- Mikroorganisme. Semakin virulent atau semakin infeksius, efek yang ditimbulkan bisa
semakin parah
- Host. Tergantung dengan kebiasaan host, reaksi imun, genetik
Streptococcal
Berkaitan dengan riwayat infeksi sebelumnya (faringitis atau infeksi pada kulit), menyebar melalui
peredaran darah/ hematogenous
E. coli
berkaitan dengan kebiasaan. Flora normal dari GIT menginvasi Urinary tract. Menyebar dengan
reflux

3. Apa saja penyakit pada ginjal dan bagaimana patofisiologinya?


Acute Kidney Injury, Chronic Renal Failure (bisa disebabkan karena hipertensi),
Glomerulonephritis (bisa terjadi karena reaksi antigen antibodi atau vasospasm), Renal Tubular
Necrosis, Nephrolithiasis (karena urine mengalami supersaturasi sehingga terbentuk batu pada
ginjal), pyelonephritis (acute dan chronic)
Pyelonephritis bisa terjadi karena infeksi bakteri
Pyelonephritis
- Reflux. Biasanya karena kelainan kongenital misalnya pada atresia ureter
- Obstruktif. Biasanya karena ada sesuatu yang mengobstruksi ureter sehingga urin bisa
kembali ke ginjal dan menyebabkan infeksi/ inflamasi.
- Akut : ginjal ukurannya masih normal, dengan benjolan
- Kronis : ukuran ginjal mengecil karena fibrosis, tampakan lekukan seperti huruf U (U-
shape), bentuk ginjal sudah lebih buruk
Glomerulonephritis
- Reaksi antigen antibodi. Pada infeksi streptococcus. Setelah ada infeksi akan terbentuk
kompleks antigen antibosi yang isa terakumulasi di glomerulus. Dianggap sebagai sesuatu
yang asing akan menyebabkan inflamasi pada ginjal
Acute Kidney Injury
- Ada 3 jenis : pre renal, intra renal, post renal
- Pre renal : permasalahan pada aliran darah sebelum ginjal. Contoh: Heart failure
(hypoperfusi ginjal, ischemic)
- Intra renal : permasalahan dalam ginjal. contoh: glomerulonephritis
- Post renal : obstruksi pada ureter menyebabkan reflux urin
Chronis renal failure
- Nefron mengalami kerusakan. Biasanya baru muncul gejala setelah kerusakan 60%
- Faktor resiko: hipertensi (bisa menyebabkan tekanan berlebih pada ginjal), diabetes, obat-
obatan, toxin, trauma

4. Mengapa produksi urin menurun?


Mungkin ada hubungan dengan penyakit terdahulu atau karena pengaruh penggunaan obat-
obatan yang menyebabkan kerusakan pada ginjal dan produksi urin menurun.
Kerusakan pada glomerulus sehingga urin yang terfiltrasi menjadi berkurang
Mungkin merupakan efek dari renal failure (karena menurut skenario terjadi peningkatan RBC,
protein, dll)
 Kenapa pasien tidak terlihat pucat padahal urin menurun selama 3 bulan?
 Hubungan metabolit yang menumpuk dengan pucat?
Mungkin anemianya yang membuat pucat karena ginjal mengalami gangguan dalam produksi
EPO
Hipertensi jangka panjang bikin renal rusak. Urin yang sedikit menyebabkan cairan yang harus
dieksresikan tidak bisa dieksresikan sehingga menumpuk dalam tubuh> hipervolumik. Hipertensi
dan hipervolumik mungkin bisa membuat siklus yang memperparah kondisi pasien. Mungkin
pasien terkena renal failure yang intrarenal.

5. Apa hubugan hipertensi dan diabetes terhadap kondisi pasien di skenario?


Hipertensi yang berkepanjangan bisa merusak arteri pada renal, dan menyebabkan renal failure.
Kalo sudah terjadi renal failure akan terjadi gangguan pada filtrasi.
Hipertensi bisa mempengaruhi sekresi insulin dari pancreas sehingga kadar gula dapat meningkat/
hiperglikemia.
Diabetes merupakan salah satu faktor resiko dari renal failure.
Diabetes menyebabkan terjadinya pembentukan urin yang lebih banyak, karena filtrasi gula
terjadi lebih banyak dan urin diproduksi lebih banyak serta mengandung gula. Pada skenario
terjadi sedikit kontradiksi mungkin karena tingkat keparahan kondisi pasien.

6. Apa pengaruh obat terhadap kerja ginjal?


Berpengaruh pada clearance obat-obatan. Ginjal bekerja lebih berat (workload lebih dari biasanya
karena lebih banyak zat yang harus diregulasi).

7. Apa diagnosis dan diagnosis banding dari skenario?


Diabetic nephopathy : kondisi diabetes menyebabkan terjadinya renal failure
Glomerulonephritis : ada darah dan protein dalam urin (gangguan pada filtrasi glomerulus),
produksi urin menurun (gangguan filtrasi glomerulus)
Renal failure : karena pengaruh obat obatan yang dikonsumsi (diabetes dan hipertensi)
 Hubungan diabetes dengan renal failure?
Work load ginjal menjadi lebih tinggi (melewati maksimal). Melebihi batas maksimal ginjal
bisa mereabsorbi gula

8. Bagaimana interpretasi dari hasil laboratorium?


Makroskopis urinalysis
- Foamy : adanya protein > kerusakan pada glomerulus. Mungkin ada kaitannya dengan
nephrotic syndrome
- Turbid : adanya bakteri > mungkin warna keruh terjadi akibat leukocyte sebagai respon
sistem imun terhadap infeksi bakteri
- Reddish : ada eritrosit > ada pendarahan di urinary tract. Juga bisa karena kerusakan di
glomerulus
Kimiawi urinalysis
- Glukosa : mungkin ada gangguan pada tubulus (terutama proximal)
Kreatinin dalam darah
- Normalnya sekitar 2 mg/dL. Pada pasien mengalami peningkatan. Clearance dari kreatinin
mengalami penurunan sehingga kadar dalam darah meningkat
Potasium dalam darah
- Sepertinya normal
Blood urea

9. Dalam urinalysis yang perlu diperhatikan apa saja?


Makroskopis : warna, kekeruhan,
Mikroskopis : RBC, WBC, cast
Kimiawi : dengan dipstick, pH, specific gravity, protein, glukosa
Faktor preanalitik : maksimal 2 jam, pengambilan (untuk menghindari kontaminasi)
- Lebih dari 2 jam > bakteri bisa berkembang lebih banyak (overdiagnose). Bakteri yang
berkembang bisa menyebabkan penurunan kadar glukosa, peningkatan pH akibat pemecahan
urea

STEP 5
1. Patofisiologi dari infeksi pada sistem urinari?
2. Apa saja penyakit pada ginjal dan bagaimana patofisiologinya? Kenapa volume urin pada skenario
bisa berkurang? (difokuskan pada pyelonephritis, glomerulonephritis, dan renal failure serta
komplikasinya)
3. Apa pengaruh obat terhadap kerja ginjal (khusus obat-obatan nephotoxic)?
4. Hasil laboratorium (Estimated GFR)? Bagaimana pemeriksaan untuk mengevaluasi fungsi renal
dan dikaitkan denagn pemeriksaan penunjuang untuk menegakkan diagnosis?

STEP 6
Sumber belajar
Yafi : Harrison, Robbins, jurnal dari brazil, katzung
Gabby : NCBI, medscape, jurnal online lain
Kak ridha : katzung, NCBI
Chessa : NCBI, medscape, jurnal online lain
Vio : NCBI, hammer, harrison, buku ajar Papdi
Tirza : NCBI, medscape, univ francisco
Qiko : clinical key
Shahnaz : NCBI, jurnal online lain, science direct
Kholida : NCBI, aafp, medscape, jurnal online lain
Aftin : NCBI, medscape
Afna : medscape, NCBI, jurnal online lain, goodman gilman

STEP 7
1. Patofisiologi dari infeksi pada sistem urinari?
Contoh penyakit akibat Urinary Tract Infection
a. Cystitis
Bladder inflammation. Clinical syndrome of dysuria, urinary frequency and urgency, which
may be accompanied by supra-pubic tenderness. The commonest cause of the inflammation
is infection, but not exclusively. These symptoms and signs can be termed those of the ‘lower
urinary tract’, and the infection has not ascended beyond the bladder.
b. Urethritis
Inflammation of urethra, usually due to infection. Associated symptoms may mimic those of
cystitis. Infective causes, such as Neisseria gonorrhoeae or Chlamydia trachomatis, are usually
acquired during sexual contact and do not ascend to the bladder, so although the urethra is
normally the final passageway for urine from the body (and the primary route for organisms
to gain access to the bladder and beyond), specific urethral infections are not usually included
in the term UTI.

Rute infeksi
a. Ascending infection
The most common route of infection is ascension of bacteria from the urethra to the bladder.
Early animal studies supported this, showing that if bacteria were directly instilled into the
bladder, and one ureter was ligated, the unligated kidney was more likely to develop
pyelonephritis.6 The most common bacterial causes of UTI are the same bacteria that colonize
the gut and they enter the urinary tract following colonization of the peri-urethral area.7 Once
within the bladder, bacteria may then multiply and ascend the ureters to cause upper UTI.
b. Haematogenous infection
Less commonly, upper UTI can be a result of haematogenous spread of bacteria, for example
in prolonged bacteraemia, often associated with a deep source of infection such as
endocarditis. Direct animal studies support this, showing that intravenous injection of
Staphylococcus aureus can result in pyelonephritis.8 However, it is more difficult to produce
pyelonephritis in similar models with Gram-negative bacteria, suggesting that this is not the
common route of infection for most pathogens.

Agen penyebab
a. E. coli
b. Klebsiella pneumoniae
c. Proteus mirabilis
d. Pseudomonas aeruginosa
e. Staphylococci
f. Enterococci

Symptom Corresponding sign Mechanism

Dysuriasusah BAK, gak Due to acute inflammation of the


nyaman bladder, resulting in discomfort upon
contraction during voiding.

Frequency and Reduced bladder capacity due to


urgencysering BAK, inflammatory edema causing decreased
urgensi compliance and pain due to bladder
distension.

Hematuria Irritated, edematous urinary tract


bleeding with voiding.

Suprapubic tenderness Due to palpation and compression of an


inflamed, edematous bladder.

Chills and sweats Fever Inflammatory cascade resulting in a


febrile response.

Flank pain (may radiate Costovertebral angle Sudden renal edema, resulting in
to groin, often dull and (CVA) tenderness increased pressure and capsular
constant) distension.

Treatment
Treatment with antimicrobials aims to eradicate the bacteria causing infection. The chosen
antimicrobials depend on extent of infection (uncomplicated or complicated), common local
pathogens, and resistance patterns. Examples of antibiotics for uncomplicated UTI include:
a. Trimethoprim-sulfamethoxazole
Inhibition of microbial DNA synthesis by inhibiting the folic acid synthesis and consequently
the purines required for DNA
b. Fluoroquinolones
Inhibition of microbial DNA synthesis by blocking DNA gyrase and topoisomerase IV needed
for successful DNA replication and transcription.
c. Nitrofurantoin
The mechanism is not fully understood, but it directly causes selective damage to microbial
DNA, which metabolises the toxic intermediates of nitrofurantoin more rapidly than human
cells.

Referensi:
Tilak, J., Chaudhry S., Wong, E. (2012). Urinary Tract Infection. McMaster Pathophysiology Review
[Internet]. Available from: http://www.pathophys.org/uti/#Pathogenesis
Walsh, C., & Collyns, T. (2017). The pathophysiology of urinary tract infections. Surgery (Oxford),
35(6), 293–298. doi:10.1016/j.mpsur.2017.03.007

2. Apa saja penyakit pada ginjal dan bagaimana patofisiologinya? Kenapa volume urin pada
skenario bisa berkurang? (difokuskan pada pyelonephritis, glomerulonephritis, dan renal
failure serta komplikasinya)
a. Pyelonephritis akut
Penyebab
E. coli, Klebsiella, Proteus, Enterobacter. Sebagian besar pasien menerima organisme
infeksius dari flora fecal.
Rute
 Hematogenous – kurang umum, biasanya terjadi dengan obstruksi ureteral (bisa
terjadi karena sesuatu seperti batu ginjal ) atau pasien yang tertekan imunnya atau
debilitated
 Ascending infection – bakteri menempel pada sel epithelial mukosa urethral ->
berjalan ke bladder via urethra
Klasifikasi
 Tidak komplikasi (uncomplicated)
 Komplikasi (complicated) – pasien hamil, pasien dengan diabetes yang tidak
terkontrol, transplantasi ginjal, abnormalitas anatomi urinary, gagal ginjal kronis dan
akut, pasien yang tertekan imunnya dan infeksi bakteri yang didapat di RS.
Bisa diakibatkan oleh :
- Obstruksi tractus urinary – sesuatu seperti batu ginjal. Obstruksi aliran keluar
urin bisa mengarah ke pengosongan yang tidak selesai/komplit dan stasis
urinary – bakteri bertambah banyak tanpa dikeluarkan
- Vesicoureteral reflux – kondisi kongenital dimana urin mengalir kembali dari
bldder ke ginjal
Komplikasi
Formasi abses perinephric atau renal, sepsis, thrombosis vena renal, nekrosis papilari, gaga;
ginjal akut, emphysematous pyelonephritis (EPN)
E. coli memiliki kemampuan untuk menempel dan mengkolonisasi tractus urinary dan ginjal
dengan molekul adhesive bernama P-fimbriae, yang bisa berinteraksi dengan reseptor di
permukaan sel uroepithelial. Selanjutnya ginjal mengalami inflamasi akut dan menyebabkan
scarring parenkim ginjal. Dianggap penempelan bakteri ke sel ginjal mengganggu penghalang
protektif yang mengarah ke infeksi lokal, hipoksia, iskemi, dan penggumpalan. Selanjutnya,
sitokin inflamasi, toksin bakteri, dan proses reaktif lain bisa melengkapi pyelonephritis dan
terjadi juga gejala sistemik (sepsis dan shock)

b. Pyelonephritis kronis
Hasil dari pyelonephritis akut yang komplikasi/konsekuensi dari pyelonephritis akut berulang/
yang tidak ditangani
Etiologi yang mendasari
 Abnormalitas kongenital dari ginjal dan tractus urinary (terlihat pada anak-anak, bisa
unilateral atau bilateral)
 Obstruksi yag didapat seperti yang terlihat pada adanya batu, hipertrofi prostatm
limfadenopati, fibrosis retroperitoneal, atau neurogenic bladder
Pyelonephritis kronis karena adanya abnormalitas structural terjadi lebih sering pada infant
dan anak berusia <2 tahun
5-6% anak anak dengan pyelonephritis kronis karena vesicoireteral reflux berkembang
menjadi kompllikasi jangka panjgan seperti hipertensi dan bisa berkembang menjadi gagal
ginjal
Tak hanya itu, pyelonephritis kronis bisa menyebabkan end-stage renal disease yang terjadi
pada anak-anak
Pada orang dewasa: pyelonephritis kronis bisa mengarah dari diabetes, immunocompromise,
nephrolitihiasis, obstruksi, reflux, atau neurogenic bladder
Ketika terjadi pyelonephritis kronis terjadi secara bilateral, penyakit ginjal kronis bisa terjadi
Komplikasi
Proteinuria, glomerulosclerosis fokal, scar renal progresif yang mengarah ke ESRD,
Xanthogranulomatous pyelonephritis (XPN) yang sulit dibedakan dengan kanker ginjal,
pyonephrosis (bisa terjadi pada kasus obstruksi), scar ginjal progresif (reflux nephropathy)

c. Emphysematous pyelonephritis (EPN)


Infeksi nekrosis ginjal yang jarang, parah, dan akut. Biasanya karena E. coli atau Klebsiella
pneumoniae dan komplikasi parah dari pyelonephritis akut. Biasanya terlihat pada orang
diabetes dan lebih sering terjadi pada wanita.
Karakteristik
Adanya gas di parenkim ginjal, sistem collectivus, dan jaringan peri-renal

d. Xanthogranulomatous pyelonephritis (XPN)


Infeksi ginjal dengan karakteristik berupa pergantian parenkim ginjal oleh makrofag yang
terisi lipid (sel xanthoma) yang merupakan reaksi granuloma terhadap obstruksi parah,
sekunder terhadap batu, penyempitan atau tumor. Berdasarkan perlibatan morfologis,
terdapat dua bentuk
 Bentuk diffuse (lebih umum)
 Bentuk fokal (lebih jarang, menyerupai renal carcinoma)

e. Glomerulonephritis
Glomerulonephritis merupakan penyakit ginjal spesifik hasil dari mekanisme imunologi yang
memicu terjadinya inflamasi dan proliferasi jaringan glomerular sehingga terjadi kerusakan
pada membran basal, mesangium, dan endothel kapiler. Klasifikasi etiologi dibagi menjadi 2
berdasarkan manifestasi klinis yang terlihat, yaitu:
 Nephrotic glomerulonephritis, dengan proteinuria berat (>3,5 g/hari) dan edema
Etiologinya dapat berupa minimal change disease, focal segmental
glomerulosclerosis, membranoproliferative glomerulonephritis, membranous
nephropathy, HIV associated nephropathy, diabetic nephropathy, dan amyloidosis
 Nephritic glomerulonephritis, dengan hematuria dan hypertensi, serta proteinuria
yang kurang terlihat.
Etiologi
IgA nephropathy, Henoch Schonlein Purpura (HSP), post streptococcal glomerulonephritis,
anti-glomerular basement membrane disease, lupus nephritis, hepatitis C infection, dll.
Patofisiologi
Meskipun etiologi dari jenis glomerulonephritis beragam, mekanisme patogenik umum
dimediasi oleh kerja sistem imun, baik sistem imun humoral ataupun aktivasi cell-mediated
pathway. Akibatnya respon inflamasi yang terjadi dalam banyak kasus akan diikuti dengan
kejadian fibrotik (Kazi & Hashmi 2020). Lesi pada glomerulonephritis terjadi akibat deposisi
glomerular ataupun fomrasi in situ dari kompleks imun. Secara makroskopis ginjal akan
mengalami pembesaran hingga 50%, sedangkan secara histopathologis akan terlihat adanya
pembengkakan berkas glomerulus dan infiltrasi polimorfonuclear serta adanya deposisi dari
immunoglobulin dan komponen komplemen (Parmar 2018).
Pada Post Streptococcal Glomerulonephritis (PSGN), dilaporkan adanya potein turunan dari
Streptococcal. Neuramidase dari Streptococcal akan mengubah immunoglobulin G (IgG) dari
host, kemudian IgG akan bergabung dengan antibodi dari inang. Kompleks imun IgG/anti-IgG
akan terbentuk kemudian terakumulasi pada glomerulus. Selain itu, peningkatan titer
antibodi yang lain seperti Anti Streptolysin O (ASO) atau Anti Hyaluronidase, DNAase-B, dan
Streptokinase, juga dapat menjadi bukti adanya infeksi Streptococcus baru-baru ini (Parmar
2018).
Sedangkan pada glomerulonephritis yang terkait dengan infeksi Staphylococcus, deposit
sistem imun yang terlibat dominan atau co-cominant adalah IgA dan komponen komplemen
C3 (Parmar 2018).
Pada PGSN dan reaksi hipersensitivitas III lain, sel endothel vascular pada ginjal akan secara
aktif mengangkut kompleks imun yang bersirkulasi dari kapiler menuju ke spatium interstitial
peritubular dimana nantinya akan dideteksi dan diambil oleh resident macrophag.
Pengambilan kompleks imun oleh resident macrophag ini nantinya akan memicu pelepasan
sitokin pro inflamasi, dimana akan memicu proses prekrutan monosit dan neutrophil dari
sirkulasi ke dalam ginjal (Parmar 2018).
Komplikasi
Komplikasi glomerulonephritis nantinya dapat mengarah menjadi Acute Kidney Injury (AKI)
atau dapat berkembang secara bertahap menjadi Chronic Renal Failure. Kadang, tampakan
awal terjadinya AKI berupa glomerulonephritis yang berprogresi cepat. Selain itu, vasculitis
dan Goodpasture syndrome juga mewakili kondisi dimana AKI berhubungan dengan
glomerulonephritis. Pada sebagian besar kasus, kondisi ini menunjukkan perkembangan
menjadi CKD serta perlu dilakukan terapi dialysis (Kazi & Hashmi 2020).
Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah peningkatan tekanan darah akibat kerusakan
pada ginjal yang menyebabkan penumpukan sampah-sampah metabolisme dalam aliran
darah. Selain itu dapat dijumpai nephrotic syndrome dengan protein berlebih yang dijumpai
pada urin, sehingga protein dalam darah menjadi sangat sedikit. Nephrotic syndrome
berkaitan dengan tingginya level kolesterol dalam darah serta pembengkakan/ edema pada
kelopak mata, kaki, dan abdomen (Mayo Clinic Staff 2020).

f. Renal failure
Patofisiologi
Untuk yang gejala akut dapat diklasifikasikan ke 3 mekanisme
 Berkurangnya blood flow renal (prerenal azotemia):umumnya muncul pada reduksi
absolut dari volume cairan ekstraseluler atau reduksi dari circulating volume walau
total volume cairan normal.Umumnya ginjal memiliki mekanisme auto regulasi untuk
menjaga tekanan intra kapiler saat fase awal yang akan menyebabkan dilatasi arteri
afferent dan konstriksi arteri efferent.Saat kondisi prerenal ini menajdi makin
serius,mekanisme ini pun akan gagal untuk mengkompensasi penurunan GFR dan
kenaikan level BUN dan creatinine
 Intrinsic renal parenchymal disease (renal azotemia): kelainan intrinsic dapat dibagi
tergantung bagian mana yang terlibat seperti glomeruli, vasculature, atau
tubulointestinum
 Obstruksi dari renal outflow (postrenal azotemia)
Untuk gejala kronik akan melibatkan mekanisme kompensasi yang berujung pada hiperfiltrasi
dan hipertrodi dari nephron yang tersisa. Saat hal ini terus berlanjut, akan terjadi perubahan
histopatologis dan akan menyebabkan gangguang dari struktur glomerulus, abnormalitas
fungsi podosit, dan gangguan dari filtrasi yang berujung pada sklerosis
Komplikasi
 Volume overload
 Hyponatremia
 Hyperkalemia
 Acidosis
 Calcium and phosphate balance
 Anemia
Gambar. Manifestasi Klinis CKD (Robert M. Kliegman MD et al, 2020)
g. Oliguria
Kondisi dimana berkurangnya jumlah urin yang dialami oleh pasien disebut dengan oliguria.
Dapat disebabkan oleh factor prerenal, renal/ intrinsic, dan postrenal
Faktor pre renal:
 Hipovolemia: Berkurangnya volume darah karena kurangnya konsumsi cairan,
trauma, surgery, luka bakar, dsb
 Pump failure: bisa karena infark myokard, pulmonary embolism, cardiac tamponade,
dan gagal jantung kongestif
 Vasculer: oclusi vena atau arteri renalis karena stenosis parah, thrombosis,
thromboemboli, gangguan autoregulasi renal karena ACE inhibitor
Faktor renal/intrinsic:
 Glomerulonephritis, vasculitis, interstitial nephritis, scleroderma, hipertensi maligna
 Nekrosis tubular akut karena iskemi atau substansi nephrotoxic
Faktor post renal:
 Obstruksi upper urinary tract
 Obstruksi lower urinary tract

Referensi
Belyayeva, M. & Jeong, J. M. 2020. Acute Pyelonephritis. [Internet, 3rd Dec 2020] StatPearls.
Available on: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519537/
Fogo, A. B., Lusco, M. A., Najafian, B., Alpers, C. E. 2016. AJKD Atlas of Renal Pathology: Chronic
Pyelonephritis. ATLAS OF RENAL PATHOLOGY II, 4, 68. doi:
https://doi.org/10.1053/j.ajkd.2016.08.001
Kazi AM, Hashmi MF. Glomerulonephritis. In: StatPearls [Internet]. 2020 [cited 2020 Dec 03].
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560644/
Khalid, S., Zaheer, S., Zaheer, S., Ahmad, I., & Mohd Khalid (2013). Xanthogranulomatous
pyelonephritis: Rare presentation of a rare disease. South Asian journal of cancer, 2(1), 4.
https://doi.org/10.4103/2278-330X.105863
Lohr, J. W. 2019. Chronic Pyelonephritis. [Internet, 3rd Dec 2020] MedScape. Available on:
https://emedicine.medscape.com/article/245464-overview#a5
Mayo Clinic Staff. Glomerulonephritis. Mayoclinic [Internet]. 2020 [cited 2020 Dec 03]. Available
from: https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/glomerulonephritis/symptoms-
causes/syc-20355705
Parmar MS. Acute Glomerulonephritis. Medscape [Internet]. 2018 [cited 2020 Dec 03]. Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/239278-overview#a1
Robert M. Kliegman MD et al, 2020. Nelson Textbook of Pediatrics. 21st Ed. Philadelphia: Elsevier.
Sharma, P. K., Sharma, R., Vijay, M. K., Tiwari, P., Goel, A., & Kundu, A. K. (2013). Emphysematous
pyelonephritis: Our experience with conservative management in 14 cases. Urology annals,
5(3), 157–162. https://doi.org/10.4103/0974-7796.115734

3. Apa pengaruh obat terhadap kerja ginjal (khusus obat-obatan nephotoxic)?


Obat-obatan yang menyebabkan nephotoxicity akan mengelaurakan efek toxic melalui satu
atau lebih mekanisme pathogenik
a. Mengubah hemodinamik intraglomerular
Ginjal memiliki mekanisme autoregulasi untuk mempertahankan tekanan intraglomerular
dengan memodulasi tonus asteri aferen dan eferen. Hal ini untuk mempertahankan besar GFR
dan urin yang dikeluarkan. Perfusi ginjal bergantung pada prostaglandin yang bersirkulasi
untuk memvasodilatasi arteriola aferen sehingga memungkinkan lebih banyak aliran darah
melalui glomerulus. Selain itu, tekanan intraglomerular juga diregulasi oleh aksi vasokonstriksi
arteriola eferen yang dimediasi angiotensin II.
 Obat dengan aktivitas antiprostaglandin atau antiangiotensin II dapat mengganggu
kemampuan ginjal dalam autoregulasi tekanan glomerulus serta menurunkan GFR
Contoh obat anti prostaglandin : NSAID (Non Steroidal Anti-Inflammatory Drugs)
Contoh obat anti angiotensin II : ACE inhibitor (Angiotension-Converting Enzyme
inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker)
 Obat lain seperti inhibitor kalsineurin juga dapat menyebabkan dose-dependent
vasoconstriction pada arteriola aferen, sehingga menyebabkan gangguan ginjal pada
pasien beresiko
Contoh obat inhibitor kalsineurin : cyclosporine (neoral), tacrolimus (prograf)
b. Tubular cell toxicity
Sel tubulus ginjal, terutama tubulus proximal rentan terhadap efek toxic dari obat, karena
perannya dalam memekatkan dan mereabsorbsi filtrat glomerulus. Hal ini membuat sel
tubulus terpapar racun yang bersirkulasi dalam kadar yang tinggi.
 Obat yang menyebabkan toksisitas pada sel tubular akan merusak fungsi mitokondria,
mengganggu transportasi tubular, meningkatakan oxidative stress, serta membentuk
radikal bebas
Contoh obat : aminoglikosida, amfoterisin B, antiretroviral (adenovir,
cidofovir, tenofovir, cisplatin, contrast dye, foscarnet, dan zoledronate)
c. Inflamasi
Obat-obatan tertentu dapat menyebabkan inflamasi pada glomerulus, sel tubulus renal, dan
area interstitium di sekitarnya. Nantinya inflamasi akan menyababkan terbentuknya fibrosis
dan scar/ jaringan parut pada ginjal.
 Glomerulonephritis terjadi akibat mekanisme kekebalan tubuh dan sering dikaitkan
dengan proteinuria.
Contoh : hydralazine, interferon alfa, lithium NSAID, propylthiouracil, dan
pamidronate
 Acute interstitial nefritis terjadi akibat respon alergi terhadap obat tertenru,
berkembang secara idiosinkratik, dan non-dose-dependent. Obat dengan mekanisme
ini akan mengikat antigen pada ginjal atau bekerja sebagai antigen yang kemudian
disimpan dalam interstitium kemudian memicu reaksi imun
Contoh : allopurinol, antibiotik (terutama bta lactam, quinolone, rifampicin,
sulfonamide, dan vancomycin), antivirus (terutama asiklovir, indinavir), diuretic (loop
diuretic, tiazide), NSAID, fenitoin, PPI (terutama omeprazole, pantoprazole,
lansoprazole), dan ranitidine
 Chronis interstitial nephritis kemungkinan disbabkan karena obat lebih kecil
dibanding akut.
Contoh : analgesic seperti acetaminophen, aspirin, NSAID dengan dosis yang
tinggi secara kronis atau pada pasien dengan gangguan ginjal sebelumnya.
d. Cristal nephropathy
 Obat tertentu akan menyababkan gangguan ginjal dengan menghasilkan kristal yang
tidak dapat larut dalam urin manusia. Endapan kristal yang biasanya berada pada
lumen tubulus distal akan menghalangi aliran urin dan menimbulkan reaksi
interstitial.
Contoh obat yang sering diresepkan : antibiotik (ampicillin, ciprofloxacin,
sulfonamide), antivirus (aciclovir, foscarnet, ganciclovir), indinavir, metotreksat, dan
triamterene.
 Pengendapan obat mungkin tergantung pada konsentrasi obat dalam urin serta pH
urin. Pasien dengan deplesi volume dan infusifiensi ginjal yang mendasari akan
meningkatkan resiko terbentuknya kristal.
e. Rhabdomyolysis
Rhabdomyolisis adalah sindrom cedera otot skelet yang menyebabkan miosit lisis,
melepaskan isi intrasel termasuk mioglobin dan kreatin kinase ke dalam plasma. Myoglobin
menginduksi cedera ginjal sekunder akibat toksisitas secara langsung, obstruksi tubular, dan
perubahan GFR.
 Obat-obatan tertentu dapat menyababkan rhabdomyolysisi secara langsung akibat
efek toxic pada fungsi myosit, atau tidak langusng dengan predisposisi myosit
terhadap cedera.
Contoh : statin (sebagai agen paling dikenal menyebabkan rhabdomyolisis), serta
penyalahgunaan obat seperti cocaine, heroin, ketamine, methadone, dan
methamphetamine.
f. Thrombotic microangiopathy
 Kerusakan organ yang terjadi disebabkan oleh adanya thrombus trombosit pada
mikrosirkulasi, seperti kondisi purpura trombositopenik.
 Mekanisme cedera ginjal sekunder pada kondisi ini diinduksi oleh obat, baik melalui
rekasi yang dimediasi imun atau toksisitas endothel langusng
Contoh : agen antiplatelet (clopidogrel, ticlopidine), cyclosporine, mitomycin C,
dan quinine.
Referensi:
Naughton CA. Drug-Induced Nephrotoxicity. Am Fam Physician [Internet]. 2008 [cited 2020 Dec
03]; 78(6):743-750. Available from:
https://www.aafp.org/afp/2008/0915/p743.html#:~:text=Most%20drugs%20found%20to%
20cause,%2C%20and%20thrombotic%20microan-giopathy.

4. Hasil laboratorium (Estimated GFR)? Bagaimana pemeriksaan untuk mengevaluasi fungsi renal
dan dikaitkan denagn pemeriksaan penunjuang untuk menegakkan diagnosis?
Hasil Lab:
Urinalysis: eritrosit (3+), protein (3+), granular cast (+), glukosa (+)
Pemeriksaan darah:

Parameter Kadar pasien Rentang normal interpretasi

Urea 50 mg/dL 5-20 mg/dL Tinggi

kreatinin 6 mg/dL Laki2: 0.6-1.2 mg/dL Tinggi


Perempuan: 0.5-1.1 mg/dL

potassium 5 mmol/L 3.7-5.2 mmol/L Normal

Pemeriksaan Untuk Mengevaluasi Fungsi Renal → Renal Function Test (Gounden, Bhatt, Jialal,
2020)
a. Glomerular Filtration Rate (GFR)
Merupakan indikator terbaik untuk cek fungsi glomerulus, ngecek clearance suatu substansi
dari darah
GFR normal: 90-120ml/menit (laki2 dewasa). Kalau <15 ml/menit mengindikasikan gagal
ginjal tahap akhir dan butuh renal replacement therapy (mis. dialisis)
Karakteristik marker yang ideal untuk memeriksa GFR:
 Harus muncul secara endogen di plasma pada laju yang konstan
 Harus terfiltrasi secara bebas di glomerulus
 Tidak bisa direabsorpsi atau disekresi tubulus ginjal
 Tidak melalui eliminasi ekstrarenal
Endogen marker gada yg gitu, adanya eksogen → inulin, radioisotop (51 Cr-EDTA, 99 Tc-
DTPA), iohexol (paling menjanjikan, kontras non radioaktif, aman untuk anak2). Tapi pake
marker eksogen itu inconvenience, jadinya kita pakai marker endogen yang mendekati
kriteria tersebut
Marker endogen:
 Kreatinin
- Produk samping kreatin fosfat di otot, diproduksi scr konstan oleh tubuh,
dibersihkan sepenuhnya dari darah oleh ginjal. Jumlahnya tergantung massa
otot, diet, kehamilan (lebih rendah).
- Indikator kalau terdapat gangguan ginjal dimana fungsi ginjal menurun hingga
50%.
- Rumus: C = (UxV)/P
- C : clearance, U : urinary concentration, V : urinary flow rate (ml/min), P: plasma
concentration
- Harus dikoreksi untuk area permukaan tubuh
- Overestimate GFR 10-20%
 Blood Urea Nitrogen (BUN)
- 85% urea dieliminasi lewat ginjal, sisanya lewat GIT
- Urea serum meningkat ketika clearancenya menurun pada gagal/gangguan
ginjal akut dan kronis, perdarahan GI atas, dehidrasi, status katabolik, diet tinggi
protein
- Menurun: kelaparan, diet rendah protein, penyakit hati parah
- Kreatinin lebih akurat, tapi urea meningkat lebih awal di penyakit ginjal
- Rasio BUN:kreatinin → prerenal = 20:1; intrinsik = 10:1
 Cystatin C
- Dibentuk dalam laju konstan, bebas difiltrasi ginjal
- Korelasi dengan GFR berkebalikan. GFR rendah, cystatin C tinggi
- Setelah difiltrasi akan direabsorpsi dan dimetabolisme oleh tubulus proksimal,
jadi di kondisi normal, cystatin C ga masuk ke urin final yg diekskresikan
- Keuntungan dibandingin kreatinin: tidak dipengaruhi usia, massa tubuh, diet
b. Albuminuria dan Proteinuri
Albuminuria → keberadaan abnormal albumin di urin, penanda deteksi nephropathy yang
baru terjadi pada pasien diabetik, penyakit cardiovaskular, dan penanda kerusakan ginjal
kronis.
Spesimen: urin 24 jam atau morning-specimen atau random specimen
Ada albumin → indikasi disfungsi glomerulus
Klasifikasi KDIGO albuminuria:
A1 : <30 mg/g kreatinin
A2 : 30-300 mg/ g kreatinin
A3 : >300 mg/g kreatinin
Proteinuria : >300mg/hari (normalnya 150mg/hari: 30% albumin, 30% globulin, 40% Tamm
Horsfall protein)
c. Tes fungsi tubular
Pengukuran osmolalitas urin untuk mengetahui kemampuan mengkonsentrasikan urine oleh
tubulus
Osmolalitas urin >750 mOsmol/Kg H2O : NORMAL
Tes ammonium klorida juga bisa untuk konfirmasi diagnosis asidosis tubulus distral ginjal
dengan kegagalan mengasamkan urin untuk mencapai pH <5.3.
d. Analisis urin
Terdiri dari observasi fisik/makroskopik, kimiawi, dan pemeriksaan mikroskopis urin
Urinalysis: eritrosit (3+), protein (3+), granular cast (+), glukosa (+)
Interpretasi:
 Protein 3+ → 300mg/dL → tinggi (proteinuria)
 Granular cast → tanda berbagai penyakit ginjal
 Eritrosit + → tanda ada renal injury
Reference range (Lerma, 2015):
 Color – Yellow (light/pale to dark/deep amber)
 Clarity/turbidity – Clear or cloudy
 pH – 4.5-8
 Specific gravity – 1.005-1.025
 Glucose - ≤130 mg/d
 Ketones – None
 Nitrites – Negative
 Leukocyte esterase – Negative
 Bilirubin – Negative
 Urobilirubin – Small amount (0.5-1 mg/dL)
 Blood - ≤3 RBCs
 Protein - ≤150 mg/d
 RBCs - ≤2 RBCs/hpf
 WBCs - ≤2-5 WBCs/hpf
 Squamous epithelial cells - ≤15-20 squamous epithelial cells/hpf
 Casts – 0-5 hyaline casts/lpf
 Crystals – Occasionally
 Bacteria – None
 Yeast - None
Pemeriksaan makroskopik:
 Lihat warna, kejernihan
 Warna normal: kuning pucat; dehidrasi → lebih gelap; merah → hematuria atau
porphyria; cloudy → pyuria karena UTI
Pemeriksaan kimiawi:
 Massa jenis normal : 1.003-1.030, diukur dengan refractory metri atau dipstick
 Dipstick juga bisa ngecek protein, glukosa, darah, keton, bilirubin, urobilinogen, nitrit,
dan leukosit esterase
 Glukosa ga kedeteksi di pasien sehat, ada di pasien diabetes mellitus, hamil, dan renal
glucosuria
 Darah bisa ada setelah renal tract injury/infection
 Keton ada waktu puasa, muntah parah, diabetic ketoacidosis
 Bilirubin di urin normal harusnya ga ada, ada kalau kedeteksi conjugated
hyperbilirubinemia
 Nitrit dan leukosit esterase indikator UTI
 Protein: 1+ (30 mg/dL); 2+ (100 mg/dL), 3+ (300mg/dL), 4+ (>1000 mg/dL)
Pemeriksaan mikroskopis
Deteksi sel, cast, kristal, mikroorganisme
 Red blood cast → glomerulonephritis; white blood cast → pyelonephritis; hyaline
cast → terdiri dari protein, bisa terjadi di glomerular disease; fatty cast → sindrom
nephrotic
 WBC: 0-5 sel/HPF; RBV: 0-3 sel/HPF
 Ada RBC → renal injury; WBC → infeksi
Kristal:
 Triple phosphate crystal : ‘coffin-lid’ appearance, terlihat pada urin alkalin dan UTI
 Kristal asam urat : seperti jarum, diasosiasikan dengan gout
 Kristal oksalat : seperti amplop, ada di ethylene glycol poisoning atay hiperoxaluria
primer dan sekunder
 Kristal cystine : heksagonal, ada di cystinuria
Spesimen sebaiknya yg freshly voided midstream urine, yang tidak terkontaminasi bakteri
komensal dan sel epitel

Pengujian Fungsi Glomerulus


a. Nilai GFR normal, yang diukur dengan bersihan inulin (standar emas), ditunjukkan pada Tabel

Age (Sex) Mean GFR ± SD (mL/min/1.73 m ) 2

1 week (M and F) 41 ± 15

2–8 weeks (M and F) 66 ± 25

>8 weeks (M and F) 96 ± 22

2–12 years (M and F) 133 ± 27

13–21 years (M) 140 ± 30

13–21 years (F) 126 ± 22


b. Bersihan kreatinin (CCr): mendekati bersihan inulin pada kisaran normal GFR. Jika GFR rendah,
CCr overestimates GFR. Mungkin tidak akurat pada anak-anak dengan uropati obstruktif atau
masalah dengan pengosongan kandung kemih akibat tantangan mendapatkan pengumpulan
urin yang tepat waktu.
CCr(mL/min/1.73m2) = [U×(V/P)] × 1.73/BSA,
U (mg / dL) = konsentrasi kreatinin urin;
V (mL / menit) = total volume urin (mL) dibagi dengan durasi pengumpulan (min) (24 jam
= 1440 menit);
P (mg / dL) = konsentrasi kreatinin serum (rata-rata dapat mencapai dua tingkat);
dan
BSA (m 2) = body surface area.
c. Estimasi GFR (eGFR) dari kreatinin plasma: Bervariasi terkait dengan ukuran tubuh / massa
otot. Jika habitus tubuh sangat abnormal atau diperlukan pengukuran GFR yang tepat,
pertimbangkan metode lain. Kreatinin harus dalam keadaan stabil untuk memperkirakan GFR;
Berhati-hatilah saat menangani cedera ginjal akut. Tiga metode untuk menghitung estimated
GFR:
 Bedside Chronic Kidney Disease in Children (CKiD): Hanya berlaku jika kreatinin diukur
dengan uji enzimatik. Direkomendasikan untuk penentuan eGFR pada anak usia 1
sampai 16 tahun. GFRs yang diperkirakan ≥75 mL / menit / 1,73 m2 ditentukan oleh
persamaan ini kemungkinan mewakili fungsi ginjal normal; korelasi klinis
direkomendasikan dengan estimasi GFR.
eGFR(mL/min/1.73m2) = 0.413×(L/Pcr)
Dimana 0,413 adalah konstanta proporsionalitas, L = tinggi (cm), dan Pcr = kreatinin
plasma (mg / dL).
 Persamaan Schwartz: Persamaan historis untuk eGFR pada anak-anak. Namun,
laboratorium semakin beralih ke pengujian enzimatik untuk menentukan kreatinin;
penggunaan kreatinin yang ditentukan secara enzimatis (vs metode Jaffe) dengan
persamaan Schwartz menyebabkan perkiraan GFR yang berlebihan dan harus
dipertimbangkan saat menerapkan secara klinis:
eGFR (mL / menit / 1,73m2) = kL / Pcr
Dimana k = konstanta proporsionalitas (Tabel); L = tinggi (cm); dan Pcr = kreatinin
plasma (mg / dL).

Age k -Values

Low birth weight during first year of life 0.33

Term AGA during first year of life 0.45

Children and adolescent girls 0.55

Adolescent boys 0.70


 Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) dan Chronic Kidney Disease
Epidemiology Collaboration (CKD-EPI): Digunakan untuk menghitung GFR pada
mereka yang berusia> 18 tahun.
eGFR = 186 x (SCr)–1,154 x (Usia)–0,203 x (0,742 ♀)* x (1,212 Afrika Amerika)*
Dimana satuan eGFR yaitu ml/min/1.73 m2, SCr = serum creatinin, *ditambahkan
pada rumus apabila sesuai kondisi seperti yang tertera.
d. Pengukuran GFR lainnya: Dapat digunakan bila diperlukan penentuan GFR yang lebih tepat
(misalnya, dosis kemoterapi). Metode ini termasuk iothalamate, DTPA, dan iohexol. Cystatin
C adalah protein molekul rendah yang juga dapat digunakan untuk memperkirakan GFR dan
lebih akurat daripada kreatinin serum pada individu dengan kondisi yang berdampak
signifikan pada massa otot, sumber kreatinin.

Tes Fungsi Tubular Ginjal


a. Tubulus proksimal dan penanganan zat terlarut:
 Reabsorpsi tubulus proksimal: Tubulus proksimal bertanggung jawab untuk
reabsorpsi elektrolit, glukosa, dan asam amino. Studi untuk mengevaluasi fungsi
tubular proksimal membandingkan kadar senyawa spesifik urin dan darah, sampai
pada persentase reabsorpsi tubular (Tx):
Tx = 1 - [(Ux / Px) / (UCr / PCr)] × 100%
Dimana Ux = konsentrasi senyawa dalam urin; Px = konsentrasi senyawa dalam
plasma; Ucr = konsentrasi kreatinin dalam urin; dan Pcr = konsentrasi kreatinin dalam
plasma. Formula ini dapat digunakan untuk asam amino, elektrolit, kalsium, dan
fosfor. Ini biasanya digunakan untuk menghitung reabsorpsi tubular fosfat (TRP).
Pada pasien dengan hipofosfatemia dan fungsi tubular proksimal yang
dipertahankan, reabsorpsi tubular fosfat diharapkan mendekati 100%.
 Ekskresi fraksional natrium (FENa): Biasanya digunakan untuk menilai fungsi tubular.
Harus mempertimbangkan status natrium dan volume. Mungkin tidak akurat dengan
penggunaan diuretik baru-baru ini.
FENa = [(UNa / PNa) / (UCr / PCr)] × 100%
Dimana UNa = konsentrasi natrium dalam urin; dan PNa = konsentrasi natrium dalam
plasma. FENa biasanya <1% pada azotemia prerenal atau glomerulonefritis, dan> 1%
(biasanya> 3%) pada nekrosis tubular akut (ATN) atau azotemia postrenal. Bayi
memiliki kemampuan yang berkurang untuk menyerap kembali natrium; FENa pada
bayi dengan volume depleted <3%.
 Ekskresi fraksional urea (FEurea): Mungkin berguna dalam skenario klinis tertentu,
termasuk pasien yang menggunakan diuretik. Gunakan persamaan FENa di atas,
gantikan natrium dengan urea. FEurea biasanya <35% pada azotemia prerenal dan>
50% pada ATN
 Ekskresi fraksional bikarbonat (FHCO 3): Dapat membantu membedakan jenis
asidosis tubulus ginjal (RTA). Mayoritas reabsorpsi bikarbonat terjadi di tubulus
proksimal.
FeHCO3 = [(UHCO3 / PHCO3) / (UCr / PCr)] × 100%
FEHCO 3 normal adalah <5%. RTA distal biasanya <5%. > 15% menunjukkan RTA
proksimal (Tipe II).
b. Tubulus distal dan keseimbangan pH:
 Urine anion gap (UAG): Digunakan sebagai ukuran produksi amonium tidak langsung
di nefron distal.
UAG = UNa + UK – Ucl
Dimana UNa = konsentrasi natrium dalam urin; UK = konsentrasi kalium dalam urin;
dan UCl = konsentrasi klorida dalam urin. UAG positif (biasanya> 20) menunjukkan
RTA distal. UAG negatif (biasanya <-20) menunjukkan NH4 + urin yang tinggi
(misalnya, sekunder akibat diare).
 PH urin: Cacat pengasaman urin (distal RTA) harus dicurigai bila nilai pH urin acak> 6
dengan adanya asidosis metabolik sistemik sedang. Konfirmasi defek pengasaman
dengan pH vena atau arteri simultan, konsentrasi bikarbonat plasma, dan penentuan
pH urin segar.
 Osmolalitas urin: Urine terkonsentrasi di distal di tubulus ginjal. Osmolalitas urin,
idealnya pada spesimen urin pagi pertama, dapat digunakan untuk mengevaluasi
kapasitas untuk memusatkan urin. Jika osmolalitas > 600 mOsm / L, maka disfungsi
tubular, termasuk keadaan penyakit seperti diabetes insipidus yang menyebabkan
kehilangan air yang tidak tepat, tidak mungkin terjadi.
 Kalsium urin: Hiperkalsiuria dapat terlihat dengan RTA distal, intoksikasi vitamin D,
hiperparatiroidisme, imobilisasi, asupan kalsium yang berlebihan, penggunaan
steroid atau diuretik loop, atau penyebab idiopatik. Diagnosisnya adalah sebagai
berikut:
- Urine 24 jam: Kalsium > 4 mg / kg / 24 jam (standar emas)
- Urine spot: Tentukan rasio kalsium / kreatinin (Ca / Cr). Rasio Ca / Cr urin normal
tidak menyingkirkan hiperkalsiuria.

Age Ca 2+ /Cr Ratio (mg/mg) (95th Percentile for Age)

<7 months 0.86

7–18 months 0.60

19 months to 6 years 0.42

Adults 0.22

Berdasarkan skenario, dimana pasien memiliki kadar kreatinin serum = 6 mg/dL dan umur = 50
tahun, maka berdasarkan rumus MDRD eGFR nya yaitu:
eGFR = 186 x (SCr)–1,154 x (Usia)–0,203
eGFR = 186 x 6–1,154 x 50–0,203
eGFR = 11 ml/min/1.73 m2
Karena nilai eGFR pasien kurang dari 15 ml/min/1.73 m2, maka pasien sudah termasuk mengalami
renal failure.

Referensi:
Gounden, V., Bhatt, H., Jialal, I. ‘Renal Function Tests’. [Updated 2020 Jul 20]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507821/https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NB
K507821/
Hosten, A. O. (1990). ‘BUN and Creatinine’. In: Walker HK, Hall WD, Hurst JW, editors. Clinical
Methods: The History, Physical, and Laboratory Examinations. 3rd edition. Boston:
Butterworths Chapter 193. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK305/
[Accessed 4 December 2020]
Paul M. Gallo, 2021. Harriet Lane Handbook. 22nd Ed. Philadelphia: Elsevier.
University of California San Fransisco. (2019). Potassium Test. Available at:
<https://www.ucsfhealth.org/medical-
tests/003484#:~:text=The%20normal%20range%20is%203.7,of%20your%20specific%20test
%20results.> [Accessed 4 December 2020]

You might also like