Professional Documents
Culture Documents
DIREKT ORAT JENDERAL MINYAK DAN GAS BUMI DIRECT ORAT E GENERAL OF OIL AND GAS MINIST RY O…
ninakumalasary abdulgani
ANALISIS COST RECOVERY DALAM KONTRAK KERJA SAMA PENGELOLAAN
MINYAK DAN GAS BUMI (STUDI KASUS PT. PERTAMINA EP)
Analysis Of Cost Recovery In The Same Employment Contract Management Of Oil And Gas
(A Case Study Of PT. Pertamina EP)
ABSTRACT
This research aims to know the analysis of the system of cost recovery in the same
employment contract management of oil and gas. The object of this penelian is the cost of cost
recovery and analysis of the research unit is a State-owned enterprise PT Pertamina EP located
in Jakarta. The research was based on the existence of a phenomenon in the background on the
unit of analysis i.e. categorization costs on cost recovery. This research was conducted against a
single respondent, using a qualitative approach, and data analysis used are descriptive analysis.
The results of this study indicate that by doing the categorization costs cost recovery in
accordance with the appropriate regulations of the Government of the need for improvements and
better policies in order to facilitate the performance of the Government and the KKKS (Kontrak
Kerja Sama Kontraktor).
Keyword: System of Cost Recovery, Cost Recovery, Cost Classification Gross Candy Split,
no. 8 years 2017, Variansi.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui analisis terhadap sistem cost recovery dalam
kontrak kerja sama pengelolaan minyak dan gas bumi. Objek penelian ini adalah biaya cost
recovery dan unit analisis penelitian ini adalah Badan Usaha Milik Negara PT. Pertamina EP yang
berlokasi di Jakarta. Penelitian ini di latar belakangi adanya fenomena pada unit analisis yakni
penggolongan biaya pada cost recovery. Penelitian ini dilakukan terhadap responden tunggal,
menggunakan pendekatan kualitatif, dan analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan melakukan penggolongan biaya cost
recovery yang tepat sesuai dengan peraturan pemerintah perlu adanya pembenahan dan kebijakan
yang lebih baik agar mempermudah kinerja pemerintah dan KKKS (Kontrak Kerja Sama
Kontraktor).
Kata Kunci: Sistem Cost Recovery, Penggolongan Biaya Cost Recovery, Gross Split,
Permen No. 8 Tahun 2017, Variansi.
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sektor pertambangan Minyak dan Gas Bumi merupakan salah satu andalan
Indonesia dalam membangun perekonomian Negara. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi
penerimaan Negara dari sektor Minyak dan Gas Bumi yang tertuang dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang merupakan penyumbang penerimaan
Negara kedua terbesar setelah pajak (sumber: www.kemenkeu.go.id/apbn2017).
Rapat Panja Defisit dan Pembiayaan Badan Anggaran (Banggar) Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) RI bersama pemerintah menyepakati penerimaan minyak dan
gas bumi (migas) sebesar Rp 110,47 triliun pada tahun 2016. Pimpinan Banggar DPR RI
Said Abdullah mengatakan, penerimaan migas sebesar Rp 110,47 triliun diperoleh dengan
asumsi harga minyak mentah atau Indonesia Crude Price (ICP) sebesar 40 dollar AS per
barel, dan kurs 13.500 per dollar AS. Sedangkan, lifting minyak ditetapkan sebesar 820.000
barel per hari (bph), sementara lifting gas sebesar 1.150.000 setara minyak per hari
(bsmph). Adapun cost recovery ditetapkan sebesar 8 miliar dollar AS.
Pembagian presentase bagian minyak mentah antara Pemerintah dengan KKKS
(Kontrak Kerja Sama Kontraktor), berikut merupakan persentase bagi hasil yaitu:
a. Minyak Bumi: 85% untuk Pemerinrah dan 15% untuk KKKS (Kontrak Kerja Sama
Kontraktor).
b. Gas Bumi: 70% untuk Pemerintah dan 30% untuk KKKS (Kontrak Kerja Sama
Kontraktor). Sistem bagi hasil antara Pemerintah dengan KKKS terjadi setelah sebelumnya
dikurangi dengan Cost Recovery. Berlakunya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi serta Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang
Badan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, menetapkan kewenangan
Pertamina tersebut telah dialihkan kepada BP MIGAS serta merubah kontraktor PSC
menjadi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Reformasi ini merupakan usaha
pemerintah dalam mengefisiensikan penerimaan negara serta merangsang pertumbuhan
pada industri ini.
Salah satu kerumitan memakai cost recovery sendiri sebelumnya adalah proses
pengauditannya Instansi – instansi pemerintah yang melakukan audit atas cost recovery
memiliki pendapat berbeda – beda soal biaya mana yang boleh diklaim sebagai cost
recovery, dan yang tidak boleh diklaim sebagai cost recovery.
Hasil Pemeriksaan BPK-RI atas Cost Recovery beberapa Kontraktor Kontrak Kerja
Sama untuk tahun buku 2014 sampai dengan 2015 mencerminkan masih perlunya
peningkatan kontrol BP MIGAS dan Departemen ESDM pada implementasi cost recovery.
Nilai seluruh Temuan Pemeriksaan Audit BPK tersebut mencapai Rp. 4 Triliun, dimana
PT. Pertamina EP juga tercatat melakukan penyimpangan cost recovery senilai Rp. 365,62
Milliar atas beberapa biaya, seperti biaya pengeboran dan workover yang telah dibatalkan,
biaya toll fee, pembelian asset harta benda modal tanpa melalui kapitalisasi serta biaya
asuransi yang seharusnya ditanggung mitra kerja sama operasi (KSO).
Berbagai kasus mengenai Cost Recovery seperti hal nya;
1. Mengutip data resmi SKK Migas yang dirilis awal Januari 2016, rerata harga minyak
mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) sepanjang 2015 tercatat berada di
angka US$51,21 per barel atau 85,4 persen dari asumsi APBNP yang dipatok di kisaran
US$60/barel. Sedangkan untuk harga gas, Amien bilang posisinya sedikit lebih baik
lantaran bertengger di angka US$7,24 per juta british thermal unit (MMBTU) atau 15,4
persen di atas target APBNP 2015 sebesar US$6,27 per MMBTU.
Dengan realisasi tersebut, penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) dari sektor
migas 2015 hanya menyentuh angka US$12,86 Milliar atau 85,8 persen dibandingkan
target PNBP migas tahun lalu yang ditargetkan mencapai US$14,99 Milliar. Sayangnya,
disaat penerimaan Negara dari migas anjlok, biaya yang harus diganti pemerintah unruk
eksplorasi dan produksi kontraktor kerjasama (KKKS) justru mencapai US$13,9 Milliar,
atau lebih besar US$1,04 Milliar dari PNBP migas di tahun yang sama.
2. Tagihan Cost Recovery di Semester I – 2017 Capai Rp. 64,7 T. Sampai 30 Juni
2017, cost recovery yang sudah dikeluarkan sebesar US$ 4,87 miliar alias Rp 64,77 triliun
(dengan asumsi kurs dolar Rp 13.300). Sedangkan pagu yang ditetapkan dalam APBN
2017 adalah US$ 10,58 miliar alias Rp 140,7 trilliun. Jadi cost recovery sampai tengah
tahun adalah 46% dari batas maksimum.
Selain itu, pengeluaran terbesar untuk cost recovery berasal dari biaya depresiasi
sebesar US$1,38 milliar atau 28% dari total cost recovery. "Peningkatan alokasi biaya
depresiasi ini karena banyaknya proyek yang onstream di tahun 2015-2016”, ujar Amien.
Selain itu dalam cost recovery ada juga pengeluaran untuk investment credit, unrecovered
cost, dan administrasi yang besarnya US$ 890 juta. Sementara cost recovery untuk
kegiatan eksplorasi alias pencarian cadangan minyak baru hingga pertengahan 2017 ini
cuma US$ 240 juta alias 5% dari jumlah cost recovery.
Meski baru 46% dari batas yang ditetapkan APBN 2017, cost recovery pada tahun
ini terancam bengkak, karena banyaknya cost recovery yang biasanya diklaim para
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada akhir tahun.
Berdasarkan uraian diatas, penulis bermaksud melakukan penelitian lebih lanjut
mengenai “Analisis Sistem Cost Recovery Dalam Pengelolaan Minyak dan Gas
Bumi”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengelompokan Cost Recovery yang dilakukan oleh PT PERTAMINA
EP?
2. Bagaimanakah penerapan Gross Split (PERMEN ESDM Nomor 52 Tahun 2017) dapat
mempermudah kinerja KKKS dan menambah penerimaan Negara dalam pengelolaan
migas di Indonesia ?
3. Manakah yang lebih baik antara Cost Recovery dan Gross Split yang dapat membantu
meningkatkan Pendapatan Negara?
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
A. KAJIAN PUSTAKA
1.2. Biaya
Biaya operasi atau biaya operasional secara harafiah terdiri dari 2 kata
yaitu “Biaya” dan “operasional” menurut kamus besar bahasa Indonesia, biaya
berarti uang yang dikeluarkan untuk mengadakan (mendirikan, melakukan, dan
sebagainya) sesuatu; ongkos; belanja; pengeluaran.
Biaya Kapital (cost of capital) menurut Martono dan Agus Harjito, “Biaya
riil yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk memperoleh dana baik yang
berasal dari hutang, saham preferen, saham biasa, maupun laba ditahan untuk
mendanai suatu investasi atau operasi perusahaan” (2003: 201).
1.8. Depresiasi/Penyusutan
Kontrak Kerja Sama (KKS) yaitu kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak
kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih
menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
B. Rerangka Pemikiran
Biaya Eksplorasi
Biaya Eksploitasi
COST RECOVERY
Biaya Reklamasi
Biaya Kapital
Depresiasi
BAB III
METODE PENELITIAN
3. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dengan cara observasi terhadap langsung dan penulis
melakukan pengumpulan data dengan metode sebagai berikut:
1. Data Primer
Data primer diperoleh melalui penelitian lapangan (field research) yaitu teknik
pengumpulan data dengan melakukan pengamatan langsung (observasi) dan data
dikumpulkan melalui wawancara yang ditujukan kepada pihak PT Pertamina EP untuk
memperoleh fakta dan keterangan faktual dari responden.
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research)
yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan informasi yang dikumpulkan dari
sumber-sumber yang tersedia seperti buku teks, jurnal, yang berhubungan dengan
penelitian, dan laporan penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan pembahasan.
4. Metode Analisis
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif. Menurut Sugiyono (2009:244) analisis deskriptif kualitatif yaitu dengan
memberikan ulasan atau interpretasi terhadap data yang diperoleh sehingga menjadi
lebih jelas dan bermakna dibandingkan dengan sekedar angka – angka. Langkah –
langkahnya adalah reduksi data, penyajian data dengan bagan dan teks, kemudian
penarikan kesimpulan.
BAB IV
Judul dalam penelitian ini adalah “Analisis Sistem Cost Recovery Dalam
Kontrak Kerja Sama Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi”, dimana peneliti
ingin mengetahui komponen apa saja yang dapat dimasukkan kedalam Biaya
Cost Recovery, dan bagaimana penerapan Gross Split yang dipercaya dapat
membantu meningkatkan Penerimaan Negara, serta kebijakan manakah yang
lebih baik antara Cost Recovery dan Gross Split.
B. Analisis Data
Tabel 4.2
Target Realisasi % YTD % YTD
% YTD
Lifting Terhadap Terhadap
APBN- WP&B WP&B Terhadap
2017 YTD WP&B WP&B
P Ori Rev** APBN-P
Ori Rev
MINYAK,
MBOPD 815.0 808.4 803.9 803.8 98.6% 99.4% 99.9%
GAS,
MMSCFD 6,440 6,356 6,117 6,386 99.2% 100.5% 104.4%
MIGAS,
MBOEPD 1,965 1,943 1,896 1,944 98.9% 100.1% 102.5%
(Catatan: Opening stock 2017 sebesar 8,56 juta Bbls, produksi 801,4 Mbopd dan Lifting 803,8 Mbopd,
maka perhitungan ending stock 2017 sebesar 7,65 juta Bbls. Stock minyak berdasarkan pengukuran tanggal
31 Des 2017 jam 24.00 sebesar: 6,99 juta Bbls.)
Tabel 4.3
0,87
US$ MILYAR
0,18
11,42
9,15
WP&B REALISASI
2. Distribusi Pendapatan (Perkiraan Realisasi status per 31 Des 2017)
Tabel 4.4
DISTRIBUSI REVENUE
Contractor Share Indonesia Share Cost Recovery
4,73
10,71
US$ MILYAR
106%
11,32
4,38
108%
12,2 13,14
APBN - P REALISASI
A. Simpulan
5.1. Penggolongan Biaya Sistem Cost Recovery
Menjawab rumusan masalah yang kedua, berdasarkan hasil kuesioner pada PT.
Pertamina EP, mengenai kinerja KKKS dengan menggunakan Skema Gross Split
adalah Netral. Namun KKKS/ PT Pertamina EP, setuju dengan perihal Peningkatan
Pendapatan Negara dengan menggunakan Kontrak Kerja Sama Skema Gross Split.
Disamping itu, Pemerintah memang bertujuan membuat skema gross split untuk
mempermudah kinerja dan membuat KKKS lebih Efektif dan Efisien dalam
melakukan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi Migas.
5.3. Cost Recovery dan Gross Split
Afifah Kusumadara, 2013 “Kontrak Bisnis Internasional” Hlm 20 Sinar Grafika: Jakarta
AM Putut Prabantoro, 2014 “Migas The Untold Story” Hlm 79 PT Gramedia: Jakarta
Bustami Bastian & Nurlela, 2010 “Akuntansi Biaya” Yogyakarta: Graha Ilmu
Brealey, Myers & Marcus, 2012 “Dasar – Dasar Manajemen Keuangan Perusahaan” Jilid I,
Penerbit Erlangga: Jakarta
E. Kieso, Jerry J, Weygandt & Terry D, Warfield, 2006. “Accounting Principles” Edisi 12 by:
Salemba Empat
Hansen & Mowen, 2000 Hlm 36 “Manajemen Biaya” Edisi Bahasa Indonesia, Buku II, Edisi I,
Jakarta: Salemba Empat
Konrath, Larry F, 2002, “Auditing: A Risk Analysis Approach”, Fifth Edition, South Western
Mulyadi, 2015. “Sistem Akuntansi” Edisi ke-3, Cetakan ke-5. Penerbit Salemba Empat, Jakarta
Martono dan D. Agus Harjito, 2003, “Manajemen Keuangan” Penerbit Ekonisia: Yogyakarta
Nordin Satrio, 2012 “Sekilas Tentang Cost Recovery Dalam Industri Migas” Hlm 30
Prihadi, Toto, 2012 “Analisis Laporan Keuangan Lanjutan Proyeksi dan Valuasi” Jakarta: PPM
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1968
PP No. 29 Tahun 1969 Pasal 1 dan 2 Tentang penyediaan wilayah kuasa pertambangan kepada
pertamina
PP No. 42 Tahun 2002 Tentang Badan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
PP No. 79 Tahun 2010 Tentang Production Sharing Contract
PERMEN ESDM No. 52 Tahun 2017 Pasal 4 Beleid dan Pasal 25 Beleid Tentang Kontrak Bagi
Hasil Gross Split
PERMEN ESDM No. 8 Tahun 2017 Pasal 1 Tentang Kontrak Kerja Sama
RA Supriyono, 2004 “Akuntansi Biaya: Perencanaan dan Pengendalian Biaya, Serta Pembuatan
Keputusan” Yogyakarta: Liberty Yogyakarta
Smart, S.B, & Megginson, Gitman, 2004 “Coorporate Finance” , Ohio: South Westren, Thomson
Learning: Mason
Siregar, Baldric, 2014 “Akuntansi Manajemen” Hlm 23, Jakarta: Salemba Empat
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas UU No.
10 Tahun 2010 Tentang APBN
Undang – Undang No. 44 Prp. 1960 Pasal 3 Ayat (2) Tentang Minyak dan Gas Bumi
Undang – Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi