You are on page 1of 5
LAPORAN KRASUS Sindrom HELLP, Eklampsia, dan Perdarahan Intrakranial Maulydia, Eddy Rihardjo CASE SUMMARY HELLP syndrome is a life-threatening obstetric complication. The clinical presentation is highly variable, Conservative management of HELLP syndrome poses a significant risk of many complication, including eclampsia, intracerebral hemorrhage and maternal death. This case was a multigravida woman, 34 years old, 37-38 weeks of gestasional, that had HELLP syndrome, eclampsia, and intracranial hemorrhage. After two periods Of seizure, she was operated for C-section and craniotomy, consecutively. The operation took eight hours and forty five minutes. Post operative care took place in Intensive Observation Room with many problems, including post craniotomy with cerebral edema, anemia, thrombocytopenia, hypertension, and possibility to have another seizure. Lung edema is one condition that must be anticipated, for at least 72 hours afier delivery. Fluid balance is one important thing to prevent both lung and cerebral edema, After ien days, patient was stable enough to be transported to neurological ward. (Maj Ked Ter Imtensif. 2012; 2(1): 44 - 48) PENDAHULUAN Sindrom Hemolysis Elevated Liver enzymes Low Platelets (HELLP) merupakan suatu komplikasi obstetri yang dapat membahayakan nyawa, Sindrom HELLP biasanya dihubungkan dengan kondisi pre eklampsia, Angka kejadian_dilaporkan sebesar 0,2- 06% dari seluruh kehamilan, dan 10-20% terjadi Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ‘Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo, JL Mayjen Prof. Dr. Moestopo 6 - 8, Surabaya 60286 Korespondeasi : drmoly_sby(@yahoo.com “4 pada pasien dengan komorbid preeklampsia. ? Manifestasi Klinis pasien dengan sindrom HELLP sangat bervariasi. Secara umum terjadi pada kehamilan multipara, wanita kulit putih, dengan usia kehamilan minimal 35 minggu.’ Sebanyak 20% asus tidak disertai hipertensi, 30% disertai hipertensi sedang, dan 50% kasus disertai hipertensi berat.!? Gejala lainnya adalah nyeri kepala (30%), pandangan kabur, malaise (90%), mual/muntah (30%), nyeri di sekitar perut atas (65%), dan parestesia. Kadang- kadang bisa juga disertai edema." Kriteria sindrom HELLP adalah Hemolytic Anemia, Elevated Liver enzymes, Low Platelet count. Komplikasi yang dapat _menyertai adalah terlepasnya plasenta (abruption), edema paru- paru, acute respiratory distress syndrome (ARDS), hematom pada hati dan pecah, gagal ginjal akut, disseminated intravascular coagulation (DIC), ceklampsia, perdarahan intraserebral, dan kematian maternal. Eklampsia merupakan penyakit yang. ditandai dengan adanya gejala preeklampsia berat dan kejang, yangbersifattonik-klonik. Angka kejadian eklampsia (iahun 1996-2001) di RSUD Dr, Soetomo Surabaya dilaporkan sebesar 0,81-1,08%. Angka kematian matemal yang terjadi sekitar 4.2%, dengan 0% kasus eklampsia terjadi pada periode antepartum. Diagnosis eklampsia terutama ditegakkan secara Klinis, Adanya tanda-tanda hipertensi dan proteinuria sebelum terjadinya kejang, dapat disertai dengan mual muntah, nyeri kepala, dan cortical blindness. Bila kondisi semakin memburuk maka tands- tanda Jainnya dapat terjadi, yaitu nyeri perut, gagal fungsi hati, sindrom HELLP, edema paru-paru dan oliguria. Sedangkan janin dapat mengalami Intrauterine Growth Restriction (1UGR) hingga fetal distress.'? Majalah Kedokteran Terapi Inensif- Patofisiologi Penyebab sindrom HELLP secara pasti belum diketahui, sindrommenyebabkan terjadinyakerusakan endotelial mikrovaskuler dan aktivasi platelet intravaskuler. Aktivasi platelet akan menyebabkan tromboksan A pelepasa serotonin, dan menyebabkan_terjadinya aglutinasi, agregasi platelet, serta kerusakan endotelial lebih lanjut. Kaskade ini hanya bisa dihentikan dengan terminasi kehamilan. Sel-sel darah merah yang mengalami hemolisis akan keluar dari pembuluh darah yang telah rusak membentuk timbunan fibrin. Adanya timbunan fibrin di sinusoid akan mengakibatkan hambatan aliran darah hepar, akibatnya enzim hepar akan meningkat.! Proses ini terutama terjadi di hati vasospasm: dan dapat mengarah aruhi menyebabkan terjadinya kepada nekrosis periportal dan akhimya mempen organ lainnya Ada beberapa Kondisi yang diduga sebagai penyebab terjadinya cklampsia dan pre cklampsia. Salah satunya adalah adanya peningkaten sintesis bahan vasokonstriktor (angiotensin dan tromboksan A2) dan sintesis bahan vasodilator yang menurun (prostasiklin), yang —mengakibatkan kerusakan endotel Manifestasinya adalah vasospasme arteriol, retensi perubahan koagulasi.* Penyebab lain cklampsia iskemia yang terjadinya yang uas. a dan air, serta Maulyilia, Eddy Rahardjo diduga terjadi akibat iskemia plasenta, hubungan antara lipoprotein dengan densitas yang rendah dengan pencegahan keracunan, perubahan sistem imun, dan perubahan genetik. Berkurangnya resistensi_ vaskuler _serebral, ditambah dengan adanya kerusakan _endotel, menyebabkan terjadinya edema serebri. Meskipun dikatakan bahwa kejang yang diakibatkan oleh eklampsia tidak akan menyebabkan kerusakan otak yang menetap, tetapi perdarahan intrakranial dapat terjadi KASUS Seorang kehamilan wanita, 34 tahun, G8P7A0 usia 37-38 minggu mengeluh pusing sejak 1 hari sebelumnya yang makin berat, disertai nyeri ulu hati, mual dan muntah, Pada pemeriksaan didapatkan pasien sadar dengan tekanan darah 220/100 mmHg, nadi 92 kali/menit, diberikan oksigen dengan sungkup dan dipasang infus, Pasien diobservasi_ di ruang ICU, dalam perawatan mengalami kejang | kali, selama 5 menit, Selanjutnya pasien dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya dengan diagnosis HELLP, eklampsia, dan perdarahan intrakranial di daerah temporoparietal kanan Di ruang resusitasi RSUD Dr. Soetomo Surabaya, didapatkan tanda-tanda distres napas, yaitu frekuensi napas hingga 30 kali/menit, disertai_napas cuping hidung dan retraksi dinding dada. Tekanan darah indrom Gambar 1. ¢ Hasil CT Sean kepala; A. Tampak perdarahan intrakranial, B. midline shift 0,93, penyempitan ventrike! kanan dan hilangnya sulkus dan girus, Volume 2 Nomor t Jamuari 2012 Sindrom HELLP, Eklampsia, dan Perdarahan Intrakranial 170/120 mmHg, nadi 120 kali/menit, pasien sadar (GCS 4-5.6). Pupil bulat anisokor, ukuran 4 mm (kanan) dan 2 mm (kiri). Bieara pasien menjadi pelo, dan ditemukan lateralisasi sinistra, ditemukan edema pada wajah dan tungkai. Pasien mengalami kejang 1 kali, kemudian dilakukan intubasi trakea, Sambil persiapan untuk operasi seksio sesaria, dilakukan pemeriksaan CT scan kepada hasil CT scan kepala ditemukan adanya perdaraban intra kranial di dacrah parieto-oksipital kanan, diperkirakan 50 mi, perdarahan sub arahnoidal, midline shift ke arah kiri sebesar 0,93 em, dan edema serebri berat (gambar). Hasil pemeriksaan darah kadar hemoglobin 13,Smg/dL, hematokrit 38,5%, leukosit 17500/mm’, trombosit 37000/mm?, ureum 12,7 mg/L, kreatinin 0,8mg/dL, Na 143 mmol/L, K 3,2 mmol/L, Cl 112 mmol/L, APTT 14,6 (kontrol 1,9), PTT 72,4/(kontrol 27,7) SGOT 351,6, SGPT 133, albumin 3,2mg/dl, bilirubin direk 1, Pemeri Setelah persiapan selesai, dilakukan terminasi kehamilan dengan cara operasi seksio sesaria (berlangsung sclama 45 menit), operasi segera dilanjutkan dengan _kraniektomi _(berlangsung. selama lebih kurang 7 jam). Pada waktu kraniotomi ditemukan dura tegang kemerahan, perdarahan intrakranial Iuas lebih kurang 100 ml, dan edema serebri berat (gambar 1). Pascaoperasi tulang kepala tidak dikembalikan. Perdarahan selama operasi sebanyak 2500 ml, dengan produksi urin sekitar 2450 ml. Cairan yang diberikan koloid 1500 ml, kristaloid 500 ml, transfusi darah lengkap 2800 ml, darah merah pekat 800 mi, dan trombosit konsentrat 500 ml. Pascaoperasi pasien dirawat di ruang observasi intensif selama 10 hari, Secara dini dilakukan pengendalian ventilasi dan hipertensi serta koreksi anemia, trombositopenia, hipoalbuminemia, dan hipokalemia, PEMBAHASAN Diagnosis sindrom HELLP pada pasien ini ditegakkanberdasarkanadanyatanda-tandahemolisis, yaitu kadar laktat dehidrogenase yang tinggi (LDH = 2444 U/L), dan bilirubin total yang meningkat yaitu lebih dari 1,2 mg/dL, adanya peningkatan enzim hati yaitu SGOT ~ 31,6 U/L dan SGPT ~ 133 U/L, serta irombositopenia berat yang termasuk kelas | menurut Klasifikasi Mississippi.’ Trombositopenia merupakan indikator yang paling dapat dipereaya. Pemeriksaan D-dimer berguna untuk menegakkan diagnosis secara ini, tetapi tidak dilakukan pada pasien ini karena sudah mengalami gangguan faal hemostasis.“ Anestesi umum merupakan pilihan yang tepat pada pasien ini. Pada kondisi lain yang juga disertai Kenaikan tekanan intrakranial yang meningkat, ilihan anestesi regional seperti anestesi spesial harus dipertimbangkan ulang, karena_potensial terjadinya komplikasi serebri_ setelah__pungsi duramater.* Operasi yang berlangsung lama (lebih dari 8 jam), disertai pemberian cairan dan _komponen darah yang cukup banyak selama operasi, membawa konsekuensi tersendiri, Edema paru-paru dapat terjadi akibat pemberian cairan yang berlebihan, atau karena komplikasi dari cklampsia (70% terjadi pada 72 jam pasca persalinan), Pemberian cairan tanpa pengawasan yang ketat akan meningkatkan risiko terjadinya edema paru-paru. Sebelum kejang, pasien memperlihatkan trias Klasik preeklampsia yaitu hipertensi, proteinuria dan sindrom: nyeri kepala, nyeri epigastrium, mual, muntah dan edema. Sindrom HELLP yang disertai dengan perdarahan intrakranial, merupakan kasus yang jarang ditemukan’ Tri Klasik preeklampsia yang disertai kejang akan menambah pada pasien, schingga mengalami komplikasi pengakhiran kehamilan dengan pembedahan seksio sesaria merupakan pilihai yang tepat untuk mencegah bertambah buruknya kondisi ibu dan janin. Sebagai pencegahan kejang, diberikan obat anti kejang yaitu fenitoin dengan kombinasi midazolam, Enam jam pascaoperasi dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala ulang.(gambar 2) Gambar 2. CT Sean kepala 6 jam pascaoperasi Edema otak merupakan 20% penyebab kematian dari pre-eklamsia dan eklamsia. Pengendalian ventilasi dengan ventilator dengan target pCO, 35-40 mmHg, demikian pula pemberian manitol bertujuan untuk mengurangi edema otak, sehingga tekanan ‘Majalah Kedokteran Terspi Inensif ‘Gambar 3, Foto teraks A. Sebelum intubasi pipa endotrakheal. intra kranial dapat diturunkan, dan perfusi darah ke otak dapat diperbaiki.”* Manitol yang digunakan untuk mengurangi edema otak dapat_menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit Sebagai analgetik pascaoperasi digunakan morfin yang diberikan melalui pompa infus. Pemberian obat narkotik intravena dapat dipilih, meskipun dilaporkan tidak optimal untuk pengendalian nyeri pada kasus seperti ini Morfin tetap pilihan terbaik dibandingkan opioid lainnya, sebagai penghilang nyeri dengan efek samping minimal. Pilihan obat analgetik ini dilaporkan mempunyai pengaruh yang tidak diinginkan yaitu dapat menurunkan ambang kejang.® Tekanan darah pascaoperasi dini berkisar 160/120 mmbg. Pasien mendapatkan anti hipertensi diltiazem yang diberikan dengan pompa infus, dengan dosis 5-7 mikrogram/ kg berat badan/menit dititrasi dengan target terapi adalah meneapai sistol antara 140 - 160 mmHg dan diasto! antara 90-100 mmHg. Pemberian anti hipertensi ini dilaporkan dapat mengurangi risiko terjadinya perdarahan serebri, dan terjadinya kejang. Anemia pascaoperasi_dikoreksi dengan menggunakan darah merah pekat, Kadar hemoglobin stabil di atas 10 g/dL. sejak hari perawatan ke-3, selain itu juga dilakukan transfusi trombosit konsentrat Penilaian keseimbangan cairan pada pasien inj tidaklah mudah. Keseimbangan cairan sedapat mungkin dibuat negatif. Penggunaan manitol menyebabkan pengeluaran urin yang banyak, sehingga dapat menyebabkan —_hipokalemia. Penggunaan manitol juga dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal dan neurologis.® Volume 2 Nomor 1 Januari 2012 a, Fddy Rahardjo B. Scbelum ekstubasi dan setelah 9 hari dalam ventilas mekanik. Pada hari perawatan ke-4, perut pasien menjadi kembung, disertai retensi isi lambung. Untuk memastikan bahwa hal ini disebabkan kondisi hipokalemia (K=2,9) dan bukan karena obstruksi, dilakukan pemeriksaan foto abdomen polos. Koreksi diberikan selama 2 hari Nutrisi enteral sementara digantikan dengan nutrisi parenteral, sampai retensi cairan lambung minimal Pasien mendaptakan bantuan ventilasi mekanik selama 9 hari. Untuk mencegah terjadinya Ventilator ssociated Pneumonia (VAP), pasien diposisikan “head-up” 30°, sedasi_ midazolam hanya diberikan pada hari pertama pascaoperasi. Untuk tindakan oral hygiene, digunakan larutan klorheksidin 0,2%, Pada hari ke-3, pasien mulai disapih dari ventilator. Proses ini tertunda pada hari ke-4 karena pasien mengalami gangguan pada organ saluran cerna, Dari tindakan yang selama ini dikampanyekan sebagai “VAP Prevention Bundle”, ada satu hal yang tidak dilakukan pada pasien ini adalah drainase sekret subglotik, karena tindakan tersebut_ memerlukan pipa endotrakheal khusus.* Pada pasien ini tindakan fisioterapi dada dilakukan dan terapi antibiotik sudah mulai sejak hari pertama pasca kraniektomi Pencegahan VAP dapat pula dilakukan dengan penggunsan ETT dengan material khusus, bentuk cuff khusus, menjaga tekanan cuff. 20 cm H,O dan pemberian salin sebelum penghisapan lewat ETT.’ Sampai akhir perawatan Ruang Observasi Intensif, pasien ini tidak mengalami VAP (Gambar 3). Setelah menjalani perawatan selama 10 hari di Ruang Observasi Intensif, pasien dipindahkan ke bangsal neurologi, dengan gejala sisa lateralisasi kiri kalium berturut-turut, Sindrom HELLP, Eklampsia, dan Perdaraban Incrakranial KESIMPULAN Permasalahan pascaoperasi pada _pasien ini meliputi edema otak yang disebabkan oleh eklampsia dan kondisi pascakraniektomi, anemia, trombositopenia, hipoalbuminemia, danhipokalemia, serta tekanan darah tinggi yang tidak terkendali Kemungkinanterjadinya edema paru-parudankejang Janjutan harusdiantisipasi, Penegakkan diagnosis dan persiapan operasi yang cepat, serta koordinasi yang baik antar tim di ruang resusitasi_ memungkinkan pasien untuk segera menjalani operasi Penanganan secara agresif baik dari sisi pembedahan maupun medis menghasilkan hasil yang baik. DAFTAR PUSTAKA 1, Foley MR, Strong TH, Garite TJ. Hypertensive emergencies. In: Foley MR, ed. Obstetric inten- sive care manual, California: McGraw-Hill;2004, p.56-62. 2. Wahjoeningsih S, Anesthesia pada pasien den- gan preeklamsia-eklamsia. In: Preceding book Ist Indonesian symposium pediatric anesthesia and critical care. Surabaya. 2005. p.95-104. 3, Mills JS, Maguire LS, Barker MJ. Preeklampsia and eklampsia, In: The clinical anaesthesia viva 48 10. book. New York: Cambridge University Press; 2002, p.118-21. Maurin OH. HELLP syndrome: recognition and perinatal management. American Family Physi- cian. 1999; 60(3): 829-36. Rayes M, Konykhoy A, Fayad V, Caturved S, Noris G. Good outcome in HELLP syndrome with lobar cerebral hematomas. Neurocrit Care, 2011 Apr;14(2):276-80. Lars PW, Michael JP, Neurvanesthesia for the pregnant woman. Anesth Analgesia, 2008; 107(1): 193-200. Bisri T, Wargahadibrata AH, Surahman E, Neuro Anestesi, 2;51-54 Kuhlen R,Moreno R,Ranieri M, Rhodes A, Controversies in intensive care medicine, Med- izinisch Wissenschafiliche Verlagsgesellschatt. p.275-80 Mortis AC, Hay AW, Swann DG, Everingham K, McCulloch C, MeNulty J,et al. Reducing venti- lator-associated pneumonia in intensive care: impact of implementing a care bundle. Crit Care Med. 2011 Oct;39(10):2218-24. Blot S, Rello J, Vogelaers D. What is new in the prevention of ventilator-associated pneumonia? Curr Opin Pulm Med. 2011 May:17(3):155-9. ‘Majalah Kedokteran TerapiIntensif

You might also like