Professional Documents
Culture Documents
Imran Prosiding8
Imran Prosiding8
Daftar Isi
Assalamu'alaikum Wr Wb,
Sejawat yang berbahagia,
Wassalamu'alaikum wr.wb.
Assalamu'alaikum wr.wb.
Salam sejahtera untuk kita semua.
Wassalamu'alaikum wr.wb.
Kepanitiaan
Pelindung :
Gubernur Provinsi Aceh
Ketua Umum PERDOSSI
Rektor UNSYIAH
Ketua IDI Wilayah Aceh
Penasehat :
Walikota Banda Aceh
Dekan FK UNSYIAH
Direktur RSUZA Banda Aceh
Ketua 2 Bid. P2KB & Koord. Pokdinas & Pembinaan
Profesi
Ketua PERDOSSI Banda Aceh
Pengarah :
Ketua POKDI Neuroimaging
Ketua POKDI Neuroonkologi
Ketua POKDI Epilepsi
Ketua POKDI Movement Disorder
dr. Khairunnisa
dr. Juwita, M.Biomed
Mardina Juniati
Aida Setiawati
Mastur
Edy Saputra
Pokdi Neuroonkologi
Ketua : dr. Elsa Susanti, Sp.S
Anggota : dr. Intan Sahara Zein, Sp.S
dr. Rahmadani Zulfitri, Sp.S
dr. Safridawati
dr. Lailatul Fitri
Pokdi Epilepsi
Ketua : dr. Nova Dian Lestari .Sp.S
Anggota : dr. Nur Astini, Sp.S
dr. Sri Hastuti, Sp.S
dr. Khamsaton Nisa, SpS
dr. Hidayaturrahmi, M.Kes
dr. Natasya Wanda Yuniza
Gala Dinner
Koordinator : dr. Nursanti, Sp.S
dr. Mursyida, Sp.S
dr. Farida, Sp.S(K)
dr. Isra Ikhwana
dr. Dedy Savradinata
dr. Khatab
PROCEEDING BOOK Page xx
PIN PERDOSSI 2018 BANDA ACEH
Sie Akomodasi/Transportasi :
Koordinator : dr. Nasrul Musadir, Sp.S
Anggota : dr. M. Mizfaruddin, M.Kes, Sp.S
dr. Minar Mushari, Sp.S
dr. Anwar, Sp.S
dr. Januar, Sp.S
dr. Fajriman, M.Kes, Sp.S
dr. Cut Diana M T., M.Ked(Neu), Sp.S
dr. Ipak Nistriana
dr. Mahda Liana Rizki
dr. Isra Ikhwana
dr. Khatab
dr. Dedy Savradinata
dr. Andi Muttaqien
Daftar Pembicara
Prof. Dr. dr. Moh. Hasan Machfoed. Sp.S (K) M.S.
Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K)
Prof. Yoshikazu Ugawa (Japan)
Prof. Dr. Teguh Asaad Suhatno Ranakusuma, Sp.S(K)
Dr. Fahmi Mohammed Al-Senani, MBBS., MSc., MHA (Saudi
Arabia)
Dr. dr. Syahrul, Sp.S(K)
Dr. dr. Salim Haris Sp.S(K), FICA
Dr. dr. Fenny L.Yudiarto Sp.S (K).,FAAN
Dr. dr. Yuliarni Syafrita, Sp.S(K)
Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K)
Dr. dr.Herlyani Khosama, Sp.S(K)
Dr. dr. Kurnia Kusumastuti, Sp.S(K)
Dr. dr. Anna Marita Gelgel, Sp.S(K)
Dr. dr. Uni Gamayani, Sp.S(K)
Dr. dr. Nova Dian Lestari, Sp.S
Dr. dr. Diah Kurnia Mirawati, Sp.S(K)
Dr. dr. Rini Andriani, Sp.S
Dr. dr. Tiara Aninditha, Sp.S(K)
Dr. dr. Dessy Rakhmawati Emril, Sp.S(K)
Dr. dr. Endang Mutiawati, Sp.S(K)
Dr. dr. Endang Kustiowati, SpS(K).M.Si.Med.
Dr. dr. Suryani Gunadharma, SpS(K).M.Kes.
Dr. dr. Fitri Octaviana Sp.S(K), M.Pd.Ked.
Dr. dr. Rini Andriani Sp.S
Dr. dr. Astri Budikayanti Sp.S(K)
Dr. dr. Tiara Aninditha Sp.S(K)
Dr. dr. Imran, M.Kes. Sp.S.
dr. Rivan Danuaji, Sp.S., M.Kes.
dr. Isti Suharjanti, Sp.S (K)
dr. Farida Sp.S (K)
PROCEEDING BOOK Page xxiii
PIN PERDOSSI 2018 BANDA ACEH
Daftar Sponsor
Jadwal Workshop
Thursday Novemver 1 2018
WORKSHOP NEUROIMAGING
TIME PROGRAMS
07.30-08.00 Registration
08.20-08.40 Pretest
08.40-09.10 TCCD Application for ischaemic
stroke
dr. Girianto Tjandrawidjaja, Sp.S
09.10-09.40 Deep vein thrombosis diagnostic with
USG
dr. Rakhmad Hidayat, Sp.S(K)
09.40 - 10.00 Coffee Break
10.00 - 10.30 The examination of Micro Embolic
Signal (MES) with bubble
dr. Indah Aprianti Putri, M.Sc. Stroke
Medicine, Sp.S
10.30 - 11.00 Monitoring vasospasm and
intracranial pressure with Transcranial
Doppler (TCD)
dr.Farida, Sp.S(K)
11.00 - 11.30 Peripheral nerve and USG diagnostic
dr. Rivan Danuaji, M.Kes., Sp.S
11.30 - 12.00 External Carotid Doppler (ECD) for
carotid disease
dr. Melke J. Tumboimbela, Sp.S(K)
12.00 - 13.30 Prayer and Lunch
WORKSHOP OF NEUROONCOLOGY
TIME PROGRAMS
07.00 - Registration
07.45
07.45 - Opening
07.50
07.50 - Pretest
08.00
08.00 - First Session
08.50 Pathophysiology and Seizure management in
management of brain neurooncology
metastases
Dr. dr. Rini Andriani Dr. dr. Astri
Sp.S Budikayanti Sp.S(K)
Group A Group B
08.50 - switch group
08.55
08.55 - Group B Group A
09.45
09.45 - Coffee break
10.00
10.00 - Second Session
10.50 Management of Opioid switching in
cancer pain cancer pain
Dr. dr. Dessy R. dr. Henry Riyanto
Emril, Sp.S(K) Sofyan Sp.S
Group A Group B
10.50 - switch group
10.55
10.55 - Group B Group A
12.00
12.00 - Prayer and Lunch
13.30
13.30 - Session 5
14.10 Breaking the bad news & palliative management
in brain tumor
Dr. dr. Tiara Aninditha Sp.S(K)
14.10 - Postest
14.30
14.30 - Closing
14.45
WORKSHOP EPILEPSI
TIME PROGRAMS
07.00-07.45 Registration
07.45-08.00 Opening
08.00-08.15 Pretest
08.15-09.30 Status Epileptic : definition,
pathophysiology and diagnostic
Dr.dr. Endang Kustiowati,
SpS(K).M.Si.Med.
09.30-09.45 Coffee Break
09.45-11.00 EEG presentation of convulsive and
non-convulsive status epileptic
Jadwal Simposium
PLENARY LECTURE
SIMPOSIUM
Friday, 2 November 2018
ROOM ACEH-1
TIME TOPIC SPEAKER
10.00- Management of dr. Andradi
10.20 advanced Parkinson Suryamiharja, Sp.S (K)
diseases
10.20 - PDD : How to diagnose dr. Banon Sukoandari,
10.40 and treat Sp.S
RLS or Akhatisia : How dr. Muhammad Akbar
10.40 – to differentiate and treat , Sp.S(K)., Ph.D.,
11.00 DFM.
arachnoid hemmorhage
with transcranial doppler
ROOM ACEH - 2
TIME TOPIC SPEAKER
10.00- How to set up ideal Dr. Fahmi Mohammed
10.20 stroke system for Al-Senani, MBBS.,
thrombolysis and MSc., MHA
thrombectomy (International Speaker)
Thrombolysis guided Dr.dr. Salim Haris
10.20 -
with TCD/TCCD Sp.S(K), FICA
10.40
ROOM ACEH-1
TIME TOPIC SPEAKER
08.20 - Pain-induced cancer; is it Dr.dr. Tiara
08.40 a nature or complication Aninditha, Sp.S(K)
of the disease?
ROOM ACEH-2
TIME TOPIC SPEAKER
08.20 - Seizure: Epileptic or non- Dr.dr. Anna Marita
08.40 epileptic? Gelgel, Sp.S(K
08.40 - Management of epilepsy in Dr.dr. Uni Gamayani,
09.00 primary health care Sp.S(K)
09.00 - Referal system in epileptic dr. Wardah
09.20 patients Rahmatul Islamiyah
Sp.S.
A. Plenary Lectures
References
to help in solving these issues and provide safe care for people
with seizures and epilepsy. Biotechnology has equipped us with
mobile health and wearable devices that can be used as early
detection for seizures in ambulatory patients during their routine
activities.
Parkinson disease is a chronic movement disorder that can
significantly impair driving skills, causing safety concerns,
development of cognitive impairment, also defects in thinking,
language, and problem-solving. The best management can be
done with the multidisciplinary combination such as close
monitoring, medication, education, support and therapy,
exercise, and nutrition. The benefit of this interdisciplinary care
approach is to have patients receiving treatment from specialists
with different skills, all working together as a team to deliver the
best care possible. Effective communication between different
specialists can guarantee that no time is lost and patients will
receive coordinated and holistic care tailored to their needs.
Safety issues that are a big concern for Parkinson's patients are
the risk falls and driving safety. Several measures could be taken
to reduce the risk of falling. Firstly, patients are encouraged to
installed shower or tub grab-bars. Secondly, ensuring adequate
lighting in the house, especially at night. Next, loose rugs should
be secured in order to prevent the risk of tripping. Other measures
that can be taken to provide safe driving for patients include close
monitoring and health evaluation, especially if and when the
motor and cognitive symptoms worsen.
The safety of neuro-oncology patients could be preserved with
clinical and psychological benefits. Advancement in modern and
minimally invasive surgery could be done without compromising
patient care. At the same time, it can provide financial savings.
The safety of neuro-oncology patient has been demonstrated. It
kognitif dan paling tidak satu gejala tingkah laku; serta tidak
terdapat gejala pada aksis (3) dan (4).
Gejala Posible PDD ditegakkan bila terdapat gejala inti, gejala
pendamping yang berupa 1 atau lebih gangguan kognitif dengan
atensi yang masih baik, serta ada maupun tidak dijumpai
gangguan tingkah laku; satu atau lebih gejala yang penyakit yang
meragukan serta tidak terdapatnya gejala yang menafikan
penyakit Parkinson.
Pengobatan pada PDD adalah dengan pemberian
Acetylcolinesterase Inhibitor (Donepezil, Rivastigmine,
Galantamin) dan NMDA Antagonists ( Mrmantine). Rivastigmin
memiliki Efficacious yang baik dan implikasi klinis ‘clinically
useful’
Parkinson disease Dementia harus didiagnosis banding dengan
Dementia Lewy Bodie, dimana kedua penyakit ini memiliki
gejala yang hampir sama. Perbedaannya terletak pada
kemunculan gejala yang mendahului, dengan rumus ‘1 tahun’
yaitu pada PDD -gejala motorik harus sudah muncul 1 tahun
mendahului gejala gangguan kognitifnya
Abstrak
Akathisia dan Restless Legs Syndrome (RLS) memiliki
manifestasi klinis yang hampir sama dan berhubungan dengan
disfungsi dopamin. Namun, penyebab yang mendasari dan
tatalaksana dari kedua penyakit tersebut berbeda. RLS adalah
sleep-related movement disorder yang melibatkan dorongan
yang hampir tak tertahankan untuk menggerakkan kaki di malam
hari dan cenderung disertai dengan perasaan atau sensasi yang
tidak biasa, yang disebut “paresthesia,” yang terjadi pada kaki.
Klasifikasi RLS dapat dibedakan menjadi Early Onset RLS, Late
Onset RLS, Primary RLS, Secondary RLS. Penyebab pasti dari
RLS belum diketahui secara pasti. Defisiensi zat besi dan semua
kondisi yang menghasilkannya meningkatkan risiko RLS,
dengan defisiensi zat besi yang muncul menjadi faktor umum
untuk sebagian besar penyebab sekunder. Kekurangan zat besi
pada otak mungkin merupakan patologi utama dari RLS.
Beberapa obat dapat mempercepat atau memperburuk RLS,
termasuk antihistamin, antidepresan, dan obat penenang.
Ditemukan juga bahwa RLS berhubungan dengan genetik,
defisiensi dopamin, dan tingginya hormon estradiol. Pengobatan
RLS untuk saat ini bukan untuk menyembuhkan tetapi hanya
menghilangkan gejala dalam jangka waktu lama. Terapi saat ini
yang sering diberikan adalah dengan levodopa, opioid, dan
benzodiazepine dalam jangka waktu yang lama. Akan tetapi
evidence base and clinical guideline menempatkan dopamine
agonist sebagai lini pertama pengobatan dari gejala RLS yang
Pendahuluan
Akathisia dan Restless Legs Syndrome (RLS) adalah
kelainan neuropsikiatri yang memiliki manifestasi klinis yang
hampir sama yaitu berhubungan dengan disfungsi dopamin.
Namun, penyebab yang mendasari dan tatalaksana dari kedua
penyakit tersebut adalah berbeda1.
Restless Legs Sydrome (RLS) merupakan penyakit
umum yang sering dijumpai namun sering dilihat sebagai
penyebab dari insomnia. RLS sering disamakan dengan
“anxiety” atau kecemasan karena sebagian besar pasien
mengeluhkan rasa gelisah ketika ingin tidur. Diagnosis dari RLS
juga sering keliru oleh karena cara penggambaran yang berbeda
dari setiap penderita. Kebanyakan dari penderita RLS tidak
menggunakan istilah “gelisah” dalam penggambaran rasa
ketidaknyamanan pada kaki. Sebagai contoh beberapa perasaan
yang dialami pada kaki, seperti rasa berdenyut, tertekan, geli,
pegal, keram, terbakar, nyeri. 1
Penjelasan mengenai hubungan RLS dengan gangguan
tidur terjadi pada tahun 1672 oleh seorang dokter asal Inggris
yang bernama Sir Thomas Willis 2. Pada abad ke-19 dan 20
beberapa orang juga memberi nama pada kelainan tersebut,
DEFINISI
Restless Legs Syndrome (RLS) adalah sleep-related
movement disorder yang melibatkan dorongan yang hampir tak
tertahankan untuk menggerakkan kaki di malam hari. Dorongan
ini cenderung disertai dengan perasaan atau sensasi yang tidak
biasa, yang disebut “paresthesia,” yang terjadi di kaki. Perasaan
tidak nyaman ini sering digambarkan sebagai perasaan terbakar,
kesemutan, tusukan atau gelisah.3
Akathisia berasal dari bahasa Yunani yaitu
"ketidakmampuan untuk duduk". adalah sindrom neuropsikiatri
yang ditandai dengan gejala subjektif dan obyektif kegelisahan
psikomotor. Pasien biasanya mengalami perasaan tidak enak,
kegelisahan terutama melibatkan kaki, dan dorongan untuk
bergerak.2-3
ETIOLOGI
Penyebab pasti dari RLS belum diketahui secara pasti.
Defisiensi zat besi dan semua kondisi yang menghasilkannya
meningkatkan risiko RLS, dengan defisiensi zat besi yang
muncul menjadi faktor umum untuk sebagian besar penyebab
sekunder. Kekurangan zat besi otak mungkin merupakan
patologi utama dari RLS. Beberapa obat dapat mempercepat atau
memperburuk RLS, termasuk obat alergi yang tidak diresepkan,
yang mengandung antihistamin (Benadryl), sebagian besar
antidepresan (Elavil, Prozac), dan obat penenang utama (Haldol,
Mellaril, Thorazine).3 Ditemukan juga bahwa RLS berhubungan
dengan genetik, defisiensi dopamin, dan tingginya hormon
estradiol.
Akathisia biasanya merupakan efek samping obat, seperti
antipsikotik, serotonin reuptake inhibitor, dan buspirone adalah
pemicu yang umum, tetapi akathisia juga dapat terjadi terkait
dengan beberapa antiemetik, obat penenang pra operasi, calcium
channel blocker, dan antivertigo. Hal ini juga dapat disebabkan
oleh antipsikotik yang terkait gangguan penggunaan zat,
terutama kokain4,5,6
KLASIFIKASI
Pada RLS, jenisnya antara lain:3
- Early onset RLS sebelum usia 45 tahun, menghasilkan
gejala yang berkembang secara bertahap. Kejadian
gejala sehari-hari biasanya tidak ada sebelum usia 40
hingga 65 tahun.
- Late onset RLS berkembang lebih cepat dan lebih sering
terjadi. Gejala dapat muncul setiap hari sejak saat
pertama mulai, atau mereka dapat berkembang pesat
selama sekitar lima tahun sampai terjadi dengan teratur.
DIAGNOSIS BANDING
- Gangguan dari sistem saraf perifer seperti neuropati
perifer
- Sindroma iritasi nerve root atau kompresi dari nervus
perifer.
- Gangguan sistem vaskular seperti arterial peripheral
disease.
- Gangguan psikiatri, seperti anxietas disorders, attention
deficit hyperactivity disorder(ADHD)7
- Gangguan tidur, seperti periodic limb movements in
sleep (PLM)
- Obat-obatan: Antipsychotic-induced akathisia, Anti-
depressants and antipsychotic induced RLS. 7,8
MANIFESTASI KLINIS
- Keinginan yang amat sangat untuk menggerakkan kaki
karena adanya sensasi yang tidak nyaman, yang dapat
DIAGNOSIS
Kriteria Diagnostik RLS (2003) 10
1) Kriteria Diagnostik Esensial RLS (dewasa)
o Keinginan yang sangat untuk menggerakkan
kaki, bisanya diikuti atau disebabkan oleh
sensasi yang tidak nyaman atau tidak
menyenangkan pada kaki.
o Keinginan yang sangat untuk menggerakkan
atau sensasi yang tidak menyenangkan yang
dimulai atau menjadi lebih parah pada waktu
istirahat atau tidak beraktivitas seperti berbaring
atau duduk.
o Keinginan yang sangat untuk menggerakkan
atau sensasi yang tidak menyenangkan yang
terjadi sebagian atau seluruhnya yang dapat
membaik dengan pergerakakan, seperti berjalan
atau melakukan perenggangan tubuh, sekurang-
kurangnya selama aktivitas dilakukan.
o Keinginan yang sangat untuk menggerakkan
atau sensasi yang tidak menyenangkan yang
memburuk pada waktu malam hari daripada
waktu siang hari atau hanya terjadi pada waktu
malam hari.
2) Manifestasi Klinis yang berhubungan dengan RLS
o Riwayat Keluarga
Prevalensi dari RLS diantara keluarga
tingkat pertama dari orang yang
memiliki RLS adalah 3-5 kali lebih
bedsar daripada orang tanpa RLS
o Berespon dengan terapi dopaminergik
Hampir semua orang dengan RLS
memperlihatkan sekurang-kurang
respon positif pada terapi awal dengan
menggunakan L-dopa atau dopamine-
receptor agonist yang dosisnya jauh
lebih rendah daripada dosis biasa yang
digunakan pada pasien dengan
parkinson.
o Periodic limb movement (PLM)
Periodic Limb Movement in Sleep
(PLMS) terjadi pada 85% orang dengan
RLS. Akan tetapi, PLMS juga
umumnya terjadi pada kelainan lainnya
dan pada orang-orang tua. PLMS lebih
tidak umum terjadi dikalangan anak-
anak daripada orang dewasa.
3) Karateristik Lain yang berhubungan dengan RLS
o Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakitnya bervariasi. Akan tetapi,
ada pola tertentu yang dapat diidentifikasi yang
dapat membantu untuk mendiagnosis. Ketika
onset terjadi pada usia kurang dari 50 tahun,
gejala awalnya sering tersembunyi. Ketika onset
pada usia lebih dari 50 tahun, maka gejala
awalnya muncul secara mendadak dan lebih
PATOFISIOLOGI
Patogenesis dari RLS sampai saat ini masih belum
diketahui. Kebanyakan hipotesa berpusat pada dopamin dan besi.
Beberapa bukti lainnya juga menghubungkan dengan sistem
opiod, mekanisme spinal cord, hormon seks steroid, neuropati
perifer, atau kelainan vaskular.
a. Defisiensi Zat Besi
Ada bukti yang menyatakan peranan besi dalam
RLS, kebanyakan karena terdapatnya defisit besi pada
kasus RLS sekunder (contohnya end stage renal disease,
kehamilan, anemia defisiensi besi, dan ADHD). 7-9
Konsentrasi besi dalam darah mengikuti
circadian rhythm, konsentrasi besi dalam darah akan
menjadi lebih rendah 50-60% pada malam hari
dibandingkan pada siang hari. Kadar besi yang rendah
pada waktu malam ini berhubungan dengan munculnya
atau memburuknya gejala RLS pada waktu malam. Saat
kadar besi dalam darah mencapai kadar terendah,
disinilah terjadi gejala RLS yang paling maksimal. 9
Penelitian yang menggunakan pengukuran
cairan serebrospinal, MRI, dan materi otopsi untuk
menentukan status besi pada orang dengan RLS
menyimpulkan adanya kekurangan zat besi pada otak
pasien dengan RLS. Lebih menariknya lagi, besi adalah
kofaktor dari tyrosine hydroxylase, yang merupakan
enzim yang digunakan untuk sintesis dopamin. Oleh
karena itu, besi diperlukan untuk sintesis dopamin dan
defisiensi dari besi dapat menyebabkan gangguan dari
produksi dopamin.7
b. Defisiensi Dopamine
TATALAKSANA
RLS merupakan kelainan jangka panjang sehingga
harus dipikirkan jika adanya lost of effectiveness, efek samping,
dan augmentasi yang mungkin timbul. Terapi RLS diberikan
secara individual berdasarkan dengan manifestasi klinis yang
ditimbulkan, tingkat keparahannya, dan sifat gejala yang
biasanya timbul pada malam hari. Pengobatan RLS untuk saat
ini bukan untuk menyembuhkan tetapi hanya menghilangkan
gejala dalam jangka waktu lama. Terapi saat ini yang sering
diberikan adalah dengan levodopa, opioid, dan benzodiazepine
dalam jangka waktu yang lama. Akan tetapi evidence base and
clinical guideline menempatkan dopamine agonist sebagai lini
pertama pengobatan dari gejala RLS yang terjadi sehari-hari.6,10
Keparahan dari RLS dapat berbeda-beda pada setiap
subjek dan dapat dibedakan dengan frekuensi dan intensitas
gejala yang terjadi di sistem sensorimotorik, lamanya
terjadinya simptom selama 24 jam, dan gangguan tidur yang
ditimbulkan seperti insomnia. Perlu diingat bahwa insomnia
dapat terjadi secara sekunder karena RLS sehingga
memerlukan terapi yang spesifik dan bisa juga dikarenakan
pengobatan yang digunakan untuk mengobati RLS seperti
levodopa atau dopamine agonist. 6,10
Pedoman tatalaksana RLS terdapat pada Restless Legs
Syndrome Task Force of the Standards of Practice Committe
og the American Academy Sleep Medicine (AASM) pada tahun
2008. 6,10
Pasien dengan RLS dibagi menjadi 3 kelompok:
- Pasien dengan gejala yang intermiten
- Pasien dengan gejala yang berlangsung setiap hari
- Pasien dengan gejala yang sulit diatasi dengan
pengobatan standar.10
A. Terapi non-farmakologi
Tujuan utama dari terapi farmakologi adalah
untuk meningkatkan kualitas tidur. Pasien harus
dimotivasi untuk tidur dan bangun dalam jadwal yang
teratur. Lingkungan untuk tidur diusahakan tetap tenang
dan nyaman serta menghindari aktivitas yang berlebihan
selama berjam-jam sebelum tidur.
Pasien dengan RLS juga dianjurkan untuk
menjalankan gaya hidup yang sehat dengan makanan
yang seimbang dan aktivitas fisik yang adekuat.
Penggunaan kafein, nikotin, dan alkohol harus dihindari
karena dapat memperburuk RLS. Pengunaan obat-
obatan anti-depresan (SSRIs atau tetrasiklin),
antihistamin, dopamine blocking agent (neuroleptic atau
metoclopramide) juga dapat memperburuk gejala RLS.
6,10
Jika gejala muncul pada saat istirahat maka pasien
disarankan untuk melakukan aktivitas ringan seperti
bermain video games, menjahit, atau menggambar.10
B. Terapi farmakologi
Terapi non-farmakologi saja tidak akan berhasil
mengobati pasien RLS dengan derajat sedang sampai
berat. Pasien-pasien ini memerlukan terapi farmakologi
untuk mengatasi gejala yang dialami. 6,10
Interminten symptoms
Pasien yang gejalanya terjadi secara interminten
dapat di atasi dengan menggunakan obat-obat
yang hanya diminum ketika gejala RLS muncul.
Obat-obatan yang dianjurkan adalah:
Carbidopa/levodopa, dosis: 25-100 mg,
diminum sebelum tidur
Prognosis
RLS umumnya adalah kondisi yang terjadi seumur
hidup. Terapi yang ada saat ini dapat menghilangkan atau
mengurangi gejala yang dirasakan dan meningkatkan efektifitas
dari tidur. Simptom ini biasanya memburuk seiring dengan
bertambahnya usia. Ada beberapa individu yang dapat
mengalami fase remisi. Akan tetapi, gejala ini akan kembali
setelah selama beberapa hari, minggu, atau bulan.
Prognosis dari RLS dapat diklasifikasikan menurut etiologinya:
- RLS primer
Keparahan dan frekuensi dari gejala biasanya
akan meningkat seiring dengan berjalannya
waktu.
PROCEEDING BOOK Page 50
PIN PERDOSSI 2018 BANDA ACEH
Pendahuluan
Gangguan gerak adalah sindroma neurologi yang ditandai
dengan adanya kelebihan atau kekurangan gerak spontan atau
otomatis dan tidak berhubungan dengan kelemahan atau
spastisitas (Fahn, 2011). Gerak merupakan fungsi yang
kompleks, yang membutuhkan berfungsinya banyak area di
sistem saraf. Setiap gangguan di jalur motorik dari pusat sistem
saraf ke serat otot dapat menimbulkan gangguan gerak.
Gangguan gerak merupakan masalah yang cukup serius di
bidang neurologi. Manifestasi klinisnya dihubungkan dengan lesi
yang mengenai basal ganglia beserta sirkuit yang terkait.
Gangguan gerak bisa terjadi akibat berbagai kondisi medis, salah
satunya adalah akibat penyakit metabolik.
Penyakit metabolik adalah sekelompok penyakit yang
disebabkan oleh terganggunya beberapa reaksi kimia pada
tingkat sel sehingga gagal menghasilkan energi. Gangguannya
bisa pada enzim atau dalam transportasi protein, karbohidrat dan
lemak pada proses metabolisme. Sebagian besar penyakit
metabolik biasanya turun-temurun atau disebut juga Inborn
errors of metabolism (IEM) dan manifestasi klinis akan muncul
mulai dari masa bayi, anak atau saat dalam proses pertumbuhan.
Namun sebagian kecil diantaranya tergolong late onset, atau baru
manifest pada masa dewasa, sehingga penderita akan datang
kepada seorang neurolog untuk berobat (Christensen, 2018)
Inherite metabolic disorders (IMD) adalah bentuk
gangguan metabolik yang paling sering, yaitu gangguan
metabolik akibat kelainan genetik yang ditandai oleh disfungsi
Epidemiologi
Sampai sekarang data epidemiologi yang berbasis populasi
masih belum tersedia, karena terlalu luasnya spektrum penyakit
yang termasuk gangguan gerak, Sebagian besar data yang
tersedia hanyalah prevalensi dari gangguan gerak tertentu. Data
yang berbasis rumah sakitpun terbatas pada penderita gangguan
gerak dengan disabilitas tertentu (Njideka UO, 2012). Sebagian
besar laporan yang berbasis rumah sakit menemukan bentuk
gangguan gerak parkinsonism yang terbanyak, diikuti oleh
tremor dan dystonia, sedangkan laporan yang berbasis populasi
menyatakan restless leg syndrome merupakan bentuk yang
tersering diikuti oleh essensial tremor (Fernandez 2007)
fungsi sel seperti sintesis, respirasi dan proteksi terhadap zat stres
oksidatif. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme
penyimpanan, sekresi dan distribusi logam ini di dalam sistem
saraf pusat. Salah satu contohnya adalah penyakit Wilson, suatu
penyakit genetik, dimana terjadi mutasi pada gen yang
mengkodekan ATP7b, yaitu gen yang memungkinkan
transportasi tembaga. Akibatnya transport tembaga terganggu
sehingga terjadi retensi tembaga di basal ganglia. Kunci
diagnostik dari penyakit ini ditemukannya deposit logam di basal
ganglia pada pemeriksaan MRI.
Penyakit Wilson biasanya muncul pada dewasa muda
tetapi dapat juga baru muncul pada usia dewasa tua, hingga akhir
dekade ketujuh, berupa berbagai gangguan gerak. Tremor saat
istirahat dan aktivitas adalah gangguan gerak yang paling sering
ditemui, diikuti oleh distonia dengan atau tanpa kombinasi
gerakan khorea (choreoathetosis) dan parkinsonisme (Ala et al
2007; Das, 2006). Pada MRI ditemukan atropi serebral dan low
signal T2 simetris bilateral di globus palidus dan peninggian
signal T2 di nucleus caudatus, putamen, nucleus dentatus dan
pons.
Pengobatan
Ada dua aspek pengobatan. Yang pertama bersifat simptomatik
terhadap tanda klinis gangguan gerak yang muncul dan yang
kedua management terhadap gangguan metabolik yang
mendasarinya, apakah suatu gagguan neurotransmitter atau
gangguan lainnya. Penanganan akan memberikan hasil yang
lebih baik bila gangguan metabolik ini dapat dikenal lebih awal,
namun pemberian obat-obat simptomatik biasanya sudah
melihatkan hasil yang cukup bermakna.
Pengobatan bersifat simptomatik sesuai dengan tanda klinis yang
mucul/dominan, Selain fisioterapi dapat juga diberikan obat-obat
dari golongan antikolinergik, benzodiazepine, baclofen,
dopaminergik, anti epilepsy dan neuroleptik atypical. Mengingat
adanya dystonia dopa-responsif pada pasien tanpa etiologi yang
jelas , maka pengobatan uji coba dengan pemberian levodopa
pada kasus distonia dan Parkinson harus segera dimulai. Selain
itu pasien dengan penyakit metabolik sering memperlihatkan
gejala yang lain, seperti gangguan prilaku dan gangguan kognitif,
maka gejala-gejala ikutan juga harus di eksplorasi.
Kesimpulan
Gangguan gerak yang disebabkan oleh penyakit metabolik harus
kita waspadai bila bentuk gangguan gerak yang muncul
merupakan gabungan dari beberapa bentuk, gangguan gerak dan
tidak bisa diterangkan dengan penyebab yang klasik serta
ditemukan gejala klinik sistemik yang lain. Sebagian besar gejala
muncul pada masa bayi dan anak dan sebagian kecil baru
manifest pada masa dewasa (late onset).
Untuk diagnostiknya diperlukan pemeriksaan
penunjang seperti MRI. pemeriksaan darah, urine, CSS, enzim
Kesimpulan :
Mengapa, bagaimana dan kapan memulai dan memberhentikan
AED sangat tergantung dari situasi kejang yang terjadi dan harus
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari pemberian
AED.
Keywords : kejang, obat anti epileptik, memulai AED,
menghentikan AED, rekurensi kejang, remisi kejang
PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan penyakit otak dengan berbagai tipe
bangkitan dan sindroma epilepsi1. Penyakit ini menyerang 1%
populasi dunia, dan OAE masih merupakan terapi utama 2.
Meskipun kebanyakan kasus epilepsi dapat diterapi, pasien
epilepsi tetap mengalami diskriminasi, stigma sosial, stres, yang
dapat mengganggu aktivitas sehari-harinya. Selain itu, terdapat
masalah dalam terapi terutama di negara miskin dan negara
berkembang terutama disebabkan karena akses yang terbatas
atau harga yang mahal. Selain itu, tidak semua pasien berespon
terhadap terapi medikamentosa3. Epilepsi
refrakter/farmakoresisten, yaitu kegagalan mencapai bebas
bangkitan dengan dua OAE yang tepat dan dapat ditoleransi
pasien, mencapai 20-30% pada seluruh pasien yang terdiagnosis
epilepsi. Respon pasien terhadap OAE (obat anti epilepsi)
pertama merupakan indikator kuat untuk prediksi keluaran
jangka panjang. Respon ini mencapai 50% dari pasien epilepsi 4,5.
Keputusan untuk memulai pengobatan merupakan keputusan
besar, karena terapi akan diberikan selama bertahun-tahun,
bahkan ada yang seumur hidup, dengan berbagai masalah dengan
penhentian obat di kemudian hari. Keputusan untuk memulai
terapi tergantung dari beberapa faktor seperti resiko rekurensi,
tipe bangkitan dan jenis sindroma, keinginan mendapatkan SIM,
serta resikonya pada kehamilan dan menyusui 6.
TGB,
VGB
JAE/sindrom ETX, LTG, ETX, CLB, CLZ, CBZ,
e absans lain VPA LTG, LEV, TPM, GBP,
VPA ZNS OXC,
PHT,
PGB,
TGB,
VGB
JME LTG, LEV, LTG, CLB, CLZ, CBZ,
VPA, TPM LEV, ZNS GBP,
VPA, OXC,
TPM PHT,
PGB,
TGB,
VGB
Epilepsy CBZ, LTG, CLB, - -
with GTC OXC, VPA LTG,
only LEV,
VPA,
TPM
IGE LTG, VPA, LTG, CLB, CLZ, CBZ,
TPM LEV, ZNS GBP,
VPA, OXC,
TPM PHT, PGB
IS +/- Diskusikan/rujuk ke tertiary pediatric epilepsy
Tuberous specialist.
Sclerosis Dapat diberikan steroid
(prednisolon/tetracosactide)/VGB
TGB,
VGB
Lennox- Diskusikan/r LTG FLB, RUF, CBZ,
Gastaut ujuk ke TPM GBP,
syndrome tertiary OXC,
pediatric PGB,
epilepsy TGB,
specialist, VGB
VPA
Continuous Diskusikan/rujuk ke tertiary pediatric epilepsy
spike&wave specialist
during slow
sleep
Landau- Diskusikan/rujuk ke tertiary pediatric epilepsy
Kleffner specialist
syndrome
Myoclonic Diskusikan/rujuk ke tertiary pediatric epilepsy
astatic specialist
epilepsy
CBZ : carbamazepine, CLB : clobazam, CZP : clonazepam, Eslicarb : eslicarbazepine, ESM:
ethosuximide, FLB : felbamate, GBP : gabapentin, LAC : lacosamide, LTG : lamotrigine, LEV
: levetiracetam, OXC : oxcarbazepine, PB : phenobarbital, PHT : phenytoin, PGB : pregabalin,
RUF : rufinamide, STM : sulthiam, TPM : topiramate, VGB : vigabatrin, , VPA : valproic acid,
ZNS : zonisamide
TERAPI PENDAHULUAN
Terapi pendahuluan adalah pemberian satu obat anti epilepsy
(OAE) pilihan utama sesuai bentuk bangkitan/kejang epileptic
dari dosis awal (dosis rendah) sampai pemberian obat rumatan.
Namun demikian apabila ragu-ragu dalam menentukan diagnosis
maupun bentuk kejang, maka segera merujuk pasien ke dokter
spesialis neurologi.
Terapi OAE berdasarkan bentuk kejang seperti yang terlihat di
klasifikai ILAE 1981.
Pasien dapat mulai menerima terapi apabila :
Diagnosis epilepsy sudah ditegakkan
Kejang atau bangkitan sudah terjadi minimal 2x dalam
satu tahun dengan jarak antar kejang 24 jam.
Tujuan rujukan
Deskripsi bangkitan, onset, durasi, frekuensi, dugaan
etiologi
Riwayat keluarga
Riwayat terapi yang diberikan
Riwayat penyakit dahulu
Hasil pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan
Defisit neurologis yang ditemukan
Kepustakaan
1. Pedoman tatalaksana epilepsi untuk dokter umum, Pokdi
Epilepsi PERDOSSI, 2016
2. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Kelompok Studi Epilepsi
PERDOSSI, edisi kelima, 2014
3. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Penanganan
Epilepsi, Kementrian Kesehatan RI, 2015
PENDAHULUAN
Sistem pelayanan kesehatan di tiap negara berbeda-beda.
Pada umumnya hampir semua negara memberlakukan sistem
perujukan berjenjang. Sistem perujukan yang efektif di tiap
DETEKSI EPILEPSI
Banyak kasus epilepsi tidak terdeteksi di negara
berkembang. Di negara maju angka kejadian kesalahan diagnosis
sekitar 5 - 30%, sedangkan di negara berkembang angka
kesalahan ini jauh lebih tinggi. Deteksi epilepsi didasarkan pada
riwayat klinis. Bila pasien dalam kondisi tidak sadar, maka cerita
dari saksi mata atau rekaman video saat kejadian sangat
membantu dalam mendeteksi epilepsi. Pemeriksaan
elektroencefalografi (EEG) dapat mendeteksi gelombang
epileptogenik yang akan mendukung diagnosis, akan tetapi
pemeriksaan ini bukanlah alat penentu utama. Pemeriksaan EEG
bermanfaat dalam menentukan klasifikasi bangkitan dan
sindroma epilepsi. Video EEG bermanfaat dalam penanganan
epilepsi intractable. Pemeriksaan biokimiawi membantu dalam
menentukan etiologi epilepsi dan menyingkirkan diagnosis
banding. Pemeriksaan CT scan kepala bermanfaat untuk
menentukan abnormalitas struktural. MRI kepala jauh lebih
sensitif dibanding CT scan kepala. Pemeriksaan ini diutamakan
pada pasien dengan dugaan adanya kelainan struktural.
Sedangkan pemeriksaan single photon emission computer
PENGOBATAN EPILEPSI
Banyak obat antiepilepsi yang ketersediaannya tidak
terjamin. Hal ini tentu saja mempersulit pasien dan klinisi.
Sangat sulit menentukan definisi intractable epilepsy di negara
berkembang. Karena secara definisi disebut intractable epilepsy
bila tetap muncul bangkitan walaupun telah mengkonsumsi dua
jenis obat antiepilepsi adekuat dengan mekanisme kerja yang
berbeda. Pemilihan obat seringkali tidak sesuai dengan sindroma
epilepsinya, karena obat yang diinginkan tidak tersedia.
Terkadang kombinasi obat yang digunakan adalah dua jenis obat
dengan mekanisme obat yang sama dan sama-sama berperan
sebagai enzim inducer sitokrom P450. Masih munculnya
bangkitan bukan karena resisten, akan tetapi karena obat yang
dipilih tidak ada.[2]
Salah satu faktor penting dalam mengatasi treatment gap
kasus epilepsi antara negara berkembang dan negara maju adalah
jaminan ketersediaan obat secara kontinyu. Frekuensi
berkunjung ke fasilitas kesehatan yang tinggi akibat obat kosong
akan sangat mempengaruhi ketidakpatuhan mengkonsumsi
obat.[2], [6] Harga obat bukanlah penyebab kelangkaan obat.
Obat phenobarbital yang terkenal efektif pada beberapa tipe dan
sindroma epilepsi dan memiliki harga yang murah, ternyata
sangat sering kosong di berbagai pusat layanan kesehatan primer
1. Tujuan perujukan
2. Deskripsi bangkitan, onset, durasi, frekuensi, dugaan etiologi
3. Riwayat keluarga
4. Riwayat terapi yang telah diberikan
5. Riwayat penyakit dahulu
6. Hasil pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan
7. Defisit neurologis yang ditemukan
RANGKUMAN
Epilepsi adalah salah satu penyakit neurologis yang
sering tidak tertangani dengan baik di negara berkembang.
Tingginya angka morbiditas dan mortalitas di negara
berkembang disebabkan karena kegagalan deteksi epilepsi,
kesulitan infrastruktur dalam penegakan diagnosis dan perujukan
serta jaminan ketersediaan obat. [13] Sistem perujukan yang
didasari pada azas kejujuran atas kemampuan potensi diri klinisi
di tiap tahap layanan kesehatan sangat membantu dalam
keberhasilan penanganan epilepsi dan mengurangi treatment gap
di negara berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
[1] USAID, “The Refferal System Revised.” US Agency for
International Development (USAID), pp. 11–4, 2012.
[2] C. K. Mbuba and C. R. Newton, “Packages of care for
epilepsy in low- and middle-income countries,” PLoS
Med., vol. 6, no. 10, 2009.
[3] WHO, “Kit on Epilepsy What you can do,” pp. 10–34,
2015.
[4] J. Gruman, M. Vonkorff, J. Reynolds, and E. H. Wagner,
“Organizing Health Care for People with Seizures and
Epilepsy,” vol. 21, no. 2, pp. 1–17, 1998.
[5] L. Ridsdale, “Avoiding premature death in epilepsy,”
Bmj, vol. 350, no. feb10 18, pp. h718–h718, 2015.
[6] P. Jallon, “Epilepsy in Developing Countries,” Epilepsia,
vol. 38, no. 10, pp. 1143–1151, 1997.
Pendahuluan
Epilepsi adalah penyakit di otak yang ditandai dengan adanya
dua atau lebih kejang tanpa provokasi atau kejang reflek, dimana
selang waktu kejadian antar kejang lebih dari 24 jam, atau satu
kali kejang tanpa provokasi atau kejang reflek dengan
kemungkinan berulang kembali terjadi kejang tanpa provokasi
sangat besar, atau telah terdiagnosis sebagai sindroma epilepsi.
Epilepsi dapat dinyatakan sembuh apabila telah melewati batas
umur untuk sindroma epilepsi tertentu yang terkait umur, atau
telah bebas kejang selama 10 tahun di mana 5 tahun terakhir tidak
menggunakan obat. Dari definisi epilepsi tersebut, tersirat
penggunaan obat anti epilepsi jangka panjang. Penggunaan obat
jangka panjang dapat memberi dampak yang kurang baik
terhadap fungsi berbagai organ tubuh. Di lain pihak, beberapa
pasien epilepsy kemungkinan juga menderita atau memiliki
gangguan pada fungsi organ tubuhnya. Kedua hal ini akan
mempengaruhi penatalaksanaan epilepsy, baik dalam hal
pemilihan atau pemberian dosis obat anti epilepsi.
Beberapa hal yang berhubungan antara gangguan fungsi organ
dengan penatalaksanaan epilepsi :
1. Gangguan fungsi organ mungkin terjadi sebagai
komplikasi penggunaan obat anti epilepsi (OAE), atau
akibat kejang yang terjadi.
2. Gangguan fungsi organ akan mempengaruhi
penatalaksanaan epilepsi.
3. Kejang dapat timbul sebagai akibat kelainan atau
gangguan fungsi organ yang berdampak pada otak.
dengan dosis yang lebih kecil dari normal. Asam valproat tidak
dapat digunakan pada pasien dengan gangguan hepar, karena
obat tersebut bersifat hepatotoksik. Penggunaan fenitoin
memerlukan kehati-hatian disebabkan ikatan protein obat
tersebut sangat tinggi, sehingga pada kondisi hipoalbuminemia
akan terjadi peningkatan fraksi bebas obat yang berpotensi
meningkatkan toksisitas. Leviteracetam merupakan OAE yang
direkomendasikan untuk penatalaksanaan fase akut kejang pada
pasien dengan gangguan hepar.
Pada penggunaan jangka panjang, OAE yang paling cocok
adalah yang ikatan proteinnya rendah dan metabolism di hepar
rendah. Beberapa OAE yang memenuhi kriteria tersebut adalah
gabapentin, leviteracetam, oxcarbazepin, pregabalin dan
topiramat. Namun demikian, pada keadaan gangguan hepar yang
berat diperlukan penyesuaian dosis obat, karena biasanya juga
didapatkan gangguan pada fungsi ginjal. Sedangkan OAE yang
dihindari adalah asam valproate dan lamotrigin.
Penatalaksanaan epilepsi pada pasien dengan ganguan
fungsi ginjal.
Gangguan fungsi ginjal akan membawa dampak pada
penatalaksanaan pasien epilepsi. Obat anti epilepsi dengan
eliminasi utama di ginjal yang digunakan oleh pasien dengan
gangguan fungsi ginjal akan mengalami waktu paruh yang lebih
panjang dan cenderung untuk terakumulasi dalam darah. Hal ini
disebabkan adanya penurunan filtrasi pada glomerulus dan
sekresi tubulus. Fenomena ini ditambah dengan perubahan
plasma protein secara kuantitatif (misalnya berkurangnya protein
pada sindroma nefrotik) dan secara kualitatif. Perubahan plasma
protein akan menyebabkan peningkatan kadar obat bebas dalam
darah. Pasien yang menjalani hemodialisis memerlukan
penyesuaian dosis untuk beberapa OAE yang digunakan. Hal ini
PENDAHULUAN
Komorbiditas merupakan suatu kejadian bersama dari 2
kondisi yang seharusnya terpisah dengan dampak yang
ditimbulkan dapat lebih tinggi.1 Komorbiditas umumnya
digunakan pada istilah yang luas, mencakup penyakit dan
sindrom klinis yang berbeda serta tanda atau gejala penyakit.
Pada kasus epilepsi komorbiditas mencakup faktor risiko
perkembangan epilepsi, konsekuensi bangkitan dan penyakit
dengan latar belakang patofisiologi yang berbeda dengan
epilepsi. Secara garis besar faktor komorbiditas epilepsi dapat
dikelompokkan menjadi : ganggaun somatik, gangguan
neurologi, gangguan kesehatan mental, serta kognitif.2
Beberapa studi berbasis populasi besar melaporkan bahwa pada
pasien epilepsi mengalami risiko peningkatan yang tinggi
terkena berbagai kondisi atau kelainan dibanding masyarakat
umum.3
Banyak kasus stroke baik perdarahan maupun iskemik yang
dilaporkan menimbulkan bangkitan akut simtomatik atau
berkembang menjadi epilepsi, namun tidak banyak yang
melaporkan epilepsi dengan komorbiditas stroke, infeksi otak
dan trauma kepala. Untuk itu akan dibahas sedikit penelitian
tentang epilepsi dengan komorbiditas tersebut.
KOMORBIDITAS
1. STROKE
Institute of medicine (IOM) tahun 2012 membuat
“epilepsy across the spectrum” yang berisi data komorbiditas
pada epilepsi serta dampaknya terhadap kejadian epilepsi dan
DAFTAR PUSTAKA
1. Schachter SC, Garcia-Cairasco N, Kanner AM. Introduction
to Epilepsies: Complexity and Comorbidities. Epilepsy and
Behavior, 2014; 38: pp. 1-2.
2. England M.J., Liverman C.T., Schultz A.M., and Strawbridge
L.M.: Epilepsy across the spectrum: promoting health and
understanding: a summary of the Institute of Medicine report.
Epilepsy Behav 2012; 25: pp. 266-276.
3. Gaitatzis A, Sisodiya SM, and Sander JW: The somatic
comorbidity of epilepsy: a weighty but often unrecognized
burden. Epilepsia 2012; 53: pp. 1282-1293
PENDAHULUAN
TUMOR OTAK
1. Jarigan Neuroepithelial
a. Tumor Astrocytic
Menurut histopathologinya terdiri dari :
- Pilocytik astrocytoma
- Subependymal giant cell artrocytoma
- Pleomorphic xantoastrocytoma
- Diffuse astrocytoma
- Anaplastik astrocytoma
- Glioblastoma
- Gliosarcoma
- Gliomatosis serebri
b. Tumor Oligodendroglial
- Oligodendroglioma
- Mixed Oligoastrocytoma
d. Tumor Embryonal
- Meduloblastoma
- Central Nervous System Primitive Neuroectodermal
Tumor
- Atypical Teratoid /Rhabdoid Tumor
2. Lymphoma
3. Metastasis
Pilocytic Astrocytoma
Pleomorphic Xantoastrocytoma
Astrocytoma diffuse
MRI didapatkan lesi intra axial berbatas tak tegas atau massa
yang diffuse di white matter, berintensitas hypointne pada T1WI
dan hyperintens pada T2 WI dengan kontras gadolinium tampak
sedikit kontras enhancement.
Anaplastik Astrocytoma
Gliobastoma
Gliosarcoma
Oligodendroglioma
Meduloblatoma
Lymphoma
Metastasis
Lesi dapat single atau multiple dengan tepi berbatas tegas yang
disertai nekrosis di tengahnya dapat kecil atau besar kadang
diertai dengan perdarahan didalamnya, edema perifer sering
diapatkan disekitar lesi.
Daftar Pustaka :
Abstrak
Nyeri kanker dapat terjadi baik pada tumor
primer, tumor metastase, maupun dari prosedur invasif atau
diagnostik. Pengobatan kanker yang dapat menyebabkan
nyeri termasuk pembedahan, radiasi,kemoterapi,
imunotherapi dan terapi hormonal. Penyajian nyeri
mungkin tergantung pada etiologi; Namun, penting untuk
menyadari bahwa pasien dengan kanker tidak kebal
terhadap rasa sakit yang biasanya terjadi pada pasien
noncancer. Nyeri kanker biasanya nociceptif, visceral,
neuropatik, atau kombinasi dari ketiganya. Teknik
intervensional yang ditargetkan untuk mengontrol rasa sakit
dapat merupakan adjuvant yang sesuai atau alternatif untuk
pengobatan farmakologi oral atau sistemik. Teknik-teknik
ini mungkin juga lebih tepat pada pasien yang tidak dapat
mentolerir efek samping dari obat sistemik.
Keyword : nyeri kanker, manajemen intervensi nyeri
Pendahuluan
WHO Analgetic ladder, dengan penekanan pada
analgesia oral 'per jam', membentuk kerangka kerja yang
berguna untuk manajemen farmakologis awal pasien
dengan nyeri kanker. Hal ini dilaporkan berhasil pada 80-
90% pasien. Namun, 10-20% pasien kurang responsif
PROCEEDING BOOK Page 137
PIN PERDOSSI 2018 BANDA ACEH
I. Intraspinal Analgesia
1.1. Epidural
- Merupakan pilihan paling umum untuk nyeri
spinal atau radikuler yang disebabkan oleh lesi
primer atau metastasis
- Menyebabkan lesi yang dapat mempengaruhi disk
intervertebralis, serabut saraf, atau ukuran kanalis
spinalis
- Memberikan penghilang rasa sakit yang sangat
selektif, sambil menghasilkan analgesia di area
yang luas
- Target tingkat servikal, toraks, lumbal, atau
kaudal
1.2. Intrathecal
- Menghilangkan rasa sakit yang sangat selektif
dari vertebrae
- Efek samping minimal biasanya terkait dengan
dosis yang lebih tinggi dari obat oral yang sama
jenis karena konsentrasi dan dosis berkurang
secara signifikan
- Dapat diuji dengan suntikan tunggal opioid dan
bupivacaine, clonidine, atau zikonotida sebelum
memasukkan kateter
- Dapat melibatkan kateter intraspinal permanen
dan pompa subkutan yang ditanamkan jika angka
harapan hidup pasien lebih dari 3 bulan
- Pilihan obat meliputi (kombinasi agen tunggal
atau multi-agen): Morfin, Hydromorphone,
Fentanyl, Sufentanil, Bupivacaine, Clonidine,
Zikonotida, Baclofen,Meperidine (pethidine).
Referensi:
1. Benzon HT, Raja S, Molloy RE, Liu SS, Fishman FM.
Essentials of pain medicine and regional anesthesia. New
York: WB Saunders-Churchill Livingstone; 2005.
2. Christo PJ, Mazloomdoost D. Interventional pain treatments
for cancer pain. Ann NY Acad Sci 2008;1138:299–328.
3. Loeser JD, editor. Bonica’s management of pain, 3rd ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001.
4. Raj, PP, et. al. Raj’s practical management of pain.
Philadelphia: Elsevier; 2008.
5. Warren,scott, Basckar Arun. Cancer pain management:
Part II: Interventional techniques. Continuing
Education in Anaesthesia Critical Care & Pain,
Volume 15, Issue 2, 1 April 2015
the growth of tumor tissue that invades the visceral organ, nerve
and bone tissue and the presence of tumor metastasis is a source
of pain in cancer pain. forms of cancer pain can be nociceptive
pain, neuropathic pain and can also be mixed pain, and based on
the duration of pain (more than 3 months), cancer pain includes
chronic pain.
careful and detailed efforts are needed so that the treatment of
cancer pain succeed because the target and treatment of cancer
pain is to reduce the suffering while preserving the function.
therefore it requires a multidisciplinary team to manage the
cancer pain, because basically it is not easy to control cancer
pain due to the progression of the cancer cell itself.
The forms of pain management in cancer pain consist of non-
intervention and intervention, some cancer patients do not need
intervention and only5% require intervention in pain.
Key word : cancer, chronic, management, pain
Pendahuluan
Venous Thromboembolism (VTE) memiliki angka
kejadian yang cukup tinggi sekitar 1-2% pada populasi umum,
dengan angka insidensi 1 dari 500 orang setiap tahunnya. VTE
dapat menyebabkan kematian melalui emboli paru (PE) atau
cacat yang signifikan melalui rasa sakit, edema, dan sindrom
pasca-trombotik, refluks sekunder pada vena yang telah
mengalami deep vein thrombosis (DVT). VTE terjadi pada
tingkat yang lebih tinggi selama periode pasca operasi karena
respon trombotik alami cedera dan mobilitas pasca-operasi yang
terbatas. Pasien dengan status tumor otak lebih memiliki risiko
yang lebih tinggi untuk mengalami VTE bila dibandingkan
dengan pasien dengan status kanker di tempat lain. Penelitian
telah menunjukkan bahwa faktor risiko yang telah diketahui
sebelumnya untuk VTE termasuk usia, jenis kelamin, etnis,
golongan darah, lama rawatan di rumah sakit, durasi operasi, dan
status koagulasi. Hingga saat ini beberapa tindakan profilaksis
standar untuk VTE diantaranya adalah pemberian antikoagulan
hingga profilaksis mekanik
Diagnosis
Tipe kanker VTE PE DVT
Otak 3,5 1,0 2,8
Myeloproliferative, other 2,9 * 2,5
lymphatic/hematopoetic
Lambung 2,7 0,7 2,3
3. Faktor risiko
Faktor risiko VTE sudah banyak dijelaskan dalam berbagai
literatur dan penelitian. Risiko yang paling sering dilaporkan
adalah usia. Pada tahun 1994, Kniffin dkk. melaporkan bahwa
insiden VTE per 1000 pasien dari usia 65 hingga 69 adalah 1,3
untuk PE dan 1,8 untuk DVT. Tingkat kejadian meningkat pada
usia 85-89, tingkat insiden pertahun adalah 2,8 dan 3,1, masing-
masing. Stein dkk (2014) menguatkan penelitian sebelumnya,
pasien yang berusia 30-39 tahun memiliki risiko DVT atau PE
dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang lebih
muda, sedangkan pasien 70 tahun atau lebih memiliki 18 hingga
28 kali lipat peningkatan risiko DVT atau PE dibandingkan
mereka yang berusia 20 hingga 29 tahun tahun. Penelitian lain
studi terpisah oleh Geerts dkk. melaporkan usia yang lebih tinggi
dari 40 tahun merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya
VTE. Faktor risiko lain terjadinya VTE adalah jenis kelamin,
etnis, rawatan di ICU pasca operasi, status koagulasi dan
golongan darah. Pada pasien kanker otak, beberapa faktor risiko
terjadinya VTE menjadi perhatian khusus. Banyak pasien kanker
sistem saraf pusat yang sudah menjalani operasi menderita hemi-
, para atau tetraparesis, baik akibat kanker sebelum operasi atau
akibat komplikasi pasca operasi yang dapat terjadi akibat
mobilisasi yang kurang. Penelitian lain juga melaporkan bahwa
pasien yang mendapatkan steroid, kemoterapi atau radiasi
menderita VTE jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang
tidak. Penelitian lainnya juga menunjukan bahwa tumor high
grade ( misalnya: glioma, oligodendrogliomas) lebih tinggi
terjadi VTE dibandingkan dengan tumor low grade (mis.,
meningioma, adenoma hipofisis).
4. Gambaran Klinis
Pasien dengan VTE mempunyai tanda dan gejala yang
beragam, bergantung dari lokasi terjadinya VTE (PE, DVT).
Umumnya pasien sering datang dengan keluhan nyeri dan
oedema pada extremitas yang terkena. Gejala lain lemah anggota
gerak, teraba masa, ekstremitas tampak merah dan hangat. Pada
kasus PE, gejala paling sering muncul adalah dypsneu, nyeri
pleura, batuk, hemoptisis dan palpitasi. VTE (terutama DVT)
kadang-kadang ditemukan pada pasien yang tanpa gejala. Untuk
DVT, USG ekstremitas atas dan bawah unutk mencari lokasi dan
gambaran embolus. Dalam kasus PE, teknik radiografi sering
digunakan termasuk CT scan dada dan V/Q scan.
5. Propilaksis
a. Kimiawi (Farmakologi)
Profilaksis farmakologi VTE paling sering dilakukan
pemberian heparin dosis rendah atau low molecular weight
heparin (LMWH) atau enoxaparin. Dalam meta-analisis pasien
bedah umum, Clagett et al. menunjukkan bahwa pemberian dosis
rendah heparin efektif dalam mencegah pembentukan DVT.
Penelitian lain, bagaimanapun, telah menunjukkan bahwa
kadang-kadang heparin tidak efektif dalam mencegah VTE. Pada
pasien bedah sarah, salah satu perhatian khusus setelah
pemberian heparin atau anti-koagulan lainnya adalah risiko
perdarahan intrakranial. Salah satu studi dilaporkan bahwa
peningkatan terjadinya perdarahan intrakranial pada pemberian
kemopropilaksis VTE pre-operasi.
b. Mekanik ( Non Farmakologi)
Intermittent pneumatic compression (IPC) dan stoking
kompresi adalah bentuk propilaksis non farmakologi yang
paling sering digunakan. Dalam penelitian meta-analisis yang
dilakukan oleh Vanek dkk, dilaporkan bahwa IPC menurunkan
risiko DVT 62% dibandingkan plasebo, 47% dibandingkan
stoking tekanan tinggi dan 48% dibandingkan LMWH. Pada
pasien bedah saraf, Turpie dkk. melaporkan insiden terjadinya
DVT yang menggunakan stocking 8,8 %, IPC : 9% dan 19,8%
pada kelompok yang tidak diterapi. Kurtoglu dkk. melaporkan
bahwa IPC lebih efektif dibandingkan LMWH pada profilaksis
pada trauma kepala dan tulang belakang. Seringkali DVT dan
Stocking kompresi dikombinasikan pada satu pasien. Meski
efektif mencegah DVT, Vanek dkk. melaporkan bahwa IPC dan
Stocking kompresi tidak memiliki efek pada proses terjadinya
Pulmonary Embolism (PE).
c. Kombinasi
7. Kesimpulan
Pencegahan VTE pada pasien tumor otak adalah hal yang
mungkin dilakukan. Pemilihan terapi yang tepat merupakan
pengobatan yang aman pada pasien yang berisiko tinggi VTE
pasca operasi. Tingkat kejadian VTE pada pasien pasca operasi
tumor otak dapat menurun secara signifikan dengan penggunaan
tromboprofilaksis kimia dan mekanis yang efektif.
References:
1. Libman R, Wirkowski E, Alvir J, Rao T. Conditions that
mimic stroke in the emergency department: Implications for
acute stroke stroke trials. Archives of Neurology. 1993; 52:
1119-1122.
2. Hand P, Kwan J, Lindley R, Dennis M, Wardlaw J.
Distinguishing between stroke and mimic at the bedside:
The brain attack study. Stroke. 2006; 37: 769-775.
3. Zinkstok S, Engelter S, Gensicke H, et al. Safety of
thrombolysis in stroke mimcs. Stroke. 2013; 44: 1080-1084.
4. Winkler D, Fluri F, Fuhr P, et al. Thrombolysis in stroke
mimics: Frequency, clinical characteristics and outcome.
Stroke. 2009; 40: 1522-1525.
Brain metastases are cancer cells that have spread to the brain
from primary tumors in other organs in the body. Metastatic
tumors are among the most common mass lesions in the brain
accounting for significantly more than one-half of brain tumors.
In adult patients with systemic malignancies, brain metastases
occur in 10 to 30 percent. The incidence of brain metastases may
be increasing, due to both improved detection of small metastases
by magnetic resonance imaging (MRI) and better control of extra
cerebral disease resulting from improved systemic therapy.
Metastases from systemic cancer can affect the brain
parenchyma, its covering, and the skull. The metastatic process
can be broadly divided into two main stages, the first being the
migration of tumor cells from their primary tumor environment
to various distant tissues and the second being the colonization
of these tumor cells in their new location. Underlying these two
main stages are a number of cellular hallmarks taking place
during the development and metastasis of human tumors. The
various molecular, genetic, and epigenetic changes that occur
define the multistep dissemination process of the tumor, also
known as the “metastatic cascade”. Medical treatments consist
of symptomatic and systematic treatments. Other options are
surgical treatments, radiation therapy, chemotherapy, combined
therapies and experimental therapies. Medical management of
I. Poster (P)
1
Bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2
Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Latar belakang : Migrain adalah nyeri kepala berulang dengan
serangan berlangsung selama 4 sampai 72 jam dengan
karakteristik lokasi unilateral, nyeri berdenyut (pulsating),
intensitas sedang sampai berat, diperberat oleh aktivitas fisik
rutin, dan berhubungan dengan mual dan atau fotofobia serta
fonofobia. Merokok merupakan salah satu faktor yang diduga
dapat meperberat nyeri kepala migraine. Mekanisme hubungan
merokok dengan migrain masih belum jelas. Beberapa
kemungkinan penyebabnya adalah merokok dapat mengaktivasi
monoamin di otak, menurunkan produksi nitric oxide, yang
akhirnya menyebabkan ketergantungan nikotin. Nikotin dapat
menyempitkan pembuluh darah di otak yang diduga menjadi
pemicu terjadinya migrain.
Tujuan : untuk menentukan hubungan merokok dengan derajat
disabilitas migrain.
Metode : Penelitian observasional analitik dengan desain cross
sectional, dilakukan terhadap 46 subyek dengan diagnosis
migraine dengan rentang usia 17-50 tahun. Diagnosis migrain
ditegakkan berdasarkan kriteria IHS, dan derajat disabilitas
migrain diukur menggunakan kuesioner MIDAS.
Hasil : Analisis korelasi bivariate dengan uji koefisien
kontingensi didapatkan nilai yang bermakna yaitu p=0,026 (<
The patient was admitted to ICU and treated cooling period and
antipyretic therapy, preventing recurrent convulsion,
administering fluids for volume expansion, vasopressor,
intravenous mannitol to overcome rhabdomyolysis, supporting
nutrition, oxygenation with mechanic ventilator, and
anticoagulant theraphy for eleven days. After sixteen days
hospitalization, the patient discharged good recovery (GOS 5)
1)
Residen Neurologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera
Utara/RSUP H. Adam Malik, Medan
2)
Staf Neurologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera
Utara/RSUP H. Adam Malik, Medan
Latar Belakang : Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV)
adalah gangguan vestibular yang paling sering dijumpai. Vertigo
sering dilaporkan terjadi bersamaan dengan beberapa kelainan
psikologis, seperti ansietas dan agorafibia panik. Penelitian ini
bertujuan menilai skor ansietas dan agorafobia sebelum dan
sesusah pelaksanaan manuver reposisi kanalith, yang merupakan
manuver terapi untuk BPPV.
Metode: : Penelitian ini merupakan studi analitik dengan desain
kohort. Sebanyak 37 orang pasien diambil menjadi sampel
penelitian, dengan teknik consecutive sampling. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
manuver Dix-Hallpike. Sampel kemudian diminta untuk mengisi
kuesioner Beck Anxiety Inventory (BAI) dan Agorafobia Panik
(PA) sebelum dilakukan manuver Epley, hari ke-7 setelah, dan
hari ke-14 setelah dilakukan manuver Epley.
Hasil: Skor BAI sebelum manuver Epley, hari ke-7 setelah, dan
hari ke-14 setelah manuver Epley adalah 33,97 ± 12,4; 21,24 ±
7,284; 22,97 ± 9,713. Skor PA sebelum manuver Epley, hari ke-
7 setelah, dan hari ke-14 setelah manuver Epley adalah 25,92 ±
7,496; 21,24 ± 7,284; 16,05 ± 6,742. Nilai BAI dan PA sebelum
dibandingkan dengan hari ke-7 dan hari ke-14 setelah manuver
ABSTRAK
Kesimpulan : On progress
Hasil : On progress
Kesimpulan : On progress
Kata Kunci : Komplikasi, profil morbiditas, postoperatif,
tumor otak
Hasil: On progress
Kesimpulan : On progress
Kata Kunci : Tumor otak, kualitas hidup
Abstrak
Latar Belakang: Stenosis arteri intrakranial bermanifestasi
dalam berbagai kondisi, mulai dari asimptomatik hingga stroke
iskemik. Salah satu modalitas diagnostik untuk mengevaluasi
gambaran stenosis tersebut adalah carotid duplex. Terdapatnya
plak pada stenosis arteri intrakranial mempengaruhi kejadian
stroke iskemik. Namun masih belum jelas hubungan antara
morfologi plak pada stenosis arteri intrakranial dengan kejadian
stroke iskemik.
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik dengan desain
kohort yang dilakukan pada 20 orang sampel pada bulan Januari
hingga September 2018 di RSUP DR. M. Djamil, Padang.
Kriteria inklusi sampel adalah pasien yang telah didiagnosis
stenosis arteri intrakranial dengan plak dari pemeriksaan carotid
duplex, dan kriteria eksklusi adalah pasien yang tidak datang
kontrol atau tidak bisa dihubungi. Analisis data menggunakan
perangkat lunak SPSS V.22, dan hubungan antar variable diuji
dengan uji chi-square. Hasil dianggap bermakna secara statistik
jika nilai p<0,05.
Hasil: Sebanyak 12 orang (60%) sampel adalah perempuan dan
8 orang (40%) adalah laki-laki. Median umur sampel adalah 56
tahun (37-71 tahun). Morfologi plak berupa plak nonulcerated
CONCLUSION :
INTRODUCTION
Brain tumours are commonly associated with neurological
manifestations. However it is not common for these tumours to
present with neurobehavioral changes in the absence of any focal
neurological deficits. Neurobehavioral symptom can be the first
presenting feature of brain tumors.
CASE PRESENTATION
DISCUSSION
CONCLUSSION
1
Residen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala
2
Staf Pengajar Anatomi Histologi, Fakultas Kedokteran,
Univeritas Syiah Kuala
3
Staf Pengajar Neurologi, Fakultas Kedokteran, Universitas
Syiah Kuala
Laporan Kasus:
Perempuan, 13 tahun, pandangan kabur sejak 1 tahun,
dan 5 bulan terakhir pasien hanya dapat melihat bayangan .Nyeri
kepala kronis progresif dalam 2 tahun. TD: 110/70 mmHg, Nadi
80 x/menit, RR: 20 x/ menit, suhu 36,5˚C. NRS : 6. Pada
pemeriksaan: makrochepali,lingkar kepala 56 cm. GCS 15. Visus
ODS (1/~). Pupil 6 mm bilateral, reflex cahaya menurun, kesan
lesi nervus II,parese N III bilateral, dijumpai nistagmus.
Pemeriksaan funduskopi papil atrofi bilateral. Hasil CT scan
Kepala non kontras terdapat Massa solid kistik
difrontotemporal sinistra dengan edema luas disekitarnya serta
herniasi subfalcin ke kanan, pada CT kepala kontras tampak
kontras enhancement abnormal didaerah lesi yang heterogen
dengan ukuran 5,2x8,65x7,96 cm. Pasien menjalani operasi
partial craniotomy, dilakukan pemeriksaan patologi anatomi