You are on page 1of 23

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No.

_, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

Efektivitas Penyampaian Ajaran Tasawuf Melalui Nazam (Tinjauan Komunikasi


Atas Kitab Al-Ni’am Alaa Nazmil Hikam Karya Syeikh Abdul Wahib ibn
Hudzaifah)

Miftahul Arifin
Fakultas Syariah dan Ushuluddin Universitas Islam Zainul Hasan Genggong Probolinggo
e-mail: m42arivin@gmail.com

Abstract
This article is on the outlines efectiveness of nazam/poem to convey the message that
focused on the book Anniam Alaa Nazmil Hikam (syarah book of al-Hikam Ibnu
Atha'illah) by Syeikh Abdul Wahid bin Hudzaifah (Kiai Wahid) cleric as well as
Murshid Tarekat Naqsabandiyah Ahmadiyah Mudhzariyah Gersempal Sampang. By
using a socio-historical approach, this article identifies the extent of Nazam/poem as a
package conveying the teachings of the sufism. The research result show that the
exposure of sufism through Nazam is effective because Nazam can be read using the
song or the tone desired by reader. morever, the poetic tradition is an inseparable part
of the life of the Madura society which has been going on for a long  time. The
effectiveness is also supported by Kiai Wahid's capabilities as an influential and
experienced. According to Wilbur Schramm theory that communication effectiveness is
influenced by at least two things. First, field of experience. Secondly frame of reference.
The greater the circle of similarity between the source and the recipient of the two
things above that communication will be easy and effectiveness. In the aspect of
religious ideology, the ideology of Kiai Wahid is conformable with the religious
ideology of the Madura society in general.
Keywords: Sufism, Effectiveness, nazam, al-Ni’am
Abstrak
Artikel ini menguraikan efektivitas nazam/syair dalam menyampaikan pesan yang
difokuskan pada Kitab Anniam Alaa Nazmil Hikam (syarah atas al-Hikam Ibnu
Atha’illah) karya Syeikh Abdul Wahid bin Hudzaifah (Kiai Wahid) sebagai ulama
sekaligus Mursyid Tarekat Naqsabandiyah Ahmadiyah Mudhzariyah Gersempal
Sampang. Dengan menggunakan pendekatan sosio-histrosis, artikel ini
mengidentifikasi sejauh mana nazam/syair sebagai kemasan menyampaikan ajran-
ajaran tasawuf. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyampaian ajaran tasawuf
melalui nazam sangat efektif karena naẓam dapat dibaca menggunakan lagu atau nada
sesuai yang diinginkan pembaca. Selain itu, tradisi bersyair merupakan bagian yang
tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Madura yang sudah berlangsung
sejak lama, bahkan sampai sekarang. Efektivitas juga didukung oleh kapabilitas Kiai
Wahid sebagai ulama yang berpengaruh sekaligus berpengalaman. Meminjam teori
Wilbur Schramm bahwa efektivitas komunikasi setidaknya dipengaruhi oleh dua hal.
Pertama, bidang pengalaman. Kedua, kerangka rujukan. Semakin besar lingkaran
kesamaan antara sumber dan penerima atas dua hal di atas maka komunikasi akan
At-Turost: Journal of Islamic Studies 1
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No._, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

mudah dilakukan dan efektivitas komunikasi akan tercapai. Dalam aspek ideologi
keagamaan, ideologi Kiai Wahid sejalan dengan ideologi keagamaan masyarakat
Madura secara umum.

Kata Kunci: Tasawuf, Efektivitas, Nazam, al-Ni’am

PENDAHULUAN
Arus globalisasi yang semakin lama dirasa menggerogoti nilai spritualitas telah
membuat dunia tasawuf mengalami peningkatan. Tingginya spritualitas keimanan
menjadi penanda dari maraknya kajian tasawuf yang mengalami perkembangan pesat
(Alwi Shihab, 2009: ix). Tasawuf pada dasarnya adalah ajaran penyempurna dalam
spiritualitas Islam. Ia merupakan aktualisasi ihsan, satu dari tiga pilar penting dalam
Islam. Dimulai dari dimensi pertama berupa syariah, kedua aqidah dan ketiga adalah
ihsan. Ihsan merupakan sikap dan perilaku dari seseorang yang benar-benar menghamba
kepada Tuhannya dengan segala bentuk budi pekerti luhur terhadap sesama manusia
dan sesama makhluk Tuhan. Penghambaan ini kemudian mengantarkan seseorang pada
sebuah jalan yang disebut tasawuf (Ahmad Syafi’i Mufid, 2006: 3).
Ajaran tasawuf yang melekat sebagai citra dasar manusia itu telah membumi
tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia tak terkecuali di Madura. Bahkan tasawuf
telah memiliki peran yang cukup dominan dan telah berlangsung sejak proses islamisasi
di Nusantara. Madura menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dari proses tersebut.
Keberhasilan proses Islamisasi di Madura tikda terpisahkan dari sejarah Islamisasi Jawa
(Thomas Stamford Raffles, 2008: 470) yang berlangsung Abad ke-13 M di pulau
Sapudi. Kemudian menyebar ke Desa Mandaraga, Keles, Bukabu, Ambunten, Banasare,
Bragung, Guluk-guluk, Proppo, Sampang, Pameling (sekarang Pamekasan) dan
Bangkalan pada abat ke-15-17 M. Ada yang menyebutkan bahwa keberhasilan proses
islamisasi di Madura diawali Ali Musada (Ali Murthadha) adik dari Ali Rahmatullah
atau Sunan Ampel (Abdurrachman, 1971: 17). Jika mengacu pada sejumlah yang
menyebutkan bahwa Islam masuk Nusantara bercorak tasawuf, maka dapat dikatakan
bahwa tasawuf di Madura telah hidup sejak awal-awal Islam masuk ke Nusantara.
Pada perkembangan selanjutnya, tasawuf di Madura tidak bisa dilepaskan dari
peran para tokohnya yang memiliki jaringan intelektual dan kekerabatan dengan para
wali songo serta jaringan ulama Timur Tengah yang telah berlangsung selama berabad-
abad. Melalui lembaga pesantren, jaringan intelektual ulama Nusantara membumikan

At-Turost: Journal of Islamic Studies 2


At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No._, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

tasawuf sehingga tasawuf terus tumbuh subur di tengah-tengah kehidupan masyarakat.


Beberapa ulama yang menyuburkan tasawuf antara lain Syaikh Ahmad Khatib
Syambas, Syaikh Nawawi Banten, Syaikh Mahfud Termas, Syaikh Abdul Karim,
Syaikh Kholil Bangkalan, dan Syaikh Hasyim Asy’ari (Mohammad Takdir, 2016: 270-
299). Bersamaan dengan itu, sejumlah karya-karya berbahasa Arab diterjemahkan ke
dalam bahasa lokal, diberi syarah dan komentar. Kitab-kitab tersebut menjadi sarana
pengajaran agama kepada santri dan masyarakat. Yang penting untuk dicatat bahwa
proses pengajaran yang dilakukan para ulama selalu mengedepankan aspek lokalitas
sehingga ajaran-ajaran tasawuf bisa ditransfer dan dipahami dengan mudah.
Salah satu ulama madura yang memainkan peran dan memiliki kontribusi penting
dalam pengajaran tasawuf di Madura adalah Syeikh ‘Abdul Wahid bin Hudzaifah,
ulama sekaligus Musrsyid ke-45 Tarekat Naqsabandiyah Ahmadiyah Muzhairiyah
Ghersempal Sampang. Dia juga dikenal sebagai ulama yang cukup produktif mengarang
kitab. Salah satu kitabnya terkenal dan masih dipakai sampai sekarang adalah Al-Ni’am
‘Alaa Nazmil Hikam Lii Syeikh Ibnu Atha’illah. Kitab tersebut merupakan kitab syarah
atau komentar atas Kitab Al-Hikam al-Athaiyyah karya Ibnu Atha’illah as-Sakandari
(648 H/1250 M-1309 M). Kitab al-Ni’am ditulis menggunakan arab pegon berbahasa
Madura. Berbeda dengan syarah al-Hikam yang ditulis Kiai Sholeh Darat, Syeikh Abdul
Wahid bin Hudzaifah terlebih dahulu mengubah prosa al-Hikam ke dalam bentuk
nazam. Baru kemudian diberi makna harfiah yang diikuti penjelasan-penjelasan ringkas
hampir di seluruh bait-bait nazam.
Zainol Hasan (2019), salah satu Pengurus PCNU Pamekasan dalam artikelnya
berjudul “Mengenal Kitab al-Ni’am, Karya Kiai Abdul Wahid Hudzaifah PP Darul
Ulum Nangger Sempal Omben Sampang” memberikan komentar bahwa al-Ni’am
merupakan syarah al-Hikam pertama kali yang menggunakan bahasa Madura.
Penggunaan Bahasa Madura dalam Kitab al-Ni’am tentu tidak bisa lepas dari kontek
sosial dimana kitab tersebut ditulis. Dengan Bahasa Madura, Syeikh Abdul Wahid ingin
agar untaian hikmah Ibnu Atha’illah bisa dipahami dengan mudah oleh masyarakat
Madura. Yang tak kalah penting adalah proses perubahan dari aforisme-aforisme al-
Hikam menjadi nazam-nazam. Pesan-pesan yang disampaikan melalui nazam memiliki
kesan tersendiri di tangan para pembacanya.

At-Turost: Journal of Islamic Studies 3


At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No._, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

Artikel ini mengungkap lebih jauh kitab tersebut dalam perspektif komunikasi,
yaitu bagaimana keefektivan kitab yang dikarang Syeikh Abdul Wahid Ibn Hudzaifah
tersebut. Dengan hal tersebut, penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat berupa
pemahaman utuh tentang cara Syeikh Abdul Wahid dalam menyampaikan ajaran-ajaran
tasawuf kepada para santrinya dan juga masyarakat Madura secara umum.
Sejauh ini, kajian akademik terhadap Kitab al-Ni’am Syeikh Abdul Wahid bin
Hudzaifah belum banyak dilakukan para akademisi, baik di Madura maupun di luar
Madura. Para sarjana atau calon sarjana di Jawa Timur khususnya Madura sejauh ini
masih lebih banyak terfokus pada Tarekat Naqsabandiyah Ahmadiyah Muzhairiyah
Ghersempal Sampang yang pernah berada di bawah kepemimpinan Kiai Wahid.
Dengan demikian, penelitian terhadap Kitab al-Ni’am ini termasuk penelitian baru atau
dapat dikatakan baru pertama kalinya dilakukan. Oleh karena itu, dalam kajian
kepustakaan ini hanya akan dipaparkan beberapa penelitian terdahulu yang dianggap
masih berkaitan, baik dengan aliran tarekat Syeikh Abdul Wahid maupun Kitab syarah
atas Kitab al-Hikam.
1. Penelitian Dian Kartika Sari 2016 di UIN Sunan Ampel Surabaya berjuul “Se-
jarah Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Muzhariyah Di Desa
Gersempal Kecamatan Omben Madura Tahun 1964 – 2015 M”. Dalam peneli-
tian tersebut Dian mengungkap sejarah awal berdirinya Tarekat Naqsyabandiyah
Ahmadiyah Muzhariyah di Desa Gersempal dan bagaimana perkembangan
Tarekat tersebut hingga tahun 2015.
2. Penelitian M Sholeh Hoddin dalam Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Is-
lam 2012 berjudul "Konsep Taubat Tarekat Naqsabandiyah Muzhariyah. Kajian
M. Sholeh mengungkap tentang bagaimana pandangan pengikut Tarekat
Naqsabandiyah Muzhariyah tentang taubat.
3. Penelitian Muhammad Sholeh Hoddin 2009 di IAIN Sunan Ampel Surabaya
berjudul “Implikasi Taubat Terhadap Pembentukan Kepribadian Muslim: Studi
Terhadap Penganut Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah di Desa Gersempal
Kecamatan Omben Kabupaten Sampang Madura Jawa Timur”. Dalam penelitian
tersebut Sholeh mengungkap tiga masalah, yakni pertama bagaimana konsep
taubat dalam Tarekat Muzhariyah, kemudian implikasi dari taubat terhadap

At-Turost: Journal of Islamic Studies 4


At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No._, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

proses pembentukan pribadi umat muslim, dan seberapa besar implikasi taubat
terhadap pembentukan kepribadian muslim.

TEORI EFEKTIVITAS KOMUNIKASI


Efektivitas secara umum diartikan dengan sampai seberapa jauh tercapainya suatu
tujuan yang sudah terlebih dahulu ditentukan. Pengertian ini sebagaimana dikemukakan
oleh Hidayat, ia menyatakan bahwa evektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan
seberapa jauh target, baik secara kualias, kuantitas, maupun waktu telah tercapai.
Semakin besar prensentase target yang dicapai, maka semakin tinggi efektivitasnya
(Hidayat, 1986: 41). Sedangkan menurut Emerson, dikutip Handyadiningrat,
effectivines is measuring in term of prescribed goals of objectivers. Efektivitas adalah
pengukuran dalam arti tercapainya sasaran yang telah ditentukan sebelumnya
(Handyadinigrat, 1980: 16).
Sedangkan pengertian komunikasi, jika mengacu pada Jenis & Kelly
menyebutkan bahwa komunikasi adalah suatu proses melalui mana seseorang
(komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan
tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang lainnya (khalayak). Tak jauh berbeda
dengan yang disampaikan Berelson & Stainer bahwa komunikasi adalah suatu proses
penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian, dan lain-lain. Melalui penggunaan
simbol-simbol seperti kata-kata, gambar-gambar, angka-angka, dan lain-lain (Dani
Vardiyansyah, 2008: 25-26).
Dengan demikian, jika efektivitas dihubungkan dengan komunikasi maka dapat
dimengerti bahwa yang dimaksud efektivitas komunikasi adalah seberapa jauh atau
seberapa lama pencapaian target untuk menyampaikan suatu pernyataan atau pesan oleh
seseorang kepada orang lain (Rany An Nisaa Syabrina, 2017: 2). Stewart L. Tubbs dan
Sylavia Moss menyatakan bahwa komunikasi yang efektif ditandai dengan adanya
pengertian, dapat menimbulkan kesenangan, mempengaruhi sikap, meningkatkan
hubungan sosial yang baik, dan pada akhirnya menimbulkan suatu tindakan (Rani An
Nisaa, 2017: 3).
Meminjam Wilbur Schramm, efektivitas dalam komunikasi setidaknya
dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, bidang pengalaman. Kedua, kerangka rujukan.
Semakin besar lingkaran kesamaan antara sumber dan penerima atas dua hal di atas

At-Turost: Journal of Islamic Studies 5


At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No._, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

maka komunikasi akan mudah dilakukan dan efektivitas komunikasi akan tercapai.
Akan tetapi bila lingkaran kesamaan antara bidang pengalaman dan kerangka rujukan
sumber dengan penerima tidak bertemu maka komunikasi tidak mungkin berlangsung
karena pengalaman sumber dan penerima sangat jauh berbeda sehingga akan sulit
menyampaikan makna kepada yang lainnya (Rany An Nisaa, 2017: 3). Untuk
mengetahui sejauh mana komunikasi dapat dikatakan efektif, maka dapat diukur melalui
enam dimensi, yaitu penerima komunikasi, isi pesan, ketepatan waktu, saluran atau
media, format atau bentuk kemasan pesan, dan sumber (Cahyana, 1996: 192).

EFEKTIVITAS PENYAMPAIN KITAB AL-NI’AM SYEIKH ABDUL WAHID IBN


HUDZAIFAH
a. Biografi Syeikh Abdul Wahid Hudzaifah
1. Riwayat Hidup
Syeikh Abdul Wahid bin Hudzaifah al-Furjani atau yang sering dipanggil Kiai
Wahid merupakan mursyid ke-45 Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Mudzhariyah
Sampang yang sekarang terkenal dengan Naqsyabandiyah Gersempal dan Pendiri
Pondok Pesantren Darul Ulum, Gersempal Omben, Sampang (Website Resmi Tarekat
Naqsabadiyah Ahmadiah Mudzhariyah: 2015). Kata "al-furjani" di belakang nama Kiai
Wahid dinisbatkan kepada Desa Prajjan, Camplong, Sampang, desa tempat kelahiran
Kiai Wahid. Kata “al-furjani” sudah di kenal di negeri Arab, khususnya oleh ulama
Arab.
Kiai Wahid lahir di Desa Prajjan, Campong, Sampang tahun 1929, tepatnya di
Pondok Pesantren Langgar Genting Desa Prajjan, Camplong, Sampang. Ayahnya
bernama KH. Ahmad Khudzaifah Qs. bin KH. Banu Rahmat dan ibunya bernama Nyai
Hj Rahbiyah binti KH. Zainal Abidin. KH. Zainal Abidin merupakan Saudara dari KH.
Ahmad Syabrowi dan Nyai Aisyah. Ketiganya merupakan seorang mursyid dan
mursyidah Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Mudzhariyah.
Kiai Wahid mempunyai nasab yang bersambung kepada Nabi Muhammad saw.
Sambungan nasab Kiai Wahid melalui jalur Sayyid Muhammad Ainul Yaqin atau
Sunan Giri. Salah satu jalur dari KHR. Ahmad Hudzaifah Qs bin KHR. Banu Rahmat
Qs. Bin KHR. Haaibin Qs bin KHR. Ruba'ah Qs bin KHR. Amir Ruwasyi Qs bin KHR.
Abu Syujaa' Qs bin Nyai Hj. Syaibah Qs binti Syaikhona Abdul Allam Qs Prajjan. Dari

At-Turost: Journal of Islamic Studies 6


At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No._, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

jalur lain bisa dirunut dari Syaikhona Abdul Allam Qs sebagai berikut: KHR. Abdul
Wahid Qs. Bin KHR. Ahmad Hudzaifah Qs. Bin Nyai Hj aisyah (istri KHR. Banu
Rahmat) binti KHR. Alimuddin bin KHR. Shofyan bin KHR. Su'adi bin KHR. Masajid
bin KHR. Abdul Kamal bin Syaikhona Abdul Allam. Dari Syeikh Abdul Allam inilah
nasab Kiai Wahid nyambung ke Sunan Giri melalui jalur Syaikhona Abdul Allam
Prajjan RA bin Syekh Khotib (sawunggaling pangratoh bumi) RA bin Sayyidah Nyai
Tambujung RA binti Sayyid Astamina RA bin Sayyid Hafifuddin (kiyai kabu kabu) RA
bin Sayyidah Nyai Keddi Kakettel RA binti Sayyid Tamsyi (pangeran kulon) RA bin
Sayyid Muhammad Ainul Yaqin/ Raden Paku (Sunan Giri) RA bin Maulana Ishaq RA
(Website Resmi Tarekat Naqsabadiyah Ahmadiah Mudzhariyah: 2015).
Kelahiran Kiai Wahid di masa-masa penjajahan membuat masa-masa kecilnya
sempat mengalami situasi sulit khususnya dalam hal ekonomi. Di masa-masa kecilnya,
Kiai Wahid hanya pernah makan seiris kelapa sebesar jari dengan gula jawa. Terkadang
juga hanya makan segenggam buggul (madura: makanan yang terbuat dari gaplek yang
di tumbuk). Pakaian Kiai Wahid terbuat dari katun kasar yang hampir sama dengan
karung goni, dan itu pun sangat terbatas. Bahkan jika pakaian yang dipakainya kotor,
maka Kiai Wahid kecil mencucinya sambil mandi di sumber air dan beliau berendam
hingga bajunya kering dan bisa dipakai lagi.
Meski demikian, masa kecil Kiai Wahid sudah terbiasa dengan lingkungan yang
taat beragama dan budaya pesantren. Inilah yang kelak turut menjadi bekal keilmuannya
di bidang agama. Menginjak usia 6 tahun, Kiai Wahid lebih banyak menghabiskan
hidupnya di pesantren hingga akhirnya menikah pada tahun 1954 dengan Nyai Hj.
Syafiah, seorang perempuan yang tak lain cucu KH. Sirojuddin, Pengasuh Pesantren
Miftahul Ulum Bettet Pamekasan, tempat Kiai Wahid menuntut ilmu. Kiai Wahid
dinikahkan langsung oleh KH. Sirojuddin. Setelah pernikahan itu, Kiai Wahid diberi
kepercayaan untuk mengajar di Pesantren Miftahul Ulum Bettet selama dua tahun.
Setelah itu, Kiai Wahid pindah ke Pesantren Al-Bustan Sumber Papan di
Larangan Badung, Pamekasan bersama istirnya. Di sana Kiai Wahid melanjutkan
pesantren ayahnya, KH. Khudzaifah bin KH. Banu Rahmat. Sejak itu, selain mengajar
di pesantren, Kiai Wahid mulai aktif berdakwah ke kampung-kampung. Masa ini
berlangsung sekitar tiga tahun hingga tahun 1959. Kiai Wahid kemudian pindah ke
Desa Gersempal, Kecamatan Omben, Sampang. Perpindahan Kiai Wahid dari

At-Turost: Journal of Islamic Studies 7


At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No._, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

Pamekasan ke Sampang berdasarkan saran para kiai dan permintaan tokoh masyarakat.
Sosoknya Kiai Wahid dibutuhkan masyarakat Omben untuk mengajarkan agama
(Website Resmi Tarekat Naqsabadiyah Ahmadiah Mudzhariyah: 2015).
Desa Gersempal, Omben, Sampang memainkan peran penting dalam kehidupan
Kiai Wahid. Sejak kedatangannya ke Gersempal, Kiai Wahid langsung mengajarkan
ilmu agama kepada masyarakat dengan mendirikan majelis taklim yang saat itu dikenal
dengan istilah Tabligh Jam’iyah. Santri yang belajar agama kepada Kiai Wahid awalnya
hanya 20 orang. Namun lambat laun terus bertambah hingga 400 santri. Seiring
berjalannya waktu, Tabligh Jam’iyyah Kiai Wahid berubah menjadi pondok pesantren
yang diberi nama Darul Ulum berdasarkan saran gurunya. Selain itu, Kiai Wahid tidak
hanya fokus mengembangkan pesantren dan mengajar agama kepada santri. Kiai Wahid
kembali berdakwah di tengah-tengah masyarakat kampung, bahkan hingga ke luar
Madura (Website Resmi Tarekat Naqsabadiyah Ahmadiah Mudzhariyah: 2015).
Kegiatan dakwah Kiai Wahid semakin intensif setelah dirinya juga aktif di NU
pada 1962. Di NU, Kiai Wahid aktif di kegiatan bahtsul masail dan dinilai cukup
piawai dalam memecahkan persoalan yang dialami masyarakat. Semua permasalahan
status hukum dalam ajaran Islam yang muncul di tengah-tengah masyarakat dikupas
tuntas dan dicarikan solusinya oleh Kiai Wahid. Hal ini cukup beralasan, dibuktikan
dengan puncak karir Kiai Wahid di NU, Kiai Wahid menjadi Rois Syuriyah PCNU
Sampang pada 1980 (Zainol Hasan, 2019).
Kiai Wahid dikaruniai tiga orang anak yang kelak ketiganya menjadi pengasuh
pondok pesantren di Gersempal, yaitu Nyai Hj. Salimah, pengasuh Pondok Pesantren
Nahdlatul Tullab Taman Anom, KH. Syafiuddin, pengasuh Pondok Pesantren Darul
Ulum, dan KH. Ahmad Jakfar, pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum II Al-
Wahidiyah. Kiai Wahid meninggal dan dimakamkan di Gersempal tahun 1411 H/1990
M dengan meninggalkan seorang istri, Nyai Hj. Syafi'ah Mansur seorang putri, Nyai Hj.
Salimah, dan dua orang putra, KH. Syafi'uddin, dan KH. Ahmad Ja'far. Setelah Kiai
Wahid meninggal, pesantren dan dakwahnya dilanjutkan KH. Syafiuddin. Kiai Wahid
juga mengangkat putranya KH. Ahmad Ja’far sebagai mursyid ke-46 Tarekat
Naqsyabandiyah Ahmadiyah Mudzhariyah (Website Resmi Tarekat Naqsabadiyah
Ahmadiah Mudzhariyah: 2015).

At-Turost: Journal of Islamic Studies 8


At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No._, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

2. Riwayat Pendidikan
Lingkungan keluarga sangat berpengaruh dalam kehidupan dan keilmuan Kiai
Wahid. Sejak kecil, Kiai Wahid hidup di lingkungan yang taat beragama dan budaya
pesantren. Lingkungan tersebut tentu saja memiliki pengaruh besar dalam perjalannya
memperdalam ilmu agama. Namun secara formal, perjalanan Kiai Wahid memperdalam
ilmu agama dimulai sejak berusia 6 tahun, yakni saat Kiai Wahid nyantri di Pesantren
Prajjan, Camplong, Sampang. Hal ini tidak lepas dari peran Ibu Kiai Wahid, Nyai Hj.
Salimah, yang masih menjadi bagian dari keluarga besar Pondok Pesantren di Prajjan.
Di pesantren kakeknya inilah Kiai Wahid mulai belajar ilmu agama, utamanya ilmu alat
seperti ilmu Nahwu, Shorof, Bahasa Arab, dan ilmu lainnya. Bahasa Arab dipalajarinya
dari Syeikh Ahmad Mudhar. Sedangkan ilmu Nahwu dan Sorrof belajar kepada Kiai
Syamlawi (Website Resmi Tarekat Naqsabadiyah Ahmadiah Mudzhariyah: 2015).
Selanjutnya, pada usia 17 tahun, Kiai Wahid nyatri di Pondok Pesantren Miftahul
Ulum Bettet, Pamekasan selama 8 tahun. Di pesantren ini, semangat belajar agama Kiai
Wahid terus tumbuh, khususnya di dalam ilmu Nahwu. Bahkan di usia 20 tahun, Kiai
Wahid telah mengarang Kitab Bustanus Subban, yakni kitab nahwu dengan syair seribu
bait yang kemudian di perpendek menjadi Kitab Iqomatul Abniyyah (Sorrof).
Kemudian pada 1963, Kiai Wahid Wahid memperdalam ilmu Tarekat Naqsyabandiyah
kepada gurunya KH Ali Wafa Muharror di Kecamatan Ambunten, Sumenep hingga
sehingga Kiai Wahid tidak setiap hari ke Sumenep. Melainkan hanya sepekan sekali
karena masih harus mengajar santri di Pesantren Darul Ulum dan mengisi pengajian
(Website Resmi Tarekat Naqsabadiyah Ahmadiah Mudzhariyah: 2015).
3. Kiai Wahid dan Terekat
Tahun 1963, Kiai Wahid memperdalam ilmu Tarekat Naqsyabandiyah
Ahmadiyah Mudhzhariyah kepada KH Ali Wafa Muharror di Kecamatan Ambunten,
Sumenep. Namun, Kiai Wahid tidak setiap hari ke Sumenep. Melainkan hanya sepekan
sekali karena masih harus mengajar santri di Pesantren Darul Ulum dan mengisi
pengajian. Kiai Wahid diangkat menjadi mursyid setelah empat tahun bergabung
dengan Tarekat Naqsabndiyah Ahmadiyah Mudhzariyah. Pengangkatan Kiai Wahid
dilakukan oleh Kiai Ali Wafa berlangsung setelah Subuh pada Hari Jum’at Tanggal 13
Maret 1964 M/28 Syawal 1383 H. Pengangkatan mursyid disaksikan Kiai Abdul Kholik

At-Turost: Journal of Islamic Studies 9


At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No._, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

atau yang tak lain putra Kiai Ali Wafa dan ratusan santri Kiai Ali Wafa yang waktu itu
datang dari berbagai daerah (Dian Kartika Sari, 2016: 45).
Kiai Wahid menjadi salah satu murid paling terkemuka. Nama Kiai Wahid
semakin berpengaruh dalam Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Madzhariyah setelah
gurunya, Kiai Ali Wafa, meninggal pada 1976. Banyak orang berbaiat kepada Kiai
Wahid. Masa-masa ini sekaligus menandai perpindahan pusat Tarekat Naqsyabandiyah
Ahmadiyah Madzhariyah dari Ambunten Sumenep ke Desa Gersempal Sampang.
Sebenarnya Kiai Ali Wafa telah mengangkat dua orang mursyid di Sumenep, yaitu Kiai
Jamaluddin dari Gading Sumenep dan Kiai Jazuli dari Dasuk. Namun, keduanya
meninggal tak lama setelah mendapat ijazah kemursyidan. Sebab itu, putuslah silsilah
kemursyidan di Sumenep dan Kiai Wahid menjadi mursyid ke-45 tarekat ini (Dia
Kartika Sari, 2016: 46).
Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Madzhariyah merupakan salah satu cabang
dari Tarekat Naqsabandiyah yang namanya dinisbatkan kepada Syekh Maulana
Muhammad Mudzar Al Ahmadi (w. 1884) dari Madinah. Syeikh Mudzar merupakan
seorang terpelajar dalam ilmu agama dan tasawuf dan dikagumi para pelajar dari
wilayah lain, seperti Daghistan, India, Afrika, Yaman, Damaskus, Kurdistan,
Afghanistan, serta Mesir. Syeikh Mudzhar wafat tahun 1884. Namun, sebelum itu dia
sempat mengangkat sejumlah khalifah. Salah satunya, Syeikh Abdul Hamid As-
Syirwani dan Syeikh Muhammad Shalih Al-Zawawi. Melalui Syeikh Muhammad
Shalih Al-Zawawi, Tarekat Nasyabandiyah Ahmadiyah Muzhariyah masuk ke
Indonesia dan disebarkan muridnya dari Madura dan Riau. Tarekat ini terus
berpengaruh di seluruh wilayah di Indonesia seperti Kalimantan Barat khususnya
Pontianak, Riau, dan Madura dan mendapatkan banyak pengikut dari berbagai kalangan
hingga sekarang (Muhammad Karim & Hana Sahira Claudiana, 2012).
Di Madura, Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Muzhariyah sudah ada sejak
sejak akhir abad ke-19. Para pengikutnya saat itu tidak mempunyai hubungan langsung
dengan tarekat di Jawa. Tarekat ini mengikuti cabang lain yang dibawa Syekh Abdul
Adzim Bangkalan (w.1335/1916). Syeikh Abdul Adzim merupakan seseorang ulama
yang lama bermukim di Mekkah dan menjadi khalifah langsung Syeikh Muhammad
Shalih Al-Zawawi Al-Maqdi. Syeikh Abdul Adzim kemudian mengajarkan tarekat ini
kepada orang-orang Madura yang menunaikan ibadah haji dan tinggal sebentar di kota

At-Turost: Journal of Islamic Studies 10


At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No._, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

suci Mekah dan Madinah (Martin Van Brunessen, 1992: 69). Dari Syekh Abdul Adzim
inilah Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Muzhariyah masuk dan berkembang di
Madura.
Syeikh Abdul Adzim menjadi tokoh sentral pembawa tarekat ini dan mengajarkan
kepada murid-muridnya di Madura. Syeikh Abdul Adzim memiliki tiga orang murid
yaitu Syeikh Muhammad Sholeh dari Toket Pamekasan, Syeikh Zainal Abidin dari
Kwanyar Bangkalan, dan Syeikh Hasan Basuni dari Pakong Galis Bangkalan. Masing-
masing dari murid Syeikh Abdul Adzim memiliki seorang murid bernama Syekh
Ahmad Jazuli dari Tengkinah Pamekasan, Syekh Ahmad Syabrowi dari Al-furjani
Sampang, dan Syeikh Ahmad Sirajuddin dari Kaju, Sampang. Kemudian Syeikh Ahmad
Syabrowi Sampang memiliki seorang murid bernama Syeikh Hudzaifah dari
Sumberpapan Pamekasan. Syeikh Hudzaifah memiliki seorang murid bernama Syeikh
Ali Wafa dari Ambunten Sumenep. Namun, Syeikh Ali Wafa juga berguru kepada
Syeikh Ahmad Jazuli dari Pamekasan dan Syekh Ahmad Sirajuddin dari Sampang.
Syeikh Jazuli tidak sempat mengangkat Syeikh Ali Wafa sebagai khalifah meninggal
terlebih dahulu. Syeikh Ali Wafa kemudian diangkat menjadi khalifah oleh dua
gurunya, yaitu Syeikh Hudzaifah dan Syeikh Ahmad Sirajuddin. Syeikh Ali Wafa
memiliki tujuh orang khalifah yang salah satunya adalah Syeikh Abdul Wahid
Hudzaifah atau Kiai Wahid (Dian Kartika Sari, 2016: 28-40).
Kiai Wahid meneruskan penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah
Madzhariyah ke sejumlah daerah dan pulau-pulau kecil di Madura hingga Desa
Gersempal Sampang menjadi pusat terbesar tarekat ini. Selama bertahun-tahun Kiai
Wahid melakukan kunjungan ke Pulau Sepudi Sumenep sehingga diperkirakan 85
persen penduduk di pulau ini menjadi pengikut Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah
Madzhariyah. Kiai Wahid juga melakukan kunjungan tahunan ke Banyuwangi,
kunjungan bulanan ke Surabaya, dan kunjungan ke Singaraja (Bali Utara) selama
bertahun-tahun. Tahun 1980, Kiai Wahid mengangkat putra bungsunya, Syekh Ahmad
Ja’far atau Kiai Ja’far, sebagai mursyid. Kiai Ja’far baru meneruskan kepemimpinan
Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Muzhariyah, menerima dan membai’at murid
setelah Kiai Wahid meninggal pada tahun 1990 M (Martin Van Brunnesen, 1992).
Kiai Wahid memiliki arti perting dalam perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah
Ahmadiyah Madzhariyah Gersempal. Bahkan dapat dikatakan, karena jasa Kiai Wahid

At-Turost: Journal of Islamic Studies 11


At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No._, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

lah Gersempal menjadi pusat tarekat ini setelah sebelumnya berpusat di Ambunten
Sumenep. Bahkan, setelah Syeikh Ali Wafa meninggal, murid-murid Syeikh Ali Wafa
di Sumenep dan Sepudi berbaiat kembali kepada Kiai Wahid. Martin Van Brunnersen
berdasarkan wawancara dengan Kiai Taifur, putra Syeikh Ali Wafa, menyebut bahwa
murid-murid Syeikh Ali Wafa berkiblat ke Kiai Wahid setelah meninggalnya Syeikh
Ali Wafa (Martin Van Brunnesen, 1992).
Kartika Sari (2016: 86-88) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa masyarakat
Desa Gersempal sangat dekat dengan Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Muzhariyah.
Kedekatan tersebut tak lain karena popularitas Kiai Wahid yang sangat tinggi. Saat ini,
sekitar 60 persen dari penduduk Gersempal yang berjumlah 4.010 menjadi penganut
tarekat ini. Belum termasuk penduduk Desa Gersempal yang merantau di luar Madura
dan masih ada kaitan dengan Tarekat Naqsabandiyah Gersempal. Pada masa Kiai
Wahid, diperkirakan sepertiga penduduk Gersempal menjadi pengikut tarekat ini
sekaligus menjadi simpatisan. Hal tersebut karena jumlah penduduk yang masih sedikit
dan kondisi rumah yang berjauhan. Pada kesempatan yang sama, Kiai Wahid tidak
hanya berdakwah di Desa Gersempal, tetapi juga di pulau lain di kawasan Madura.
4. Karya
Kiai Wahid dikenal sebagai ulama kharismatik yang tidak hanya alim ilmu agama
dan tasawuf, namun juga dikenal sebagai ulama yang produktif mengarang kitab. Kiai
Wahid sudah mulai mengarang kitab sejak berumur 20 tahun, ketika masih nyantri di
Pondok Pesantren Miftahul Ulum Bettet, Pamekasan. Belum diketahui secara pasti
jumlah kitab yang ditulis Kiai Wahid. Satu sumber menyebutkan, kitab karangan Kiai
Wahid berjumlah 12 buah (Website Resmi Tarekat Naqsabandiyah Ahmadiyah
Mudzhariyah, 2015). Namun, Zainol Hasan (2019) dalam artikel berjudul Mengenal
Kitab Al-Ni’am, Karya Kiai Abdul Wahid Khudzaifah PP Darul Ulum Nangger Sempal
Omben Sampang menyebut Kiai Wahid mengarang 10 kitab. Setelah penulis melakukan
perbandingan, ditemukan beberapa perbedaan nama-nama kitab. Sehingga disimpulkan,
karangan Kiai Wahid yang tersimpan berjumlah 13 kitab.
Adapun 13 kitab karangan Kiai Wahid yang berhasil dikumpulkan sebagai yaitu:
1) Almukoddam Bisyahidi As-Sullam fi Fanni Al-Mantiq 2) Malihu Al-Bayan fi Ilmi Al-
Bayan (Kitab Ilmu Balaghah) 3) Iqomatu Al-Abniyya fi Al-Qowaidu As-Sorfiyah (Kitab
Ilmu shorof) 4) Qowaidu Al-Fiqh 4) Al-Anwaru As-Satoati fi Bayani Al-Alatil Ulumi Al-

At-Turost: Journal of Islamic Studies 12


At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No._, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

Arba’ati (Kitab Ilmu Balaghah) 5) Risalatu Al-Mustahadah 6) Taisiru Al-Murodad fi


Ilmi Ushuli Al-Fiqh (syarah Kitab Waraqat Ushul Fiqih) 7) Bustanu As-Syubban (Kitab
Ilmu Nahwu) 8) Zahrotu Al-Maidan (syarah Bustan al-Syubban, Ilmu Nahwu) 9) An-
Ni’am ‘ala Nidhami Al-Hikam (Nazam, syarah Kitab Al-Hikam Ibnu Atha’illah) 10)
Alminah al-Ladunniyah (syarah Kitab Faraidul Bahiyah, Ilmu Qawaid al-Fiqh) 11)
Kasyful Ghawamidu (Kitab Ilmu Faroid) 12) Madzhahibul Arba’ (Kitab Ilmu Fiqh).
Kitab Madzahibul Arba’ belum selesai ditulis Kiai Wahid karena sebelum berhasil
menyelesaikan kitab tersebut Kiai Wahid sudah wafat (Website Resmi Tarekat
Naqsabandiyah Ahmadiyah Mudzhariyah, 2015).
b. Efektivitas Penyampaian Kitab Al-Ni’am
Kitab al-Ni’am merupakan karya terakhir Kiai Wahid yang penulisannya rampung
ketika masa-masa akhir kehidupan Kiai Wahid. Kiai Wahid tidak menyebutkan kapan
pastinya Kitab al-Ni’am mulai ditulis. Ia hanya menulis bahwa kitab tersebut selesai
pada pukul 04.10 Tanggal 20 Jumadil Akhir 1410 H/ 17 Januari 1990. Kitab al-Ni’am
adalah kitab syarah atas Kitab al-Hikam Ibnu Atha’illah Sakandary (648 H/1250 M-
1309 M). Berbeda dengan aslinya, Kitab al-Ni’am ditulis menggunakan tulisan Arab
Pegon berbahasa Madura. Sebelum memberikan syarah atas al-Hikam, Kiai Wahid
mengubah prosa-prosa al-Hikam ke dalam bentuk nazam terlebih dahulu. Nazam-nazam
tersebut kemudian diberi makna harfiah satu per satu dan penjelasan-penjelasan ringkas
di setiap bait-bait nazam. Al-Ni’am juga berisi bagian kedua kitab al-Hikam tentang
surat-menyurat Syaikh Ibnu Atha’illah. Sehingga keseluruhan nazam Kitab al-Ni’am
berjumlah 512 bait. Menurut Zainol Hasan (2019), kitab al-Ni’am merupakan syarah al-
Hikam pertama kali yang menggunakan bahasa Madura (Zainol Hasan, 2019).
Kitab al-Ni’am berjumlah 88 halaman dalam bentuk naskah tulisan tangan.
Masing-masing halaman berisi 4-7 nazam. Setiap nazam terdapat makna harfiah dan
penjelasan-penjelasan ringkas atas nazam tersebut. Kecuali nazam bagian awal yang
merupakan nazam pembuka dari Kiai Wahid. Di nazam bagian awal, Kiai Wahid hanya
memberikan makna harfiah, tanpa memberikan penjelasan-penjelasan ringkas. Kiai
Wahid juga menulis catatan pendek di bagian awal yang menerangkan bahwa kitab
tersebut mulai dikaji pertama kali pada Hari Rabu Tanggal 1 Ramadhan 1990 H pukul
14.00-16.00 dan khatam pada Hari Selasa Tanggal 14 Ramadhan 1990 H (Zainol Hasan,
2019).

At-Turost: Journal of Islamic Studies 13


At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No._, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

Kitab al-Ni’am dikarang saat Kiai Wahid sudah menetap di pondok pesantren
yang didirikannya. Dia juga sudah dibaiat menjadi Mursyid ke-45 Tarekat
Naqsabandiyah Ahmadiyah Mudzhariyah sehingga memiliki pengaruh besar di dunia
tarekat dan di tengah-tengah masyarakat. Alasan penulisan Kitab al-Ni’am disinggung
secara singkat oleh Kiai Wahid dalam beberapa nazam awal kitab al-Ni’am. Menurut
Kiai Wahid, saat itu banyak orang yang sudah mengikuti tarekat (pada saat kitab
tersebut ditulis). Mereka para salik membutuhkan “pedoman” atau petunjuk jalan yang
menuntunnya menuju kepada Allah. Kiai Wahid kemudian merekomendasikan agar
para salik meluangkan waktu untuk membaca al-Hikam karya Ibnu Atha’illah. Namun
para salik meminta Kiai Wahid untuk menulis nazam dan menjelaskan prosa-prosa al-
Hikam agar mudah dipahami (Website Resmi Tarekat Naqsabandiyah Ahmadiyah
Mudzhariyah, 2015). Kemudian ditulislah kitab tersebut sampai selesai.
Penulisan Kitab al-Ni’am tentu tidak bisa dilepaskan dari posisi Kiai Wahid
sebagai tokoh agama (ulama) sekaligus posisinya sebagai Mursyid ke-45 Tarekat
Naqsabandiyah Ahmadiyah Muzhariyah. Dalam Islam, kedudukan ulama sebagai
pewaris para Nabi yang memiliki otoritas dalam keagamaan. Karena itu, seorang ulama
sangat dihormati juga disegani, baik gagasan maupun pemikiran yang dicetuskannya
Seorang ulama dipandang sebagai orang yang selamu memiliki kebenaran dan
kebenaran itu dipegang dan diakui secara ketat bahkan bisa saja mengikat. Kategori,
kualifikasi dan ciri khas ulama setidaknya ditentukan oleh tiga ciri penting, yakni bibit,
bebet, dan bobot pengetahuan agamanya. Dalam apek ini Kiai Wahid telah memenuhi
kualifikasi sebagai seorang ulama yang dibuktikan dengan banyaknya santri dan
kiprahnya di tengah-tengah masyarakat. Dari sisi bibit, Kiai Wahid mempunyai nasab
yang bersambung kepada Nabi Muhammad saw melalui jalur Sayyid Muhammad Ainul
Yaqin atau Sunan Giri (Dzulkifli, 1999: 4).
Kedudukan Kiai Wahid sebagai seorang mursyid menunjukkan bahwa dirinya
bukanlah orang sembarangan. Syeikh Abd al-Qadir al-Jilani dalam Sirr al-Asrar wa
Mazhar al Anwar bahkan memberikan perumpaan seorang rasul dan mursyid.
Perbedaan peran rasul dan wali mursyid menurut Syeikh Abdul Qadir al Jailani.
Menutnya, jika rasul diutus membawa syari’at sendiri kepada orang umum dan khusus,
maka mursyid diutus kepada orang-orang khusus yang tujuannya untuk menghidupkan
kembali perintah agama dan larangan-larangannya sekaligus menguatkan amal ibadah

At-Turost: Journal of Islamic Studies 14


At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No._, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

dan membersihkan pokok syariat (dari akhlak tercela). Adapun pokok syariat itu adalah
hati sebagai pusat tempatnya ma’rifat. Seorang diangkat menjadi mursyid apabila telah
memenuhi sejumlah kualifikasi.
Imam Al-Ghazali memberikan kualifikasi seorang mursyid secara global antara
lain: pertama, alim. Alim sendiri dapat diartikan dengan orang yang mengetahui dasar-
dasar ilmu agama. Kealiman dapat memberi petunjuk pada murid antara yang benar
(haq) dan yang salah (bathil). Kedua, kualifikasi mursyid adalah tidak mudah tergiur
kenikmatan dunia dan kedudukan. Seorang mursyid harus memiliki sikap zuhud.
Ketiga, kualifikasi mursyid adalah mengikuti syaikh yang mempunyai silsilah
(transmisi) yang bersambung pada Nabi Muhammad saw. Dalam tarekat, silsilah
dikenal dengan sanad, yakni kesinambungan antara guru mursyid dengan guru-gurunya
sebelumnya sampai kepada Rasulullah. Keempat, seorang mursyid senang riyadah an-
nafs (melatih diri), beberapa di antaranya dengan menyedikitkan makan, berkata dan
tidur serta memperbanyak ibadah shalat, bersedekah dan berpuasa. Poin ini merupakan
bagian dari melatih diri dalam rangka membersihkan hati dan nafsu guna meningkatkan
ketakwaan kepada Allah. Kelima, kualifikasi mursyid adalah mengikuti syaikh yang
hidupnya selalu dihiasi dengan akhlak terpuji (maqam wa hal), seperti sabar, syukur,
tawakkal, yaqin, qana’ah, dan lain-lain (Al-Ghazali, 1996: 108).
Dari sudut pandang komunikasi, Kitab al-Ni’am menjadi salah satu media yang
digunakan Kiai Wahid dalam menyempaikan nilai-nilai atau ajaran-ajaran tasawuf
kepada masyarakat khususnya pengikut tarekat Naqsabdniyah Ahmadiyah
Mudzhariyah. Memang, Kitab al-Ni’am bukanlah karya yang berangkat dari gagasan
murni Kiai Wahid, melainkan komentar atau syarah atas Kitab al-Hikam karya Ibn
Atha’illah as-Sakandari. Namun pemberian syarah dan perubahan dari bentuk aforisme-
aforisme al-Hikam ke Ann’am dapat dipahami sebagai salah satu cara Kiai Wahid
untuk memudahkan masyarakat dalam memahami al-Hikam.
Berkaitan dengan posisi Kiai Wahid sebagai pensyarah atau pengarang dan
masyarakat yang menjadi sasaran Kiai Wahid maka upaya penyampaian ajaran-ajaran
tasawuf merupakan cara yang cukup efektif. Sebagaimana diungkapkan Wilbur
Schramm, efektivitas dalam komunikasi setidaknya dipengaruhi oleh dua hal. Pertama,
bidang pengalaman. Sebagai seorang ulama sekaligus mursyid tarekat, Kiai Wahid
dapat dikategorikan sebagai sosok yang sudah berpengalaman di bidang tasawuf.

At-Turost: Journal of Islamic Studies 15


At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No._, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

Didukung pula oleh sejumlah karya yang telah dicetuskannya, Kiai Wahid dapat
dipadang sebagai sosok yang sudah bepengalaman.
Kedua, kerangka rujukan. Bahwa semakin besar lingkaran kesamaan antara
sumber dan penerima atas dua hal di atas maka komunikasi akan mudah dilakukan dan
efektivitas komunikasi akan tercapai. Kitab al-Ni’am sendiri dikarang Kiai Wahid
berangkat dari permintaan murid-muridnya yang ingin memiliki pedoman atau petunjuk
untuk membimbing mereka menuju ketinggian spiritual dalam dunia tasawuf. Artinya,
ada latar belakang dan tujuan yang sangat spesifik dari penulisan al-Ni’am yaitu orang-
orang yang sudah satu lingkaran dengan Kiai Wahid. Hal ini tentu sangat
memungkinkan jika ajaran-ajaran tasawuf dalam Kitab al-Ni’am akan lebih mudah
diterima oleh pembacanya, khususnya murid-murid Kiai Wahid dan pengikut Tarekat
Naqsabandiyah Ahmadiyah Mudzhariyah.
Meminjam Cahyana, bahwa efektivitas komunikasi dapat diukur melalui enam
dimensi. Salah satunya berkiatan dengan media dan format atau bentuk kemasan pesan
yang disampaikan. Dalam hal ini karya menjadi media yang digunakan Kiai Wahid
untuk terus menyebarkan ajaran tasawufnya. Nazam (puisi) adalah kemasan yang
dugunakan Kiai Wahid untuk memudahkan pembaca dalam menghafal dan memahami
kandungan Kitab al-Ni’am. Karena dalam naẓam menggunakan lagu atau nada sesuai
yang diinginkan pembaca. Sehingga kitab al-Hikam itu baik, akan tetapi dalam konteks
untuk memudahkan pemahaman atau menghafalkannya maka yang lebih baik adalah
nazamnya.
Secara etimologi nazam berarti menyusun, mengatur dan merangkai. Secara
epistimologi, Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia nazam diartikan sebagai syair;
pantun/puisi dua belas baris berima dua-dua dan empat-empat, mengkisahkan loyalitas
hamba sahaya (Pius Partanto dan M Dahlan Barry, 2001: 520). Menurut orang
Indonesia, puisi adalah karangan (pendek) yang terikat oleh irama dan rima. Orang Arab
menyebut puisi dengan Syi’r yang berarti kata-kata yang disusun dengan pola tertentu
sehingga dapat menjadi ungkapan yang indah, hasil dari imajinasi seseorang (penyair)
(Merry Choironi, 2012).
Meskipun begitu, dalam syair terdapat kata imajinasi (khayal), dimana khayal
adalah daya bayang, daya fantasi, tetapi bukan lamunan (Ahmad Muzakki, 2011: 42).
Khayalan juga merupakan ungkapan jiwa atau batin seorang penyair yang dituangkan

At-Turost: Journal of Islamic Studies 16


At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No._, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

dalam bentuk susunan kalimat syair. Dari daya khayal inilah kemudian dibedakan antara
naẓam dengan syair. Naẓam lebih ditekankan pada pemikiran ilmiah (pengetahuan),
sedangkan syair lebih memusatkan pada imajinasi (perasaan). Apabila ada suatu kalimat
yang ber-wazan, berqafiyah dan berqashad, tetapi tidak mengandung unsur khayalan,
maka kalimat tersebut tidak bisa dinamakan syair, tetapi dinamakan naẓam, sebab unsur
khayal inilah yang membedakan antara syair dan naẓam (Mas’an Hamid, 2006: 44).
Puisi arab/naẓam menjadi satu bab tersendiri dalam ilmu Arud wa Qafiyah. Dalam
puisi arab terdapat bait-bait. Secara etimologi, bait adalah tempat kediaman. Dan secara
terminologi, bait adalah perkataan yang sempurna yang tersusun dari beberapa taf’ilah
dan berakhir dengan qafiyah. Bait itu dibagi menjadi dua bagian yang di sebut dengan
“Syatar”. Syatar yang pertama dinamakan “Shadar” dan yang ke-2 dinamakan “Ajuz”
(Mas’an Hamid, 2006: 178). Berikut ini adalah contoh prosa al-Hikam yang telah
dirubah menjadi nazam oleh Kiai Wahid sebagaimana terdapat dalam Kitab al-Ni’am:
Prosa ke-2 al-Hikam berbunyi:
‫ب ِمنَ ال َّشـهْـ َو ِة ْال َخفِـيـ َّ ِة‬
ِ ‫في اَْأل ْسبَا‬
ِ ‫ك‬ َ ‫ك الـتَّجْ ِر ْي َد َمـ َع ِإقَا َمـ ِة هَّللا ِ ِإ يَّـا‬
َ ‫ِإ َر ا َد تُــ‬.
‫في الـتَّجْ ِر ْي ِد اِن ِحطَاطٌ ِمنَ ْال ِه َّم ِة ْال َعـلِـيـ َّ ِة‬
ِ ‫ك‬ َ ‫اب َم َع ِإقَا َم ِة هَّللا ِ ِإ يَّـا‬ َ َ‫ك اَْأل ْسب‬َ ‫َو ِإ َرا َد تُـ‬

Artinya:
(Keinginanmu untuk tajrid (tawakkal, berserah diri seutuhnya kepada Allah),
sementara Allah masih menghendaki engkau di dalam asbab (dituntut melakukan
usaha), merupakan syahwah yang tersamar.)
(Dan keinginanmu kepada asbab, pada saat Allah sudah menghendaki engkau
dalam tajrid, merupakan suatu kemerosotan dari himmah (semangat) yang
membara.)

Prosa tersebut dalam Kitab Al-Ni’am menjadi nazam sebagai berikut:

‫ فى سبب من شهوه خفيته‬# ‫ولن تشا التجريدمح لقامته‬


‫ فى تجريد عن همة عليته‬# ‫ولن تشالالسباب مع مشءته‬

Lamon sampean sareng Allah e sabe’ neng sabeb, mangka sampean terro neng
tajird, nika anyama nortote pangaterrona napso se samar. Tandhena jhe’ esabe’
neng sabeb panika nika sampean e wekto akasab tak atingghel e’bede dhahir ben
e’bede batin ben cokop se e de’ereh.
Lamon sampean sareng Allah e sabe’ neng e tajrid nika sampean e bektona,
mangka sampean terro neng e sabab nika anyama toron deri cita-cita se tengghi.
Tandhena jhe’ e sabe’ neng tajrid panika sampean e bekto tajrid cokop rizkina ben
ta’ ngarep deri oreng.

At-Turost: Journal of Islamic Studies 17


At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No._, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

(Apabila engkau oleh Allah diletakkan di posisi sabab, maka engkau ingin di
posisi tajrid, ini namanya mengikuti keinginan nafsu yang samar. Tanda bahwa
engkau di posisi sabab ialah engkau pada saat bekerja tidak meninggalkan
ibadah dhahir dan batin dan cukup untuk memenuhi kebutuhan makan.)
(Apabila engkau oleh Allah diletakkan di posisi tajrid, maka engkau ingin di
posisi sabab, ini namanya engkau ingin turun dari cita-cita yang tinggi. Tanda
bahwa engkau di posisi tajrid ialah pada saat engkau tajrid rizkimu cukup dan
tidak mengharap-harap dari orang lain.)
Selain itu, dalam sastra Arab terdiri atas bait-bait yang setiap bait syairnya terdiri
dari dua bagian dengan wazan yang sama. Wazan-wazan ini dalam ilmu sastra Arab
dikenal dengan istilah bahr yang berjumlah 16 (enam belas) macam. Bagian ini tidak
akan dibahas lebih jauh karena tidak termasuk dalam kajian ini.
Secara historis, perubahan dari prosa al-Hikam ke dalam bentuk nadzam tidak
bisa dilepaskan dari konteks Indonesia, khususnya masyarakat Madura. Masuknya
Islam ke Indonesia ini terlihat jelas dengan pola adaptasinya melalui media seni sebagai
alat efektif dalam penyampaian dakwah Islam. Kemudian muncul istilah kejawen yang
banyak versi mengatakan kejawen muncul seiring dengan datangnya para wali
(walisongo) ke tanah jawa dalam menyebarkan agama Islam (Petir Abi Manyu, 2014:
121). Dalam kesenian tersebut dapat berupa; seni bangunan, yaitu: bangunan masjid,
seni ukir atau ragam hias, seni sastra, baik tulisan maupun lisan yang menjadi salah satu
bentuk kesenian yang digunakan dalam proses Islamisasi (Ismail Hamid, 1989: 2).
Disamping itu, ada pula warisan budaya yang lain berupa naskah yang bermacam-
macam bentuk dan ragamnya, yang tersebar diseluruh indonesia dan yang ditulis dalam
berbagai bahasa daerah dan huruf sesuai dengan bahasanya masing-masing (Siti Bararah
Baried, 1994: 26).
Dalam tradisi masyarakat Madura, tradisi bersyair juga berkembang sejak lama.
Hal ini ditunjukan dengan kekayaan tradisi lisan yang berbentuk syair dan kata-kata
mutiara, atau yang biasa dikenal dengan istilah parébasan (peribahasa), saloka (Tamsil
atau perumpamaan), paparéghan (sejenis gurindam), syi’iran (syair), kéjhung (kidung)
dan beberapa istilah lainnya. Sedangkan karya sastra tulis yang bergenre puisi dan
terkenal disukai masyarakat adalah puisi macapat, yang aturannya mirip dengan
macapat jawa dengan berbagai jenis dan macamnya (Umar Bukhory, 2011: 206-207).

At-Turost: Journal of Islamic Studies 18


At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No._, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

Di sisi lain, kedudukan syair Arab bagi masyarakat pesantren di kawasan Madura,
khususnya bagian Timur adalah sebagai bagian dari ibadah, karena penjiwaan para
santri terhadap kitab-kitab kuning bergenre nadzam tersebut dengan cara berupaya
menghafal dan memahaminya, menterjemahkannya ke dalam bahasa lokal dan
menjadikannya sebagai kebanggaan sekaligus “mantra”. Penggunaan kitab-kitab klasik
model nazam 1) agar para santri mudah menghafal dan mencerna maksudnya, 2)
memudahkan penerjemahannya (resepsi intertekstual) ke dalam bahasa sasaran, 3)
menjadikannya sebagai kebanggaan dan “mantra” yang disakralkan (Umar Bukhory,
2011: 225).
Hingga saat ini, tradisi pembacaan syair berbahasa Madura di tengah-tengah
masyarakat tetap terus berlangsung, kendati intensitasnya semakin hari semakin
menurun. Hal tersebut dikarenakan subordinasi bahasa daerah oleh bahasa nasional
(atau bahkan bahasa internasional) dan kecenderungan generasi penuturnya yang
berkembang dinamis. Misalnya, di desa Jambringin Proppo Pamekasan, masih ada
tradisi Upacara Penghormatan kepada Bhuju’ Lir Saalir pada setiap malam bulan
purnama di bulan Rabi’ul Awwal dengan menyanyikan syair Lir Saalir. Meskipun
untuk saat ini, syair tersebut tidak banyak dimengerti orang karena menggunakan
bahasa Madura era pengarangnya, Bhuju’ Lir Saalir (Abad ke-16 M), yang notabene
sangat berbeda dengan bahasa Madura saat ini (A. Sulayman Sadik, 2011: 99).
Sebagai orang asli madura denga berbekal pengalaman dan keilmuannya, Kiai
Wahid tentu memahami kondisi masyarakat Madura saat Kitab Al-Ni’am ditulis. Kiai
Wahid tidak langsung memberikan penjelasan atas Kitab al-Hikam, melainkan
merubahnya terlebih dahulu ke dalam bentuk nazam. Sebagaimana telah disinggung di
atas, bahwa media dan kemasan dalam komunikasi sangat penting agar komunikasi
dapat berlangsung efektif dan pesan-pesan yang disampaikan dapat diterima dengan
mudah oleh masyarakat.
Sejarah mencatat bahwa orang yang pertama kali mendapatkan Kitab al-Ni’am
dan pengajaran langsung dari Kiai Wahid adalah para santri Darul Ulum dan
masyarakat sekitar. Saat itu, beberapa hari sebelum Ramadhan, Kiai Wahid membuat
pengumuman melalui pengeras suara bahwa mulai 1 Ramadhan akan ada pengajian
Kitab al-Ni’am, sebuah kitab baru yang masih asing di telinga para santri. 1 Ramadhan
pun tiba, Kiai Wahid mengajar langsung kitab Al-Ni’am di masjid pesantren dengan

At-Turost: Journal of Islamic Studies 19


At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No._, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

diikuti ratusan santri kelas 3 Madrasah Tsanawiyah (MTs) sampai kelas 3 Madrasah
Aliyah (MA) dan masyarakat umum. Model pengajian dilakukan sebagaimana
pengajian pada umumnya. Kiai Wahid membaca nazam Ann’iam, kemudian
menjelaskan isinya. Pengajian Kitab al-Ni’am berlangsung setiap hari mulai sekitar
pukul 13.00 hingga pukul 17.00 (mepet adzan maghrib (Wawancara Abdul Sholeh,
Santri Kiai Wahid, 14 Mei 2020).
Setelah kajian pertama yang diampu langsung Kiai Wahid, Kitab al-Ni’am
dipatenkan menjadi mata pelajaran bagi santri putri Darul Ulum, dan berlangsung
sampai sekarang. Sedangkan santri putra hanya dianjurkan untuk mengoleksinya. Setiap
tahun santri putri diwajibkan mem-foto-copy kitab tersebut. Berdasarkan penuturan
laporan Niam, cucuk Kiai Wahid, jumlah santri putri kelas 1 Madrasah Aliyah di Darul
Ulum tidak kurang dari 30 santri setiap tahunnya (Wawancara Ni’am, Cucu Kiai Wahid,
14 Mei2020). Jika dihitung rata-rata 30 eksempelar setiap tahun, maka selama 20 tahun
terakhir ( dari tahun 1990 sampai tahun 2020) al-Ni’am yang dicetak santri putri di
Darul Ulum tidak kurang dari 600 ekspemplar.
Pada masa-masa berikutnya, Kitab al-Ni’am juga digunakan sebagai mata
pelajaran wajib di Pesantren Darul Ulum II, pondok pesantren yang didirikan Kiai Ja’far
Shodiq (adik Kiai Wahid) pada tahun 2003. Tidak ada laporan cetak secara tertulis,
namun hal ini dapat diperkirakan berdasarkan jumlah rata-rata santri setiap tahun.
Menurut satu sumber, al-Ni’am di Pondok Pesantren Darul Ulum II digunakan untuk
santri kelas 1 Madrasah Aliyah yang jumlahnya setiap tahun tidak kurang dari 20 santri
dan tidak lebih dari 30 santri. Jika dirata-rata ada 25 santri setiap tahun, maka jumlah
cetakan Kitab al-Ni’am di Pondok Pesantren Darul Ulum sekitar 400 eksemplar, mulai
tahun 2003 sampai 2019 (Wawancara Irsyad, Pengurus PP. Darul Ulum II, 1 Juni 2020).
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat terlihat jelas bahwa meskipun Kiai Wahid telah
meninggal dunia, kitab al-Ni’am masih dapat digunakan dan menjadi salah satu media
tersebarnya ajaran-ajaran tasawuf di Madura. Reaksi positif atas Kitab al-Ni’am yang
masih terus berlangsung sampai sekarang dengan didukung kapabilitas Kiai Wahid
menunjukkan adanya komunikasi yang efektif antara penyampai pesan yaitu Kiai
Wahid dan penerima pesan yaitu masyarakat umum, para santri dan para pengikut Kiai
Wahid dalam Tarekat Naqsabdniyah Ahmadiyah Mudzhariyah.

At-Turost: Journal of Islamic Studies 20


At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No._, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

Daftar Rujukan

Buku
Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia: Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi
(Tangerang: Pustaka IIMaN, 2009).
Ahmad Syafii Mufid, Tangklungan, Abangan dan Tarekat: Kebangkitan Agama di
Jawa (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006)
Thomas Stamford Raffles, The History Of Java (Yogyakarta: Narasi, 2008).
Abdurrachman¸ Sejarah Madura: Selayang Pandang (Sumenep: tnp, 1971).
Martin, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992).
Zulkifli, Ulama Sumatera Selatan, Pemikiran dan Peranannya dalam Lintasan Sejarah,
(Palembang: UNSRI, 1999).
Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani, Sirr al-Asrar wa Mazhar al Anwar, (tt: 32-33).
Al Ghazali, Khulasah al-Tasnif fi al Tasawwuf, (1996: 108).
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet.1, jilid IV, (Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve, 1993).
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1999).
Badri Yatim, Perubahan Sosial Politik di Hijaz 1800-1925 dan Pengaruhnya Terhadap
lembaga dan Kehidupan Keagamaan (Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah,
1998).
Victor Danner, Sufisme Ibn Atha’illah: Kajian Kitab Hikam, Surabaya: Risalah Gusti,
2003: 36-42).
Mohammad Takdir, Kontribusi Kiai Kholil Bangkalan dalam Mengembangkan
Tasawuf Nusantara, Jurnal ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016.
Hidayat, Efektifitas dalam Kinerja Karyawan, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1986).
Handyadiningrat, Soewarno, Pengantar Study Ilmu Administrasi dan Management,
(Jakarta: Gunung Agung, 1980).
Dani Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Cet. II (Jakarta: PT
Indeks, 2008).
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993)
Cahyana, dkk, Kajian Komunikasi dan Seluk Beluknya, (Surabaya: Airlangga
University Press, 1996).
Pius Partanto dan M Dahlan Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Aloka, 2001).
Ahmad Muzakki, Pengantar Teori Sastra Arab (Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2011).
Hamid, Mas’an Hamid, Ilmu Arudl Dan Qawafi, (Surabaya: Alpha, 2006).
Petir Abimanyu, Mistik Kejawen; Menguak Rahasia Hidup Orang Jawa, (Yogyakarta:
PALAPA, 2014).
Ismail Hamid, Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam (Jakarta: Al-Husna,
1989).
Siti Bararah Baried, Pengantar Teori Filologi, (Yogyakarta: Badan Penelitian dan
Publikasi Fakultas (BPPF), 1994).

Jurnal

At-Turost: Journal of Islamic Studies 21


At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No._, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

Mohammad Takdir, Kontribusi Kiai Kholil Bangkalan dalam Mengembangkan


Tasawuf Nusantara, Jurnal ‘Anil Islam: Jurnal Kebudayaan dan Ilmu
Keislaman (2016).
Rany An Nisaa Syabrina, Efektvitas dan Efesiensi Komunikasi Pada Penyelenggaraan
Festival Damar Kurung Gresik Tahun 2017, Jurnal TSK (2017).

Dian Kartika Sari, Sejarah Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah


Muzhariyah Di Desa Gersempal Kecamatan Omben Madura Tahun 1964 –
2015 M, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel 2016.
Umar Bukhory, Resepsi Pondok Pesantren Di Madura Terhadap Kitab Bergenre
Nadzam, Jurnal OKARA, Vol. II, Tahun 6, November 2011.
A. Sulayman Sadik, Kearifan Lokal dalam Sastra Madura dan Aplikasinya Dalam
Kehidupan Sehari-hari, Jurnal OKARA, vol. I, Tahun 6, Mei 2011.

Website
Zainul Hasan, Mengenal Kitab Al-Ni’am, Karya Kiai Abdul Wahid Khudzaifah PP
Darul Ulum Nangger Sempal Omben Sampang, tayang di pcnu-pamekasan.or.id pada
Tanggal 08 Oktober 2019. Link: https://pcnu-pamekasan.or.id/mengenal-kitab-al-niam-
karya-kiai-abdul-wahid-khudzaifah-pp-darul-ulum-nangger-sempal-omben-sampang/
(diunggah 10 November 2019).

Anonim, Hadrotus Syeikh Abd. Wahid bin Khudzaifah Qs. Mursyid Silsilah ke-45,
Website Resmi Tarekat Tarekat Naqsyabandiyah Ahmadiyah Mudzhariyah, Januari
2015. Lihat:http://www.naqsyabandiyah-gersempal.org/hadrotus-syeikh-abd-wahid-bin-
khudzaifah-qs-mursyid-silsilah-45.html (Diunduh 20 Januari 2020).

Zainol Hasan, Mengenal Kiai Abdul Wahid Khudzaifah Pendiri PP Darul Ulum
Nangger Sempal Sampang, 6 Oktober 2019. Lihat:
https://pcnu-pamekasan.or.id/mengenal-kiai-abdul-wahid-khudzaifah-pendiri-pp-darul-
ulum-nangger-sempal-sampang/ (Diunduh 18 April 2020).

Muhammad Karim, Hana Sahira Claudiana, Asal Usul Tarekat Naqsyabandiyah


Muzhariyah (Lihat: http://naqsyabandiyahmudzhariyah.blogspot.co.id/2012/01/asal-
usul-tarekatnaqsyabandiyah14.html (Diunduh 17 April 2020)).

Anonim, KH. Abd. Wahid Khudzaifah Karang Lebih 12 Kitab, Sebagian Masih Dalam
Bentuk Tulisan Tangan, Website Resmi Tarekat Naqsabandiyah Mudzhariyah
Gersempal, 2 Juni 2019. (Lihat: http://www.naqsyabandiyah-gersempal.org/kh-abd-
wahid-khudzaifah-karang-lebih-12-kitab-sebagian-masih-dalam-bentuk-tulisan-tangan-
jawa-pos.html (diunduh 20 Januari 2020)).

Abdul Moqsith Ghazali, Tasawuf Ibn Atha’illah al-Sakandari: Kajian terhadap Kitab
al-Hikam al-‘Atha’iyah. Islamlib.com

Admin, Pengajian perdana Kitab “ An-Ni’am Fi Nadhmil Hikam akan Dimulai


SITQON Surabaya, Website Resmi Tarekat Naqsabandiyah Mudzhariyah Gersempal,
2016. Lihat :https://www.naqsyabandiyah-gersempal.org/pengajian-perdana-kitab-an-
niam-fi-nadhmil-hikam-akan-dimulai-sitqon-surabaya.html

At-Turost: Journal of Islamic Studies 22


At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol._ No._, Bulan Tahun
ISSN: 2086-3179, E-ISSN: 2581-1622
Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal

Merry Choironi, Arudh Walqawafi,


lihat:http://merrychoironi.wordpress.com/2012/04/19/arudh-walqawafy/ (2 Juli 2020).

At-Turost: Journal of Islamic Studies 23

You might also like