You are on page 1of 31

MAKALAH

SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Fiqih)

Dosen Pengampu:
Dr.H.A.Fenny Rahman HS., M.Pd

Oleh:

Andi Setiabudi (20211021004)


Waliyul Ilmi (20211021014)

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-IHYA KUNINGAN
TAHUN AKADEMIK 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Subhanahuwwata’ala Tuhan


Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunian-Nya sehingga
penyusunan makalah “Sumber-Sumber Hukum Islam” dapat diselesaikan dengan
baik. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu dan mendukung dalam penyusunan makalah ini.
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini yakni untuk mengenalkan
dan membahas sumber-sumber hukum yang dijadikan pedoman dan landasan oleh
umat Islam. Dengan makalah ini diharapkan baik penulis sendiri maupun pembaca
dapat memilki pengetahuan yang lebih luas mengenai sumber hukum Islam.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat kami harapkan. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi para
pembaca umumnya dan kami sendiri khususnya.

Kuningan, 18 Maret 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Maksud dan Tujuan........................................................................................1
1.3 Rumusan Masalah..........................................................................................1
BAB II.....................................................................................................................2
PEMBAHASAN.....................................................................................................2
2.1 Macam-macam sumber ajaran Islam..............................................................2
2.2 Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam..............................................2
2.2.1 Pengertian Al-Qur’an...............................................................................2
2.2.2 Asbabun nuzul Al-Qur’an........................................................................3
2.2.3 Isi dan pesan-pesan Al-Qur’an................................................................6
2.2.4 Fungsi dan tujuan Al-Qur’an...................................................................9
2.3 Hadits sebagai sumber hukum Islam..............................................................9
a. Dalil Al-Qur’an.......................................................................................10
b. Dalil al-hadits..........................................................................................10
c. Kesepakatan ulama (ijma’)......................................................................11
2.3.1 Tingkatan Hadits....................................................................................13
2.3.2 Istilah-istilah dalam Hadits....................................................................15
2.4 Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an dan Hadits.............16
2.4.1 Pengertian Ijtihad...................................................................................16
2.4.2 Macam-macam Ijtihad...........................................................................17
BAB III..................................................................................................................20
PENUTUP.............................................................................................................20
3.1 Kesimpulan...................................................................................................20
3.2 Saran.............................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam berkembang sangat pesat ke seluruh penjuru dunia dengan
kecepatan yang menakjubkan, yang sangat menarik dan perlu diketahui bahwa
Dinul Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam
adalah suatu agama yang sekaligus menjadi pandangan atau pedoman hidup.
Banyak sumber-sumber ajaran Islam yang digunakan mulai zaman muncul
pertama kalinya Islam pada masa rasulullah sampai pada zaman modern sekarang
ini. Sumber-sumber yang berasal dari agama Islam merupakan sumber ajaran
yang sudah dibuktikan kebenarannya yaitu bertujuan untuk kemaslahatan umat
manusia, sumber-sumber ajaran Islam merupakan sumber ajaran yang sangat luas
dalam mengatasi berbagai permasalahan seperti bidang akhidah, sosial, ekonomi,
sains, teknologi dan sebagainya.
Islam sangat mendukung umatnya untuk mempelajari ilmu pengetahuan,
terutama yang bersumber dari sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an, Sunah, Ijma’,
Qiyas dan juga ijtihad. Begitu sempurna dan lengkapnya sumber-sumber ajaran
Islam. Namun permasalahan disini adalah banyak umat Islam yang belum
mengetahui betapa luas dan lengkapnya sumber-sumber ajaran Islam guna
mendukung umat Islam untuk maju dalam bidang pengetahuan.

B. Maksud dan Tujuan


Maksud dan tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk memenuhi tugas Makalah Sumber Hukum Islam mata kuliah Ilmu
Fiqih
2. Untuk membahas Sumber Hukum Islam, sehingga pembaca pada umumnya
dan khususnya penulis bisa lebih memahami tentang sumber-sumber hukum
yang dijadikan landasan umat Islam.
C. Rumusan Masalah
1. Apa saja sumber-sumber ajaran Islam?
2. Bagaimana Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam?
3. Bagaimana Hadits sebagai sumber hukum kedua ajaran Islam?
4. Bagaimana Ijtihad sebagai sumber hukum ajaran Islam setelah Al-Qur’an dan
Hadits?
BAB II
PEMBAHASAN

1. Macam-Macam Sumber Ajaran Islam


Sumber adalah tempat pengambilan, rujukan atau acuan dalam
penyelenggaraan ajaran Islam, karena itulah sumber memiliki peranan yang
sangat penting bagi pelaksanaan ajaran Islam. Dari sumber inilah umat Islam
dapat memiliki pedoman-pedoman tertentu untuk melaksanakan proses ajaran
Islam, tanpa adanya suatu sumber maka umat Islam akan terombang-ambing
dalam menghadapi ideologi dan bisa jadi akan berahir pada kesesatan atau
kenistaan.
Dalam pembahasan disini akan diuraikan macam-macam sumber ajaran
Islam yang diantaranya meliputi:
1. Al-Quran
2. Sunah
3. Ijtihad

2. Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam


1. Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologi Al-Qur’an berasal dari kata “qara’a, yaqra’u,
qira’atan, qur’anan” yang berarti mengumpulkan dan menghimpun huruf-
huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian lain secara teratur. Ada juga
sumber lain mengatakan bahwa Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan
sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah yng sungguh tepat, karena
tiada satu bacaanpun sejak anusia mengenl baca tulis yang dapat menandingi
Al-Qur’an al-Karim, secara terminologi Al-Qur’an adalah kitab suci yang
diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad SHALALLAHU ALAIHI
WASALLAM. Yang diampaikan lewat malaikat jibril, yang dikomunikasikan
dengn bahasa arab, harus dipercayai tanpa syarat dan menjadi pedoman bagi
para pengikutnya yaitu umat Islam diseluruh dunia.
Pengertian Al-Qur’an dari segi terminologinya dapat dipahami dari
pandangan beberapa ulama, bahwa:
a. Muhammad Salim Muhsin dalam bukunya “Tarikh Al-Qur’an al-Karim”
menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SHALALLAHU ALAIHI WASALLAM. Yang
ditulis dalam mushaf-mushf dan dinukilkan/ diriwayatkan kepada kita
dengan jalan mutawatir dan membacanya dipandang ibadah serta sebagai
penentang (bagi yang tidak percaya) ataupun surat terpendek.
b. Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan Al-Qur’an sebagai firman Allah
SUBHANAHUWWATA’ALA yang diturunkan melalui Roh al-Amin
(Jibril) kepada Nabi Muhammad SHALALLAHU ALAIHI
WASALLAM. Dengan bahasa arab, isinya dijamin kebenarannya, dan
sebagai hujah kerasulannya, undang-undang bagi seluruh manusia dan
petunjuk dalam beribadah serta dipandang ibadah dalam membacanya,
yang terhimpun dalam mushaf yang dimulai dari surat al-Fatihah dan
diakhiri surat an-Nas, yang diriwayatkan kepada kita dengan jalan
mutawatir.
c. Muhammad abduh mendefinisikan Al-Qur’an sbagai kalam mulia yang
diturunkan oleh Allah SUBHANAHUWWATA’ALA kepada Nabi yang
paling smpurna (Muhammad SHALALLAHU ALAIHI WASALLAM)
ajarannya mencakup keseluruhan ilmu  pengetahuan, ia merupakan
sumber yang mulia yang esensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang
yang berjiwa suci daan berakal cerdas.

2. Asbabun nuzul Al-Qur’an


a. Pengertian Asbabun Nuzul
Ungkapan asbabun nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata
asbab dan nuzul. Secara etimologi, asbabun nuzul adalah sebab-sebab
yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Namun kata asbabun nuzul
hanya dipergunakan khusus untuk Al-Qur’an. Para ulama berpendapat
bahwa ketika memaknai kata nuzul, inzal, dan tanzil yang terdapat pada
ayat Al-Qur’an, ada yang memaknai idhar yaitu melahirkan Al-Qur’an.
Ada juga yang memanai bahwa Allah SUBHANAHUWWATA’ALA
mengajarkannya kepada malaikat jibril baik megenai bacaannya maupun
pemahamannya lalu jibril menyampaikannya kepada Nabi Muhammad
SHALALLAHU ALAIHI WASALLAM yang ada di bumi.
Menurut az-zarqani asbabun nuzul adalah khusus atau sesuatu
yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya Al-Qur’an sebagai
penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.

b. Urgensi Asbabun Nuzul


Mayoritas ulama sepakat bahwa konteks kesejarahan yang
terakumulasi dalam riwayat-riwayat asbabun nuzul merupakan suatu hal
yang signifikan untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’an. Bahkan al-
wahidi menyatakan ketidakmungkinan untuk menginterpretasikan Al-
Qur’an tanpa mempertimbangkan aspek kisah dan asbabun nuzul.
Dalam uraian yang lebih rinci, Az-Zarqani mengemukakan
urgensi asbabun nuzul dalam memahami Al-Qur’an sebagai berikut:
a) Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian
dalam menangkap pesan-pesan ayat Al-Qur’an.
b) Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian
umum.
c) Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an,
bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah
sebab yang bersifat khusus dan bukan lafazh yang bersifat umum.
d) Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an
turun.
e) Memudahkan untuk menghafalkan dan memahami ayat serta untuk
memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya.
Taufiq Adnan Amal dan Syamsul Rizal panggabean menyatakan
bahwa pemahaman terhadap konteks kesejarahn pra-qur’an dan pada
masa Al-Qur’an menjanjikan beberapa manfaat praktis, yaitu
a) Pemahaman itu memudahkan kita mengidentifikasi gejala-gejala
moral dan sosial pada masyarakat Arab saat itu, sikap Al-Qur’an
terhadapnya, dan cara Al-Qur’an memodifikasi atau
mentransformasi gejala itu hingga sejalan dengan pandangan dunia
Al-Qur’an.
b) Kesemuanya ini dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam dalam
mengidentifikasi dan menangani problem-problem yang mereka
hadapi.
c) Pemahaman tentang konteks kesejarahan pra-qur’an dan masa qur’an
dapat menghindarkan kita dari praktik-praktik pemaksaan prakonsep
dalam penafsiran.
c. Macam-macam asbabun nuzul
a) Dilihat dari segi sudut pandang redaksi-redaksi yang dipergunakan
dalam riwayat asbabun nuzul. Ada dua jenis redaksi yang
dipergunakan oleh perawi dalam mengungkapkan riwayat asbabun
nuzul yaitu:
 Sharih (visionable/jelas). Artinya riwayat yang sudah jelas
menunjukkan asbabun nuzul dan tidak mungkin pula
menunjukkan yang lainnya. Contoh riwayat asbabun nuzul yang
menggunakan redaksi sharih adalah sebuah riwayat yang
diawakan oleh Jabir bahwa orang-orang yahudi berkata,
“apabila suami mendatangi “qubul” istrinya dari belakang,
anaknya yang lahir akan juling”. Maka turunlah ayat
‫نساءكم حرث ئكم فأ تو حر ثكم انّى شئتم‬
Artinya: “istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu
bercocok tanam maka datangilah tanah bercocok tanammu itu
bagaimana saja kamu hendaki.” (Q.S Al-Baqarah : 223)
 Muhtamilah  (kemungkinan). Artinya riwayat yang belum jelas
menunjukkan asbabun nuzul dan masih memungkinkan pula
menunjukkan arti lain.
b) Dilihat dari sudut pandang berbilangnya asbabun nuzul untuk satu
ayat atau berbilangnya ayat untuk asbabun nuzul.
 Berbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat
Pada kenyataannya tidak setiap ayat memiliki riwayat
asbabun nuzul dalam satu versi. Ada kalanya satu ayat memiliki
beberapa versi riwayat asbabun nuzul. Bentuk variasi itu
terkadang dalam redaksinya dan terkadang pula dalam
kualitasnya. Untuk mengatasi variasi riwayat asbabu nuzul
dalam satu ayat dari sisi redaksi, para ulama’ mengemukakan
cara-cara berikut.
- Tidak mempermasalahkannya
- Mengambil versi riwayat asbabun nuzul yang
menggunakan sharih
- Melakukan studi selektif (tarjih)
 Variasi ayat untuk satu sebab
Terkadang suatu kejadian menjadi sebab bagi turunnya
dua ayat atau lebih.
 Tahapan turunnya Al-Qur’an
Turunnya Al-Qur’an merupakan peristiwa besar yang
sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan
bumi. Turunnya Al-Qur’an yang pertama kali pada malam
lailatul qadar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat
tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan Nabi
Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam dan umatnya dengan
risalah baru agar menjadi umat paling baik yang dikeluarkan
bagi manusia. Allah menurunkan kepada manusia melalui 3
tahap yaitu:
- Al-Qur’an diturunkan  Allah dari Lauhul Mahfudz
Al-arqani tidak menyinggung lebih jauh tentang
kapan penurunan Al-Qur’an di Lauhul Mahfudz ini. Beliau
hanya menyatakan tidak ada yang tahu persis kapan Al-
Qur’an diturunkan di Lauhul Mahfudz kecuali Allah
sendiri.
- Dari Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izza
Yaitu langit yang pertama yang tampak ketika
dilihat di dunia ini namun tidak diketahui letak persisnya.
Adapun jumlahnya adalah semuanya pada waktu Lailatul
Qadr. Namun tanggalnya tidak diketahui, dan pada bulan
Ramadhan.
Al-Qurtubi telah menukil dari Muqtil bin Hayyan
riwayat tentang kesepakatan bahwa turunnya Al-Qur’an
sekaligus dari Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izza di langit di
dunia. Sebetulnya tidak hanya Al-Qur’an saja yang
diturunkan pada bulan Ramadhan, tetapi ada juga
1. Taurat            : 6 Ramadhan
2. Suhuf Ibrahim    : 1 Ramadhan
3. Injil            : 13 Ramadhan
4. Zabur             : 12 Ramadhan
- Dari Baitul ‘Izza ke Rasulullah
Tahapan ketiga atau yang terakhir adalah Al-Qur’an
diturunkan dari Baitul ‘Izza kepada Nabi Muhammad
Shalallahu Alaihi Wasallam dengan perantara malaikat
jibril. Penurunannya tidak secara langsung sekaligus,
namun diangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun
berdasarkan kebutuhan, peristiwa atau bahkan melalui
permintaan malaikat jibril. Adapun kitab-kitab lain seperti
tauraut, zabur dan injil diturunkan oleh Allah
Subhanahuwwata’ala dengan cara sekaligus tidak secara
berangsur-angsur.

d. Isi dan pesan-pesan Al-Qur’an


Al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad kurang lebih
selama 23 tahun, dalam dua fase yaitu 13 tahun pada  fase sebelum beliau
hijrah ke Madinah (Makiyah) dan 10 tahun pada fase sesudah hijrah ke
Madinah (Madaniyah). Isi Al-Qur’an terdiri dari 114 surat, 6236 ayat,
74437 kalimat, dan 325345 huruf. Proporsi masing-masing fase tersebuut
adalah 86 surat untuk ayat-ayat Makiyah dan 28 surat untuk ayat-ayat
Madaniyah.
Dari keseluruhan isi Al-Qur’an itu, pada dasarnya mengandung
pesan-pesa sebagai berikut; masalah tauhid, termasuk didalamnya
masalah kepercayaaan pada yang gaib; masalah ibadah, yaitu egiatan-
kegiatan dan perbuatan-perbuatan yang mewujudkan dan menghidupkan
didalam hati dan jiwa;  masalah janji dan ancaman yaitu janji dengan
balasan baik bagi mereka yang berbuat baik dan sebaliknya ancaman
siksa  bagi mereka yang berbuat jahat; jalan menuju kebahagiaan dunia
akhirat, berupa ketentuan-ketentuan yang hendaknya dipenuhi untuk
mencapai keridhaan Allah Subhanahuwwata’ala riwayat dan cerita, yaitu
sejarah orang-orang terdahulu baik sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh
maupun Nabi dan Rosul.
Selanjutnya Abdul Wahab Khalaf lebih memerinci pokok-pokok
kandungan Al-Qur’an ke dalam 3 ktegori, yaitu:
a) Masalah kepercayaan (I’tiqadiyah), yang berhubungan dengan rukun
iman kepada Allah, malaikat, kitabullah, rasulullah, hari kebangkitan
dan taqdir.
b) Masalah etika (khuluqiyah) berkaitan dengan hal-hal yang dijadikan
perhisan bagi seseorang untuk berbuat keutamaan dan meninggalkan
kehinaan.
c) Masalah perbuatan  dan ucapan (‘amaliyah) yang terbagi dalam dua
macam yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah  berkaitan dengan rukun
Islam, nazar, sumpah dan ibadah-ibadah yang lain yang mengatur
hubungan manusia dengan Allah SUBHANAHUWWATA’ALA.
Mu’amalah berkaitan dengan akad, pembelanjaan, hukuman, jual-
beli dan lainnnya yang mengtur hubungan manusia dengan sesama.
Ada dua segi pembahasan isi/kandungan Al-Qur’an, yaitu
dimensi keagamaan dan dimensi keilmuan.
a. Dimensi keagamaan
Al-Qur’an memberikan petunjuk dalam kaitannya dengan
persoalan-persoalan. Pertama, akidah dan kepercayaan yang harus
dianut oleh manusia, yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan
Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan;
kedua, mengenai syariat dan hukum,dengan jalan menerangkan
dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam
hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya; ketiga, mengenai
akhlak yang murni, dengan jalan menerangkan norma-norma
keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam
kehidupannya baik secara individual maupun kolektif
Menurut Prof. Dr. Mahmud Syaltut dalam “al-Islam wa al-
syariah” bahwa Al-Qur’an mengandung berbagai persoalan-
persoalan :
1. Akidah yang wajib dimani.
2. Budi pekerti yang dapat membersihkan jiwa, membentukpribadi
dan masyarakat yang baik
3. Petunjuk dan bimbingan untuk menyelidiki dan mentadaburi
tentang rahasia-rahasia langit dan bumi.
4. Peringatan dan ancaman
5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Sedangkan menurut Masyfuk Zuhdi bahwa isi atau
kandungan ajaran Al-Qur’an pada hakekatnya mengandung lima
prinsip, yaitu:
1. Tauhid
Sekalipun Nabi Adam AS sebagai manusia pertama dan
Nabi pertama adalah seorang monotheisme/muwahhid dan
mengajarkan tauhid kepada turunannya, namun kenyataannya
tidak sedikit manusia keturunannya itu yang menyimpang dari
ajaran tauhid. Untuk meluruskan kepercayaan mereka yang
menyimpang dari Tuhan dan untuk membimbing mereka ke
arah yang lurus dan diridlai Tuhan, maka diutuslah para
Nabi/Rasul secara silih berganti mulai Nabi Adam sampai Nabi
Muhammad sebagai Nabi penutup.
Sebelum kelahiran Nabi Muhammad (pra Islam),
keadaan manusia pada umumnya telah menyimpang dari ajaran
tauhid dan ajaran-ajaranlainnya dari para Nabi dan rasul
sebelumnya, sekalipun sebagian mereka ada pula yang masih
mengaku percaya pada keesaan Tuhan, tetapi sebenarnya
tauhidnya sudah tidak murni lagi. Sebab Tuhan dianggap tidak
tunggal sepenuhnya, melainkan ia terdiri dari beberapa oknum,
misalanya doktrin tri murti atau trinitas dari agama Hindu dan
Kristen.
2. Janji dan ancaman tuhan
Tuhan menjanjikan kepada setiap orang yang beriman
dan selalu mengikuti semua petunjuk-Nya akan mendapatkan
kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat. Sebaliknya Tuhan
akan mengancam kepada siapa saja yang ingkar kepada tuhan
dan memusuhi Nabi/rasul-Nya serta melanggar perintah-
perintah dan larangan-laranga-Nya, akan mendapat
kesengsaraan hidup di dunia maupun akhirat.
3. Ibadah
Tujuan hidup manusia didunia ini adalah untuk
meribaddah kepada Tuhan.pengertian ibadah menurut Islam
adalah cukup luas,sebab tidak hanya berbatas padaslat,puasa,
haji dan semacamnya. Tetapi semua aktifitas yang dilakukan
manusia denga motivasi niat yang baik seprti untuk mencari
ridlo Allah, semuanya dipandang ibadah.
Ibadah bagi manusia adalah berfungsi sebagai
manifestasi manusia bersyukur kepada tuhan pencipta atas
segala nikmat dan karunia. Dan juga berfungsi sebagai relisasi
dan konsekwensi manusia atas kepercayaannya terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.
4. Jalan dan cara mencapai kebahagiaan
Setiap orang yang breagama pasti bercita-cita ingin
mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat.
Untuk bisa mencapai cita-citanya, Tuhan dalam Al-Qur’an
memberikan petunjuk-petunjuk-Nya bahwa manusia harus
menempuh jalan yang lurus dengan cara menghayati dan
mematuhi segala aturan agam yang ditetapkan Allah dan rasul-
Nya.

5. Cerita-cerita/sejarah-sejarah umat manusia sebelum Nabi


Muhammad SHALALLAHU ALAIHI WASALLAM
Didalam Al-Qur’an terdapat cerita-cerita tentang para
Nabi dan umatnya masing-masing. Cerita-cerita tersebut
diungkapkan kembali didalam al-quran dengan maksud agar
dijadikan pelajaran bagi manusia sekarang tentang bagiamna
nasib manusia yang taat kepada tuhan. Disamping itu juga
sebagai hiburan bagi Nabi Muhamad dan umat Islam pada
permulaan Islam, agar Nabi dan sahabat-sahabatnya tetap
berteguh hati , tidak berkecil hati dalam menghadapi segala
macam hambatan-hambatan dan tantangan-tantangan yang sama
bahkan yang lebih.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa pada
hakikatnya Al-Qur’an adalah kitab keagamaan, dan bukan suatu
kitab atau ensiklopedi ilmu pengetahuan yang di dalamnya
membahas atau berisitentang teori-teori ilmiah.
b. Dimensi keilmuan
Al-Qur’an adalah sumber segala pelajaran dan pengetahuan,
didalamnya pembicaraan-pembicaraan dan kandungan isinya tidak
semata-mata terbatas pada bidang-bidang keagamaan, ia meliputi
berbagai aspek hidup dan kehidupan manusia.
Menurut Dr. Muhammad Ijazul Khatib dari Universitas
Damaskus, tak ada yang lebih menekankan pentingnya sains dari
pada kenyataan bahwa: berbeda dengan bagian legislatif yang hanya
250 ayat saja, sedangkan 750 ayat Al-Qur’an –hampir
seperdelapannya- menegur orang-orang mukmin untuk mempelajari
alam semesta, untuk berfikir, untuk menggunakan penalaran yang
sebaik-baiknya, untuk menjadikan kegiatan ilmiah ini sebagai bagian
dari kehidupan umat.
Sekarang banyak ditemukan orang yang mencoba
menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’andalam sorotan ilmiah modern.
Dengan tujuan untuk menunjukkan mu’jizat Al-Qur’an dalam
lapangan keilmuan untuk meyakinkan orang-orang non-muslim akan
keagungan dan keunikan Al-Qur’an, dan untuk menjadikan kaum
muslimin bangga memiliki kitab seperti itu.
Pandangan mengenai Al-Qur’an sebagai sumber ilmu
pengetahuan bukanlah merupakan sesuatu yang baru, karena banyak
ulama besar kaum muslimin yang berpandangan demikian.
Dari keterangan diatas, para ulama berkeyakinan bahwa Al-
Qur’an merupakan kitab petunjuk bagi kemajuan manusia, dan
mencakup apa yang diperlukan manusia dalam wilayah iman dan
amal. Al-Quran juga mengandung rujukan-rujukan pada sebagian
fenomena alam.

e. Fungsi dan tujuan Al-Qur’an


Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam merupakan kumpulan
firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Shalallahu
Alaihi Wasallam yang mengandung petunjuk-petunjuk bagi umat
manusia. Menurut Dr. M. Quraish Shihab dalam “wawasan Al-Qur’an
menyebutkan delapan tujuan diturunkannya Al-Qur’an:
 Untuk menbersihkan dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik
serta mementapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi
tuhan semesta alam.
 Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni
bahwa umat manusia merupakan umat yang seharusnya dapat
bekerja sama dalam pengapdian kepada Allah dan pelaksanaan tugas
kekhalifahan.
 Untuk menciptakan perstuan dan kesatuan.
 Untuk mengajak manusia berfikir dan bekerja sama dalam bidang
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
 Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan,
penyakit dan penderitaan hidup,serta pemerasan manusia atas
manusia dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan juga agama.
 Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih
sayang.
 Untuk memberikan jalan tengah antara falsafah monopoli
kapitalisme dengan falsafah kolektif komunisme, menciptakan
ummatan wasathan yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah
kemungkaran.
 Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan
suatu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia dengan
panduan dan panduan Nur Ilahi.
Berikut adalah fungsi al-quran menurut nama-namanya:
 Al-huda (petunjuk). Dalam al-quran terdapat 3 kategori tentang
posisi al-quran sebagai petunjuk. Pertama, petunjuk bagi manusia
secara umum. Kedua, al-quran adalah petunjuk bagi orang-orang
yang bertaqwa. Ketiga, petunjuk bagi orang-orang beriman.
 Al-furqan (pemisah). Dalam al-quran dikatakan bahwa ia adalah
ugeran untuk membedakan dan bahkan memisahkan antara yang hak
dan batil.
 Asy-syifa (obat). Al-quran dikatakan berfungsi sebagai obat bagi
penyakit-penyakit dalam dada. Yang dimaksud penyakit dalam dada
adalah penyakit-penyakit psikologis.
 Al-mauizhah (nasihat). Al-quran berfungsi sebagai nasihat orang-
orang yang bertakwa.

3. Hadits sebagai sumber hukum Islam


Umat Islam telah sepakat bahwa hadits merupakan sumber hukum kedua
setelah Al-Qur’an. Dan  tidak boleh seorang muslim hanya mencukupkan diri
dengan salah satu dari kedua sumber Islam tersebut. Al-Qur’an dan hadits
merupakan dua sumber hukum Islam yang tetap. Umat Islam tidak mungkin dapat
memahami tentang syari’at Islam dengan benar sesuai  dengan tanpa Al-Qur’an
dan Hadits. Banyak dari ayat Al-Qur’an yang menerangkan bahwa hadits
merupakan sumber hukum Islam selain Al-Qur’an yang wajib diikuti. Baik itu
dalam hal perintah ataupun larangan. Al-Syatibiy dalam kaitan ini mengajukan
tiga argumen.
Pertama, sunnah merupakan penjabaran dari Al-Qur’an. Secara rasional,
sunnah sebagai penjabaran (bayan) harus menempati posisi lebih rendah dari yang
dijabarkan (mubayyan) yakni Al-Qur’an. Apabila Al-Qur’an sebagai mubayyan
tidak ada, maka hadits sebagai bayyan tidak diperlukan. Akan tetapi jika tidak ada
bayyan, maka mubayyan tidak hilang.
Kedua, Al-Qur’an bersifat qat’iy al-subut, sedangkan sunnah bersifat
zanniy al-subut.
Ketiga, secara tekstual terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan
kedudukan sunnah setelah Al-Qur’an seprti hadits yang sangat populer mengenai
pengutusan Mu’az Ibn Jabal menjadi hakim di Yaman. Semuanya menunjuka
subordinasi sunnah sebagai dalil terhadap Al-Qur’an.
Berikut uraian sedikit tentang kedudukan hadits sebagai sumber hukum
Islam:
1. Dalil Al-Qur’an
Banyak dari ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang  kewajiban
untuk dapat mempercayai dan menerima apa saja yang telah disampaikan
oleh Rasul kepada umat beliau untuk dijadikan sebuah pedoman hidup.
Selain Allah Subhanahuwwata’ala memerintahkan agar umatnya
percaya kepada Rasul juga dapat menaati semua perintah atau peraturan yang
telah ditetapkan atau dibawa oleh beliau. Taat kepada Rasul sama denga taat
kepada Allah. Sebagaimana firman Allah QS. Al- ‘Imran:32 yang berbunyi:

َ‫قُلْ َأ ِطيعُوا هَّللا َ َوال َّرسُو َل فَِإ ْن ت ََولَّوْ ا فَِإ َّن هَّللا َ ال يُ ِحبُّ ْال َكافِ ِرين‬

Artinya: “Katakanlah: 'Taatilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu


berpaling, maka sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang kafir'." –
(QS. Al- ‘Imran 3:32)
Dari banyaknya ayat Al-Qur’an ini membuktikan bahwa dimana
setiap ada perintah taat kepada Allah, pasti ada perintah taat kepada Rasul.
Demikian pula mengenai ancaman. Ini menunjukkan betapa pentingnya
kedudukan dalam penetapan untuk taat kepada semua yang diperintah
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam.

2. Dalil al-hadits
Dalam salah satu pesan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam.
Berkenaan dengan keharusan menjadikan hadits sebagai pedoman hidup,
disamping Al-Qur;an sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda:
‫ وقال صلى هللا عليه وسلم‬:
‫تركت فيكم امرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب هللا وسنة النبيه صلى هللا عليه وسلم‬
)‫(روه مالك في موطأ‬
Artinya: Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda:
“Telah ku tinggalkan kepada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat
selama berpegang teguh denga dua perkara ini, yaitu Kitab Allah (Alqur’an)
dan Sunnah Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam (Al-Hadist)
Masih banyak lagi hadits-hadits yang menerangkan tentang
pedoman hidup maupun penetapan hukum. Hadits-hadits tersebut
menunjukkan terhadap kita bahwa berpegang teguh kepada hadits sebagai
pedoman hidup iitu wajib, sebagaimana wajib pada Al-Qur’an.

3. Kesepakatan ulama (ijma’)


Banyak peristiwa yang menunjukan adanya kesepakatan
menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain:
a. Ketika abu bakar di baiat menjadi kholifah, ia pernahberkata “saya tidak
meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh
Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan
perintahnya”.
b. Saat umar berada di hajar aswad ia berkata: “saya tahu bahwa engkau
adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya
tidak akan menciummu”.
c. Diceritakan dari Sa’i bin Musayyab bahwa ‘usman bin ‘affan berkata:
”saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah, saya makan
sebagaimana makannya Rasulullah dan saya sholat sebagaimana
Sholatnya Rasulullah
Untuk mengukuhkan validitas sunnah sebagai otoritatif hukum
Islam. Al-syafi’i mengajukan analisis terhadap kata al-hikmah dalam Al-
Qur’an. Dalam banyak Al-Qur’an, kata tersebut selalu bergandengan dengan
kata al-kitab (Al-Qur’an).
Namun al-syafi’i menyimpulkan bahwa yang dimaksud al-kitab
adalah Al-Qur’an, sedangkan yang dimaksud al-hikmah adalah sunnah atau
al-hadits. Dalam sejarah tercatat, ada sekelompok kecil umat Islam yang
menolak adanya sunnah atau hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam.
Dikenal sebagai inkar al-sunnah dan munkir al-sunnah. Adanya kelompok
tersebut diketahui melalui tulisan al-syafi’i yang dikelompokkan dalam tiga
golongan:
a. Golongan yang menolak sunnah secara keseluruhan
b. Golongan yang menolak sunnah kecuali jika sunnah itu memiliki
kesamaan denga petunjuk Al-Qur’an
c. Golngan yang menolak sunnah yang berstatus ahad
Hadits atau sunnah sebagai sumber hukum Islam tidak hanya untuk
kaitannya dalam hal ibadah, akan tetapi juga dalam masalah masyarakat
sosial. Eksistensi sunnah atau hadits dapat sumber hukum Islam dapat dilihat
dari beberapa argumen Al-Qur’an, ijma’  maupun argumen rasional.
Beberapa implikasi pada perkembangan hukum Islam. Kosep
sunnah ternyata mengalami proses yang cukup panjang sebelum di identikkan
dengan istilah hadits. Proses tersebut disimpulkan dengan baik oleh Fazlur
Rahman sebagai berikut:
“that the sunnah-content left bythe prophet was not very large in
quantity and that it was not something meant tobe absolutely specific; that the
concept sunnah after the time of the propher himself but also the
interpretation of the prophetic sunnah; that the “sunnah” in this last sense is
co-extensive with the ijma’ of the community, which is essentially an ever-
expanding process;and finally; that after the mass-scale hadith movement the
organic relationship between the sunnah, ijtihad, and ijma’ was destroyed”
Artinya:
Bahwa kandungan sunnah yang bersumber dari Nabi tidak bayak
jumlahnya dan tidak dimaksudkan bersifat spesifik secara mutlak, bahwa
konsep sunnah setelah Nabi wafat tidak hanya mencakup sunnah Nabi tetapi
juga penafsiran-penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut, bahwa sunnah
dalam pengertian terakhir ini sama luasnya dengan ijma’ yang pada
dasarnya merupakan sebuah proses yang semakin meluas secara terus-
menerus, dan yang terkhir sekali bahwa setelah gerakan pemurnian hadits
besar-besaran, hubungan organis diantara sunnah, ijtihad dan ijma’ menjadi
rusak.
Ketika timbul gerakan hadits pada paruh kedua abad hijriyah
sunnah diekspresikan sebagai hadits, sehingga pada tahap berikutnya hadits
identik dengan sunnah. Namun jalaluddin Rahmat membantah bahwa yang
pertama kali beredar dikalangan umat Islam untuk menunjuk pada Nabi
adalah hadits bukanlah sunnah.
Kondisi kemudian berubah setelah dua khalifah mengadakan
gerakan “penghilangan” hadits yang kemudian melahirkan keenggangan para
sahabat menuliskan hadits. Ini mengakibatkan hilangnya sebagian besar
hadits dan adanya kesempatan untuk pealsuan hadits yang mengakibatkan
merebaknya periwayatan dalam makna (riwayat bi al ma’na). Dan karena
orang hanya menerima hadits lewat lisan, maka ketika menyampaikannyapun
hanya menyampaikan maknanya, sehingga dalam periwayatan hadits dapat
berubah-ubah. Mengingat makna redaksi hadits itu berkembang sesuai orang
yang meriwayatkannya. Dan inilah yang menimbulkan banyaknya perbedaan
pendapat dalam penafsiran hadits. Kemudian memunculkan ra’y atau oleh
Rahman diidentifikasi sebagai sunnah.  yangmana orang lebih cenderung
mencari petunjuk pada ra’y karena hilangnya sejumlah hadits akibat
perbedaan pendapat.
Ketika terjadi suasana yang tidak ada acuan universal, maka
munculah gerakan massif untuk membawa konsep sunnah kedalam konsep
hadits. hadits -hadits kemudian dihidupkan kembali, namun upaya ini
mengalami kesulitan yang besar  menyangkut pengujian hadits yang dapat
dipertanggungjawabkan validitasnya yang kemudian dirumuskan kaidah-
kaidah kesahihan hadits (‘ulum al-hadits).
Dengan demikian jika ada pernyataan mengenai hadits Nabi telah
ada sejak awal perkembangan Islam itu adalah sebuah kenyatan yang tidak
dapat diragukan lagi dan mematahkan pernyataan bahwa hadits adalah produk
belakangan. Perkembangan hadits berjalan pararel dengan praktek para
sahabat dan umat. Dalam hal ini hadits mengalami tahapan yang panjang
sebelum ia ditetapkan sebagai sentral keputusan hukum Islam. Memang dulu
pada masa-masa awal sunnah menjadi standar bagi manifestasi sunnah ideal
Nabi, akan tetapi pada masa al-Syafi’iy dan seterusnya haditslah yang
kemudian menjadi manifestasi teladan Nabi.

4. Tingkatan Hadits
Secara umum tingkatan hadis terbagi ke dalam tiga, yaitu hadits sahih,
hadis hasan, dan hadis dla‟if.
a. Hadits Shahih
Hadits shahih yaitu hadis yang (1) para perawinya berkesinambungan;
diterima dari dan oleh perawi yang adil dan dlabith. Adil artinya memiliki
sifat adalah yaitu muslim, dewasa, sehat akal, dan tak pernah berbuat dosa.
Dlabith yaitu kuat hafalan, cermat, tepat tanggapan, dan tidak pelupa. (2)
tidak cacat dan (3) tidak bertentangan dengan riwayat lain yang lebih kuat.
Berdasarkan jumlah perawi, hadis sahih ada tiga jenis, yaitu:
o Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir yaitu hadis yang diriwayatkan oleh banyak
perawi dan dari banyak perawi sampai waktu dituilskannya sehingga,
karena banyaknya, tidak memungkinkan mereka untuk melakukan
kebohongan.
o Hadits Masyhur
Hadits masyhur yaitu hadis yang pada awalnya diriwayatkan
secara seorang-perseorang tetapi pada tingkat akhirnya diriwayatkan oleh
banyak perawi.
o Hadits Ahad
Hadits ahad yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang ke
seseorang hingga ditulisnya.

b. Hadits Hasan
Yaitu hadis yang sanadnya berkesinambungan, disampaikan oleh
perawi yang adil tetapi kurang kedhabitannya (kekuatan hafalannya), terbebas
dari cacat dan tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat.

c. Hadits Dha’if
Yaitu hadis yang tidak memenuhi kriteria hadis sahih dan hadis hasan,
baik dalam sanad, rawi, atau mengandung catat dan bertentangan dengan
riwayat yang lebih kuat. Ada beberapa jenis hadis dha‟if di antaranya:
1. Hadits Mursal: hadis yang tidak menyebut sahabat dalam rangkaian
perawinya.
2. Hadits Munqathi‟: hadis yang sanadnya terputus di tengah, karena ada
rawi yang hilang, atau rawi yang identitasnya tidak dikenal.
3. Hadits Maqlub : hadis yang susunan rawinya terbalik dalam sanadnya,
misalnya seharusnya disebut belakangan disebutkan lebih dahulu, atau
terbalik antara sanad dan matannya.
4. Hadits Munkar: hadis yang matannya tidak dikenal, kecuali dari
seorang rawi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kekuatan
hafalannya.
5. Hadits Matruk : hadits yang riwayatkan oleh perawi yang diketahui
suka berbohong, atau sering salah, atau fasik (berbuat dosa), atau
teledor, sedangkan haditsnya hanya didapat dari perawi ini saja.

5. Istilah-istilah dalam Hadits


Ada beberapa istilah pokok yang perlu diketahui dalam memahami ilmu
tentang hadits, yaitu lafadz-lafadz khusus yang disepakati maknanya oleh para
ahli hadis. Di antaranya sanad, matan,rawi, dan rijalul hadis.
1. Sanad
Sanad adalah rangkaian para periwayat yang menukilkan isi hadits
secara berkesinambungan dari yang satu kepada yang lain sehingga sampai
kepada periwayat (rawi) terakhir. Dalam contoh di atas yang disebut sanad
adalah rangkaian nama-nama dari Alhamidi sampai Umar bin Khathab
(sebanyak 6 orang ).
2. Matan
Matan adalah isi yang terdapat dalam hadits itu sendiri, baik berupa
perkataan, perbuatan, sifat Nabi, atau tindakan dan perbuatan para sahabat
yang dibiarkan oleh Nabi Shalallahu alaihi wasallam.
3. Rawi
Rawi adalah orang yang menerima suatu hadits dan menyampaikanya
kepada yang lain. Dalam satu hadits biasanya terdapat beberapa orang rawi
(disebut ruwat jamak dari rawi). Dalam contoh di atas rawi-rawinya ada 6
orang yaitu al-Hamidi Abdullah bin Zubair, Sufyan, Yahya bin Said,
Muhammad bin Ibrahim, Alqamah bin Waqash, dan Umar bin Khathab.
4. Rijalul Hadits
Rijalulhadis adalah orang-orang yang terlibat dalam periwayatan suatu
hadits, yaitu para perawi hadis itu sendiri. Sahih tidaknya suatu hadis banyak
ditentukan oleh rijalulhadits-nya dari segi kecermatan dan ketelitianya
(dhabit) dan keterpercayaanya. Untuk menentukan apakah para perawi itu
berkwalitas atau tidak, ada ilmu yang khusus untuk ini, disebut Ilmu Rijalul
Hadits, yaitu ilmu yang mengkaji biografi setiap orang yang terlibat dalam
periwayatan hadis, disebut juga Ilmu Tarikhur Ruwat (Ilmu Sejarah Hidup
Para Perawi).

6. Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an dan Hadits


1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad memiliki arti kesungguhan, yaitu mengerjakan sesuatu dengan
segala kesungguhan. Ijtihad dari sudut istilah berarti menggunakan seluruh
potensi nalar secara maksimal dan optimal untuk meng-istinbath suatu hukum
agama yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok ulama yang
memenuhi persyaratan tertentu, pada waktu tertentu untuk merumuskan
kepastian hukum mengenai suatu perkara yang tidak ada status hukumnya
dalam Al-Qur’an dan sunnah dengan tetap berpedoman pada dua sumber
utama.
Dengan demikian, ijtihad bukan berarti penalaran bebas dalam
menggali hukum satu peristiwa yang dilakukan oleh mujtahid, melainkan
tetap berdasar pada Al-Qur’an dan sunnah. Walaupun ijtihad diperbolehkan
untuk dilakukan oleh mujtahid (orang yang berijtihad) yang memenuhi syarat,
namun tidak berarti bahwa ijtihad dapat dilakukan dalam semua bidang.
Ijtihad memiliki ruang lingkup tertentu.
Syaikh Muhammad Salut, misalnya membagi lingkup ijtihad ke dalam
dua bagian:
- Permasalahan yang tidak ada atau tidak jelas ketentuan hukumnya dalam
Al-Qur’an atau hadist Nabi.
- Ayat-ayat Al-Qur’an tertentu dan hadis tertentu tidak begitu jelas
maksudnya yang mungkin disebabkan oleh makna yang dikandung lebih
dari satu sehingga perlu ditentukan dengan jalan ijtihad untuk
mengetahui makna-makna yang sesungguhnya yang dimaksud.

2. Macam-macam Ijtihad
A. Ijmak.
Ijmak berarti menghimpun, mengumpulkan, atau bersatu dalam
pendapat, dengan kata lain ijmak merupakan consensus yang terjadi di
kalangan para mujtahid terhadap suatu masalah sepeninggal Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wasallam. Ahli ushul fikih mengemukakan bahwa
ijmak adalah kesepatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa
sepeninggal Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam terhadap suatu
hukum syariat mengenai suatu peristiwa. Apabila terjadi suatu peristiwa
yang memerlukan ketentuan hukum yang tidak ditemukan dalam kedua
sumber sebelumnya (Al-Quran dan sunnah) maka para mujtahid
mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu peristiwa dan jika
disetujui atau disepakati oleh para mujtahid lain, kesepakatan itulah yang
disebut ijmak.
Ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam yang memiliki
posisi kuat dalm menetapkan hukum dari suatu peristiwa. Bahkan telah
diakui luas sebagai sumber hukum yang menempati posisi ketiga dalam
hukum Islam. Sejumlah ayat dan hadits Nabi menjadi pembenaran
teologis kekuatan ijmak sebagai sumber hukum dalam Islam. Pemberian
warisan kepada nenek laki-laki (jadd) ketika ia berkumpul dengan laki-
laki orang yang meninggal dunia yang dalam keadaan seperti ini nenek
laki-laki tersebut menggantikan ayah (orang yang meninggal) untuk
menerima seperenam dari harta warisan atau harta peninggalannya
merupakan contoh penetapan hukum berdasarkan ijmak sahabat.
Dalam transaksi jual beli, misalnya istishna’ atau pemesanan
barang yang baru akan dibuat yang seharusnya tidak boleh,karena dinilai
sama seperti halnya membeli barang yang tidak ada, merupakan contoh
hukum yang bersumber dari hasil ijmak sahabat (Hanafi, 1995: 61)
Penggunaan ijmak sebagai sumber hukum dalam menetapkan hukum
suatu peristiwa secara historis terjadi pasca wafatnya Nabi Shalallahu
Alaihi Wasallam. Selama beliau hidup, setiap peristiwa yang muncul
selalu diminta untuk ditetapkan hukumnya sehingga tidak mungkin
terjadi perlawanan hukum terhadap suatu masalah. Ijmak yang memiliki
kehujahan sebagai sumber hukum didasarkan pada sejumlah argumentasi
teologis terutama ayat 59 surah An-nisa’ yang didalamnya terdapat
anjuran untuk taat pada ulil amri setelah taat pada Allah
Subhanahuwwata’ala dan Rosul-Nya. Ulil amri dalam ayat tersebut
dipahami sebagai pemegang urusan dalam arti luas mencakup urusan
dunia ( seperti kepala Negara, menteri, legislative, dan lain-lain) dan
pemegang urusan agama seperti para mujtahid, mufti, dan ulama. Karena
itu, apabila ulil amri telah sepakat dalam status hukum suatu urusan maka
wajib ditaati, diikuti, dan dilaksanakan sebagaimana mentaati, mengikuti,
dan melaksanakan perintah Allah Subhanahuwwata’ala dan Rosul-Nya
dalam (QS. An-nisa’ [4] : 83 ):
‫ُوا بِ ِه َولَوْ َر ُّدوهُ ِإلَى ال َّرسُو ِل وَِإلَى ُأوْ لِى االٌّ ْم ِر‬
ْ ‫ف َأ َذاع‬
ِ ْ‫َوِإ َذا َجآ َءهُ ْم َأ ْم ٌر ِّمنَ االٌّ ْم ِن َأ ِو ْال َخو‬
ُ‫ِم ْنهُ ْم لَ َعلِ َمه‬
ً‫الَّ ِذينَ يَ ْستَ ْنبِطُونَهُ ِم ْنهُ ْم َولَوْ الَ فَضْ ُل هَّللا ِ َعلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمتُهُ الَتَّبَ ْعتُ ُم ال َّش ْيطَـنَ ِإالَّ قَلِيال‬
Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang
keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau
mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah
karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut
syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (QS. An-nisa’ 4:
83)
Argumentasi yang kedua yang dijadikan pembenaran kehujahan
ijmak sebagai sumber hukum Islam adalah sejumlah hadis Nabi
Shalallahu Alaihi Wasallam yang menjelaskan terpeliharanya umat Islam
dari bersepakat membuat kesalahan dan kesesatan separti hadis Nabi
Shalallahu Alaihi Wasallam yang diriwayatkan Ibnu Majah, yang
mengatakan : “umatku tidak sepakat untuk membuat kekeliruan.” Hal ini
berarti bahwa kesepakatan yang telah dicapai oeh para mujtahid memiliki
kehujahan yang kuat sebagai sumber hukum dalam Islam dan wajib
diikuti oleh umat Islam pada umumnya.
B. Qiyas
Secara harfiah berarti analogi atau mengumpamakan. Adapun
menurut pengertian para ahli fikih, qiyas adalah menetapkan hukum
tentang sesuatu yang belum ada nash atau dalilnya yang tegas, dengan
sesuatu hukum yang sudah ada nash atau dalilnya yang didasarkan atas
persamaan illat antara keduanya. Misalnya, menetapkan haramnya
minuman bir yang tidak ada dalilnya dalam Al-Qur’an dengan khamar
yang ada hukumnya di dalam Al-Quran. Menyamakan atau
menganalogikan bir dengan khamar ini didasarkan pada adanya
persamaan illat antara keduanya, yaitu memabukkan.
C. Al-mashlahat al-mursalah
Secara harfiah berarti sesuatu yang membawa kebaikan bagi
orang banyak. Adapun menurut para ahli hukum Islam, Al-mashlahat al-
mursalah adalah sesuatu yang didalamnya mengandung kebaikan bagi
masyarakat, sehingga walaupun pada masa lalu hal tersebut tidak
diberlakukan, namun dalam keadaan masyarakat yang sudah makin
berkembang, keadaan tersebut dianggap perlu dilakukan. Misalnya,
pembukuan Al-quran dalam bentuk mushaf seperti yang ada sekarang
perlu dilakukan, mengingat jumlah para penghafal Al-Quran makin
sedikit karena meninggal dunia, serta pertentangan dalam membaca Al-
Quran sering terjadi.
D. ‘Urf
Secara harfiah berarti sesuatu yang berlaku atau yang sudah
dibiasakan. Adapun menurut para ahli hukum Islam, ‘urf adalah sesuatu
yang berlaku dimasyarakat atau tradisi yang mengandung nilai-nilai
kebaikan bagi masyarakat. Contonya kebiasaan merayakan hari raya
yang pada zaman sebelum Islam, namun dinilai mengandung kebaikan,
maka tetap dilanjutkan.
E. Istihsan
Secara harfiah berarti memandang sesuatu sebagai yang baik.
Menurut Islam, istihsan artinya segala sesuatu yang dipandang manusia
pada umumnya sebagai hal yang baik, dan tidak bertentangan dengan al-
Quran dan sunnah. Penggunaan istihsan ini antara lain didasarkan pada
sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam : Artrinya : “segala sesuatu
yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka yang
demikian itu disisi Allah dipandang sebagai hal yang baik.”
F. Qaul al-shahabat
Secara harfiah berarti ucapan sahabat. Dalam pengertian umum,
Qaul al-shahabat adalah pendapat, pandangan, pikiran, dan perbuatan
para sahabat yang sejalan denganAl-Quran dan sunnah. Penggunaan Qaul
al-shahabat sebagai dasar hukum, mengingat para sahabat selain sebagai
orang yang dekat, bergaul dan ikut berjuang dengan Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wasallam, juga memang memiliki pemikiran, gagasan,
dan karya-karya yang layak untuk dijadikan bahan renungan dan
pertimbangan dalam mengembangkan ajaran Islam pada masa
selanjutnya.
G. Syar’un man qablana
Secara harfiah berarti agama sebelum kita. Dalam pengertian
yang lazim, Syar’un man qablana adlah ajaran yang terdapat didalam
agama yang diturunkan Tuhan sebelum Islam yang terdapat di dalam
kitab Zabur, Taurat, Injil yang masih asli yang tidak bertentangan dan
masih sesuai dengan kebutuhan zaman. Di dalam kitab Taurat yang
ditinggalkan Nabi Musa misalnya terdapat ajaran mengesakan Tuhan,
larangan menyekutukan-Nya, memuliakan kedua orang tua, memiliki
kepedulian terhadap kerabat, orang miskin, ibnu sabil, bersikap boros,
membunuh anak, berbuat zina, memakan harta anak yatim, mengurangi
timbangan, menjadi saksi palsu, dan larangan bersikap sombong. Ajaran
yang dibawa Nabi Musa ini terus dilanjutkan oleh Nabi Muhammad
Shalallahu Alaihi Wasallam, sebagaimana terdapat dalam QS. Bani Israil
(17) ayat 23 sampai dengan ayat 37. Ajaran yang pernah berlaku pada
zaman Nabi Musa itu, masih tetap diberlakukan dimasa sekarang, karena
masih dianggap cocok dan dibutuhkan untuk zaman sekarang dan yang
akan datang.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sumber ajaran
islam ada tiga macam, yaitu Al-qur’an, hadits dan ijtihad.  Al-qur’an sebagai
sumber hukum Islam yang pertama yaitu Al-qu’an berisi tentang semua
kehidupan yang ada di alam, perintah, akidah dan kepercayaan, akhlak yang
murni, mengenai syari’at dan hukum dan sebagai petunjuk umat Islam. Sedangkan
Hadits itu sebagai sumber ajaran islam karena dalam Dalil al-qur’an mengajarkan
kita untuk mempercayai dan menerima apa yang telah disampaikan oleh Rasul
untu dijadikan sebagai pedoman hidup. Selain itu dalam hadits juga terdapat
pertnyataan bahwa berpedoman pada hadits itu wajib, bahkan juga terdapat dalam
salah satu pesan Rasulullah berkenaan menjadikan hadist sebagai pedoman hidup
setelah Al-qur’an sebagai sumber yang pertama. Ijtihad sebagai sumber ajaran
karena melalui konsep ijtihad, setiap peristiwa baru akan didapatkan ketentuan
hukumnya Dari pemaparan makalah kami tersebut kita tahu bahwa sumber ajaran
islam sangat penting sebagai pedoman hidup, untuk itu hendaknya apabila kita
melenceng dari salah satu sumber ajaran tersebut, maka akan menjadikan hal yang
fatal.

B. Saran
Al-Qur’an, Al-Hadits adalah sumber hukum Islam begitu juga dengan
ijtihad, Oleh karenanya diharapkan dan diharuskan agar semua umat Islam
menjadikan ketiganya sebagai pedoman hidup dan dasar hukum dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Afrozi,Agus Salim.2015. Bahan Ajar Pendidikan Agama Islam. Tangerang: Prodi


Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Pamulang
Ahmad Maulidin dkk.2013. Makalah Sumber-sumber Ajaran Islam. Semarang:
Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Wali Songo
docs.google.com/document/d/15g-
FHTwQi9AVl13Inmn04z12vZYSyoruskn8mxrbh2o/preview?pli=1 [14 Desember
2015]

You might also like