You are on page 1of 22

Beberapa Catatan

tentang
Mahkamah Konstitusi

Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H.


Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
Perspektif Sejarah (1)
w Gagasan tentang perlunya suatu Mahkamah
Konstitusi (MK) telah lama muncul dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia. Dalam sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPK) pada tahun 1945, Muhammad Yamin, salah
seorang anggota BPUPK, pada saat itu mencetuskan
pendapat bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu
diberi kewenangan untuk menilai, apakah Undang-
undang (UU) yang dibuat oleh DPR tidak melanggar
Undang-Undang Dasar (UUD), hukum adat yang
diakui, atau syariah agama Islam.
24/02/21 Satya Arinanto - Beberapa Catatan tentang 2
Mahkamah Konstitusi
Perspektif Sejarah (2)
w Namun usulan Muhammad Yamin tersebut kemudian
ditentang oleh Prof. Soepomo berdasarkan dua alasan
sebagai berikut. Pertama, UUD yang sedang disusun
pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945)
tidak mempergunakan teori Trias Politika. Menurut
Soepomo, kewenangan semacam itu hanya terdapat
pada negara-negara yang melaksanakan teori Trias
Politika. Kedua, para ahli hukum Indonesia tidak
memiliki pengalaman mengenai hal ini.

24/02/21 Satya Arinanto - Beberapa Catatan tentang 3


Mahkamah Konstitusi
Perkembangan Gagasan
w Setelah perdebatan yang terjadi pada tahun 1945 tersebut, dalam
perkembangannya gagasan tentang MK selalu muncul dalam dinamika
ketatanegaraan Indonesia. Namun hingga masa reformasi, gagasan itu
tidak pernah terwujud.
w Penulis sendiri dalam kesempatan seminar dengan topik “Indonesian
Law: The First Fifty Years” yang diselenggarakan di The University of
Melbourne Law School pada bulan September 1995, telah menulis
makalah dengan topik “The Need for a Constitutional Court in
Indonesia”. Dalam makalah tersebut, penulis antara lain
mengemukakan gagasan tentang perlunya suatu Pengadilan Tata
Negara sebagai lingkungan peradilan kelima di Indonesia. Hal ini
antara lain dapat dilakukan dengan mengamandemen ketentuan-
ketentuan terkait dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung. Gagasan untuk membentuk “tiang
kelima” ini muncul karena pada saat itu pemikiran untuk
menempatkan MK sebagai salah satu kamar di MA cukup dominan.
24/02/21 Satya Arinanto - Beberapa Catatan tentang 4
Mahkamah Konstitusi
Gagasan Awal Penulis
tentang Posisi Mahkamah Konstitusi

Lingkungan Peradilan
di Indonesia

Peradilan Umum Peradilan Militer Peradilan Agama Peradilan Tata Usaha Negara Peradilan Tata Negara
24/02/21 Satya Arinanto - Beberapa Catatan tentang 5
Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi dalam
Perubahan UUD 1945 (1)
w Reformasi politik yang terjadi sejak tahun 1998 di
Indonesia kemudian ternyata juga berimplikasi pada
reformasi konstitusi. Semenjak tahun 1999 hingga
tahun 2002, telah dihasilkan empat kali perubahan
UUD 1945
w Dalam Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945
dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah MA dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah MK.
24/02/21 Satya Arinanto - Beberapa Catatan tentang 6
Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi dalam
Perubahan UUD 1945 (2)
w Selanjutnya dalam Pasal 24C Perubahan Ketiga UUD 1945
diatur lebih lanjut beberapa ketentuan mengenai MK sebagai
berikut:
1. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap
UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.
2. MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut UUD. Ketentuan lebih lanjut mengenai hal ini diatur
dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945.

24/02/21 Satya Arinanto - Beberapa Catatan tentang 7


Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi dalam
Perubahan UUD 1945 (3)
3. MK mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi
yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing
tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
4. Ketua dan Wakil Ketua MK dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi.
5. Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi
dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat
negara.
6. Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum
acara serta ketentuan lainnya tentang MK diatur dengan UU.

24/02/21 Satya Arinanto - Beberapa Catatan tentang 8


Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi dalam
Perubahan UUD 1945 (4)
w Dalam Perubahan Keempat UUD 1945 ditetapkan adanya Pasal III Aturan
Peralihan yang menegaskan bahwa MK dibentuk selambat-lambatnya pada 17
Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh MA.
w Ketentuan ini akhir-akhir ini menjadi bahan perdebatan yang intens di berbagai
kalangan, karena hingga dua hari setelah pertengahan bulan Juli pada hari ini
(17 Juni) 2003, Amanat Presiden mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU)
MK masih dinantikan oleh DPR. Dengan demikian DPR dan Pemerintah belum
bisa membahas RUU tersebut secara resmi. Padahal di sisi lain DPR telah
menargetkan untuk menyelesaikan RUU ini pada akhir Juni 2003, dan – sesuai
dengan masa sidang DPR periode ini yang akan berakhir pada minggu pertama
Juli 2003 – pada akhir masa sidang sebelum memasuki masa reses DPR
menargetkan untuk menyelesaikan kewajiban konstitusionalnya untuk memilih 3
(tiga) orang hakim konstitusi yang menjadi kewajibannya. DPR memang telah
memberikan batas akhir bahwa Amanat Presiden tersebut diharapkan masuk
paling lambat tanggal 23 Juni 2003, namun banyak pihak yang merasa pesimis
bahwa RUU ini akan dapat selesai dibahas dalam waktu yang sesingkat ini
(hanya sekitar 1- 2 minggu). Karena itulah topik Diskusi Publik tentang MK
yang diselenggarakan pada hari ini menjadi sangat relevan.

24/02/21 Satya Arinanto - Beberapa Catatan tentang 9


Mahkamah Konstitusi
Alternatif Solusi dalam
Perspektif Historis
w Sehubungan dengan permasalahan batasan tenggat waktu tersebut, di
kalangan masyarakat dan DPR muncul beberapa alternatif solusi
sebagai berikut. Pertama,dalam sidang MPR pada bulan Agustus 2003
yang akan datang, MPR disarankan untuk mengubah ketentuan Pasal
III Aturan Peralihan, yang memberi kemungkinan untuk
mengundurkan tenggat waktu pembentukan MK. Usulan ini sepintas
terlihat ideal, namun dalam perspektif yang lebih luas dapat
menimbulkan kesulitan-kesulitan, terutama yang berkaitan dengan
persiapan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) tahun 2004.
w Kedua, usulan agar sebaiknya MK dibentuk terlebih dahulu, baru
kemudian ditetapkan hukum acaranya. Usulan ini juga kurang tepat
karena berdasarkan Pasal III Aturan Peralihan, jika MK sudah
terbentuk, maka segala kewenangannya yang selama ini dilakukan oleh
MA akan beralih kepadanya. Hal ini berarti MK sudah harus memiliki
hukum acara pada saat ia terbentuk. Dengan demikian tidak ada
alternatif lain bagi DPR dan Pemerintah kecuali segera menyelesaikan
pembahasan RUU tersebut.
24/02/21 Satya Arinanto - Beberapa Catatan tentang 10
Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi
dan Konstitusionalisme (1)
w Salah satu negara yang layak untuk dijadikan rujukan dalam pelaksanaan tugas
dan wewenang MK adalah Jerman. Jika kita amati, sebenarnya banyak gagasan
fundamental dari hukum tata negara Jerman yang memiliki akar aslinya pada
konstitusionalisme Amerika Serikat (AS). Misalnya, tentang konsep Negara
Federal Jerman dan interprestasinya melalui UU Federal tidak mungkin
terwujud tanpa adanya pengaruh dari The Federalist Papers.
w Pengaruh lain misalnya bahwa suatu UU harus dinyatakan null and void (tidak
berlaku lagi) karena bertentangan dengan UUD pada awalnya justru lebih
berkembang dengan lebih cermat di AS daripada di Eropa. Ketentuan dasar
lainnya yang berkaitan dengan constitutional review juga terkonseptualisasi di
AS, misalnya, bahwa seorang hakim tidak harus menegakkan suatu UU yang
secara konstitusional tidak sah. Jika saja tidak dipengaruhi oleh pandangan
Ketua MA AS John Marshall tentang hak uji materiil (judicial review), maka
tidak akan ada hak untuk mengajukan judicial review terhadap konstitutionalitas
suatu peraturan (the constitutionality of laws) di Jerman.

24/02/21 Satya Arinanto - Beberapa Catatan tentang 11


Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi
dan Konstitusionalisme (2)
w Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa banyak dimensi
ketatanegaraan Eropa yang memiliki akar di dalam konstitusionalisme
AS. Di Jerman, sebagaimana negara-negara Eropa lainnya, beberapa
nilai konstitusionalisme AS tersebut telah ditransformasikan, dan
diadaptasikan ke nilai-nilai lokal. Dan, tentu saja, kemudian juga
diperkaya dengan nilai-nilai tradisional yang khas Eropa.
w Konsep MK yang dibangun di Indonesia tampaknya tidak terlepas dari
pengaruh konstitusionalisme AS, yang kemudian berkembang dengan
segala variasinya di Jerman dan berbagai negara Eropa lainnya
sebagaimana diuraikan di muka. Namun demikian, jika tidak dikontrol
dengan cermat, bisa jadi MK ala Indonesia itu akan berkembang
menjadi MK yang seolah-olah, antara ada dan tiada.

24/02/21 Satya Arinanto - Beberapa Catatan tentang 12


Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi
dan Konstitusionalisme (3)
w Kesempatan pertama yang bisa menjadi batu ujian buat MK adalah
kemungkinan-kemungkinan munculnya gugatan baru terhadap
konstitusionalitas suatu UU. Hal semacam ini memang sedang menjadi suatu
kecenderungan (tren) yang menarik di dunia ketatanegaraan Indonesia. Batu
ujian kedua yang mungkin timbul adalah gugatan-gugatan yang berkaitan
dengan pelaksanaan pemilihan umum. Hal ini mungkin bisa segera muncul
sesaat setelah MK mulai bekerja. Batu ujian ketiga, yang belum mungkin ada,
adalah kemungkinan adanya pengajuan pendakwaan (impeachment) terhadap
Presiden. Batu ujian keempat dan seterusnya, berkaitan dengan sengketa
kewenangan antarlembaga negara dan sengketa antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
w Dengan komposisi hakim MK yang ada saat ini, dapat diperkirakan bahwa
apabila ada gugatan yang berkaitan dengan jalannya roda pemerintahan, maka
gugatan tersebut tidak akan mempengaruhi jalannya roda pemerintahan,
termasuk kemungkinan impeachment terhadap Presiden. Padahal, dalam konsep
awalnya MK justru dibangun untuk menegakkan prinsip-prinsip
konstitusionalisme, khususnya konstitusionalisme Indonesia.

24/02/21 Satya Arinanto - Beberapa Catatan tentang 13


Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi
dan Konstitusionalisme (4)
w Penulis memperkirakan, MK akan cukup kuat dalam menangani kasus-
kasus sengketa kewenangan, terutama sengketa kewenangan yang
terjadi antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sedangkan untuk kasus-
kasus sengketa antarlembaga negara juga masih sulit untuk diprediksi.
Namun jika sengketa itu melibatkan lembaga kepresidenan dan
lembaga pemerintahan, bisa diperkirakan bahwa MK akan
memenangkan mereka.
w Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa proses pengangkatan para
hakim MK untuk periode yang pertama ini masih diwarnai dengan
“perebutan” kepentingan-kepentingan masa depan, dengan demikian
tidak bisa dilepaskan adanya semacam “bargaining” dalam proses
penunjukkan para hakim MK, baik yang diusulkan oleh kalangan DPR,
Pemerintah, maupun MA.

24/02/21 Satya Arinanto - Beberapa Catatan tentang 14


Mahkamah Konstitusi
Pembubaran Partai
Politik di Jerman (1)
w Salah satu wewenang yang dimiliki oleh MK adalah pembubaran
partai politik (parpol). Dalam Konstitusi Jerman (Basic Law for
the Federal Republic of Germany), pengaturan tentang
pembekuan atau pembubaran parpol diatur dalam Pasal 21 ayat
(2)-nya. Dalam pasal tersebut antara lain dinyatakan bahwa
parpol yang berdasarkan tujuan-tujuannya atau tingkah laku
yang berkaitan dengan kesetiaannya mengganggu
(menghalangi/mengurangi) atau menghilangkan tata dasar
demokrasi yang bebas atau mengancam kelangsungan negara
Republik Federal Jerman (RFJ) harus dinyatakan
inkonstitusional. MK Federal (Federal Constitutional Court)
berwenang untuk menyatakan hal ini.

24/02/21 Satya Arinanto - Beberapa Catatan tentang 15


Mahkamah Konstitusi
Pembubaran Partai
Politik di Jerman (2)
w Dari perspektif sejarah hukum tata negara, kelahiran pasal ini
didasarkan pada keinginan untuk memperbaiki suatu kesalahan
sentral yang terjadi pada masa Republik Weimar, yakni
toleransinya terhadap partai ekstrimis yang justru merusak
demokrasi.
w Dengan mengingat pengalaman yang terjadi pada masa Adolf
Hitler masih berkuasa, para pendiri negara Jerman kemudian
memutuskan bahwa mereka tidak dapat bersikap netral
terhadap para musuh yang mematikan negara. Mereka
kemudian menetapkan pengaturan sebagaimana tercantum
dalam Pasal 21 ayat (2) tersebut, suatu ketentuan yang dalam
yurisprudensi ketatanegaraan Jerman dikenal sebagai
“demokrasi militan”.
24/02/21 Satya Arinanto - Beberapa Catatan tentang 16
Mahkamah Konstitusi
Pembubaran Partai
Politik di Jerman (3)
w Jika kita meninjau aspek bahasa dari Pasal 21 ayat (2) tersebut, dapat kita
simpulkan bahwa perumusan di dalamnya memang tidak jelas. Misalnya,
apakah yang sebenarnya dimaksud dengan frasa “tata dasar demokrasi yang
bebas” (free democratic basic order) dalam pasal tersebut. Seberapa resistensi
yang dilakukan oleh suatu parpol terhadap tata dasar demokrasi yang bebas
yang menyebabkannya dapat dibekukan atau dibubarkan oleh MK? Apakah
bahaya terhadap negara Jerman yang dimaksud harus bersifat jelas, ataukah
cukup hanya berdasarkan kemungkinan bahwa suatu hal akan bersifat
membahayakan terhadap eksistensi negara Jerman?
w Lebih jauh juga timbul permasalahan kapankah suatu parpol dapat
dikategorikan sebagai antidemokrasi dan inkonstitusional? Apakah jika mereka
memberikan suatu advokasi yang mengarah kepada perubahan sistemik dari
sistem politik yang sedang berlaku? Ataukah bila mereka melakukan advokasi
terhadap aktivitas kriminal? Atau mungkin pula jika mereka melakukan
perencanaan untuk melakukan penggulingan terhadap demokrasi?

24/02/21 Satya Arinanto - Beberapa Catatan tentang 17


Mahkamah Konstitusi
Pembubaran Partai
Politik di Jerman (4)
w Walaupun perumusan Pasal 21 ayat (2) tersebut terkesan tidak jelas,
namun dalam sejarah perjalanan MK di Jerman, sudah terdapat
beberapa parpol yang dibekukan atau dibubarkan berdasarkan pasal
ini. Parpol yang pernah terkena ketentuan dari pasal ini setidak-
tidaknya ada dua yaitu Socialist Reich Party atau SRP (1952) dan
Communist Party of Germany atau KPD (muncul pada 1951, dan
diputuskan pada 1956).
w Dalam kasus SRP, setelah MK melakukan analisis terhadap sejarah
kepartaian Jerman, khususnya Partai Nazi Hitler (NSDAP), dan
berdasarkan pengujian secara detail terhadap lusinan surat-surat
antarpimpinan SRP dan juga antara pimpinan SRP dengan para calon
anggota partai yang direkrut, didapatkan data bahwa para pimpinan
SRP sangat bersifat seperti Nazi dan mereka secara aktif terus berusaha
menyebarkan dan melanjutkan faham ini kepada kelompok yang akan
akan direkrut dan yang di luar partai. Hal yang sama juga terjadi
terhadap Communist Party of Germany atau KPD.

24/02/21 Satya Arinanto - Beberapa Catatan tentang 18


Mahkamah Konstitusi
1 PROSES PERUBAHAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Dasar Pemikiran
Tuntutan Reformasi Sebelum Perubahan Perubahan Tujuan Perubahan

• Amandemen UUD 1945 Jumlah: • Kekuasaan tertinggi di Menyempurnakan aturan


• Penghapusan doktrin • 16 bab tangan MPR dasar:
Dwi Fungsi ABRI • 37 pasal • Kekuasaan yang sangat • Tatanan negara
• Penegakan hukum, HAM, • 49 ayat besar kepada Presiden • Kedaulatan Rakyat
dan pemberan-tasan • 4 pasal A.P • Pasal-pasal multitafsir • HAM
KKN • 2 ayat A.T • Pengaturan lembaga • Pembagian kekuasaan
• Otonomi Daerah • Penjelasan negara oleh Presiden • Kesejahteraan Sosial
• Kebebasan Pers melalui pengajuan UU • Eksistensi negara
• Mewujudkan kehidupan • Praktek ketatanegaraan demokrasi dan negara
demokrasi tidak sesuai dengan UUD hukum
1945 • Sesuai dengan aspirasi
dan kebutuhan bangsa

Hasil Perubahan Sidang MPR Kesepakatan Dasar Dasar Yuridis

Jumlah: • Sidang Umum MPR, 1999 • Tidak mengubah • Pasal 3 UUD 1945
• 21 bab Tgl.14-21 Okt 1999 Pembukaan UUD 1945 • Pasal 37 UUD 1945
• 73 pasal • Sidang tahunan MPR,2000 • Tetap mempertahankan • TAP MPR
• 170 ayat Tgl.7-18 Agt 2000 NKRI No.IX/MPR/1999
• 3 pasal A.P. • Sidang tahunan MPR,2001 • Mempertegas sistim • TAP MPR 9
• 2 Pasal A.T. Tgl.1-9 Nov 2001 presidensial No.IX/MPR/2000
• Tanpa Penjelasan • Sidang tahunan MPR,2002 • Penjelasan UUD 1945 • TAP MPR XI/2001
Tgl.1-11 Agt 2002 ditiadakan, hal-hal
normatif masuk pasal-
pasal
• Perubahan dilakukan
Satya Arinanto - 19 cara “adendum”
dengan 24/02/21
Beberapa Catatan
3 LEMBAGA-LEMBAGA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN
menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun1945

UUD 1945

Presiden/
BPK Wakil Presiden DPR MPR DPD MA MK

kpu bank Kementerian


Negara badan-badan lain KY
sentral yang fungsinya
dewan
pertimbangan berkaitan dengan
TNI/POLRI kekuasaan
kehakiman PUSAT

Lingkungan
PERWAKILA PEMDA PROVINSI Peradilan DAERA
N BPK
PROVINSI KPD DPRD Umum H
Agama
PEMDA Militer
KAB/KOTA
KPD DPRD TUN

24/02/21 Satya Arinanto - Beberapa Catatan tentang 20


Mahkamah Konstitusi
4 Lembaga-lembaga yang memegang kekuasaan menurut UUD

DPR Presiden MK MA

Pasal 24 (1)
Pasal 4 (1) memegang kekuasaan kehakiman
Pasal 20 (1)
memegang kekuasaan yang merdeka untuk
memegang kekuasaan
pemerintahan menyelenggarakan peradilan guna
membentuk UU
menegakkan hukum dan keadilan

24/02/21 Satya Arinanto - Beberapa Catatan tentang 21


Mahkamah Konstitusi
24 KEKUASAAN KEHAKIMAN
Mahkamah Konstitusi

Hakim konstitusi harus


memiliki integritas dan mempunyai sembilan orang
kepribadian yang tidak tercela,
adil, negarawan yang MK anggota hakim konstitusi yang
ditetapkan oleh Presiden, yang
menguasai konstitusi dan diajukan masing-masing tiga
ketatanegaraan, serta tidak Pasal 24C orang oleh MA, tiga orang
merangkap sebagai pejabat oleh DPR dan tiga orang oleh
negara Presiden
[Pasal 24C (5)] [Pasal 24C (3)]

Wewenang

1. berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya


bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum [Pasal 24C (1)];
2. wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-
24/02/21 Satya Arinanto - Beberapa Catatan tentang 22
Undang Dasar [Pasal 24C (2)]; Mahkamah Konstitusi

You might also like