You are on page 1of 25

FORMULASI RECHTSVINDING DENGAN PENALARAN ANALOGIS DALAM

EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM


(Telaah Metodologis Qiyas sebagai Ra’y terhadap Mashâdir al-Ahkâm
asy-Syar’iyyah)

Muhammad Syarif Hidayatullah


Program Doktor Ilmu Syariah Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin
e-mail: syarif.muhammad849@gmail.com
Submit: 02-11-2020 Direvisi: 04, 13, 26-11- Dipublish: 18-12-2020
2020

Abstract: Qiyas is one of the methods of legal discovery in the epistemology of Islamic law that can be applied in
describing contemporary cases with analogical forms of reasoning. This paper aims to describe qiyas as
a method of legal discovery. This type of research is normative legal research with a conceptual
approach. The results of the discussion showed that the discovery of the law through qiyas is built on
four elements that become the pattern of the formation of the law, namely ashl, far ', hukm al-ashl and
' illat. The law can be found when there is a common legal motive ('illat) between a legal case that has
no direct provision in the nash (far') and a legal case that has been established in nash (ashl). In the
process of qiyas application there is also a search for legal motives (masâlik al-'illat), because there is
'illat listed in nash ('illat manshushah) and which is not listed in the nash/results istinbath ('illat
mustanbathah). Qiyas in the study of conventional legal theory methodologically has the same pattern
of legal discovery as argumentum per analogium which is part of the legal construction method.

Kata kunci: Rechtsvending, Dalil Hukum, Qiyas, Ijtihad, Mashâdir al-Ahkâm


PENDAHULUAN asy-syar’iyyah (‫ )الألدللة الشرعية‬atau dalil-dalil

P erkara hukum (syariah) dalam ajaran


Islam tidak hanya mengarah pada
hukum Islam. Istilah mashâdir al-ahkâm
asy-syar’iyyah tidak ditemukan dalam
pembahasan ibadah, namun juga khazanah fikih klasik, melainkan yang
mencakup muamalah. Sebab aturan ada adalah sebutan dalil atau al-Adillah
hukum Islam itu universal dan kompre- asy-syar’iyyah, sedangkan istilah mashâdir
al-ahkâm terdapat dalam literatur fikih
hensif yang menyentuh berbagai aspek
kehidupan baik itu ritual maupun kontemporer. (Sulistiani, 2018)
interaksi sosial. Islam adalah agama Sumber hukum dalam ajaran Islam
rahmatan lil âlamîn (rahmat bagi seluruh adalah al-Qur’an dan Sunnah. Selain al-
alam) dengan syariat yang menyeluruh Qur’an dan Sunnah terdapat pula dalil
dan sempurna yang bermuara pada hukum sekunder yakni ijtihad. Jadi secara
mashâdir al-ahkâm asy-syar’iyyah umum dapat dirumuskan, bahwa dalil
(‫ )مصادراالحكام الشرعية‬atau sumber hukum hukum dalam syariat Islam ada dua,
Islam yakni al-Qur’an dan sunnah. yakni: pertama, nash/wahyu atau disebut
Selain istilah mashâdir al-ahkâm asy- dalil naqli yang meliputi al-Qur’an dan
syar’iyyah dikenal pula istilah al-adillah Sunnah. Kedua, ijtihad/ra’y/penalaran
178 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 2, Juli-Desember 2020

atau disebut dalil aqli yang meliputi ijmâ’, sebagai proses pembentukan hukum oleh
qiyâs, mashlahah mursalah, istihsân, istishhâb, hakim atau petugas-petugas hukum
‘urf, sad adz-dzarî’ah, madzhab shahâbî/qaul lainnya yang diberi tugas melaksanakan
shahâbî, dan syar’u man qablanâ. Dalil hukum terhadap peristiwa hukum yang
hukum berupa ijtihad dalam kajian ushul konkrit. (Nur, 2016) Selain itu pula dapat
fikih, secara spesifik terbagi lagi menjadi dibawa ke pemaknaan sebagai suatu
dua bagian/kelompok, yakni adillah al- proses konkretisasi atau individualisasi
ahkâm al-muttafaq ‘alaihâ ( ‫أدلة األحكام المتفق‬ peraturan hukum (das sollen) yang bersifat
‫ )عليها‬atau dalil-dalil hukum yang umum dengan mengingat akan peristiwa
disepakati meliputi ijmâ’ dan qiyâs dan kongkrit (das sein) tertentu. (Nur, 2016)
adillah al-ahkâm al-mukhtalaf fîhâ ( ‫أدلة المختلف‬ Fenomena sosial dengan berbagai
‫ )فيها‬atau dalil-dalil hukum yang peristiwa yang menyertainya serta
diperselisihkan meliputi selain ijmâ’ dan kebutuhan hidup yang kompleks berjalan
qiyâs. Ijmâ’ dan qiyâs sudah diakui oleh dinamis sehingga bermunculan persoalan-
jumhur ulama, namun kalangan mazhab persoalan baru yang tidak ditemukan
dan para fukaha berbeda pandangan penjelasan yang terperinci dan khusus
mengenai legalitas dan ruang lingkup dalam nash. (Naya, 2017) Eksistensi fatwa
bentuk-bentuk penalaran lain yang di tengah masyarakat dalam rangka
bersumber dari ijtihad. (Kamali, 2008) menjawab persoalan yang dihadapi umat
Upaya yang dilakukan para ulama terutama pada kasus-kasus kontemporer
dalam menggali, memahami dan memiliki urgensi dan signifikansi yang
menetapkan serta merumuskan hukum dapat dilihat pada fungsi yang dijalankan
Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan sebagai mediasi antara idealitas hukum
sunnah dikalangan para ulama ushûl Islam di satu sisi dan realitas faktual disisi
disebut dengan istinbath. (Dedi, 2018) lain. (Suryani, 2018) Melihat fakta
Dalil hukum sekunder (dalil naqli) berupa demikian, maka eksistensi ijtihad menjadi
ra’y dengan bagian-bagiannya ini dalam sangat penting dan perlu dilakukan dalam
upaya dan langkah-langkah ijtihad merespons problematika kontemporer
disebut juga sebagai metode penemuan agar tidak terjadi kekosongan hukum dan
hukum atau thuruq istinbath al-ahkâm. dapat memberikan jawaban atas per-
(Simbolon, 2020) soalan yang terjadi memperhatikan
Pada kajian hukum konvensional, kaidah-kaidah bahasa (linguistik) maupun
penemuan hukum dikenal dengan istilah kaidah-kaidah ushuliyah lainnya. (Zaidah,
rechtsvinding. Rechtsvinding merupakan 2018)
proses pembentukan hukum oleh Ijtihad dalam bentuknya sebagai
hakim/aparat penegak hukum lainnya upaya pengeluaran hukum dari sumber-
dalam penerapan peraturan umum nya, selain pengambilan hukum dari
terhadap peristiwa hukum yang konkrit zhahir nash jika hukum itu didapatkan
dan hasil penemuan hukum menjadi dari nash, juga terdapat pengambilan
dasar untuk mengambil keputusan hukum dari ma’qul nash, karena nash itu
(“Penemuan hukum oleh hakim mengandung ‘illat yang menjelaskannya,
(Rechtvinding),” t.t.). Penemuan hukum atau ‘illat itu diketahui dan tempat
dalam konteks ini biasanya didefinisikan kejadian yang di dalamnya mengandung
Formulasi Rechtsvinding Dengan Penalaran Analogis Dalam Epistemologi Hukum Islam ║179

‘illat, sedang nash itu tidak memuat kedudukan qiyas menjadi sentral sebagai
hukum itu maka inilah yang disebut bagian dari penalaran atau ra’y terhadap
dengan qiyas. (Erwan, 2018) mashâdir al-ahkâm asy-syar’iyyah (al-Qur’an
Qiyas merupakan metode pene- dan sunnah), apalagi arus modernisasi,
muan hukum melalui menyamakan perkembangan dan kemajuan teknologi,
hukum sesuatu yang tidak ada ketentuan kondisi yang dinamis dan kompleksitas
hukumnya dengan sesuatu yang ada kebutuhan masyarakat serta pergeseran
hukumnya karena adanya persamaan ‘illat perilaku sosial melahirkan banyak
antara keduanya. (W. az Zuhailî, 1999) persoalan baru yang menuntut untuk
Maka demikian, penalaran ijtihad dalam dilakukannya qiyas sebagai upaya
konteks rechtvinding (penemuan hukum) pemecahan masalah dan menjawab
sebagaimana qiyas perlu dilakukan dalam persoalan yang dihadapi umat dalam
menyingkap kepastian hukum dan muamalah kontemporer (kekinian).
menjelaskan status hukum kasus-kasus Dikarenakan munculnya kasus-kasus
yang menjadi persoalan umat dan baru yang belum ada ketetapan
memerlukan jawaban yang tepat dan hukumnya dalam nash akan membuat
tidak keluar dari koridor syariah. kebingungan dan keragu-raguan umat
Berkembangnya zaman secara Islam apakah hal tersebut boleh ataukah
dinamis, maka banyak hal baru yang tidak boleh, sebab mereka memerlukan
ditemui dan menjadi problematika yang jawaban oleh para ulama terhadap status
dihadapi dalam perkara muamalah. Fikih hukumnya. Oleh karena itu, eksistensi
Islam melalui kaidah fikih mengakomodir qiyas sebagai ra’y terhadap mashâdir al-
perkara muamalah dengan kaidah prinsip ahkâm asy-syar’iyyah sebagai upaya
dasarnya yakni hukum asalnya adalah penemuan hukum dalam memberikan
halal atau boleh, terkecuali ada dalil yang kepastian hukum melalui formulasi fikih
melarangnya. (al Qaradhâwî, 2010: asy (produk hukum) terkait problematika
Syuraim, 1994) kontemporer adalah sangat urgen untuk
Lalu kaidah ushul berbunyi (Usman, dilakukan. Namun demikian, eksistensi
1997): qiyas sebagai penalaran ijtihad dan
metode penemuan hukum tidak dapat
‫تَغَيُّرُ الْاَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلاَزْمِنَةِ وَ الْاَمْكِنَةِ وَ الَْا حْوَا ِل‬
diaplikasikan sembarangan dengan asal
“Perubahan hukum itu berdasarkan mengqiyaskan kasus hukum yang satu
perubahan zaman, tempat dan keadaan.” dengan yang lainnya secara bebas,
Dalam kaidah ushul lainnya (al melainkan terdapat standar dan aturan
Asmarî, 2000; al Bâqistânî, 2002; an secara metodologis yang menjadi
Nadawî, 1999): sandaran dalam prosedur serta proses
‫الْحُكْمُ َيدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا‬ alur berpikir yang membentuk pola
pembentukan hukumnya yang telah
“Hukum berputar (berlaku) bersama ada diformulasikan oleh para ulama ushul
atau tidak adanya ‘illat.” fikih.
Illat (sebab hukum) merupakan Terminologi rechtsvinding dalam
bagian dari nalar qiyas. Dengan demikian, hukum konvensional dipahami sebagai
180 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 2, Juli-Desember 2020

penemuan hukum oleh hakim, karena termasuk adillah al-ahkâm al-mukhtalaf fîhâ
memang otoritas dalam penemuan atau dalil hukum yang masih
hukum berada di tangan hakim sebagai diperselishkan. Penggunaan ra’y berupa
pihak yang memiliki otoritas dalam metode istihsân yang disokong oleh Imam
menjalankan suatu aturan hukum, dalam Abû Hanîfah, keberadaannya ditolak oleh
hal ini tanpa bermuara pada al-Qur’an Imam Syâfi’î (Naya, 2016; Tajudin, 2017),
dan sunnah sebagaimana hukum Islam, atau mashlahah mursalah yang digunakan
tapi muaranya adalah peraturan oleh Imam Mâlik sebagai sumber hukum,
perundang-undangan. Penemuan hukum namun tidak digunakan sebagai sumber
dalam kajian ushul fikih disebut istinbâth hukum oleh Imam Syâfi’î. (T. Rohman,
al-hukm yang dilakukan oleh seorang 2017) Dengan demikian, kajian ini
ulama mujtahid yang dalam setiap berupaya menyingkap standard operating
putusan hukumnya tidak lepas dari al- procedure secara metodologis ra’y atau
Qur’an dan sunnah. Maka terminologi penalaran qiyas sebagai rechtvsinding
rechtsvinding dalam tulisan ini dalam dalam epistemologi hukum Islam.
pemaknaan sebagai metode penemuan
hukum atau upaya pembentukan hukum
METODE PENELITIAN
dan diarahkan pada penemuan hukum
dalam menghadapi kasus hukum oleh Metode penelitian yang digunakan
seorang ulama mujtahid atau ahli hukum adalah penelitian hukum normatif dengan
Islam (fiqh dan ushûl fiqh). Penemuan pendekatan konseptual, yakni menelaah
hukum dalam teori hukum konvensional konsep qiyas sebagai metode rechtsvinding
dikenal istilah metode interpretasi dan (penemuan hukum) atau itinbâth al-hukm
konstruksi, (Nur, 2016) atau dalam dalam epistemologi hukum Islam. Peng-
tipologi lain yakni metode interpretasi, galian bahan hukum dalam penelitian ini
metode argumentasi dan metode dilakukan dengan studi literatur melalui
penemuan hukum bebas. (Bakhtiar, 2018) kitab-kitab ushul fikih baik klasik maupun
Penemuan hukum dalam teori kontemporer. Selain itu bahan hukum
hukum konvensional secara metodologi pula digali pada jurnal-jurnal ilmiah yang
dan alur berpikir dapat memiliki berkaitan dengan objek kajian dan kamus
kesamaan dengan penemuan hukum yang digunakan dalam pendefinisian
dalam teori hukum Islam (ushûl fiqh), secara etimologis. Analisis yang dilakukan
namun secara fundamental dan dalam penelitian ini bersifat deskriptif
substansial tetap ada perbedaan. Maka dengan menggunakan logika deduktif.
dalam tulisan ini, penulis berupaya
mengkaji alur berpikir dan pola kerja
FORMULASI RECHTSVINDING (PENE-
penemuan hukum melalui penalaran
MUAN HUKUM) DENGAN METODE
analogis (qiyas) dalam hukum Islam.
QIYAS DALAM EPISTEMOLOGI
Qiyas merupakan salah satu dari adillah al-
HUKUM ISLAM
ahkâm al-muttafaq ‘alaihâ atau penggunaan
ra’y sebagai dalil hukum yang disepakati 1. Pengertian Qiyas
jumhur ulama. Berbeda halnya dengan
istihsân dan mashlahah mursalah yang Qiyas merupakan bentuk masdar
dari kata ‫ يقيس‬- ‫ قاس‬yang artinya ukuran,
Formulasi Rechtsvinding Dengan Penalaran Analogis Dalam Epistemologi Hukum Islam ║181

mengetahui ukuran sesuatu. redaksi yang berbeda, namun bertemu


(Munawwir, 1997) Qiyas secara bahasa pada satu makna yang sama yakni titik
bermakna at-taqdîr (mengukur) dan at- tolaknya adalah pada penyerupaan
taswiyah (menyamakan). Maka qiyas sesuatu dengan sesuatu yang lain
dapat diartikan mengukur sesuatu karena adanya kesamaan illat hukum.
dengan yang lainnya maupun menye- Selain itu proses penetapan hukum
rupakan atau menyamakan sesuatu dengan metode qiyas bukanlah
dengan yang sejenisnya. Sedangkan menetapkan hukum dari awal, akan
secara istilah oleh para ulama ada tetapi hanya menyingkapkan dan
berbagai pendapat dalam keragaman menjelaskan hukum pada suatu
redaksi pendefinisiannya. persoalan hukum yang belum jelas
Menurut Fakhruddîn ar-Râzî, hukumnya dengan upaya penggalian
qiyas adalah penalaran tentang atau telaah yang mendalam serta teliti
penetapan perumpamaan bentuk pada ‘illat hukum sebagai jalan
hukum pada bentuk yang lain karena mendasar yang menjembatani proses
terdapat persamaan ‘illat hukum ketika qiyas. (Sakirman, 2018) Dengan begitu,
menetapkannya. (ar Râzî, 1994) Lalu al- pilar mendasar yang penting dalam
Ghazâlî mendefinisikan qiyas adalah membangun alur berpikir qiyas atau
menanggungkan sesuatu yang di- penalaran analogis dalam hukum Islam
ketahui kepada sesuatu yang diketahui pada semua pengertian dan penjelasan
dalam hal menetapkan hukum pada para ulama di atas adalah bermuara
keduanya atau meniadakan hukum pada kesamaan ‘illat (sebab
dari keduanya disebabkan ada hal yang hukum/motif penetapan hukum)
sama antara keduanya, dalam pe- sehingga dapat dilakukannya peng-
netapan hukum atau peniadaan qiyasan (penyerupaan) antara ashl atau
hukum. (al Ghazâlî, 1993) Sementara induknya yakni kasus yang ada
itu ‘Abdul Wahhâb Khallâf hukumnya secara langsung melalui
berpendapat bahwa qiyas adalah me- nash kepada far’ atau cabangnya yakni
nyamakan suatu hukum dari peristiwa kasus baru dalam realita yang tidak
yang tidak memiliki nash hukum ditemukan hukumnya secara langsung
dengan peristiwa yang sudah memiliki dalam nash.
nash hukum, sebab adanya persamaan
dalam ‘illat hukumnya. (Khallâf, t.t.) 2. Kehujjahan Qiyas
Sedangkan Wahbah az-Zuhailî Berdasarkan pendapat jumhur
mengungkapkan qiyas adalah ulama menyatakan bahwasanya qiyas
menyamakan hukum sesuatu yang adalah termasuk hujjah syar’iyyah atas
tidak ada ketentuan hukumnya dengan hukum-hukum terkait perbuatan
sesuatu yang ada hukumnya karena manusia (‘amaliyah) dan qiyas men-
adanya persamaan ‘illat antara duduki martabat yang keempat di
keduanya. (W. az Zuhailî, 1999) antara hujjah-hujjah syar’iyyah setelah
Berdasarkan penjelasan para al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijmâ’. Alasan
ulama di atas, walaupun dengan
182 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 2, Juli-Desember 2020

jumhur menerima qiyas menjadi hujjah Kemudian dalam hadits yang


adalah mendasarkan pada dalil berikut: menjelaskan tentang Muadz bin Jabal
Allah SWT berfirman dalam QS. yang diutus Nabi saw. ke Yaman (ad
an-Nisâ’ (4): 59 Dârimî, 2000; as Sijistânî, t.t.; asy
‫الرسُولَ َوأُولِي ْاأل َ ْم ِر‬ Syaibânî, 2001; at Tirmidzî, 1998a; ath
َّ ‫َّللا َوأ َطِ يعُوا‬
َ َّ ‫يأَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا أَطِ يعُوا‬
‫ول ِإ ْن‬ ِ ُ‫الرس‬ ِ َّ ‫ش ْيءٍ فَ ُردُّوهُ ِإلَى‬
َّ ‫َّللا َو‬ َ ‫ِم ْنكُ ْم فَإ ِ ْن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي‬ Thabrânî, 1994):
‫س ُن ت َأ ْ ِويًلا‬
َ ْ‫اَّلل َو ْاليَ ْو ِم اْلخِ ِر ذ ِلكَ َخيْر َوأح‬
َ َ ْ ِ َّ ِ‫كُ ْنت ُ ْم تُؤْ مِ نُونَ ب‬ ‫َن النَّبِيَّ صَلَّى اهللُ َعلَيْ ِه وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ ِإلَى الَْيمَ ِن‬
َّ ‫ أ‬،ٍ‫عَنْ مُعَاذِ بْ ِن جَبَل‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah ‫ب‬ِ ‫ َأقْضِي بِكِتَا‬:َ‫ «كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟» قَال‬:ُ‫قَالَ لَه‬
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil ‫صلَّى‬ َ ِ‫ فَبِسُنَّ ِة َرسُولِ اهلل‬:َ‫هلل؟» َقال‬ ِ ‫با‬ ِ ‫ «فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَا‬:َ‫ قَال‬،ِ‫اهلل‬
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu ِ‫ «فَإِنْ َلمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اهللِ صَلَّى اهللُ َعلَيْه‬:َ‫ قَال‬،َ‫اهللُ َعلَيْهِ وَسَلَّم‬
berlainan Pendapat tentang sesuatu, ‫هلل‬
ُ ‫هلل صَلَّى ا‬
ِ ‫ فَضَرَبَ رَسُولُ ا‬:َ‫ َقال‬،‫ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو‬:َ‫وَسَلَّمَ؟» قَال‬
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika ‫هلل‬
ِ ‫ «الْحَمْ ُد لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ ا‬:َ‫ َوقَال‬،ُ‫صدْرَه‬
َ َ‫َعلَيْهِ وَسَلَّم‬
kamu benar-benar beriman kepada Allah »‫صَلَّى اهللُ َعلَيْ ِه وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اهللِ صَلَّى اهللُ َعلَيْهِ وَسَلَّ َم‬
dan hari kemudian. Yang demikian itu “Dari Muadz bin Jabal ra. Bahwa Nabi
lebih utama (bagimu) dan lebih baik saw. Ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi
akibatnya.” (QS. an-Nisa’[3]: 59 berkata: "Apa yang akan kau lakukan bila
terjadi perkara yang harus kau hukumi?"
Allah SWT pula berfirman dalam
Ia menjawab; aku menghukumi
QS. Al-Hasyr: 2
berdasarkan yang ada dalam kitab Allah.
‫ار ِه ْم‬ ِ ‫ب مِ ْن ِد َي‬ ِ ‫مِن أ َ ْه ِل ْال ِكت َا‬
ْ ‫ه َُو الَّذِي أ َ ْخ َر َج الَّذِينَ َكف َُروا‬ Rasulullah saw. Berkata: "Bila didalam
‫ظنَ ْنت ُ ْم أ َ ْن يَ ْخ ُر ُجوا َوظنُّوا أنَّ ُه ْم َمانِعَت ُ ُه ْم‬
َ َ َ ‫ِِل َ َّو ِل ْال َح ْش ِر َما‬ kitab Allah tidak ada, apa yang akan kau
‫ف‬ َ َ‫ث لَ ْم َيحْ ت َ ِسبُوا َوقَذ‬ ُ ‫َّللاُ ِم ْن َح ْي‬ َّ ‫َّللا فَأَتَاهُ ُم‬
ِ َّ َ‫صونُ ُه ْم مِن‬ ُ ‫ُح‬ lakukan bila terjadi perkara yang harus
َ َ
‫ْب يُخ ِربُونَ بُيُوت َ ُه ْم ِبأ ْي ِدي ِه ْم َوأ ْي ِدي‬ ْ َ ‫الرع‬ ُّ ‫فِي قلوبِ ِه ُم‬ُ ُ kau hukumi?" Ia menjawab; dengan
‫ار‬ ‫ص‬
ِ َ ‫ب‬
ْ َ ْ
‫اِل‬ ‫ِي‬ ‫ل‬‫و‬ُ ‫أ‬ ‫ا‬‫ي‬َ ‫وا‬ ‫ْال ُمؤْ ِمنِينَ فَا ْعتَبِ ُر‬ sunnah Rasulullah saw. Rasulullah saw.
“Dia-lah yang mengeluarkan orang- berkata: "Bila tidak ada dalam sunnah
orang kafir di antara ahli kitab dari Rasulullah saw.?" Ia menjawab; aku
kampung-kampung mereka pada saat berijtihad dengan pendapatku dan tidak
pengusiran yang pertama. Kamu tidak berlebih (dalam berijtihad). Kemudian
menyangka, bahwa mereka akan keluar Rasulullah saw. Menepuk dada Muadz
dan merekapun yakin, bahwa benteng- dan berkata; "Segala puji bagi Allah yang
benteng mereka dapat mempertahankan memberi pertolongan pada utusan
mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah Rasulullah saw. Untuk sesuatu yang
mendatangkan kepada mereka (hukuman) diridhai Rasulullah saw.” (HR. Abû
dari arah yang tidak mereka sangka- Dâwud, at Tirmidzî, Ahmad, Ath
sangka. Dan Allah melemparkan Thabrani dan ad Dârimî)
ketakutan dalam hati mereka; mereka
Hadis Muadz bin Jabal tatkala
memusnahkan rumah-rumah mereka
diutus Nabi SAW ke Yaman ini
dengan tangan mereka sendiri dan tangan
menunjukkan bahwasanya dasar
orang-orang mukmin. Maka ambillah
hukum yang dipakai adalah al-Qur’an,
(Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran,
Hai orang-orang yang mempunyai sunnah dan ijtihad, yang dikehendaki
wawasan.” (QS. al- Hasyr [59]: 2) dengan ijtihad adalah kemampuan
daya pikiran dan kemampuan lainnya
Formulasi Rechtsvinding Dengan Penalaran Analogis Dalam Epistemologi Hukum Islam ║183

menetapkan hukum dengan tetap 1. Qiyâs jalî (‫)قياس جلي‬, yakni qiyas yang
melihat ketentuan yang telah ada pada ‘illatnya ditetapkan oleh nash
nash yakni dengan cara mengqiyasnya. bersamaan dengan hukum ashl atau
(Amiruddin, 2009) Adapun kelompok tidak ditetapkan ‘illatnya namun di-
yang menolak qiyas sebagai dalil pastikan bahwa tidak ada pengaruh
hukum antara lain mazhab Niz- perbedaan antara ashl dengan far’.
hamiyah, Zhahiriyah dan sebagian 2. Qiyâs khafî (‫)قياس خفي‬, yakni qiyas
kelompok syiah yang mereka yang ‘illatnya tidak disebutkan di
berpendapat bahwa qiyas bukanlah dalam nash.
hujjah syar’iyyah atas hukum. Mereka
itulah yang disebut nufatul qiyas 4. Rukun dan Syarat Qiyas
(pembuang qiyas). (Khallâf, t.t.) Bahkan Penalaran qiyas dalam aplikasi-
Ibnu Hazm dari kalangan Zhahiriyah nya harus memenuhi beberapa rukun
dengan tegas menyatakan penolakan- yang menjadi unsur yang harus ada
nya terhadap hujjah yang berdasarkan dalam proses pengqiyasan. Ada empat
dengan ra’y dan hanya bersandar rukun qiyas yang menjadi pilar-pilar
kepada al-Qur’an dan hadits dengan yang membangun metode berpikir
memperhatikan makna dan pengertian penalaran analogis dalam hukum
lahiriyah (zahirnya) saja (Khoirin, Islam. Rukun-rukun tersebut adalah
2018). sebagai berikut: (Khallâf, t.t.)
1. Pokok atau al-ashl (‫ )االصلللل‬yaitu
3. Pembagian Qiyas
sesuatu yang ada hukumnya dalam
Qiyas ditinjau dari segi nash. Disebut maqis ‘alaih (yang
perbandingan antara ‘illat yang dijadikan ukuran), atau mahmul ‘alaih
terdapat pada ashl dengan yang (yang dijadikan pertanggungan),
terdapat pada far’, maka qiyas dapat atau musyabbah bih (yang dibuat
dibagi sebagai berikut (Farghalî, 1983): keserupaan/yang menyerupakan).
1. Qiyâs aulawî (‫)قياس أولوي‬, yakni qiyas Syarat al-ashl yakni (Sudirman, 2018):
dengan ‘illat yang ada pada far’ lebih pertama, hukum ashl merupakan
kuat daripada yang ada pada ashl. hukum yang telah tetap, bukan yang
2. Qiyâs musâwî (‫)قياس مساوي‬, yakni qiyas mansukh (sudah dihapuskan)/sudah
dengan ‘illat yang ada pada far’ di-nasakh); kedua, hukum itu ditetap-
maupun ashl kualitas diantara kan berdasarkan syara’; ketiga, ashl
keduanya sama. itu bukan merupkan far’ dari ashl
3. Qiyâs al-adnâ (‫)قياس اِلدنى‬, yakni qiyas lainnya; keempat, dalil yang
dengan ‘illat yang ada pada far’ lebih menetapkan ‘illat pada ashl adalah
lemah daripada yang ada pada ashl. dalil khusus, tidak bersifat umum;
Sedangkan jika ditinjau dari segi kelima, ashl itu tidak berubah setelah
kejelasan ‘illat sebagai landasan hukum, dilakukan qiyas; dan kelima, hukum
qiyas dapat dibagi sebagai berikut (W. ashl itu tidak keluar dari kaidah-
az Zuhailî, 1986): kaidah qiyas.
184 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 2, Juli-Desember 2020

2. Cabang atau al-far’ ( ‫ )الفلللر‬yaitu syarat ‘illat ini terdapat 24 syarat


sesuatu yang tidak ada hukumnya yang disebutkan oleh para ulama. 24
dalam nash, tetapi ada maksud syarat ini dijelaskan oleh asy-
menyamakannya kepada al-ashl Syaukânî dalam kitabnya Irsyâd al-
dalam hukumnya. Disebut al-maqis Fukhûl (asy Syaukânî, 2000), lebih
(yang diukur), atau al-mahmul (yang panjang lebar dibahas oleh az-
dibawa) atau musyabbah (yang Zarkasyî dalam kitabnya al-Bahr al-
diserupakan). Syarat al-far’ yakni Muhîth fî Ushûl al-Fiqh (az Zarkasyî,
(Zahrah, 1973): pertama, far’ 1992). Sebagian di antaranya
merupakan kasus baru yang tidak disepakati sedangkan sebagian
ada nash hukumnya secara langsung lainnya ada ikhtilaf (perbedaan
baik dalam al-Qur’an maupun pendapat) dikalangan para ulama
hadits; kedua, ‘illat hukum harus dalam memandangnya sebagai
terwujud dalam kasus baru, sama syarat ‘illat. Tâjuddîn as-Subkî secara
jelasnya dengan ‘illat pada ashl. umum dan mendasar menyebutkan
3. Hukum pokok atau hukm al-ashl ( ‫حكلم‬ tiga kriteria sifat ‘illat (as Subkî,
‫ )االصلل‬yaitu hukum syara’ yang ada 2003), Athâ` Abû ar-Rasytah
nashnya menurut ashl (pokok) dan menyebutkan sepuluh syarat ‘illat (ar
dimaksud dengan ini sebagai Rasytah, 2000), Taqiyuddîn an-
pangkal hukum bagi far’ (cabang.). Nabhânî menyebutkan delapan
Syarat hukm al-ashl yakni (Zahrah, syarat (an Nabhânî, 2003), Khudharî
1973): pertama, ketetapan hukum Bik menyebutkan delapan syarat
tersebut merupakan hukum syara’ pula (Bik, 1969), sedangkan Wahbah
berkenaan dengan amal perbuatan az-Zuhailî menyebutkan enam
(bersifat ‘amaliyah); kedua, ketetapan syarat utama yang baginya syarat-
hukum tersebut merupakan hukum syarat lainnya sudah tercakup dalam
yang rasional yaitu dapat ditelusuri, enam syarat tersebut (W. az Zuhailî,
maksudnya adalah dapat ditangkap 1986). Syarat-syarat ‘illat antara lain
sebab dan motif penetapan (Sarwat, 2019): pertama, zhahir, yakni
hukumnya, ataupun mengandung ‘illat merupakan sifat yang jelas,
isyarat terhadap sebab-sebab itu. dapat ditangkap oleh indera dan
4. Sebab hukum atau al-‘illat ( ‫ )العلل‬yaitu akal pikiran (dapat diterima secara
keadaan yang dijadikan dasar oleh logis); kedua, Dhabith, yakni ‘illat
hukum ashl (pokok) berdasarkan merupakan sifat yang pasti; ketiga,
wujudnya keadaan itu pada cabang, washfan munasiban, yakni ‘illat
maka disamakanlah cabang itu merupakan sifat yang serasi dan
kepada pokok mengenai hukumnya. pantas, jadi ‘illat tidak hanya sesuatu
Ada banyak syarat-syarat yang yang pantas dan cocok untuk
ditetapkan oleh para ulama ahli mewujudkan hikmah yang
ushul fikih sebagai kriteria yang terkandung dari segi tujuan
harus dipenuhi agar sesuatu itu penetapan hukum, tetapi juga dari
dapat disebut sebagai ‘illat. segi wujudnya memang pantas
Setidaknya dalam permasalahan sebagai alasan penetapan hukum
Formulasi Rechtsvinding Dengan Penalaran Analogis Dalam Epistemologi Hukum Islam ║185

sesuai dengan tujuan syara’ yaitu (maqâshid at-tasyrî’) dan sebagainya.


untuk mewujudkan kemaslahatan Ayat-ayat yang mempunyai banyak
dan menolak kemudharatan; arti, hendaklah ditafsirkan dengan
keempat, ‘illat tidak hanya terdapat al-hadits, jika tidak ditemukan al-
pada ashl (pokok), tetapi juga Hadits, hendaklah dengan ijmâ’ dan
terdapat pada far’ (cabang), jika tidak dimungkinkan hendaklah
maksudnya bahwa ‘illat pada ashl dengan qiyas. Oleh karena itu ia
dapat diterapkan pada persoalan harus:
lain; kelima, ‘illat tidak boleh a. Mengetahui al-hadits, pendapat
berlawanan atau menyalahi sahabat, ijmâ’ ulama, perbedaan
ketentuan hukum yang ditetapkan pendapat mereka dan qiyas.
oleh nash; keenam, ‘illat tidak boleh b. Memiliki akal sehat dan pikiran
membatalkan hukum pokok; ketujuh, baik, mampu membedakan bukti-
‘illat merupakan suatu sifat yang bukti yang hampir sama dan tidak
mendorong adanya hukum, maka terburu-buru dalam mengemuka-
keberadaannya tidak boleh setelah kan pendapat.
hukum, dengan begitu ‘illat dalam c. Bersikap terbuka sehingga ber-
penetapannya tidak boleh setelah sedia mendengarkan pendapat
hukum ashl. orang lain yang berbeda dengan
Tujuh syarat ‘illat yang pendapatnya. Dalam hubungan
dipaparkan di atas merupakan syarat- ini ia harus mengerahkan segala
syarat yang disepakati oleh ulama kemampuannya dan waspada
ushul baik klasik maupun kontemporer terhadap suara nuraninya, se-
(Sarwat, 2019). hingga ia mengetahui pendapat
mana yang harus dipegang dan
5. Syarat-syarat Pengqiyas mana yang harus ditinggal-
Imam asy-Syâfi’î mensyaratkan kannya, tidak berkeras kepala
bagi pengqiyas atau orang yang dengan pendapatnya sendiri dan
melakukan qiyas harus memenuhi tidak apriori terhadap pendapat
persyaratan-persyaratan berikut (asy orang lain sehingga atas kehendak
Syâfi’î, 1940): Allah dia mengetahui akan
1. Mengetahui bahasa Arab. Karena kelebihan dan kekurangan
agama Islam ini datang dengan masing-masing.
bahasa Arab, setiap mujtahid
6. ‘Illat dan Masâlik al-‘Illat
haruslah mengetahui bahasa ini.
2. Mengetahui ketentuan-ketentuan ‘Illat secara bahasa berarti pe-
dalam al-Qur’an, kewajiban- nyakit, sebab atau alasan (Munawwir,
kewajiban dan disiplin etisnya, ayat- 1997; Yunus, 1973). ‘Illat pula diartikan
ayat yang me-nasakh-kan dan yang sesuatu yang keberadaannya pada
di-mansukh-kan, yang ‘am (umum) suatu hal merubah kondisi pada hal
dan yang khas (khusus), tujuan tersebut (al Jurjânî, t.t.; Manzhûr, 1981).
ditetapkannya suatu hukum Penyakit itu disebut ‘illat, karena
186 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 2, Juli-Desember 2020

dengan adanya penyakit, maka tubuh ahli fikih. Sebagaimana unsur umum
manusia berubah dari keadaan sehat bagi kasus asal dan kasus cabang yang
menjadi sakit. (Haroen, 1996) menjadi dasar penalaran qiyas disebut
Sedangkan secara istilah menurut ma’na oleh asy-Syâfi’î. Nama-nama lain
al Ghazâlî, ‘illat adalah sifat yang yang menjadi istilah penyebutan
berpengaruh kepada hukum, bukan terhadap ‘illat pada periode per-
karena dirinya melainkan dengan tengahan antara lain ma’na (ide, dasar),
ketetapan Allah. (al Ghazâlî, 1993) sabab (sebab), amârah (tanda), dâ’î
Sementara itu al Âmidî, mendefinisikan (motif), mustad’î (faktor yang
‘illat sebagai sifat yang melahirkan menuntut), bâ’its (pendorong, motif),
hukum yang dilengkapi dengan hâmil (pembawa pesan), manâth (yang
hikmah yang shalih yang disengaja menjadi pautan, dasar), dalîl (yang
oleh syari’ (Allah SWT) dalam menjadi petunjuk, indikasi), muqtadhî
pensyariatan hukum. (al Âmidî, 1982) (yang menuntut), mûjib (yang
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah meng- mengharuskan) dan muatsir (yang
ungkapkan ‘illat adalah suatu sifat atau mempengaruhi). ‘illat juga disebut
keadaan yang relevan dengan hukum. dengan jâmi’(penghubung), muarrif
(al Jauziyyah, 1968a) Muhammad Abû (penanda) dan jalîb (yang menarik
Zahrah berpendapat ‘illat adalah suatu hukum). (Hamid, 2009)
sifat atau keadaan yang jelas, pasti lagi Kaidah ushul terkait ‘illat yang
serasi sebagai (dasar) penetapan memiliki posisi penting dalam
hukum. (Zahrah, 1973) Sedangkan penalaran qiyas yakni (al Asmarî, 2000;
dalam uraian ‘Abdul Wahhâb Khallâf, al Bâqistânî, 2002; an Nadawî, 1999):
‘illat adalah sesuatu yang jelas yang
‫الْحُكْمُ َيدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا‬
dijadikan oleh syari’ sebagai tambatan
hukum yang tujuannya adalah untuk “Hukum berputar (berlaku) bersama ada
merealisasi hikmah yang terkandung atau tidak adanya ‘illat.”
dalam ketetapan hukum tersebut. Berkaitan kaidah ushul di atas,
(Khallâf, 1993) Ibnu Qayyim menyatakan bahwa
Ada beragam nama yang dikenal apabila syara’ mengantungkan hukum
sebagai penyebutan yang merujuk dengan ‘illat (sebab hukum), hukum
kepada ‘illat. Berbagai macam istilah tersebut akan hilang dengan hilangnya
penyebutan tersebut dilatarbelakangi ‘illat tersebut. (al Jauziyyah, 1968b)
adanya ketidaksepakatan terhadap Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa jika
pemaknaan ‘illat dikalangan para ‘illat hilang maka hukum yang
ulama. Mazhab-mazhab fikih awal, Iraq digantungkan terhadap ‘illat tersebut
maupun Madinah menggunakan juga hilang, tetapi bisa juga hukum
sebutan mencari penghubung atau tersebut tidak hilang jika terdapat ‘illat
perantara umum antara kasus asal yang lain. Jika hukumnya tidak hilang
dengan kasus cabang yang membenar- padahal tidak ada hukum yang lain,
kan penggunaan qiyas, tetapi mereka maka itu menunjukkan bahwa ‘illat
tidak menggunakan istilah ‘illat, istilah tersebut tidak berpengaruh dan batal.
yang belakangan digunakan oleh para (al Harânî, 1995)
Formulasi Rechtsvinding Dengan Penalaran Analogis Dalam Epistemologi Hukum Islam ║187

‘Illat berdasarkan ada atau tidak metode-metode dalam masâlik al-‘Illat.


terdapatnya nash terbagi menjadi ‘illat As-Sarakhsî menyebutkan tiga metode
manshûshah dan ‘illat mustanbathah. ‘Illat pencarian ‘illat yakni an-nash, fahwa an-
manshûshah atau disebut juga ‘illat nash dan al-istidlal bi hukmi an-nash (as
naqliyah adalah ‘illat yang disebutkan Sarakhsî, 1953), Tâjuddîn as-Subkî
lafadznya di dalam nash, baik lafadz merumuskan sepuluh metode yakni al-
itu bersifat sharih maupun zhahir. ijmâ’, an-nash ash-sharîh, al-îmâ`, as-sabr
Lafadz yang bersifat sharih berarti wa at-taqsîm, al-munâsabah wa al-ikhâlah,
lafadz tersebut pasti sebuah ‘illat dan asy-syabah, ad-daurân, ath-thardh, tanqîh
lafadz yang bersifat zhahir berarti lafadz al-manâth dan ilghâ` al-Fâriq (as Subkî,
yang berpeluang menjadi ‘illat namun 2003), Wahbah az-Zuhailî merumuskan
masih ada kemungkinan ditafsirkan sembilan metode yakni an-nash, al-ijmâ’,
bukan sebuah ‘illat. Sedangkan ‘illat al-îmâ`, as-sabr wa at-taqsîm, al-munâ-
mustanbathah adalah ‘illat yang tidak sabah, asy-syibh, ath-thard, ad-daurân dan
disebutkan lafadz yang menunjukkan tanqîh al-manâth (W. az Zuhailî, 1986),
adanya ‘illat secara nyata di dalam Khudharî Bik merumuskan empat
nash, namun keberadaannya didapat metode yakni al-ijmâ’, an-nash, as-sabr
melalui hasil istinbath para ulama. wa at-taqsîm dan ad-daurân (Bik, 1969),
(Sarwat, 2019) lalu Abû Zahrah merumuskan tiga
Eksistensi ‘illat hukum begitu metode yakni an-nash, al-ijmâ’ dan al-
urgen dan menentukan untuk bisa munâsabah yang di dalamnya terdapat
diterapkannya qiyas. Suatu simpulan tanqîh al-manâth, takhrîj al-manâth dan
tidak bisa ditarik dengan penalaran tahqîq al-manâth. (Zahrah, 1973) Pada
qiyas, apabila tidak ada kesamaan bagian ini akan dipaparkan lima masâlik
antara ’illat pada kasus yang satu yang al-‘Illat sebagai berikut:
menjadi ashl dengan kasus yang 1. an-Nash
lainnya yang menjadi far’. (Azhari,
2014) Penyelidikan ‘illat dalam kajian Ketika terdapat nash baik al-
ushul fikih disebut dengan masâlik al- Qur’an maupun hadits yang secara
‘Illat. Masâlik al-‘Illat adalah metode- eksplisit dan jelas menyebut sifat
metode yang digunakan untuk menge- tertentu sebagai ‘illat suatu hukum
tahui ‘illat (sebab hukum) dalam ashl maka ‘illat tersebut merupakan ‘illat
(perkara pokok). Untuk menentukan yang tersurat dalam nash yang
‘illat dari beberapa sifat itu haruslah disebut nash sharîh. Selain itu ada
melalui metode-metode yang telah pula ayat al-Qur’an ataupun hadits
dirumuskan para ulama ushul yang yang tidak menampilkan ‘illat suatu
memang telah melalui pengkajian yang hukum secara tersurat, melainkan
mendalam dan tidak bertentangan secara tersirat atau implisit melalui
dengan prinsip-prinsip ushul fikih. indikasi-indikasi atau isyarat
Ada perbedaan di antara para terhadap ‘illat tersebut yang di-
ulama dalam perumusan, peng- istilahkan nash zhahir. Metode
klasifikasian maupun penamaan pada pencarian ‘illat dengan menggali
188 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 2, Juli-Desember 2020

pada isyarat-isyarat yang tertuang di mengerucut pada sifat yang tersisa.


dalam nash yang mengindikasikan Dari penelitian tersebut akhirnya
kepada ‘illat disebut pula dengan dapat diketahui bahwa yang tersisa
metode al-îmâ`. itulah yang layak menjadi ‘illat.
2. al-Ijmâ’ (Sarwat, 2019) Ada perbedaan di
kalangan para ulama ushul fikih
Ketetapan ijmâ’ merupakan terkait penamaan metode ini.
sebuah metode dalam pencarian Sebagian ulama yang salah satu di
‘illat. Dalam eksistensinya pada antaranya adalah as-Subki menama-
masâlik al-‘Illat, ada yang menempat- kan metode ini as-sabr wa at- taqsîm
kan ijmâ’ pada posisi pertama, ada berpijak pada pendapat bahwa
pula yang menempatkan ijmâ’ pada tindakan terpenting dari metode ini
posisi kedua setelah nash dalam adalah pada saat upaya mujtahid
perspektif masâlik al-‘Illat. Diluar dalam menganalisis sifat-sifat yang
masalah perbedaan pada persoalan ada (as-sabr), maka dari itu
eksistensi ijmâ’ dalam masâlik al-‘Illat, dinamakanlah metode ini as-sabr wa
ijmâ’ tetap menjadi landasan yang at- taqsîm. Berbeda halnya dengan al-
kuat untuk dijadikan sandaran pada Isnawi yang menamakan at- taqsîm
pencarian ‘illat. wa as-sabr dengan alasan bahwa
3. as-Sabr wa at-Taqsîm langkah awal penemuan ‘illat
dengan metode ini adalah meng-
As-sabr adalah penyelidikan inventarisir sifat-sifat (at- taqsîm).
seorang mujtahid untuk menentukan Lalu al-Baidhawi justru lebih
satu dari sekian banyak sifat yang sederhana dengan menamakannya
terkandung dalam ashl yang berhasil at- taqsîm dan ada pula yang
diinventarisir dengan cara mem- menamakan as-sabr tanpa disertai at-
buang semua sifat yang dinilai tidak taqsîm. (al ‘Aththâr, 2016; al Mahallî,
layak dijadikan ‘illat dengan ber-
2005)
pedoman pada dalil-dalil yang bisa
menguatkan. Sedangkan at- taqsîm 4. al-Munâsabah
adalah pengakomodiran seorang al-munâsabah dalam kajian
mujtahid terhadap semua sifat yang masâlik al-‘Illat adalah metode
terkandung dalam ashl yang pencarian ‘illat dengan mengguna-
disinyalir pantas dan layak untuk kan standar munâsabah (keserasian)
ditetapkan sebagai ‘illat dari hukum antara ‘illat dan hukum melalui
ashl. proses tanqîh al-manâth, takhrîj al-
As-sabr wa at- taqsîm dalam manâth dan tahqîq al-manâth. Tanqîh
kajian masâlik al-‘Illat adalah mem- al-manâth adalah melakukan proses
batasi beberapa sifat yang termuat peringkasan sifat yang menjadi
pada ashl dan memungkinkan dasar digantungkannya hukum
menjadi ‘illat. Kemudian dilakukan atasnya, dimana sifat-sifat itu
pengujian atas sifat-sifat tersebut disebutkan atau tertuang di dalam
dengan membatalkan sifat-sifat yang teks nash yang menjadi ashl. Lalu
tidak layak menjadi ‘illat hingga takhrîj al-manâth adalah menentukan
Formulasi Rechtsvinding Dengan Penalaran Analogis Dalam Epistemologi Hukum Islam ║189

‘illat dari sifat-sifat yang ada pada tual. (Musonnif, 2019) Kehadiran pe-
hukum berdasarkan faktor nalaran qiyas ini menjadi metode
keserasian atau keselarasan antara penengah antara ahl al-hadîts dan ahl al-
‘illat dan hukum disertai adanya ra’y. (H. Rohman, 2018) Ontologi (hakikat)
kebersamaan antara keduanya. hukum Islam itu adalah interrelasi antara
Sedangkan tahqîq al-manâth meng- teks, nalar dan realita. Maka kedudukan
ukuhkan ‘illat dan menerapkan ’illat qiyas dalam epsitemologi hukum Islam
yang telah ditentukan tersebut pada adalah kombinasi dan integrasi antara
suatu hukum ashl atas sebuah kasus teks dan nalar. Qiyas merupakan suatu
far’. Di mana penerapan itu cara penggunaan ra’y untuk menggali
didasarkan atas adanya keserasian hukum syara’ dalam hal-hal yang nash al-
antara ’illat dan hukum far’ Qur’an dan sunnah tidak menetapkan
sebagaimana pada ashl. (Sarwat, hukumnya secara pasti (qoth’i). Walaupun
2019) Tanqîh al-Manâth berkaitan qiyas tidak menggunakan nash secara
dengan ‘illat manshûshah, lalu takhrîj langsung, tetapi karena merujuk kepada
al-manâth berkaitan dengan ‘illat nash, maka dapat dikatakan bahwa qiyas
mustanbathah, sedangkan tahqîq al- tetap mengembalikan pemecahan masalah
manâth berkaitan dengan ‘illat kepada nash, namun tidak secara
manshûshah maupun mustanbathah langsung yakni pada merujuk kepada ashl
(Sahroni, 2017). (kasus hukum yang tertuang pada nash)
yang dijadikan sandaran fa’r (kasus
5. ad-Daurân
hukum yang tidak tertuang pada nash)
ad-Daurân adalah menetapkan yang dihubungkan dengan kesamaan ‘illat
‘illat dengan melihat perputaran (sebab hukum). (Surono, 2012) Maka
hukum berdasarkan sifatnya. Keten- demikian, dengan qiyas problematika
tuannya adalah apabila sifat tersebut umat yang terwujud pada kasus-kasus
ada, maka hukum akan ada dan hukum baru yang belum ter-cover oleh al-
sebaliknya apabila sifat tidak ada Qur’an, sunnah dan ijma’ akan men-
maka hukum tidak ada. Dengan dapatkan titik terang dalam mewujudkan
begitu dapat dipastikan bahwa sifat kemaslahatan umat. Sehingga jika
tersebut adalah ‘illat (Sarwat, 2019). dikatakan qiyas adalah pembatas hukum
maka ini kuranglah tepat mengingat apa
PENEMUAN HUKUM DENGAN yang ada dalam sumber hukum Islam
QIYAS DALAM EPISTEMOLOGI terutama al-Qur’an banyak yang bersifat
HUKUM ISLAM: SUATU UPAYA universal, umum dan global. (Kholiq,
PENGEMBALIAN MASALAH KEPADA 2014)
AL-QUR’AN DAN SUNNAH SERTA Maka dalam pengaplikasian metode
MEMELIHARA KEMASLAHATAN qiyas, permasalahan tetap dikembalikan
kepada teks syariah yakni al-Qur’an dan
Epistemologi Hukum Islam pada hadits dengan bertumpu pada illat (sebab
awalnya memiliki dua corak yakni hukum) maka far’ yang merupakan
normatif-tekstual dan rasional-konteks- perkara cabang/kasus baru yang tidak
190 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 2, Juli-Desember 2020

ditemukan hukumnya secara langsung Kitab al-Muwâfaqât mengatakan bahwasa-


dalam nash disandarkan kepada ashl yang nya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk
merupakan perkara pokok/kasus hukum tegaknya kemaslahatan manusia di dunia
yang telah ada ketetapan hukumnya di dan akhirat. Oleh karena itu, asy Syâthibî
dalam nash dengan garis yang menegaskan bahwa kemaslahatan tidak
menyatukan diantara keduanya adalah diukur oleh hawa nafsu, karena jika
‘illat yang menjadikan hukm al-ashl berlaku sesuatu itu mengandung kemaslahatan
pula pada far’. Nalar dalam hal ini dunia tanpa kemaslahatan akhirat, maka
digunakan untuk menemukan kesamaan itu bukan maslahat. (asy Syâthibî, 2004)
‘illat antara far’ dengan ashl sehingga Jadi tolak ukur dari maslahat adalah
dapat dihubungkan antara keduanya dan kembali kepada al-Qur’an dan sunnah
diberlakukan hukm al-ashl padanya far’ sebagai mashâdir al-ahkâm asy-syar’iyyah,
tersebut, serta juga digunakan untuk tidak hanya disandarkan kepada akal saja,
menelusuri dan mengeluarkan ‘illat dari melainkan akal haruslah didasarkan dan
dalam nash baik ketetapan dalam ayat diarahkan oleh syariat, bukan diarahkan
ahkam maupun hadits ahkam, karena bebas tanpa arah apalagi dibangun oleh
‘illat dapat berbentuk ‘illat manshushah hawa nafsu belaka.
(tertuang dalam nash) dan ‘illat Komprehensifnya ajaran Islam telah
mustanbathah (tidak tertuang di dalam menunjukkan syariat Islam sebagai
nash/hasil istinbath ulama). hukum yang mengatur habluminallah dan
Tujuan Allah SWT mensyariatkan habluminannâs serta alam sekitar dalam
hukumnya adalah untuk memelihara kehidupan dengan muatan ibadah dan
kemaslahatan manusia sekaligus untuk muamalah. (al Qaradhâwî, 2006; Syaltût,
menghindari mafsadat, baik di dunia 1996) Syariat tidak lepas dari mashalat,
maupun di akhirat. Tujuan tersebut begitupun sebaliknya maslahat tidak
hendak dicapai melalui taklif yang lepas dari syariat.
pelaksanaannya tergantung pada pe- Kaidah terkait (asy Syinqîthî, 1990;
nalaran sumber hukum utama yaitu al- W. az Zuhailî, 1985):
Qur’an dan sunnah. (Djamil, 1997)
‫هلل‬
ِ ‫صلَحَةُ َفثَمَّ شَرْعُ ا‬
ْ َ‫حَيْثُمَا وُجِدَتِ الْم‬
Maslahat merupakan aspek yang menjadi
tujuan disyariatkannya suatu hukum “Dimana terwujud kemaslahatan, disana
(maqâshid asy-Syarî’ah). Fathi ad-Dâraynî terdapat hukum Allah”
menyatakan bahwa hukum-hukum tidak- Tujuan disyariatkannya hukum
lah dibuat untuk hukum itu sendiri adalah untuk kemaslahatan, maka antara
melainkan dibuat untuk tujuan kemas- syariat dan maslahat tidak dapat
lahatan. (ad Dâraynî, 1975) Berkaitan dipisahkan, satu sama lain terhubung
dengan aspek maslahat, al-Izz bin ‘Abd dalam bingkai hukum Islam. Karena itu
as-Salam menyatakan bahwa syariat itu tolak ukur dan pedoman maslahat
semuanya maslahat baik menolak kembali pada syariat, sesuatu yang tidak
kejahatan maupun menarik kebaikan. (as bertentangan dengan syariat. Maslahat
Salam, 2001) Dalam hal ini asy-Syâthibî terwujud dalam dimensi duniawi-
yang dikenal sebagai Bapak maqâshid asy- ukhrawi, maka qiyas menjadi cara
Syari’ah dengan karya monumentalnya mewujudkan maslahat tersebut dengan
Formulasi Rechtsvinding Dengan Penalaran Analogis Dalam Epistemologi Hukum Islam ║191

pengembalian masalah kepada syariat maka tidak boleh ijtihad kecuali untuk
melalui nash. memahami nash tersebut dan dalalahnya.
Kaidah terkait (Ismâ’îl, 1958): (al Ghuzzî, 1996; M. M. az Zuhailî, 2006)
Ijtihad dimaksimalkan fungsinya
‫صلَحَ ُة‬
ْ َ‫حَيْثُمَا يَكُوْنَ الشَّرْعُ تَكٌوْنُ الْم‬
sebagai alat penggali hukum pada masa
“Dimana hukum syara’ dilaksanakan, disana tabi’in, bahkan dipandang sebagai suatu
tercipta kemaslahatan.” kebutuhan yang harus dilakukan untuk
Menurut al-Ghazâlî maslahat kem- bisa menjawab persoalan-persoalan baru
bali pada penjagaan maqâshid asy-syarî’ah. yang belum ada ketetapan hukumnya.
dan kemaslahatan didapatkan apabila (Nofrianti, 2018) Berbedahalnya di masa
terwujudnya dan terpeliharanya lima sahabat, ijtihad belum bisa disebut sebagai
unsur pokok, yaitu hifzh ad-dîn (meme- alat penggali hukum, oleh karena saat itu
lihara agama), hifzh an-nafs (memelihara di masa Rasulullah SAW masih hidup,
jiwa), hifzh al-‘aql (memelihara setiap persoalan yang dihadapi sahabat
akal/pikiran), hifzh an-nasb (memelihara dan mereka mengalami kebingungan
keturunan), dan hifzh al-mâl (memelihara maupun keragu-raguan akan suatu kasus
harta) (al Ghazâlî, 1993). Pemeliharaan hukum, maka dapat bertanya langsung
lima pokok tersebut mempunyai tiga kepada Rasulullah SAW untuk meminta
tingkatan sesuai dengan maslahat dan jawabannya.
kepentingannya, yakni dharuriyat (pri- Sedangkan melihat situasi dan
mer), hajiyat (sekunder) dan tahsiniyat kondisi saat ini, dimana derasnya arus
(tersier). perkembangan zaman dan pesatnya
Pada hakikatnya tidak ada qiyas kemajuan teknologi serta peralihan dan
yang bertentangan dengan nash baik al- pergeseran perilaku sosial dalam interaksi
Qur’an maupun sunnah. Apabila ditemu- yang kompleks, maka mempengaruhi
kan qiyas yang bertentangan dengan berbagai sektor kehidupan yang pada
nash, maka hal ini menunjukkan bahwa akhirnya melahirkan kasus-kasus baru
qiyas tersebut batal atau tidak sah. (al yang menjadi persoalan yang dihadapi
Bâqistânî, 2002). Karena pada dasarnya dan sangat penting untuk mendapatkan
qiyas tidaklah berdiri sendiri, melainkan status hukum agar memberikan kepastian
tetap kembali kepada nash sebagai hukum akan eksistensinya di masyarakat.
sandaran utama. Kaidah terkait berbunyi Maka dengan begitu, ijtihad menduduki
(Komite Ulama Khilâfah ‘Utsmâniyah, posisi yang sentral dalam merespons hal
t.t.): tersebut, agar umat tidak kebingungan
dan dilanda rasa keragu-raguan dalam
ِّ‫لَا مَسَاغَ لِلِاجْتِهَادِ فِي مَوْرِد النَّص‬ menghadapi persoalan kekinian yang
“Tidak ada ijtihad bersamaan dengan nash.” begitu beragam dengan mendapatkan
jawaban untuk memecahkan masalah
Kaidah ini menunjukkan tidak boleh hukum yang terjadi.
ijtihad dalam suatu hukum yang memang Imam Syâfi’î dalam kitab ar-Risâlah
sudah ada ketetapan pastinya dalam nash. menegaskan bahwa tidak seorang pun
Jika telah ada ketentuan di dalam nash, boleh mengatakan tentang status hukum
192 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 2, Juli-Desember 2020

(halal dan haram) suatu barang atau ‫لرسُو َل َوأُولِي ْاِل َ ْم ِر‬ َّ ‫َّللا َوأ َطِ يعُوا ا‬
َ َّ ‫يأَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا أَطِ يعُوا‬
perbuatan kecuali berdasarkan penge- ْ ُ
‫ول ِإ ْن كنت ُ ْم‬
ِ ُ‫الرس‬ َ
ِ َّ ‫ش ْيءٍ َف ُردُّوهُ إِلى‬
َّ ‫َّللا َو‬ َ ‫مِ ْنكُ ْم فَإ ِ ْن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي‬
‫۝‬٩٥ ‫يًل‬ ْ
‫س ُن ت َأ ِو ا‬ َ ْ‫اَّلل َو ْاليَ ْو ِم ْاْلخِ ِر ذَلِكَ َخ ْي ٌر َوأَح‬
ِ َّ ‫تُؤْ مِ نُونَ ِب‬
tahuan dan pengetahuan hanya dapat
diperoleh dari al-Qur’an, sunnah, ijma’ “Hai orang-orang yang beriman, taatilah
atau qiyas. (asy Syâfi’î, 1940) Ijtihad Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
sebagaimana yang dipaparkan Imam asy di antara kamu. kemudian jika kamu
Syâfi’î pada kitab ar-Risâlah-nya, berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
mengarah pada konsep qiyas. Qiyas kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
dalam kajian Imam asy Syâfi’î pada kitab
benar beriman kepada Allah dan hari
ar-Risâlah menunjukkan bahwa sumber
kemudian. yang demikian itu lebih utama
hukum sekaligus pengetahuan qiyas
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS. an-
adalah al-Qur’an dan sunnah yang dalam
Nisa’ [4]: 59)
istilah teknis yang digunakan Imam asy
Kemudian terdapat beberapa hadits
Syâfi’î dalam ar-Risâlah adalah al-khabar al-
terkait dengan mashâdir al-ahkâm as-
mutaqaddam. Istilah ini yang berikutnya
syar’iyyah, yakni:
dalam kajian ushul fikih lebih populer
Hadits riwayat Mâlik dalam al-
dengan sebutan ashl. (Mz, 2009)
Muwaththa’ (al Madanî, 1985):
Lalu eksistensi dan posisi qiyas
dalam hukum Islam pula disebutkan ‫ َت َر ْكتُ فِي ُك ْم‬:َ‫صلَّى اهللُ َعلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال‬ َ ِ‫عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ َبلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّه‬
Imam Syâfi’î dalam al-Umm ketika .ِ‫ ِكتَابَ اللَّهِ َوسُنَّةَ َنبِيِّه‬:‫ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكُْتمْ بِهِمَا‬،ِ‫أَمْرَيْن‬
menjelaskan tentang tingkatan ilmu.
Imam Syâfi’î memetakan ilmu dengan Dari Malik telah sampai kepadanya
menyatakan bahwa ilmu itu bertingkat- Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
tingkat. Tingkat pertama, yakni al-Qur’an "Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua
dan sunnah; kedua yakni ijmâ’ terhadap perkara yang kalian tidak akan sesat selama
kalian berpegang teguh dengan keduanya;
sesuatu yang tidak terdapat dalam al-
Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya."
Qur’an dan Sunnah; ketiga yakni qaul
Kemudan hadits riwayat al-Hâkim
sebagian sahabat tanpa ada yang
dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhain (an
menyangkalnya; keempat adalah pendapat
Naisâbûrî, 1990):
sahabat Nabi SAW yang antara satu
dengan yang lainnya ada perselisihan- :َ‫ َقالَ رَسُولُ اللَّ ِه صَلَّى اهللُ َعلَيْهِ وَسَلَّم‬:َ‫ قَال‬،ُ‫عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْه‬
/berbeda-beda (ikhtilâf); dan kelima yakni ‫ وَلَ ْن‬،‫ ِكتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِي‬:‫" إِنِّي قَدْ تَ َر ْكتُ فِيكُمْ شَيَْئيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْ َدهُمَا‬
qiyas terhadap salah satu dalil-dalil di "‫ض‬
َ ْ‫َرقَا حَتَّى يَرِدَا َعلَيَّ الْحَو‬
َّ ‫يَتَف‬
atas. Selama keterangan suatu perkara
terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah, Dari Abu Hurairah RA, ia berkata:
tidak diperlukan bersandar pada dalil Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya
lain, sebab ilmu itu diambil dari sumber aku telah meninggalkan untuk kalian dua
yang paling tinggi. (asy Syâfi’î, 1990) pedoman yang tidak akan membuat kalian
Berkaitan sumber hukum Islam tersesat sesudahnya, (yaitu) Kitab Allah dan
yakni al-Qur’an dan sunnah yang menjadi Sunnahku, keduanya tidak akan berpisah
pengetahuan dan rujukan dalam pe- hingga sampai di telaga.”
nalaran qiyas, Allah SWT berfirman Lalu hadits riwayat at-Tirmidzî
dalam QS. an-Nisâ’: 59 dalam Sunan at-Tirmidzî (at Tirmidzî,
1998b):
Formulasi Rechtsvinding Dengan Penalaran Analogis Dalam Epistemologi Hukum Islam ║193

‫ إِنِّي تَارِ ٌك‬:َ‫ قَا َل رَسُولُ اهللِ صَلَّى اللَّ ُه عََليْهِ وَسَلَّم‬:َ‫عَنْ زَيْ ِد بْ ِن أَ ْرقَ َم قَاال‬ kajian yang mendalam untuk dapat
‫ب‬ُ ‫ كِتَا‬:ِ‫فِيكُمْ مَا ِإنْ تَمَسَّكْتُ ْم بِ ِه لَ ْن تَضِلُّوا بَعْدِي أَحَ ُدهُمَا َأعْظَ ُم مِ َن اآلخَر‬ menarik garis penghubung tersebut
Untuk menyelesaikan kasus-kasus
‫َرقَا‬
َّ ‫ وَلَ ْن يَتَف‬،‫ وَعِتْرَتِي َأهْلُ بَيْتِي‬.ِ‫اهللِ حَبْلٌ مَمْدُودٌ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى األَرْض‬
yang tidak diatur secara tersurat dan jelas
.‫خلُفُونِي فِيهِمَا‬ ْ َ‫حَتَّى يَرِدَا َعلَيَّ احلَوْضَ فَاْنظُرُوا كَيْفَ ت‬ di dalam nash al-Qur’an maupun sunnah,
Dari Zaid bin Arqam, ia berkata: Rasulullah maka dalam kajian ushul fikih, sebuah
SAW bersabda: "Sesungguhnya aku telah upaya yang dapat diaplikasikan sebagai
meninggalkan untuk kalian sesuatu yang ikhtiar penyelesaiannya dengan jalan
sekiranya kalian berpegang teguh kepadanya, mengembalikan persoalan tersebut ke-
niscaya kalian tidak akan tersesat pada al-Qur’an dan sunnah itu sendiri.
sepeninggalku, salah satu dari keduanya itu Pengembalian kepada sumber hukum
lebih agung dari yang lain, yaitu; kitabullah utama tersebut dapat dilakukan melalui
adalah tali yang Allah bentangkan dari dua cara, yaitu dengan perluasan makna
langit ke bumi, dan itrahku (keturunanku) lafaz melalui jalan qiyas dan tujuan
dari ahli baitku, dan keduanya tidak akan disyariatkannya hukum (Maqâshid asy-
berpisah hingga keduanya datang Syarî’ah). (Riyadi, 2016)
menemuiku di telaga, oleh karena itu Tipologi metode penemuan hukum
perhatikanlah, apa yang kalian perbuat dalam epistemologi hukum Islam pada
terhadap keduanya sesudahku." literatur filsafat hukum Islam maupun
Eksistensi penalaran qiyas dapat kajian ushul fikih kontemporer secara
disebut sebagai pemelihara maslahat garis besar dibagi menjadi tiga metode,
dalam hukum cabang (far’). Menurut yakni lughawiyah, ta’liliyah dan itishlahiyah
Muhammad Sa’îd Ramadhân al Bûthî, (Al Yasa, 2016), atau adapula yang
qiyas merupakan upaya untuk me- membaginya menjadi ijtihad bayani, qiyasi
melihara maslahat pada far’ yang dan ta’lili. (Mazkur, 1984) Metode
didasarkan pada persamaan ‘illat yang lughawiyah/bayani dapat disebut pula
ada pada ashl. Qiyas pasti mengandung dengan istilah metode linguistik atau
pemeliharaan maslahat, namun tidak interpretasi literal, metode qiyasi/ta’lili
setiap pemeliharaan maslahat berarti dengan sebutan metode kausasi dan
qiyas. (al Bûthî, 1973) Oleh karena itu, metode istishlahi dengan sebutan metode
pada dasarnya upaya pengqiyasan dalam teleologis. Metode qiyas yang dikaji
proses penggalian dan penemuan hukum dalam tulisan ini masuk dalam kategori
Islam merupaya upaya untuk mencapai metode ta’lili atau kausasi. Metode ta’lili
kemaslahatan, karena penalaran qiyas atau kausasi diartikan sebagai perluasan
tidaklah berdiri sendiri, melainkan tetap berlakunya hukum suatu kasus yang
kembali kepada mashâdir al-ahkâm asy- ditegaskan di dalam nash kepada kasus
syar’iyyah yakni al-Qur’an dan sunnah baru berdasarkan ‘illat atau causa legis
sebagai pegangan dan tumpuan utama yang digali dari kasus nash kemudian
dengan cara menghubungkan dan diterapkan kepada kasus baru tersebut.
menyandarkan far’ kepada ashl yang Metode kausasi ini berupaya melakukan
terdapat di dalam nash melalui kesamaan penggalian causa legis dari hukum kasus
‘illat yang memang didasarkan pada pararel untuk diterapkan kepada kasus
194 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 2, Juli-Desember 2020

serupa yang baru. Maka apa yang metodologis masuk dalam metode
dilakukan ahli hukum di sini adalah binâ konstruksi hukum. Dalam perspektif
al-hukm ‘alâ al-‘illah atau pendasaran formulasi rechtsvending oleh seorang
hukum kepada causa legis Jika tidak ada hakim dalam teori hukum konvensional
kasus paralel, maka pendasaran hukum ini, metode interpretasi terbagi lagi
kepada causa legis tidak dapat dilakukan. menjadi interpretasi gramatikal, historis,
Oleh karena itu penemuan hukum dapat sistematis, teleologis, komparatif, futuris-
dilakukan dengan ta’lîl al-ahkâm bi tik, restriktif, ekstensif, autentik, inter-
maqâshid asy-Syarî’ah, atau dengan kata disipliner dan multidisipliner. Sedangkan
lain pendasaran hukum kepada causa metode konstruksi hukum meliputi
finalis hukum, yaitu maqâshid asy-Syarî’ah. argumentum per analogium, argumentum a
(Haris, 2012) contrario dan penyempitan atau peng-
QS. an-Nisâ` (4): 59 menunjukkan kongkretan hukum. (Rifai, 2010)
jika ada perselisihan pendapat diantara Sebagaimana telah disebutkan
ulama tentang hukum suatu masalah, sebelumnya, qiyas dalam kajian ushul
maka jalan keluarnya dengan fikih, jika dikaitkan dengan formulasi
mengembalikannya kepada al-Qur’an dan rechvending dalam teori hukum
sunnah, maka qiyas menjadi suatu upaya konvensional secara metodologis te-
dalam pengembalian tersebut. (Kholiq, rmasuk dalam metode konstruksi hukum
2014) Dikarenakan kasus baru yang dan lebih spesifik lagi dalam kategori
menjadi masalah cabang (far’) tidak diatur metode konstruksi hukum, qiyas secara
dan belum ada status hukumnya dalam alur berpikir mirip seperti metode
nash baik al-Qur’an maupun sunnah, argumentum per analogium, karena
maka dikembalikan dan dihubungkan samahalnya dengan qiyas, alur berpikir
kepada masalah pokok (ashl) yang telah metode argumentum per analogium
ada ketentuan hukumnya di dalam nash berporos pada penganalogian yakni
melalui persamaan sebab hukum (‘illat). menyamakan perkara hukum yang yang
Kesamaan ‘illat antara perkara yang tidak tidak ada ketetapannya dengan perkara
ada nashnya dengan perkara yang ada hukum yang ada ketetapannya karena ada
nashnya menyebabkan adanya kesatuan kesamaan yang menghubungkan diantara
hukum. (Sakirman, 2018) Sehingga keduanya. Dengan begitu metode ini
sebagaimana ketentuan hukum pada ashl, beranjak dari pendasaran hukum pada
seperti itulah diberlakukan pada far’-nya. causa legis yang berperan dalam proses
penganalogian.
Kontruksi hukum terjadi apabila
METODE QIYAS DAN FORMULASI tidak ditemukan ketentuan undang-
RECHTSVENDING DALAM TEORI
undang yang secara langsung dapat
HUKUM KONVENSIONAL
diterapkan pada masalah hukum yang
Jika dikaitkan dengan formulasi dihadapi, atau dalam hal peraturannya
rechtsvending (penemuan hukum) dalam tidak ada, jadi terdapat kekosongan
teori hukum konvensional mengacu pada hukum (recht vacuum) atau kekosongan
tipologi metode interpretasi dan kons- undang-undang (wet vacuum). (Muwahid,
truksi hukum, maka qiyas secara 2017) Lalu metode argumentum per
Formulasi Rechtsvinding Dengan Penalaran Analogis Dalam Epistemologi Hukum Islam ║195

analogium (analogi) sebagai bagian dari argumentum per analogium sebagai


metode konstruksi hukum merupakan formulasi rechtsvending dalam teori
metode penemuan hukum dengan cara hukum konvensional. Keduanya sama-
hakim mencari esensi yang lebih umum sama dibangun dengan titik tolak
dari sebuah peristiwa hukum atau penganalogian pada kasus hukum yang
perbuatan hukum baik yang telah diatur tidak diatur dengan kasus hukum yang
oleh undang-undang maupun yang belum telah diatur dengan berpijak pada
ada peraturannya. Dengan metode kesamaan causa legis. Namun lebih jauh
analogi, peristiwa yang serupa atau secara substantif, terdapat perbedaan
sejenis yang diatur dalam undang-undang pada posisi penggunaan dan sandaran.
diperlakukan sama. Metode penemuan Qiyas digunakan untuk merespon
hukum dengan analogi terjadi dengan muamalah yang terus berkembang me-
mencari peraturan umum dari peraturan lahirkan persoalan dan kasus hukum
khusus, untuk digunakan menggali asas- baru, lalu digunakan untuk menemukan
asas hukum yang ada di dalamnya. hukum terkait sah-bathil maupun halal-
Dengan penemuan hukum melalui haram dalam hukum Islam karena nash
metode analogi ini, sebuah peraturan tidak mengatur secara langsung suatu
yang bersifat khusus dijadikan umum kasus hukum dan sandarannya kembali
yang tidak tertulis dalam sebuah undang- pada al-Qur’an dan sunnah serta hukum
undang. Dari peraturan umum tersebut, yang digali adalah nash baik berupa ayat
disimpulkan peristiwa-peristiwa yang ahkam maupun hadits ahkam, sedangkan
khusus. Suatu peraturan perundang- argumentum per analogium merupakan
undangan diterapkan terhadap suatu salah satu jenis konstruksi hukum yang
peristiwa tertentu yang tidak diatur dalam sering digunakan dalam perkara perdata,
undang-undang tersebut, akan tetapi lalu digunakan seorang hakim untuk
peristiwa itu mirip atau serupa dengan menemukan hukum karena undang-
peristiwa yang diatur dalam sebuah undang yang mengatur akan peristiwa
undang-undang. (Mertokusumo, 1996) kongkrit tidak ada atau tidak ditemukan,
Metode konstruksi hukum melalui maka dalam hal ini penegak hukum
analogi ini memberi pemahaman pada (hakim) haruslah mencari, menggali,
suatu peraturan hukum dengan pemakna- mengkaji dan menemukan hukumnya
an yang diperluas melalui penyamaan (rechtsvending) dan sandarannya kembali
pada kata-kata dalam peraturan tersebut pada undang-undang serta hukum yang
sesuai dengan asas hukumnya sehingga digali adalah undang-undang.
suatu peristiwa yang sebenarnya tidak Dalam perbincangan tentang
dimasukkan, kemudian dianggap sesuai argumenttum per analogium ini, apabila
dengan bunyi peraturan tersebut. menggunakan analogi dengan baik dan
(Hamidi, 2011; Mertokusumo, 1996) tepat sasaran dimungkinkan untuk me-
Secara metodologis, memang kons- mecahkan persoalan baru dengan suatu
truksi berpikir qiyas sebagai istinbath al- peraturan yang dapat ditempatkan dalam
hukm dalam teori hukum Islam memiliki suatu hubungan yang erat dengan
alur berpikir yang serupa dengan peraturan-peraturan yang telah diadakan.
196 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 2, Juli-Desember 2020

Dengan demikian dianggap bahwa disebut Gustav Radbruch berupa ke-


hukum merupakan suatu susunan asas- pastian hukum, kemanfaatan dan
asas yang sangat kokoh dan setiap usaha keadilan, hal tersebut pula menjadi pilar
yang dilakukan untuk membuat hal itu yang tercermin dalam kemaslahatan pada
tetap demikian. Maka posisi qiyas pula pengaplikasian qiyas dalan penemuan
sebagaimana argumentum per analogium, hukum. Hal tersebut pula dapat dirasa-
eksistensinya mengokohkan aturan yang kan pada eksistensi argumentum per
berasal dari sumber hukum atau mashâdir analogium sebagai formulasi rechtsvending,
al-ahkâm asy-syar’iyyah dengan penggalian sebab pengaplikasinnya merupakan
hukum dan pengembalian setiap masalah wujud konstruksi hukum karena ada
tidak lepas dari nash, sebab pengqiyasan kekosongan hukum yang pada akhirnya
tidak dapat dilakukan jika tidak ada ashl dapat memberikan kepastian hukum.
(perkara pokok) yang berasal dari nash Namun yang membedakan, kemaslahatan
tempat menyandarkan far’ (perkara dalam argumentum per analogium hanya
cabang) berupa kasus baru yang berdimensi duniawi dan kemaslahatan
memerlukan status hukum. yang dimaksud berdasar logika/akal
Menurut Gustav Radbruch sebagai- pikiran/penalaran seorang hakim dalam
mana disebut Achmad Ali, dalam memahami undang-undang, sedangkan
penegakan hukum terdapat tiga unsur kemaslahatan yang berada pada peng-
yang dinamakan nilai dasar hukum yang aplikasian qiyas bernuansa religiusitas
harus selalu diperhatikan untuk Islam, kembali lagi pada teks syariat yakni
mewujudkan hakikat dari fungsi dan al-Qur’an dan sunnah, sebab tolak ukur
tujuan itu sendiri, yaitu: kepastian hukum kemaslahatan bukanlah sekedar akal
(rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmas- pikiran atau bahkan hawa nafsu,
sigkeit) dan keadilan (gerechtgkeit) (Ali, melainkan kembali ke syariat, sebab
1996). Pengaplikasian argumentum per tujuan pensyariatan suatu hukum adalah
analogium tidak boleh lepas dari tiga unsur maslahat dan suatu kaidah mengatakan
nilai dasar hukum ini, karena “apabila hukum syara’ diterapkan, maka
keberadaanya dalam upaya penemuan pastilah tercipta kemaslahatan.” Kaidah ini
hukum haruslah merepresentasikan menegaskan bahwa tolak ukur maslahat
kepastian hukum, kemanfaatan dan itu berdimensi duniawi-ukhrawi yang
keadilan. titik tolaknya adalah syariat yang tertuang
Sebagaimana disebutkan dalam di dalam nash.
pembahasan poin sebelumnya, bahwa
eksistensi dan aplikasi qiyas tidak lepas
PENUTUP
dari memelihara kemaslahatan, sebab
qiyas merupakan upaya untuk memeli- Formulasi rechtsvinding (penemuan
hara maslahat pada far’ yang didasarkan hukum) dengan penalaran analogis dalam
pada persamaan ‘illat yang ada pada ashl. epistemologi hukum Islam didasarkan pada
(al Bûthî, 1973) Dengan pemeliharaan perluasan berlakunya hukum suatu kasus
maslahat sebagai bagian dari qiyas, maka yang ditegaskan di dalam nash kepada
jika dikaitkan dengan tiga unsur yang kasus baru berlandaskan causa legis (‘illat)
dinamakan nilai dasar hukum seperti yang digali dari kasus nash yang selanjutnya
Formulasi Rechtsvinding Dengan Penalaran Analogis Dalam Epistemologi Hukum Islam ║197

diterapkan kepada kasus baru tersebut. ad Dârimî, A. M. ‘Abdullah bin


dalam hal ini apa yang dilakukan dalam ‘Abdurrahman bin al-F. bin B.
penemuan hukum adalah pendasaran bin’Abdusshamad. (2000). Sunan ad-
hukum kepada causa legis. Alur berpikir Dârimî (Vol. 1). Arab Saudi: Dâr al-
Mughnî.
qiyas sebagai penggunaan ra’y terhadap
mashâdir al-ahkâm asy-syar’iyyah secara al Âmidî, A. al H. ‘Alî bin A. ‘Alî bin M. bin S.
metodologis dibangun atas empat unsur (1982). Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm (Vol.
penting yang harus ada dan menjadi pola 3). Beirut: al-Maktab al-Islâmî.
pembentukan hukumnya yakni ashl, far’, al Asmarî, S. bin M. bin H. (2000). Majmû’ah
hukm al-ashl dan ‘illat. Hukum dapat al-Fawâid al-Bahiyyah ‘Alâ Manzhûmah
ditemukan ketika ada kesamaan causa legis al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah. Riyadh: Dâr
(‘illat) antara perkara pokok (far’) dengan ash-Shamî’î.
perkara cabang (ashl) sehingga ketetapan al ‘Aththâr, H. bin M. (2016). Hâsyiyah al-
hukum dalam kasus pada nash (hukm al- ‘Aththâr ‘alâ Syarah Jalâluddîn al-Mahallî
ashl) dapat diberlakukan pada kasus baru “alâ Jam” al-Jawâmi.’ Beirut: Dâr al-
(far’). Aplikasi qiyas tidak lepas dari Kutub al-’Ilmiyah.
memelihara kemaslahatan, sebab qiyas al Bâqistânî, Z. bin G. Q. (2002). Min Ushûl al-
merupakan upaya untuk memelihara Fiqh ‘Alâ Manhaj Ahl al-Hadîts.
maslahat pada far’ yang didasarkan pada Marokko: Dâr al-Kharâz.
persamaan ‘illat yang ada pada ashl. al Bûthî, M. S. R. (1973). Dhawâbith al-
Qiyas dalam perbincangan formulasi Mashlahah fî asy-Syarî’ah al-Islâmiyyah.
rechtsvinding teori hukum konvensional, Beirut: Muassasah ar-Risâlah.
secara metodologis memiliki kesamaan al Ghazâlî, A. H. M. bin M. (1993). Al-
alur berpikir dengan argumentum per Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushûl (Vol. 2).
analogium yang merupakan bagian dari Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah.
metode konstruksi hukum. Penemuan al Ghuzzî, A. al H. M. S. bin A. al B. (1996). Al-
hukum antara qiyas dan argumentum per Wajîz fî Îdhâh Qawâ’id al-Fiqh al-
analogium sama-sama beranjak dari proses Kulliyyah. Beirut: Muassasah ar-
penganalogian kasus hukum yang ada Risâlah.
ketetapannya dengan kasus hukum yang al Harânî, A. al Q. A. bin ‘Abdul H. bin
tidak ada ketetapannya karena ada ‘Abdus S. bin T. (1995). Majmû’ al-
kesamaan yang menghubungkan di Fatâwâ (Vol. 17). Madinah: Majma’ al-
antara keduanya. Namun pengaplikasian Mulk Fahd li Thabâ’ah al-Mushhaf
qiyas bermuara pada al-Qur’an dan asy-Syarîf.
sunnah, sedangkan argumentum per al Jauziyyah, M. bin A. B. bin Q. (1968a). I’lâm
analogium pada undang-undang. al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘âlamîn (Vol.
1). Kairo: Maktabah al-Kulliyât al-
DAFTAR PUSTAKA Azhariyah.
al Jauziyyah, M. bin A. B. bin Q. (1968b). I’lâm
ad Dâraynî, F. (1975). Al-Minhâj al-Ushûliyyah
al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘âlamîn (Vol.
fî Ijtihâd bî ar-Ra’yi fî at-Tasyrî’.
4). Kairo: Maktabah al-Kulliyât al-
Damaskus: Dâr al-Kutub al-Hadîts.
Azhariyah.
198 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 2, Juli-Desember 2020

al Jurjânî, ‘Alî bin Muhammad as Sayyid asy as Salam, al I. bin ’Abd. (2001). Qawa’id al-
Syarîf. (t.t.). Mu’jam at at-Ta’rîfât. Kairo: Ahkam fi Mashalihi al-Anam. Beirut:
Dâr al-Fadhîlah. Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah.
al Madanî, M. bin A. bin M. bin Â. al A. as Sarakhsî, A. B. M. bin A. bin A. S. (1953).
(1985). Al-Muwaththa’ (Vol. 2). Beirut: Ushûl as-Sarakhsî (Vol. 2). Hyderabad:
Dâr Ihyâ’ at-Turâts al- Ârab. Lajnah ihyâ` al-Ma’ârif an-
Nu’mâniyyah.
al Mahallî, J. M. bin A. (2005). Al-Badr ath-
Thâli’ fî hall Jam’ al-Jawâmi’ (Vol. 2). as Sijistânî, A. D. S. bin al A. bin I. bin B. bin S.
Damaskus: Muassasah ar-Risâlah. bin ‘Amrû al-Azdî. (t.t.). Sunan Abû
Dâwud (Vol. 3). Beirut: Maktabah al-
al Qaradhâwî, Y. (2006). Fiqih Maqashid
Syariah: Moderasi Islam antara Aliran ‘Ashriyah.
Tekstual dan Liberal (A. M. Riswanto, as Subkî, T. ‘Abdul W. bin ‘Alî. (2003). Jam’ al-
Penerj.). Jakarta: Pustaka al-Kautsar. jawâmi’ fî Ushûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-
al Qaradhâwî, Y. (2010). Al-Qawâ’id al-Hâkimah Kutub al-’Ilmiyah.
li Fiqh al-Mu’âmalât. Kairo: Dâr asy- asy Syâfi’î, M. bin I. (1940). Ar-Risâlah. Kairo:
Syurûq. Maktabah al-Halabî.
Al Yasa, A. B. (2016). Metode Istislahiah, asy Syâfi’î, M. bin I. (1990). Al-Umm (Vol. 7).
(Pemanfatan Ilmu Pengetahuan dalam Beirut: Dâr al-Ma’rifah.
Ushul Fiqh). Jakarta: Kencana.
asy Syaibânî, A. ‘Abdullah A. bin M. bin H.
Ali, A. (1996). Menguak Tabir Hukum (Suatu bin H. bin bin A. (2001). Musnad
Kajian Filosofis dan Historis. Jakarta: Ahmad (Vol. 36). Beirut: Muassasah ar-
Chandra Pratama. Risâlah.
Amiruddin, Z. (2009). Ushul Fiqih. Yogyakarta: asy Syâthibî, A. I. I. bin M. bin M. al-Khamrî
Penerbit Teras. al-Gharnâthî. (2004). Al-Muwâfaqât fî
an Nabhânî, T. (2003). Asy-Syakhshiyyah al- Ushûl asy-Syarî’ah. Beirut: Dâr al-
Islâmiyyah (Vol. 3). Beirut: Dâr al- Kutub al-‘Ilmiyah.
Ummah. asy Syaukânî, M. bin ‘Alî. (2000). Irsyâd al-
an Nadawî, ‘Alî Ahmad. (1999). Maushû’ah al- Fukhûl. Riyadh: Dâr al-Fadhîlah.
Qawâ’id wa adh-Dhawâbith al-Fiqhiyyah asy Syinqîthî, M. al A. bin M. al M. bin ‘Abd al
al-Hâkimah li al-Mu’âmalât al-Mâliyyah fî Q. al J. (1990). Al-Mashâlih al-Mursalah.
al-Fiqh al-Islâmî (Vol. 1). Riyadh: Dâr Madinah: al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah.
‘Âlam al-Ma’rifah.
asy Syuraim, S. bin I. (1994). Al-Minhâj lil
an Naisâbûrî, A. ‘Abdullah M. bin ‘Abdullah Mu’tamir al-Hâjj. Riyadh: Dâr al-
al H. (1990). Al-Mustadrak ‘alâ ash- Wathan.
Shahîhain (Vol. 1). Beirut: Dâr al-Kutub
at Tirmidzî, A. ‘îsâ M. bin ‘îsâ bin S. bin M. bin
al-‘Ilmiyah.
adh D. (1998a). Sunan at-Tirmidzî (Vol.
ar Rasytah, A. bin khalîl A. (2000). Taisîr al- 3). Beirut: Dar al-Gharb al-Islami.
Wushûl ilâ al-Ushûl. Beirut: Dâr al-
at Tirmidzî, A. ‘îsâ M. bin ‘îsâ bin S. bin M. bin
Ummah.
adh D. (1998b). Sunan at-Tirmidzî (Vol.
ar Râzî, F. M. bin ‘Umar bin al-Husain. (1994). 6). Beirut: Dar al-Gharb al-Islami.
Al-Ma’âlim fî ‘Ilm Ushûl al-Fiqh. Kairo:
ath Thabrânî, A. al Q. S. bin A. bin A. bin M.
Dâr al-Ma’rifah.
al L. asy S. (1994). Al-Mu’jam al-Kabîr
Formulasi Rechtsvinding Dengan Penalaran Analogis Dalam Epistemologi Hukum Islam ║199

(Vol. 20). Kairo: Maktabah Ibnu epistemologis. Diambil dari


Taimiyah. http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/
handle/123456789/323
az Zarkasyî, B. M. bin B. bin ‘Abdullah. (1992).
Al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqh. (Vol. Hamidi, J. (2011). Hermeunitika Hukum,
5). Kairo: Dâr ash-Shafwah. Sejarah, Filasafat dan Metode Tafsir.
Malang: UB Press.
az Zuhailî, M. M. (2006). Al-Qawâ’id al-
Fiqhiyyah wa Tathbîqâtihâ fî al-Madzâhib Haris, M. (2012). Metodologi Penemuan
al-Arba’ah. Damaskus: Dâr al-Fikr. Hukum Islam. Ulumuna, 16(1), 1–20.
az Zuhailî, W. (1985). Al-Fiqh al-Islâmî wa Haroen, N. (1996). Ushul Fiqh I. Jakarta: Logos.
Adillatuh (Vol. 1). Damaskus: Dâr al-
Ismâ’îl, M. M. (1958). Al-Fikr al-Islâm. Beirut:
Fikr.
al-Maktabah al-Wa’î.
az Zuhailî, W. (1986). Ushûl al-Fiqh al-Islâmî
Kamali, M. H. (2008). Membumikan Syariah:
(Vol. 1). Damaskus: Dâr al-Fikr.
Pergulatan Mengaktualkan Islam (M.
az Zuhailî, W. (1999). Al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh. Salman, Penerj.). Jakarta: Mizan
Damaskus: Dâr al-Fikr. Publika.
Azhari, F. (2014). Qiyas Sebuah Metode Khallâf, ‘Abdul Wahhâb. (1993). Mashâdir at-
Penggalian Hukum Islam. Syariah: Tasyrî’ al-Islâmî. Beirut: Dâr al-Qalam.
Jurnal Hukum Dan Pemikiran, 13(1), 8–
Khallâf, ‘Abdul Wahhâb. (t.t.). ‘Ilm Ushûl al-
17.
Fiqh. Kairo: Maktabah ad-Da’wah al-
Bakhtiar, B. (2018). Perbedaan dan Persamaan Islâmiyyah Syabâb al-Azhar.
Metode Penemuan Hukum Islam dan
Khoirin, N. (2018). Penalaran Ushul Fiqh Ibnu
Metode Penemuan Hukum Positif.
Hazm (Analisis Penolakan ’Illat dan
Pagaruyuang Law Journal, 1(2), 220–238.
Qiyas Sebagai Dalil Hukum Islam). 9(1),
Bik, M. al-Khudharî. (1969). Ushûl Fiqh. Mesir: 57–82.
Maktabah al-Qabâriyah al-Kubrâ.
Kholiq, A. N. (2014). Relevansi Qiyas Dalam
Dedi, S. (2018). Konsep Ta’wil Ushuliyyin Dan Istinbath Hukum Kontemporer.
Relevansinya Dengan Pembaharuan Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam, 1(2),
Hukum Islam. JURIS (Jurnal Ilmiah 170–180.
Syariah), 17(1), 1–18.
Komite Ulama Khilâfah ‘Utsmâniyah. (t.t.).
Djamil, F. (1997). Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Majallat al-Ahkâm al-‘Adliyyah. Karachi:
Logos Wacana Ilmu. Aram Bagh.
Erwan, E. (2018). Takhrij Al-Furu’ Alal Usul Manzhûr, A. al-F. J. M. bin M. bin. (1981).
Periode Ijtihad Di Masa Shahabat Dan Lisân al-‘Arab. Beirut: Dâr Shâdar.
Tabi’in (Kajian Sosiologi—Antropologi
Mazkur, M. S. (1984). Al-Ijtihad fi Tasyri al
Hukum Islam). JURIS (Jurnal Ilmiah
Islami. Kairo: Dâr an-Nahdah al-
Syariah), 17(2), 161–179.
’Arabiyah.
Farghalî, M. M. (1983). Buhûts fî al-Qiyâs.
Mertokusumo, S. (1996). Bab-bab Tentang
Kairo: Dâr al-Kitâb al-Jama’î.
Penemuan Hukum. Bandung: Citra
Hamid, A. (2009). Qiyas Ushuli dan Qiyas Aditya Bakti.
Nahwi dalam perspektif historis dan
200 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 2, Juli-Desember 2020

Munawwir, A. W. (1997). Kamus al-Munawwir Riyadi, F. (2016). Kontroversi Zakat Profesi


Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pesrpektif Ulama Kontemporer.
Pustaka Progresif. ZISWAF : Jurnal Zakat Dan Wakaf, 2(1),
109–132.
Musonnif, A. (2019). Tipologi Epistemologi
Hukum Islam (Analisis Metode Rohman, H. (2018). Maqasid Al-Syari’ah
Penetapan Awal Bulan Hijriyah Mazhab Syafi’i dan Urgensinya dalam
Tokoh-Tokoh Agama Tulungagung). Ijtihad Kontemporer. JURNAL
Ahkam: Jurnal Hukum Islam, 7(1), 1–26. HUKUM ISLAM, 188–204.
Muwahid. (2017). Metode Penemuan Hukum Rohman, T. (2017). Kontroversi Pemikiran
(rechtsvinding) oleh Hakim: Al- Antara Imam Malik Dengan Imam
Hukama’ : The Indonesian Journal of Syafi’i Tentang Maslahah Mursalah
Islamic Family Law, 7(1), 224–248. Sebagai Sumber Hukum. International
Mz, S. (2009). Epistemologi Ushul Fikih Al-Syafi’i Journal Ihya’ ’Ulum al-Din, 19(1), 73–90.
(Telaah Atas Qiyas Dalam Kitab Al- Sahroni, O. (2017). Ushul Fikih Muamalah:
Risalah) (Doctoral, UIN Sunan Kalijaga Kaidah-kaidah Ijtihad dan Fatwa dalam
Yogyakarta). UIN Sunan Kalijaga Ekonomi Islam. Depok: Rajawali Pers.
Yogyakarta. Diambil dari
Sakirman, S. (2018). Metodologi Qiyas Dalam
http://digilib.uin-suka.ac.id/15229/
Istinbath Hukum Islam. YUDISIA:
Naya, F. (2016). Mengurai Titik Temu Antara Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum
Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, 9(1), 37–55.
Islam. TAHKIM, 12(1).
Sarwat, A. (2019). ’Illat Hukum. Jakarta:
Naya, F. (2017). Membincang Qiyas Sebagai Rumah Fiqih Publishing.
Metode Penetapan Hukum Islam.
Simbolon, P. (2020). Metode Istinbat Dalam
TAHKIM, 11(1).
Kitab Tawdih Al-Ahkam Min Bulugh
https://doi.org/10.33477/thk.v11i1.13
Al-Maram Karya Al-Bassam (1346-
Nofrianti, M. (2018). Perkembangan Hukum 1423 H). JURIS (Jurnal Ilmiah Syariah),
Islam Pada Masa Umar Ibn Khattab 19(1), 31–44.
(634-644 M). JURIS (Jurnal Ilmiah
Sudirman. (2018). Fiqh Kontemporer
Syariah), 17(2), 269–282.
(Contemporary studies of fiqh).
Nur, M. (2016). Rechtsvinding: Penemuan Yogyakarta: Deepublish.
Hukum ( Suatu Perbandingan Metode
Sulistiani, S. L. (2018). Perbandingan Sumber
Penemuan Hukum Konvensional dan Hukum Islam. Tahkim (Jurnal Peradaban
Hukum Islam ). Jurnal Ilmiah Al-
dan Hukum Islam), 1(1).
Syir’ah, 2(1).
Surono, Y. (2012). Qiyas Sebagai Metode
Penemuan hukum oleh hakim (Rechtvinding). Hukum Islam. Ar-rusyd, 2(2), 1–20.
(t.t.). Diambil 31 Oktober 2020, dari
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id Suryani, I. (2018). METODE FATWA
/umum/849-penemuan-hukum-oleh- MAJELIS ULAMA INDONESIA.
hakim-rechtvinding.html JURIS (Jurnal Ilmiah Syariah), 9(2), 175–
184.
Rifai, A. (2010). Penemuan Hukum Oleh Hakim
dalam Perspektif Hukum Progresif. Syaltût, M. (1996). al-Islâm: ‘Aqîdah wa Syarî’ah.
Jakarta: Sinar Grafika. Kairo: Dâr al-Qalam.
Formulasi Rechtsvinding Dengan Penalaran Analogis Dalam Epistemologi Hukum Islam ║201

Tajudin, J. H. (2017). Istihsan; Analisis Historis Zahrah, M. A. (1973). Ushûl Fiqh. Beirut: Dâr
Pemikiran Imam As-Syafi’i. SANGAJI: al-Fikr al’Arabî.
Jurnal Pemikiran Syariah Dan Hukum,
Zaidah, Y. (2018). Model Hukum Islam: Suatu
1(1), 71–84.
Konsep Metode Penemuan Hukum
Usman, M. (1997). Kaidah-kaidah Ushuliyah dan melalui Pendekatan Ushuliyyah.
Fiqhiyah. Jakarta: RajaGrafindo Syariah: Jurnal Hukum Dan Pemikiran,
Persada. 17(2), 143–159.
Yunus, M. (1973). Kamus Arab-Indonesia.
Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsiran al Qur’an.

You might also like