Professional Documents
Culture Documents
2490 7840 1 PB Mashâdir Al Ahkâm
2490 7840 1 PB Mashâdir Al Ahkâm
Abstract: Qiyas is one of the methods of legal discovery in the epistemology of Islamic law that can be applied in
describing contemporary cases with analogical forms of reasoning. This paper aims to describe qiyas as
a method of legal discovery. This type of research is normative legal research with a conceptual
approach. The results of the discussion showed that the discovery of the law through qiyas is built on
four elements that become the pattern of the formation of the law, namely ashl, far ', hukm al-ashl and
' illat. The law can be found when there is a common legal motive ('illat) between a legal case that has
no direct provision in the nash (far') and a legal case that has been established in nash (ashl). In the
process of qiyas application there is also a search for legal motives (masâlik al-'illat), because there is
'illat listed in nash ('illat manshushah) and which is not listed in the nash/results istinbath ('illat
mustanbathah). Qiyas in the study of conventional legal theory methodologically has the same pattern
of legal discovery as argumentum per analogium which is part of the legal construction method.
atau disebut dalil aqli yang meliputi ijmâ’, sebagai proses pembentukan hukum oleh
qiyâs, mashlahah mursalah, istihsân, istishhâb, hakim atau petugas-petugas hukum
‘urf, sad adz-dzarî’ah, madzhab shahâbî/qaul lainnya yang diberi tugas melaksanakan
shahâbî, dan syar’u man qablanâ. Dalil hukum terhadap peristiwa hukum yang
hukum berupa ijtihad dalam kajian ushul konkrit. (Nur, 2016) Selain itu pula dapat
fikih, secara spesifik terbagi lagi menjadi dibawa ke pemaknaan sebagai suatu
dua bagian/kelompok, yakni adillah al- proses konkretisasi atau individualisasi
ahkâm al-muttafaq ‘alaihâ ( أدلة األحكام المتفق peraturan hukum (das sollen) yang bersifat
)عليهاatau dalil-dalil hukum yang umum dengan mengingat akan peristiwa
disepakati meliputi ijmâ’ dan qiyâs dan kongkrit (das sein) tertentu. (Nur, 2016)
adillah al-ahkâm al-mukhtalaf fîhâ ( أدلة المختلف Fenomena sosial dengan berbagai
)فيهاatau dalil-dalil hukum yang peristiwa yang menyertainya serta
diperselisihkan meliputi selain ijmâ’ dan kebutuhan hidup yang kompleks berjalan
qiyâs. Ijmâ’ dan qiyâs sudah diakui oleh dinamis sehingga bermunculan persoalan-
jumhur ulama, namun kalangan mazhab persoalan baru yang tidak ditemukan
dan para fukaha berbeda pandangan penjelasan yang terperinci dan khusus
mengenai legalitas dan ruang lingkup dalam nash. (Naya, 2017) Eksistensi fatwa
bentuk-bentuk penalaran lain yang di tengah masyarakat dalam rangka
bersumber dari ijtihad. (Kamali, 2008) menjawab persoalan yang dihadapi umat
Upaya yang dilakukan para ulama terutama pada kasus-kasus kontemporer
dalam menggali, memahami dan memiliki urgensi dan signifikansi yang
menetapkan serta merumuskan hukum dapat dilihat pada fungsi yang dijalankan
Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan sebagai mediasi antara idealitas hukum
sunnah dikalangan para ulama ushûl Islam di satu sisi dan realitas faktual disisi
disebut dengan istinbath. (Dedi, 2018) lain. (Suryani, 2018) Melihat fakta
Dalil hukum sekunder (dalil naqli) berupa demikian, maka eksistensi ijtihad menjadi
ra’y dengan bagian-bagiannya ini dalam sangat penting dan perlu dilakukan dalam
upaya dan langkah-langkah ijtihad merespons problematika kontemporer
disebut juga sebagai metode penemuan agar tidak terjadi kekosongan hukum dan
hukum atau thuruq istinbath al-ahkâm. dapat memberikan jawaban atas per-
(Simbolon, 2020) soalan yang terjadi memperhatikan
Pada kajian hukum konvensional, kaidah-kaidah bahasa (linguistik) maupun
penemuan hukum dikenal dengan istilah kaidah-kaidah ushuliyah lainnya. (Zaidah,
rechtsvinding. Rechtsvinding merupakan 2018)
proses pembentukan hukum oleh Ijtihad dalam bentuknya sebagai
hakim/aparat penegak hukum lainnya upaya pengeluaran hukum dari sumber-
dalam penerapan peraturan umum nya, selain pengambilan hukum dari
terhadap peristiwa hukum yang konkrit zhahir nash jika hukum itu didapatkan
dan hasil penemuan hukum menjadi dari nash, juga terdapat pengambilan
dasar untuk mengambil keputusan hukum dari ma’qul nash, karena nash itu
(“Penemuan hukum oleh hakim mengandung ‘illat yang menjelaskannya,
(Rechtvinding),” t.t.). Penemuan hukum atau ‘illat itu diketahui dan tempat
dalam konteks ini biasanya didefinisikan kejadian yang di dalamnya mengandung
Formulasi Rechtsvinding Dengan Penalaran Analogis Dalam Epistemologi Hukum Islam ║179
‘illat, sedang nash itu tidak memuat kedudukan qiyas menjadi sentral sebagai
hukum itu maka inilah yang disebut bagian dari penalaran atau ra’y terhadap
dengan qiyas. (Erwan, 2018) mashâdir al-ahkâm asy-syar’iyyah (al-Qur’an
Qiyas merupakan metode pene- dan sunnah), apalagi arus modernisasi,
muan hukum melalui menyamakan perkembangan dan kemajuan teknologi,
hukum sesuatu yang tidak ada ketentuan kondisi yang dinamis dan kompleksitas
hukumnya dengan sesuatu yang ada kebutuhan masyarakat serta pergeseran
hukumnya karena adanya persamaan ‘illat perilaku sosial melahirkan banyak
antara keduanya. (W. az Zuhailî, 1999) persoalan baru yang menuntut untuk
Maka demikian, penalaran ijtihad dalam dilakukannya qiyas sebagai upaya
konteks rechtvinding (penemuan hukum) pemecahan masalah dan menjawab
sebagaimana qiyas perlu dilakukan dalam persoalan yang dihadapi umat dalam
menyingkap kepastian hukum dan muamalah kontemporer (kekinian).
menjelaskan status hukum kasus-kasus Dikarenakan munculnya kasus-kasus
yang menjadi persoalan umat dan baru yang belum ada ketetapan
memerlukan jawaban yang tepat dan hukumnya dalam nash akan membuat
tidak keluar dari koridor syariah. kebingungan dan keragu-raguan umat
Berkembangnya zaman secara Islam apakah hal tersebut boleh ataukah
dinamis, maka banyak hal baru yang tidak boleh, sebab mereka memerlukan
ditemui dan menjadi problematika yang jawaban oleh para ulama terhadap status
dihadapi dalam perkara muamalah. Fikih hukumnya. Oleh karena itu, eksistensi
Islam melalui kaidah fikih mengakomodir qiyas sebagai ra’y terhadap mashâdir al-
perkara muamalah dengan kaidah prinsip ahkâm asy-syar’iyyah sebagai upaya
dasarnya yakni hukum asalnya adalah penemuan hukum dalam memberikan
halal atau boleh, terkecuali ada dalil yang kepastian hukum melalui formulasi fikih
melarangnya. (al Qaradhâwî, 2010: asy (produk hukum) terkait problematika
Syuraim, 1994) kontemporer adalah sangat urgen untuk
Lalu kaidah ushul berbunyi (Usman, dilakukan. Namun demikian, eksistensi
1997): qiyas sebagai penalaran ijtihad dan
metode penemuan hukum tidak dapat
تَغَيُّرُ الْاَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلاَزْمِنَةِ وَ الْاَمْكِنَةِ وَ الَْا حْوَا ِل
diaplikasikan sembarangan dengan asal
“Perubahan hukum itu berdasarkan mengqiyaskan kasus hukum yang satu
perubahan zaman, tempat dan keadaan.” dengan yang lainnya secara bebas,
Dalam kaidah ushul lainnya (al melainkan terdapat standar dan aturan
Asmarî, 2000; al Bâqistânî, 2002; an secara metodologis yang menjadi
Nadawî, 1999): sandaran dalam prosedur serta proses
الْحُكْمُ َيدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا alur berpikir yang membentuk pola
pembentukan hukumnya yang telah
“Hukum berputar (berlaku) bersama ada diformulasikan oleh para ulama ushul
atau tidak adanya ‘illat.” fikih.
Illat (sebab hukum) merupakan Terminologi rechtsvinding dalam
bagian dari nalar qiyas. Dengan demikian, hukum konvensional dipahami sebagai
180 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 2, Juli-Desember 2020
penemuan hukum oleh hakim, karena termasuk adillah al-ahkâm al-mukhtalaf fîhâ
memang otoritas dalam penemuan atau dalil hukum yang masih
hukum berada di tangan hakim sebagai diperselishkan. Penggunaan ra’y berupa
pihak yang memiliki otoritas dalam metode istihsân yang disokong oleh Imam
menjalankan suatu aturan hukum, dalam Abû Hanîfah, keberadaannya ditolak oleh
hal ini tanpa bermuara pada al-Qur’an Imam Syâfi’î (Naya, 2016; Tajudin, 2017),
dan sunnah sebagaimana hukum Islam, atau mashlahah mursalah yang digunakan
tapi muaranya adalah peraturan oleh Imam Mâlik sebagai sumber hukum,
perundang-undangan. Penemuan hukum namun tidak digunakan sebagai sumber
dalam kajian ushul fikih disebut istinbâth hukum oleh Imam Syâfi’î. (T. Rohman,
al-hukm yang dilakukan oleh seorang 2017) Dengan demikian, kajian ini
ulama mujtahid yang dalam setiap berupaya menyingkap standard operating
putusan hukumnya tidak lepas dari al- procedure secara metodologis ra’y atau
Qur’an dan sunnah. Maka terminologi penalaran qiyas sebagai rechtvsinding
rechtsvinding dalam tulisan ini dalam dalam epistemologi hukum Islam.
pemaknaan sebagai metode penemuan
hukum atau upaya pembentukan hukum
METODE PENELITIAN
dan diarahkan pada penemuan hukum
dalam menghadapi kasus hukum oleh Metode penelitian yang digunakan
seorang ulama mujtahid atau ahli hukum adalah penelitian hukum normatif dengan
Islam (fiqh dan ushûl fiqh). Penemuan pendekatan konseptual, yakni menelaah
hukum dalam teori hukum konvensional konsep qiyas sebagai metode rechtsvinding
dikenal istilah metode interpretasi dan (penemuan hukum) atau itinbâth al-hukm
konstruksi, (Nur, 2016) atau dalam dalam epistemologi hukum Islam. Peng-
tipologi lain yakni metode interpretasi, galian bahan hukum dalam penelitian ini
metode argumentasi dan metode dilakukan dengan studi literatur melalui
penemuan hukum bebas. (Bakhtiar, 2018) kitab-kitab ushul fikih baik klasik maupun
Penemuan hukum dalam teori kontemporer. Selain itu bahan hukum
hukum konvensional secara metodologi pula digali pada jurnal-jurnal ilmiah yang
dan alur berpikir dapat memiliki berkaitan dengan objek kajian dan kamus
kesamaan dengan penemuan hukum yang digunakan dalam pendefinisian
dalam teori hukum Islam (ushûl fiqh), secara etimologis. Analisis yang dilakukan
namun secara fundamental dan dalam penelitian ini bersifat deskriptif
substansial tetap ada perbedaan. Maka dengan menggunakan logika deduktif.
dalam tulisan ini, penulis berupaya
mengkaji alur berpikir dan pola kerja
FORMULASI RECHTSVINDING (PENE-
penemuan hukum melalui penalaran
MUAN HUKUM) DENGAN METODE
analogis (qiyas) dalam hukum Islam.
QIYAS DALAM EPISTEMOLOGI
Qiyas merupakan salah satu dari adillah al-
HUKUM ISLAM
ahkâm al-muttafaq ‘alaihâ atau penggunaan
ra’y sebagai dalil hukum yang disepakati 1. Pengertian Qiyas
jumhur ulama. Berbeda halnya dengan
istihsân dan mashlahah mursalah yang Qiyas merupakan bentuk masdar
dari kata يقيس- قاسyang artinya ukuran,
Formulasi Rechtsvinding Dengan Penalaran Analogis Dalam Epistemologi Hukum Islam ║181
menetapkan hukum dengan tetap 1. Qiyâs jalî ()قياس جلي, yakni qiyas yang
melihat ketentuan yang telah ada pada ‘illatnya ditetapkan oleh nash
nash yakni dengan cara mengqiyasnya. bersamaan dengan hukum ashl atau
(Amiruddin, 2009) Adapun kelompok tidak ditetapkan ‘illatnya namun di-
yang menolak qiyas sebagai dalil pastikan bahwa tidak ada pengaruh
hukum antara lain mazhab Niz- perbedaan antara ashl dengan far’.
hamiyah, Zhahiriyah dan sebagian 2. Qiyâs khafî ()قياس خفي, yakni qiyas
kelompok syiah yang mereka yang ‘illatnya tidak disebutkan di
berpendapat bahwa qiyas bukanlah dalam nash.
hujjah syar’iyyah atas hukum. Mereka
itulah yang disebut nufatul qiyas 4. Rukun dan Syarat Qiyas
(pembuang qiyas). (Khallâf, t.t.) Bahkan Penalaran qiyas dalam aplikasi-
Ibnu Hazm dari kalangan Zhahiriyah nya harus memenuhi beberapa rukun
dengan tegas menyatakan penolakan- yang menjadi unsur yang harus ada
nya terhadap hujjah yang berdasarkan dalam proses pengqiyasan. Ada empat
dengan ra’y dan hanya bersandar rukun qiyas yang menjadi pilar-pilar
kepada al-Qur’an dan hadits dengan yang membangun metode berpikir
memperhatikan makna dan pengertian penalaran analogis dalam hukum
lahiriyah (zahirnya) saja (Khoirin, Islam. Rukun-rukun tersebut adalah
2018). sebagai berikut: (Khallâf, t.t.)
1. Pokok atau al-ashl ( )االصللللyaitu
3. Pembagian Qiyas
sesuatu yang ada hukumnya dalam
Qiyas ditinjau dari segi nash. Disebut maqis ‘alaih (yang
perbandingan antara ‘illat yang dijadikan ukuran), atau mahmul ‘alaih
terdapat pada ashl dengan yang (yang dijadikan pertanggungan),
terdapat pada far’, maka qiyas dapat atau musyabbah bih (yang dibuat
dibagi sebagai berikut (Farghalî, 1983): keserupaan/yang menyerupakan).
1. Qiyâs aulawî ()قياس أولوي, yakni qiyas Syarat al-ashl yakni (Sudirman, 2018):
dengan ‘illat yang ada pada far’ lebih pertama, hukum ashl merupakan
kuat daripada yang ada pada ashl. hukum yang telah tetap, bukan yang
2. Qiyâs musâwî ()قياس مساوي, yakni qiyas mansukh (sudah dihapuskan)/sudah
dengan ‘illat yang ada pada far’ di-nasakh); kedua, hukum itu ditetap-
maupun ashl kualitas diantara kan berdasarkan syara’; ketiga, ashl
keduanya sama. itu bukan merupkan far’ dari ashl
3. Qiyâs al-adnâ ()قياس اِلدنى, yakni qiyas lainnya; keempat, dalil yang
dengan ‘illat yang ada pada far’ lebih menetapkan ‘illat pada ashl adalah
lemah daripada yang ada pada ashl. dalil khusus, tidak bersifat umum;
Sedangkan jika ditinjau dari segi kelima, ashl itu tidak berubah setelah
kejelasan ‘illat sebagai landasan hukum, dilakukan qiyas; dan kelima, hukum
qiyas dapat dibagi sebagai berikut (W. ashl itu tidak keluar dari kaidah-
az Zuhailî, 1986): kaidah qiyas.
184 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 2, Juli-Desember 2020
dengan adanya penyakit, maka tubuh ahli fikih. Sebagaimana unsur umum
manusia berubah dari keadaan sehat bagi kasus asal dan kasus cabang yang
menjadi sakit. (Haroen, 1996) menjadi dasar penalaran qiyas disebut
Sedangkan secara istilah menurut ma’na oleh asy-Syâfi’î. Nama-nama lain
al Ghazâlî, ‘illat adalah sifat yang yang menjadi istilah penyebutan
berpengaruh kepada hukum, bukan terhadap ‘illat pada periode per-
karena dirinya melainkan dengan tengahan antara lain ma’na (ide, dasar),
ketetapan Allah. (al Ghazâlî, 1993) sabab (sebab), amârah (tanda), dâ’î
Sementara itu al Âmidî, mendefinisikan (motif), mustad’î (faktor yang
‘illat sebagai sifat yang melahirkan menuntut), bâ’its (pendorong, motif),
hukum yang dilengkapi dengan hâmil (pembawa pesan), manâth (yang
hikmah yang shalih yang disengaja menjadi pautan, dasar), dalîl (yang
oleh syari’ (Allah SWT) dalam menjadi petunjuk, indikasi), muqtadhî
pensyariatan hukum. (al Âmidî, 1982) (yang menuntut), mûjib (yang
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah meng- mengharuskan) dan muatsir (yang
ungkapkan ‘illat adalah suatu sifat atau mempengaruhi). ‘illat juga disebut
keadaan yang relevan dengan hukum. dengan jâmi’(penghubung), muarrif
(al Jauziyyah, 1968a) Muhammad Abû (penanda) dan jalîb (yang menarik
Zahrah berpendapat ‘illat adalah suatu hukum). (Hamid, 2009)
sifat atau keadaan yang jelas, pasti lagi Kaidah ushul terkait ‘illat yang
serasi sebagai (dasar) penetapan memiliki posisi penting dalam
hukum. (Zahrah, 1973) Sedangkan penalaran qiyas yakni (al Asmarî, 2000;
dalam uraian ‘Abdul Wahhâb Khallâf, al Bâqistânî, 2002; an Nadawî, 1999):
‘illat adalah sesuatu yang jelas yang
الْحُكْمُ َيدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا
dijadikan oleh syari’ sebagai tambatan
hukum yang tujuannya adalah untuk “Hukum berputar (berlaku) bersama ada
merealisasi hikmah yang terkandung atau tidak adanya ‘illat.”
dalam ketetapan hukum tersebut. Berkaitan kaidah ushul di atas,
(Khallâf, 1993) Ibnu Qayyim menyatakan bahwa
Ada beragam nama yang dikenal apabila syara’ mengantungkan hukum
sebagai penyebutan yang merujuk dengan ‘illat (sebab hukum), hukum
kepada ‘illat. Berbagai macam istilah tersebut akan hilang dengan hilangnya
penyebutan tersebut dilatarbelakangi ‘illat tersebut. (al Jauziyyah, 1968b)
adanya ketidaksepakatan terhadap Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa jika
pemaknaan ‘illat dikalangan para ‘illat hilang maka hukum yang
ulama. Mazhab-mazhab fikih awal, Iraq digantungkan terhadap ‘illat tersebut
maupun Madinah menggunakan juga hilang, tetapi bisa juga hukum
sebutan mencari penghubung atau tersebut tidak hilang jika terdapat ‘illat
perantara umum antara kasus asal yang lain. Jika hukumnya tidak hilang
dengan kasus cabang yang membenar- padahal tidak ada hukum yang lain,
kan penggunaan qiyas, tetapi mereka maka itu menunjukkan bahwa ‘illat
tidak menggunakan istilah ‘illat, istilah tersebut tidak berpengaruh dan batal.
yang belakangan digunakan oleh para (al Harânî, 1995)
Formulasi Rechtsvinding Dengan Penalaran Analogis Dalam Epistemologi Hukum Islam ║187
‘illat dari sifat-sifat yang ada pada tual. (Musonnif, 2019) Kehadiran pe-
hukum berdasarkan faktor nalaran qiyas ini menjadi metode
keserasian atau keselarasan antara penengah antara ahl al-hadîts dan ahl al-
‘illat dan hukum disertai adanya ra’y. (H. Rohman, 2018) Ontologi (hakikat)
kebersamaan antara keduanya. hukum Islam itu adalah interrelasi antara
Sedangkan tahqîq al-manâth meng- teks, nalar dan realita. Maka kedudukan
ukuhkan ‘illat dan menerapkan ’illat qiyas dalam epsitemologi hukum Islam
yang telah ditentukan tersebut pada adalah kombinasi dan integrasi antara
suatu hukum ashl atas sebuah kasus teks dan nalar. Qiyas merupakan suatu
far’. Di mana penerapan itu cara penggunaan ra’y untuk menggali
didasarkan atas adanya keserasian hukum syara’ dalam hal-hal yang nash al-
antara ’illat dan hukum far’ Qur’an dan sunnah tidak menetapkan
sebagaimana pada ashl. (Sarwat, hukumnya secara pasti (qoth’i). Walaupun
2019) Tanqîh al-Manâth berkaitan qiyas tidak menggunakan nash secara
dengan ‘illat manshûshah, lalu takhrîj langsung, tetapi karena merujuk kepada
al-manâth berkaitan dengan ‘illat nash, maka dapat dikatakan bahwa qiyas
mustanbathah, sedangkan tahqîq al- tetap mengembalikan pemecahan masalah
manâth berkaitan dengan ‘illat kepada nash, namun tidak secara
manshûshah maupun mustanbathah langsung yakni pada merujuk kepada ashl
(Sahroni, 2017). (kasus hukum yang tertuang pada nash)
yang dijadikan sandaran fa’r (kasus
5. ad-Daurân
hukum yang tidak tertuang pada nash)
ad-Daurân adalah menetapkan yang dihubungkan dengan kesamaan ‘illat
‘illat dengan melihat perputaran (sebab hukum). (Surono, 2012) Maka
hukum berdasarkan sifatnya. Keten- demikian, dengan qiyas problematika
tuannya adalah apabila sifat tersebut umat yang terwujud pada kasus-kasus
ada, maka hukum akan ada dan hukum baru yang belum ter-cover oleh al-
sebaliknya apabila sifat tidak ada Qur’an, sunnah dan ijma’ akan men-
maka hukum tidak ada. Dengan dapatkan titik terang dalam mewujudkan
begitu dapat dipastikan bahwa sifat kemaslahatan umat. Sehingga jika
tersebut adalah ‘illat (Sarwat, 2019). dikatakan qiyas adalah pembatas hukum
maka ini kuranglah tepat mengingat apa
PENEMUAN HUKUM DENGAN yang ada dalam sumber hukum Islam
QIYAS DALAM EPISTEMOLOGI terutama al-Qur’an banyak yang bersifat
HUKUM ISLAM: SUATU UPAYA universal, umum dan global. (Kholiq,
PENGEMBALIAN MASALAH KEPADA 2014)
AL-QUR’AN DAN SUNNAH SERTA Maka dalam pengaplikasian metode
MEMELIHARA KEMASLAHATAN qiyas, permasalahan tetap dikembalikan
kepada teks syariah yakni al-Qur’an dan
Epistemologi Hukum Islam pada hadits dengan bertumpu pada illat (sebab
awalnya memiliki dua corak yakni hukum) maka far’ yang merupakan
normatif-tekstual dan rasional-konteks- perkara cabang/kasus baru yang tidak
190 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 2, Juli-Desember 2020
pengembalian masalah kepada syariat maka tidak boleh ijtihad kecuali untuk
melalui nash. memahami nash tersebut dan dalalahnya.
Kaidah terkait (Ismâ’îl, 1958): (al Ghuzzî, 1996; M. M. az Zuhailî, 2006)
Ijtihad dimaksimalkan fungsinya
صلَحَ ُة
ْ َحَيْثُمَا يَكُوْنَ الشَّرْعُ تَكٌوْنُ الْم
sebagai alat penggali hukum pada masa
“Dimana hukum syara’ dilaksanakan, disana tabi’in, bahkan dipandang sebagai suatu
tercipta kemaslahatan.” kebutuhan yang harus dilakukan untuk
Menurut al-Ghazâlî maslahat kem- bisa menjawab persoalan-persoalan baru
bali pada penjagaan maqâshid asy-syarî’ah. yang belum ada ketetapan hukumnya.
dan kemaslahatan didapatkan apabila (Nofrianti, 2018) Berbedahalnya di masa
terwujudnya dan terpeliharanya lima sahabat, ijtihad belum bisa disebut sebagai
unsur pokok, yaitu hifzh ad-dîn (meme- alat penggali hukum, oleh karena saat itu
lihara agama), hifzh an-nafs (memelihara di masa Rasulullah SAW masih hidup,
jiwa), hifzh al-‘aql (memelihara setiap persoalan yang dihadapi sahabat
akal/pikiran), hifzh an-nasb (memelihara dan mereka mengalami kebingungan
keturunan), dan hifzh al-mâl (memelihara maupun keragu-raguan akan suatu kasus
harta) (al Ghazâlî, 1993). Pemeliharaan hukum, maka dapat bertanya langsung
lima pokok tersebut mempunyai tiga kepada Rasulullah SAW untuk meminta
tingkatan sesuai dengan maslahat dan jawabannya.
kepentingannya, yakni dharuriyat (pri- Sedangkan melihat situasi dan
mer), hajiyat (sekunder) dan tahsiniyat kondisi saat ini, dimana derasnya arus
(tersier). perkembangan zaman dan pesatnya
Pada hakikatnya tidak ada qiyas kemajuan teknologi serta peralihan dan
yang bertentangan dengan nash baik al- pergeseran perilaku sosial dalam interaksi
Qur’an maupun sunnah. Apabila ditemu- yang kompleks, maka mempengaruhi
kan qiyas yang bertentangan dengan berbagai sektor kehidupan yang pada
nash, maka hal ini menunjukkan bahwa akhirnya melahirkan kasus-kasus baru
qiyas tersebut batal atau tidak sah. (al yang menjadi persoalan yang dihadapi
Bâqistânî, 2002). Karena pada dasarnya dan sangat penting untuk mendapatkan
qiyas tidaklah berdiri sendiri, melainkan status hukum agar memberikan kepastian
tetap kembali kepada nash sebagai hukum akan eksistensinya di masyarakat.
sandaran utama. Kaidah terkait berbunyi Maka dengan begitu, ijtihad menduduki
(Komite Ulama Khilâfah ‘Utsmâniyah, posisi yang sentral dalam merespons hal
t.t.): tersebut, agar umat tidak kebingungan
dan dilanda rasa keragu-raguan dalam
ِّلَا مَسَاغَ لِلِاجْتِهَادِ فِي مَوْرِد النَّص menghadapi persoalan kekinian yang
“Tidak ada ijtihad bersamaan dengan nash.” begitu beragam dengan mendapatkan
jawaban untuk memecahkan masalah
Kaidah ini menunjukkan tidak boleh hukum yang terjadi.
ijtihad dalam suatu hukum yang memang Imam Syâfi’î dalam kitab ar-Risâlah
sudah ada ketetapan pastinya dalam nash. menegaskan bahwa tidak seorang pun
Jika telah ada ketentuan di dalam nash, boleh mengatakan tentang status hukum
192 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 2, Juli-Desember 2020
(halal dan haram) suatu barang atau لرسُو َل َوأُولِي ْاِل َ ْم ِر َّ َّللا َوأ َطِ يعُوا ا
َ َّ يأَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا أَطِ يعُوا
perbuatan kecuali berdasarkan penge- ْ ُ
ول ِإ ْن كنت ُ ْم
ِ ُالرس َ
ِ َّ ش ْيءٍ َف ُردُّوهُ إِلى
َّ َّللا َو َ مِ ْنكُ ْم فَإ ِ ْن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي
٩٥ يًل ْ
س ُن ت َأ ِو ا َ ْاَّلل َو ْاليَ ْو ِم ْاْلخِ ِر ذَلِكَ َخ ْي ٌر َوأَح
ِ َّ تُؤْ مِ نُونَ ِب
tahuan dan pengetahuan hanya dapat
diperoleh dari al-Qur’an, sunnah, ijma’ “Hai orang-orang yang beriman, taatilah
atau qiyas. (asy Syâfi’î, 1940) Ijtihad Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
sebagaimana yang dipaparkan Imam asy di antara kamu. kemudian jika kamu
Syâfi’î pada kitab ar-Risâlah-nya, berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
mengarah pada konsep qiyas. Qiyas kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
dalam kajian Imam asy Syâfi’î pada kitab
benar beriman kepada Allah dan hari
ar-Risâlah menunjukkan bahwa sumber
kemudian. yang demikian itu lebih utama
hukum sekaligus pengetahuan qiyas
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS. an-
adalah al-Qur’an dan sunnah yang dalam
Nisa’ [4]: 59)
istilah teknis yang digunakan Imam asy
Kemudian terdapat beberapa hadits
Syâfi’î dalam ar-Risâlah adalah al-khabar al-
terkait dengan mashâdir al-ahkâm as-
mutaqaddam. Istilah ini yang berikutnya
syar’iyyah, yakni:
dalam kajian ushul fikih lebih populer
Hadits riwayat Mâlik dalam al-
dengan sebutan ashl. (Mz, 2009)
Muwaththa’ (al Madanî, 1985):
Lalu eksistensi dan posisi qiyas
dalam hukum Islam pula disebutkan َت َر ْكتُ فِي ُك ْم:َصلَّى اهللُ َعلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال َ ِعَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ َبلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّه
Imam Syâfi’î dalam al-Umm ketika .ِ ِكتَابَ اللَّهِ َوسُنَّةَ َنبِيِّه: لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكُْتمْ بِهِمَا،ِأَمْرَيْن
menjelaskan tentang tingkatan ilmu.
Imam Syâfi’î memetakan ilmu dengan Dari Malik telah sampai kepadanya
menyatakan bahwa ilmu itu bertingkat- Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
tingkat. Tingkat pertama, yakni al-Qur’an "Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua
dan sunnah; kedua yakni ijmâ’ terhadap perkara yang kalian tidak akan sesat selama
kalian berpegang teguh dengan keduanya;
sesuatu yang tidak terdapat dalam al-
Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya."
Qur’an dan Sunnah; ketiga yakni qaul
Kemudan hadits riwayat al-Hâkim
sebagian sahabat tanpa ada yang
dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhain (an
menyangkalnya; keempat adalah pendapat
Naisâbûrî, 1990):
sahabat Nabi SAW yang antara satu
dengan yang lainnya ada perselisihan- :َ َقالَ رَسُولُ اللَّ ِه صَلَّى اهللُ َعلَيْهِ وَسَلَّم:َ قَال،ُعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْه
/berbeda-beda (ikhtilâf); dan kelima yakni وَلَ ْن، ِكتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِي:" إِنِّي قَدْ تَ َر ْكتُ فِيكُمْ شَيَْئيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْ َدهُمَا
qiyas terhadap salah satu dalil-dalil di "ض
َ َْرقَا حَتَّى يَرِدَا َعلَيَّ الْحَو
َّ يَتَف
atas. Selama keterangan suatu perkara
terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah, Dari Abu Hurairah RA, ia berkata:
tidak diperlukan bersandar pada dalil Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya
lain, sebab ilmu itu diambil dari sumber aku telah meninggalkan untuk kalian dua
yang paling tinggi. (asy Syâfi’î, 1990) pedoman yang tidak akan membuat kalian
Berkaitan sumber hukum Islam tersesat sesudahnya, (yaitu) Kitab Allah dan
yakni al-Qur’an dan sunnah yang menjadi Sunnahku, keduanya tidak akan berpisah
pengetahuan dan rujukan dalam pe- hingga sampai di telaga.”
nalaran qiyas, Allah SWT berfirman Lalu hadits riwayat at-Tirmidzî
dalam QS. an-Nisâ’: 59 dalam Sunan at-Tirmidzî (at Tirmidzî,
1998b):
Formulasi Rechtsvinding Dengan Penalaran Analogis Dalam Epistemologi Hukum Islam ║193
إِنِّي تَارِ ٌك:َ قَا َل رَسُولُ اهللِ صَلَّى اللَّ ُه عََليْهِ وَسَلَّم:َعَنْ زَيْ ِد بْ ِن أَ ْرقَ َم قَاال kajian yang mendalam untuk dapat
بُ كِتَا:ِفِيكُمْ مَا ِإنْ تَمَسَّكْتُ ْم بِ ِه لَ ْن تَضِلُّوا بَعْدِي أَحَ ُدهُمَا َأعْظَ ُم مِ َن اآلخَر menarik garis penghubung tersebut
Untuk menyelesaikan kasus-kasus
َرقَا
َّ وَلَ ْن يَتَف، وَعِتْرَتِي َأهْلُ بَيْتِي.ِاهللِ حَبْلٌ مَمْدُودٌ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى األَرْض
yang tidak diatur secara tersurat dan jelas
.خلُفُونِي فِيهِمَا ْ َحَتَّى يَرِدَا َعلَيَّ احلَوْضَ فَاْنظُرُوا كَيْفَ ت di dalam nash al-Qur’an maupun sunnah,
Dari Zaid bin Arqam, ia berkata: Rasulullah maka dalam kajian ushul fikih, sebuah
SAW bersabda: "Sesungguhnya aku telah upaya yang dapat diaplikasikan sebagai
meninggalkan untuk kalian sesuatu yang ikhtiar penyelesaiannya dengan jalan
sekiranya kalian berpegang teguh kepadanya, mengembalikan persoalan tersebut ke-
niscaya kalian tidak akan tersesat pada al-Qur’an dan sunnah itu sendiri.
sepeninggalku, salah satu dari keduanya itu Pengembalian kepada sumber hukum
lebih agung dari yang lain, yaitu; kitabullah utama tersebut dapat dilakukan melalui
adalah tali yang Allah bentangkan dari dua cara, yaitu dengan perluasan makna
langit ke bumi, dan itrahku (keturunanku) lafaz melalui jalan qiyas dan tujuan
dari ahli baitku, dan keduanya tidak akan disyariatkannya hukum (Maqâshid asy-
berpisah hingga keduanya datang Syarî’ah). (Riyadi, 2016)
menemuiku di telaga, oleh karena itu Tipologi metode penemuan hukum
perhatikanlah, apa yang kalian perbuat dalam epistemologi hukum Islam pada
terhadap keduanya sesudahku." literatur filsafat hukum Islam maupun
Eksistensi penalaran qiyas dapat kajian ushul fikih kontemporer secara
disebut sebagai pemelihara maslahat garis besar dibagi menjadi tiga metode,
dalam hukum cabang (far’). Menurut yakni lughawiyah, ta’liliyah dan itishlahiyah
Muhammad Sa’îd Ramadhân al Bûthî, (Al Yasa, 2016), atau adapula yang
qiyas merupakan upaya untuk me- membaginya menjadi ijtihad bayani, qiyasi
melihara maslahat pada far’ yang dan ta’lili. (Mazkur, 1984) Metode
didasarkan pada persamaan ‘illat yang lughawiyah/bayani dapat disebut pula
ada pada ashl. Qiyas pasti mengandung dengan istilah metode linguistik atau
pemeliharaan maslahat, namun tidak interpretasi literal, metode qiyasi/ta’lili
setiap pemeliharaan maslahat berarti dengan sebutan metode kausasi dan
qiyas. (al Bûthî, 1973) Oleh karena itu, metode istishlahi dengan sebutan metode
pada dasarnya upaya pengqiyasan dalam teleologis. Metode qiyas yang dikaji
proses penggalian dan penemuan hukum dalam tulisan ini masuk dalam kategori
Islam merupaya upaya untuk mencapai metode ta’lili atau kausasi. Metode ta’lili
kemaslahatan, karena penalaran qiyas atau kausasi diartikan sebagai perluasan
tidaklah berdiri sendiri, melainkan tetap berlakunya hukum suatu kasus yang
kembali kepada mashâdir al-ahkâm asy- ditegaskan di dalam nash kepada kasus
syar’iyyah yakni al-Qur’an dan sunnah baru berdasarkan ‘illat atau causa legis
sebagai pegangan dan tumpuan utama yang digali dari kasus nash kemudian
dengan cara menghubungkan dan diterapkan kepada kasus baru tersebut.
menyandarkan far’ kepada ashl yang Metode kausasi ini berupaya melakukan
terdapat di dalam nash melalui kesamaan penggalian causa legis dari hukum kasus
‘illat yang memang didasarkan pada pararel untuk diterapkan kepada kasus
194 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 2, Juli-Desember 2020
serupa yang baru. Maka apa yang metodologis masuk dalam metode
dilakukan ahli hukum di sini adalah binâ konstruksi hukum. Dalam perspektif
al-hukm ‘alâ al-‘illah atau pendasaran formulasi rechtsvending oleh seorang
hukum kepada causa legis Jika tidak ada hakim dalam teori hukum konvensional
kasus paralel, maka pendasaran hukum ini, metode interpretasi terbagi lagi
kepada causa legis tidak dapat dilakukan. menjadi interpretasi gramatikal, historis,
Oleh karena itu penemuan hukum dapat sistematis, teleologis, komparatif, futuris-
dilakukan dengan ta’lîl al-ahkâm bi tik, restriktif, ekstensif, autentik, inter-
maqâshid asy-Syarî’ah, atau dengan kata disipliner dan multidisipliner. Sedangkan
lain pendasaran hukum kepada causa metode konstruksi hukum meliputi
finalis hukum, yaitu maqâshid asy-Syarî’ah. argumentum per analogium, argumentum a
(Haris, 2012) contrario dan penyempitan atau peng-
QS. an-Nisâ` (4): 59 menunjukkan kongkretan hukum. (Rifai, 2010)
jika ada perselisihan pendapat diantara Sebagaimana telah disebutkan
ulama tentang hukum suatu masalah, sebelumnya, qiyas dalam kajian ushul
maka jalan keluarnya dengan fikih, jika dikaitkan dengan formulasi
mengembalikannya kepada al-Qur’an dan rechvending dalam teori hukum
sunnah, maka qiyas menjadi suatu upaya konvensional secara metodologis te-
dalam pengembalian tersebut. (Kholiq, rmasuk dalam metode konstruksi hukum
2014) Dikarenakan kasus baru yang dan lebih spesifik lagi dalam kategori
menjadi masalah cabang (far’) tidak diatur metode konstruksi hukum, qiyas secara
dan belum ada status hukumnya dalam alur berpikir mirip seperti metode
nash baik al-Qur’an maupun sunnah, argumentum per analogium, karena
maka dikembalikan dan dihubungkan samahalnya dengan qiyas, alur berpikir
kepada masalah pokok (ashl) yang telah metode argumentum per analogium
ada ketentuan hukumnya di dalam nash berporos pada penganalogian yakni
melalui persamaan sebab hukum (‘illat). menyamakan perkara hukum yang yang
Kesamaan ‘illat antara perkara yang tidak tidak ada ketetapannya dengan perkara
ada nashnya dengan perkara yang ada hukum yang ada ketetapannya karena ada
nashnya menyebabkan adanya kesatuan kesamaan yang menghubungkan diantara
hukum. (Sakirman, 2018) Sehingga keduanya. Dengan begitu metode ini
sebagaimana ketentuan hukum pada ashl, beranjak dari pendasaran hukum pada
seperti itulah diberlakukan pada far’-nya. causa legis yang berperan dalam proses
penganalogian.
Kontruksi hukum terjadi apabila
METODE QIYAS DAN FORMULASI tidak ditemukan ketentuan undang-
RECHTSVENDING DALAM TEORI
undang yang secara langsung dapat
HUKUM KONVENSIONAL
diterapkan pada masalah hukum yang
Jika dikaitkan dengan formulasi dihadapi, atau dalam hal peraturannya
rechtsvending (penemuan hukum) dalam tidak ada, jadi terdapat kekosongan
teori hukum konvensional mengacu pada hukum (recht vacuum) atau kekosongan
tipologi metode interpretasi dan kons- undang-undang (wet vacuum). (Muwahid,
truksi hukum, maka qiyas secara 2017) Lalu metode argumentum per
Formulasi Rechtsvinding Dengan Penalaran Analogis Dalam Epistemologi Hukum Islam ║195
al Jurjânî, ‘Alî bin Muhammad as Sayyid asy as Salam, al I. bin ’Abd. (2001). Qawa’id al-
Syarîf. (t.t.). Mu’jam at at-Ta’rîfât. Kairo: Ahkam fi Mashalihi al-Anam. Beirut:
Dâr al-Fadhîlah. Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah.
al Madanî, M. bin A. bin M. bin Â. al A. as Sarakhsî, A. B. M. bin A. bin A. S. (1953).
(1985). Al-Muwaththa’ (Vol. 2). Beirut: Ushûl as-Sarakhsî (Vol. 2). Hyderabad:
Dâr Ihyâ’ at-Turâts al- Ârab. Lajnah ihyâ` al-Ma’ârif an-
Nu’mâniyyah.
al Mahallî, J. M. bin A. (2005). Al-Badr ath-
Thâli’ fî hall Jam’ al-Jawâmi’ (Vol. 2). as Sijistânî, A. D. S. bin al A. bin I. bin B. bin S.
Damaskus: Muassasah ar-Risâlah. bin ‘Amrû al-Azdî. (t.t.). Sunan Abû
Dâwud (Vol. 3). Beirut: Maktabah al-
al Qaradhâwî, Y. (2006). Fiqih Maqashid
Syariah: Moderasi Islam antara Aliran ‘Ashriyah.
Tekstual dan Liberal (A. M. Riswanto, as Subkî, T. ‘Abdul W. bin ‘Alî. (2003). Jam’ al-
Penerj.). Jakarta: Pustaka al-Kautsar. jawâmi’ fî Ushûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-
al Qaradhâwî, Y. (2010). Al-Qawâ’id al-Hâkimah Kutub al-’Ilmiyah.
li Fiqh al-Mu’âmalât. Kairo: Dâr asy- asy Syâfi’î, M. bin I. (1940). Ar-Risâlah. Kairo:
Syurûq. Maktabah al-Halabî.
Al Yasa, A. B. (2016). Metode Istislahiah, asy Syâfi’î, M. bin I. (1990). Al-Umm (Vol. 7).
(Pemanfatan Ilmu Pengetahuan dalam Beirut: Dâr al-Ma’rifah.
Ushul Fiqh). Jakarta: Kencana.
asy Syaibânî, A. ‘Abdullah A. bin M. bin H.
Ali, A. (1996). Menguak Tabir Hukum (Suatu bin H. bin bin A. (2001). Musnad
Kajian Filosofis dan Historis. Jakarta: Ahmad (Vol. 36). Beirut: Muassasah ar-
Chandra Pratama. Risâlah.
Amiruddin, Z. (2009). Ushul Fiqih. Yogyakarta: asy Syâthibî, A. I. I. bin M. bin M. al-Khamrî
Penerbit Teras. al-Gharnâthî. (2004). Al-Muwâfaqât fî
an Nabhânî, T. (2003). Asy-Syakhshiyyah al- Ushûl asy-Syarî’ah. Beirut: Dâr al-
Islâmiyyah (Vol. 3). Beirut: Dâr al- Kutub al-‘Ilmiyah.
Ummah. asy Syaukânî, M. bin ‘Alî. (2000). Irsyâd al-
an Nadawî, ‘Alî Ahmad. (1999). Maushû’ah al- Fukhûl. Riyadh: Dâr al-Fadhîlah.
Qawâ’id wa adh-Dhawâbith al-Fiqhiyyah asy Syinqîthî, M. al A. bin M. al M. bin ‘Abd al
al-Hâkimah li al-Mu’âmalât al-Mâliyyah fî Q. al J. (1990). Al-Mashâlih al-Mursalah.
al-Fiqh al-Islâmî (Vol. 1). Riyadh: Dâr Madinah: al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah.
‘Âlam al-Ma’rifah.
asy Syuraim, S. bin I. (1994). Al-Minhâj lil
an Naisâbûrî, A. ‘Abdullah M. bin ‘Abdullah Mu’tamir al-Hâjj. Riyadh: Dâr al-
al H. (1990). Al-Mustadrak ‘alâ ash- Wathan.
Shahîhain (Vol. 1). Beirut: Dâr al-Kutub
at Tirmidzî, A. ‘îsâ M. bin ‘îsâ bin S. bin M. bin
al-‘Ilmiyah.
adh D. (1998a). Sunan at-Tirmidzî (Vol.
ar Rasytah, A. bin khalîl A. (2000). Taisîr al- 3). Beirut: Dar al-Gharb al-Islami.
Wushûl ilâ al-Ushûl. Beirut: Dâr al-
at Tirmidzî, A. ‘îsâ M. bin ‘îsâ bin S. bin M. bin
Ummah.
adh D. (1998b). Sunan at-Tirmidzî (Vol.
ar Râzî, F. M. bin ‘Umar bin al-Husain. (1994). 6). Beirut: Dar al-Gharb al-Islami.
Al-Ma’âlim fî ‘Ilm Ushûl al-Fiqh. Kairo:
ath Thabrânî, A. al Q. S. bin A. bin A. bin M.
Dâr al-Ma’rifah.
al L. asy S. (1994). Al-Mu’jam al-Kabîr
Formulasi Rechtsvinding Dengan Penalaran Analogis Dalam Epistemologi Hukum Islam ║199
Tajudin, J. H. (2017). Istihsan; Analisis Historis Zahrah, M. A. (1973). Ushûl Fiqh. Beirut: Dâr
Pemikiran Imam As-Syafi’i. SANGAJI: al-Fikr al’Arabî.
Jurnal Pemikiran Syariah Dan Hukum,
Zaidah, Y. (2018). Model Hukum Islam: Suatu
1(1), 71–84.
Konsep Metode Penemuan Hukum
Usman, M. (1997). Kaidah-kaidah Ushuliyah dan melalui Pendekatan Ushuliyyah.
Fiqhiyah. Jakarta: RajaGrafindo Syariah: Jurnal Hukum Dan Pemikiran,
Persada. 17(2), 143–159.
Yunus, M. (1973). Kamus Arab-Indonesia.
Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsiran al Qur’an.