You are on page 1of 39

CASE REPORT SESSION (CRS)

* Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A219101 / Desember 2021

**Pembimbing : dr. Dedy Fachrian, Sp.An

CARDIAC ARREST POST OP LAPAROTOMI EC PERFORASI GASTER


Syahrul Hamid Muzakki* dr.Dedy Fachrian, Sp.An **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANESTESI
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI FAKULTAS
KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

CASE REPORT SESSION (CRS)

CARDIAC ARREST POST OP LAPAROTOMI EC PERFORASI GASTER


Disusun oleh:

Syahrul Hamid Muzakki

G1A2I9101

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANESTESI
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN
ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan pada Desember 2021


PEMBIMBING

dr. Dedy Fahcrian, Sp.An


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case
Report Session (CRS) dalam bentuk laporan kasus bayangan yang berjudul
“Cardiac arrest post op Laparotomi ec Perforasi Gaster” sebagai salah satu
syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anestesi di
Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Dedy Fachrian, Sp.An yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis
selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anestesi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah
laporan kasus ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, Desember 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Henti jantung merupakan suatu keadaan dimana jantung berhenti bekerja
sehingga mengakibatkan terjadinya kegagalan pompa jantung dan sikulasi darah ke
seluruh tubuh. Henti jantung merupakan suatu kegawatdaruratan yang membutuhkan
penanganan segera agar tidak berlanjut menjadi kematian biologis. Henti jantung dapat
disebabkan oleh banyak hal diantaranya karena kelainan pada jantung itu sendiri seperti
penyakit jantung koroner, ventrikel fibrilasi, kelainan vascular, trauma dada dan
penyebab lainnya. Henti jantung  biasanya  biasanya terjadi terjadi beberapa beberapa
menit setelah henti nafas, umumnya umumnya walaupun kegagalan pernapasan telah
terjadi, denyut jantung dan pembuluh darah masih dapat berlangsung terus sampai 30
menit. Dari semua kejadian serangan jantung, 80% serangan jantung terjadi di rumah,
sehingga setiap orang seharusnya dapat melakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau
cardiopulmo cardiopulmonary resuscitation untuk dapat memberikan pertolongan hidup
dasar.
Menurut American Heart Association bahwa rantai kehidupan mempunyai
hubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru, karena bagi  penderita  yang
terkena serangan jantung, diberikan RJP segera maka akan mempunyai kesempatan yang
amat besar untuk dapat hidup kembali. 2  Namun pada beberapa beberapa keadaan
tindakan resusitasi tidak efektif antara lain pada keadaan henti jantung yang telah
berlangsung lebih dari 5 menit karena telah terjadi kerusakan otak yang permanen. Oleh
karena itu penanganan awal yang cepat dan tepat akan memberikan  pertolongan yang
berarti bagi pasien.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : Tn. K
Umur : 73 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
BB : 51 kg
Diagnosis : Perforasi Gaster
Tindakan : Laparotomi

2.2 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Riwayat Penyakit
A. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan nyeri seluruh perut sejak 1 SMRS
B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien dibawa ke IGD RSUD Raden Mattaher Jambi dengan keluhan


sejak ± 1 hari SMRS, pasien merasakan sakit pada seluruh perut, sulit
bergerak dan tidak bisa beraktivitas. Tidak bisa BAB sejak +3 hari yang
lalu, disertai dengan mual muntah dan demam disangkal. Riwayat minum
jamu-jamuan ada, Riwayat minum obat-obatan nyeri ada.

C. Riwayat Penyakit dahulu :

a. Riwayat hipertensi (-)


b. Riwayat diabetes melitus (-)
c. Riwayat sakit jantung (-)
d. Riwayat astma (-)
e. Riwayat batuk lama (-)
f. Riwayat operasi sebelumnya (-)

D. Riwayat kebiasaan : Merokok (+), Alkohol (-), Narkotik (-)


2.3 Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum Pre OP
Keadaan Umum : tampak sakit berat
Kesadaran : CM
TD : 100/70 mmHg
RR : 20 x/menit
Nadi : 107 x/menit teraba halus
Berat Badan : 51 kg
1. Kepala
Bentuk : normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/- ), pupil : isokor (+/+),
refleks cahaya : +/+
Mulut
o Gigi palsu : tidak ditemukan
o Gigi tonggos : tidak ditemukan
o Trismus : tidak ditemukan
o Rahang bawah maju : tidak ditemukan
2. Leher
● KGB : tidak ada pembesaran
● Kelenjar thyroid : tidak ada pembesaran
● JVP :-
● Deviasi trakea : (-)
● Mallampati : Grade III

3. Thoraks
● Pulmo
- Inspeksi : simetris, ketinggalan gerak (-), deformitas (-)
- Palpasi : nyeri (-), krepitasi (-)
- Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
- Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)
● Jantung
4. Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus kordis tidak teraba
- Perkusi : batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi: bunyi jantung I/II regular, murmur (-) gallop (-)
5. Abdomen
● Inspeksi : cembung, distensi (+), bekas operasi (+)
● Auskultasi : bising usus (-)
● Palpasi : nyeri tekan (+)
● Perkusi : sulit dilakukan
6. Ekstremitas
● Akral : hangat
● Sianosis : (-)
● Edema : (-)
7. Genitalia : Terpasang kateter folley (+)

2.8 Pemeriksaan Penunjang Pre OP


a. Darah Rutin
WBC : 8.97 x 103/mm3 (4-10,0) RBC : 3.65 x 106/mm3(4.5-5,50)
HB : 12.3 g/dl (13.4-16,5) PLT : 126 x 103/mm3 (150-390)
Ht : 34.7% (35,0-50,0)
CT : 3” (2-6) menit BT: 1” (1-3) menit

b. EKG :-
c. Ro/ Thorax : Cor dan Pulmo dbn
d. Rapid Test : Non Reactive IgM/IgG SARS CoV-2

2.4 Kunjungan Pra Anestesi


● Penentuan Status Fisik ASA :1 / 2 / 3 / 4 / 5 Emergency
● Malampati : Malampati III
● Persiapan Pra Anestesi :
– TD < 100/70
– Informed consent keluarga
– Persiapan operasi :
✔ Siapkan surat izin operasi (SIO)
✔ Puasakan pasien 6 jam sebelum operasi

2.5 Laporan Anestesi Pasien


a. Diagnosis pra bedah : Perforasi Gaster
b. Jenis Pembedahan : Laparotomi
c. Jenis Anestesi : General Anestesi
d. Premedikasi :
– Ondasentron 1 x 4 mg IV
– Ketorolac 1 x 30 mg IV
e. Teknik anestesi : General Anestesi
f. Obat anestesi local :
- Fentanyl 100Mcg
- Recofol 150mg
- Artacurium 30mg
g. Pemeliharaan anestesi : Ventilator dengan O2 + N2O + Sevofluran
1%
h. Posisi anestesi : Supine
i. Infus : RL
j. Status fisik : ASA V Emergency
k. Suntikan mulai : 13.15 wib
l. Operasi mulai : 13.30 wib
m. Operasi selesai : 13.45 wib
n. Berat badan pasien : 51 kg
o. Durasi operasi : 15 menit
p. Pasien puasa : 6jam sebelum operasi
q. Terapi cairan
Kebutuhan Cairan Pasien ini:
- Maintenance = 2 cc/KgBB/jam
= 2 cc x 51 Kg /jam

= 102 cc/jam
- Pengganti puasa = lama puasa x maintenance
= 6 jam x 102 cc/jam
= 606 cc
- Stress operasi = 6 cc/KgBB/jam
= 6 cc x 51 Kg/jam
= 306 cc/jam

Jadwal pemberian cairan

Jam I = ½ PP + SO + M

= ½ 606 + 306 + 102

= 711 cc

Jam II = ¼ PP + SO + M

= ¼ 151 + 306 + 102

= 559 cc

Monitoring

Ja TD Na R SpO K
m di R 2 et
13.0 126/8 80 2 99% ● Pasien masuk ke kamar operasi dan
0 0 3
dipindahkan ke meja operasi
● Pemasangan alat monitoring,
tekanan
darah, saturasi, nadi
● Diberikan cairan RL dan obat
pramedikasi
13.1 136/8 130 2 100 ● Pasien dipersiapkan untuk induksi
5 0 3 %
● Dilakukan preoksigenisasi
menggunakan sungkup 3-5 menit
● Pasien di berikan analgesik fentanil
100 mcg, induksi dengan propofol
150 mg, cek refleks bulu mata.
Kemudian pasien dipasangkan
sungkup dan mulai di bagging, lalu
diberikan relaksan yaitu Atracurium
30 mg.

13.3 145/7 65 2 100 ● Setelah di bagging selama 5 menit


0 0 6 %
pasiendi intubasi dengan ETT no.
7.0
● Dilakukan auskultasi di kedua

lapang paru untuk mengetahui ETT


terpasang dengan benar
● ETT dihubungkan dengan
ventilator
● ETT difiksasi dengan plester
● Operasi di mulai

13. 90/60 14 21 85 ● Kondisi tidak terkontrol


45 0 %
● Pasien diberikan tambahan RL
● Nadi naik 🡪 turun 🡪tidak ada
● TD turun🡪 turun 🡪 tidak ada
● Saturasi oksigen turun
● Dilakukan RJP 5x siklus
● Injeksi norepinephrine
14. 90/60 80 15 93
● Nadi muncul
00 %
● TD mulai terlihat di monitor
● Saturasi mulai membaik

r. Keadaan Intra Anestesi


● Letak Penderita : Supine
● Airway : Single Lumen ETT
● Lama Anestesi : 30 menit
● Lama operasi : 15 menit
● Total asupan cairan : 1000 cc
– Kristaloid : 1000 ml
– Koloid : -
– Darah : -
– Komponen darah : -
● Total Keluaran Cairan :
– Perdarahan : 100 ml
– Diuresis : 50 cc
● Perubahan teknik selama operasi : Tidak ada

ICU

Masuk Jam : 14.05 WIB

Keadaan Umum : Kesadaran: Coma, GCS: 3

Tanda vital : TD :170/110 mmHg

Nadi : 196 x/menit teraba halus

RR : 13 x/menit terpasang ventilator


Mata : pupil midriasis (+/+) RC (-/-)

Extremitas : akral dingin, CRT >2 detik

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Jantung merupakan organ utama dalam utama dalam sistem kardiovaskuler.
Jantung dibentuk oleh organ-organ muscular, apex dan basis cordis, atrium kanan
dan kiri serta ventrikel kanan dan kiri. Jantung memiliki bentuk jantung
cenderung  berkerucut  berkerucut tumpul. tumpul. Ukuran jantung jantung kira-
kira panjang 12 cm, lebar 8-9 cm seta tebal kira-kira 6 cm. Berat jantung sekitar 7-
15 ons atau 200 sampai 425 gram dan sedikit lebih besar dari kepalan tangan
pemiliknya. Setiap harinya jantung  berdetak  berdetak 100.000 kali 100.000 kali
dan dalam dan dalam masa periode itu periode itu jantung memompa jantung
memompa 2000 galon darah atau setara dengan 7.571 liter darah.1
Henti Jantung adalah suatu keadaan terhentinya aliran darah dalam sistem
sirkulasi tubuh secara tiba-tiba akibat terganggunya efektivitas kontraksi jantung
saat sistolik.8  Henti jantung primer ialah ketidaksanggupan curah jantung untuk 
memberi kebutuhan oksigen ke otak maupun ke organ vital lainnya secara
mendadak dapat menye adak dapat menyebabkan kerusakan kerusakan otak
hingga kematian. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis
tidak termasuk henti jantung.2

2.2 Patofisiologi
Pemeliharaan metabolisme jaringan normal pada prinsipnya terutama
bergantung pada pengiriman oksigen yang adekuat  bergantung pada pengiriman
oksigen yang adekuat sesuai dengan fungsi sirkulasi. Kegagalan pengiriman cepat
menghasilkan beberapa perubahan yaitu :

2.2.1 Hipoksia
Setelah periode singkat henti jantung, PaO2 turun secara dramatis akan tetapi
oksigen terus diperlukan untuk dikonsumsi. Selain itu, akumulasi progresif 
karbon dioksida menggeser kurva disosiasi hemoglobin-oksigen ke kanan. Hal ini
pada awalnya  pada awalnya meningkatkan transfer meningkatkan transfer
oksigen ke jaringan tapi tanpa terjadi proses  pengiriman sehingga terjadi hipoksia
jaringan yang lebih lanjut. Di otak, PaO2 turun dari 13 kPa menjadi 2,5 kPa dalam
waktu 15 detik dan kesadaran hilang, setelah satu menit, PaO2 akan telah jatuh ke
angka nol.2

2.2.2 Asidosis
Otak dan jantung memiliki tingkat yang relatif tinggi konsumsi oksigen (4mls/min
dan 23mls/min masing-masing) dan pengiriman O2 kepada mereka akan jatuh di
bawah tingkat kritis selama serangan jantung/henti jantung. Dalam kasus fibrilasi
ventrikel, metabolisme miokard berlanjut pada tingkat normal namun metabolism
oksigen menghasilkan zat lemas dan pasokan energi fosfat yang tinggi. Asidosis
kemudian muncul sebagai hasil dari metabolisme anaerob meningkat dan
akumulasi karbon dioksida di jaringan.2
Tingkat asidosis berkembang di otak, bahkan dengan dukungan bantuan hidup
dasar, akan mengancam kelangsungan hidup jaringan dalam waktu 5 - 6 menit.
Selain itu, di jantung, bahkan setelah pemulihan irama perfusi, meminimalkan
kontraktili raktilitas asidosis, masih mempunyai resiko yang tinggi untuk
terjadinya aritmia.2 Setelah jantung mendapat respon yang berat, katekolamin
dilepaskan dalam jumlah besar, bersama-sama dengan kortikosteroid adrenal,
hormon anti-diuretik dan tanggapan hormon lainnya. Efek merugikan yang
mungkin timbul dari perubahan ini termasuk hiperglikemia, hipokalemia, tingkat
laktat meningkat dan kecenderungan aritmia lebih lanjut.

2.3 Penyebab henti jantung


Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi
tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol (+10%) dan
terakhir oleh disosiasi elektromekanik (+5%). Dua jenis henti jantung yang lebih
terakhir sulit ditanggulangi karena akibat gangguan pacemaker jantung.2 Fibirilasi
ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas jantung menghilang. Henti jantung
ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis femoralis, radialis) disertai
kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan berhenti berhenti atau satu-satu
(gasping, apnu), dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan  pasien
tidak sadar.2
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar  hemoglobin (Hb),
saturasi saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi melebih 3-4 menit
pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri rusak menetap, menetap,
walaupun setelah itu dapat itu dapat membuat jantung berdenyut kembali. 3 Henti
jantung kebanyakan dialami oleh orang yang telah mempunyai  penyakit jantung
sebelumnya. Diantaranya pada pada kelainan:

2.3.1 Penyakit jantung koroner


Penyakit jantung koroner pada mulanya oleh penumpukan lemak pada dinding
dalam pembuluh darah jantung (pembuluh koroner), dan hal ini lama kelamaan
diikuti oleh berbagai proses seperti penimbunan jaringan ikat, perkapuran,
pembekuan darah, dll.,yang semuanya akan mempersempit atau menyumbat
pembuluh darah tersebut. Hal ini akan mengakibatkan otot  jantung di daerah
tersebut tersebut mengalami kekurangan aliran darah dan dapat menimbulkan
berbagai akibat yang cukup serius, dari angina pectoris (nyeri dada) sampai infark
miokard, yang dalam masyarakat di kenal dengan serangan jantung yang dapat
menyebabkan kematian mendadak.2

2.3.2 Kelainan vaskular


Terjadi penyempitan pembuluh darah jantung berusaha untuk memberikan untuk
memberikan suplai yang cukup pada tubuh, sehingga bekerja lebih keras namun
aliran balik  yang dihasilkan hanya sedikit sehingga dapat menyebabkan
kerusakan pada sel otot jantung. Kemudian pada serangan jantung (MCI)
pembuluh darah koroner   jantung terhambat oleh penyumbatan, sehingga
terjadinya fibrilasi ventrikel dan berujung pada henti jantung. 3

2.3.3 Penyakit jantung non iskemik 3


2.3.3.1 Gagal Jantung Kongesti Kongesti
Pada penyakit jantung kongesti permasalahannya terdapat pada katup  jantung,
seperti  jantung, seperti aorta stenosis juga dapat meningkatkan resiko henti
jantung tiba-tiba.

2.3.3.2 Kardiomiopati
Merupakan penyakit jantung dimana otot jantung tidak berkontraksi,  paling
sering diakibatkan oleh iskemik, dimana bagian dari otot jantung
tidak mendapatkan suplai darah yang cukup untuk jangka waktu lama dan tidak
lagi dapat memompa darah secara efisien. Orang-orang yang ejeksi fraksi (jumlah
darah yang dipompa keluar dari jantung dengan setiap denyut jantung) kurang
dari 30% berada pada risiko lebih besar untuk kematian mendadak (fraksi ejeksi
normal adalah di atas 50%). Pada beberapa orang, cardiomyopathy mungkin
berkembang tanpa adanya penyakit jantung iskemik

2.3.3.3 Kelainan pada sistim konduksi jantung


Henti jantung kebanyakan merupakan kelanjutan dari sinus aritmia jantung.
Aritmia jantung merupakan suatau kerusakan pada system konduksi listrik akibat
suatu penyakit atau ganggguan tertentu sperti serangan jantung. Aritmia jantung
yang cepat menyebabkan henti jantung diantaranya ventikel takikardi, ventrikel
fibrilasi, bradikardi, heart block selain itu long QT syndrome juga dapat berakir 
dengan henti jantung.

2.3.3.4 Inflamasi Otot Jantung


Inflamasi pada otot jantung yang dikenal dengan miokarditis juga dapat
mennyebabkan kekacauan pada ritme jantung. Penyakit-penyakit seperti
sarcoidosis, amiloidosis,dan infeksi dapat menyebabkan inflamasi pada otot
jantung.

2.3.4 Kelainan kongenital


Beberapa orang lahir dengan system konduksi listrik jantung yang lemah , dimana
memiliki resiko tinggi unt nggi untuk menga uk mengalami kerusa lami kerusakan
pada regu pada regularisasi larisasi listrik pada listrik pada jantungnya. Seperti
pada Parkinson-White syndrome dan ada  juga yang mengalami mengalami
gangguan gangguan pada struktur struktur nya seperti seperti yang didapatkan
didapatkan pada Marfan Syndrome.
2.4 Etiologi
Henti jantung biasanya disebabkan oleh penyakit jantung struktural yang
mendasarinya. Tujuh puluh persen kasus henti jantung diduga disebabkan oleh
penyakit koroner iskemik , penyebab utama henti jantung. Penyebab struktural
[2]

lainnya termasuk gagal jantung kongestif, hipertrofi ventrikel kiri, kelainan arteri
koroner bawaan, displasia ventrikel kanan aritmogenik, kardiomiopati obstruktif
hipertrofik, dan tamponade jantung. Penyebab jantung nonstruktural termasuk
sindrom Brugada, sindrom Wolf-Parkinson-White dan sindrom QT panjang
bawaan. Ada banyak etiologi non-jantung termasuk perdarahan intrakranial,
emboli paru, pneumotoraks, henti napas primer, konsumsi toksik termasuk
overdosis obat, kelainan elektrolit, infeksi berat (sepsis), hipotermia, atau trauma.

2.5 Epidemiologi
Penyakit koroner oklusif (iskemik) adalah penyebab utama henti jantung dan
kematian jantung mendadak.[4] Puncak awal kematian mendadak terjadi sejak lahir
hingga usia 6 bulan, dari sindrom kematian bayi mendadak. Insiden biasanya
sangat rendah sampai mencapai puncak kedua antara usia 45 sampai 75.
Menariknya, penyebab paling umum kematian jantung terlihat pada remaja dan
dewasa muda mencerminkan bahwa orang dewasa setengah baya dan lebih tua. Di
Amerika Serikat, hingga 70% dari semua kematian jantung mendadak disebabkan
oleh penyakit jantung koroner yang mendasarinya.[2] Insiden kematian jantung
lebih rendah pada wanita pada usia yang lebih muda jika dibandingkan dengan
pria.[6] Meskipun risiko lebih rendah untuk wanita, faktor risiko penyakit jantung
oklusif seperti hipertensi, hiperlipidemia, diabetes, merokok, bertambahnya usia
dan riwayat keluarga penyakit koroner terus menjadi predisposisi kematian
jantung, seperti pada pria.

2.7 Evaluasi
Saat merawat pasien dengan serangan jantung, sedikit atau tanpa tes darah atau
pencitraan diperlukan. Jika seseorang dapat memperoleh pengujian di tempat
perawatan, kadar kalium dan glukosa mungkin bermanfaat. USG di tempat
perawatan untuk mencari aktivitas jantung mungkin juga bermanfaat jika tidak
mengganggu upaya resusitasi.[8]

2.8 Perawatan / Manajemen


Seorang pasien dalam serangan jantung dirawat dalam beberapa tahap yang
berbeda. Intervensi yang telah terbukti membalikkan serangan jantung termasuk
CPR dini dan defibrilasi dini. Langkah awal melibatkan identifikasi dan tindakan
bantuan hidup dasar. Jika defibrilasi akses publik tersedia, itu harus diaktifkan dan
digunakan jika diperlukan. Selanjutnya, langkah-langkah dukungan hidup lanjutan
digunakan, termasuk pemberian obat intravena atau intraosseous. Jika kembalinya
sirkulasi spontan (ROSC) diperoleh, pasien akan menjalani perawatan pasca
resusitasi dengan manajemen jangka panjang berikutnya. Identifikasi korban henti
jantung termasuk memastikan pasien tidak responsif, tanpa nadi sentral dan tidak
bernapas secara normal. Setelah korban diidentifikasi, CPR segera dan aktivasi
sistem tanggap darurat harus menjadi prioritas. Baru-baru ini, defibrilasi akses
publik telah menambahkan lapisan respons lainnya. Perawatan henti jantung
tergantung pada ruang lingkup praktik penyelamat: Penolong Awam: Perawatan
termasuk CPR tangan-saja dan penggunaan AED, jika tersedia. [9][10] Jika pasien
pernah mengalami episode tenggelam, mereka dapat mencoba dua kali bantuan
napas, karena penyebab henti jantung kemungkinan besar berasal dari henti napas
primer. Jika tidak ada respons terhadap bantuan pernapasan, CPR harus dimulai.
Seseorang harus melanjutkan CPR sampai kedatangan penanggap darurat.

2.9 Bantuan Hidup Dasar


Perawatan bagi mereka yang bersertifikat untuk mempraktikkan bantuan
hidup dasar (BLS) termasuk perawatan seperti di atas, dengan tambahan ventilasi
selama CPR aktif. Pedoman saat ini merekomendasikan 2 napas untuk setiap 30
kompresi (30:2).[9] Penyedia juga dapat memanipulasi jalan napas untuk
membantu patensi jalan napas, sehingga memungkinkan ventilasi yang tepat.
Manuver ini termasuk head-tilt, chin-lift [11], dan jaw thrust[12]. Alat bantu jalan
nafas oral termasuk oral pharyngeal airway (OPA) dan nasofaringeal airway
(NPA) juga harus digunakan untuk keuntungan ventilasi.
Gambar I. . Rantai Bertahan Hidup AHA untuk IHCA dan OHCA dewasa.

Basic Life Support (BLS) membebaskan jalan napas, diikuti dengan ventilasi
bantuan dan ketersediaan dari sirkulasi. Semua tanpa bantuan peralatan khusus.
Tujuan utama resusitasi adalah untuk mengembalikan denyut jantung dan
mengembalikan fungsi sirkulasi. Memberikan bantuan dasar untuk 
mempertahankan hidup. Umumnya pasien yang memerlukan resusitasi resusitasi
jantung  paru ditemukan dalam tiga keaadaan yaitu : 1. Tanpa denyutan nadi tapi
masih ada pernapasan 2. Adanya denyut nadi tapi tanpa pernapasan 7
3. Tanpa
denyut nadi dan pernapasan.
Cardiopulmonary resuscitation (CPR)  / Resusitasi Jantung Paru adalah
prosedur  prosedur darurat yang dilakukan dalam upaya untuk mengmembalikan
hidup seseorang dalam serangan jantung. Hal ini ditujukan pada orang-orang yang
responsif tanpa bernapas atau terengah-engah saja. Ini dapat dicoba baik di dalam
maupun di luar rumah sakit.
CPR melibatkan penekanan dada pada tingkat minimal 100 per menit dalam
upaya untuk menciptakan sirkulasi buatan secara manual memompa darah melalui
jantung. Selain itu penyelamat bisa memberikan napas oleh salah satu dengan
menghembuskan napas ke dalam mulut mereka atau menggunakan perangkat
yang mendorong udara ke dalam paru-paru. Proses menyediakan ventilasi ekstern
eksternal disebut pernafasan buatan.
Rekomendasi saat ini menekankan pada penekanan dada kualitas tinggi di
atas pernafasan buatan dan metode yang melibatkan penekanan dada hanya
direkomendasikan untuk   penyelamat terlatih.4
CPR sendiri tidak mungkin untuk me-restart jantung. Tujuan utamanya
adalah untuk memulihkan aliran darah parsial oksigen ke otak dan jantung. Ini
dapat menunda kematian jaringan dan memperluas jendela singkat kesempatan
untuk  resusitasi sukses tanpa kerusakan otak permanen. Suatu administrasi dari
sengatan listrik ke listrik ke jantung, disebut defibrilasi, biasanya ilasi, biasanya
diperlukan untuk ukan untuk mengembalikan "perfusi" layak atau irama jantung.
Defibrilasi hanya efektif untuk irama jantung tertentu, yaitu fibrilasi ventrikel atau
takikardi ventrikel pulseless, daripada aktivitas listrik listrik
asystolic atau pulseless. Namun CPR dapat menyebabkan kejutan irama. CPR
umumnya terus dilakukan sampai orang tersebut mendapatkan kembali
kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation (ROSC)) atau
dinyatakan mati. Fase Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO) Resusitasi jantung
paru otak dibagi menjadi 3 fase diantaranya4 :
- Fase 1
Pertolongan hidup dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur
pertolongan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan
henti jantung,dan  bagaimana melakukan RJP secara benar. Terdiri
dari: 1. A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka 2. B
(breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat. 3. C
(circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi
jantung  paru.
- Fase 2
Pertolongan Pertolongan hidup lanjutan (Advance Life Support);
yaitu tunjangan hidup dasar ditambah dengan : 1. D (drugs)
pemberian obat-obatan termasuk cairan. 2. E (EKG) diagnosis
elektrokardiografis secepat mungkin setelah dimulai KJL, untuk
mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal
ventricular complex. 3. F (fibrillation treatment) : tindakan untuk
mengatasi fibrilasi ventrikel.
- Fase 3
Tunjangan hidup jangan hidup terus-menerus (Prolonged Life
Support). 1. G (Gauge) Pengukuran dan pemeriksaan untuk
monitoring penderita secara terus menerus, dinilai, dicari
penyebabnya dan kemudian mengobatinya. 2. H (Head) tindakan
tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf  dari
kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga
dapat dicegah terjadinya kelainan neurologic yang permanen. 3. H
(Hipotermi) Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi
susunan saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° — 32°C. 4. H (H
umanization) Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah
manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan
hendaknya berdasarkan perikemanusiaan. 5. I (Intensive (Intensive
care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :
pernapasan trakeostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde
lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan, dan tunjangan
sirkulasi, mengendalikan kejang.4

Resusitasi Jantung Paru Tahun 2005 Sebuah rasio kompresi-ventilasi


universal 30:2 dilakukan oleh seorang  penyelamat untuk korban dari segala usia
adalah salah satu yang paling topik  kontroversial yang dibahas selama
International Consensus Conference tahun 2005, dan itu merupakan perubahan
besar dalam 2005 AHA Guideli 2005 AHA Guidelines for CPR for CPR and
ECC. Pada tahun 2005 tingkat kelangsungan sehingga dipulangkan daru rumah
sakit rumah sakit akibat mengalami cardiac arrest akibat fibrilasi ventrikel (VF)
adalah rendah, rata-rata 6% di seluruh dunia dengan sedikit perbaikan di tahun-
tahun sebelum konferensi pada tahun 2005. Dua penelitian yang diterbitkan
sebelum International Consensus Conference tahun 2005 mendokumentasikan
buruknya kualitas CPR dilakukan baik di resusitasi di luar maupun di dalam
rumah sakit. Perubahan rasio kompresi-ventilasi dan urutan defibrilasi (dari 3
kejutan besar berurutan untuk 1 kejutan diikuti dengan CPR segera) dianjurkan
untuk meminimalkan interupsi pada kompresi dada The American Heart
Association menggunakan 4 link dalam rantai( “Chain of  Survival”  / "Rantai
Survival") untuk menggambarkan pentingnya tindakan time  sensitive untuk
korban VF SCA. Tiga dan mungkin semua dari link  ini juga relevan untuk korban
serangan asfiksia.
Pengenalan Awal darurat dan aktivasi layanan medis darurat (EMS) atau
sistem respon darurat lokal: "telepon 911. "Pelaku CPR Awal: CPR segera dapat
meningkatkan kesempatan korban dua atau tiga kali lipat untuk bertahan hidup
dari VF SCA.10 Awal pemberian kejutan dengan defibrillator: CPR plus defibrilasi
dalam waktu 3 sampai 5 menit pasien kolaps dapat menghasilkan tingkat
kelangsungan hidup setinggi 49% sampai 75%. Awal advanced life support
diikuti oleh tindakan postresuscitation disampaikan oleh penyedia perawatan
kesehatan.
Adult Chain of Survival Untuk mendukung BLS dan CPR, pedoman terus
menekankan pendekatan "ABCD" untuk serangan cardiopulmonary akut yakni
Airway, Breathing, Circulation, Defibrilation. Karena CPR harus dimulai sesegera
mungkin untuk menjadi efektif, dan karena itu sering dilakukan buruk oleh para
penyelamat awam dan profesional kesehatan, rekomendasi untuk anak dan dewasa
CPR telah dikonsolidasi dan disederhanakan. Untuk mempermudah klasifikasi
usia, rekomendasi baru untuk penyelamat awam mengklasifikasikan orang sebagai
anak-anak (usia 1-8 tahun) atau orang dewasa (berusia lebih dari delapan tahun),
sedangkan rekomendasi untuk   profesional perawatan kesehatan
mengklasifikasikan orang sebagai pre-adolescents (usia satu hingga 14 tahun atau
sampai adanya karakteristik seks sekunder) dan dewasa. Untuk mempermudah
pengajaran dan ajaran dan memastikan waktu yang lebih lama dari penekanan
dada terganggu, rasio kompresi-ventilasi universal 30:2 (yaitu, 30 kompresi
diikuti oleh dua napas) direkomendasikan di hampir semua situasi kecuali
resusitasi bayi dan CPR anak dengan dua  penyelamat. Telah diamati bahwa
penyelamat awam seringkali tidak dapat secara akurat menentukan apakah
sirkulasi ada, sehingga tidak dapat memberikan  penekanan dada ketika mereka
dibutuhkan. Untuk alasan ini, penyelamat penyelamat awam tidak diminta untuk
menilai tanda-tanda sirkulasi sebelum memulai penekanan dada, tidak pula
mereka diharapkan dapat memberikan bantuan pernapasan tanpa kompresi dada.
Penekanan utama panduan ini adalah "tekan keras, tekan cepat,  biarkan
biarkan recoil dada penuh, dan meminimalkan meminimalkan gangguan gangguan
pada penekanan penekanan dada. (“push hard, push fast, allow full chest recoil,
and minimize minimize interruptions in chest  interruptions in chest 
compressions”). Algoritma tahun 2005 untuk BLS dasar merekomendasikan
urutan berikut ketika penyelamat menemukan korban yang merespons: 1.
Meminta bantuan dan AED (jika tersedia) 2. Membuka jalan napas orang dewasa,
memeriksa nafasnya, dan memberikan dua napas jika ia tidak bernafas 3. Memulai
siklus 30 penekanan dan dua napas (100 kompresi per  esi per  menit) 4. Pada
kedatangan seorang defibrilator atau AED , periksa irama shockable (fibrilasi
ventrikel atau tachycardia) 5. Memberikan satu shock (jika diindikasikan),
kemudian melanjutkan CPR selama lima siklus, atau jika tidak ada shock 
ditunjukkan, terus lima siklus CPR sebelum memeriksa kembali irama. Perawatan
kesehat kesehatan profesional untuk ional untuk memeriksa pulsa setelah pulsa
setelah napas awal (langkah 2) dan lanjutkan dengan satu nafas buatan setiap detik
lima atau enam jika ada denyut nadi, tetapi langkah ini tidak dianjurkan untuk
penyelamat awam.
Gambar 2. Algorotma Henti Jantung Dewasa Tahun 2020
Gambar 3. Darurat Terkait Opioid untuk Algoritma Penyedia Layanan
Kesehatan tahun 2020

2.10 Bantuan Hidup Lanjut


Penyedia dapat menggunakan pengobatan BLS dengan penambahan obat-obatan
dan saluran udara lanjutan, termasuk perangkat saluran napas supraglotis (King
LT, Igel) dan intubasi endotrakeal. Obat-obatan yang digunakan dalam serangan
jantung termasuk Epinefrin dan Amiodaron. Penyedia bantuan hidup lanjutan
(ALS) memiliki manfaat tambahan dari interpretasi irama jantung,
memungkinkan defibrilasi lebih cepat jika diindikasikan. Advanced Cardiac Life
Support (ACLS) dapat mengajarkan penyedia algoritme yang digunakan untuk
menyadarkan pasien yang mengalami serangan jantung.
Gambar 4. Algoritma Perawatan Pasca Henti Jantung Dewasa

2.11 Dokter
Penyedia dapat menggunakan pengobatan ALS dan berkembang ke lingkup
praktik yang luas tergantung pada etiologi medis versus traumatis.

2.12 Medis
Pasien henti jantung medis diobati dengan ALS seperti yang dibahas di atas.
Pasien-pasien ini juga dapat ditempatkan pada oksigenasi membran
ekstrakorporeal (ECMO).[13] Hal ini memungkinkan oksigenasi suplai darah
korban sampai fungsi jantung dipulihkan.

2.13 Trauma
Pasien trauma dapat dibagi menjadi tumpul (kecelakaan kendaraan bermotor)
versus tembus (luka tembak). Penangkapan trauma tumpul biasanya sekunder dari
cedera pembuluh darah besar. Pasien biasanya menyerah pada cedera mereka
segera setelah peristiwa itu terjadi. Sebagian besar pasien trauma tumpul dianggap
sia-sia pada saat kedatangan responden pertama. Korban trauma tembus lebih
suka bertahan jika dibandingkan dengan trauma tumpul.[14] Pasien trauma tembus
biasanya diobati dengan dekompresi jarum bilateral. Jika ROSC tidak diperoleh
dan jika dalam jangka waktu yang tidak sia-sia, pasien dapat menjalani torakotomi
resusitasi. Ini akan memungkinkan visualisasi langsung dan, jika diperlukan,
intervensi jantung, paru-paru, dan pembuluh darah besar.[14] Teknik lain yang
masih dalam evaluasi adalah oklusi balon endovaskular resusitasi aorta (REBOA).
[15] Ini melibatkan penempatan balon endovaskular di dalam aorta untuk
mengontrol perdarahan, mirip dengan cross-clamping aorta, yang merupakan
teknik manual untuk mengontrol perdarahan selama torakotomi resusitasi.

2.14 Perbedaan Diagnosa


Sinkop adalah hilangnya kesadaran sementara yang biasanya disebabkan oleh
penurunan aliran darah ke otak. Pasien yang mengalami sinkop secara sementara
tidak responsif seperti semua individu yang mengalami serangan jantung. Namun,
pasien yang mengalami henti jantung tidak akan memiliki pola pernapasan atau
denyut yang normal, yang membedakan sinkop dari henti jantung. Kejang juga
bisa disalahartikan sebagai henti jantung. Pasien yang mengalami kejang akan
menjadi tidak responsif dan mungkin akan mengalami pernapasan yang tidak
normal. Aktivitas ritmik abnormal dan adanya denyut nadi membedakan kejang
dari henti jantung. Overdosis, terutama dari opiat, dapat menyebabkan pasien
menjadi tidak responsif dan tidak bernapas secara normal. Adanya denyut nadi
akan membedakan overdosis opiat dari henti jantung.
2.15 Prognosa
Faktor-faktor yang terbukti meningkatkan kemampuan bertahan hidup termasuk
serangan jantung yang disaksikan dengan CPR segera dan penggunaan defibrilasi
bila diindikasikan.[16] Pasien muda dan sehat lebih mungkin untuk mendapatkan
ROSC dibandingkan dengan orang tua dan mereka yang memiliki lebih banyak
penyakit penyerta. Mereka yang menjadi korban trauma tembus memiliki peluang
lebih besar untuk bertahan hidup dibandingkan dengan trauma tumpul. Studi
belum menunjukkan manfaat yang terbukti untuk tingkat perawatan ALS pada
serangan jantung, termasuk intubasi endotrakeal dan pemberian obat intravena
(IV). Pergi ke: Komplikasi Banyak komplikasi dapat terjadi selama serangan
jantung. Meskipun tidak umum, komplikasi yang paling merugikan bagi pasien
dengan ritme yang dapat dikejutkan adalah kegagalan AED. Komplikasi lain
termasuk ketidakmampuan untuk mendapatkan akses IV/IO. Setelah ROSC,
kegagalan untuk mengamankan dan/atau mempertahankan alat jalan napas
definitif dapat menyebabkan henti jantung sekunder. Selama etiologi traumatis,
malposisi torakotomi jarum
BAB IV
ANALISIS KASUS
Pasien dibawa ke IGD RSUD Raden Mattaher Jambi dengan keluhan nyeri
seluruh perut sejak ± 1 hari SMRS, pasien merasakan sakit pada seluruh wilayah
perut, sulit bergerak dan tidak bisa beraktivitas. Tidak bisa BAB sejak +3 hari
yang lalu, disertai dengan mual muntah dan demam disangkal. Riwayat minum
jamu-jamuan ada, Riwayat minum obat nyeri ada, merokok (+)
Dari pemeriksaan fisik isnpeksi perut ditemukan perut pasien yang cembung
dan adanya distensi perut, dari pemeriksaan penunjang ditemukan adanya keadaan
anemia, trombositopenia dan jumlah hematokrit yang menurun.
Berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien didiagnosis dengan peritonitis ec perforasi gaster. Perforasi gaster adalah
suatu penyakit yang ditandai dengan bocornya cairan lambung akibat luka atau
inflamasi, dimana cairan lambung tersebut menyebar keseluruh lapangan perut
sehingga dapat menyebabkan nyeri seluruh perut, terlihat cembung atau terlihat
distensi perut.

Kunjungan Pra Anestesi

Kunjungan pra anestesia dilakukan kurang dari 24 jam sebelum operasi,


untuk memberi penjelasan mengenai masalah pembedahan dan anestesi yang
dilakukan. Pada kunjungan tersebut dilakukan penilaian tentang keadaan pasien
secara umum, keadaan fisik dan mental penderita. Dimana didapatkan keadaan
pasien secara umum baik. Pemeriksaan elektrolit seharusnya dilakukan pada
pasien ini sebelum tindakan operatif, namun pada pasien ini tidak dilakukan di
ruangan perawatan
Untuk menilai kebugaran seseorang sesuai The American
Society of Anesthesiologists (ASA) yaitu:

● Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia

● Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atas sedang, tanpa


pembatasan aktivitas

● Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas


rutin terbatas.
● Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap
saat.

● Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa


pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam

Berdasarkan The American Society of Anesthesiologists (ASA), pasien Tn. K


merupakan ASA V, yaitu pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam yaitu terdapatnya masalah
pada system pencernaan dengan perforasi gaster yang dapat menyebabkan sepsis.

Kebutuhan cairan
Pada pasien ini kebutuhan cairan telah dihitung dan
didapatkan : ∙

Jam I = ½ PP + SO + M

= ½ 765 + 306 + 102

= 790.5 cc

Jam II = ¼ PP + SO + M

= ¼ 765 + 306 + 102

= 599.25 cc
TOTAL : 1389.75 cc

Total kebutuhan cairan selama operasi 1 jam 40menit 1389.7 ml

Selama operasi jumlah carian yang diberikan adalah

Input : RL 1 Kolf 250 ml


Output : Urin = ± 50 cc

Perdarahan = ± 100 cc
Kebutuhan cairan pada pasien ini sudah tercukupi.

Premedikasi

Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum anastesi dilakukan, dengan
tujuan melancarkan anastesia. Tujuan Premedikasi sangat beragama, diantaranya :
● Mengurangi kecemasan dan ketakutan
● Memperlancar induksi dan anesthesia
● Mengurangi sekresi ludah dan broncus
● Meminimalkan jumlah obat anesthetic
● Mengurangi mual dan muntah pada pasca bedah
● Menciptakan amnesia
● Mengurangi isi cairan lambung
● Mengurangi reflek yang membahayakan

Pada pasien ini diberikan obat-obat premedikasi yaitu ondancetron 4mg


(golongan antiemetik) dan untuk mengurangi mual dan muntah pasca
pembedahan. Mekanisme kerja obat ini adalah mengantagonisasi reseptor 5HT-2
yang terdapat pada Chemoreseptor Trigger Zone di area postrema otak dan pada
aferen vagal saluran cerna, Ondancentron juga mempercepat pengosongan
lambung, mual dan muntah pasca pembedahan. Ketorolac adalah anti nyeri
golongan NSAID yang berfungsi menghilangkan nyeri dan membuat pasien
nyaman.

Dalam pemberian obat premedikasi pada pasien ini terdapat kesalahan


waktu pemberian obat. Obat premedikasi seharusnya diberikan di ruangan rawat
1-2 jam sebelum dilakukan induksi, namun pada pasien diberikan sekitar 15 menit
sebelum general anestesi.

Induksi Anestesi

Tindakan anestesia pada kasus ini adalah dengan menggunakan general


anestesi menggunakan teknik anestesia secara induksi intravena dan rumatan
inhalasi. Induksi pada pasien ini dengan injeksi Fentanil 100 mcg, Propofol
150
mg, dan atrakurium 30mg, serta pemasangan ETT no 7 dengan dosis
pemeliharaan menggunakan anestesi inhalasi: sevoflurans + N2O: O2.

Berdasarkan teori, induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat


pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya
anestesi. Obat-obatan yang sering digunakan untuk induksi antar lain
tiopental, propofol dan ketamin. Propofol merupakan obat induksi anestesi
cepat, yang didistribusikan dan dieliminasikan dengan cepat. Propofol
diberikan dengan dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan
untuk anestesi intravena total 412 mg/Kg/jam dan dosis sedasi untuk
perawatan intensif 0,2 mg/Kg. Efek samping propofol pada sistem
pernafasan adanya depresi pernapasan, apneu, bronkospasme, dan
laringospasme. Pada susunan saraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, gerakan klonik-mioklonik, epistotonus, mual, muntah. Pada
daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri. Pada pasien ini dosis propofol sudah
tepat.4

Pada pasien ini diberikan fentanil 100 mcg, dimana berdasarkan teori
golongan opioid (morfin, petidin, fentanyl dan sufentanil) untuk induksi
diberikan dalam dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular,
sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung.
Untuk anestsia opioid digunakan fentanyl dosis induksi 2-20 mcg/kgbb.
Dosis pada pasien ini sudah tepat.4
Rumatan anestesi
Rumatan anestesi (maintenance) dapat dilakukan secara intravena,
atau dengan inhalasi atau campuran intravena inhalasi. Pada pasien ini
rumatan anestesi diberikan secara inhalasi sevoflurans + N2O : O2.
Oksigen diberikan untuk mencukupi oksigen jaringan. Pemberian
anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%, gas ini bersifat
sebagai anestetik lemah tetapi analgetiknya kuat. Sevoflurane merupakan
halogenasi eter. Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan
isoflurane. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan
aritmia. Setelah pemberian dihentikan, sevoflurane cepat dikeluarkan oleh
tubuh.

Tindakan Intubasi
Sebelum dilakukan intubasi, pasien diberikan obat pelumpuh otot.
Pada kasus ini, atracurium di berikan sebanyak 30 mg. Dosis atracurium
berdasarkan berat badan adalah 0,5-0,6 mg/kgBB/IV pada pasien ini yaitu
25-30 mg. Atracurium besilat (Tracium) yang merupakan obat pelumpuh
otot non depolarisasi yang relative baru yang mempunyai struktur
benzilisoquinolon yang berasal dari tanaman. Kelebihan obat ini dari yang
lain adalah tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang,
tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular secara bermakna.
Pada pasien ini dilakukan intubasi karena diperkirakan waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan tindakan pembedahan lebih dari 20 menit.
Pada pasien ini intubasi berjalan sempurna tanpa ada faktor penyulit (leher
tidak pendek, gigi depan tidak menonjol, dan mallampati II karena terlihat
sebagian uvula, palatum mole).

Monitoring Intraoperatif

Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan dan didapatkan hasil sebagai


berikut

Selama proses operasi berlangsung pasien mengalami perburukan tanda


tanda vital yang membuat tekanan darah turun, nadi yang naik tinggi dan
langsung turun drastis hingga tidak teraba sama sekali. Pasien langsung dilakukan
RJP sebanyak 5 siklus dan telah ROSC.
Setelah itu pasien masuk ke ruangan ICU pada jam 14.05 untuk diberi
perawatan intensif, Pasien masuk ICU dengan post OP Laparotomu Evaluasi +
perforasi Gaster post ROSC, dengan perawatan lanjutan pemasangan ventilator
peep 5 dan FiO2 100%, RL 60cc/jam. TD, RR, HR dan SPO2 tidak terekam
monitor, kemudian dilakukan RJP 5x siklus🡪 tetap tidak ada perbaikan, pupil
midriasis maximal, asystole.
BAB V
KESIMPULAN

Henti Jantung adalah suatu keadaan terhentinya aliran darah dalam sistem
sirkulasi tubuh secara tiba-tiba akibat terganggunya efektivitas kontraksi jantung
saat sistolik.8
Metabolism jaringan normal pada prinsipnya terutama  bergantung pada
pengiriman oksigen yang adekuat  bergantung pada pengiriman oksigen yang
adekuat sesuai dengan fungsi sirkulasi. Kegagalan pengiriman cepat menghasilkan
beberapa perubahan yaitu hipoksia dan asidosis.
Basic Life Support (BLS) membebaskan jalan napas, diikuti dengan
ventilasi  bantuan dan ketersediaan dari sirkulasi. Semua tanpa bantuan peralatan
khusus. Tujuan utama resusitasi adalah untuk mengembalikan denyut jantung dan
mengembalikan fungsi sirkulasi. Memberikan bantuan dasar untuk 
mempertahankan hidup. Umumnya pasien yang memerlukan resusit resusitasi
jantung  paru ditemukan dalam tiga keaadaan yaitu : 1. Tanpa denyutan nadi tapi
masih ada pernapasan 2. Adanya denyut nadi tapi tanpa pernapasan 7
3. Tanpa
denyut nadi dan pernapasan Cardiopulmonary resuscitation (CPR)  / Resusitasi
Jantung Paru adalah  prosedur  prosedur darurat yang dilakukan dalam upaya
untuk mengmembalikan hidup seseorang dalam serangan jantung. Hal ini
ditujukan pada orang-orang yang responsif tanpa bernapas atau terengah-engah
saja. Ini dapat dicoba baik di dalam maupun di luar rumah sakit.
Pada pasien tersebut terjadi henti jantung pada intra anestesi dikarenakan
perforasi gaster yang sudah menyebabkan peritonitis yang membuat pasien syok
sehingga delivery oksigen terganggu, dan pada pasien ini langsung diberikan
Tindakan RJP untuk mengembalikan nadi pasien, setelah nadi muncul pasien
dibawa ke ruang ICU untuk diberi perawatan lanjutan yang intensif, tetapi
keadaan umum pasien tambah buruk dan akhirnya asystole.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kuller LH. Sudden death--definition and epidemiologic considerations.
Prog Cardiovasc Dis. 1980 Jul-Aug;23(1):1-12. [PubMed]
2. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). State-specific
mortality from sudden cardiac death--United States, 1999. MMWR Morb
Mortal Wkly Rep. 2002 Feb 15;51(6):123-6. [PubMed]
3. Wong MK, Morrison LJ, Qiu F, Austin PC, Cheskes S, Dorian P, Scales
DC, Tu JV, Verbeek PR, Wijeysundera HC, Ko DT. Trends in short- and
long-term survival among out-of-hospital cardiac arrest patients alive at
hospital arrival. Circulation. 2014 Nov 18;130(21):1883-90. [PubMed]
4. Kannel WB, Doyle JT, McNamara PM, Quickenton P, Gordon T.
Precursors of sudden coronary death. Factors related to the incidence of
sudden death. Circulation. 1975 Apr;51(4):606-13. [PubMed]
5. Drory Y, Turetz Y, Hiss Y, Lev B, Fisman EZ, Pines A, Kramer MR.
Sudden unexpected death in persons less than 40 years of age. Am J
Cardiol. 1991 Nov 15;68(13):1388-92. [PubMed]
6. Kannel WB, Wilson PW, D'Agostino RB, Cobb J. Sudden coronary death
in women. Am Heart J. 1998 Aug;136(2):205-12. [PubMed]
7. Marijon E, Uy-Evanado A, Dumas F, Karam N, Reinier K, Teodorescu C,
Narayanan K, Gunson K, Jui J, Jouven X, Chugh SS. Warning Symptoms
Are Associated With Survival From Sudden Cardiac Arrest. Ann Intern
Med. 2016 Jan 05;164(1):23-9. [PMC free article] [PubMed]
8. Gaspari R, Weekes A, Adhikari S, Noble VE, Nomura JT, Theodoro D,
Woo M, Atkinson P, Blehar D, Brown SM, Caffery T, Douglass E, Fraser
J, Haines C, Lam S, Lanspa M, Lewis M, Liebmann O, Limkakeng A,
Lopez F, Platz E, Mendoza M, Minnigan H, Moore C, Novik J, Rang L,
Scruggs W, Raio C. Emergency department point-of-care ultrasound in
out-of-hospital and in-ED cardiac arrest. Resuscitation. 2016 Dec;109:33-
39. [PubMed]
9. Kleinman ME, Brennan EE, Goldberger ZD, Swor RA, Terry M, Bobrow
BJ, Gazmuri RJ, Travers AH, Rea T. Part 5: Adult Basic Life Support and
Cardiopulmonary Resuscitation Quality: 2015 American Heart
Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2015 Nov 03;132(18 Suppl
2):S414-35. [PubMed]
10. Olasveengen TM, de Caen AR, Mancini ME, Maconochie IK, Aickin R,
Atkins DL, Berg RA, Bingham RM, Brooks SC, Castrén M, Chung SP,
Considine J, Couto TB, Escalante R, Gazmuri RJ, Guerguerian AM,
Hatanaka T, Koster RW, Kudenchuk PJ, Lang E, Lim SH, Løfgren B,
Meaney PA, Montgomery WH, Morley PT, Morrison LJ, Nation KJ, Ng
KC, Nadkarni VM, Nishiyama C, Nuthall G, Ong GY, Perkins GD, Reis
AG, Ristagno G, Sakamoto T, Sayre MR, Schexnayder SM, Sierra AF,
Singletary EM, Shimizu N, Smyth MA, Stanton D, Tijssen JA, Travers A,
Vaillancourt C, Van de Voorde P, Hazinski MF, Nolan JP., ILCOR
Collaborators. 2017 International Consensus on Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science With
Treatment Recommendations Summary. Resuscitation. 2017
Dec;121:201-214. [PubMed]
11. Guildner CW. Resuscitation--opening the airway. A comparative study of
techniques for opening an airway obstructed by the tongue. JACEP. 1976
Aug;5(8):588-90. [PubMed]
12. Uzun L, Ugur MB, Altunkaya H, Ozer Y, Ozkocak I, Demirel CB.
Effectiveness of the jaw-thrust maneuver in opening the airway: a flexible
fiberoptic endoscopic study. ORL J Otorhinolaryngol Relat Spec.
2005;67(1):39-44. [PubMed]
13. Younger JG, Schreiner RJ, Swaniker F, Hirschl RB, Chapman RA,
Bartlett RH. Extracorporeal resuscitation of cardiac arrest. Acad Emerg
Med. 1999 Jul;6(7):700-7. [PubMed]
14. Seamon MJ, Haut ER, Van Arendonk K, Barbosa RR, Chiu WC, Dente
CJ, Fox N, Jawa RS, Khwaja K, Lee JK, Magnotti LJ, Mayglothling JA,
McDonald AA, Rowell S, To KB, Falck-Ytter Y, Rhee P. An evidence-
based approach to patient selection for emergency department
thoracotomy: A practice management guideline from the Eastern
Association for the Surgery of Trauma. J Trauma Acute Care Surg. 2015
Jul;79(1):159-73. [PubMed]
15. Biffl WL, Fox CJ, Moore EE. The role of REBOA in the control of
exsanguinating torso hemorrhage. J Trauma Acute Care Surg. 2015
May;78(5):1054-8. [PubMed]
16. de Vreede-Swagemakers JJ, Gorgels AP, Dubois-Arbouw WI, Dalstra J,
Daemen MJ, van Ree JW, Stijns RE, Wellens HJ. Circumstances and
causes of out-of-hospital cardiac arrest in sudden death survivors. Heart.
1998 Apr;79(4):356-61. [PMC free article] [PubMed]
17. Stiell IG, Wells GA, Field B, Spaite DW, Nesbitt LP, De Maio VJ, Nichol
G, Cousineau D, Blackburn J, Munkley D, Luinstra-Toohey L, Campeau
T, Dagnone E, Lyver M., Ontario Prehospital Advanced Life Support
Study Group. Advanced cardiac life support in out-of-hospital cardiac
arrest. N Engl J Med. 2004 Aug 12;351(7):647-56. [PubMed]
18. Schenone AL, Cohen A, Patarroyo G, Harper L, Wang X, Shishehbor MH,
Menon V, Duggal A. Therapeutic hypothermia after cardiac arrest: A
systematic review/meta-analysis exploring the impact of expanded criteria
and targeted temperature. Resuscitation. 2016 Nov;108:102-110.
[PubMed]
19. Berg RA, Hemphill R, Abella BS, Aufderheide TP, Cave DM, Hazinski
MF, Lerner EB, Rea TD, Sayre MR, Swor RA. Part 5: adult basic life
support: 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
Circulation. 2010 Nov 02;122(18 Suppl 3):S685-705. [PubMed]
20. Zhan L, Yang LJ, Huang Y, He Q, Liu GJ. Continuous chest compression
versus interrupted chest compression for cardiopulmonary resuscitation of
non-asphyxial out-of-hospital cardiac arrest. Cochrane Database Syst Rev.
2017 Mar 27;3:CD010134. [PMC free article] [PubMed]
21. Wik L, Kramer-Johansen J, Myklebust H, Sørebø H, Svensson L, Fellows
B, Steen PA. Quality of cardiopulmonary resuscitation during out-of-
hospital cardiac arrest. JAMA. 2005 Jan 19;293(3):299-304. [PubMed]
22. Siscovick DS, Weiss NS, Hallstrom AP, Inui TS, Peterson DR. Physical
activity and primary cardiac arrest. JAMA. 1982 Dec 17;248(23):3113-7.
[PubMed]
23. Sandhu RK, Jimenez MC, Chiuve SE, Fitzgerald KC, Kenfield SA,
Tedrow UB, Albert CM. Smoking, smoking cessation, and risk of sudden
cardiac death in women. Circ Arrhythm Electrophysiol. 2012
Dec;5(6):1091-7. [PMC free article] [PubMed]

You might also like