You are on page 1of 18

MAKALAH

PRAKTIKUM ILMU PERILAKU DAN ETIKA PROFESI

STUDI KASUS KELOMPOK 4

Dosen Pengampu : Apt. Assajada Lizikri, M.Farm

Di susun oleh : kelompok 4

Oviesa Yuliany (20032033)

Rahayu Damayanti (20032034)

Ira Alfira (20032035)

Garnis Dwi Septiani (20032036)

Devi Juniar Nur F (20032037)

Dwiphia Apriliyanthi (20032038)

Novita Sari Dewi (20032039)

Ahmad Miftahul Khoer (20032041)

Pina Haryanti (20032042)

PROGRAM STUDI DIPLOMA III FARMASI

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI DAN FARMASI

BOGOR

2021
BAB I

PENDAHULAN

1.1 Latar Belakang

Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang


mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Dalam
menjalani profesinya, tenaga kesehatan yang mengabdikan
dirinya untuk memberikan pelayanan kesehatan terhadap
masyarakat memiliki hak atas kesejahteraan, imbalan serta
perlindungan hukum, hal tersebut dituangkan dalam Pasal
27 ayat (1) Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.

Pelayanan kefarmasian merupakan bagian dari sistem


pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pelayanan
pasien dan penyediaan obat yang bermutu (Depkes RI,
2009). Praktik kefarmasian di apotek dilakukan
berdasarkan standar pelayanan kefarmasian di apotek.
Pada umumnya apoteker pengelola apotek telah
mengetahui dan mempunyai dokumen Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek (SPKA), tetapi dalam
pelaksanaannya belum memenuhi standar tersebut,
terutama dalam hal pelayanan farmasi klinis. Hal ini
karena keterbatasan kemampuan apoteker dalam farmasi
klinis dan ilmu manajemen, sehingga dibutuhkan materi
pelatihan untuk melaksanakan SPKA mencakup ilmu
kefarmasian dan ilmu manajemen. (Supardi, et al., 2012).
Pelayanan informasi obat adalah salah satu aspek yang
penting dalam pelayanan farmasi klinik. Proses pemberian
informasi yang dilakukan oleh tenaga kefarmasian kepada
pasien harus dilakukan. Selain itu tenaga kefarmasian
harus pro aktif untuk memberikan pelayanan informasi
obat yang diberikan kepada pasien, beberapa informasi
yang perlu disampaikan kepada pasien diantaranya dosis
obat, cara/ metode penggunaan dan waktu peggunaan
obat, jumlah konsumsi obat dalam sehari, cara
penyimpanan obat, dan bagaimana cara mengatasi apabila
kemungkinan terjadi efek samping.

Perbedaan implementasi ini tentu akan mempengaruhi


kualitas pelayanan kefarmasian yang diberikan kepada
pasien (Satibi, 2017). Begitu juga pelayanan kefarmasian
yang diberikan di apotek, implementasi antara pelayanan
kefarmasian yang diberikan di apotek jaringan/ franchise
dan non jaringan harus memenuhi standar pelayanan
kefarmasian di apotek, baik dalam aspek pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai, ataupun pelayanan farmasi klinik. Pada
pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek,
kegiatan yang telah dilaksanakan lebih banyak mengenai
administrasi dan pengelolaan obat seperti
pembelian/pengadaan/pemesanan obat, penerimaan obat,
pengecekan kerusakan dan ED/kadaluwarsa, penggunaan
kartu stok, penyimpanan obat narkotika dan psikotropika,
serta pencatatan dan pelaporann. Kegiatan yang belum
dilaksanakan mengarah pada pelayanan farmasi seperti
home care, medication record, pembuatan SOP/Protap dan
konseling (Cahyono, et al., 2015). Berdasarkan studi
terhadap apoteker komunitas pada tahun 2009
menunjukkan bahwa “menurut Dinas Kesehatan dan
Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) apoteker belum cukup siap
dan apoteker di apotek non jaringan lebih tidak siap
dibandingkan dengan di apotek jaringan/franchise.
Pemerintah telah memberlakukan suatu standar pelayanan
kefarmasian di apotek melalui Kepmenkes Nomor 73 Tahun
2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
yang meliputi dua aspek, aspek yang pertama yaitu
pengelolaan sediaan farmasi, kemudian alat kesehatan dan
bahan medis habis pakai, dan askep kedua adalah
pelayanan farmasi klinik. Tujuan diberlakukannya standar
tersebut adalah sebagai pedoman praktik apoteker dalam
menjalankan profesi di apotek, untuk melindungi
masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional dan
untuk melindungi profesi dalam menjalankan praktik
kefarmasian (Hartini, 2008). Apoteker dituntut untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku
dalam berinteraksi dengan pasien melalui pemberian
informasi yang lengkap mengenai cara pemakaian dan
penggunaan, efek samping hingga monitoring penggunaan
obat. Oleh karena itu apoteker dalam menjalankan
profesinya harus sesuai dengan standar pelayanan
kefarmasian di apotek untuk menjamin mutu pelayanan
kefarmasian kepada masyarakat (Atmini, et al., 2011).

Kelengkapan pelayanan informasi obat merupakan


salah satu bagian yang sangat penting pada pelayanan
farmasi klinis. Pelayanan kefarmasian 4 di apotek
hendaknya memiliki tujuan pokok agar pasien
mendapatkan obat yang bermutu baik dengan informasi
yang paling lengkap. Pelayanan kefarmasian ini termasuk
pengelolaan dan penggunan obat secara rasional, yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
pelayanan kesehatan secara menyeluruh, yang
dilaksanakan secara langsung dan bertanggung jawab demi
tercapainya peningkatan kualitas hidup pasien. Kualitas
pelayanan kefarmasian di apotek jaringan/franchise dan
non jaringan akan mempengaruhi kelengkapan informasi
yang diberikan kepada pasien, sehingga perlu
memperhatikan pelayanan yang baik dan memenuhi
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SPKA). SPKA
dapat dijadikan sebagai acuan apoteker dalam melakukan
implementasi pelayanan kefarmasian di apotek untuk
meningkatkan mutu pelayanan dan kepuasan pasien
(Hartini, 2008). Penelitian mengenai kelengkapan informasi
yang diberikan kepada pasien merupakan bentuk kajian
yang dapat dilakukan untuk memberikan penilaian dan
mengukur mutu pelayanan yang dilakukan apoteker dan
tenaga teknis kefarmasian di apotek sebagai tenaga
kesehatan yang memberikan pelayanan sediaan obat
maupun pelayanan informasi dan pendidikan kepada
pasien untuk meningkatkan kesehatan dan kulaitas hidup
pasien.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Etika


Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (1998) merumuskan pengertian
etika dalam tiga arti sebagai berikut :
a. Ilmu tentang apa yang baik dan buruk,tentang hak dan
kewajiban moral.
b. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
c. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh
masyarakat
Dari asul-usul katanya, etika berasal dari bahasa Yunani
"ethos" yang berarti adat istiadat atau kebiasaan yang baik.
Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang
merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam
bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan
atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang
baik (kesusilaan) dan menghindari hal-hal tindakan yang
buruk. Bertolak dari kata tersebut, akhirnya etika berkembang
menjadi studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan
kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda. Istilah
lain yang identic dengan etika, yaitu: usila (Sanskerta), lebih
menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip
,aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). Dan yang kedua
adalah Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu
akhlak.

2.2 Definisi Profesi

Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi Pendidikan


keahlian (ketrampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu.

a. K.Bertens
Profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral)
yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai Bersama
b. Siti Nafsiah
Profesi adalah suatu pekerjaan yang dikerjakan sebagai
sarana untuk mencari nafkah hidup sekaligus sebagai
sarana untuk mengabdi kepada kepentingan orang lain
(orang banyak) yang harus diiringi pula dengan keahlian,
keterampilan, profesionalisme, dan tanggung jawab.
c. Doni Koesoema A
Profesi merupakan pekerjaan, dapat juga berwujud
sebagai jabatan
didalam suatu hierarki birokrasi, yang menuntut keahlian
tertentu serta memiliki etika khusus untuk jabatan tersebut
serta pelayanan baku terhadap masyarakat

2.3 Definisi Profesi Dan Profesional


Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan
pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang
mengandalkan suatu keahlian.

Profesional adalah orang yang mempunyai profesi atau


pekerjaan purnawaktu dan hidup dari pekerjaan itu denga
n mengandalkan suatu keahlian yang tinggi. Atau seorang
profesional adalah seseorang yang hidup dengan
mempraktekkan suatu keahlian tertentu atau dengan
terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menurut
keahlian, sementara orang lain melakukan hal yang sama
sebagai sekedar hobi, untuk senang-senang, atau untuk
mengisi waktu luang yang harus kita ingat dan pahami
Betul Bahwa “Pekerjaan / Profesi ”Dan “Profesional”
terdapat beberapa perbedaan :

A. Profesi

1. Mengandalkan suatu keterampilan atau keahlian


khusus.
2. Dilaksanakan sebagai suatu pekerjaan atau kegiatan
utama (purnawaktu).
3. Dilaksanakan sebagai sumber utama nafkah hidup.
4. Dilaksanakan dengan keterlibatan pribadi yang
mendalam

B. Profesional

1. Orang yang tahu akan keahlian dan keterampilannya.


2. Meluangkan seluruh waktunya untuk pekerjaan atau
kegiatan
3. Hidup dari situ.
4. Bangga akan pekerjaan
2.4 Etika Profesi
Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah
aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan
antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan
mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut
etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-
norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran
ukuran bagi tingkahlaku manusia yang baik. Berikut ini mer
upakan pengertian etika farmasi menurut para ahli :
1. Drs.O.P. Simorangkir
Etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam
berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.

2. Drs. Sidi Gajalba


Dalam sistematika filsafat etika adalah teori tentang
tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi
baikdan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
3. Drs. H. Burhanudin Salam
Etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai
dan norma moral yang menentukan perilaku manusia
dalam hidupnya.
4. Anang Usman, SH., MSi,
Etika profesi adalah sebagai sikap hidup untuk
memenuhi kebutuhan pelayanan profesional dari klien
dengan keterlibatan dan keahlian sebagai pelayanan
dalamrangka kewajiban masyarakat sebagai keseluruhan
terhadap para anggota masyarakat yang
membutuhkannya dengan disertai refleksi yang seksama
2.5 Peranan Etika Dalam Profesi
1. Nilaietika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, ataus
egolongan orang saja, tetapi milik setiap kelompok
masyarakat, bahkan kelompok yang lebih kecil
yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa. Dengan nilai-
nilai etika tersebut, suatu kelompok diharapkanakan
mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama.
2. Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-
nilai yang menjadi landasan dalam pergaulan baik dengan
kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan
sesama anggotanya, yaitu masyarakat profesional.
Golongan ini sering menjadi pusat perhatiankarena adanya
tata nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis (yaitu
kode etik profesi) dan diharapkan menjadi pegangan para
anggotanya.
3. Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala per
ilakuperilaku sebagian para anggota profesi yang tidak did
asarkan padanilai-nilai pergaulan yang telah disepakati
bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi
kemerosotan etik pada masyarakat profesi tersebut
BAB III

PEMBAHASAN

Studi Kasus

Disebuah apotek di kota H, ada pasien pasien anak kecil kejang


yang diantar oleh orang tuanya ke rumah sakit, namun belum
sampai rumah sakit anak tersebut kejang yang tiada tara sehingga
orang tuanya (dalam perjalanan ke rumah sakit) memutuskan
berhenti diapotek untuk minta tolong pengobatan darurat di
apotek tersebut. Dokter praktek sudah tidak ada dan apoteker
penanggung jawab juga sedang tidak berada di tempat pada hari
itu, yang ada di apotek tersebut hanya seorang AA dan 1 pekarya.
dimana saat itu harus mengambil keputusan menolong pasien
atau menolaknya. AA tersebut sudah mempunyai pengalaman
bekerja di rumah sakit di daerah tersebut.
Dengan pertimbangan pengalaman asisten apoteker yang pernah
berpraktek di rumah sakit, Asisten apoteker
tersebut memberikan valisanbe rectal ke dubur anak kecil itu
sehingga kejangnya mereda. Pasien dapat diselamatkan dan
segera dikirim ke rumah sakit terdekat. Bagai mana kajian
saudara terhadap kasus tersebut diatas, di tinjau dari sisi sumpah
profesi, etika farmasi dan peraturan dan perundang undangan
yang berlaku?

Identifikasi Masalah:
- UU No. 5 tahun 1997
Pasal 33
1. Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan
farmasi Pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai
pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau
lembaga pendidikan, wajib membuat dan menyimpan catatan
mengenai kegiatan masing-masing yang berhubungan dengan
psikotropika.
Pasal 34
1. Pabrik obat, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit,
puskesmas, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan wajib
melaporkan catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1)
kepada Menteri secara berkala.
Pasal 14
4. Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas
dan balai pengobatan, puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
Pasal 14
1. Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah
sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter
2. Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan
kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan,
dokter dan kepada pengguna/pasien.
6. Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilaksanakan dalam hal :
a) menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan;
b) menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
c) menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
7. Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) hanya dapat diperoleh dari apotek.

Kode Etik Apoteker Indonesia


Pasal 3
Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai
kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan
berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan
kewajibannya.
Implementasi PASAL 3
1. Kepentingan kemanusiaan harus menjadi pertimbangan
utama dalam setiap tindakan dan keputusan seorang
apoteker indonesia
2. Bimlamana suatu saat seorang apoteker dihadapkan kepada
konflik tanggung jawab profesional, maka dari berbagai opsi
yang ada seorang apoteker harus memilih resiko yang paling
kecil dan paling tepat untuk kepentingan pasien serta
masyarakat.
Pasal 9
Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus
mengutamakan kepentingan masyarakat, menghormati hak azasi
pasien dan melindungi mahluk hidup insani.
Implementasi PASAL 9
1. Setiap tindakan dan keputusan profesional dari apoteker
harus berpihak pada kepentingan pasien dan masyarakat.
2. Seorang apoteker harus mengambil langkah-langkah untuk
menjaga kesehatan pasien khususnya janin, bayi, anak-
anak serta orang dalam kondisi lemah.

Peraturan Pemerintah No.20 tahun 1962

Lafal Sumpah Apoteker


1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan
perikemanusiaan terutama dalam bidang Kesehatan.
2. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui
karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai Apoteker.
3. Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan
pengetahuan kefarmasian saya untuk sesuatu yang
bertentangan dengan hukum perikemanusiaan;
4. Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya
sesuai dengan martabat dan tradisi luhur jabatan
kefarmasian;
5. Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berikhtiar
dengan sungguhsungguh supaya tidak terpengaruh oleh
pertimbagnan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik
kepartaian, atau kedudukan sosial;
6. Saya ikrarkan Sumpah/Janji ini dengan sungguh-sungguh
dan dengan penuh keinsyafan
Apoteker menyerahkan psikotropika tanpa resep dokter pada
keadaan darurat sebagai upaya life saving.
Tindakan apoteker dapat dibenarkan mengingat pemberian obat
golongan psikotropika tanpa resep dokter tersebut bertujuan sebagai
pertolongan kepada pasien sehingga nyawa pasien dapat
terselamatkan
Analisis Kasus:
• Lafal Sumpah Apoteker no. 1 :
“ Saya akan membaktikan hidup saya guna
kepentingan perikemanusiaan, terutam dalam bidang kesehatan“
• UU No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Pasal 5 :
Ayat 1 :
Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses
atas sumber daya di bidang kesehatan.
Ayat 2 :
Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Ayat 3 :
Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab
menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi
dirinya.
Pasal 9 :
Pasal 1 :
Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan,
dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya.
Pasal 2 :
Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya
meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan
masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.
Pasal 12 :
Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat
kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya.
Pasal 32 :
Ayat 1 :
Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik
pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan
kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan
kecacatan terlebih dahulu.

Ayat 2 :
Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik
pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau
meminta uang muka.
Pasal 53 :
Ayat 1 :
Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk
menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan
dan keluarga.
Ayat 3 :
Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa
pasien dibanding kepentingan lainnya.
Pasal 83
(1) Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada
bencana harus ditujukan untuk penyelamatan nyawa, pencegahan
kecacatan lebih lanjut, dan kepentingan terbaik bagi pasien. (2)
Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki.
Pasal 85
1. Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik
pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan
kesehatan pada bencana bagi penyelamatan nyawa pasien
dan pencegahan kecacatan.
2. Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan
kesehatan pada bencana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka
terlebih dahulu.

Pasal 102

Ayat 1 :
Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan
psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter
atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan.
• PP 51 tahun 2009 pasal 24 ayat c:
Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan
kefarmasian, Apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika
dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kesimpulan:
• Berdasarkan UU 36 tahun 2009 pasal 102 ayat 2 dan PP 51
tahun 2009 pasal 24 ayat c, tindakan Apoteker S merupakan
sebuah pelanggaran dalam menjalankan pekerjaan
kefarmasian karena memberikan obat Valisanbe rectal yang
isinya adalah Diazepam yang termasuk dalam golongan
psikotropika.
• Akan tetapi tindakan Apoteker S tidak sepenuhnya salah
kerena keadaan anak tersebut dalam kondisi darurat yang
memerlukan penanganan secepatnya (UU 36 tahun 2009
pasal 32 ayat 1 dan pasal 53 ayat 3).
• Keputusan Apoteker S memberikan Diazepam didasari oleh
alasan kemanusiaan serta dasar kompetensi dan ilmu
pengetahuan di bidang farmasi yang dimilikinya

DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/29490604/Makalah_Kelompok_IV_doc
x

http://repository.unissula.ac.id/19550/4/BAB%20I.pdf

https://id.scribd.com/document/385245406/Materi-Tugas-Studi-
Kasus

https://www.academia.edu/8794455/KUMPULAN_MATERI_ETIKA_
KEFARMASIAN_KASUS_DAN_KODE_ETIK_SERTA_IMPLEMENTASI
NYA
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK%20No.%
2035%20ttg%20Standar%20Pelayanan%20Kefarmasian%20di%20A
potek.pdf

You might also like