Professional Documents
Culture Documents
PENDIDIK522013 AnalisisWacanaKritisFairclough
PENDIDIK522013 AnalisisWacanaKritisFairclough
net/publication/351118810
CITATIONS READS
12 3,606
1 author:
Umar Fauzan
State Islamic Institute of Samarinda, Indonesia
26 PUBLICATIONS 137 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Umar Fauzan on 28 April 2021.
Umar Fauzan
STAIN Samarinda
Email: umarfauzan123@gmail.com
Abstract: The experts of critical discourse analysis state that CDA tries to
disclose the darkness of the relationship of the discourse and the power. There
is always a hidden agenda behind the text (or discourse). This ideological
discovery becomes the main goal of this critical discourse analysis. This
article tries to discourse one of the popular models of critical discourse
analysis, Fairclough’s model. Fairclough argues that language (discourse) is
able to influence the society. On the other way the society is also able to
determine the language (discourse) production. Fairclough proposes a
framework of three dimension analysis; a discourse as a text, a discourse as a
discourse practice, and a discourse as social practice. Fairclough uses the
social-semiotic of Halliday in analyzing a discourse.
Key-words: critical discourse analysis, dialectical approach
Menurut paham analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis), teks bukanlah
sesuatu yang bebas nilai dan menggambarkan realitas sebagaimana adanya.
Kecenderungan pribadi dari sang produsen teks dan struktur sosial yang melingkupi
sang produsen teks ikut mewarnai isi teks. Bahasa tidak netral melainkan membawa
pesan ideologi tertentu yang dipengaruhi oleh sang pembuat teks. AWK memahami
wacana tidak semata-mata sebagai suatu studi bahasa, tetapi analisis wacana kritis juga
menghubungkannya dengan konteks. Konteks yang dimaksud adalah konteks praktik
kekuasaan yang bertujuan untuk memarginalkan individu atau kelompok tertentu
melalui penggunaan kekuasaan dalam memproduksi teks (wacana).
Ada beberapa teknik dalam analisis wacana kritis yang populer, antara lain: Sara
Mills, Fowler, dkk, Foucault, Van Dijk, dan Fairclough. Analisis wacana kritis yang
merujuk pada pemikiran Fairclough dari bukunya Language and Power (1989) dan
Critical Discourse Analysis (1998) mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan
konteks masyarakat yang lebih luas.
Seperti juga Van Dijk, analisis Norman Fairclough didasarkan pada pernyataan
besar, bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang
makro. Fairclough membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai
kontribusi dalam analisis sosial, sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual
– yang selalu melihat bahasa dalam ruang tertutup – dengan konteks masyarakat yang
lebih luas. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik
sosial. Analisis Fairclough dipusatkan pada bagaimana bahasa itu terbentuk dan
dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu.
Fairclough (1989:22) menyebut pemahamannya tentang bahasa dengan istilah
discourse atau wacana. Konsep wacana menurut Fairclough merupakan bentuk sebagai
“praktik sosial” yang memiliki tiga implikasi. Pertama, wacana merupakan bagian dari
masyarakat. Wacana tidak bisa berdiri sendiri dengan dipisahkan dari masyarakat.
Kedua, pemahaman wacana sebagai praktik sosial memberi implikasi bahwa wacana
merupakan proses sosial. Sebagaimana masyarakat berproses dan berkembang, maka
wacana (bahasa) juga berproses dan berkembang. Ketiga, wacana berproses sesuai
dengan yang dikondisikan dalam masyarakat. Ada semacam dialektika antara bahasa
dan kondisi sosial. Wacana dipengaruhi oleh kondisi sosial, akan tetapi kondisi sosial
juga dipengaruhi oleh wacana.
Pada buku yang sama, Language and Power, Fairclough (1989:37) menjelaskan
mengenai dialektika struktur sosial dan wacana. Fairclough berpendapat bahwa
hubungan antara wacana dengan struktur sosial bukanlah hubungan satu arah. Selain
ditentukan oleh struktur sosial, wacana juga mempengaruhi struktur sosial, sekaligus
berkontribusi dalam perubahan struktur sosial itu sendiri. Dialektika menunjukkan
adanya hubungan dua arah, wacana dan struktur sosial saling mempengaruhi satu sama
lain. Wacana penting bagi kekuasaan dan usaha melanggengkan kekuasaannya melalui
pengontrolan wacana oleh pihak-pihak di lingkaran kekuasaan dan kekuatan sosial
masyarakat yang menjadi faktor penting dalam mempertahankan kekuasaan itu sendiri
melalui pembentukan wacana.
Selain peran aktif dalam penjelasan di atas, bahasa (dalam bahasa Fairclough
disebut dengan wacana) juga memiliki peran pasif. Dalam peran pasifnya, bahasa
merupakan alat rekam dari apa yang berlangsung dalam kehidupan manusia. Bahasa
lisan yang terekam secara tertulis, seperti Babat Tanah Jawa atau bahasa lisan yang
dituturkan seperti dalam bentuk dongeng, mampu mendokumentasikan apa yang terjadi
di masa lampau. Bahasa dapat berperan pula sebagai refleksi dari proses sosial yang
berlaku di masyarakat. Misalnya, bahasa yang memiliki tingkatan seperti bahasa
Madura, enja’ iya – enggi enten – enggi bhunten, merupakan cerminan dari
masyarakatnya yang relatif masih berorientasi pada hirarki. Sebagai alat rekam
mengenai apa yang terjadi di masyarakat, bangsa Indonesia telah mempraktekkan hal
ini sejak ratusan tahun yang lalu, misalnya kejadian dalam sosial masyarakat yang
terekam dalam batu-batu di dinding candi Borobudor.
Selain berperan secara pasif, bahasa juga dapat berperan secara aktif. Dalam hal
ini, bahasa ikut serta menjadi elemen yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial itu
sendiri. Bukti dari hal ini adalah apa yang telah dilakukan media dengan
pemberitaannya menyangkut partai demokrat. Banyak pihak, para pengamat, dan
petinggi partai demokrat yang menuding media sebagai biang dari kemerosotan
elektabilitas partai ini. Pada hari Senin, 18 Juni 2012, Republika online menurunkan
berita mengenai melorotnya elektabilitas Partai Demokrat dalam hasil survei yang
dilakukan oleh LSI. Hasil survei LSI menunjukkan penurunan elektabilitas Partai
Demokrat akibat pemberitaan korupsi yang dilakukan oleh para kader Partai Demokrat.
Di harian yang sama, Republika online, Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat,
Ahmad Mubarok mengakui peran media yang membanjiri publik dengan pemberitaan
mengenai Hambalang dan Wisma Atlet menjadi salah satu penyebab dari merosotnya
elektabilitas Partai Demokrat. Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Adjie
Alfarabi, di kantor LSI pada tanggal 17 Juni 2012 menyebutkan 3 (tiga) hal yang
membuat elektabilitas Partai Demokrat turun, yaitu: 1) kinerja SBY, 2) kasus korupsi
oleh sejumlah elit partai, dan 3) konflik internal Partai Demokrat. Tidak terhindarkan,
ketika ketiga berita-berita tersebut disiarkan secara berulang-ulang ke ruang publik akan
membentuk opini yang negatif mengenai partai demokrat. Contoh lain adalah
bagaimana secara terus menerus, Amerika menggaungkan wacana Irak memiliki bom
pemusnah massal. Masyarakat dunia lebih banyak yang percaya dan berada di gerbong
yang sama untuk menghancurkan Saddam Hussein yang dianggap memiliki bom
pemusnah massal, meskipun belakangan terbukti bahwa Saddam Hussein tidak
memilikinya. Suatu kesadaran akan sebuah fakta yang terlambat ketika kondisi sosial
masyarakat Irak telah hancur.
Disini dapat ditarik kesimpulan bahwa fenomena linguistik bersifat sosial,
sementara fenomena sosial juga memiliki sifat linguistik. Linguistik bersifat sosial
karena linguistik sama sekali tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh lingkungan
sosialnya. Kondisi sosial juga bersifat linguistik karena aktivitas berbahasa dalam
konteks sosial tidak hanya menjadi wujud ekspresi atau refleksi dari proses dan praktik
sosial, namun juga merupakan bagian dari proses dan praktik sosial tersebut. Oleh
karena itu, maka sangat tepat apabila konsep wacana merupakan bentuk praktik sosial.
Eriyanto (2001:286) menyebut Fairclough membangun model analisis yang
mengintegrasikan secara bersama-sama analisis wacana yang didasarkan pada linguistik
dan pemikiran sosial, dan diintegrasikan pada perubahan sosial. Oleh karena itu, model
yang dikemukakan oleh Fairclough ini juga disebut sebagai model perubahan sosial
(sosial change).
Dari contoh di atas terlihat jelas, bahwa dua teks tersebut dipengaruhi oleh teks
lain yang muncul sebelumnya.
Dalam artikel Wodak dan Weiss berjudul Analyzing European Union discourses:
Theories and applications yang dimuat dalam buku Wodak and Chilton (2005) berjudul
A New Agenda in (Critical ) Discourse Analysis, Wodak dan Weiss (2005:127)
mengatakan secara jelas mengenai intertekstualitas dan interdiskursus:
“Texts and discourses are not isolated in space. It is rather the case
that individual texts always relate to past or even present texts.
Dari pendapat di atas tersebut, kita mengetahui bahwa menurut Wodak dan Weiss
teks dan wacana itu tidak terisolasi dalam ruang. Teks satu selalu berhubungan dengan
teks sebelumnya atau bahkan teks yang akan datang. Hal ini dapat dicirikan sebagai
"intertekstualitas". Wacana berperilaku dengan cara yang sama: Wacana juga tumpang
tindih dan saling berhubungan. Hal ini dikenal sebagai "interdiscursivity".
Sejalan dengan pendapat Wodak dan Weiss di atas, Fairclough (1992: 102)
mengutip kristeva (1986: 39) dengan menulis bahwa interdiskursus mengacu pada
pengaruh sejarah terhadap suatu teks dan pada pengaruh teks terhadap sejarah,
maksudnya teks tergantung pada teks-teks terdahulu dan dengan begitu memberikan
kontribusi bagi perubahan dan pengembangan sejarah.
Dalam artikel Fairclough berjudul Critical discourse analysis in transdisciplinary
research yang dimuat dalam buku Wodak and Chilton (2005) berjudul A New Agenda
in (Critical ) Discourse Analysis, Fairclough (2005:61) mengatakan, “Interdiscursive
analysis of texts is analysis of the specific articulations of different discourses, genres
and styles (assuming that texts are normally complex or mixed) that characterizes a
particular text.” Dari kalimat tersebut dapat diketahui bahwa menurut Fairclough
(2005), analisis Interdiskursus teks adalah analisis artikulasi wacana yang berbeda,
genre dan gaya (dengan asumsi bahwa teks biasanya kompleks atau campuran) yang
menjadi ciri khas suatu teks tertentu.
Weiss dan Wodak (2003:22) mengatakan, “In investigating historical and
political topics and texts, the discourse historical approach attempts to integrate much
available knowledge about the historical sources and the background of the social and
political fields in which discursive ‘events’ are embedded. Further, it analyses the
historical dimension of discursive actions by exploring the ways in which particular
genres of discourse are subject to diachronic change, that is, the intertextuality and
interdiscursivity.” Dari pernyataan tersebut kita mengetahui bahwa Wodak dalam
menganalisis topik sejarah, politik, dan teks, menggunakan pendekatan wacana-historis
dengan mengintegrasikan pengetahuan yang ada tentang sumber-sumber sejarah dan
latar belakang dari bidang sosial dan politik di mana peristiwa diskursif tertanam.
Selanjutnya, Wodak menganalisis dimensi historis dari tindakan diskursif dengan
menjelajahi cara-cara di mana genre wacana tertentu tunduk pada perubahan diakronis,
yaitu intertekstualitas dan interdiscursivity.
Fairclough mengembangkan kerangka analisis (Fairclough, 1995:88), berpijak
pada konsep intertekstualitas (intertextuality), yaitu hubungan antara teks 'sebelum' dan
'sesudahnya', dan interdiskursus (interdiscursivity), yaitu kombinasi antara genre dan
wacana dalam sebuah teks. Dalam konsep intertekstualitas, setiap teks menjadi bagian
dari suatu mata rantai teks, yang mempengaruhi, menciptakan, dan akan mengubah
teks-teks lainnya. Interdiskursus menjadi satu cara yang membuat teks berbeda satu
sama lain melalui bagaimana teks-teks tersebut dibuat, menyatu, berkesinambungan
(termasuk disini adalah 'genre' dan 'gaya'nya), terangkai dalam praktik-praktik wacana,
dan menghubungkan urutan wacana.
Kosakata
1. Nilai experiential apa yang muncul dalam kosakata yang digunakan?
a. Skema klasifikasi apa yang ingin dibangun?
b. Apakah ada kosakata yang menampakkan ideologi?
c. Apakah kosa kata yang digunakan alamiah atau tidak alamiah?
d. Apakah ada penggunaan sinonim, hiponim, atau hiponim?
2. Nilai relational apa yang muncul dalam kosakata yang digunakan?
a. Apakah ada ekspresi euphemism?
b. Apakah kosa kata yang digunakan formal atau informal?
3. Nilai expressive apa yang muncul dalam kosakata yang digunakan?
4. Metafora apa yang digunakan?
Gramatika
5. Nilai experiential apa yang muncul dalam pola gramatika yang digunakan?
a. Bentuk proses dan partisipan apa yang dominan?
b. Apakah agen atau subjek jelas?
c. Apakah nominalisasi digunakan?
d. Apakah kalimat yang digunakan aktif atau pasif?
e. Apakah kalimat yang digunakan positif atau negatif?
6. Nilai relational apa yang muncul dalam pola gramatika yang digunakan?
a. Apakah menggunakan kalimat deklaratif, pertanyaan, atau imperative?
b. Apakah ada pola tertentu dalam penggunaan modalitas yang bersifat
relational?
c. Apakah pronoun yang digunakan adalah we atau you?
7. Nilai expressive apa yang muncul dalam pola gramatika yang digunakan?
Apakah ada pola tertentu dalam penggunaan modalitas yang bersifat expressive?
8. Bagaimana kalimat-kalimatnya dihubungkan?
a. Logical connectors apa yang digunakan?
b. Kalimat kompleksnya menggunakan coordinating atau subordinating
conjunction?
Struktur Tekstual
9. Bentuk interaksi yang digunakan di dalam teks.
Adanya bentuk kontrol atas partisipan di dalam teks.
10. Struktur yang lebih besar apa yang dimiliki oleh teks?
(Nilai experiential, relational, atau expressive yang paling mendominasi teks,
Fairclough, 1989:110-111).
Semantics, Meaning of
Pragmatics utterance
Societal Societal
Situational Situational
Determinants Effects
Gambar 1.2: Eksplanasi (Fairclough, 1989:164)
SIMPULAN
Fairclough memahami bahwa bahasa (wacana) mampu mempengaruhi kehidupan sosial
bermasyarakat, begitu pula sebaliknya masyarakat memberi pengaruh dalam proses
terciptanya suatu bahasa (wacana). Fairclough menghasilkan kerangka kerja tiga
dimensional dalam memahami dan menganalisis wacana, yaitu dimensi wacana sebagai
teks, wacana sebagai praktik diskursif, dan wacana sebagai praktik sosial dengan
memanfaatkan semiotik-sosial oleh Halliday.
DAFTAR PUSTAKA
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, Yogyakarta
Fairclough, Norman. 1989. Language and Power. New York: Addison Wesley
Longman.
Fairclough, Norman. 1992. Discourse and Social Change. UK and USA: Polity Press.
Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis. New York: Addison Wesley
Longman.
Fairclough, Norman. 2005. Critical discourse analysis in transdisciplinary research.
Dalam Wodak, R. and Chilton, P. 2005. A New Agenda in (Critical ) Discourse
Analysis. Amsterdam: John Benjamnis Publishing. Hal 53-70
Fairclough, N., Mulderrig, J. & Wodak, R. 2011. Critical Discourse Analysis. Dalam
Van Dijk (ed.) Discourse Studies. A multidisciplinary Introduction. London: Sage,
p. 357-378
Mills, Sara. 1997. Discourse. London and New York: Routledge
Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media, PT Remaja Rosdakarya, Bandung
van Dijk T A. All Articles (1977-2012) in htttp://www.discourses.org, Accessed 2011 -
2012
Weiss, G. and Wodak, R. (Ed.) 2003. Theory, Interdisciplinarity and Critical Discourse
Analysis. In Critical Discourse Analysis. Theory and Interdisciplinarity. New
York: Palgrave Macmillan
Widdowson, H G. 2004. Text, Context, Pretext. Australia: Blackwell Publishing