You are on page 1of 175

PERANG SAUDARA SESAMA MUSLIM

DITINJAU DARI MAQASHID AL-SYARI’AH

TESIS

DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI PERSYARATAN MEMPEROLEH GELAR


MEGISTER PADA PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM (HI)
KONSENTERASI FIQIH

OLEH

MUHAJIR
NIM: 0907 S2 898

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2011
ABSTRAK
Perang Saudara Sesama Muslim Ditinjau Dari Maqashid al-Syari’ah
Institusi : Program Pascasarjana UIN SUSKA Riau
Prodi / Konsentrasi : Hukum Islam / Fikih
Nama/NIM : Muhajir / 0907 S2 898
Perang saudara sesama muslim ( ‫ ) اﻟﻘﺗﺎل ﺑﯾن اﻟﻣﺳﻠﻣﯾن‬jika di lihat dari sisi nash dan
kesepakatan ulama merupakan sesuatu yang haram, dan tidak ada celah untuk dihalalkan.
Karena akan merusak dan menghancurkan eksistensi manusia (wujud) dan juga
penopangnya (‘adam), agama, jiwa, akal, keutuhan umat dan harta akan hancur karena
terjadinya peperangan. Di sisi lain Islam juga mewajibkan manusia menjaga eksistensi
berikut perangkatnya dari ancaman yang dapat menghilangkan eksistensi tersebut.
Diantara cara menjaga eksistensi itu adalah berjihad dan berdakwah di depan penguasa
yang zalim. Dari konsep yang ada apabila sampai pada tataran penerapan hukum
( tathbiq ) kadang-kadang mengalami perbenturan, dan diantaranya perbenturan itu
adalah dengan sesama muslim, dalam kondisi seperti itu, maka untuk menegakkan
eksistensi manusia tersebut akan dihadapkan dua pilihan, memerangi saudara sesama
muslim atau membiarkan eksistensi itu dihancurkan saudara muslim lainnya
Begitu juga dalam sejarah perjalanan umat Islam telah terjadi peperangan diantara
umat Islam sendiri. diantara rentetan peperangan tersebut ada peperangan yang dilakukan
oleh para sahabat nabi seperti perang jamal yang melibatkan Aisyah dan Ali. Mereka
adalah sahabat terbaik nabi dan telah dijamin masuk syurga. Tidak mungkin mereka
berperang hanya karena kebencian dan niat menghancurkan orang lain tanpa adanya
maqasyid syari’ah yang ingin dituju.
Penelitian ini berdasarkan Hipotesa ( asumsi awal ) bahwa ada wilayah-wilayah
ijtihadiyah yang memperbolehkan satu komunitas melakukan peperangan jika memang
ada kemaslahatan yang harus dipertahanakan bagi manusia.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, bagaimana realitas perang
saudara sesama muslim dan bagaimana hukum perang saudara sesama muslim ditinjau
dari al-maqashid al-syari’ah. Penelitian ini merupakan library research, dengan
menggunakan pendekatan kualitatif dan metode content analisis. Adapun sebagai data
primer adalah buku sejarah Islam dan Ushul fiqh. sedangkan sekunder semua buku yang
berkenaan dengan penelitian ini
Hasil penelitian ini adalah : pada dasarnya perang saudara sesama muslim adalah
haram, namun ketika dalam kondisi umat muslim dizalimi, pembatalan perdamaian,
menolak ajakan damai, umat Islam diperbolehkan melakukan peperangan. Namun
demikian tetap harus memperhatikan dhawabit (tingkatan) butuh atau tidaknya dilakukan
peperangan
Adapun dari variasi perang yang terjadi dalam sejarah Islam dapat disimpulkan:
Perang antar sahabat ( perang jamal ) yang mempertemukan tentara yang
dipimpin Aisyah dan Ali, tidak bertentangan dengan maqashid syari’ah, karena perang
yang mereka lakukan merupakan hasil ijtihad masing-masing tokoh dan dengan niat untuk
sama – sama menegakkan keadilan. Selanjutnya perang tersebut tidak dilandasi dengan
semangat kebencian terhadap lawannya.
Sedangkan perang shiffin yang mempertemukan tentara yang dipimpin Muawiyah
bin Abi Sofyan menentang pasukan Ali dimotivasi oleh keinginan Muawiyah bin Abi Sofyan
menduduki posisi khalifah yang pada waktu itu diamanhkan ke Ali bin Abi Thalib. Dapat
diambil konklusi hukum, penyerangan Muawiyah terhadap Ali adalah sebuah tindakan
yang tidak sesuai syari’at. Sedangkan Ali hanya mempertahankan diri dari serangan yang
mengancam keamanan negara dan keutuhan umat
Perang saudara sesama negara Islam, perang ini terjadi antara negara yang
memiliki dasar negara Islam, seperti, penyerangan Negara Iraq terhadap Iran pada perang
Teluk I dan penyerangan Iraq ke Kuwait pada perang Teluk II. Perang ini bagi Iraq
merupakan perbuatan yang dilarang karena menghancurkan negara lain tanpa alasan
yang syar’i. sebaliknya bagi Iran dan Kuwait diperbolehkan untuk menyerang Iraq sekedar
untuk bertahan diri dari kezaliman
Perang antara negara muslim melawan separatis atau bughat (melakukan makar)
terhadap pemerintah yang konstitusional dan tidak melakukan kema’siatan terhadap
syari’at. Perang model ini disyari’atkan di dalam al-Qur’an. Sebaliknya rakyat juga memilki
hak melakukan pembangkangan jika ulil- amri melakukan kemungkaran dan kezaliman
Perang antar penduduk muslim karena fanatisme mazhab, idealisme, dan
perasaan tidak suka kepada kelompok lain. perang seperti ini diharamkan di dalam Islam.
Untuk menyelesaikan konflik atau peperangan antar umat Islam, yang memiliki
otoritas menyelesaikan adalah : jka perang perang saudara sesama muslim terjadi di satu
negara, maka otoritas ulil-amri untuk menyelesaikannya. Jika konflik atau peperangan
antar negara seharusnya mahkamah Islam Internasional yang menjadi medianya
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................................


SURAT PERNYATAAN ..............................................................................................
PERSETUJUAN KETUA PRODI ................................................................................
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................................
KATA PENGANTAR ...................................................................................................
DAFTAR ISI ................................................................................................................
PEDOMAN TRANSLITRASI ARAB LATIN DAN DAFTAR SINGKATAN ....................
ABSTRAK ...................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1


A. LATAR BELAKANG MASALAH ................................................................ 1
B. IDENTIFIKASI MASALAH ........................................................................ 12
C. BATASAN MASALAH ............................................................................... 12
D. RUMUSAN MASALAH ............................................................................. 13
E. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN ................................................ 13
F. KAJIAN PUSTAKA ................................................................................... 14
G. KERANGKA TEORITIS ............................................................................ 18
1. Perang Saudara Sesama Muslim..………………………………………… 18
a. Konsep Perang…………………………………………………………… 18
b. Konsep Persaudaraan Dalam Islam…………………………………… 19
c. Perang Saudara Sesama Muslim………………………………………. 22
2. Maqashid al-Syari’ah…………………………………………………………. 23
H. METODE PENELITIAN ............................................................................ 24
1. Metode Pengumpulan Data ..................................................................... 24
2. Sumber Data ............................................................................................ 25
3. Analisa Data ............................................................................................ 25
I. SISTEMATIKA PEMBAHASAN ................................................................. 25

BAB II Perang Saudara Sesama Muslim Dalam Islam ................................... 27


A. Pengertian Perang Saudara Sesama Muslim ......................................... 27
B. Faktor-Faktor Tejadinya Perang Saudara ................................................ 37
C. Dampak Terajadinya Perang Sudara ....................................................... 40
D. Etika Perang Dalam al-Qur’an dan Hadits………………………………….....44
E. Perang Saudara dalam al-Qur’an dan Tafsirnya ..................................... 47
F. Perang Saudara Dalam Hadits dan Syarahnya ........................................ 53
BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP MAQASHID AL-SYARI’AH
A. Pengertian Maqashid al-Syari’ah......................................................... 55
1. Pengertian Maqashid .......................................................................... 55
2. Pengertian Syari’ah ............................................................................. 58
3. Pengertian Maqashid al-Syari’ah ........................................................ 58
B. Landasan Maqashid al-Syari’ah............................................................ 62
C. Stratifikasi Maqashid al-Syari’ah ......................................................... 65
1. Maslahah Dharuriyat .......................................................................... 65
a. Memelihara Agama ........................................................................ 68
b. Memelihara Jiwa ............................................................................. 70
c. Memelihara Akal ............................................................................ 74
d. Memelihara Nasab ......................................................................... 77
e. Memelihara Harta ............................................................................ 80
2. Maslahat Hajiyat.................................................................................. 83
3. Maslahat Tahsiniyat ............................................................................ 85
D. Maqashid Syari’ah ditinjau Dari Cakupannya....................................... 85
1. Maqashid al-‘Ammah .......................................................................... 85
2. Maqashid al-Khassah.......................................................................... 86
3. Maqashid al-Juz’iyyah......................................................................... 87
E. Maqashid al-Syari’ah Ditinjau Dari Aspek Penerapannya..................... 87
1. Maqashid Syari’ah yang dikhususkan untuk Individu .......................... 87
a. Dari Segi Memelihara Agama ......................................................... 88
b. Dari segi Memelihara Jiwa .............................................................. 89
c. Dari segi Memelihara akal ............................................................... 90
d. Dari Segi Memelihara Kehormatan ................................................. 91
e. Dari Segi Menjaga Harta ................................................................. 92
2. Maqashid Syari’ah Khusus Keluarga .................................................. 92
Pertama, aturan hubungan antara dua jenis ....................................... 93
Kedua, Menjaga Keturunan................................................................. 93
Ketiga, mewujudkan keluarga sakinah mawaddah, warahmah………. 94
Keempat, Memelihara Nasab.............................................................. 94
Kelima, Menjaga Agama Dalam Keluarga........................................... 95
3. Maksud Syari’at yang di Khususkan Kepada Umat............................. 96
Pertama, Sistem kelembagaan Umat.................................................. 96
Kedua, Memelihara Keamanan........................................................... 97
Ketiga, Menegakkan Keadilan............................................................ 98
Keempat, memelihara Agama dan Akhlaq .......................................... 98
Kelima, Saling Menjaga, Meindungi dan Mencukupi........................... 99
Keenam, Menyebarkan Ilmu dan akal Umat ....................................... 100
Ketujuh, Menyemarakkan bumi dan Menjaga
Kebudayaan umat .................................................................................. 101
4. Maqashid al-Syari’ah yang dikhususkan Untuk Kemanusiaan ............... 102
Pertama, Saling tolong Menolong dan Mencukupi .................................. 103
Kedua, Hak Menjadi Khalifah Bagi Manusia di permukaan bumi ............ 103
Ketiga, Menciptakan Kedamaian dan Keadilan ..................................... 105

BAB IV PERANG SAUDARA DALAM TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI’AH . 106


A. Esensi Perang Saudara .......................................................................... 106
B. Perang Saudara Dalam Tinjauan Maqashid al-syari’ah .......................... 114
1. Ancaman terhadap Agama .................................................................. 116
2. Ancaman Terhadap Jiwa ..................................................................... 118
3. Ancaman Terhadap Akal ..................................................................... 122
4. Ancaman Terhadap Keturunan ........................................................... 127
5. Ancaman Terhadap Harta .................................................................... 130
C. Batasan diperbolehkan perang saudara sesama muslim.......................... 133
D. Dawabith (tingkatan ) dibolehkannya Perang dibolehkannya perang
Saudara sesama muslim……………………………………………………..…137
E. Bentuk-Bentuk Perang Saudara Sesama Muslim Dan Analisa
Hukumnya………………………………………………………………………..140
1. Perang Antar Sahabat………………………………………………………. 140
2. Perang Saudara Sesama Negara Islam………………………………….. 142
3. Perang Antara Negara Islam Dengan Separatis Dalam Satu Negara…144
4. Perang Antar Pemerintah berdasarkan hukum Islam melawan
Pasukan Islam……………………..…………………………………………148
5. Perang antar penduduk muslim……………………………………………148
E. Otoritas Penyelesaian Sengketa Perang Saudara
Sesama Muslim……………………………………………………………..150
BAB V PENUTUP
AKESIMPULAN .............................................................................................. 152
B. SARAN-SARAN ...................................................................................... 154

DAFTAR PUSTAKA
BIODATA PENULIS
LAMPIRAN
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap nash-nash dan konsep-konsep yang

dikemukakan oleh para ulama dan para ahli. Maka penelitian ini berkesimpulan bahwa

perang saudara sesama muslim adalah haram dan bertentangan dengan nilai-nilai

maqashid al-syari’ah. Namun jika diurai kasus-perkasus maka akan menghasilkan konklusi

hukum yang berbeda, karena setiap peperangan yang dilakukan oleh umat Islam baik dari

masa sahabat sampai masa sekarang memiliki motivasi dan niat yang berbeda. niat dan

motivasi yang berbeda itulah yang mengakibatkan hukumnya berbeda. Karena

pembangunan hukum harus diletakkan di atas niat dan ‘illat hukum. Begitu niat dan illat

nya berubah maka hukumnya juga berubah. Intinya hukum perang saudara sesama

muslim harus dilihat satu-persatu tidak bisa di hukum haram secara general

Dalam sejarah peradaban umat Islam higga hingga masa sekarang, ternyata

peperangan terbagi beberapa variasi dan memiliki motivasi berbeda :

1. Perang antar sahabat ( perang jamal ) yang mempertemukan tentara yang

dipimpin Aisyah dan Ali, tidak bertentangan dengan maqashid syari’ah, karena

perang yang mereka lakukan merupakan hasil ijtihad masing-masing tokoh dan

dengan niat untuk sama – sama menegakkan keadilan. Selanjutnya perang

tersebut tidak dilandasi dengan semangat kebencian terhadap lawannya.

Sedangkan perang shiffin yang mempertemukan tentara yang dipimpin

Muawiyah bin Abi Sofyan menentang pasukan Ali di motivasi oleh keinginan
Muawiyah bin Abi Sofyan menduduki posisi khalifah yang pada waktu itu

diamanhkan ke Ali bin Abi Thalib.

Dapat diambil konklusi hukum, penyerangan Muawiyah terhadap Ali

adalah sebuah tindakan yang tidak sesuai syari’at. Sedangkan Ali hanya

mempertahankan diri dari serangan yang mengancam keamanan negara dan

keutuhan umat

2. Perang saudara sesama negara Islam, perang ini terjadi antara negara yang

memiliki dasar negara Islam, seperti, penyerangan Negara Iraq terhadap Iran

pada perang Teluk I dan penyerangan Iraq ke Kuwait pada perang Teluk II.

Perang ini bagi Iraq merupakan perbuatan yang dilarang karena menghancurkan

negara lain tanpa alasan yang syar’i. Sebaliknya bagi Iran dan Kuwait

diperbolehkan untuk menyerang Iraq sekedar untuk bertahan diri dari kezaliman

3. Perang antara negara muslim melawan separatis atau bughat (melakukan makar)

terhadap pemerintah yang konstitusional dan tidak melakukan kema’siatan

terhadap syari’at. Perang model ini disyari’atkan di dalam al-Qur’an. Sebaliknya

rakyat juga memilki hak melakukan pembangkangan jika ulil amri melakukan

kemungkaran dan kezaliman

4. Perang antar penduduk muslim karena fanatisme mazhab, idealisme, dan

perasaan tidak suka kepada kelompok lain. Perang seperti ini diharamkan di

dalam Islam.

Berdasarkan keterangan diatas, maka hukum perang bersifat elastis

(sesuai keadaan). ketika kezaliman, ketidakadilan kesewenangan merajalela

yang bisa mengancam eksistensi agama, jiwa, akal, keturunan dan keummatan,
maka ketika itu Islam mewajibkan melakukan peperangan ( jihad fi sabilillah )

Untuk mengembalikan kehidupan yang adil, aman, dan menghargai eksistensi

manusia sebagai mahluk Allah

Meskipun hukum perang bisa berubah sesuai dengan kondisi, namun

tetap harus mengedepankan esensi perang itu sendiri yaitu ”mengembalikan hak

umat yang terenggut karena perang”. Maka perlu adanya otoritas seseorang atau

lembaga yang diberikan wewenang untuk menyelesaikan sengketa perang, yaitu :

A. Jika perang melawan pemberontak (bughat) atau terjadinya peperangan

antar penduduk, maka yang menyatakan perang atau damai adalah ulil-amri

B. Jika perang antar negara Muslim maka yang menyatakan perang atau

damai seharusnya Mahkamah Islam Internasional

C. Jika perang melawan pemerintah yang zalim, maka kewajiban seluruh umat

Islam melakukan pembangkangan

5. Perang saudara harus memperhatikan tingkat kemudharatan secara hierarkis.

Maka perang saudara hanya boleh dilakukan ketika ada ancaman yang dapat

menghapuskan eksistensi agama, jiwa, akal, keturunan dan harta

B. Saran-saran

Fiqh siyasah (politik) merupakan salah satu fiqh yang perkembangannya begitu

cepat, karena ia akan mengikuti perkembangan manusia yang setiap saat berubah seiring

dengan kebutuhan manusia itu sendiri. Perubahan dan perkembangan itulah yang kadang-

kadang terjadi gesekan-gesekan kepentingan antar manusia yang mengakibatkan

terjadinya peperangan. Hal tersebut tentu menuntut adanya status hukum Islam, karena

jika tidak banyak persoalan keumatan yang terlepas dari bingkai syari’ah
Penelitian ini termasuk pemula yang meninjau peperangan yang terjadi di tubuh umat

Islam sendiri dari segi hukum dan maqashid al-syari’ah. Karena biasanya peneliti hanya

melihat dari perspektif Siyasah (politik) yang hukumnya sendiri menjadi bias. Makanya

penelitian ini baru memberikan katagorisasi peperangan secara umum, belum menyentuh

seluruh persoalan mengapa seseorang melakukan peperangan.

Penelitian ini merekomendasikan supaya diupayakan berdirinya Mahkamah Syari’ah

Internasional sebagai lembaga arbitrase persengketaan antar umat muslim

Oleh sebab itu perlu adanya penelitian selanjutnya yang meneliti peperangan yang

dilakukan oleh umat Islam, diantara kemungkinan judul yang bisa diangkat adalah,

Terorisme di tinjau dari hukum Islam, pembangkangan rakyat sipil terhadap pemerintah

dalam tinjauan hukum Islam

Akhirnya penelitian ini jauh dari kesempurnaan, kritik dan saran yang kontruktif sangat

penulis harapkan, untuk kesempurnaan penulisan selanjutnya.


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perang saudara sesama muslim1 merupakan perbuatan yang diharamkan dalam

Islam. karena peperangan memiliki dampak yang sangat besar yaitu terbunuhnya jiwa

seseorang. Para fuqaha’2 menetapkan bahwa pembunuhan merupakan perbuatan yang

diharamkan dalam bentuk apapun (termasuk karena peperangan) dan menjadi salah satu

dosa besar jika dilaksanakan secara sengaja dan tanpa alasan yang dibenarkan syari’at 3.

Rasulullah menegaskan tentang diharamkan saling membunuh dalam haditsnya :

‫إذا ﺗﻮﺟﻪ اﳌﺴﻠﻤﺎن ﺑﺴﻴﻔﻴﻬﻤﺎ ﻓﺎﻟﻘﺎﺗﻞ و اﳌﻘﺘﻮل ﰲ اﻟﻨﺎر ﻗﺎل ﻓﻘﻠﺖ ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ ﻫﺬا اﻟﻘﺎﺗﻞ ﻓﻤﺎ‬
(‫ إﻧﻪ ﻗﺪ أراد ﻗﺘﻞ ﺻﺎﺣﺒﻪ ) أﺧﺮﺟﻪ اﻟﺒﺨﺎري‬: ‫ﺑﺎل اﳌﻘﺘﻮل ؟ ﻗﺎل‬
“Apabila dua orang bertemu dengan pedang di tangannya, maka pembunuh dan

yang dibunuh masuk neraka, maka Rasulullah menjawab ketika ditanya, ya.. Rasulullah

yang dibunuh memang mungkin tetapi mengapa yang dibunuh juga sampai begitu? Nabi

menjawab, karena dia bermaksud membunuh saudaranya juga ( Muttafaq Alaih)” 4.

1 Dalam kitab fiqh “perang saudara sesama muslim” di istilahkan dengan ‫اﻟﻘﺗﺎل ﺑﯾن اﻟﻣﺳﻠﻣﯾن‬, kalimat
ini dapat ditemukan dalam beberapa kitab dan fatwa dari beberapa ulama, diantaranya : Wahbah al-Zuhaili,
Atsar al-Harb fi-al-Fiqh al-Isami, Dirasah Muqaranah, ( Damsyik : Dar-al-Fikr, 1998), cet. Ke-3, hlm. 60, lihat,
Muhammad Sholeh bin Muhammad al- ‘Atsimin, Majmu’ Fatawa wa – Rasail Ibn al-‘Atsimin ( Dar al-Wathan
wa. Dar al Tsurya, 1413 H), juz. 9, hlm. 476. lihat Muhammad Sholeh bin Muhammad Muhammad ‘Atsimin,
Liqa’ al-Bab al-Maftuh, 1421 H, Juz 63, hlm. 11ah, Lihat. Ri’asah al-‘Ammah li-Idarati al Buhuts al-‘Ilmiyyah
wa-al-Ifta’, wa- al-da’wah, wa-al-Irsyad, Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah, juz. 33, hlm. 234. Lihat. Majalah al-
Majma’ al-Fiqhi-Islami, juz. 5
2 Wahbah al-Zuhaili, Atsar al-harb…ibid., hlm. 62, jilid II, Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin

Muhammad al-Ghazali, al-Wajiz fi-Fiqhi al-Imam al-Syafi’I, ( Beirut : Syirkah dar-al-Arqam bin Abi al-Arqam :
1997), cet. ke-1, hlm. 138
3 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islam wa-Adillatuhu, ( Dar- al-Fikr, 1985) cet. Ke-2, hlm. 219

4 Muhammad bin Futuh al-Hamidi, al-Jam’u Baina Shahihaini al-Bukhari Wal-Muslim (Beirut, Dar

al- Hazm, 2002) jilid ke-1, hlm. 221


Melalui hadits di atas dapat disimpulkan, di dalam Islam memang tidak ada celah

seorang muslim untuk membunuh saudaranya sesama muslim. Bahkan Rasulullah SAW

menilai bahwa membunuh seorang muslim sebagai salah satu bagian kufur dan salah

satu perbuatan kaum jahiliyah yang suka melancarkan peperangan dan pembunuhan.5

Oleh karena itu, Rasulullah SAW melarang setiap perbuatan yang dapat membawa

kepada pembunuhan atau peperangan kendati hanya dengan memberikan isyarat. dalam

ayat lain Allah melarang membunuh tanpa hak dan alasan yang benar. Sebagaimana

firmannya dalam surat al- An’am ayat 151 :

‫ْﺲ اﻟ ِﱠﱵ َﺣﱠﺮَم اﻟﻠﱠﻪُ إﱠِﻻ ﺑِﺎﳊَْ ﱢﻖ َوَﻣ ْﻦ ﻗُﺘِ َﻞ َﻣﻈْﻠُﻮﻣًﺎ ﻓَـ َﻘ ْﺪ َﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ ﻟَِﻮﻟِﻴﱢ ِﻪ ُﺳ ْﻠﻄَﺎﻧًﺎ ﻓ ََﻼ‬
َ ‫وََﻻ ﺗَـ ْﻘﺘُـﻠُﻮا اﻟﻨﱠـﻔ‬
151 : ‫ﻳﺴﺮف ﰱ اﻟﻘﺘﻞ اﻧﻪ ﻛﺎن ﻣﻨﺼﻮرا)اﻻﻧﻌﺎم‬
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan yang benar). Dan barangsiapa dibunuh secara zalim,
maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi
janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah
orang yang mendapat pertolongan. (Q.S. al-Isrā’[17]: 33).6

Dari segi cakupan makna ayat diatas, kata la taqtulu dapat dikategorikan khas

karena menggunakan sighat nahy, jadi penunjukannya kepada makna bersifat pasti. Oleh

karena itu, dari sisisi kejelasan makna kata ini tergolong muhkam, sebab selain tidak bisa

di-ta’wil, ketentuan tidak boleh membunuh juga termasuk dalam aturan pokok Islam yang

tidak mungkin dinasakh.

Menurut al-Qurtubi, ayat yang pertama sekali diturunkan dalam hal pembunuhan

(al-qatl) adalah ayat 33 surat al-Isra’. Surat ini termasuk dalam surat Makkiyyah.7 Hal ini

dapat dipahami dari ayat berikut yang menyatakan:

5 Yusuf al- Qardhawi, halal wa-al- haram ( Dar al-Fikr, 1989) hlm. 454
6 Ibid.,
7 Al-Qurtubi, al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, (Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, t.th.), jilid. Ke-10 , hlm.

210
‫ْض‬
ِ ‫ْﺲ أ َْو ﻓَﺴَﺎ ٍد ِﰲ ْاﻷَر‬ ٍ ‫َﲑ ﻧـَﻔ‬ِْ ‫ِﻚ َﻛﺘَْﺒـﻨَﺎ َﻋﻠَﻰ ﺑ َِﲏ إِ ْﺳﺮَاﺋِﻴ َﻞ أَﻧﱠﻪُ َﻣ ْﻦ ﻗَـﺘَ َﻞ ﻧـَ ْﻔﺴًﺎ ﺑِﻐ‬ َ ‫ْﻞ ذَﻟ‬ِ ‫ِﻣ ْﻦ أَﺟ‬
‫ﱠﺎس ﲨَِﻴﻌًﺎ َوﻟََﻘ ْﺪ ﺟَﺎءَﺗْـ ُﻬ ْﻢ ُر ُﺳﻠُﻨَﺎ‬َ ‫ﱠﺎس ﲨَِﻴﻌًﺎ َوَﻣ ْﻦ أَ ْﺣﻴَﺎﻫَﺎ ﻓَ َﻜﺄَﳕﱠَﺎ أَ ْﺣﻴَﺎ اﻟﻨ‬ َ ‫ﻓَ َﻜﺄَﳕﱠَﺎ ﻗَـﺘَ َﻞ اﻟﻨ‬
(32:‫ْض ﻟَ ُﻤ ْﺴ ِﺮﻓُﻮ َن )اﳌﺎﺋﺪة‬ ِ ‫ِﻚ ِﰲ ْاﻷَر‬ َ ‫َﺎت ﰒُﱠ إِ ﱠن َﻛﺜِ ًﲑا ِﻣْﻨـ ُﻬ ْﻢ ﺑـَ ْﻌ َﺪ ذَﻟ‬
ِ ‫ﺑِﺎﻟْﺒَـﻴﱢـﻨ‬
“Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa
yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau
bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh
manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan
sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (Q.S. al-
Ma’idah : 32)”8

Ayat ini menjadi penjelasan tentang berlanjutnya prinsip dasar larangan membunuh

dalam Islam. Dapat dikatakan, larangan membunuh adalah ajaran pokok agama samawii

yang tidak pernah dihapuskan. Hal ini ditegaskan kembali dalam ayat berikut:

‫ِﺎﻷُذُ ِن وَاﻟ ﱢﺴ ﱠﻦ‬


ْ ‫َاﻷُذُ َن ﺑ‬
ْ ‫ْﻒ و‬ ِ ‫ِﺎﻷَﻧ‬
ْ ‫ْﻒ ﺑ‬
َ ‫َاﻷَﻧ‬ْ ‫َﲔ و‬ ِ ْ ‫َﲔ ﺑِﺎﻟْﻌ‬
َ ْ ‫ْﺲ وَاﻟْﻌ‬ِ ‫ْﺲ ﺑِﺎﻟﻨﱠـﻔ‬
َ ‫َوَﻛﺘَْﺒـﻨَﺎ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ ﻓِﻴﻬَﺎ أَ ﱠن اﻟﻨﱠـﻔ‬
‫ِﻚ‬
َ ‫ﱠق ﺑِِﻪ ﻓَـ ُﻬ َﻮ َﻛﻔﱠﺎ َرةٌ ﻟَﻪُ َوَﻣ ْﻦ َﱂْ َْﳛ ُﻜ ْﻢ ﲟَِﺎ أَﻧْـﺰََل اﻟﻠﱠﻪُ ﻓَﺄُوﻟَﺌ‬
َ ‫ﺼﺪ‬
َ َ‫ص ﻓَ َﻤ ْﻦ ﺗ‬ٌ ‫ﺑِﺎﻟ ﱢﺴ ﱢﻦ وَاﳉُْﺮُو َح ﻗِﺼَﺎ‬
(45 :‫ُﻫ ُﻢ اﻟﻈﱠﺎﻟِﻤُﻮ َن )اﳌﺎﺋﺪة‬
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (al-Taurat) bahwasanya
jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisas-nya. Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mreka itu adalah orang-orang
yang kafir. (Q.S. al-Maidah : 45).9

Terlihat dalam ayat ini terdapat suatu ketegasan, bukan hanya ketegasan dalam

melarang membunuh, bahkan menetapkan secara tegas hukuman bagi pembunuhan. Ayat

di atas jelas menunjuk hukuman qisas bagi pembunuhan (jiwa dan anggota badan) dan

hukuman setimpal untuk pelukaan (jarh). Karena ketentuan ini pernah berlaku bagi kaum

8 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan terjemahannya, ( Semarang, PT. Toha

Putra,tt), hlm. 90
9 Departemen Agama Repulik Indonesia, Qur’an dan ...hlm. 782
Yahudi, dan kemudian diberlakukan kembali kepada umat Islam, maka kata la taqtulu

merujuk kepada makna yang sudah dimaklumi. Ia dipastikan menjadi maklum,

penerapannya baik kepada umat sebelum Islam (Yahudi/Nasrani), atau karena

keberlakuannya dalam adat ‘Arab10

Adapun penunjukan kata la taqtulū kepada makna larangan membunuh, dipahami

secara ‘ibarat al-nass (dilālah ‘ibārah). Kata qatala sendiri dalam secara bahasa berartii

mematikan, atau memukul yang mematikan secara sengaja. Kata qatala secara lughawī

ditafsir dengan kata amāta, jadi ada unsur sengaja di dalamnya.11 Dilihat dari penggunaan

bentuk jamak (qatalū), menunjukkan keluasan cakupan khitāb, yaitu kepada seluruh kaum

muslimin, baik individu atau badan pemerintahan. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa

ayat ini melarang seluruh kaum muslimin melakukan pembunuhan secara sengaja. Unsur

sengaja ini dipahami dari makna kebahasaan kata qatala itu sendiri. Adapun mengenaii

pembunuhan tidak sengaja, dijelaskan dalam ayat lain.

Orang yang dilarang dibunuh pun disebut secara khusus, yaitu menggunakan

metode pengecualian (istithna’). Pertama dilakukan penekanan agar jangan membunuh

jiwa (al-nafs allati harrama Allah) karena Allah telah mengharamkan perbuatan membunuh

setiap jiwa. Jadi larangan ini mencakup semua manusia, siapa pun dia, karena kata al-nafs

bersifat umum. Lalu dari kalimat tersebut dikecualikan orang-orang yang memang berhak

dibunuh (istithna’ muttasil) dengan kata illa bi al-haqq. Maka ini menjadi mukhassis bagi

keumuman manusia yang tidak boleh dibunuh. Dalam pengecualian ini sekaligus

terkandung petunjuk bahwa yang boleh melakukan pembunuhan bi al-haqq adalah pihak

10Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ul Bayan fi Tafsiri Ayat al-Qur’an, ( Beirut : Maktabah al-

Ghazali, tt) hlm. 176


11 Ibn Manzūr, Lisān al-‘Arab, (Kairo: Dār al-Hadīth, 2003), jilid. Ke-7, hlm. 241, ‫إذا أﻣﺎﺗﮫ ﺑﺿرب‬
berwenang (penguasa), karena yang di-istithna’ dalam ayat itu adalah cara, bukan

orangnya.12

Kalau terjadi pembunuhan terhadap orang yang tidak berhak dibunuh, ayat inii

mengkategorikan perbuatan itu sebagai kezaliman. Lalu Allah memberikan hak kepada

walii si korban untuk menuntut. Tapi mengenai tuntutan itu tidak diatur secara jelas dalam

ayat ini. Ayat ini hanya membatasi kebiasaan yang berlaku dalam adat jahiliyah yang

meng-qisas wali dari si pembunuh. Bahkan mereka sangat berlebihan dengan membunuh

dua orang wali atau satu suku sekaligus sebagai pengganti seorang pembunuh13. Oleh

karena itu, ayat ini menegaskan bahwa wali pembunuh dilindungi (innahu kana mansura).

Jadi kata fala yusrif dipahami dalam konteks makna ‘urf-nya, yaitu ‘urf Arab jahiliyah yang

memperberat hukuman dan berlebihan dalam meng-qisas. Lebih-lebih lagi jika si

pembunuh terkesan dilindungi oleh para walinya, di tengah budaya Arab yang

mengandalkan perlindungan klan.14

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa Islam sangat menghargai kehidupan

manusia. Oleh sebab itu nyawa merupakan hak dasar yang sangat dilindungi, maka

pembunuhan yang diantaranya sebab peperangan sesama muslim pada dasarnya

bertentangan dengan prinsip-prinsip maqashid al-syari’ah.

Secara bahasa perang merupakan memutuskan perdamaian ‫ ﻧﻘﯾض اﻟﺳﻠم‬15, ketika

perang terjadi banyak kerusakan-kerusakan dari segala tatanan kehidupan masyarakat,

materi maupun psikis yang menyebabkan perdamaian ( al-Silm) menjadi rusak. Padahall

setiap syari’at mewajibkan pemeliharaan terhadap agama (hifdz al-din), jiwa (hifdz al- al-

12 Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ul Bayan... hlm. 176


13 Ibnu Taymiyah, Fiqh Jihad, hlm. ( Beirut : Dar-al-Fikr al-‘Arabi : 1992), hlm. 90
14 Ibid., hlm. 177
15 Ibn Manzūr, Lisān al-‘Arab, (Kairo: Dār al-Hadīth, 2003), Jilid ke-2, hlm. 817
nafs), akal (hifdz al-al-‘akal) keturunan (hifdz al-nasl) dan harta (hifdz al-mal)16 , Jika

terdapat perbenturan hukum syara’ yang memiliki persamaan kualitas kemaslahatannya,

maka seorang mulkallaf harus melakukan tarjih atau memilih mana kemaslahatan yang

paling kuat. Begitu juga jika ada perbenturan dua kemudharatan yang kedua-duanya bisa

membahayakan kemaslahatan seseorang, maka harus dipilih satu kemudharatan yang

lebih kecil17. Hal ini sesuai dengan kaedah :

‫اذا ﺗﻌﺎرﺿﺖ ﻣﻔﺴﺪﺗﺎن روﻋﻲ اﻋﻈﻤﻬﻤﺎ ﺿﺮار ﺑﺎرﺗﻜﺎب اﺧﻔﻬﻤﺎ‬

“Jika ada perbenturan dua kemafsadatan maka dipelihara yang lebih berat

kemudharatannya dengan melaksanakan kemudharatan yang lebih ringan”18

Stratifikasi ini seharusnya dipahami oleh praktisi hukum Islam, karena jika tidak

benar dalam meletakkan skala prioritas hukum, akan menyebabkan kesalahan dalam

mendahulukan perbuatan-perbuatan yang semestinya dikemudiankan dan mengabaikan

perbuatan-perbuatan yang semestinya didahulukan. sikap demikian akan membawa

kepada kesalahan dalam menjalankan ajaran agama. Sehingga penjelasan tentang

stratifikasii hukum menjadi kurang bermakna dalam tataran aplikasinya.

Dalam tataran praktis (tathbiq) seharusnya pelaksanaan hukum syara’ diukur

berdasarkan tingkat kualitas muatan maslahah dan mafsadat dalam setiap perbuatan.

Perbuatan hukum yang memuat maslahah dharury lebih utama dari perbuatan hukum

yang memuat maslahat hajiyyah dan berfungsi menolak mafsadat dharuri, sedangkan

16 Yusuf al- Qardhawi, Madkhal Lidirasati al-Syari’ati al-Islamiyyah. ( Qahirah : Maktabah Wahbah,
1990) cet. ke-4, hlm. 73
17 Zulkayandri, Stratifikasi Hukum Islam Dalam Perspektif Konsep Ihsan ‘Izz al-Din Ibn Abd al-

Salam Dan Relevansinya Dengan Ijtihad Kontemporer, ( Disertasi, tidak publikasikan, 2004), hlm. 98
18 Ghazat ‘Abid al-Da’as, al- Qawa’id al-Fiqhiyyah, ( Libanon- Beirut : Dar- al-Turmudzi, 1989), cet.

Ke-3, hlm. 33
perbuatan hukum yang mengandung maslahat hajiyah berfungsi sebagai mutammim

(penyempurna) perbuatan hukum yang memuat maslahat dharuri.

Kemudian perbuatan hukum yang memuat maslahat hajiyah lebih utama dari

perbuatan hukum yang memuat maslahat takmili dan berfungsi menolak mafsadat hajiyah,

sedangkan perbuatan hukum yang memuat maslahah takmili berfungsi sebagai

mutammim perbuatan hukum yang memuat maslahat hajiyyi, dan tingkatannya lebih tinggi

dari perbuatan yang memuat mafsadah hajiyah.

Kemudian perbuatan yang memuat mafsadah dharuri lebih berbahaya dari

perbuatan yang memuat mafsadah haji dan larangan terhadap perbuatan yang memuat

kemaslahatan daruri berfungsi untuk mendukung perbuatan yang memuat kemaslahatan

daruri. Tingkatan perbuatan yang memuat haji maslahah mubah dan perbuatan yang

memuat mafsadah haji berfungsi untuk mendukung perbuatan yang memuat mafsadah

haji

Berdasarkan rumusan diatas dapat ditetapkan bahwa perbuatan hukum yang

memiliki tingkatan wajib didahulukan dari pada perbuatan yang memuat tingkatan hukum

sunat dan perbuatan-perbuatan hukum yang memuat tingkatan sunat lebih diutamakan

darii pada yang memuat tingkatan mubah. Begitu juga meninggalkan perbuatan haram

lebih diutamakan dari pada meninggalkan yang memilki tingkatan makruh. dan

melaksanakan perbuatan hukum mubah lebih utama dari melaksanakan perbuatan hukum

yang memiliki tingkatan makruh19.

Atas dasar pemaparan diatas dapat diambil sebuah konklusi bahwa bahwa setiap

tindakan mukallaf seharusnya memperhatikan stratifikasi hukum Islam, supaya tindakan

19 Zulkayandri, Stratifikasi Hukum..hlm.193-195


tersebut tidak salah meletakkan hukum. Terlebih lagi jika tindakan tersebut akan

mengakibatkan kemudharatan bagi kehidupan manusia.

Dalam konteks kajian ini, perang merupakan salah satu bentuk kemudharatan

yang besar dalam membahayakan seluruh lini yang dharuri dalam kehidupan manusia.

Namun demikian dalam perjalanan sejarah umat Islam yang telah berjalan sejak 14 abad

silam, sejak di turunkan surat al-“Alaq20 sampai era modern sekarang, diwarnai dengan

pasang-surut sejarah yang mencoreng dunia Islam, yang kadang-kadang menjadi alasan

musuh-musuh Islam untuk mendiskreditkan bahwa Islam ditegakkan di atas dunia melalui

pedang dan genangan darah.21 Sebagai penelitian ilmiah, hal ini harus dipandang secara

obyektif bahwa dalam sejarah Islam memang ada suatu proses pembentukan kekuasaan

yang diwarnai dengan persengketaan antar sesama yang mengakibatkan hilangnya ribuan

nyawa. konflik atau peperangan tersebut dilakukan oleh sesama muslim bahkan ada yang

termasuk dari kalangan sahabat Rasulullah yang melalui haditsnya telah dijamin masuk

surga.22

20 Sebagian ulama mengatakan bahwa surat al-Qur’an pertama yang diturunkan Allah adalah surat

al- ‘Alaq. hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari, Aisyah, Thabrani, Hakim. lihat.
Muhammad Abdul ‘Adhim al-Zarqani, Manahilu al-‘Irfan fi Ulumi al-Qur’an, ( Qahirah : Dar al- Hadits : 2001) ,
juz ke-1, hlm. 81-83
21Diantara kalangan orientalis yang sangat serius mempelajari Islam adalah Edmunth Bosworth,

dia termasuk orientalis yang kurang mendapat informasi tentang Islam, sehingga ia beranggapan bahwa
Islam merupakan agama pedang yang cara penyebarannya melalui peperangan. lihat Azyumardi Azra,
Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Posmodernisme, ( Jakarta :
Paramadina, 1991), cet. ke-1, hlm. 130
22 Diantara para sahabat yang oleh Rasulullah di jamin masuk surga adalah, Abu Bakar, Umar,

Usman, Ali, Thalhah, Zubeir, Sa’ad, Sa’id, Abdul al-Rahman bin Auf, Abu Ubaidah. Lihat Thohir bin
Muhammad al-Isfirayaini, Tafsir fi al-Din wa Tamyiz al-Firqah al-Najiyah an Firaq al-Haliqin, ( Beirut : ‘Alam
al-Kutub, 1983), juz. Ke-1, hlm. 178. Di dalam hadits juga Rasulullah menyebutkan beberapa sahabat yang
di jamin masuk syurga sebagaimana hadits :
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻮ ﻋﻤﺮ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺟﻌﻔﺮ اﻟﻘﺮﺷﻲ اﻟﻜﻮﰲ ﻗﺜﻨﺎ ﺟﻌﻔﺮ ﺑﻦ ﲪﻴﺪ اﻟﻘﺮﺷﻲ ﻗﺜﻨﺎ ﻳﻮﻧﺲ ﺑﻦ أﰊ ﻳﻌﻔﻮر ﻋﻦ أﺑﻴﻪ ﻗﺎل ﺟﻠﺴﺖ أﻧﺎ وﺟﻌﻔﺮ ﺑﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﺣﺮﻳﺚ‬
‫ أن ﻧﻔﺮا ﻣﻦ أﺻﺤﺎب اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ اﺗﻮﻩ ﻓﻘﺎﻟﻮا ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ أرﻧﺎ‬: ‫وﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ اﺷﻮع اﻟﻘﺎﺿﻲ إﱃ ﻓﻼن ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ أو ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﻓﻼن ﻗﺎل ﻓﺤﺪﺛﻨﺎ‬
‫رﺟﻼ ﻣﻦ أﻫﻞ اﳉﻨﺔ ﻓﻘﺎل اﻟﻨﱯ ﻣﻦ أﻫﻞ اﳉﻨﺔ وأﺑﻮ ﺑﻜﺮ وﻋﻤﺮ ﻣﻦ أﻫﻞ اﳉﻨﺔ وﻋﺜﻤﺎن ﻣﻦ أﻫﻞ اﳉﻨﺔ وﻋﻠﻲ ﻣﻦ أﻫﻞ اﳉﻨﺔ وﻃﻠﺤﺔ ﻣﻦ أﻫﻞ اﳉﻨﺔ واﻟﺰﺑﲑ ﻣﻦ أﻫﻞ‬
‫اﳉﻨﺔ وﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ ﻋﻮف ﻣﻦ أﻫﻞ اﳉﻨﺔ وﺳﻌﺪ ﺑﻦ أﰊ وﻗﺎص ﻣﻦ أﻫﻞ اﳉﻨﺔ ﻗﺎل ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﻓﻼن أو ﻓﻼن ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ وأﻧﺎ ﻣﻦ أﻫﻞ اﳉﻨﺔ واﷲ ﻻ أﺧﱪﻩ ﺑﻌﺪﻛﻢ‬
‫أﺣﺪا اﺑﺪا‬
Dalam sejarah Islam, diantara peperangan yang pernah terjadi antar muslim

adalah pada tanggal 09 Desember 656 M23 yaitu dalam perang jamal yang

mempertemukan antara pasukan yang dipimpin oleh trio Aisyah RA, Thalhah, dan Zubeir

melawan pasukan yang dipimpin Ali bin Abi Thalib. dalam peperangan tersebut telah

menewaskan Zubeir dan Thalhah, sedangkan Aisyah ditawan dan dikembalikan ke

Madinah secara terhormat sebagai seorang ibu24. Pada perang tersebut telah menelan

korban kira-kira 10.000 orang, sebagian dari sahabat Ali bin Abi Thalib dan sebagian dari

sahabat Aisyah RA. Dari Azad 2000 orang, dari Yaman 500 orang, dari bani Mudhor 2000

orang, dari bani Qais 500 orang, dari Tamim 500 orang, dari bani Dhabbah 1000 orang,

dari suku Bakar bin Wail 500 orang, Ada juga yang mengatakan penduduk Basyrah di

medan perang pertama 5.000, penduduk Basrah di medan perang kedua 5000 orang,

penduduk Kufah 5000 orang, dari bani ‘Ady 70 orang Syekh yang semuanya hafidh al-

Qur’an25.

Setelah itu, terjadi perang terbuka siffin yaitu peperangan antara tentara yang

dipimpin Muawiyah bin Abi Sofyan melawan tentara yang dipimpin Ali bin Abi Thalib yang

berlangsung selama beberapa minggu dan berakhir pada tanggal 28 Juli 657 M.

Diperkirakan, dalam perang tersebut Ali membawa 50.000 pasukan dari Iraq dan

Lihat, Ahmad bin Hanbal Abu Abdillah al-Syaibani, Fadhail al-Sahabah, ( Beirut : Muassisah al-Risalah,
1983), cet. Ke-1, juz. Ke-1, hlm. 372.
23 Philip K. Hitti, History of The Arab (terjemahan Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi) (

Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010), cet. ke-1, hlm. 224
24 Aisyah adalah istri Rasulullah dan ibu mertua Ali bin Abi Thalib, sedangkan Zubeir ibn Awwam

dan Thalhah ibn ‘Ubaidillah adalah sahabat nabi dan anggota tim formatur yang dibentuk Umar ibn Khattab
untuk membahas siapa yang akan diangkat menjadi khalifah sebagaii pengganti dirinya setelah beliau wafat.
lihat. Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam), ( Jakarta : Radar Jaya : 2001),
cet. ke-1, hlm. 65 dan 77
25 Abi Ja’far Muhammad bin Jarir Al- Thabari, Tarikh al-Thabari, ( Mesir : Dar- al-Ma’arif, tt), Juz.

Ke-4, hlm. 539


Muawiyah membawa pasukan sebanyak 80.00026 dari Suriah. Perang saudara tersebut

telah memakan korban jiwa sebanyak 25.000 dari kelompok Ali dan 45.000 dari kelompok

Muawiyah27.

Begitu juga pada abad ke -20 terjadi peperangan antara Iraq dan Iran. pada

tanggal 22 September 1980 sampai 20 Agustus 1988. Peperangan yang dikenal dengan

perang Teluk I ini berlangsung selama delapan tahun28 dan diperkirakan menewaskan

lebih kurang 375.000 warga Iraq dan 500.000 warga Iran baik dari tentara maupun warga

sipil. Salah satu sebab terjadinya peperangan tersebut karena Iraq menerobos memasuki

wilayah Iran sedangkan Iran berusaha menggulingkan rezim Saddam Husein.29 Yusuf al-

Qardhawi mengatakan perang teluk I ini terjadi dikarenakan Saddam Hussein

mengarahkan serangan ke negara tetangganya Iran. Ketika Iran sibuk dalam

mengukuhkan kekuatan, menghimpun kekuatan, mengangkat puing-puing, dan melakukan

pembangunan setelah terjadinya revolusi Iran30.

Setelah terjadinya perang teluk I, kemudian pada tahun 1991 terjadi perang teluk

II, ketika Iraq menyerang Kuwait. Orang-orang Kuwait yang tinggal di negara itu tidak

meninggalkan negerinya dan mampu memberikan perlawanan untuk membela tanah

airnya31

Dari kenyataan di atas, yang perlu dicatat di sini adalah peperangan tersebut

dilakukan oleh muslim melawan muslim. secara garis besar perang saudara dapat dibagii

menjadi beberapa bentuk, di antaranya: pertama perang yang dilakukan oleh para sahabat

26 Khuda Bakhsh, Politik In Islam ( Delhi : Idarah Idabiah : 1975), hlm. 52


27 Philip K. Hitti, History of... hlm. 224
28
Yusuf Qardhawi, Fiqh Jihad ( Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2010), cet. Ke-1, hlm. 800
29 Internet, Wikipedia Bahasa Melayu
30
Yusuf Qardhawi, Fiqh Jihad… hlm. 800
31
Ibid., hlm. 800
nabi. Dalam sejarah bahwa perang saudara sesama muslim telah terjadi sejak zaman para

sahabat Rasulullah SAW. Kedua perang yang dilakukan oleh orang muslim secara umum

setelah saahabat meninggal.

Dari data diatas, sebagai kesimpulan awal (hipotesa), meskipun perang saudara

secara nash telah haram, namun dalam kondisi tertentu ada wilayah – wilayah ijtihadiyah

yang memperbolehkan seorang muslim melakukan peperangan terhadap muslim lainnya.

Hal ini bisa dilihat dari variasi peperangan yang dilakukan oleh para sahabat nabi, mereka

adalah tokoh-tokoh Islam yang sangat dekat dengan nabi dan menjadi rujukan dalam

perkembangan keilmuan ke-Islaman

Dapat diambil contoh, terjadinya perang jamal, Perang saudara ini terjadi

disebabkan Aisyah ingin menuntut qishash pembunuh Usman ibn Affan kepada Ali Bin Abi

Thalib32. Padahal pada masa itu, kondisi umat Islam sedang kacau, sementara Aisyah

lebih memprioritaskan penuntutan qishash dari pada ikut membai’ah Ali dan menstabilkan

keamanan negara. Sebaliknya, Ali bin Abi Thalib meskipun dalam keadaan terpaksa harus

melayani tantangan Aisyah, Thalhah dan Zubeir dalam perang jamal tersebut. Meskipun

Alii tahu bahwa yang diperangi adalah sahabat, isteri nabi, bahkan ibu mertuanya sendiri.

dan Ali tahu bahwa dalam perang pasti diiringi dengan terbunuhnya jiwa

Begitu juga dengan perang shiffin, peperangan ini terjadi disebabkan Muawiyyah

ingin menduduki posisi sebagai khalifah sehingga dia tidak mau ikut membai’at Ali sebagai

khalifah yang keempat. Untuk mencapai niatnya tersebut Muawiyah bin Abi Sufyan

melakukan propaganda, bahwa Ali harus menuntut tuntas pembunuh Usman bin Affan.

Dan akhirnya terjadi peperangan antar pasukan yang pimpin Muawiyah bin Abi Sufyan

32 Tuntutan Aisyah terhadap kematian Usman adalah, ‫ وﷲ ﻻطﻠﺑن ﺑدم ﻋﺛﻣﺎن‬kalimat ini terekam
dalam kitab Tarikh al-Thabari, Ibid… hlm. 461
melawan Ali bin Thalib. Dan Ali dengan segala pertimbangan harus bertahan melayani

tantangan Muawiyah meskipun yang dilawan adalah sebagai seorang muslim

Dengan latar belakang di atas penulis merasa tertarik untuk meneliti tentang

perang saudara tersebut ditinjau dari perspektif hukum Islam. sampai dimanakah batasan-

batasan seseorang muslim diperbolehkan untuk memerangi saudaranya sesama muslim,

dengan judul “PERANG SAUDARA SESAMA MUSLIM DITINJAU DARI MAQASHID

SYARI’AH”

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang di atas, setidaknya ada beberapa masalah yang bisa diidentifikasi,

antara lain :

1. Benarkah Islam dikembangkan dengan peperangan ?

2. Apa motivasi terjadinya perang saudara sesama muslim, motivasi teologis atau

motivasi kekuasaan ?

3. Benarkah hanya perang satu-satunya jalan untuk menyelesaikan konflik umat

Islam

4. Bagaimana memahami maksud ayat dan hadits tentang diharamkan saling

membunuh ?

5. Apakah perang saudara sesama muslim sesuai dengan maksud diturunkan

syari’at (Maqashid Syari’ah)

C. Batasan Masalah

Dari Identifikasi masalah diatas, penelitian ini dibatasi pada ruang lingkup

permasalahan yang akan dikaji. Maka penelitian ini hanya difokuskan pada hukum perang

saudara sesama muslim ditinjau dari maqashid al-syari’ah. dalam kajian ini akan dii
paparkan secara normatif maupun historis tentang perang saudara. pertama penelitian inii

akan melihat beberapa peristiwa perang saudara sesama muslim dalam sejarah Islam

kedua meneliti ayat dan hadits tentang perang, selanjutnya perang saudara muslim akan

tersebut akan diukur dari tinjauan maqashid al- syari’ah

D. Rumusan Masalah

Setelah menjelaskan pembatasan masalah, maka permasalahan yang akan dijawab

dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimana realitas perang saudara sesama muslim

2. Bagaimana hukum perang saudara sesama muslim ditinjau dari maqashid al-

syari’ah

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan penelitian :

a. Untuk mendeskripsikan realitas perang saudara sesama muslim

b. Untuk mengetahui hukum perang saudara dalam Islam ditinjau dari

maqashid al-Syari’ah

2. Kegunaan penelitian

Alasan mengapa penelitian ini penulis anggap penting adalah :

a. Perang saudara antar umat muslim selama ini oleh para penulis sejarah

kebanyakan hanya dilihat dari pespektif siyasah, ekonomi sosial dan budaya,

sebaliknya hampir tidak ada penulis sejarah yang meneliti perang saudara dari

tinjauan hukum terutama ditinjau dari perspektif Maqashid al-Syari’ah

b. Memberikan sumbangan pemikiran seharusnya dunia Islam memilikii

makhkamah syari’ah Internasional yang dapat menjadi arbiter pada setiap


konflik umat Islam sendiri. Bukan di serahkan ke Persatuan Bangsa-Bangsa

(PBB) yang tidak berhukum pada hukum Islam

c. Untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Master Syari’ah (

M.Sy) pada program pasca sarjana Universitas Islam Negeri Sultan Syarif

Kasim Riau.

F. Kajian Pustaka

Penelitian tentang Islam dalam kajian fiqh siyasah, khususnya yang mengambill

objek kajian tentang perang masih sangat langka. kelangkaan ini disebabkan oleh dua

persepsi yang berkembang pada kaum muslimin : pertama : kaum muslimin menganggap

bahwa persoalan perang termasuk bagian dari jihad, maka tidak ada yang perlu untuk

dikajii karena sudah selesai dibahas oleh ulama klasik. Kedua : tidak banyak kaum

muslimin yang berminat mengetahui sejarah perkembangan peradaban kaum muslimin

sendiri dari segii hukum, sehingga dalam pemikiran kaum muslimin telah mengkristal

bahwa perjalanan peradaban Islam seakan-akan berjalan tanpa masalah atau

pengorbanan jiwa.

Pada dasarnya hampir seluruh kitab-kitab fiqh terutama dari kalangan Malikiyyah,

Hanabilah, Syi’ah Imamiyah, Syi’ah Zaidiyyah dan Mazhab Zhahiriyyah membahas tentang

konsep perang dalam Islam, namun konsep yang dibahas hanyalah masalah jihad yang

membicarakan tentang perang antar kaum muslim melawan orang-orang kafir 33

Berbeda dengan kalangan orientalis (pengkaji Islam) yang menganggap bahwa

peperangan yang terjadi pada masa klasik akan tetap ada hubungannya dengan

peperangan pada masa selanjutnya, karena ia menjadi spirit dan dorongan terjadinya

33 lihat Ismail Salim Abdul , Al-Bahtsu al- Fiqhiyy, Thabi’atuhu, Khashaishuhu, Ushuluhu,
Mashadiruhu Ma’a al-Mushthalahat al-Fiqhiyyah fil al-Mazahib al-Arba’ah ( Makkah al-Mukarramah :
Pustaka al-Asadi, 2008), cet. ke-1, hlm. 130-147
peperangan pada masa setelahnya termasuk masa kini. akibatnya kajian sejarah perang

akan tetap menjadi kajian yang menarik dikalangan orientalis. perang salib yang terjadii

pada abad pertengahan sampai pada perang teluk di abad modern tidak bisa dilepaskan

begitu saja dari sejarah perang pada masa Islam klasik

Sebagai sampel, sedikitnya ada tiga penulis yang membahas tentang peperangan

dalam Islam pada masa kontemporer. pertama, Azyumardi Azra dalam bukunya

Pergolakan politik Islam, dari fundamentalisme, modernisme hingga posmodernisme. di

dalam tulisannya Azyumardi Azra menjelaskan tentang sering salahnya para ilmuwan

Barat memahami istilah “jihad” . ketika istilah ini disebut, citra yang timbul dari kalangan

Barat adalah para lasykar Muslim yang menyerbu ke berbagai wilayah di Timur Tengah

atau tempat-tempat lain, memaksa orang-orang non Muslim supaya masuk Islam. begitu

melekatnya citra ini, sehingga fakta dan argumen apapun yang dikemukakan pihak

muslim sulit diterima masyarakat Barat.34

Kalangan Barat beranggapan bahwa terjadinya perang suci (holy war) di dalam

sejarah Islam karena umat Islam termotivasi dengan konsep jihad yang diyakini. sehingga

umat Islam rela mengorbankan apa saja untuk memerangi non-muslim dalam

mengembangkan kawasan Islam ( darl-al-Islam) demi untuk menyebarkan agamanya. dii

antara ilmuwan Barat yang mengugkapkan adalah Bosworth, Ia menyimpulkan bahwa

aktivitas kaum muslim selama lebih 12 abad di wilayah Turki, Iran, Sudan, Etiopia,

Spanyoll dan India untuk mengembangkan wilayahnya adalah karena panggilan“ jihad”.

Maka dapat ditarik kesimpulan, di dalam karyanya, Azyumardi bermaksud untuk

menjelaskan kepada dunia Barat bahwa istilah “jihad” yang sering digunakannya bukanlah

34 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik...hlm. 127


merupakan penggunaan istilah yang tepat. malah sebaliknya akan mencitrakan keburukan

Islam di mata orang-orang Barat. karena pada dasarnya, secara historis, jihad umumnya di

lakukan atas dasar politik, seperti perluasan wilayah Islam atau pembelaan diri kaum

muslimin terhadap ancaman-ancaman dari luar, bukan karena alasan teologis

Kedua, Wahbah al-Zuhaili juga menulis tentang perang yang berkembang pasca

perang dingin di lihat dari sisi fiqh dan sosial kemasyarakatan. bagaimana implikasi

adanya peperangan terhadap perdagangan begitu juga implikasi terhadap kehidupan

beragama.

Secara normatif Wahbah al-Zuhaili menjelaskan tentang prinsip-prinsip

peperangan dengan menyodorkan dalil-dalil naqli baik al-Qur’an maupun hadits. memang

perkembangan militer dalam dunia Islam tidak terlepas dari spirit agama yang menjadi

landasan perjuangan tentara Islam. ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan bahkan

mewajibkan umatnya tidak bisa dilepaskan dari peristiwa peperangan dalam sejarah

Islam.

Sebagai negara Islam pertama, tentu perang bukan satu-satunya jalan untuk

melakukan ekspansi ke darah-daerah sekitar. hal ini dibuktikan dengan banyaknya kaum

Yahudi yang di perlakukan secara baik di negara Islam, walaupun tetap membayar jizyah

kepada khalifah-khalifah Madinah. perang hanya dilakukan ketika tidak ada jalan lain yang

lebih damai dan sejahtera untuk ditempuh35

Kelemahan tulisan ini adalah Wahbah al-Zuhaili kebanyaannya hanya membahas

peperangan antara orang kafir dan Islam ( jihad lil-kuffar ), pembahasan peperangan yang

memang semua ulama tidak mempermasalahkan hukumnya. Sedangkan perang sesama

35 Wahbah al-Zuhaili, Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islam Dirasah Muqaranah, ( Damaskus : Dar al-

Fikr, t.th), hlm. 23


muslim (‫ ) اﻟﻘﺗﺎل ﺑﯾن اﻟﻣﺳﻠﻣﯾن‬hanya sedikit sekali dibahas. Itu juga bersifat normatif dan tidak

sama sekali dikaitkan dengan sejarah pembangunan peradaban Islam.

Ketiga, Imam Yahya, penelitian dalam bentuk disertasi ini merupakan kajian yang

serius yang dilakukan pada masa kontemporer tentang peristiwa perang dalam Islam.

Imam Yahya membahas tentang bagaimana terjadinya peperangan pada masa Khalifah

al-Rasyidin sejak dari kekhalifahan Abu Bakar Sidik sampai dengan kekhalifahan Ali bin

Abi Thalib. kajian siyasah (politik) ini berbentuk penelitian sejarah (Historical Research).

dii dalamnya Imam Yahya ingin mengcounter bahwa tuduhan para orientalis yang

mengatakan bahwa Islam dikembangkan oleh oleh umatnya melalui peperangan dan

tetesan darah adalah tidak selamanya benar.

Makanya di dalam kajian ini diungkapkan, bahwa terjadinya peperangan pada

masa khalifah al-Rasyidin dalam rangka mempertahankan negara Islam Madinah dari

kezaliman yang dilakukan oleh komunitas lain. perang pada masa Abu Bakar Sidiq di

alamatkan pada penumpasan pemberontak yang tidak mau membayar zakat dan keluar

dari kehalifahannya. sementara pada masa Umar ibn Khattab perang dilakukan oleh

tentara Murtaziqah (di gaji) dan tentara Mutatawi’ah (sukarela), sementara di pemerintahan

ada Departemen tentara (Diwan al-Jund), dan departemen kepolisian ( Diwan al-Ahdats)

Begitu juga pada masa Utsman ibn Affan yang banyak melakukan perombakan

pimpinan perang. pergantian pimpinan perang berkenaan dengan penyeragaman visii

kenegaraan yang dibangun oleh keluarga Utsman. tak ketinggalan pada masa Ali ibn Abi

Thalib yang melakukan peperangan untuk meredam konfik internal di tubuh kaum

muslimin. perang jamal dan perang siffin misalnya dilakukan oleh Ali dikarenakan adanya

kelompok yang tidak mengakui dan tidak setuju dengan pemerintahnnya.


Yang jelas paparan Imam Yahya di dalam kajiannya untuk menunjukkan

penyangkalannya terhadap tuduhan orientalis bahwa peperangan yang terjadi pada masa

awal-awal Islam bukanlah untuk menegakkan ideologi Islam melainkan untuk

mengedepankan prinsip kenegaraan.36

Dari ketiga penulis yang mengkaji tentang perang dalam sejarah Islam tidak

satupun yang mengkaji secara spesifik tentang perang saudara sesama muslim ditinjau

dari maqashid al-syari’ah. sejauh sepengetahuan penulis karya tulis yang mengkaji ini

belum ada, baik dalam bentuk skripsi, tesis disertasi maupun bentuk buku dan jurnal-jurnal

ilmiyah lainnya.

Maka, menurut penulis, karena seringnya terjadi pertikaian, peperangan antar

umat Islam sejak sejarah awal perkembangan Islam, hingga pada abad ke 20-an ini,

penting adanya kajian khusus yang membahas tentang perang saudara di lihat dari

perspektif hukum Islam dengan menggunakan maqashid syari’ah sebagai pisau analisis.

G. Kerangka Teoritis

1. Perang Saudara.

a. Konsep Perang

Perang merupakan suatu bentuk hubungan yang hampir sama tuanya

dengan peradaban manusia di muka bumi. Mochtar Kusumaatmaja mengatakan

bahwa sebagian besar sejarah manusia diwarnai dengan peperangan.37

36Imam Yahya, Bagaimana Bentuk Perang Yang Terjadi Selama Masa al-Khulafa al-Rasyidun,
Baik Dilihat Dari Normatif Ayat-Ayat Al-Qur’an dan Hadits Maupun Konteks Sejarah Perang ( Jakarta :
Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, 2006).
37 Quincy Wright, A. Study of War, ( The University Chicago Press, 1951), dikutip dari Hukum

Humaniter Suatu Perspektif, ed. Fadillah Agus, ( Puat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum Universitas
Tri Sakti, Jakarta : 1997), hlm. 1-3
Menurut Larry May dari Washington Univrsity, Amerika Serikat mengatakan,

ada beberapa hal argument moral yang biasa dijadikan pegangan sehingga

perang atau konflik bersenjata di jadikan menjadi di terima sebagai “sesuatu yang

benar”. secara teoritis ini juga yang sering digunakan oleh kalangan militer dalam

membenarkan perlunya mengangkat senjata dalam melawan musuh siapapun

mereka. alasan- alasan tersebut adalah :

1) Prinsip membela diri

2) Berkaitan dengan adanya suatu permintaan / kewajiban bahwa kita semua

diminta/wajib membantu orang-orang yang tidak bersalah yang menderita

3) Kekerasan senjata “ terpaksa “ digunakan untuk mencegah kejahatan yang

lebih besar.38

b. Konsep Persaudaraan dalam Islam

Dalam Islam hal-hal yang berhubungan dengan kemasyarakatan

seharusnya didirikan atas dua prinsip: pertama persaudaraan yang kuat antara

anggota masyarakat; Kedua menjaga hak-hak dan menghormati yang

dilindungi Islam bagi setiap individu, masyarakat, baik darah, kehormatan

(harga diri) maupun harta.39 Oleh sebab itu setiap ucapan, perbuatan atau

tindakan yang bertentangan dengan dua prinsip tersebut diharamkan dalam

Islam. 40 Allah berfirman pada surat al-Hujurat ayat 10-12

(10) ‫اﳕﺎ اﳌﺆﻣﻨﻮن اﺧﻮة ﻓﺎءﺻﻠﺤﻮا ﺑﲔ اﺧﻮﻳﻜﻢ واﺗﻘﻮاﷲ ﻟﻌﺎﻛﻢ ﺗﺮﲪﻮن‬

38 Nur Iman Subono, Konflik Bersenjata, kekerasan militer dan Perempuan, dalam Yaasan jurnal

perempuan, Perempuandi Wilayah Konflik, SMKG Desa Putera, 2002, hlm. 110
39 Yusuf al-Qardhawi, al-Halal wal…hlm. 297
40 Ibid., hlm. 297
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara, maka

damaikanlah diantara kedua saudaramu agar kalian mendapat rahmat ( Q.S.

al-Hujurat : 10).41

Dalam permulaan ayat ini Allah swt menetapkan bahwa orang-orang

beriman pada hakekatnya adalah bersaudara, yang meliputi saudara seagama

maupun saudara sesama manusia. Dan sebagai saudara di wajibkan untuk

saling mengenal, jangan saling mengingkari; saling menyambung silaturahmi,

jangan saling memutuskan; saling merapat jangan saling menjauh; saling

mencintai, jangan saling membenci; dan saling menyatu, jangan saling

berpecah belah.42

Menurut al-Qurtubi, kata Ikhwah ( ‫ ) اءﺧوة‬pada ayat ini menunjukkan

persaudaraan menurut agama dan kehormatan, bukan berdasarkan nasab.

Karena persaudaraan dalam agama lebih kuat dari pada persaudaraan

menurut nasab. persaudaraan karena nasab dapat putus karena perbedaan

agama, sebaliknya persaudaraan karena agama tidak akan putus karena

perbedaan nasab. 43

Begitu seseorang menyatakan dirinya beriman, saat itu juga ia sudah

terikat persaudaraan dengan orang yang seiman. Iman adalah tali ikatan yang

lebih kuat dari ikatan apapun, termasuk ikatan keturunan, kekerabatan,

kesukuan dan kebangsaan. Hal itulah yang tercermin dalam surat al-Hujurat di

atas. Ayat tersebut menunjukan bahwa keimanan dapat mempersatukan

41 Departemen Agama Republik Indonesia, Al- Qur’an dan Terjemahannya, ( PT.Karya Toha Putra,
Semarang : tt)
42 Yusuf al-Qardhawi, Halal wal Haram...hlm. 291
43 Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtubi, al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, ( Dar- al-

Ilmiyyah, Bairut, Libanon : 1993) jilid 15-16, hlm. 323


seseorang, kelompok atau umat dalam satu ikatan persaudaraan Islam.44

dalam haditsnya juga Rasulullah bersabda :

, ‫ ﻣﺴﻠﻢ‬, ‫ﻻﻳﺆﻣﻦ اﺣﺪﻛﻢ ﺣﱴ ﳛﺐ ﻻءﺧﻴﻪ ﻣﺎ ﳛﺐ ﻟﻨﻔﺴﻪ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى‬


( ‫ اﲪﺪ و ﺣﻨﺒﻞ‬, ‫ اﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬, ‫ اﻟﻨﺴﺎئ‬, ‫اﻟﱰﻣﺬى‬
“Tidak beriman seseorang sehingga Ia mencintai saudaranya seperti Ia

mencintai dirinya sendiri (H.R. Bukhari, Muslim, Turmuzi, Nasa’i, Ibnu Majah,

Ahmad dan Ibnu Hanbal). 45

Maksud mencintai dalam hadits ini berarti seseorang yang beriman harus

tetap menjalin hubungan dengan sesama mukmin.46 Makanya untuk menjaga

ukhuwah ini, Allah swt memberikan jaminan terhadap kehidupan manusia dari

segala bentuk perbuatan yang merugikan kehidupan manusia berupa ancaman

baik dunia maupun diakhirat.

Dalam Islam, setiap muslim merupakan saudara bagi muslim lainnya.

Dalam hadits yang diriwayatkan Muslim dijelaskan :

‫ﻻﲢﺎﺳﺪوا وﻻ ﺗﻨﺎﺟﺸﻮا وﻻﺗﺒﺎﻏﻀﻮا وﻻ ﺗﺪاﺑﺮوا وﻻﻳﺒﻊ ﺑﻌﻀﻜﻢ ﻋﻠﻰ ﺑﻴﻊ ﺑﻌﺾ‬


.‫ اﳌﺴﻠﻢ اﺧﻮاﳌﺴﻠﻢ ﻻ ﻳﻈﻠﻤﻪ وﻻ ﳜﺬﻟﻪ وﻻ ﳛﻘﺮﻩ‬. ‫وﻛﻮﻧﻮا ﻋﺒﺎداﷲ اﺧﻮاﻧﺎ‬
‫ ﲝﺴﺐ اﻣﺮىء ﻣﻦ اﻟﺸﺮ ان‬.‫ وﻳﺸﲑ اﱃ ﺻﺪرﻩ ﺛﻼث ﻣﺮات‬.‫اﻟﺘﻘﻮى ﻫﺎﻫﻨﺎ‬
‫ﳛﻘﺮﻩ اﺧﺎﻩ اﳌﺴﻠﻢ ﻛﻞ اﳌﺴﻠﻢ ﻋﻠﻰ اﳌﺴﻠﻢ ﺣﺮام دﻣﻪ وﻣﺎﻟﻪ وﻋﺮﺿﻪ‬
“Janganlah saling mendengki, saling mencaci, saling marah, saling
membelakangi, menjual barang dagangan orang lain. jadilah hamba Allah yang
bersaudara. orang muslim itu bersaudara kepada muslim lainnya, jangan
menzhalimi, menghina dan merendahkannya. taqwa itu disini, sambil
menunjukkan ke dadanya tiga kali. seseorang dianggap jelek apabila

44 Ibid, hlm. 253


45 Muhammad bin Isa al-Turmudzi al-Salami, Jami’u al-Shahih al-Turmudzi ( Beirut : Ihya al-
Turats, tt), juz. Ke-5
46 Yusuf al-Qardhawi, Halal wal Haram... hlm. 292
meremehkan saudaranya. darah, harta dan kehormatan seorang muslim haram
terhadap muslim lainnyya (HR. Bukahri – Muslim) 47

Dari hadist di atas dapat diambil kesimpulan bahwa orang muslim

merupakan saudara kepada muslim lainnya. makanya sebagai saudara seiman

diharamkan darah, harta dan kehormatannya untuk dihilangkan. konsep hadits

ini merupakan dasar ukhuwah yang paling baik dikembangkan oleh umat

Islam, karena ini adalah ikatan yang paling hakiki dan kuat, mengungguli

semua jenis ikatan lainnya. Ikatan lain hanyalah bersifat sarana ukhuwah,

tetapi tidak dapat dijadikan dasar yang kuat bagi bangunan persaudaraan.

Perbedaan yang terdapat diantara manusia, seperti fisik, ideologi, dan

sebagainya hanya dapat dijembatani dengan iman kepada Allah. Swt.48

c. Perang Saudara Sesama Muslim

Dalam sejarah Islam, secara global perang saudara sesama muslim dapat

dibagi menjadi beberapa variasi diantaranya :

1. Perang antar sahabat besar, yaitu peperangan yang dilakukan oleh para sahabat

nabi. Ada beberapapa jumlah perang yang telah dilakukan oleh para sahabat

pertama perang jamal yaitu peperangan yang dilakukan oleh Aisyah, Thalhah

dan Zubeir berhadapan dengan pasukan yang dipimpin Alibin Abi Thalib49.

Kedua perang Shiffin, yaitu peperangan yang mempertemukan tentara yang

dipimpin oleh Muawiyah bin abu Sofyan berhadapan dengan tentara yang

dibawa oleh Ali bin Abi Thalib50

47 H.R. Muslim, Juz ke-8, hlm 10


48 Ensiklopdi Islam, hlm. 152
49 Abi Ja’far Muhammad bin Jarir Al- Thabari, Tarikh al... hlm. 532-534

50 Ibid ., 563-565
2. Perang saudara sesama negara Islam, perang ini terjadi antara negara yang

memiliki dasar negara Islam, hukum yang diterapkan hukum Islam, penduduknya

mayoritas Islam. negara ini berdiri sendiri tanpa ada ikatan struktural, instruktif

maupun koordinatif dengan lawan perangnya. negara ini sama – sama memiliki

kekuasaan untuk mengatur negaranya masing-masing. Contoh peperangan

seperti ini seperti, perang teluk I antara negara Iraq dan Iran dan perang teluk II

antara Iraq melawan Quwait51

2. Maqashid al- Syari’ah

Untuk mengatur seluruh tindakan mukallaf para ushuliyyun menyusun hierarki

hukum berdasarkan tingkatan kebutuhan hidup manusia, menjadi tiga tingkatan :

a. Kebutuhan primer ( ‫ ) اﻟﺿرورﯾﺔ‬artinya kebutuhan ini wajib ada dalam

menegakkan kemaslahatan agama dan dunia52 karena jika kebutuhan ini tidak

ada, maka, kehidupan manusia akan terhambat. Ada lima hal yang harus ada

pada manusia sebagai ciri atau kelengkapan kehidupan manusia secara

berurutan, peringkat tersebut adalah: agama, jiwa, akal, keturunan (harga diri)

dan harta. Kelima hal tersebut disebut “ dharuriyyat yang lima”. 53

b. Kebutuhan Skunder ( ‫اﻟﺣﺎﺟﯾﺎت‬ ) Tujuan tingkat “ skunder “ atau

‫ اﻟﺣﺎﺟﯾﺎت‬ini bagi kehidupan manusia sesuatu yang dibutuhkan bagi kehidupan

manusia, tetapi tidak mencapai tingkat dharuri. Seandainya kebutuhan ini tidak

terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak akan meniadakan atau merusak

kehidupan itu sendiri. Meskipun tidak sampai merusak kehidupan,

51 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Jihad... hlm. 800


52 Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul-al ahkam, ( Dar- al Haditsah , tt), juz. ke-1, hlm. 3
53 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (lLogos Wacana Ilmu : Jakarta, 1999), cet. I, hlm 209. Lihat juga

al-Syatibi, al-Muwafaqat fi- Ushul al- Syari’ah, ( Maktabah Tajariyah, Mesir :tt) juz. ke- I, hlm. 4
keberadaannya dibutuhkan untuk memberikan kemudahan dalam kehidupan.

Dapat disimpulkan bahwa tujuan akhir dari kebutuhan skunder atau ‫ اﻟﺣﺎﺟﯾﺎت‬ini

adalah supaya manusia bisa melaksanakan kewajiban syara’ secara baik.

Misal : mendirikan sekolah memang perlu, namun seandainya sekolah tidak

didirikan tidaklah berarti tidak akan tercapai upaya mendapat ilmu, karena

menuntut ilmu itu dapat dilaksanakan di luar sekolah. Kebutuhan sekolah itu

berada pada tingkat hajiyat. 54

c. Kebutuhan tertier ( ‫) اﻟﺗﺣﺳﯾﻧﯾﺎت‬, Tujuan tingkat tertier adalah sesuatu yang

sebaiknya ada untuk memperindah kehidupan. Tanpa terpenuhinya kebutuhan

tertier ini kehidupan tidak akan rusak dan juga tidak akan menimbulkan

kesulitan. keberadaannya di kehendaki untuk kemuliaan akhlaq dan kebaikan

tata tertib pergaulan.

Tujuan tahsiniyyat ini menurut asalnya tidak menimbulkan hukum wajib

pada perbuatan yang disuruh dan tidak menimbulkan hukum haram pada yang

dilarang sebagaimana yang berlaku pada dua tingkat lainnya (dharfuri dan

hajiyat). Segala usaha untuk memenuhi kebutuhan tahsini ini menimbulkan

hukum “ sunat “ dan perbuatan mengabaikan kebutuhan tahsini menimbukan

hukum “ ´makruh “ . misal : dalam ibadah, berhias dan berpakaian rapi pada

waktu ke masjid. Dalam bidang muamalat, seperti pada jual – beli i Syuf’ah

juga berlaku pada adat, seperti hemat dalam berbelanja. 55

H. Metode Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

54 Ibid., hlm. 213


55 Ibid.,.hlm 215
Penelitian ini merupakan studi pustaka (Library Research). maka untuk

mendapatkan data-data yang dibutuhkan diadakan penelaahan terhadap buku-

buku yang membahas tentang peperangan antar umat Islam dan sejarah

peradaban Islam. data tersebut dikumpulkan dengan katagori dasar yang sesuai

dengan pokok permasalahan. kemudian diteliti secermat mungkin dan dijadikan

sebagai bahan untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dibahas

2. Sumber data

Data primer adalah kitab-kitab Ushul Fiqh yang membahas Maqashid al

Syari’ah, seperti Abdul Majid al-Najjar, al- Muwafaqat karya al-Syathibi, Madkhal

Lidirasati al-Syari’ati al-Islamiyyah Yusuf al-Qardhawi, Jamaluddin ‘Athiyyah,

Nahwa Taf’il Maqashid al-Syari’ah, Ibnu Taymiyyah, Maqashid al-Syari’ah ‘Inda

Ibnu taymiyyah. Kitab fiqh seperti, Al-Fiqhu al- Islam Wa- Adillatuhu ( Karya

Wahbah al- Zuhaili), al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya al—Mawardi, Wahbah al-

Zuhaili, Atsar al-Harb fi-al-Fiqh al-Isami, Dirasah Muqaranah, Tafsir Ahkam

seperti Rawai’u al-Bayan fi Tafsiri al-Qur’an karya Al-Syabuni. Sejarah seperti,

al-Thabari, Tarikh al-Thabari, Philip K. Hitti, History of Arab. sedangkan data

skunder adalah seluruh kitab yang ada kaitannya dengan bahasan yang penulis

teliti

3. Analisa Data

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan analisis sebagi berikut :

a. Diskriptif, yaitu menggambarkan secara tepat masalah yang sedang diteliti

sesuai dengan data yang diperoleh


b. Analitik, yaitu menganalisa data yang sudah ada secermat mungkin, kemudian

diambil konklusi hukum dengan menggunakan kaedah-kaedah Fiqhiyah,

Ushuliyyah dan dibatasi dengan Maqashid al-Syari’ah

I. Sistematika Pembahasan

Tulisan ini terdiri atas lima bab, dan tiap-tiap bab memiliki sub-sub pembahasan.

adapun ringkasan dari keseluruhannya adalah sebagi berikut :

Bab I : Pendahuluan yang terdiri dari : latar belakang masalah, Identifikasi masalah,

batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka,

kerangka teoritis, metode penelitian dan sistematika pembahasan

Bab II Perang saudara sesama muslim dalam Islam, yang memuat tentang: pengertian

perang saudara, faktor-faktor terjadinya perang saudara, Dampak terjadinya perang

saudara, etika perang dalam al-Qur’an dan hadits, perang saudara dalam al-Qur’an

dan tafsirnya, perang saudara dalam hadits dan syarahnya

Bab III : Tinjauan umum terhadap maqashid al-syari’ah, dalam bab ini akan dibahas

tentang : pengertian maqashid al-Syari’ah, Landasan maqashid al-syari’ah, stratifikasi

maqashid al-Syari’ah, maqashid al-syari’ah ditinjau dari berbagai aspeknya

Bab IV. Perang saudara dalam tinjauan maqashid al-syari’ah, yang terdiri dari : esensi

perang saudara, batasan diperbolehkan perang saudara sesama muslim, perang

saudara dalam tinjauan maqashid al-syari’ah

Bab V. Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran


27

BAB II

PERANG SAUDARA SESAMA MUSLIM DALAM ISLAM

A. Pengertian perang saudara sesama muslim

Dalam perspektif politik, perang adalah politik dalam bentuk lain. Perang memang

kelanjutan dari strategi politik sebagaimana dikenalkan oleh Clausewitz ahli strategi militer

berkebangsaan Amerika. Perang merupakan tindakan terakhir apabila negosiasi politik

tidak berhasil.1

Dalam bahasa yang berbeda Syafiiyyah menyatakan:

‫وﺟﻮب اﳉﻬﺎدوﺟﻮب اﻟﻮﺳﺎﺋﻞ ﻻاﳌﻘﺎﺻﺪ اذاﳌﻘﺼﻮد ﺑﺎﻟﻘﺘﺎل اﳕﺎ ﻫﻮاﳍﺪاﻳﺔ وﻣﺎ ﺳﻮاﻫﺎ ﻣﻦ‬
‫اﻟﺸﻬﺎدة واﻣﺎ ﻗﺘﻞ ﻟﻜﻔﺎر ﻓﻠﻴﺲ ﲟﻘﺼﻮد ﺣﱴ ﻟﻮاﻣﻜﻦ ﳍﺪاﻳﺔ ﺑﺎﻗﺎﻣﺔاﻟﺪﻟﻴﻞ ﺑﻐﲑ ﺟﻬﺎد ﻛﺎن‬
‫اوﱃ ﻣﻦ اﳉﻬﺎد‬

“Di wajibkannya jihâd itu karena ada sebab, jihâd bukanlah suatu tujuan akhir,

karena yang menjadi tujuan akhir adalah memberikan hidayah bagi orang kafir. Maka

membunuh orang kafir itu bukanlah tujuan, karena apabila mereka sudah mendapatkan

hidayah, jihâd bukanlah cara yang terbaik”.2

Dalam kajian Perang saudara sesama muslim ini paling tidak ada tiga kalimat

yang harus di tekankan disini :

Pertama, kata perang, kata ini di dalam al-qur’an menggunakan beberapa istilah :

1 Carol Von Clausewitz, On War, diedit oleh Houvard dan Peter Paret (Ner Jersey : Princeton
University Press, 1967), hal. 87. Tokoh yang mengagumi ide-ide Clausewitz dan menuliskan ide idenya
dalam sebuah buku. Michael Howard, Clausewitz Guru Strategi Perang Modern, Jakarta: Grafiti, 1991, hal
34. Sebagai perbandingan dalam konteks Indonesia baca TNI Abad XXI Redefinisi Reposisi dan
Reaktualisasi Peran TNI Dalam Kehidupan Bangsa, Jakarta : Jasa Buma, 1999.. 73
2 Imam Al-Malibari, Fathu al-Mu’în, Surabaya: Dâr Indonesia, tt, hal. 74
28

a. Dengan menggunakan kata ‫ﺟﮭﺎد‬. kata ini berasal dari kata ‫ ﺟﮭد‬yang bermakna

bersunguh-sungguh, menurut ibnu Mandhur kalimat ini semakna dengan ‫ اﻟطﺎﻗﺔ‬yang

berarti, mampu, kuat, kuasa3, dari dua kalimat ini dapat digabungkann menjadi ‫ﺟﮭد‬

‫ طﺎﻗﺗﮫ‬yang berarti “berusaha segenap kekuatan dan kemampuan”4.

Ditinjau dari segi bahasa kata ‫ ﺟﮭﺎد‬memang tidak mengindikasikan makna “

perang “, kalimat ini menunjukkan makna perang jika sudah di kaitkan dengan anak

kalimat ‫ ﻓﻲ ﺳﺑﯾل ﷲ‬sehingga kalimat ini menjadi ‫ ﺟﮭﺎد ﻓﻲ ﺳﺑﯾل ﷲ‬dengan kalimat ini

maka dapat diartikan dengan “ berjuang bersungguh-sungguh di jalan Allah“. Kata-

kata ‫ ﺟﮭﺎد‬dengan berbagai bentuknya di dalam al-Qur’an di sebutkan tidak kurang

dari 35 kali, secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga yaitu : memerangi musuh,

memerangi setan dan memerangi hawa nafsu5

Kata jihad kemudian banyak digunakan dalam arti peperangan untuk menolong

agama dan membela kehormatan umat. Namun pada dasarnya bahwa jihad memiliki

makna yang lebih luas dari pada peperangan6.

Untuk mudahnya jihad dapat dibagi menjadi dua yaitu jihad ‘am ( ‫) ﺟﮭﺎداﻟﻌﺎم‬

dalam arti luas memarangi hawa nafsu dan jihad khas ( ‫ ) ﺟﮭﺎداﻟﺧﺎص‬yaitu perang, di

dalam hadits nabi disebutkan, jihad memerangi hawa nafsu disebut jihad akbar (

‫) ﺟﮭﺎداﻻﻛﺑر‬, sedangkan jihad perang disebut jihad asghar ( ‫) ﺟﮭﺎد ا ﻻﺻﻐر‬7.

Perang dalam pengertian para ahli fiqih ada dua macam: Perang dalam arti

jihâd, dan Perang dalam arti peperangan antar negara. Perang dalam arti yang

3 Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, ( Dar al- Ma’arif, tt), jilid. Ke-1, hlm. 708
4 A.W. Munawir, Kamus Al-Munawwir, Arab-Indonesia terlengkap, ( Yogyakarta : PT. Pustaka
Progresif, 1984), hlm. 217
5 Memerangi musuh Allah artinya sebagai umat muslim di wajibkan membela Agama Allah apabila

diganggu oleh musuh-musuh Allah, A. Djazuli, Fiqh Siyasah... hlm. 230


6 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Jihad, terj. ( Jakarta : PT. Mizan Pustaka, 2010), cet. Ke-1, hlm. IXXV
7 A. Jazuli., Fiqh Siyasah…hlm. 230
29

pertama di artikan perang agama, dalam arti perang antara kaum muslimin dengan

non-muslim atau kaum kuffar, sehingga memerangi mereka berarti menegakkan

agama Islam (jihâd). Arti jihâd berarti sungguh-sungguh dalam melaksanakan

sesuatu. Dalam konteks bahasa, kata jihâd itu shighat musyârakah, yakni yang

mempunyai arti bersama-sama. Para ulama membagi jihâd ke dalam 3 arti; jihâd

terhadap musuh-musuh yang dhahir, memerangi musuh berupa syaitan, dan

memerangi hawa nafsu. Ini didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’ân yang secara eksplisit

menyebutkan kata jihâd8.

Pada pengertian pertama berarti jihâd internal, yakni jihâd dalam memerangi

hawa nafsu, yang dalam bahasa Nabi disebut sebagai jihâd al-akbar. Jihâd

diinterpretasikan sebagai upaya individual untuk mendekatkan diri dari seorang

hamba kepada Khaliq-nya, hanya diri sendirilah yang bertindak sebagai subyek

menang atau kalah. Adapun arti kedua, jihâd sebagai sosial action (aksi sosial) antar

sesama makhluk. Sementara pengertian ketiga, jihâd di artikan sebagai perang yang

sesungguhnya, bellum justum dan bellum pium yakni perang demi keadilan dan

kesalehan.

Sedang perang pada arti kedua adalah perang dalam konteks politik yakni

memerangi musuh negara Islam Madinah. Siapa saja Islam maupun non-Islam yang

berusaha melawan kepemimpinan negara berarti harus diperangi.

8 QS. 29:6, 9:38-43, 49:14). Artinya : Dan barang siapa yang berjihâd maka sesungguhnya jihâd
nya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan
sesuatu ) dari semesta alam ini. (QS. 29:6) Artinya : Hai orang-orang yang beriman apakah sebabnya
apabila dikatakan kepada kamu: Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah” kamu merasa berat dan
ingin tinggal di tempatmu?. (QS. 9:38-43). Artinya: Orang-orang Arab Badui berkata;“Kami telah beriman”.
Katakanlah (kepada mereka): “Kamu belum beriman,tepai katakanlah “kami telah tunduk”, karena iman itu
belum masuk kedalam hatimu. (QS, 49:14)
30

b. Dengan menggunakan kata ‫( ﻗﺗﺎل‬perang). dari segi makna tidak sama dengan jihad,

sebab kata ‫ ﻗﺗل‬tidak sama dengan kata ‫ﺟﮭد‬. kata al-Qital diambil dari kata al-Qatlu

sedangkan kata jihad diambil dari kata al-juhdu. Kata al-qital di dalam al-qur’an

disebutkan tidak kurang dari 67 kali dalam bentuk yang bervariasi .

Terdapat beberapa redaksi ayat perang di dalam al-Qur’an yang menggunakan

kalimat tersebut diantaranya, peperangan tidak di sebut sesuai dengan syari’at

kecuali dilakukan di jalan Allah. Peperangan ini adalah peperangan yang dilakukan

oleh orang-orang yang beriman9, sebagaimana diungkapkan di dalam al-qur’an :

‫اﻟﺬﻳﻦ اﻣﻨﻮا ﻳﻘﺎﺗﻠﻮن ﰱ ﺳﺒﻴﻞ اﷲ واﻟﺬﻳﻦ ﻛﻔﺮوا ﻳﻘﺎﺗﻠﻮن ﰱ ﺳﺒﻴﻞ اﻟﻄﺎﻏﻮت‬


(76 : ‫)اﻟﻨﺴﺎء‬
“Orang-orang yang beriman berperang dijalan Allah, dan orang-orang kafir

berperang di jalan thaghut ( Q.S. al-Nisa : 76)10

Ayat lain tercantum dalam al-Qur’an al-Imran :


‫ﻋﻤﻞ ﻋﺎﻣﻞ ﻣﻨﻜﻢ ﻣﻦ ذﻛﺮ اواﻧﺜﻰ ﺑﻌﻀﻜﻢ ﻣﻦ ﺑﻌﺾ‬
‫ﻓﺎﻟﺬﻳﻦ ﻫﺎ ﺟﺮوا واﺧﺮﺟﻮا ﻣﻦ دﻳﺎرﻫﻢ واوذوا ﰲ ﺳﺒﺴﻠﻲ وﻗﺎﺗﻠﻮا وﻗﺘﻠﻮا ﻻﻛﻔﺮن ﻋﻨﻬﻢ‬
(195 : ‫)اﻟﻌﻤﺮان‬
“ Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman)
sesunguhnya kami tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal
diantara kamu. baik laki-laki maupun perempuan. Sebagian kamu adalah bagian dari
yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya,
yang disakiti dari jalanku, yang berperang dan yang dibunuh. Pastilah ku hapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan kami masukkan kedalam syurga yang dibawahnya
ada sungai yang mengalir ( al-Imran : 195)11

Ayat muhammad meyebutkan :

9 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-jihad... hlm. IXXVI


10 Departemen Agama RI, Qur’an dan Terjemahannya, ( Semarang : PT. Toha Putera : 2002), hlm.
90
11 Ibid., hlm. 60
31

(4 : ‫……واﻟﺬﻳﻦ ﻗﺘﻠﻮا ﰲ ﺳﺒﻴﻞ اﷲ ﻓﻠﻦ ﻳﻀﻞ ااﻋﻤﺎﳍﻢ )ﳏﻤﺪ‬.

“Dan orang-orang yang gugur di jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal

mereka ( Q.S. Muhammad : 4)12

Dari beberapa hadits dan ayat diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa kalimat

qatala (‫ ﻗﺗل‬memiliki makna yang berbeda apabila dalam konteks yang berbeda,

artinya qatala (‫ ) ﻗﺗل‬diartikan sesuai dengan syaqul kalamnya ( ‫) ﺳﯾﺎق اﻟﻛﻼم‬, maka di

dalam al-Qur’an dan hadits apabila kalimat qatala (‫ ) ﻗﺗل‬berdiri sendiri maka berarti

membunuh, gugur, sedangkan jika diikuti dengan kalimat berarti berperang

menegakkan agama Allah

c. Dengan menggunakan kata ‫ﺣرب‬, ‫اﻟﺣرب‬, ‫( ﺣﺎﻟﺔ ﺣرب‬perang, sebuah peperangan,

keadaan perang) dalam bahasa Inggris disama artikan dengan “ War ” atau perang13.

Begitu juga dalam lisan al-“Arab istilah perang disamakan dengan dengan ‫ ﺣرب‬yang

berarti ‫ ( ﻧﻘﯾض اﻟﺳﻠم‬memutuskan, merusak dan menghancurkan kedamaian) karena

sifat dasar peperangan adalah pembunuhan ( ‫) واﺻﻠﮭﺎ اﻟﺻﻔﺔ ﻛﺎﻧﮭﺎ ﻣﻘﺎﺗﻠﺔ ﺣرب‬14. Di

dalam al-Qur’an ada 6 ayat yang menyatakan perang dengan menggunakan kata

‫ ﺣرب‬yang diartikan dengan perang habis-habisan sampai ada yag menang15.

Perang model ini berarti suatu kelompok menggunakan senjata atau kekuatan

materi untuk melawan kelompok lain. Baik satu kabilah melawan kabilah lain,

12 Ibid., hlm. 406


13 Munir al-Ba’albaki, al-Maurid, a Basic Modern English – Arabic Dictionary (Beirut : Dar al-Ilmi,
2002), cet. Ke-36, hlm. 1043
14 Ibnu Mandzur, Lisan al- Arab ( Al- Qahirah : 1119), Dar- al- Ma’arif, hlm. 815
15 A. Djazuli, Fiqh Siyasah…hlm. 252
32

beberapa kabilah melawan beberapa kabilah, satu negara melawan negara lain, dan

beberapa negara melawan beberapa negara lain16

Jihad berbeda dengan perang, jihad adalah makna yang berkaitan dengan

agama. Jihad berbeda seiring dengan perbedaan rujukan, motif, akhlaq dan batasan.

Sedangkan perang adalah makna yang berkaitan dengan dunia. Perang ada pada

zaman jahiliyyah, Islam berbagai umat dan sepanjang masa. Biasanya tujuan perang

adalah adalah melakukan hegemoni, menindas, atau merampas kekayaan orang lain.

Sedangkan jihad harus di niatkan untuk meninggikan kalimat Allah. Maksud niat

kalimat Allah di sini adalah kebenaran, keadilan, merealisasikan kemuliaan,

keamanan, dan kebebasan manusia sehingga seseorang tidak menjadi sembahan

orang lain. Kecuali jika peperangan diberi sifat Islam, ia akan bermakna jihad.

Peperangan ( al-qital ) yang berarti pertarungan militer tidak sama dengan

perang ( al-harb ) dalam pehaman zaman sekarang. Sebab peperangan bukan

sebuah kelaziman yang harus dilakukan dalam perang zaman modern – meskipun ia

tidak bisa lepas dari perang. Karena peperangan ini berarti dua kelompok yang saling

berhadapan. Sedangkan perang pada zaman sekarang terkadang hanya ada satu

kelompok yang melemparkan bom dan nuklir yang bisa lintas dunia. Sedangkan

kelompok lain hanya hanya menunggu hantaman yang akan membunuhnya dan tidak

bisa menghindar darinya17.

Kata perang disebutkan oleh al-Qur’an sebanyak enam kali, di dalam surat al-

Maidah, al-Qur’an membicarakan keberadaan bangsa Yahudi :

(64 : ‫ﻛﻠﻤﺎ او ﻗﺪروا ﻧﺎرا ﻟﻠﺤﺮب اﻃﻔﺎءﻫﺎﷲ وﻳﺴﻌﻮن ﰱ اﻻ ﻓﺴﺎدا ) اﳌﺎﺋﺪة‬


16 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Jihad…hlm. xxv
17 Ibid., hlm. xxvs
33

“ Setiap mereka menyalakan peperangan, Allah memadamkannya dan mereka

berbuat kerusakan di muka bumi (Q.S. al-Maidah :64)18

Al-qur’an mengumpamakan perang dengan api yang membakar. Bangsa

Yahudi hendak menyalakannya, sedangkan Allah hendak memadamkannya,

sebagaimana al-Qur’an mengubungkan hal tersebut dengan perbuatan merusak bumi

Di dalam ayat lain Allah mencamtumkan :

‫اﳕﺎ ﺟﺰاءاﻟﺬﻳﻦ ﳛﺎرﺑﻮن اﷲ ورﺳﻮﻟﻪ وﻳﺴﻌﻮن ﰱ اﻻرض ﻓﺴﺎدا اوﻳﻘﺘﻠﻮا او ﻳﺼﻠﺒﻮا او‬
(33 : ‫ﺗﻘﻄﻊ اﻳﺪﻳﻬﻢ وارﺟﻠﻬﻢ ﻣﻦ ﺧﻼف او ﻳﻨﻔﻮ ﻣﻦ اﻻرض )اﳌﺎﺋﺪة‬

“Sesungguhnya balasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan

Rasulnya dan membuat kerusakan di permukaan bumi , mereka hanyalah dibunuh

atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka secara menyilang atau dbuang

dari negeri tempat kediamannya (Q.S. Al-Maidah : 33)19.

Bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul juga bagi orang-orang

yang membuat kerusakan di tengah masyarakat maka balasan bagi mereka itu

hayalah di bunuh (diperangi) atau di potong secara menyilang antara kaki dan

tangannya atau diusir dari tempat tinggalnya

d. Dengan menggunakan katan ghazwah ( ‫) ﻏزوة‬, diartikan dengan peperangan yang

dipimpin oleh nabi, apabila peperangan yang dipimpin oleh panglima yang ditunjuk

oleh nabi dinamakan dengan sariyah ( ‫) ﺳرﯾﺔ‬, kalimat ini tidak kurang dari 48 kali .

sedangkan nabi sendiri memimpin peperangan ( ‫ ) ﻋزوة‬sebanyak tidak kurang dari 2

kali20

18 Departemen Agama, al-Qur’an dan… hlm. 94


19 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan... hlm. 90
20 A. Jazuli hlm. Fiqh Siyasah… hlm. 228
34

Kedua, kalimat saudara, dalam bahasa Arab kata ini di istilahkan dengan kata

“‫ ”اﺧو‬bentuk jamaknya ‫ اﺧوة‬atau ‫اﺧوان‬ 21 yang berarti (‫ ) اﻻخ ﻣن اﻟﻧﺳب‬saudara

karena nasab. Atau dapat juga diartikan dengan ( ‫ ) ﻣﻌروف‬diketahui atau di kenal .

sehingga makna ini berkembang menjadi kawan dan sahabat ‫وﻗد ﯾﻛون اﻟﺻدﯾق‬

(‫)واﻟﺻﺎﺣب‬22. . menurut Samin al-Halabi bahwa kata ‫ اﺧوان‬mencakup makna

persahabatan /teman sedangkan kata ‫ اﺧوة‬berarti saudara karena nasab23.

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat (sosiologis) biasanya kalima ( ‫ ) اﺧو‬ini

digunakan dalam bentuk masdarnya ( ‫ ) اﺧوة‬yang berarti “ persaudaran. ada

bebarapa ayat al-Qur’an yang menggunakan kalimat ini, diantaranya :

(10‫اﳕﺎ اﳌﺆﻣﻨﻮن اﺧﻮة ﻓﺎءﺻﻠﺤﻮا ﺑﲔ اﺧﻮﻳﻜﻢ واﺗﻘﻮاﷲ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﺮﲪﻮن )اﳊﺠﺮات‬


“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara, maka damaikanlah

diantara kedua saudaramu agar kalian mendapat rahmat ( Q.S. al-Hujurat : 10).24

Ketiga, kalimat Muslim, kalimat ini berasal dari kata ‫ اﺳﻠم‬yang berarti damai,

selamat, Kemudian kata ‫ ﻣﺳﻠم‬adalah berarti pelakunya (orang muslim atau orang

Islam) dari ketiga istilah perang saudara sesama muslim diatas, yang penulis maksud

dalam penelitian ini adalah peperangan yang dilakukan oleh individu atau kelompok,

golongan atau masyarakat muslim yang melakukan peperangan dengan sesama

kelompok, golongan atau atau individu muslim lainnya dengan permusuhan. Maka

dalam penelitian yang penulis maksud adalah kata yang menggunakan qital. maksud

permusuhan disini hanyalah apabila secara zahir tanda-tandanya telah tampak, maka

itulah yang disebut dengan peperangan, atau dalam istilah lain adanya bukti yang

21 Lihat Ibnu Mandzur, lisan al-Arab… hlm. 40


22 Ibnu Mandzur, Lisan al- Arab ( Al- Qahirah : 1119), Dar al- Ma’arif, hlm. 40
23 Ahmad bin Yusuf al-Ma’ruf bil- Samin al-Halabi, al- Durru al –Mashun fi ‘Ulumi al-Kitabi al-

Malknun, (Damsyik, Dar al-Qalam : tt), hlm. 9


24 Departemen Agama Republik Indonesia, Al- Qur’an dan… hlm. 369
35

menguatkan secara sungguh-sungguh akan mengadakan permusuhan. Makna bebas

ini menurut para ahli disebabkan bahwa secara nyata tidak a da peperangan yang

tidak menimbulkan permusuhan secara fisik25.

B. Variasi Perang Saudara Dalam Sejarah Islam

Dalam sejarah Islam, ada beberapa variasi perang sesama muslim yang pernah

terjadi diantaranya :

1. Perang antar sahabat, yaitu peperangan yang dilakukan oleh para sahabat nabi.

Ada beberapapa jumlah perang yang telah terjadi pada zaman sahabat pertama

perang jamal yaitu peperangan yang dilakukan oleh Aisyah, Thalhah dan Zubeir

berhadapan dengan pasukan yang dipimpin Ali bin Abi Thalib26. Kedua perang

Shiffin, yaitu peperangan yang mempertemukan tentara yang dipimpin oleh

Muawiyah bin abu Sofyan berhadapan dengan tentara yang dibawa oleh Ali bin

Abi Thalib27

2 Perang saudara sesama negara Islam, perang ini terjadi antara negara yang

memiliki dasar negara Islam, hukum yang diterapkan hukum Islam, penduduknya

mayoritas Islam. negara ini berdiri sendiri tanpa ada ikatan struktural, instruktif

maupun koordinatif dengan lawan perangnya. negara ini sama – sama memiliki

kekuasaan untuk mengatur negaranya masing-masing. Contoh peperangan

seperti ini seperti, perang teluk antara negara Iraq dan Iran dan perang Iraq

melawan Kuwait28

25 Muhammad Sa’id Ramdhan al-Buthi, al-Jihad fil-Islam, Kaifa Nafhamuhu wa-Kaifa Numarisuhu, (
Beirut : Dar al-Fikr, 1993), cet. Ke-1, hlm. 107
26 Abi Ja’far Muhammad bin Jarir Al- Thabari, Tarikh al-Thabari…. hlm. 532-534

27 Ibid ., 563-565

28 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Jihad…lm. 800


36

3. Perang antara negara Islam dengan kelompok separatis muslim dalam satu

negara, perang ini terjadi antara penguasa (pemerintahan) yang secara

konstitusional sah melawan penduduk atau masyarakat yang sah pula dalam

negara tersebut, di dalam beberapa kitab fiqh perang seperti ini disebut dengan

bughat (pemberontak).29 Peperangan ini terjadi biasanya karena adanya

perselisihan pandangan, ideologi, kesenjangan ekonomi, sosial, budaya dan

politik antara pemerintah dan rakyat yang dipimpinnya. Peperangan model ini

pernah terjadi hampir di seluruh negara yang telah merdeka.

4. Perang antara pemerintahan yang tidak berdasarkan hukum Islam tetapi

pasukannya terdiri dari orang-orang muslim melawan sekelompok pasukan yang

terdiri orang-orang beragama Islam (masyarakat muslim).

5. Peperangan antar negara muslim, peperangan ini terjadi antara dua negara yang

sama-sama tidak berdasarkan hukum Islam, namun penduduknya mayoritas

sama-sama muslim . Misalnya, terjadi peperangan antara negara Indonesia30

melawan negara Malaysia31

6. Peperangan antara penduduk muslim, perang ini terjadi antara penduduk yang

secara yuridis sama-sama sah menjadi penduduk di satu negara. Peperangan

29 Lihat, Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al- Ghazali yang kemudian dikenal

dengan al-Gazali, al- Wajiz fi-fiqhi al—imam al-Syafi’I, ( Libanon : Beirut : Syirkah dar-al-Arqam bin Abi al-
Arqam, 1997), cet. Ke-2, jilid ke-2, hlm 163
30 Yang dimaksud Indonesia sebagai negara muslim adalah Indonesia sebagai suatu negara yang

berpenduduk terbanyak beragama Islam. Hasil sensus tahun 1990 jumlah penduduk Indonesia adalah
179.321.641 jiwa.diperkirakan sedikitnya 85% beraama Islam. Lihat Muhammad Tahir Azhary, Negara
Hukum, suatu studi tentang prinsip-prisipnya, dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada negara
Madinah dan Masa Kini ( Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2003), cet. Ke- 3, hlm. 194
31Malaysia dan Konstitusinya tahun 1957 diubah pada tahun 1964 dengan tegas menyatakan

bahwa Islam menjadi agama resmi negara federasi. Konsekwensi logis dari ketentuan ini, adanya hubungan
antara federasi Malaysia sebagai negara agama Islam. Sehingga Malaysia tiak bisa disebut sebagai negara
sekuler. atau konsekwensi lebih jauh ajaran Islam an hukum Islam dianut dan harus dilaksanakan di federasi
Malaysia. Ibid., hlm. 215
37

seperti ini bisa saja terjadi antar kelompok masyarakat yang beragama Islam di

satu negara, atau perang antar suku yang warganya beragama Islam seperti

perang Paderi, bisa juga terjadi peperangan antar organisasi Islam di satu negara,

Perang model ini terjadi dikarenakan adanya fanatisme satu kabilah

dengan kabilah lain, atau satu wilayah dengan wilayah lain. Setiap kelompok

bersikap fanatik terhadap kabilah, suku, atau wilayahnya dalam menghadapi

kelompok lain yang berbeda.32.

C. Faktor – faktor terjadinya perang saudara

Perang adalah sesuatu yang tidak disukai manusia. Begitu juga al-Qur’an, ketika

menyebutkan perintah perang al-Qur’an sudah menggarisbawahi bahwa perang

merupakan sesuatu yang sangat dibenci oleh manusia.

Dalam sejarah sampai masa kini peperangan terjadi disebabkan beberapa

dimensi, diantaranya : gesekan bidang politik, sosio - ekonomi, etnis, dan pemahaman

keagamaan. Dapat di ambil beberapa contoh faktor terjadinya perang saudara sesama

muslim :

1. Dimensi politik dan kekuasaan , peperangan seperti ini dipengaruhi oleh keinginan

suatu negara untuk menguasai negara lain dengan cara memperluas (ekspansi)

kekuasannya ke wilayah negara tetangga. seperti invasi Iraq ke Kuwait33 perang

ini bertujuan demi kekuasaan dengan memusuhi negara lain yang lebih lemah dan

jumlah pasukannya lebih sedikit.

Termasuk peperangan demi kekuasaan adalah yang tarjadi antara kelompok-

kelompok jihad Afganistan setelah kemenangan mereka atas Uni Soviet. Orang-

32 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Jihad… hlm. 798


33 Peperangan ini di mulai pada pada tanggal 10 Muharram 1411 bertepatan pada tanggal 2
Agustus 1990, lihat, Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Jiha...hlm. 798
38

orang yang semula bersaudara dalam berjihad dan berteman dalam memanggul

senjata, kini menjadi musuh yang berperang satu sama lain, saling

menghancurkan dengan roket dan memperlakukan negara mereka sendiri seperti

yang pernah dilakukan oleh pasukan Rusia34.

Pada dasarnya dalam sejarah Islam benih-benih perang saudara sudah

pernah muncul sejak awal kelahiran Islam ketika kaum muhajirin dan anshor

berebut kekuasaan siapa pengganti Rasulullah pasca kewafatannya untuk

memimpin kaum muslimin35 .

Lebih lanjut terbunuhnya Usman ibn Affan, terjadinya perang Siffin,

terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, pembantaian di Karbala, terjadinya perang antara

negara Iraq-Iran36 merupakan contoh – contoh perang saudara dan pembunuhan

akibat motivasi politik dan kekuasaan

2. Dimensi sosio - ekonomi, peperangan ini terjadi karena adanya gejolak sosial,

gejolak seperti ini karena adanya kesenjangan ekonomi yang akhirnya melebar

menjadi kesenjangan kehidupan masyarakat. misal, lahirnya Gerakan Aceh

Merdeka (GAM) yang memberontak pemerintah Republik Indonesia berawal

adanya kesenjangan ekonomi antara masyarakat Propinsi Aceh di banding

dengan propinsi lain. Padahal masyarakat Aceh ikut berperan besar dalam

berjuang merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah. Kesenjangan

34
Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Jihad… hlm. 799
35 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo: 2004), cet. Ke-16, hlm. 34
36 Diantara sebab terjadinya perang saudara antara negara Iraq dan Iran adalah perama, kedua

negara ini sama-saa ingin menjadi pemimpim bangsa-bangsa Arab kedua, adanya persaingan dalam
memperebutkan sahaft al-Arab ( jalur strategis yang memisahkan antara Iraq dan Iran menuju teluk persia.
Ketiga, timbulnya kekhawatiran negara – negara Barat yang memilki kepentingan terhadap negara-negara
Timur Tengah terhadap revolusi Islam di Iran jika merembet ke negara Timur tengah lainnya, hingga Barat
mendekati Iraq. Hal ini yang memicu kebencian Iran terhadap Iraq. Keempat, adanya ketidak senangan
negara Iraq terhadap kebangkitan kaum Syi’ah yang berjumlah 40% tinggal di Iraq, karena hal ini akan
mengganggu stabilitas politik Iraq http://www.globalsecurity.org/military/world/war/iran-iraq.htm
39

dalam bidang ekonomi ini kemudian melebar menjadi gejolak sosial berupa

kebencian GAM terhadap pendatang dari suku lain yang hidupnya lebih sejatera

di Aceh37

3. Dimensi fanatisme, bentuk perang ini seperti perang satu kabilah dengan kabilah

lain , satu suku dengan suku lain atau satu wilayah dengan wilayah lain. Setiap

kelompok bersikap fanatik terhadap kabilah, suku, atau wilayahnya dalam

menghadapi kelompok yang berbeda38

Seperti inilah peperangan bangsa Arab pada masa jahiliyyah, antara suku

kabilah dengan kabilah lain. Dalam peperangan tersebut anggota kabilah

membela kabilahnya tanpa peduli apakah demi kebenaran atau kebatilan. Dalam

hal itu, mereka menyambut semua seruan ketua kabilah dalam keadaan salah

maupun benar. Slogan yang mereka gunakan adalah “ bela saudaramu, baik yang

menzalimi maupun yang di zalimi “. menurut pengertian lahiriahnya sebelum

Rasulullah saw mengubah pemahamannya ( kamu membela yang membuat zalim

dengan mencegahnya dari kezaliman dan itulah pembelaan kepadanya39 )

4. Dimensi sektarian dalam beragama, bentuk lain perang antara kaum muslimin

adalah atas dasar sektarian ( mazhab) – sebagaimana yang terjadi di Iraq terjadi

peperangan antara Sunni dan Syi’ah40. di bawah kekuasaan pendudukan Amerika

Serikat terhadap Iraq, fitnah sektarian meluas, cengkramannya menguat,

37 Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipya Dilihat dari Sei

Hukum, Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah Dan Masa Kini, ( Jakarta : Kencana
Prenada Group, 2003), cet. Ke-3, hlm. 194
38 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Jihad…hlm. 798
39
Ibid., hlm. 798
40 Ibid., hlm. 804
40

keganasannya meningkat, kobarannya membesar dan pendudukan brutal

menyuburkannya

Peperangan bentuk ini juga sering terjadi karena adanya perbedaan dalam

memahami teks ayat al-Qur’an dan hadits. Atau berbeda cara pandang antara

satu organisasi keagamaan dengan organisasi keagamaan lainnya. Banyak

kejadian seperti ini baik pada masa lampau hingga kini. Sejak terjadinya proses

tahkim (arbitrase) antara kelompok Ali dan Muawiyah telah melahirkan kelompok –

kelompok aliran teologi Islam41. Sejak itu sering terjadi konflik antar aliran teologi

yang tidak jarang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang

Contoh lain, lahirnya beberapa mazhab fiqh menimbulkan muqalidun ( para

pengikut mazhab) yang merasa mazhab yang dianut itulah yang paling benar dan

mengangnggap mazhab lain salah42. Hal ini menimbulkan konflik antar pengikut

mazhab. Begitu juga sering terjadi konflik antara pengusung Islam moderat yang

menjunjung tinggi pluralitas berlawanan z

D. Dampak terjadinya perang saudara

Perang memiliki dampak yang sangat besar, terutama dari segi kemudharatannya

meskipun peperangan tersebut dilaksanakan dengan alasan demi kemaslahatan umat.

41 Terjadinya proses tahkim, merupakan tonggak awal perpecahan umat Islam. Ketika kelompok Ali

mengalami kekalahan dalam perundingan dengan kelompok Muawiyah. setelah itu kelompok Ali terpecah
menjadi dua kelompok yaitu Sy’iah ( yang tetap setia kepada Ali) dan Khawarij (kelompok yang keluar dari
barisan Ali). Setiap kelompok ini memiliki cara pandang keagamaan yang berbeda. Mula-mula konflik ini
hanya bersifat politis namun melebar menjadi konflik teologis, diantara pemhaman teologi tersebut adalah
lairnya kelompok Khawarij yang memakai slogan : ) ‫ ( وﻣﻦ ﱂ ﳛﻜﻢ ﲟﺎ اﻧﺰل اﷲ ﻓﺎؤﻟﺌﻚ ﻫﻢ اﻟﻜﺎ ﻓﺮون‬barangsiapa yang
tidak berhukum dengan apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafi)r
Muhammad Iqbal, Fiqh siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, ( Jakarta : Gaya Media Pratama,
2001) cet. ke-1, hlm. 79. Lihat juga Harun Nasution, Teolgi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan
(Jakarta : UI Pres, 2008), cet. Ke-5, hlm. 7-8
42
Syekh Muhammad Ali as-Sayis, Sejarah Pembentukan Dan Perkembangan Hukum Islam (
Jakarta : Akademika Presindo : 1996), cet. I, hlm. 182. Lihat juga Khudhari bik, Tarikh al-Tasyri’ al- Islami, (
Surabaya : al-Hidayah, tt), hlm. 326-329
41

sejarah menccatat bahwa hampir tidak ada sebuah peperangan yang tidak mengakibatkan

kerusakan, baik dari segi material maupun psikologis.

Dalam konteks ini penulis hanya memaparkan akibat perang saudara sesama muslim

dari segi rusaknya sendi-sendi maqashid al-syari’ah al-dharuriyyah43 :

1. Terbunuhnya jiwa, dalam peperangan hal pertama yang paling terancam adalah

jiwa. Karena dalam perang merebut kemenangan, ambisi, tujuan perang biasanya

harus diiringi dengan pembunuhan. Jarang ditemui dalam peperangan yang tidak

ada pembunuhan, bahkan peperangan yang dilaksanakan dengan alasan

kemaslahatan, demi keadilan, pembebasan yang tertindas, kepentingan

demokrasipun semuanya dilaksanakan diiringi pembunuhan. Maksud

terbunuhnya jiwa bukan hanya sekedar hilangnya nyawa, namun dalam makna

perusakan secara umum yang dapat mengakibatkan kematian44

2. Hilangnya akal, perang dapat meluluhkanlantakkan barang-barang yang

berharga, jiwa, harta, keluarga, dan nyawa bisa musnah sekaligus. Abdul Majid

Najjar membagi cara memelihara akal menjadi dua, yaitu secara materi dan

maknawi. Secara materi manusia dilarang merusak otak dan urat saraf yang

menjadi alat tersimpannya akal. Sedangkan secara maknawi cara menjaga akal

adalah bagaimana meningkatkan kemampuan akal berfungsi secara maksimal.

Diantaranya dengan pendidikan dan kebebasan berfikir 45 terutama dari segi

maknawi perang dapat mengakibatkan ketidakmaksimalan seseorang

43 Para ushuliyyun membagi Maqashid al-syari’ah menjadi tiga tingkatan, pertama, maqashid al-
syari’ah al-dharuriyyah, kedua, maqashid al-syari’ah al-hajiyah, ketiga, maqashid al-syari’ah al-tahsiniyyah.
Lihat Muhammad Taqiyuddin al-Syatibi, Al-Muwafaqat…hlm.
44 Jamaluddin ‘Athiyah, Nahwa Taf’il Maqashid al-Syari’ah ( Suriah: Dar al-Fikri, tt), hlm. 142

45 Abd. Majid al-Najar, Maqashid al-Syari’ah…op. cit,


42

menfungsikan akalnya. karena terancamnya pendidikan dan terimtimidasinya

pemikiran.

3. Hilangnya keturunan, Keturunan atau anak secara idividu merupakan hak dan

kebanggaan orang tua, namun secara umum keturunan merupakan aset umat46,

penerus perjuangan baik untuk kepentingan bangsa maupun Islam, oleh sebab

itu nasab dalam agama dijaga keberadaannya secara ketat, baik cara

mendapatkannya maupun cara menjaganya ketika masih anak.- anak. Maka, di

dalam Islam dilarang merusak keturunan (nasab) secara mental seperti

mendapatkan anak dengan cara berzina, karena akan mmpengaruhi mental anak

ketika di masyarakat, maupun secara fisik seperti menghilangkan jiwa ketika

masih kecil.

Perang merupakan sebuah peristiwa yang berpotensi dapat menghilangkan

eksistensi anak (keturunan), mengingat anak adalah orang yang paling lemah

fisiknya dan paling rawan terkena imbasnya ketika dalam keadaan perang.

Ditambah lagi perang dapat menimbulkan kebencian dan balas dendam, maka

tidak jarang dalam perang, untuk menghilangkan adanya balas dendam anak atau

keturunannyapun ikut dibunuh

4. Hancurnya harta benda. tidak terlalu salah jika ada salah satu statemen yang

mengatakan, “peperangan tidak akan melahirkan kebaikan, sebaliknya

peperangan hanya menyisakan kesengsaraan”. Dalam kenyataannya perang

hanya berakibat buruk terhadap tata kehidupan masyarakat baik secara personal

maupun kelembagaan. Peradaban yang telah dibangun ribuan tahun hancur

46 Ibid., hlm.
43

berekeping-keping karena perang. Begitulah salah satu proses hancurnya

peradaban Islam. perang saudara yang sering terjadi mengakibatkan kekhalifahan

Islam runtuh.47

5. Merusak agama, agama dapat dijalankan secara sempurna apabila suatu negara

dalam keadaan aman, harmonis, pemeluknya tidak merasa terancam

keselamatannya dalam melaksanakan syari’at Islam. Makanya banyak tokoh yang

berpendapat bahwa mendirikan negara Islam atau khilafah Islamiyyah merupakan

sebuah kewajiban karena bentuk negara Islam akan menjadi wasilah dalam

menjalankan syari’at Islam secara utuh.48

6. Perpecahan umat, dalam sejarah pekembangan peradaban Islam bahwa

keruntuhan kekhalifahan Islam di mulai dari ketidakstabilan politik dalam negeri,

sehingga musuh Islam bisa sangat mudah mengahncurkan umat Islam. Begitulah

yang terjadi pada kehancuran khalifah Bani Umayyah, karena berdirinya khalifah

melaui proses perebutan kekuasaan, konflik dan pertumbuhan darah terhadap

keluarga bani Hasyim49. Maka tumbuh kebencian bani Hasyim kepada bani

Umayyah, setidaknya ada motivasi kebencian keturunan al-Abbas ibn Abi

Muthalib membentuk kekuatan baru untuk mengambil alih kekuasaan bani

Umayyah, bani Hasyim tidak pernah memaafkan kesalahan mereka karena telah

47 Kekhalifahan Islam mencapai tingkat kemajuan pada saat peradaban Eropa mengalami

kegelapan (dark age). Bani Abbasyiah mempunyai peran yang sangat besar pada saat itu, pada zaman ilmu
pengetahuan berkembang pesat dan melahirkan para tokoh menurut bidang yang ditekuni. Namun semua
hancur ketika perang saudara muncul antara pasukan mongol yang dipimpin Jenis Khan melawan
kekhalifahan Abbasyah . bangsa Mongol menghancurkan setiap peradaban Islam yang dilaluinya. Lihat Badri
Yatim, Sejarah Peradaban… hlm. 111
48 Abdul Majid al-Najjar, Maqashid al-Syari’ah bi ‘Ib’adi Jadidah, (Beirut : Dar al- Gharb al-Islami,

2006), cet. Ke-1, hlm. 72


49 lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, ( PT. Raja Grafindo Persada,

2004), cet. Ke-4, hlm. 49


44

membunuh Ali dan Husain50. Ternyata kekuatan ini mendapat dukungan dari bani

Hasyim, golongan Syi’ah dan Khawarij untuk menggulingkan bani Umayyah

Begitu juga kehancuran bani Abbas

E. Etika perang dalam al-Qur’an dan Hadits

Didalam Islam perang menjadi sebuah kewajiban ketika umat Islam terdesak dan

tidak ada jalan lain untuk berdamai kecuali melakukan peperangan tersebut, namun

demikian Islam telah mengatur aturan baku dalam peperangan, bahwa tidak semua boleh

diperangi ketika dalam peperangan, diantara orang-orang yang dilarang untuk diperangi

adalah :

1. Di larang membunuh anak-anak

Dalam kasus ini Rasulullah pernah ditanya sahabat, mengapa di larang

membunuh anak-anak musyrik? Nabi menjawab, bukankah kamu juga dahulu anak-

anak orang-orang musyrik51 Begitu juga dalam sebuah hadits Rasulullah melarang

anak-anak untuk mengikuti perang di medan perang.

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻳﻌﻘﻮب ﺑﻦ اﺑﺮاﻫﻴﻢ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳛﻲ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﻋﻦ ﻋﺒﻴﺪاﷲ ﻗﺎل اﺧﱪﱐ ﻧﺎﻓﻊ ﺑﻦ اﺑﻦ‬
‫ﻋﻤﺮ رﺿﻰ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ان اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳﻮم اﺣﺪ وﻫﻮ اﺑﻦ ﻋﺸﺮة ﺳﻨﺔ ﻓﻠﻢ‬
52
‫ﳚﺰﻩ وﻋﺮﺿﻪ ﻳﻮم ا ﳋﻨﺪق وﻫﻮ اﺑﻦ ﲬﺲ ﻋﺸﺮة ﺳﻨﺔ ﻓﺎﺟﻠﺰﻩ‬

“Dari Ibn Umar ra. Sesungguhnya Nabi melarangku untuk ikut berperang,

sementara umurku 14 tahun, dan pada perang khandak di mana aku berumur 15 tahun,

aku dizinkan untuk ikut berperang”

50 Philip K. Hitti, Histor…hlm. 352


51 A. Jazuli, Fiqh Siyasah... hlm. 231
52
Abû Abdullâh Muhammad Ibn Ismâil Ibn Ibrâhîm Ibn Mughîrah al-Bukhâri, Shahih Bukhori,
Beirut: Dâr al-Qalam, 1987, hlm. 3788
45

Pelarangan anak untuk berlaga di medan perang, tentunya disebabkan oleh

penghormatan terhadap anak-anak di masa depan.

2. Di larang membunuh perempuan yang tidak ikut berperang, hamba sahaya tidak boleh

ikut perang. Sebaliknya Islam juga melarang menjadikan mereka asebagai perisai

perang.

‫ﺑﻨﺖ ﻃﻠﺤﺔ ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ام اﳌﺆﻣﻨﲔ ﻋﻨﺎﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﺳﺎءﻟﻪ ﻧﺴﺎءﻩ ﻋﻦ‬
53
‫اﳉﻬﺎد ﻓﻘﺎل ﻧﻌﻢ اﳉﻬﺎد اﳊﺞ‬
“Bercerita kepadaku Sufyân, dari Muawiyah demikian, dari Habîb bin Abî

‘Amîrah dari ‘Aisyah binti Thalhah dari Aisyah Ummil Mukminîn. Ketika istri Nabi

bertanya kepada Nabi tentang jihad, Nabi bersabda Sebaik-baik jihad adalah Haji”.

Hadits ini melarang seorang perempuan ikut berperang di medan perang,

karena sesungguhnya perang itu urusan para laki-laki. Menurut Hadits yang

diriwayatkan Aisyah, beliau memohon izin kepada Nabi untuk ikut berperang namun

Nabi bersabda bahwa ibadah haji itu lebih baik dari pada perang di jalan Allah

3. Tidak memotong dan merusak pohon-pohon, sawah dan ladang, hal ini semakna

dengan al-Qur’an surat al-Baqarah : 20

‫واذا ﺗﻮﱃ ﺳﻌﻰ ﰱ اﻻرض ﻟﻴﻔﺴﺪ ﻓﻴﻬﺎ وﻳﻬﻠﻚ اﳊﺮث واﻟﻨﺴﻞ واﷲ ﻻ ﳛﺐ اﻟﻔﺴﺎد‬
(205 : ‫)اﻟﺒﻘﺮة‬
“Dan apabila berpaling dia berusaha di muka bumi untuk membuat kerusakan,

menghancurkan tanaman dan binatang ternak ( al-Baqarah : 20)”54

53
Imâm Hafîdz Abû Fadl Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Hajar al-Asqalâni,
Fath al-Bâri bi Shahîh al-Bukhâri, hadits no. 2663.
46

Ayat diatas melarang membunuh binatang ternak, sapi domba, merusak tanaman

kecuali untuk dimakan, tujuan ayat ini adalah supaya manusia tetap memelihara

lingungan

4. Dilarang mencincang-cincang mayat musuh bahkan bangkai binatangpun tidak boleh

dicincang

5. Tidak menghancurkan gereja, biara dan rumah-rumah ibadah, hal ini juga tersirat

dalam al-Qur’an surat al-Hajj ayat 40

‫وﻟﻮ ﻻ دﻓﻊ اﷲ اﻟﻨﺎس ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺑﺒﻌﺾ ﳍﺪﻣﺖ ﺻﻮاﻣﻊ وﺑﻴﻊ وﺻﻠﻮات وﻣﺴﺎﺟﺪ‬
(40 ) ‫) اﳊﺞ‬
“Dan sekiranya Allah tidak menolak keganasan sebagian manusia terhadap

yang lain, pasti teah dirobohkan, biara-biara, gereja-gereja, dan mesjid-mesjid ( Q.S.

Al-Hajj : 40)’55

6. Dilarang membunuh para pendeta dan pekerja yang tidak ikut berperang, karena

pekerja itu adalah orang yang lemah yang ada dibawah tindasan dan pemerasan

penguasa yang diutus, juga dilarang membunuh tentara yang luka atau tidak melawan

7. Bersikap sabar, berani dan ikhlas dalam melakukan peperangan membersihkan niat

dari mencari keuntungan duniawi

8. Tidak melampui batas, dalam arti batasan-batasan aturan hukuman moral dalam

peperangan, karena Allah di dalam al-Qur’an berulang kali menyatakan “ Allah tidak

menyukai orang-orang yang melampui batas”56

54 Departemen Agama RI, Qur’an dan..hlm. 4


55 Ibid., hlm. 337
56 Jazuli, Fiqih Siyasah…hlm. 233
47

Didalam rincian selanjutnya memang terjadi perbedaan –perbedaan pendapat di

kalangan para fuqaha terutama dalam melakukan aturan-aturan atau penerapan

hukumnya ( tathbiq al- ahkam)57

F. Perang Saudara dalam Al-Qur’an dan tafsirnya

Al-qur’an juga menyatakan bahwa boleh jadi dibalik sesuatu yang tidak disukai itu

terdapat kebaikan yang tidak diketahui manusia. Sebaliknya, boleh jadi pula, sesuatu yang

disenangi manusia ternyata membawa petaka bagi hidup mereka. Di dalam al-Qur’an

dijelaskan :

‫ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻴﻜﻢ اﻟﻘﺘﺎل وﻫﻮ ﻛﺮﻩ ﻟﻜﻢ وﻋﺴﻰ ان ﺗﻜﺮﻫﻮا ﺷﻴﺌﺎ وﻫﻮ ﺧﲑﻟﻜﻢ وﻋﺴﻰ ان ﲢﺒﻮا‬
(216 : ‫ﺷﻴﺌﺎ وﻫﻮ ﺷﺮﻟﻜﻢ واﷲ ﻳﻌﻠﻢ واﻧﺘﻢ ﻻﺗﻌﻠﻤﻮن ) اﺑﻘﺮة‬

“Diwajibkan atas kamu berperang, sedangkan kamu membencinya, boleh jadi,

sesuatu yang kamu benci, padahal ia baik bagimu, dan boleh jadi pula sesuatu yang kamu

cintai, padahal ia buruk bagimu. Dan Allah maha mengetahui sedangkan kamu tidak. (al-

Baqarah : 216)”58

Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa sesungguhnya perang itu dibenci oleh

Allah dan manusia, karena akibat perang adalah pembinasaan nyawa umat manusia. Tak

dapat dipungkiri bahwa akibat peperangan akan bergelimang kekerasan dan

kesengsaraan. Padahal pesoalan nyawa adalah persoalan krusial dalam kehidupan di

dunia ini, oleh sebab itu peperangan hanya boleh dilaksanakan ketika terpaksa59.

57 Ibid., hlm. 233,


58Departemen Agama RI, Qur’an dan..hlm. 43
59 Taufiq Ali Wahbah, Al-Jihâd fî al-Islâm (Riyadz:Dâr al-Liwa, 1981), hal. 39.
48

Kebebasan ini memberikan keleluasaan bagi umat manusia untuk melaksanakan

dan mempertahankan sesuai dengan yang dikehendaki dan sesuai dengan norma-norma

ajaran Islam yang tetap mengedepankan ukhuwah meskipun dalam kondisi perang.

Allah swt memberikan solusi bagaimana seharusnya cara menyelesaikan

perselisihan jika terjadi sesama muslim :

‫وان ﻃﺎﺋﻔﺘﺎن ﻣﻦ اﳌﺆﻣﻨﲔ اﻗﺘﺘﻠﻮا ﻓﺎﺻﻠﺤﻮا ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﻓﺎن ﺑﻐﺖ اﺣﺪاﳘﺎ ﻋﻠﻰ اﻻﺧﺮى‬
‫ﻓﻘﺎﺗﻠﻮ اﻟﱵ ﺗﺒﻐﻰ ﺣﱴ اﱃ اﻣﺮاﷲ ﻓﺎءن ﻓﺎءت ﻓﺎءﺻﻠﺤﻮا ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺑﺎﻟﻌﺪل واﻗﺴﻄﻮا ان اﷲ‬
(9 : ‫ﻻ ﳛﺐ اﳌﻘﺴﻄﲔ ) اﳊﺠﺮات‬
“Jika dua kelompok yang saling berperang, maka damaikanlah antara keduanya,

jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap yang lain, maka tindaklah

kelompok yang berbuat aniaya sehingga kembli kepada perintah Allah, jika ia telah

kembali maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah,

sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil ( al-Hujurat : 9)” 60

Ayat ini memerintahkan supaya berlaku baik antara sesama orang muslim61

menurut al-Thabari kalimat ‫ وان ﻃﺎﺋﻔﺘﺎن‬menunjukkan arti orang yang beriman yang saling

berperang. Maka kewajiban orang-orang yang beriman untuk menjadi penengah

memperbaikinya supaya kembali kepada hukum Allah, dengan penuh kerelaan. Dan

dalam ayat ini juga orang yang memperbaiki harus dengan keadilan62 Ayat diatas

menggunakan kata (‫) ان‬. ini untuk menunjukkan, bahwa pertikaian antara kelompok orang

yang beriman sebenarnya diragukan atau jarang terjadi. Bukankah mereka orang-orang

yang memiliki iman yang sama sehingga tujuan mereka pun seharusnya sama?

60 Departemenen Agama RI, Al- qur’an dan…hlm 243


61 Ibnu Katsir, Tafsir al- Qur’an al-‘Adzim, ( Mesir, tt), jilid ke- 4, cet. Ke-1,hlm. 132
62 Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an (Qahirah :

Maktabah Ibnu Taymmiyyah, tt), jilid ke-8, hlm. 292


49

Kata ‫ اﻗﺗﺗﻠوا‬terambil dari kata qatala. Dapat berarti membunuh, berkelahi atau

mengutuk. Karena itu kalimat ‫ اﻗﺗﺗﻠوا‬ini tidak harus diartikan berperang atau saling

membunuh. ia bisa juga diartikan dengan berkelahi atau bertengkar dan saling memaki.

Dengan demikian perintah ‫ ﻓﻘﺎﺗﻠوا‬pada ayat diatas tidak tepat jika langsung diartikan

dengan perangilah. Karena memerangi boleh jadi merupakan perbuatan yang terlalu besar

dan jauh. Terjemahan yang lebih netral dalam konteks ini adalah tindaklah. Di sisi lain,

penggunaan bentuk kata kerja masa lampau di sini, tidak juga harus dipahami arti telah

melakukan hal itu, tetapi dalam arti hampir melakukannya. Dengan demikian ayat diatas

menuntun kaum beriman agar segera turun tangan dan wajib melakukan perdamaian

begitu melihat tanda – tanda perselisihan nampak di kalangan mereka63.

Kata ‫ اﻗﺗﺗﻠوا‬berbentuk jamak, sedang ‫ طﺎﺋﻔﺗﯾن‬berbentu dual, sepintas mestinya kata‫ا‬

‫ اﻗﺗﺗﻠوا‬berbentuk dual juga. Tetapi tidak demikian kenyatannya. Hal tersebut menurut

sementara pakar, disebabkan karena jika terjadi perkelahian atau peperangan antara dua

kelompok, maka masing-masing kelompok melakukan perkelahian atau peperangan yang

tentunya ketika itu berjumlah lebih dari dua orang. Namun sebelum terjadinya perkelahian

atau peperangan begitu juga setelah berhentinya, maka seluruh anggota yang terlibat

kembali ke kelompoknya. Dengan demikian mereka hanya terdiri dari dua kelomok saja 64.

Kata ‫اﺻﻠﺣوا‬ terambil dari kata ‫ اﺻﻠﺢ‬yang asalnya adalah ‫ﺻﻠﺢ‬, yang berati

‫( ﺿﺪاﻟﻔﺴﺎد‬lawan dari kerusakan) atau ‫ ( ﻧﻘﯿﺾ اﻟﻔﺳﺎد‬memutus kerusakan) 65. Dengan

demikian kata ‫ ﺻﻠﺢ‬dapat diartikan tiadanya atau terhentinya kerusakan atau diraihnya

manfaat, sedang ( ‫ ) اﺻﻼح‬adalah upaya menghentikan kerusakan atau meningkatkan

63 Lihat Said Thantowi, juz I hlm. 3936. Lihat juga Qurays Syihab, Tafsir al- Misbah…hlm.
64M. Qurays Syihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an, ( Tangerang : PT.
Lentera Hati, 2007), cet. Ke-8, hlm. 244
65 Ibnu Mandhur, Lisan al- Arab, ( Dar al-Ma’arif ), hlm. 230
50

kualitas sesuatu sehingga menfaatnynya lebih banyak lagi. Maka dapat diambil

kesimpulan, jika hubungan antar dua pihak retak atau terganggu, maka menjadi kerusakan

dan hilang atau paling tidak akan berkurang kemanfaatan yang dapat diperoleh dari

mereka. ini menuntut adanya islah yakni perbaikan agar keharmonisannya pulih, dengan

demikian terpenuhi nilai-nilai bagi hubungan sesama manusia66. Dalam menegakkan

kebaikan (Islah) diantara orang yang bertikai ada beberapa prinsip yang harus dibangun

dan ditegakkan dalam kehidupan sesama muslim diantaranya keadilan (al-adalah),

kejujuran (al-amanah), persamaan (al-musawah), persaudaraan (al-ukhuwah) dan

persatuan ( al-wahdah). Makanya setiap ada potensi konflik wajib diupayakan utuk

dikembalikan sedapat mungkin ke dalam prinsip-prinsip dasar tersebut, yang dikatakan

dengan sebutan ishlah. Apabila dalam islah tersebut menemui jalan buntu, maka dapat

diambil jalan tegas67

Ayat tersebut dilanjutkan dengan ‫ﻓﺎن ﺑﻐﺖ اﺣﺪاﳘﺎ ﻋﻠﻰ اﻻﺧﺮى ﻓﻘﺎﺗﻠﻮاﻟﱴ ﺗﺒﻐﻰ ﺣﱴ ﺗﻔﻴﺊ اﱃ اﻣﺮاﷲ‬

menunjukkan supaya pelaku peperangan (Bughat) kembali kepada perintah Allah,

mendengarkan seruan kebenaran dan mengikutinya68. Apabila telah kembali maka

diwajibkan diperlakukan secara lembut, diterima ishahnya, menghentikan peperangan dan

antara kelompok yang bertikai dipertemukan kemudian ditetapkan secara adil 69. Dalam

ayat seterusnya berbunyi :

(10) ‫ واﺗﻘﻮا ﷲ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﺮﲪﻮن‬.‫اﳕﺎ اﳌﺆﻣﻨﻮن اﺧﻮة ﻓﺎﺻﻠﺤﻮا ﺑﲔ اﺧﻮﻳﻜﻢ‬

66 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Wajiz ( Damsyik : Dar-al-fikr, tt), hlm. 517


67 Maksud jalan tegas disini adalah dengan jalan pemaksaan hingga dengan peperangan supaya
kembali kepangkuan ukhuwah Islamiyyah. Lihat, Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir -bi- al-
Ma’tsur, ( Qahirah : Markaz Hajar li-al-Buhuts wa-al-irasah al-‘Arabiyyah wa-al-Islamiyyah, 2003), cet. Ke-1,
hlm. 560
68 Lihat al-Thabari, Tafsir al-Thabari… hlm. 292

69 Said Thahawi, juz. 1, hlm. 3936


51

“Sesungghnya orang-orang mukmin adalah bersaudara , karena itu damaikanlah

antara kedua saudara kamu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat

rahmat (10)70

Kata ( ‫ ) اﻧﻤﺎ‬digunakan untuk membatasi sesuatu. Disini kaum beriman dibatasi

hakekat hubungan mereka dengan persaudaraan. Seakan-akan tidak ada jalinan

hubungan antar mereka kecuali hubungan persaudaran tersebut. Kata ( ‫ ) اﻧﻤﺎ‬biasa

digunakan unuk menggambarkan sesuatu yang telah diterima sebagai suatu hal yang

demikian itu adanya dan telah diketahui oleh semua pihak secara baik. Penggunaan kata (

‫ ) اﻧﻤﺎ‬dalam konteks penjelasan tentang persadaraan sesama mukmin ini, mengisyaratkan

bahwa semua telah megetahui secara pasti bahwa kaum beriman bersaudara, sehingga

semestinya tidak terjadi dari pihak manapun hal-hal yang mengganggu persaudaraan itu71.

Kata ‫ اﺧﻮة‬adalah bentuk jamak dari kata ( ‫ ) اخ‬yang dalam kamus-kamus bahasa

Arab sering diterjemahkan dengan saudara atau sahabat. Kata ini pada mulanya berarti

sama. Persamaan dalam garis keturunan mengakibatkan persaudaraan, demikian juga

persamaan dalam sifat atau bentuk apapun. Persamaan kelakuan pemboros dengan

saudara syaithan, persamaan dalam kesukuan atau kebangsaanpun mengakibatkan

persaudaraan. ada juga persaudaraan kemakhlukan, seperti ketika nabi Muhammad saw

menamakan jin adalah saudara – saudara manusia. Beliau melarang menjadikan tulang

sebagai alat istinja’ karena itu adalah makanan saudara –saudara dari jenis jin. Beliau

melarang menjadikan tulang sebagai alat istinja’ karena itu adalah makanan saudara-

saudara kamu dari jenis jin

70Departemen Agama RI, al- Qur’an dan… hlm. 352


71 Qurays Syihab, Tafsir al-Misbah…hlm. 248
52

Kata ‫ اخ‬yang berbentuk tunggal ini, bisa juga dijamak ‫ اﺧوان‬. bentuk jamak ini

biasanya menunjuk pada persaudaraan yang bukan sekandung. Berbeda dengan kata

‫اﺧﻮة‬ yang terulang sebanyak tujuh kali dalam al-Qur’an, kesemuanya digunakan

untuk menunjuk persaudaraan seketurunan, kecuali surat al-Hujurat diatas. Hal ini

mungkin untuk mengisyaratkan bahwa persaudaraan yang terjadi sesama muslim, adalah

pesaudaraan yang dasarnya ganda, sekali atas dasar keimanan dan sekali persaudaraan

berdasarkan seketurunan. Walaupun yang kedua ini bukan pengertian yang hakiki. Oleh

karena itu tidak ada alasan untuk memutuskan persaudaraan itu72

Kata ‫ اﺧﻮة‬adalah bentuk dual dari kata ( ‫ ) اخ‬pengunaan bentuk dual disini untuk

mengisyaratkan bahwa jangankan banyak orang, dua pun, jika mereka berselisih harus

diupayakan ishlah antar mereka, sehigga persaudaraan dan hubungan harmonis mereka

terjalin kembali73 . karena pada tataran normatif terciptanya kehidupan yang damai di

kalangan umat manusia adalah dharuriyyah74.

Ayat diatas menggunakan kata (‫) ان‬. ini untuk menunjukkan, bahwa pertikaian

antara kelompok orang yang beriman sebenarnya diragukan atau jarang terjadi. Bukankah

mereka orang-orang yang memiliki iman yang sama sehingga tujuan mereka pun

seharusnya sama75?

Namun dalam perjalanan kehidupan manusia sering terjadinya penyimpangan nilai-

nilai ukhuwah, oleh sebab itu untuk merelaisasikan maksud persatuan dan kesatuan

tersebut diperlukan ijma’ siyasi (konsensus atau kesepakatan) yang menuju kepada

kemaslahatan bersama. dan apa saja yang telah disepakati harus didahulukan dari pada

72 M. Qurays Dyihab, Tafsir al-Misbah..hlm 248


73 Ibid., 249
74 A. Jazuli, Fiqh Siyaas…hlm. 405
75 Qurays Syihab,Tafsir al-Misbah..248
53

perbedaan-perbedaan yang ada, sesuai dengan kaedah : ‫اﻟﻣﺗﻔق ﻋﻠﯾﮫ ﻣﻘدم ﻋﻠﻰ اﻟﻣﺧﺗﻠف ﻓﯾﮫ‬

(kesepakatan yang telah disepakati harus di dahulukan dari perbedaan – perbedaan yang

ada76

G. Perang saudara dalam hadits dan sarahnya

Diantara hadits hadits Rasulullah yang menyatakan seseorang dilarang berperang

sesama muslim, diantaranya :

: ‫إذا اﻟﺘﻘﻰ اﳌﺴﻠﻤﺎن ﺑﺴﻴﻔﻴﻬﻤﺎ ﻓﻘﺘﻞ اﺣﺪﳘﺎ ﺻﺎﺣﺒﻪ ﻓﺎﻟﻘﺎﺗﻞ و اﳌﻘﺘﻮل ﰲ اﻟﻨﺎر‬
‫ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ ﻫﺬا اﻟﻘﺎﺗﻞ ﻓﻤﺎ ﺑﺎل اﳌﻘﺘﻮل ؟ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ اﻧﻪ ﻛﺎن ﺣﺮﻳﺼﺎ ﻋﻠﻰ ﻗﺘﻞ‬
(‫ﺻﺎﺣﺒﻪ ) رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬
“Apabila dua orang bertemu dengan pedang ditangannya, dan membunuh salah

satu temannya. maka pembunuh dan yang dibunuh masuk neraka. ya.. Rasulullah yang

dibunuh memang mungkin tetapi mengapa yang dibunuh juga sampai begitu? Nabi

menjawab, karena dia bermaksud membunuh saudaranya juga ( Muttafaq Alaih)” 77.

‫ اذاﻟﺘﻘﻰ‬berarti bertemu dan bertatap muka ‫ اﳌﺴﻠﻤﺎن ﺑﺴﻴﻔﻴﻬﻤﺎ‬dua orang muslim dengan

membawa pedang atau alat lain dan saling berbunuh-bunuhan) sedangkan salah satu

diantara mereka terbunuh, maka pembunuh dan yang dibunuh masuk neraka) yaitu neraka

jahanam atau dalam arti lain keduanya berhak masuk neraka. Maka sahabat nabi Abu

Bakrah bertanya “ Ya Rasulullah, yang membunuh berhak masuk neraka, tapi bagaimana

mungkin yang dibunuh masuk neraka juga? Rasulullah menjawab karena dia berniat

membunuh sahabatnya juga. Dan mereka berdua orang yang zalim dan mendapat azab

76 A. Jazuli, Fiqh Siyasah… hlm. 405


77 Zainuddin Abd. Rauf al-Manawi, Taisir bi Syarhi al-Jami’ al-Shaghir, (Riyadh: Maktabah Imam al-
Syafi’i ,1988) juz ke- 2, cet. Ke-2, hlm. 157
54

dengan tingkatan yang berbeda. Pembunuh diazab karena membunuh dan berusaha

untuk membunuh ( perang) sedangkan yang dibunuh diazab karena berusaha untuk

membunuh ( perang) saja78

Dalam riwayat Bukhari hadits ini memiliki redaksi yang berbeda.

‫إذا ﺗﻮﺟﻪ اﳌﺴﻠﻤﺎن ﺑﺴﻴﻔﻴﻬﻤﺎ ﻓﺎﻟﻘﺎﺗﻞ و اﳌﻘﺘﻮل ﰲ اﻟﻨﺎر ﻗﺎل ﻓﻘﻠﺖ ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ ﻫﺬا اﻟﻘﺎﺗﻞ‬
79
(‫ إﻧﻪ ﻗﺪ أراد ﻗﺘﻞ ﺻﺎﺣﺒﻪ ) أﺧﺮﺟﻪ اﻟﺒﺨﺎري‬: ‫ﻓﻤﺎ ﺑﺎل اﳌﻘﺘﻮل ؟ ﻗﺎل‬
“Apabila dua orang bertemu dengan pedang ditangannya, maka pembunuh

dan yang dibunuh masuk neraka, maka Rasulullah menjawab ketika ditanya, ya..

Rasulullah yang dibunuh memang mungkin tetapi mengapa yang dibunuh juga sampai

begitu? Nabi menjawab, karena dia bermaksud mebunuh saudaranya juga ( Muttafaq

Alaih)” .

Al-Nawawi mensyarah hadits tersebut bahwa apabila dua orang muslim

membunuh salah satu maka keduanya di masukkan kejurang api neraka jahanam.

meskipun yang terbunuh salah satu dari keduanya80

78
Ibid., hlm. 216
79
Muhammad bin Futuh al-Hamidi, al-Jam’u Baina Shahihaini al-Bukhari Wal-Muslim (Beirut, Dar
al- Hazm, 2002) jilid ke-1, hlm. 221
80 Ibnu Bithal al-Bakr al-Qurthubi, Syarah Shahih al-Bukhari, ( Riyadh : Maktabah al-Rusydi :

2003), juz. cet. Ke-2003,


55
55

BAB III

TINJAUAN UMUM TERHADAP MAQASHID AL-SYARI’AH

A. Pengertian Maqāshid Al- Syarī’ah

1. Pengertian Maqāshid

Maqāshid Syarī’ah secara etimologi terdiri dari dua kata; Maqāshid dan Syarī’ah.

Secara etimologis, Maqāshid adalah jama’ dari maqshad yaitu sesuatu yang dituju, baik

berupa tempat atau lainnya 1. Dalam memberikan definisi Maqāshid Syarī’ah para ahli

seringkali menggunakan istilah-istilah lain yang dianggap semakna dengan Maqāshid,

seperti kata al-hadf atau al-ghoyah, al-hikmah, al-ma’any, al-asrar, al-‘illat, dan al-

sabab.

Dalam Lisan al-Arabi dijelaskan bahwa term-term ini memiliki banyak makna.

Dalam hal ini dipilih makna yang sesuai dengan pembahasan. Misalnya, al-hadfu

sinonim dari kata al-ghordhu yang berarti tujuan2. Al-Ghoyah berarti mada kullu syai’in

yang berarti ujung dari segala sesuatu 3 yang juga berarti tujuan. Ma’any jamak dari

kata makna adalah sinonim dari kata maqshid yang berarti maksud 4. Asrar jamak dari

kata sirru yang berarti tersembunyi 5 atau rahasia. ‘Illat adalah sinonim dari kata sabab

yang berarti sebab. Sementara Sabab berarti segala hal yang karenanya sesuatu

sampai kepada yang lain6.

1 Ibnu Manzur. Lisan al-Arabi, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1119 H), hlm. 3642. Lihat juga Syathibi.
Muwafaqat, Jilid 2, (Saudi Arabiah: Dar Ibn Affan, 1997), hlm. 7.
2 Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, jilid 6, hlm. 4634.
3 Ibid. jilid 5, hlm. 3080.
4 Ibid, jilid 4, hlm. 3147.
5 Ibid, jilid 3, hlm. 1989.
6 Ibid, jilid 3, hlm. 1910.
56

Dari beberapa istilah di atas terlihat bahwa Maqāshid tidak hanya berarti tujuan

syari’at atau tujuan Allah menurunkan syari’at, melainkan dapat juga diartikan makna-

makna yang terkandung dari ajaran-Nya yang perlu dipahami. Maqāshid juga dapat

diartikan sebagai hikmah atau rahasia-rahasia di balik setiap perintah dan larangan-

Nya, atau penyebab dan alasan Allah menurunkan syari’at-Nya.

2. Pengertian Syarī’ah

Syarī’ah secara bahasa berarti “jalan ke sumber (mata) air” 7. Abd al-Karim

Zaidan menambahkan pengertian syari’at secara bahasa : menjelaskan cara dan

mentradisikan 8. Pengertian lain adalah “jalan yang lurus”. Pengertian ini yang

dimaksudkan oleh firman Allah pada surat al-Jatsiyah ayat 18 9;

(10 : ‫ﰒ ﺟﻌﻠﻨﻚ ﻋﻠﻰ ﺷﺮﻳﻌﺔ ﻣﻦ اﻻﻣﺮ ﻓﺎ ﺗﺒﻌﻬﺎ وﻻ وﻻ ﺗﺘﺒﻊ اﻫﻮاﻟﺬﻳﻦ ﻻ ﻳﻌﻠﻤﻮن ) اﳉﺎﺛﻴﺔ‬

ِ◌ ”Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan

(agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang

yang tidak mengetahui. (Q.s. al-Jatsiah, 18)10”

Dihubungkan dengan terminologi Islam, syari’ah secara harfiah berarti “jalan

yang harus dilalui oleh setiap muslim”. Ibnu Manzur dalam Lisan al-Arab mengartikan

7 Nashr Farid Muhammad Washil. Al-Madkhal al-Wasith li Dirasat Syari’at al-Islamiyat wa Fiqh wa

al-Tasyri’, (Mesir: al-Maktabah al-Taufiqiyah, 1996), hlm. 15. Lihat juga Musfir bin Ali bin Muhammad al-
Qahthani (selanjutnya disebut al-Qahthani). Manhaj Istinbath Ahkam al-Nawazil al-Fiqhiah al-Mu’ashirah,
Dirasah Ta’shiliah Tathbiqiah, (Mekkah: Dar al-Andalus al-Hadhara’, 2003), hlm. 520. Muhammad Daud Ali.
Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm.235.. Alaidin Koto. Ilmu Fiqh dan
Ushul Fiqh (Sebuah Pengantar), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 37.
8 Abd al-Karim Zaidan. Al-Madkhal li Dirasat al-Syari’at al-Islamiyah, (Iskandaria; Dar Umar bin

Khaththab, 2001), hlm. 38-39.


9 Nashr Farid Muhammad Washil. Al-Madhal al…hlm. 15 Lihat juga Muhammad Mushthafa

Syalabi. Madkhal fi al-Fiqh al-Islami, Ta’rifuhu wa Tarikhuhu wa Mazahabuhu Nazhriyat al-Malikiyah wa al-
‘Aqad, (Beirut: Al-Dar al-Jami’iyah, 1985), hlm. 27.
10 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan…hlm.399
57

syari’ah sebagai “sesuatu yang diatur oleh Allah berupa agama dan perintah-perintah-

Nya seperti puasa, shalat, haji, zakat dan seluruh amal yang baik”11.

Al-Yubi dengan mengutip berbagai pendapat menjelaskan bahwa secara

etimologi syari’at berarti “din, millah, minhaj, thariqah dan sunnah” 12. Sedangkan

Syari’ah menurut Mahmud Syaltut ialah peraturan-peraturan yang digariskan Allah

atau pokok-pokoknya digariskan Allah agar manusia berpegang kepadanya, di dalam

hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan saudaranya sesama muslim,

dengan alam dan di dalam hubungannya dengan kehidupan13.

Pengertian di atas merupakan pengertian syari’ah yang sangat luas dan

komprehensif, meliputi seluruh ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan akidah

maupun yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Dengan kata lain syari’ah meliputi

Iman, Islam, dan Ihsan.14

Syari’ah sebagai produk pemahaman manusia terhadap sumber-sumber ajaran

Islam dalam konteks sejarah yang terus berkembang. Dalam hal ini, pemahaman

syari’ah tidak bersifat absolut. Syari’ah senantiasa diformulasikan dan direformasi

dengan tujuan agar Islam sesuai dengan perkembangan waktu dan ruang (shalih li kulli

zaman wa al-makan).

Maka perlu dibedakan antara syari’ah pada level normatif dan syari’ah yang

bersifat historis. Syari’ah normatif adalah aturan keagamaan yang sudah baku, seperti

shalat, zakat, puasa, percaya kepada hari akhir, dan iman kepada Allah dan Nabi. Bila

11 Ibnu Manzur. Lisan al- Arab…hlm. 2238.


12 Muhammad Saad bin Ahmad bin Mas’ud Al-Yubi, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah wa
‘Alaqatuha di al-Adillah al-Syar’iah, (Riyadh: Dar al-Hijrah, 1998), hlm. 30
13 Lihat Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, Cet ke-3, (Darul Kalam, 1996), hlm. 12.
14 A. Djazuli. Ilmu Fiqh ( Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam), (Jakarta :

Kencana, 2010), hlm. 2.


58

yang pertama merupakan ketentuan baku, maka yang kedua membutuhkan ijtihad

dengan mendayagunakan kreativitas akal, perkembangan ilmu pengetahuan, dan

situasi zaman.

Sedangkan syari‘at sebagai hukum positif yang mengatur kehidupan berbangsa

dan bernegara. Syari‘at dalam pengertian ini menyangkut penegakan hukum dan

keadilan dalam suatu negara. Syari‘at Islam dalam konteks hukum modern adalah

menurut pengertian yang terakhir ini. Ia menyangkut konstitusi, undang-undang,

kompilasi, hukum pidana, perdata, acara dan lain-lain yang menjamin ketertiban dalam

masyarakat.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa syari’ah di sini memiliki tiga

makna; pertama, bermakna seluruh ajaran Islam yang meliputi akidah, ibadah, akhlak

dan lainnya. Kedua, bermakna hukum Islam, dalam konteks ini semakna dengan kata

fiqh. Kedua makna ini digunakan dalam pembahasan Maqāshid syari’ah. Ketiga,

bermakna hukum Islam yang diformalkan dalam undang-undang, konstitusi, hukum dan

sebagainya. Pengertian ketiga ini tidak digunakan dalam pembahasan Maqāshid

syari’ah dalam tulisan ini.

3. Pengertian Maqāshid Syari’ah

Secara sederhana, Maqāshid Syarī’ah berarti “tujuan-tujuan syari’at” 15. Dalam

konteks ini maqasid yang dimaksudkan ialah maqasid atau tujuan yang ditetapkan oleh

syara' dalam mensyari’atkan hukum. Di antara istilah populer yang digunakan ialah

maqasid syari’ah, maqasid al-Syari' (Allah) dan maqasid syara' atau di dalam Bahasa

Arabnya maqasid al-syari’ah, maqasid al-Syari' dan al-maqasid al- Syarī’ah.

15 Abdul Azis Dahlan (et. al). Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996),
hlm. 1108.
59

Secara terminologi, pengertian maqasyid syari’ah, di antaranya sebagai berikut;

a. Menurut Wahbah al-Zuhaili, mendefinisikan :


‫ ﻫﻲ اﳌﻌﺎﱐ واﻻﻫﺪاف اﳌﻠﺤﻮﻇﺔ ﻟﻠﺸﺮع ﰲ ﲨﻴﻊ اﺣﻜﺎﻣﻪ او‬: ‫ﻣﻘﺎﺻﺪ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ‬
‫ﻣﻌﻈﻤﻬﺎ اوﻫﻲ ﻣﻦ اﻟﻐﺎﻳﺔ ﻣﻦ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ واﻻﺳﺮاراﻟﱵ وﺿﻌﻬﺎﻟﺸﺎرع ﻋﻨﺪ ﻛﻞ ﺣﻜﻢ ﻣﻦ‬
16
‫اﺣﻜﺎﻣﻬﺎ‬

“Maqasid Al Syariah berarti “nilai-nilai dan tujuan-tujuan syara' yang tersirat dalam

segenap atau bagian besar dari hukum-hukum-Nya, atau tujuan syari’at dan rahasia-

rahasia yang ditetapkan oleh Syari’ dalam setiap hukum-Nya”.

b. Menurut Yusuf al-Qaradhawi Maqāshid al-syari’ah adalah:” Tujuan yang menjadi target teks

dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia. Baik berupa

perintah, larangan, dan mubah. Untuk individu, keluarga, jama’ah, dan umat.17

c. Menurut Abdul Wahab Khalaf, tujuan Syari’ dalam pembuatan hukumnya ialah mewujudkan

kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan primer dan memenuhi kebutuhan

sekunder serta kebutuhan pelengkap mereka” 18.

d. Menurut Ahmad al-Haji al-Kurdy, Maqāshid syari’ah adalah

19
‫اﳌﻌﺎﱐ اﻟﱵ ﺷﺮﻋﺖ ﳍﺎ اﻻﺣﻜﺎم او ﺷﺮﻋﺖ ﻋﻨﺪﻫﺎ اﻻﺣﻜﺎم‬

“Makna-makna yang karenanya hukum-hukum disyari’atkan, atau hukum disyari’atkan

menurut makna tersebut”.

e. Ibn Asyur mendefinisikan maqasid syari’ah sebagai "segala pengertian dan hikmah dari

Syari’ yang tersirat di dalam setiap atau sebagian besar keadaan penetapan syari’at " 20 Ini

16
Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, juz 2 (Damaskus: Dar al Fikr, 1986), hlm. 1017.
17 Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syari’ah, terj.Arif Munandar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2006), hlm.17
18 Abdul Wahab Khalaf. Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Masdar Helmy, (Bandung: Gema Risalah Pers,

1997), hlm. 354-355.


19
Ahmad al-Haji al-Kurdy. Al-Madkhal al-Fiqhy al-Qawa’id al-Kulliyah, (Damaskus: Dar al-Ma’arif,
1980), hlm. 183.
60

berarti maqashid bukanlah pengertian yang dapat dilihat pada hukum – hukum tertentu

secara khusus. Contohnya melahirkan kebaikan, menolak kejahatan dan konsep

kesetaraan antar manusia yang ada pada setiap pensyariatan hukum-hukum syara'.

f. Manna’ al-Qaththan menjelaskan :


‫ ﲜﻠﺐ‬, ‫ﻓﺎﳌﻘﺼﺪ اﻟﻌﺎم ﻟﻠﺸﺎرع ﻣﻦ ﺗﺸﺮﻳﻊ اﻻﺣﻜﺎم ﻫﻮ ﲢﻘﻴﻖ ﻣﺼﺎﱀ اﻟﻨﺎس ﰲ ﻫﺬﻩ اﳊﻴﺎة‬
‫ ودﻓﻊ اﻟﻀﺮرﻋﻨﻬﻢ‬, ‫اﻟﻨﻔﻊ ﳍﻢ‬
, ‫ اﻟﻀﺮورﻳﺎت واﳊﺎﺟﻴﺎت واﻟﺘﺤﺴﻴﻨﺎت ﲢﻘﻘﺖ ﻣﺼﺎﳊﻬﻢ‬: ‫واذاﺗﻮاﻓﺮت ﳍﻢ ﻫﺬﻩ اﻻﻣﻮر اﻟﺜﻼﺛﺔ‬
‫دل ﻫﺬااﺳﺘﻘ‬
21
‫اﻻﺣﻜﺎم‬
“Tujuan umum Syari’ menurunkannya syari’at Islam oleh Allah untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi manusia dalam kehidupan ini (di dunia) dengan mencari manfa’at dan
menolak kemudaratan. Hal ini dilakukan dengan cara menjaga hal-hal yang dharuriyyat dan
menyempurnakan hal yang bersifat hajiyat dan tahsiniyat. Ini ditunjukan oleh hukum-hukum
syar’i secara istiqra’i, serta ‘illat dan hikmah hukum yang menjadi sebab diturunkan
sebagian besar hukum syar’i oleh Syari’ (Allah) 22. an hukum-hukum Islam”

f. Ali Ahmad al-Jurjawi mengatakan bahwa seluruh syari’at memiliki beberapa maksud.

Pertama, mengenal Allah, mentauhidkan, memuliakan, mensifati dengan sifat yang

sempurna, sifat wajib dan mustahil nya. Kedua, cara beribadah, mengagungkan, dan

mensyukuri atas nikmatnya yang tiada terhinga , ketiga, melaksanakan amar ma’ruf nahi

munkar dan melaksanakan akhlaq yang mulia, keempat, tetap menta’ati batas-batas hukum

yang telah ditetapkan dalam muamalat dan lain-lain dari rahasia hukum yang berhubungan

dengan aturan kehidupan mereka. Empat perkara ini merupakan yang disyariatkan oleh

agama samawiyah23

Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan, antara lain;

20 Lihat Ibnu ‘Asyur, Maqashid al- ..., hlm.521.


21
Manna’ al-Qaththan. Muawwiqat Tathbiq al-Syari’at al-Islamiyah, (Kairo: Maktabah Wahbah,
1991), hlm. 81-82.
22 Manna’ al-Qaththan. Muawwiqat Tathbiq al-Syari’at al-Islamiyah, (Kairo: Maktabah Wahbah,

1991), hlm. 81-82.


23 Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa-Falsafatuha, ( Dar al-Fikr : tt) juz I. hlm. 5
61

a. Maqāshid syariah artinya tujuan Allah dan Rasulnya dalam merumuskan hukum-

hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur’an dan al-

Sunnah, suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.

Maqāshid Syariah adalah salah satu teori dalam disiplin ilmu keislaman tentang

hukum Islam

b. Maqāshid dapat diartikan tujuan, hikmah, nilai-nilai, atau rahasia-rahasia dari

hukum baik secara umum atau khusus, tersurat atau tersirat, diketahui atau tidak

diketahui oleh manusia (mukallaf) atau para mujtahid.

c. Maqāshid dari suatu hukum ditetapkan oleh Syari’, bahkan sebagiannya hanya

diketahui oleh-Nya dan tetap menjadi rahasia-Nya.

d. Syari’at dalam konteks ini telah berubah dari pengertiannya yang umum kepada

pengertian khusus, berupa hukum-hukum yang disyari’atkan Allah bagi

manusia24, seperti hukum-hukum dalam ibadah dan mu’amalah.

e. Maqāshid syari’ah seluruhnya ditujukan untuk kemaslahatan umat manusia, baik

secara individual maupun kolektif, atau kemaslahataan hamba Allah lainnya.

f. Kemaslahatan tersebut dapat berupa kemaslahatan duniawi atau ukhrawi 25.

B. Landasan Maqāshid Syari’ah

Jauh sebelum dunia modern mengenal istilah hak asasi manusia (Human Right),

para ulama telah meletakkan dasar-dasar hak asasi manusia tersebut ( Human Right)

24 Ulama-ulama klasik tidak membatasi pembahasan mereka tentang maqashid syar’iah hanya

dengan pendekatan hukum. Bahkan dalam membangun teori maslahah para ahli ushul klasik seperti al-
Ghazali, Al-Amidi, Al-Razy, Syathibi dan lainnya menggunakan ilmu kalam, mantiq, ulum al-hadits, tafsir dan
ilmu bahasa sebagai analisa pendukung. Namun bagi efektivitas pembahasan ini akan dibatasi hanya pada
persoalan hukum saja. Lebih lengkap lihat Imam al-Ghazali. Al-Mustashfa min Ushul al-Fiqh, Jilid 2, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1997), Juz I, hlm. 478-506. Al-Amidi. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Riyadh: Dar al-Shimi’y, 2003),
hlm.338-357. Al-Razy. Al-Mahshul min Ilmi Ushul al-Fiqh, Juz 6, (Beirut: Muassisah al-Risalah, tth) hlm. 162-
167.
25 Al- Syatibii, al-Muwafaqat…hlm. 4
62

dengan berlandaskan pada teori Maqāshid al- syari’ah, menurutnya ada lima hal

menyangkut kehidupan yang harus dipelihara. Yakni; menjaga agama, jiwa, akal, harta

dan kehormatan.

Lebih lanjut Syathibi menjelaskan bahwa seluruh hukum syara’ secara bersamaan

(simultan) ditujukan untuk kemaslahatan hamba baik di dunia maupun di akhirat 26. Banyak

nash yang menjelaskan sebuah perintah atau larangan disertai dengan ‘illat (alasan),

sebab atau tujuan baik secara tersurat pada ayat-ayat al-Qur’an dan hadits (dalil naqli)

atau tersirat . Di antara landasan Maqāshid Syarī’ah, seperti dikutip oleh Syathibi, adalah

firman Allah sebagai berikut:

) ‫رﺳﻼ ﻣﺒﺸﺮﻳﻦ وﻣﻨﺬرﻳﻦ ﻟﺌﻼ ﻳﻜﻮن ﻟﻠﻨﺎس ﻋﻠﻰ اﷲ ﺣﺠﺔ ﺑﻌﺪاﻟﺮﺳﻞ وﻛﺎن اﷲ ﻋﺰﻳﺰا ﺣﻜﻴﻤﺎ‬
(165 : ‫اﻟﻨﺴﺎء‬
“ Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan

agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah setelah Rasul-rasul itu diutus. Dan

Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”27 . (QS: Al-Nisa’, 165)

(107 : ‫وﻣﺎ ارﺳﻠﻨﺎك اﻻرﲪﺔ ﻟﻠﻌﺎﳌﲔ ) اﻻﻧﺒﻴﺎء‬


“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi)

rahmat bagi seluruh alam (QS; Al-Anbiya’, 107)”28 .

(56 : ‫وﻣﺎ ﺧﻠﻘﺖ اﳉﻦ واﻻﻧﺲ اﻻ ﻟﻴﻌﺒﺪون ) اﻟﺬارﻳﺎت‬


“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka mengabdi

kepada-Ku” 29. (QS: Al-Zariyat, 56)

26 Ibid.,hlm. 4.
27 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-qur’an dan… hlm. 83
28 Ibid, hlm…532
29 Ibid, hlm… 417.
63

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa setiap tindakan Allah memiliki maksud atau

tujuan tersendiri, baik yang dapat diketahui dengan mudah sebab tersurat pada nash-nash

tersebut maupun yang memerlukan pemikiran para mujtahid sebab tidak terlihat secara

tekstual pada nash. Dalam kajian ‘illat hukum, seringkali harus dilakukan pembahasan

mendalam tentang maksud atau tujuan sebuah hukum, bahkan terjadi perbedaan di

kalangan ulama dalam menetapkan ‘illat tersebut.

Al- Syathibi mengutip beberapa contoh nash yang menunjukkan adanya tujuan

dalam penetapan syari’at. Misalnya, mengenai shalat, Allah berfirman pada surat al-

Ankabut ayat 45;

‫ ان اﻟﺼﻼة ﺗﻨﻬﻰ ﻋﻦ اﻟﻔﺤﺸﺎء واﳌﻨﻜﺮ وﻟﺬﻛﺮاﷲ اﻛﱪ‬,‫اﺗﻞ ﻣﺎ اوﺣﻲ ا ﻟﻴﻚ ﻣﻦ اﻟﻜﺘﺎب واﻗﻢ اﻟﺼﻼة‬
(45 ‫واﷲ ﻳﻌﻠﻢ ﻣﻞ ﺗﺼﻨﻌﻮن ) اﻟﻌﻨﻜﺒﻮت‬

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan
mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya
dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”30

Pada ayat ini dijelaskan bahwa Allah memerintahkan shalat agar seseorang

tercegah dari melakukan perbuatan keji dan mungkar. Di ayat lain Allah menjelaskan

shalat akan membuat seseorang tenang. Ini lah di antara Maqāshid al-Syarī’ah dari

perintah shalat.

Mengenai puasa, Allah berfirman pada surat Al-Baqarah ayat 183:


(183 : ‫ﻳﺎءﻳﻬﺎﻟﺬﻳﻦ اﻣﻨﻮا ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻴﻜﻢ اﻟﺼﻴﺎم ﻛﻤﺎ ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﺬﻳﻦ ﻣﻦ ﻗﺒﻠﻜﻢ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﺘﻘﻮن ) اﻟﺒﻘﺮة‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” ( Q.S. al-Baqarah : 183
)31

30 Ibid., hlm. 561


31 Ibid., hlm. 379
64

Pada ayat ini Allah memerintahkan untuk melaksanakan puasa agar orang-orang

beriman menjadi bertaqwa. Pada ayat lain dijelaskan bahwa puasa memiliki nilai kebaikan

bagi yang melakukannya. Dan berbagai manfa’at berpuasa lainnya yang menjadi

Maqāshid al-Syarī’ah dari ibadah puasa. Izzu bin Abd al-Salam menulis buku tersendiri

tentang tujuan syar’i dari perintah shalat, puasa dan haji 32.

Mengenai hukum qishas, Allah berfirman pada surat Al-Baqarah ayat 179:

(179 : ‫وﰱ اﻟﻘﺼﺎص ﺣﻴﺎة ﻳﺎوﱃ اﻻﻟﺒﻠﺐ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﺘﻘﻮن ) اﻟﺒﻘﺮة‬

“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-

orang yang berakal, supaya kamu bertakwa ( Q.S. al-Baqarah : 179)33” .

Pada ayat ini dijelaskan bahwa perintah melaksanakan hukum qishas bagi orang

yang membunuh agar dapat menjamin kelangsungan hidup bagi lainnya. Dalam kajian

hukum, hal ini akan mendatangkan efek jera bagi pelaku dan lainnya, serta mencegah

pelaku membunuh di kemudian hari.

C. Stratifikasi Maqāshid al-Syari’ah

Dalam membahas Maqāshid al-Syari’ah para ushuliyyun membagi menjadi tiga

katagori :

1. Mashlahah Dharuriyat.

Dharuriyat adalah kata sifat dari dharurat. Dalam Lisan al-Arabi, Dahrurat berarti

“Dzu Hajat” (membutuhkan) 34. Zakaria al-Bary menyebut mashlahah dharuriyat dengan

32 Izzu Abd al-Salam. Maqashid al-Ibadah, (Hamas: Penerbit Yamamah, 1995).


33 Departemen Agam, al-Qur’an dan…89
65

mashlahah asasiah (pokok/mendasar) atau jauhariah (esensial). Menurutnya, mashalahah

dharuriyah adalah hal-hal yang menyanggah kehidupan manusia, di mana bila ia hilang

maka hancurlah tatanan hidup, menyebar kekacauan, dan timbul fitnah dan kerusakan

yang besar 35.

Pengertian yang hampir sama dikemukakan oleh Abd al-Wahab Khalaf, dharuri

adalah hal-hal yang menyanggah kehidupan manusia, ia mesti ada demi menjaga

kemaslahatan mereka, bila ia hilang maka hancurlah tatanan hidup mereka, kemaslahatan

tidak akan terjaga, menyebar kekacauan dan kerusakan 36.

Amir Syarifuddin mendefinisikan mashlahah dharuri dengan “sesuatu yang harus

ada untuk keberadaan manusia atau tidak sempurna kehidupan manusia tanpa

terpenuhinya kebutuhan tersebut” 37. Abd al-Mun’in Khalil Ibrahim mendefinisikannya

sebagai “kebutuhan yang telah mencapai tingkat darurat”38. Menurut Dawalibi, dharurat

adalah tidak dapat dihindari untuk menjaga kemaslahatan masyarakat” 39.

Sedangkan Syathibi mendefinisikan mashlahah dharuriyat adalah hal-hal yang

mesti ada untuk menjaga kemaslahatan agama dan kehidupan dunia, di mana bila ia

hilang, maka kemaslahatan dunia tidak akan berjalan dengan baik, bahkan kehidupan

akan rusak, kacau dan punah, serta di akhirat akan kehilangan kemenangan dan nikmat,

dan kembali dengan kerugian yang nyata 40.

34 Ibnu Manzur, Lisan al-Arab… hlm. 51-61.


35 Zakaria al-Bari, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyah, (Kairo: Jami’ah al-Qohirah, 1975), hlm. 114.
36 Abd al-Wahab Khalaf. Ilmu Ushul..., hlm. 199.
37 Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 222.
38 Abd al-Mun’in Khalil Ibrahim dalam al-Subki. Jam’u al-Jawami’ fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-

Kutub al-Ilmiah, 2002), hlm. 88.


39 Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi. Al-Madkhal ila ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (T.tp: Dar al-‘Ilm li al-Malayin,

1965), hlm. .
40 Syathibi. al-Muwafaqat…, hlm. 7. Lihat juga Al-Qahthani. Manhaj Istinbath… hlm. 537.
66

Secara Terminologi, Maslahat Dharuriyyat adalah sesuatu yang mesti adanya

demi terwujudnnya kemaslahatan agama dan dunia41. Apabila hal ini tidak ada, maka akan

menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan 42 seperti makan, minum,

shalat, shaum dan ibadah-ibadah lainnya.

Nashr Farid Muhammad Washil menjelaskan bahwa mashlahah dhururiyat adalah

“sesuatu yang mesti ada untuk mewujudkan kemaslahatan agama dan dunia, di mana bila

hilang, maka kemaslahatan manusia tidak dapat diwujudkan, bahkan akan rusak” 43.

Menurut para ulama ushul, yang termasuk maslahat atau Maqāshid dharuriyyat ini ada

lima, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

Imam Al-Syathiby telah melihat Maqāshid syariah dari dua sisi: "wujud" dan "adam"

atau "the presence and the absence". Dalam bukunya Al-Muwafaqat beliau mengatakan

bahwa: "menjaga Maqāshid Syariah harus dengan dua hal. Pertama, menegakkan

pondasi dan tiangnya sebagai bentuk perhatian terhadap al-wujud. Kedua, menangkal

kerusakan yang akan terjadi atau diperkirakan akan terjadi sebagai bentuk perhatian

terhadap al-'adam44".

Di antara ulama lain yang melihat Maqāshid syariah dengan cara pandang dua sisi

seperti ini adalah Imam Ibnu Taimiyah sebagaimana yang dikutip oleh Yusuf Ahmad

Muhammad al-Badwi, kemudian ia kembangkan secara mendalam dalam disertasinya.

dalam pandangan beliau membangun al-wujud adalah dasar, sedangkan menjaga al-

'adam merupakan pelengkap. Sisi pertama sebagai tujuan utama, sedangkan sisi kedua

41Jamaluddin ‘Atihyyah membagi dharuriyyat menjadi dua pertama dharuriyyat yang bersifat
ukhrawi seperti ketaatan melakukan perintah wajib dan meninggalkan sesuatu yang diharamkan kedua
dharuriyyat yang bersifat duniawi seperti makan, minum dan berpakaian, lihat kitabnya, Nahwa Taf’’il
Maashid al-Syari’ah, ( Syuriah : al- Ma’had al-‘alami lil-Fikri al-Islami, 2003), hlm. 63
42 Imam Syathibi, al-Muwafaqat…, Juz II, hlm. 7.
43 Nashr Farid Muhammad Washil, Al-Madkhal al-Wasith...., hlm. 162
44 Imam al-Syatibi. Muwafaqat...., hlm. .
67

sebagai tujuan pelengkap45. Dari sini dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai tujuan

syariat, ibarat sebuah gedung maka fisik bangunan harus dibangun terlebih dahulu,

kemudian baru maintenance atau pemeliharaannya.46 Dengan demikian dapat disimpukan

jika wujud adalah sebuah hak maka adam adalah metode atau jalan untuk menuntut hak.

Menurut penulis, teori yang ditawarkan oleh ibnu Taymiyah ini adalah teori yang

sangat relevan pada masa sekarang ini, karena dengan teori ini Islam akan bisa berbicara

banyak di dunia internasional, jika saat ini teori maqashid syari’ah sebagian besar masih

bersifat internal Islam47, maka dengan teori ini maqashid syari’ah akan mudah dipahami

orang-orang di luar Islam

45 Yusuf Ahmad Muhammad al-Badwi, Maqashid al-Syari’ah ‘Indi Ibu Taymiyyah, ( Dar. Al-Nafais,
1999), tidak dipublikasikan, hlm. 441.
46 Penerapan teori ini dapat dicontohkan sebagai berikut : utuk memelihara agama (hifzh al-din)

dari segi wujud nya manusia wajib beriman kepada Allah, mengenal sifat dan mencintainya, maka dari segi
adamnya adalah manusia dilarang melakukan syirik, riya’, bid’ah, mengikuti hawa nafsu dan diwajibkan
memerangi orang-orag murtad. Untuk menjaga nyawa (hifdh al-nafs) dari segi wujud nya manusia
diperintahkan untuk makan, minum dan berpakaian, maka dari segi adam nya adalah diharamkan
bermusuhan bahkan jika menghilangkan jiwa seseorang di bolehkan menuntut qishash. Untuk menjaga akal
dari segi wujud nya manusia diwajibkan menjaga kesehatan akal untuk berpikir. Maka, dari segi adam nya
dilarang membuat kerusakan, minum-minuman keras dan minuman yang memabukkan lainnya bahkan bagi
pelaku ada ‘iqabnya. Untuk menjaga nasab dari segi wujud nya manusia wajib untuk menjaga keturunan
dan menjaga farj dari pebuatan zina, maka dari segi adam nya syari’at mendorong untuk melakukan
pernikahan, menjaga keturunan, mencukupi nafkah keluarga, larangan menikahi pezina, larangan bercerai
tanpa alasan yang kuat , menutup aurat dan dilarang ikhtilath. Untuk menjaga harta dari segi wujud nya
syari’at menetapkan bahwa setiap orang berhak memiliki harta, maka dari segi adam nya syari’at
mewajibkan manusia berusaha, bekerja, bersedekah, diharamkan terjainya peperangan yang
mengakibatkan hancurnya harta. Lebih lengkapnya lihat, Yusuf Ahmad Muhammad al-Badwi, Maqashid al-
Syari’ah…ibid, hlm. 441-487, lihat juga Muhammad Sa’ad bin Sa’ad bin Mas’ud al-Yubi, Maqashid al-Syari’ah
al-Islamiyah wa-‘Alaqatiha bil-Adillati al-Syar’iyyati, (Dar a-Hijrah Li-al-Nasyri wa-al-Tauzi’ : al-Mamlakah al-
‘Aabiyah al-Su’udiyah : tt), hlm. 192-303
47
Yang penulis maksud dengan internal Islam adalah teori dan istilah maqashid baru mampu di
pahami oleh penggiat hukum Islam), maka dengan teori ini yang ditawarkan Ibnu Taymiyyah maqashid
syari’ah akan bisa dipahami oleh orang – orang di luar Islam. Sebagai contoh, di Barat Islam sebagai agama
minoritas dan sering mendapat imtimidasi dari umat non-muslim, ketika umat muslim ingin memperjuangkan
hak beragamanya maka dianggap sebagai teroris atau paling tidak, ada ketidaktarikan mereka terhadap
Islam, karena isu yang di bawa adalah isu jihad, dan kalimat ini merupakan pobia bagi non- muslim, karena
terbayang akan terjadi peperangan. berbeda apabila yang dikembangkan dengan menggunakan metodologi
maqashid syari’ah dengan pendekatan segi wujud dan adam nya, bahwa beragama adalah hal yang wajib
bagi setiap manusia, maka setiap manusia memiliki hak untuk mempertahankan dan menjalankan
agamanya. menurut penulis, isu hak yang dibawa ke dunia internasional akan berbeda dengan isu jihad,
karena mereka semua tahu dan memahami makna hak asasi manusia
68

Al-Syatibi, menjelaskan bahwa yang termasuk katagori maslahat dharuriyat ada

lima hal, yaitu;

a. Memelihara agama ( ‫) ﺣﻔظ اﻟدﯾن‬

Memelihara agama adalah landasan untuk menjaga hak beragama dan Maqāshid

syari’ah lainnya. Tanpa pilar ini, kewajiban lainnya tidaklah bermakna. Bahkan tujuan ini,

meliputi tujuan-tujuan lainnya. maka tindakan apapun yang dilakukan oleh seorang

muslim, mestinya mengacu kepada tujuan untuk menjaga hak pemeliharaan agama.

Adapun yang berhubungan dengan memelihara agama, Allah S.W.T. telah

memerintahkan kaum muslimin untuk menjalankan ibadah berupa shalat, puasa, zakat,

haji ke baitulllah dan ibadah vertikal lainnya karena manusia diciptakan tiada lain adalah

untuk menyembah Allah.

(56 : ‫وﻣﺎ ﺧﻠﻘﺖ اﳉﻦ واﻻﻧﺲ اﻻ ﻟﻴﻌﺒﺪون ) اﻟﺬارﻳﺎت‬


“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka

menyembah-Ku.” (Q.S. 51:56)48.

Untuk menjaga agama, Allah S.W.T juga telah memerintahkan kaum muslimat

untuk memakai hijab (jilbab), menjaga pandangan mata dan segala bentuk ibadah

horizontal lainnya.

Ibnu Taymiyyah menjelaskan bahwa dari segi adam hukuman bagi orang murtad,

peringatan bagi orang musyrik, dan memerangi lawan dalam peperangan disyariatkan

untuk menjaga agama. karena menjalankan ibadah dan melaksanakan perintah agama

merupakan hak beragama49. Sumber ini terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah :

48 Departemen Agama…al-Qur’an dan…hlm. 56


49 Ibnu Taymiyyah, Maqashid al…, hlm. 210
69

(193 : ‫وﻗﺎﺗﻠﻮﻫﻢ ﺣﱴ ﻻﺗﻜﻮن ﻓﺘﻨﺔ وﻳﻜﻮن ااﻟﺪﻳﻦ ﷲ ﻓﺎن اﻧﺘﻬﻮ ﻓﻼ ﻋﺪوان اﻻ ﻋﻠﻰ اﻟﻈﺎﳌﲔ ) اﻟﺒﻘﺮة‬
"Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama

itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada

permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim." (QS. Al-Baqarah : 193)50.

Abd al-Majid al-Najjar telah memberikan rincian yang luas dan telah mengarah

pada pemahaman global tentang metode pemeliharaan agama. Meskipun masih terkesan

bersifat internal Islam , menurutnya ada beberapa masalik dalam memelihara agama

antara lain, antara lain51:

1) Memelihara agama dengan memenuhi sebab-sebabnya. Artinya, menjaga

keberlansungan eksistensi agama.

2) Memelihara agama dengan memberikan kemudahan dalam menjalankan ajaran-ajaran

agama.

3) Memelihara agama dengan melakukan ijtihad, sebab hukum asal agama tidak berobah,

sementara keadaan dan zaman berubah, serta persoalan manusia berkembang, maka

dibutuhkan ijtihad dalam rangka pemeliharaan agama.

4) Memelihara agama dengan mengajurkan dan melaksanakan dakwah. Dakwah

merupakan upaya umat Islam dalam memelihara pemahaman, pelaksanaan dan

keberadaan agama.

5) Memelihara agama dengan mendirikan negara yang akan menjaga hubungan antar

individu dan masyarakat. Negara diharapkan dapat menjaga pelaksanaan hukum Islam

dalam masyarakat. Maka ulama menyatakan bahwa mendirikan negara sebagai upaya

memelihara agama dihukumkan wajib.

50 Departemen Agama…al-Qur’an dan…hlm. 67


51 Abdul Majid al-Najjar. Maqashid al-Syari’ah, hlm. 67-83.
70

6) Memelihara agama dengan mengantisipasi rintangan yang ada, antara lain berupa: a)

godaan hawa nafsu; b) serangan pemikiran; c) penyimpangan; d) berita

bohong/penipuan.

7) Memelihara agama dengan perintah dan pelaksanaan jihad.

b. Memelihara jiwa ( ‫) ﺣﻔظ اﻟﻧﻔس‬

Salah satu dari unsur al-ushul al-khamsah adalah hifz al-nafs yang secara harfiah diartikan

memelihara jiwa. Para Ulama sepakat bahwa salah satu tujuan syari’at diturunkan Allah adalah

untuk memelihara jiwa manusia atau hak hidup.

Jika hukuman mati dan segala bentuk sanksi fisik secara wujud nya disyariatkan

untuk menjaga jiwa, maka memenuhi kebutuhan hidup seperti makan dan minum, pakaian

dan tempat tinggal, kesehatan dan keamanan dari segi ‘adam nya merupakan hak hidup

yang harus dipenuhi. Kedua sumber ini terdapat di dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.

(179 : ‫وﰱ اﻟﻘﺼﺎص ﺣﻴﺎة ﻳﺎءوﱃ اﻻﺑﺎب ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﺘﻘﻮن ) اﻟﺒﻘﺮة‬


"Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-

orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah : 179)52.

Adapun yang berhubungan dengan pemeliharaan hak hidup, Islam telah mengatur

kebutuhan manusia terhadap materil sedemikian rupa, mulai dari cara mendapatkannya,

pendistribusiannya sampai kepada pemanfaatannya. Mulai dari sandang, pangan dan

papan sampai kepada kenyamanan dan ketentraman hidup. Allah S.W.T. telah

memerintahkan kaum muslimin untuk mencari harta yang halal, kemudian

menafkahkannya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Allah di dalam al-Qur'an,

52Departemen Agama…al-Qur’an dan…: 78


71

membayarkan zakat, infaq dan sedekah kepada fakir miskin dan golongan lain yang

berhak menerimanya, sehingga tidak ada orang yang hidup terlantar.

Sehubungan dengan cara mendapatkan harta kekayaan dan pendistribusiannya

kepada orang-orang yang berhak menerimanya Allah S.W.T. berfirman:

(275 : ‫واﺣﻞ اﷲ اﻟﺒﻴﻊ وﺣﺮم اﻟﺮﺑﻮا ) اﻟﺒﻘﺮة‬


"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba". (QS. Al-Baqarah :

275)53.

Pada ayat lain Allah S.W.T. berfirman:

(60 : ‫ﻓﺮﻳﻀﺔ ﻣﻦ اﷲ واﷲ واﺳﻊ ﻋﻠﻴﻢ ) اﻟﺘﻮﺑﺔ‬


"Sesungguhnya zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-
orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana." (QS. Al-Taubah: 60)54.

Dari pemaparan diatas, pemahaman terhadap hifz al-nafs mengalami

perkembangan dari berkaitan dengan jiwa (nyawa) dan hal-hal yang berkaitan dengannya

kepada pemahaman terhadap perlindungan kepada manusia dan kemanusiaan 55.

Misalnya, Abdul Wahab Khalaf menambahkan bahwa untuk melindungi jiwa, Islam

mensyari’atkan perkawinan agar beranak pinak dan melanjutkan keturunan serta

melestarikan jenis (manusia) pada situasi dan kondisi yang paling sempurna 56; kewajiban

53 Ibid., hlm. 129


54 Ibid., hlm. 425
55 Bahkan pemahaman terhadap maqashid syari’ah telah mengalami perkembangan yang cukup

signifikan, terutama menurut para peneliti maqashid kontemporer atau pasca Imam Syathibi. Pemikiran Ibnu
Taimiyah, Ibnu ‘Ashur, al-Thufi, al-Fasi, Qaradhawi dan sebagai termasuk kepada pemikiran kontemporer
dalam perkembangan teori maqashid syari’ah.
56 Sebagian ahli, terutama pemikir klasik memasukkan tuntunan tentang pernikahan kepada hifz

al-nasab (memelihara keturunan). Hal ini dapat dilihat dari konsep al-ushul al-khamsah Imam al-Ghazali,
al-Amidi, al-Razi, Imam Syathibi dan lainnya tentang hizb al-nasl.
72

memperoleh sesuatu untuk menegakkan jiwa berupa makanan pokok, minuman, pakaian

dan tempat tinggal 57.

Sekalipun tidak membuat kategorisasi yang baru terhadap al-ushulal-khamsah,

Umer Chapra memberikan penjelasan yang sedikit berbeda dengan pendahulunya. Dia

menjelaskan Maqāshid Syarī’ah dalam perspektif ekonomi yang menekankan pentingnya

kesejahteraan lahir dan batin bagi manusia 58. Menurutnya, “komitmen Islam yang

demikian mendalam terhadap persaudaraan dan keadilan menyebabkan konsep

kesejahteraan (falah) bagi semua umat manusia sebagai tujuan pokok Islam” 59.

Lebih jauh Abdul Majid al-Najjar merumuskan kategorisasi baru tentang Maqāshid

Syarī’ah dalam perspektif manusia dan kemanusiaan. Menurutnya, Islam diturunkan untuk

melindungi; nilai hidup manusia, zat manusia, masyarakat, dan hal-hal yang melingkupi

materi yang dibutuhkan manusia.

Termasuk kedalam perlindungan terhadap nilai-nilai hidup manusia adalah

melindungi agama (hifz al-din), fitrah, kehormatan (hifz al-a’radh), tujuan hidup dan

kebebasan manusia. Perlindungan terhadap dimensi materi (al-mady) dan immateri (al-

ma’nawi) manusia, ia masukkan ke dalam perlindungan zat manusia. Hifz al-‘aql, ia

masukkan ke dalam kategori ini60.

Merujuk kepada kategori al-Najjar tersebut, maka tawaran beberapa nilai

kemanusiaan universal yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu ‘Asyur, Yusuf

Qaradhawi dan lainnya dapat dimasukkan ke dalam kategori ini. Nilai-nilai seperti

57 Abdul Wahab Khalaf. Ushul a-Fiqh…hlm. 34 . Lihat juga Nasrun Haroen. Ushul Fiqh I, (Jakarta:
Logos, 1996), hlm. 115.
58 M. Umer Chapra. Masa Depan Ilmu Ekonomi, Sebuah Tinjauan Islam, terj. , terj. Ikhwan Abidin

Basri, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 99-106.


59 M. Umer Chapra. Islam dan Pembangunan Ekonomi, terj. Ikhwan Abidin Basri, (Jakarta: Gema

Insani Press, 2000), hlm. 7.


60 Abdul Majid al-Najjar. Maqashid al-Syari’ah… 59-236.
73

kemerdekaan, keadilan, kesetaraan (egaliter), persaudaraan (solidaritas sosial),

perdamaian dan sebagainya merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang memiliki referensi

yang cukup kuat dalam Islam. Bahkan menurut ulama kontempor, penegakkan nilai-nilai

kemanusiaan tersebut merupakan tujuan universal syari’at Islam (Maqāshid al-‘aliyat) 61.

Berbeda dengan ulama lainnya, al-Najjar memaknai hifz al-nafs dengan menjaga

manusia seutuhnya, meliputi jiwa dan raganya; materi (jism) dan immateri (maknawi).

Islam datang untuk menjaga kedua dimensi ini. Memelihara dimensi materi manusia

(jism). Islam melarang manusia menceburkan dirinya ke dalam kebinasaan. Islam

mengajarkan pemeliharaan tubuh, berolah raga, memelihara pertumbuhan badan. Dari sini

dapat dikembangkan kebutuhan manusia terhadap kesehatan, kecukupan gizi, istirahat

yang cukup, menjaga penampilan (tubuh), dan sebagainya. Tambahan Abdul Wahab

Khalaf tentang pemeliharaan jiwa berupa kebutuhan terhadap sandang, pangan dan

papan, termasuk dalam kategori ini. 62.

c. Memelihara ( ‫) ﺣﻔظ اﻟﻌﻘل‬

Ahmad al-Mursi Husain Jauhar menjelaskan akal merupakan sumber hikmah

(pengetahuan), sinar hidayah, cahaya mata hati, dan media kebagiaan manusia di dunia

dan di akhirat. Dengan akal manusia berhak menjadi pemimpin (khalifah) di muka bumi,

dan dengannya manusia menjadi sempurna, serta berbeda dengan makhluk lainnya.

61 Sebagian kalangan menjelaskan bahwa tawaran ini merupakan pengaruh perkembangan isu-isu

kemanusiaan kontemporer. Padahal, tawaran ini telah dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah yang hidup pada
masa yang masih jauh dari era modern. Artinya, nilai-nilai kemanusiaan ini digali secara murni dari nash-
nash dan referensi Islam. Sekalipun dewasa ini dijelaskan dengan menggunakan term-term “barat”.
Sekalipun memiliki substansi yang sedikit berbeda, dialog nilai-nilai kemanusiaan masyarakat dunia memiliki
nilai strategis dan penting guna menciptakan perdamaian dunia dan kerjasama antar masyarakat dunia.
Namun tawaran ini, tidaklah menafikan berbagai pilar penting lainnya, seperti hifz al-din, hifz al-‘aql, hifz al-
nasl, hifz al-mal dan sebagainya, yang secara tegas dan jelas dikemukakan olleh para ulama, serta memiliki
kerangka teori atau konseptual yang mapan dalam literatur keislaman.
62 Abdul Wahab Khalaf. Ushul al-Fiqh...hlm. 67
74

Akal menjadi poros taklif. Dengannya manusia berhak mendapat pahala dan dosa,

membuka cakrawala, menigkatkan strata hidupnya, memperbaiki diri, dapat menjalin

kehidupan materi dan spiritual, melanjutkan penemuan dan inovasinya di berbagai bidang,

menyelesaikan persoalan hidupnya dan mencapai cita-cita, serta dengan akal manusia

mendapatkan hidayah Allah, memahami keagungan dan ajaran-ajaran Allah dan mengabdi

kepada-Nya.

Manusia dengan menfungsikan akalnya, dapat mengetahui yang halal dan haram,

yang bermamfaat dan berbahaya, serta yang baik dan buruk. Dengan memfungsikannya,

manusia merasa aman, damai dan tenang. Di sinilah, Islam menjaga akal dari segala hal

yang merusak. Islam menyanjung orang yang menggunakan akalnya. Al-Qur’an mencela

orang yang menyia-nyiakan akalnya 63.

Al-Najjar menjelaskan bahwa akal merupakan bagian dari kekuatan jiwa. Namun

ia dipisah dalam kategori ini karena akal merupakan kekuatan jiwa yang paling utama.

Karena akallah manusia disebut sebagai manusia. Akal membedakan manusia dari

hewan. lebih lanjut, Ia menjelaskan bahwa pemeliharaan akal meliputi dimensi material

dan dimensi immaterial64. Kebanyakan ulama hanya memberikan contoh pemeliharaan

akal dari aspek materinya, yaitu diharamkannya meminum khamar, sebab khamar akan

menghilangkan kesadaran akal. namun dari segi immateri masih kurang terbahas.

Seharusnya Jika larangan meminum khamar dan semua minuman yang memabukkan

disyariatkan untuk menjaga akal, maka mengembangkan fungsi akal juga menjadi objek

pembahasan Maqāshid syari’ah.

63 Ahmad al-Mursi Husain Jauhar. Maqashid al-Syari’ah terj. Khikmawati, (Jakarta : Amzah , 2009),
hlm. 91-96.
64 Abd. Majid Al-Najjar, Maqasid al-Syaria’ah…129
75

Abd. Majid al-Najjar memberikan contoh diantara objek untuk memelihara akal

adalah manusia berhak mendapatkan pendidikan65formal dan non-formal, penyediaan

bahan bacaan, penelitian dan berbagai bentuk kegiatan yang dapat mengoptimalkan

fungsi akal merupakan hak pendidikan yang harus dipenuhi.

Sumber ini terdapat di dalam al-Qur'an dan al-Sunnah menjelaskannya :


: ‫اﳕﺎ اﳋﻤﺮ واﳌﻴﺴﺮ واﻻﻧﺼﺎب واﻻزﻻم رﺟﺲ ﻣﻦ ﻋﻤﻞ اﻟﺸﻴﻄﻦ ﻓﺎﺟﺘﻨﺒﻮﻩ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﻔﻠﺤﻮن ) اﳌﺎﺋﺪة‬
(90
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,

(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk

perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat

keberuntungan." (QS. Al-Maidah : 90)66.

Adapun yang berhubungan dengan pendidikan, Allah S.W.T. telah memerintahkan

kaum muslimin untuk menuntut ilmu, dan menempatkan orang yang berilmu lebih tinggi

beberapa derajat

(11
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang

yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang

kamu kerjakan". (QS. Al-Mujadalah :11)67.

Dari segi wujud manusia harus menjaga akalnya dan memiliki hak

menfungsikannya sacara maksimal. Salah satu jalan menjaga akal manusia adalah

dengan pendidikan, maka dari segi adam nya berarti setiap orang di dunia ini berhak

mendapatkan ilmu pengetahuan sesuai dengan kemampuannya. Pihak manapun – baik

65 Ibid., hlm. 126-140


66 Departemen Agam, al-Qur’an dan…hlm. 127
67 Ibid., hlm. 345
76

pemerintah ataupun non-pemerintah, individu ataupun organisasi – tidak boleh melarang

atau menghalangi seseorang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya.

Sebaliknya badan-badan ini harus menyediakan berbagai fasilitas untuk mencapainya.

Dengan cara ini, arah Maqāshid syariah telah telah dikembangkan dari sekedar menjaga

struktur akal kepada mengoptimalkan fungsi akal tersebut.

Pendidikan berkualitas merupakan dasar bagi pembangunan ekonomi sosial untuk

mengakhiri kemiskinan dan keterbelakangan. Jika di tingkat "alam Islamy" (dunia Islam)

para cendekiawan dan hartawan dapat melakukan kerjasama untuk memberantas buta

huruf dan kebodohan dikalangan umat Islam, kemudian bersama-sama mengembangkan

teknologi menuju kemandirian iptek untuk mengurangi ketergantungan kepada negara

maju, maka akan terbentuklah "khairu ummatin" yang berkualitas, yang lebih

berpendidikan dan lebih berilmu pengetahuan.

d. Memelihara nasab ( ‫)ﺣﻔظ اﻟﻧﺳب‬

Terdapat tiga term yang digunakan para ulama untuk menyebut pilar keempat ini,

yaitu hifz al-nasab, hifz al-nasal dan bidh’I atau farj68. Ketiganya dimaknai dengan

memelihara keturunan. Imam al-Ghazali dan al-Jurjawi menggunakan term hifz al-nasl

untuk menyebut bahwa memilikii keturunan merupakan upaya memelihara kelangsungan

hidup manusia. Sedangkan term nasab digunakan untuk menyebut bahwa kelangsungan

hidup berkeluarga adalah dengan cara memiliki anak (keturunan). Maka dalam kerangka

hifz al-nasl atau hifz al-nasab, manusia dianjurkan menikah.


68 Diantara para ulama yang menggunakan istilah al- Nasab adalah : Qurafi, al-Thufi, al-Razi, Ibnu
Qudamah, Baidhowi, al-Fahani, Ibnu al-Subki, Kamal bin Hamam, Mahali, Ibnu Amir al-Haji. Dengan alasan
untuk memotong dan menjaga potensi percampuran keturunan. Yang menggunakan Istilah al- Nasl antara
lain : al-Ghazali, al-Amidi, Ibnu Hajib, Adhudin, al-Syatibi, Zarkasi Futuhi, Syaukani. Mereka beralasan, untuk
memelihara keturunan dari ashalnya yaitu orang tuanya, makanya untuk menjaga nasl ini disyari’atkan
menikah, diharamkan zina dan di tetpakan hukum had. sedangkan yang menggunakan istilah bidh’I atau Farj
adalah Imam Hurmain, dengan alasan untuk melahirnkan keturunan yang sah maka harus menjaga bidh’I
atau farj. Lihat, al- Yubi, Maqashid al- Syari’a…., hlm. 247-253
77

Kedua hal ini penting. Hifz al-nasl penting bagi kelanjutan hidup manusia sebagai

genus. Bahkan Imam al-Ghazali dan al-Jurjawi menjelaskan bahwa mamfaat utama

pernikahan adalah untuk menjaga agar regenerasi manusia tetap berlangsung. Para

ulama sepakat bahwa maslahah yang dimaksudkan oleh syari’at Islam meliputi persoalan

individual (al-fard) dan sosial (al-mujtama’/jama’ah). Pada tingkat individual, kelahiran

seorang anak mendatangkan kebahagiaan; pemeliharaan yang baik terhadap anak

diharapkan bermanfa’at bagi kehidupan orang tuanya, baik sebelum atau pun ketika

memasuki usia lanjut. Ulama juga sepakat bahwa do’a anak yang sholeh menjadi syafa’at

bagi orang tuanya di akhirat nanti. Keberhasilan dan kegagalan pendidikan anak

berpengaruh terhadap kebahagiaan orang tua di dunia dan di akhirat. Sedangkan pada

tingkat mujatama’ / jama’ah manusia diciptakan oleh Allah untuk menjadi khalifah di muka

bumi, yaitu untuk mengimarahkan (membangun) alam. Misi ini akan tetap berjalan hanya

bila regenerasi manusia dijaga. Bila tidak, manusia akan punah dan misi kekhalifahannya

pun terhenti.69

Dari segi individu ( a-fard) setiap manusia muslim harus menjaga perbuatan yang

dapat merusak nasabnya sendiri, seperti melakukan zina70. Untuk menjamin kebaikan

keturunan ini Allah menjelaskan :

(32 : ‫وﻻ ﺗﻘﺮﺑﻮاﻟﺰﱏ اﻧﻪ ﻛﺎن ﻓﺎﺣﺸﺔ وﺳﺎء ﺳﺒﻴﻼ ) اﻻﺳﺮاء‬

“Jangan kamu dekati zina, karena ia adalah perbuatan keji.( Q.S. al-Isra’: 32)71

Sebagai sanksi bagi pelaku zina, Allah menetapkan :

(3 : ‫اﻟﺰاﻧﻴﺔ واﻟﺰاﱐ ﻓﺎﺟﻠﺪوا ﻛﻞ واﺣﺪ ﻣﺎﺋﺔ ﺟﻠﺪة ) اﻟﻨﻮر‬


69Abdul Majid al-Najjar, Maqashid al-Syari’ah…hlm. 170
70Amir Syarifddin, Ushull al-Fiqh…hlm. 212
71Departemen Agama, al-Qur’an dan…hlm. 453
78

“Pezina laki-laki dan perempuan cambuklah masing-masing 100 kali” (Q.S. al-

Nur : 3)72

Dari segi sosial ( mujtama’ ) memelihara hifz al- nasab/ hifz al-nasl Allah swt telah

mengatur tata cara menghargai eksistensi diri manusia, maka setiap penghasut,

penggunjing dan pencela disyariatkan diberikan sanksi. Karena dari sinilah langkah untuk

menjaga harga diri manusia, pengakuan eksistensi kemanusiaan melalui persamaan,

keadilan dan persaudaraan merupakan hak kemanusiaan yang harus dipenuhi 73.

Misalnya, untuk menjaga harkat dan martabat manusia dari penuduh zina

( Qadzaf ), Allah menegaskan ancaman sebagiamana yang terdapat dalam surat al-Nur :

.‫واﻟﺬﻳﻦ ﻳﺮﻣﻮن اﶈﺼﻨﺎت ﰒ ﱂ ﻳﺎءﺗﻮا ﺑﺎءرﺑﻌﺔ ﺷﻬﺪاء ﻓﺎﺟﻠﺪوا ﲦﺎﻧﲔ ﺟﻠﺪة وﻻﺗﻘﺒﻠﻮا ﳍﻢ ﺷﻬﺎدة اﺑﺪا‬
(4 : ‫اوﻟﺌﻚ ﳘﺎﻟﻔﺎﺳﻘﻮن ) اﻟﻨﻮر‬
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-
lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik". (Q. S. Al-Nur :4)74.

Adapun yang berhubungan dengan penghormatan, persamaan dan keadilan,

Allah S.W.T. telah memuliakan anak Adam yaitu seluruh manusia dan memerintahkan

untuk berbuat adil kepada siapapun tanpa kecuali, baik kepada orang yang disukai

ataupun terhadap orang yang dibenci. Allah S.W.T. berfirman:

) ‫وﻟﻘﺪ ﻛﺮﻣﻨﺎ ﺑﲎ ادم وﲪﻠﻨﻬﻢ ﰱ ﻟﱪ واﻟﺒﺤﺮ ورزﻗﻨﺎﻫﻢ ﻣﻦ اﻟﻄﻴﺒﺖ وﻓﻀﻠﻨﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﻛﺜﲑ ﳑﻦ ﺗﻔﺼﻴﻼ‬
( 7 : ‫اﻻﺳﺮاء‬
"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka

di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan

72 Ibid., 75
73 Yusuf al- Qardhawi, Madkhal Li… hal. 75
74 Departemen Agama…al-Qur’an dan…478
79

mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami

ciptakan". (Q. S. Al-Isra' 70).75

Dalam ayat lain Allah S.W.T. berfirman:


‫ اﻋﺪﻟﻮا ﻫﻮ‬.‫ﻳﺎﻳﻬﺎﻟﺬﻳﻦ اﻣﻨﻮا ﻛﻮﻧﻮا ﻗﻮاﻣﲔ ﷲ ﺷﻬﺪاء ﺑﺎﻟﻘﺴﻂ وﻻ ﳚﺮﻣﻨﻜﻢ ﺷﻨﺎءن ﻗﻮم ﻋﻠﻰ اﻻ ﺗﻌﺪﻟﻮا‬
(8 : ‫اﻗﺮب ﻟﻠﺘﻘﻮى )اﳌﺎﺋﺪة‬
"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-
kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa." (QS. Al Maidah: 5/8).76

Keadilan sebagai asas masyarakat Islam ditegaskan Rasulullah dalam sabda

beliau: ”Demi Allah, jikalau Fatimah binti Muhammad mencuri, akan aku potong

tangannya.” (Hadis Riwayat Aisyah r.a.)

e. Memelihara harta ( ‫) ﺣﻔظ اﻟﻣﺎل‬

Ahmad al-Mursi Husain Jauhar dalam kitabnya Maqāshid Syariah, sekalipun

belum sistematis, menjelaskan hifz al-mal ini secara mendalam, baik konsepsi mengenai

harta, cara mendapatkan, menafkahkan dan menginfakkannya. Menurutnya, harta

merupakan salah satu kebutuhan inti dalam kehidupan, dimana manusia tidak akan bisa

terpisah darinya. Manusia termotivasi mencari harta demi menjaga eksistensinya dan

menambah kenikmatan materi dan religi77.

Dalam hal ini, dari segi wujud, Abdul Wahab Khalaf menjelaskan bahwa untuk

berupaya dan mencari serta mendapatkan harta, Islam mensyari’atkan kewajiban usaha

mencari rizki dan membolehkan mu’amalah (hubungan usaha), muhadalah (tukar-

75 Ibid., 478
76 Ibid., 298
77 Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid al-Syari’ah…hlm. 135
80

menukar), tijarah (perdagangan), dan mudhorobah (berniaga dengan harta orang lain) 78.

Yang secara rinci dijelaskan dalam fiqh mu’amalah.

Dengan disyari’atkan usaha tersebut, orang akan terdorong untuk bekerja 79 dan

meningkatkan taraf hidupnya, yang pada gilirannya akan melahirkan sikap optimis untuk

terus melakukan penemuan-penemuan. Hal ini sekaligus dapat memotivasi orang untuk

selalu berfikir produktif dan membuat karya-karya baru, yang dapat meningkatkan

kemandirian ekonomi sehingga setiap saat siap menghadapi perubahan pasar. Karena

kerja merupakan wujud keberadaan manusia di muka bumi dan seseorang dikenal dan

diperhitungkan berdasarkan kerja yang dilakukan, maka fighting spirit (semangat bersaing)

yang diberikan Islam untuk melakukan kebaikan, seharusnya dapat mengantarkan umat ini

mencapai kejayaan.

Selain pekerjaan itu sendiri, hak bekerja berarti juga bahwa setiap pekerja berhak

mendapatkan standar gaji minimum, asuransi kesehatan, keselamatan kerja, jaminan hari

tua dan fasilitas lainnya sesuai tingkat pendidikan dan kemampuannya. tidak ada negara

yang dapat berbuat sewenang-wenang terhadap pekerja. Negara yang berbuat sewenang-

wenang terhadap pekerja dan tidak memberikan haknya dapat dikategorikan sebagai

pelanggar HAM dan dapat dikenakan sangsi.

Adapun untuk memelihara harta yang berhubungan dengan hak bekerja, Allah

S.W.T. telah memerintahkan kaum muslimin untuk giat bekerja dan mendapatkan

kekayaan secara halal.

78 Abdul Wahab Khalaf. Ushul al-Fiqh…hlm. 70


79 Lihat al-Yubi¸ Maqashid al-Syari’ah… hal. 449.
81

‫ﻓﺎءذا ﻗﻀﻴﺖ اﻟﺼﻠﻮة ﻓﺎﻧﺘﺸﺮوا ﰱ اﻻرض واﺑﺘﻐﻮا ﻣﻦ ﻓﻀﻞ اﷲ واذﻛﺮواﷲ ﻛﺜﲑا ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﻔﻠﺤﻮن‬
(10‫)اﳉﻤﻌﺔ‬

"Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi;

dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu

beruntung". ( al-Jumuah :10)”80.

Dalam ayat lain Allah berfirman:

‫ ان اﷲ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺷﺊ‬,‫ اﻳﻦ اﺗﻜﻮﻧﻮا ﻳﺎءت ﺑﻜﻢ اﷲ ﲨﻴﻌﺎ‬,‫وﻟﻜﻞ وﺟﻬﺔ ﻫﻮ ﻣﻮﻟﻴﻬﺎ ﻓﺎﺳﺘﺒﻘﻮاﳋﲑات‬
(148 : ‫ﻗﺪﻳﺮ ) اﻟﺒﻘﺮة‬

“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya.

Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan”. (QS. Al-Baqarah: 148).

Sedangkan dari segi ‘adam, Abdul Wahab Khalaf menjelaskan bahwa untuk

memelihara dan menjaga harta, Islam mensyari’atkan haramnya pencurian, memberi

hukuman had kepada pencuri, haramnya penipuan, khianat dan memakan harta orang lain

secara batil 81. Yang secara rinci dijelaskan pada bab hudud atau fiqh jinayah 82.

Dari segi adam untuk memelihara harta, Allah swt memjamin hak milik seseorang

sebagaimana terdapat di dalam al-Qur'an dan al-Sunnah :

(38 : ‫اﻟﺴﺎرق واﻟﺴﺎرﻗﺔ ﻓﺎﻗﻄﻌﻮا اﻳﺪﻳﻬﻤﺎ ﺟﺰاء ﲟﺎ ﻛﺴﺒﺎ ﻧﻜﺎﻻ ﻣﻦ اﷲ واﷲ ﻋﺰﻳﺰ ﺣﻜﻴﻢ ) اﳌﺎﺋﺪة‬
"Laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)

pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah

Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". ( al-Maidah : 38)83.

80 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan…hlm. 543


81 Abd al-Wahab Khalaf, Ushul al-Fiqh… hlm. 359-360.
82 Lihat A. Djazuli. Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 71-94.


83 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan…hlm. 321
82

Untuk menjamin hak kepemilikan harta dari perusakan, perompakan Allah

menjelaskan :

‫اﳕﺎ ﺟﺰاءاﻟﺬﻳﻦ ﳛﺎرﺑﻮن اﷲ ورﺳﻮﻟﻪ وﻳﺴﻌﻮن ﰱ اﻻرض ﻓﺴﺎدا ان ﻳﻘﺘﻠﻮا او ﻳﺼﻠﺒﻮا اوﺗﻘﻄﻊ اﻳﺪﻳﻬﻢ‬
) ‫وارﺟﻠﻬﻢ ﻣﻦ ﺧﻼف او ﻳﻨﻔﻮا ﻣﻦ اﻻرض ذﻟﻚ ﳍﻢ ﺧﺰي ﰱ اﻟﺪﻧﻴﺎ وﳍﻢ ﰱ اﻻﺧﺮة ﻋﺬاب ﻋﻈﻴﻢ‬
(33 : ‫اﳌﺎﺋﺪة‬
“ Sesungguhnya pembalasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-
nya membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau di salib atau
dipotong tangandan kaki secara bersilang atau dibuang dari negeri (kediamannya, yang
demikian itu sebagaia suatu penghinaan bagi mereka di dunia dan di akhirat mereka
mendapat siksa yang besar ( al-Maidah : 33)84

2. Mashlahah Hajiyyat.

Hajiyat dapat diartikan sesuatu yang dibutukan, diinginkan atau penting. Ahmad

Warson Munawir menerjemahkan kata hajiyat sebagai “keperluan-keperluan (hal-hal yang

amat diperlukan)” 85. Tingkat kepentingan hajiyat belum mencapai tingkat darurat,

fundamental, asasi, atau esensial. Sebagian ahli ushul menyebutnya sebagai kebutuhan

sekunder 86. Kebutuhan setingkat di bawah kebutuhan primer, pokok, atau dharuri.

Maqāshid atau Maslahah Hajiyyat adalah sesuatu yang sebaiknya ada agar dalam

menjalani hidup dengan mudah dan terhindar dari kesulitan. Kalau sesuatu ini tidak ada,

maka ia tidak akan menimbulkan kerusakan atau kematian hanya saja akan

mengakibatkan masyaqah (kesulitan) dan haraj (kesempitan) 87.

Masyaqqah berarti kesulitan, hidup dinyatakan sulit bila ia merasakan kesusahan

karena ada kesusahan dan kesempitan. Seperti disabdakan Rasulullan; “Kalaulah tidak

memberatkan umatku, akan saya perintahkan mereka bersiwak setiap kali hendak sholat”

84 Ibid., hlm. 324


85Ahmad Warson Munawwir. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), hlm. 306.
86 Satria Effendi, Ushul Fiqh…234.
87 Imam Syathibi. al-Muwafaqat…, hlm. 9. Lihat juga al-Yubi. Maqashid a-Syari’ah…hlm. 318.
83

88. Menurut Shalih ibn Abdillah ibn Hamid, masyaqqah dan haraj adalah dua istilah yang

identik.

Menurut Abd al-Karim Zaidan, salah satu prinsip syari’at Islam adalah

menghilangkan kesulitan (raf’u al-haraj). Banyak nash yang menunjukkan bahwa Allah

menghendaki kemudahan dan keringan dalam penetapan syari’at bagi hamba-Nya, bukan

sebaliknya menambah kesulitan dan kesempitan dalam hidup 89.

Dalam qawaid fiqhiyah dikenal kaidah,

‫اﳌﺸﻘﺔ ﲡﻠﺐ اﻟﺘﻴﺴﲑ‬


“ Kesulitan itu dapat menarik kemudahan” 90.

Maksudnya, hukum-hukum yang sulit dan berat untuk dilaksanakan oleh mukallaf,

maka syari’at memberikan keringanan dan kemudahan. Misalnya, dalam masalah ibadah

adalah adanya rukhsah; shalat jama dan qashar bagi musafir; qadha puasa bagi yang

sakit dan sebagainya.

Bahkan terdapat kaidah yang menyatakan; “kebutuhan umum atau khusus, dapat

menempati posisi darurat” 91. Lebih lanjut Abi al-Harits al-Ghazzy menjelaskan; apabila

terdapat kebutuhan umum atau seseorang yang meningkatkan posisi hajat ke dharurat,

maka hal ini dimungkinkan untuk memberikan keringan, kelapangan dan kemudahan

kepada mukallaf, namun kondisi ini berakhir dengan hilangnya kemudaratan 92. Dalam hal

ini, Muchlis Usman memberikan contoh; bahwa dalam transaksi (aqad) jual beli

88 Shalih ibn Abdillah ibn Hamid. Raf’u al-Haraj fi al-Syari’at al-Islamiyah, Dhawabithuh wa

Thathbiquh, (Mekkah: Dar al-Istiqamah, 1412 H), hlm. 29.


89 Abd al-Karim Zaidan. Al-Madkhal Li-Dirasah al-Syari’ah al-Islamiyyah, ( Baghdad : Dar al-Fikr:

1969), cet-ke-4, hlm. 112


90 Abi al-Harits al-Ghazzy. Al-Wajiz fi idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyah, (Kairo: Muassisah Risalah,

1416 H), hlm. 218. Lihat juga Muchlis Usman. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2002), hlm. 123.
91 Abi al-Harits al-Ghazzy. Al-Wajiz Fi…hlm. 242.
92 Ibid. hlm. 245
84

disyaratkan terpenuhinya rukun-rukun dan syarat sah, namun karena kebutuhan umum

diperboleh jual beli salam, yaitu jual beli lewat pesanan 93.

3. Mashlahah Tahsiniyyat.

Dalam al-Mu’jam al-Wajiz disebutkan Tahsin semakna dengan tazyin, yang berarti

menjadikan lebih baik, lebih indah atau menghiasi 94. Maqāshid atau Maslahah Tahsinat

adalah sesuatu yang sebaiknya ada demi sesuainya dengan keharusan akhlak yang baik

atau dengan adat. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka tidak akan menimbulkan kerusakan

atau hilangnya sesuatu juga tidak akan menimbulkan masyaqah dalam melaksanakannya,

hanya saja dinilai tidak pantas dan tidak layak manurut ukuran tatakrama dan kesopanan.

Di antara contohnya adalah thaharah, menutup aurat dan hilangnya najis 95.

D. Maqashid syari’ah ditinjau dari cakupannya

Al-Ayubi menjelaskan bahwa maqashid al-syari’ah ditinjau dari segi cakupannnya

terbagi tiga, yaitu: ‘ammah, khassah, juz’iyyah96

1. Al-Maqashid al- ‘Ammah

Yang dikatakan al-maqashid al-‘ammah yaitu pendekatan yang digunakan untuk

memahami pemeliharaan seluruh bidang tasyri’. Atau dengan arti lain, al-maqashid al-

‘ammah yaitu makna atau hikmah yang dilihat dari sudut pandang seluruh hal tasyri’, tidak

dikhususkan, sebaliknya memahami dari sifat-sifat syari’at dan cakupan yang umum, baik

dari ibadah, mu’amalah maupun jinayat97.

93 Muchlis Usman. Kaidah-Kaidah..hlm. 76.


94 Majma’ al-Lughoh al-‘Arabiyah. Al-Mu’jam al-Wajiz, (Mesir: Wazarah al-Tarbiyah wa al-Ta’lim,
1994), hlm.151.
95 Imam Syathibi. al-Muwafaqat…hlm. 45.
96 Al-Yubi, Maqashid al-Syari’ah...hlm. 388
97 Ibid. hlm. 388
85

Sedangkan Jamaluddin ‘Athiyah mengatakan yang dimaksud al-maqashid al-

‘ammah ketika seseorang membahas tentang maqashid semua orang bisa memahami

secara cepat dan jelas. Menurutnya, yang termasuk al-maqashid al-‘ammah adalah,

memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta98, sebagaimana disebutkan oleh

Ghazali99 dan Juwaini. Pendapat mereka terus diikuti oleh para ushuliyyun setelahnya.

Diantara para ushuliyyun ini ada yang menambah, mengurangi, mendahulukan, serta

mengutip pembahasan dan contoh pada tempat yang lain.

Menurut al-Yubi, al-maqashid al-‘ammah pada dasarnya banyak, namun di dalam

kitabnya Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah wa-‘Alaqatiha bil-Adillati al-Syar’iyyati, beliau

memberikan dua kategori, yaitu :

a. Jalbu al-masalih wa daru al-mafasid ( meraih kemaslahatan dan menolak kerusakan)

b. Al-Taisir wa raf’u al-haraj ( mudah dan melapangkan kesempitan)100

2. Al-Maqashid al-Khassah

Al-Maqashid al-khassah Yaitu maqashid yang melingkupi arti khusus dengan bab

yang jelas dalam bidang-bidang syari’ah, atau beberapa jenis bidang dan bidang-bidang

yang sudah ditentukan. Misal, seluruh bidang yang membahas maqashid ibadah,

maqashid mu’amalah, maqashid jinayah, maqashid thaharah dan maqashid jual

98 Jamal al-din ‘Athiyyah, Nahwa Taf’il Maqashid al-Syari’ah, ( Suriah : Dar al- Fikr, 2003), hlm.
124
99 Lihat kitab karangan Al-Gazali, al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul, (Madinah al-Munawarah : Jami’ah

Islamiyyah, tt), jilidke-3, hlm. 546


100 Al- Yubi, Maqashid al-Syari’ah..., hlm. 388-389
86

beli.101Jamaluddin ‘Athiyah lebih luas membaginya hingga masuk wilayah kemanusiaan

dan kemasyarakatan102

2. Al-Maqashid al-Juziyyah

Al-Maqashid al-juziyyah adalah yang berhubungan dengan masalah yang

keduanya dibahas, jika al-maqashid al-‘ammah membahas seluruh al-maqashid al-syari’ah

sedangkan al-maqashid al-khassah yang berhubungan dengan penjelasan perbab atau

perjenis al-maqashid al-syari’ah, maka al-maqashid al-juziyyah adalah apa saja yang

membahas tentang dalil khusus dari hikmah atau ‘illat yang mengungkap al-maqashid al-

syari’ah 103. Para fuqaha menyebutnya dengan hikmah, sebagian mereka menggantinya

dengan istilah-istilah qiyas , dan sebagian ulama lainnya dengan menjelaskan rahasia-

rahasia tasyri’, ‘illat dan hikmahnya 104.

E. Maqāshid Syari’ah Ditinjau dari Aspek Penerapannya

Dari beberapa jenis Maqāshid syari’ah yang telah dijelaskan diatas, maka

penerapannya meliputi berbagai bidang kehidupan manusia 105. Jamaluddin ‘Athiyyah

menjelaskan bahwa Maqāshid dharuriyat yang lima dalam penerapannya dapat dibagi

menjadi empat bidang, 106 diantaranya :

1. Maqāshid Syari’ah Yang Dikhususkan Untuk Individu :

Jamaluddin ‘Athiyah menjelaskan bahwa Maqashid al-Syari’ah al-Dharuriyyah

yang lima hal atau yang disebut ulama ushul lainnya dengan Kulliyat al-Khamsah, dari segi

penerapanannya (tathbiq) dapat laksanakan dalam 4 (empat) bidang (majal), yaitu :

101 Ibid., hlm. 411


102 Lihat Jamal aL-din ‘Athiyyah, Nahwa Taf’il …131
103 Al- Yubi, Maqashid al-Syari’ah…hlm. 415
104 Jamaluddin ‘Athiyah, hlm. 138
105
Metode ini akan menjadi pisau analisis dalam penelitian ini.
106 Jamaluddin ‘Athiyyah, Nahwa Taf’il…hlm. 142
87

pertama, bidang individu (Hak Individu); kedua, bidang keluarga; ketiga, bidang

keummatan; keempat, bidang kemanusiaan107. Berikut akan dijelaskan satu persatu

secara berurutan.

a. Memelihara agama

Manusia berkewajiban memelihara dan menegakkan agama, bahkan masalah

agama ini oleh abdul Majid al-Najjar diposisikan pada maqashid yang paling tingi dalam

syari’at Islamiyyah108. Meskipun konsep maqashid al-syari’ah yang ditawarkan Jamaluddin

tidak sedetail Ibnu Taymiyyah dan Abdul Majid al-Najjar109, Jamaluddin juga menjelaskan

bahwa yang menjadi katagori memelihara agama adalah :

1) Dengan mengamankan dasar-dasar akidah, memelihara dan menjauhi apa saja yang

dapat menghancurkannya. Dengan cara menguatkan akidah sesuai dengan kitabullah

dan Sunah, menjauhi dosa-dosa besar yang berhubungan dengan akidah, seperti

syirik, nifak, riya, bid’ah dan lainnya

2) Dengan menegakkan ibadah-ibadah yang difardhukan

3) Dengan bertingkahlaku berdasarkan akhlaq Islam seperti sidik, ikhlas, amanah dan

mengisi dengan amal-amal yang soleh

4) Menyempurnakan keta’atan-keta’atan yang wajib110

b. Memelihara jiwa

107 Ibid.,hlm. 139


108 Abdul Majid al-Najjar, Maqashid al-Syari’ah…cit, hlm. 62
109 Menurut penulis kelemahan konsep yang ditawarkan oleh Jamaluddin ‘Athiyyah adalah, tidak

dijelaskan secara terus terang bagaimana mempertahankan nilai-nilai Maqashid al-syari’ah al-dharuriyyah
jika eksisteninya terancam. Berbeda dengan Ibnu Taymiyyah yang secara jelas mengatakan, jika wujud
maqashid al-syari’ah al-dharuriyyah terganggu, beliau menawarkan dengan konsep adam nya yang bisa
dipahami dengan kata “ pertahankan!!”. begitu juga Abdul Majid al-Najjar yang secara jelas manawarkan
bahwa diantara salah satu jalan mempertahankan agama adalah dengan jihad (perang), lihat ibnu
Taymiyyah dalam Maqashid Syari’ah..op.cit, hlm. 446, Lihat juga. Abdul Majid al-Najjar, Maqashid al-
Syari’ah…, hlm. 62
110 Jamaluddin ‘Athiyyah, Nahwa Taf’il… hlm. 145
88

Yang dimaksud memelihara jiwa adalah menghindarkan perusakan secara umum

yang dapat mengakibatkan kematian, dengan kata lain menjaga beberapa bagian tubuh

dari perusakan, atau bagian-bagian yang mengarah pada rusaknya seluruh bagian jasad,

menghilangkan manfaat jiwa secara umum, pelanggaran terhadap maksud ini

mengakibatkan seseorang dijatuhi hukuman diyat secara penuh, dalam undang – undang

disebut dengan hak hidup dan menghormati jiwa111

Adapun yang menjadi jalan ( masalik) memelihara jiwa adalah :

1) Menjaga keamanan dari permusuhan, diharamkan membunuh karena adanya

permusuhan tersebut, menerapkan hukum qishash bagi pembunuhan yang disengaja

dan membayar diyat bagi pembunuhan tersalah.

2) Menjaga penunjang apa saja yang dibutuhkan jiwa, baik makanan, minuman, pakaian,

tempat tinggal, menjaga dari berbagai penyakit menular dan lainya, ini semua

merupakan jalan (wasail ) dalam memelihara jiwa.

3) Menjaga kemerdekaan privasi dan menghormati manusia secara hakiki. berarti telah

memuliakan manusia yang Allah pilih secara khusus dari pada hewan yang

kehidupannya hanya butuh makan dan minum. yang demikian itu disebabkan manusia

bukan hanya dilihat dari sisi materi dan jasadiyah, tetapi memilki ruh (jiwa), maka cara

memeliharanya adalah dengan memelihara seluruh aspek jiwa dan raga, maka hukum

memelihara Maqāshid yang demikian sebagai dharuri.112 Sedangkan Al- Syatibi

memasukkan hal ini kepada pemeliharaan kehormatan dan jiwa 113

c. Memelihara akal

111 Ibid., hlm. 142


112 Ibid., hlm. 143\
113 Al-Syatibi, al- Muwafaqt,… hlm. 48
89

Sebagai catatan bahwa akal adalah sebuah aktifitas, bukan bagian dari anggota

tubuh. Akal merupakan otak yang menyimpan pengetahuan yang kemudian

menyampaikan ke seluruh anggota tubuh lainnya. Pendengaran, penglihatan, rasa melalui

urat saraf sebagai penyambung atau wasilah antara dengan otak.114

Yang dimaksud menjaga akal adalah :

1. Menjaga keselamatan otak, alat urat syaraf dan menjauhi dari seluruh aspek yang

dapat mengakibatkan kerusakan, baik karena mabuk (minum-minuman) maupun alat-

alat yang dapat menghilangan kesadaran lainnya.

2. Memelihara materi otak sebagai tempat akal manusia, dengan cara membimbing,

mengeksplorasi agar akal tetap tegak pada fungsinya.

3. Menjauhi jalan-jalan yang mengarah pada berhentinya fungsi akal atau

mengacaukannya, seperti mengikuti hawa nafsu, taklid buta, berdebat, keras kepala,

sombong dan apa saja yang menghilangkan daya pikir ilmiyah.

4. Memberikan kebebasan berfikir, karena berfikir adalah penggerak akal untuk meraih

hakekat115. Akal yang terbelenggu oleh paksaan tidak akan bisa melahirkan pemikiran

yang orisinil, sebaliknya seluruh pemikiran dipengaruhi oleh aspek-aspek eksternal

karena ada perasaan takut dan tertekan.

5. Dengan melaksanakan hal yang demikian akal akan terlatih pada fungsinya yang tinggi

dari petunjuk-petunjuk yang logis, kajian mendalam (istiqra’i), historis, dasar pada

penetapan akidah, disyari’atkan ibadah akliyah (masuk akal), mengingat dan

114 Jamal al-din ‘Athiyah, Nahwa Taf’’il…hlm. 142


115 Abdul Majid al-Najjar, Maqashid al-Syari’ah…hlm. 130
90

mempertimbangkan, melihat, merenungkan dan mengambil I’tibar. Contoh dari segi ini

masuk pada ranah pemeliharaan terhadap akal dan agama 116

d. Menjaga kehormatan

Yang dimaksud kehormatan di sini dalam arti luas, karena tidak hanya dilihat dari

segi fisik, tetapi mencakup seluruh aspek yang berhubungan dengan kehormatan

manusia, sebagaimana telah diungkapkan dalam penjelasan tentang memelihara jiwa,

baik pendengaran, kehormatan maupun kehidupannya. Secara khusus kehormatan dari

sisi kemanusiaan berarti menjaga, baik diri, keluarga atau orang yang berada di bawah

kewajibannya dari kehinaan dalam masyarakat.

Memelihara kehormatan dari permusuhan supaya manusia tidak suka menyakiti,

dan dari perkataan yang menghinanya. Sebagaimana telah dicantumkan di dalam nash

tentang larangan menjatuhkan kehormatan manusia dengan ghibah, qazaf (tuduhan

berzina) dan sebagainya. Dalam nash dijelaskan tentang hukuman berat bagi orang yang

berlebihan menjatuhkan kehormatan, dengan had bagi penuduh zina (qazaf) khususnya,

Demikian juga disyari’atkan ta’zir atasnya. Bahkan Qurafi, al-Thufi, al-Subki, dan al-

Syaukani menjelaskan bahwa pemeliharaan kehormatan merupakan dharuriyyat dapat

dikategorikan pada pemeliharaan keturunan (menurut sebagian ulama) .

e. Memelihara harta

Yang dimaksud dengan harta di sini adalah mencakup harta individu, keluarga dan

umat. Dalam Islam, harta pada hakekatnya milik Allah, sedangkan manusia dijadikan

116 Ibid.,hlm. 143-144


91

khalifah (wakilnya) untuk memelihara harta tersebut guna memakmurkan bumi.

Berdasarkan tinjauan ini, maka akan berakibat pada: pertama, setiap harta yang dimiliki

berfungsi untuk kehidupan sosial (bukan hak pribadi secara mutlak); kedua, setiap aktifitas

yang dikerjakan tidak dilihat hanya dari segi ekonomis, tetapi demi memakmurkan

kehidupan di permukaan bumi. Dan kedua hal itu tetap saling melengkapi117.

Oleh karena itu, disyari’atkan untuk bekerja, melakukan perjanjian dengan orang

lain, waris-mewarisi, menguasai harta yang dihalalkan, membuka lahan kosong (ihya

al-mawat) dan apa saja yang berhubungan dengan harta, bekerja secara halal, berinfaq

dan menunaikan hak-hak Allah, menjauhi penimbunan harta, menganiaya hak-hak orang

lain, memakan harta secara bathil, mendatang kemudharatan kepada orang lain,

sombong, berbohong dan berpaling dari mengingat dan bersyukur kepada Allah.

Untuk memelihara harta (hifz al-mal), ditetapkan hukum -hukum khusus, antara

lain; ikhlas dalam berinfaq, menjauhi kebodohan, dilarang berpoya-poya (kehidupan

glamour), berlebih-lebihan dan perlindungan terhadap hak milik seperti pemberlakuan had

bagi pencuri dan ta’zir 118

2. Maqāshid Al-Syari’ah Yang Khusus Bagi Keluarga.

Keluarga adalah bagian terkecil dari masyarakat, dan bagian yang tidak

terpisahkan dalam perjalanan sejarah kehidupan kemanusiaan secara umum. Oleh sebab

itu, seharusnya tidak ada perbedaan dalam memperhatikan satu sama lain, harus saling

membina kesatuan bagi masyarakat, antara kelompok, golongan, organisasi dan lainnya .

Maqāshid al-syari’ah dalam bidang ini mencakup beberapa hal, diantaranya:

pertama, aturan hubungan antara dua jenis (laki-laki dan perempuan), yang mencakup;

117 Ibid., hlm. 147


118 Ibid., 147
92

a. Syari’at tidak menghendaki pencampuradukan dua jenis kelamin laki-laki dan

perempuan tanpa memperhatikan kaedah-kaedah syari’at sebagaimana hewan. Oleh

sebab itu, syari’at telah mengatur hubungan dua jenis tersebut dalam satu bentuk

pernikahan beserta hak-hak dan kewajiban sebagai suami- isteri.

b. Hubungan suami-isteri disyari’atkan beberapa hukum secara bertingkat, antara lain:

dianjurkan menikah, dibolehkan poligami bagi yang memenuhi syarat, thalaq (bercera ),

menjauhi zina, melarang hubungan di luar ketentuan Allah, hijab, larangan berkhalwat

dan sebagainya.

Kedua, menjaga keturunan, antara lain mencakup hubungan kedua jenis secara

mutlak harus menghantarkan kepada pemuliaan terhadap maksud memelihara keturunan

(hifz al-nasb). Syari’at menguatkan maksud hak-hak tersebut dengan dijadikannya syari’at

terhadap hubungan dua individu yang berbeda agar mengarah pada kemuliaan, karena

hunbungan yang tidak mengikuti aturan syara’ hanya menuju kesenangan belaka, tidak

menuju kemuliaan, padahal hubungan antara dua jenis merupakan sunnatullah dalam

penciptaannya baik manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Di antara maksud hak-hak

tersebut adalah;

a. Syari’at mengharamkan homo seks (liwath) dan lesbian.

b. Diharapkan kemuliaan, diharamkan menyakiti anak, melakukan aborsi, ‘azl

(mengeluarkan sperma di luar rahim) kecuali adanya kesepakatan suami isteri119

c. Ibnu ‘Asyur menyebutkan hifzu al-nasl mengakibatkan wajibnya menjaga umat dari

kehancuran seperti tidak mengauli isteri, membujang dan lainnya, diwajibkan

memelihara keutuhan umat dari keterputusan anggota keluarga120

119 Jamal al-Din ‘Athiyah, Nahwa Taf’’il. hlm. 150


93

Ketiga, hak untuk mewujudkan keluarga yang sakinah ma- waddah wa-rahmah,

antara lain mencakup;

a. Tidak membatasi hubungan suami- isteri hanya dalam bentuk jasadiyah saja, karena

maksud syari’at dalam hubungan suami – isteri harus melahirkan kasih sayang

(mawaddah wa-rahmah) dan menjadikan keduanya tenang

b. Disyari’atkan dengan hukum-hukum, agar berkumpul yang baik antara suami ister,

beradab dalam berjima’

c. Hukum-hukum yang bisa di ambil dari segi dharuriyatnya seperti ketenangan

(sakinah), dari segi hajiyatnya seperti mawaddah dari segi mukammalatnya seperti al-

rahmah

Keempat, memelihara nasab, yaitu meliputi;

a. Menjaga nasab manusia merupakan dasar Maqāshid al-syari’ah yang ditekankan dari

menjaga keturunan (hifz al-nasl)121. Ushuliyyun menolak untuk memilih salah satunya

antara al-nasab atau al-nasl karena keduanya merupakan Maqāshid al-syari’ah dalam

pembentukan keluarga

b. Untuk mencapai maksud ini syari’at mengharamkan zina, mengangkat anak, untuk

menjaga kerasahasiaan apa yang ada di dalam rahim diadakan hukum khusus ‘iddah.

c. Ushuliyyun mengungkapkan menjaga nasab merupakan kulliyat al-syari’at dari segi

dharuriyyat, namun Ibnu ‘Asyur mengungkapkan bahwa yang dikehendaki dari hifz al-

120 Muhmmad Thahir Ibnu ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah ( Pakistan, Dar al-Nafais,

2001) , cet ke-2, hlm. 150


121 Perbedaan al- nasab dengan al-nasl adalah : nasab berhungan dengan dasar darii hubungan

kekeluargaan, maka dalam Islam diwajibkan asal dari pembentukan nasab adalah “pernikahan”. Lihat
kamus…al-munawir.hlm. 1411 sedangkan nasl ( keturunan) berhubungan kekeluargaan yang disebabkan
adanya pembentukan nasab, maka dalam arti lain nasl (keturunan) dapat disamartikan dengan “al-dzurriyyat”
anak cucu dan terus ke bawah. Lihat kamus al-munawir… hlm. 145 . lihat juga Jamal Al-Din ‘Athiyyah,
Nahwa Taf’’il… hlm. 151. Dengan demikian dapat disimpulkan jika ingin membentuk al- Nasl yang baik
harus di mulai dari pembentukan nasab yang baik pula.
94

nasb adalah menjaga penyebutan keturunan ( al-nasl) kepada dasarnya, oleh sebab itu

disyari’atkan menikah, diharamkan zina, ditetapkan had. Ini yang dimaksud dengan

dharuriyyat, sehingga mudah untuk dikenal dalam kehidupan masyarakat (karena ada

orang tuanya) seperti Zaid bin Umar122

Kelima, menjaga agama dalam keluarga yang mencakup antara lain;

a. Para nabi dalam berda’wah, yang pertama diperhatikannya adalah orang yang paling

dekat dengannya, yaitu; isteri, anak dan orang-orang yang berada dalam

tanggungjawabnya di hadapan Allah Swt.

b. Syari’at hadir menuntut pertanggungjawaban kepala keluarga tentang keberagamaan

keluarganya sejak dari membangun rumah tangga, cara mendidik istri dan anak-anak,

cara menanamkan akidah, ibadah dan akhlaq. Dan ini semua merupakan sebuah

kewajiban kepala keluarga123. Sesuai dengan firman Allah pada surat Thaha ayat 132;

(132 : ‫واءﻣﺮ اﻫﻠﻚ ﺑﺎﻟﺼﻼة واﺻﻄﱪ ﻋﻠﻴﻬﺎ ) ﻃﻪ‬

“Suruhlah keluargamu mengerjakan sholat dan bersabarlah terhadapnya”.

c. Menghilangkan agama dalam rumah tangga hal tersebut merupakan bagian dari

kerusakan dan ukuran jeleknya pendidikan. Padahal, hal tersebut akan dimintai

pertanggungjawabannya di akhirat. Maka menjaga agama di dalam keluarga menjadi

bagian dari hal yang dharuriyat. ( smpsi disini

3. Maksud syari’at yang dikhususkan kepada umat

Ibnu ‘Asyur adalah ulama yang sangat memperhatikan pada al-kulliyat al-khams

untuk memelihara kemaslahatan umat dari segi maslahat manusia. Dan tidak cukup

122 Lihat ibn ‘Asyur. Maqashid sl-Syari’ah. hlm.441


123 Jamaluddin ‘Athiyah, Nahwa Taf’il... hlm. 152
95

dengan menjelaskannya dari segi dharuriyat, bahkan lebih jauh, menjelaskannya dari

segi kemaslahatan hajiyat dan kemaslahatan tahsiniyat124

Ibnu ‘Asyur berpandangan Maqāshid dalam bidang keummatan dibebankan pada

Maqāshid al-Syari’ah, bidang ini dapat dibagi menjadi beberapa bentuk, diantaranya:

Pertama, sistem kelembagaan bagi umat. Deskripsi tentang sistem keummatan menjadi

pilihan khusus, dari segi ini syari’at membahas dari sisi tema maupun bentuk

pelaksanaannya. Masalah keumatan menjadi sesuatu yang tetap hidup sepanjang masa

beriringan dengan perubahan politik yang terjadi pada kehidupan umat itu sediri.

Di antara contoh-contoh dalam bidang ini antara lain: mengokohkan persatuan

umat, seperti mempersatukan akidah, syari’ah dan bahasa. Mempersatukan umat tidak

berarti menghilangkan perbedaan yang banyak, tetapi tetap pada bingkai yang satu, dan

persatuan akidah tidak menghilangkan keberadaan bermacam-macam perbedaan dalam

beberapa masalah akidah. Persatuan akidah tidak menghilangkan keberadaan beberapa

mazhab fiqh, seperti tidak menghilangkan keberadaan beberapa partai politik dengan

program yang berbeda-beda tetapi dalam dasar-dasar ke-Islaman secara umum.

Persatuan bahasa tidak menghilangkan beberapa jumlah logat/dialek,

sebagaimana tidak menghilangkan tempat bahasa kaum dari bahasa al-qur’an al-karim.

Penerapan berbagai macam bisa dilihat dari bentuk partai, organisasi dan lainnya pada

kehidupan sekarang ini didasarkan pada bingkai masyarakat madani.

Kedua, memelihara keamanan yang meliputi antara lain:

a. Keamanan yang dimaksud mencakup keamanan dalam dan luar negeri. Keamanan

merupakan hal yang paling urgen dalam Maqāshid al-syari’ah.

124 Ibn ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah…hlm. 80, 83, 139


96

b. Khusus memelihara keamanan dalam negeri telah di syari’atkan hukum-hukum yang

berhubungan dengan memelihara jiwa, kehormatan dan memelihara harta. Untuk

menjamin keamanan, syari’at menentukan hukuman atas orang yang melanggar

ketentuan tersebut baik yang berhubungan dengan pemeliharaan jiwa secara individu

seperti qishash125, had pencurian, had qazaf126 maupun untuk memelihara jama’ah

seperti had hirabah127 (peperangan) dan had bagi orang murtad.

c. Khusus untuk memelihara keamanan luar negeri disyari’atkan memiliki kekuatan untuk

membentengi musuh, sebagaimana disyari’atkan jihad untuk menghalangi jatuhnya

negara ke tangan musuh, disyari’atkan memiliki standar keamanan dalam mengatasil

pemberontakan.

Ketiga, Menegakkan keadilan yang meliputi antara lain;

a. Bidang keadilan dapat dikategorikan ke dalam beberapa bentuk,yaitu; adilnya manusia

terhadap Tuhan, diri, keluarga dan orang lain.

b. Al-qur’an mengungkapkan keadilan menjadi maksud dasar (asasi) dari Maqāshid

syari’ah. Al-qur’an menyatakan :

‫ﻟﻘﺪ ارﺳﻠﻨﺎ رﺳﻠﻨﺎ ﺑﺎﻟﺒﻴﻨﺎت واﻧﺰﻟﻨﺎ ﻣﻌﻬﻢ اﻟﻜﺘﺎب واﳌﻴﺰان ﻟﻴﻘﻮم اﻟﻨﺎس ﺑﺎﻟﻘﺴﻂ‬
(25 : ‫) اﳊﺪﻳﺪ‬
“Sungguh kami telah mengutus dengan membawa bukti dan kami telah turunkan

kepada mereka, timbangan untuk menegakkan keadilan bagi manusia”)128

125 Qishah adalah hukuman setimpal bagi para pelaku pembunuhan, hukuman ini bisa diganti

dengan diyat jika mendapat maaf dari keluarga ( Q. S. al-Isra’ : 33) dan ( Q. S. al- Baqarah 178)
126 Qazaf ( menuduh orang berzina ) merupakan bentuk dosa besar yang oleh Allah swt di tentukan

had ( hukumannya) 80 kali dera dan kesaksiannya tidak diterima sebagaimana tercantumdalam surat al- Nur
: 23. Lihat Wahabah al- Zuhaili, al- Fiqhu al-Islam….jilid. 6 hlm. 70
127Hirabah yaitu perompakan atau perampasan harta orang lain secara paksa, baik secara individu

maupun kelompok ( jama’ah ). Dalam surat al-Maidah : 33, bahwa had bagi pelaku Hirabah adalah dibunuh,
atau di salib, atau dipotong tangan dan kaki secar menyilang atau di buang ke negeri lain.
128Departemen Agama RI, al-qur’an dan…hlm. 347
97

Ibnu Taimiyyah mengatakan yang kemudian dikutip oleh Jamaluddin ‘Athiyah

bahwa “Keadilan adalah dasar (asas) yang abadi bagi umat. Allah menyuruh menegakkan

negara yang adil meskipun kafir, dan tidak menegakkan kezaliman meskipun seorang

muslim, dunia akan beserta keadilan selamanya meskipun kafir, sebaliknya tidak beserta

kezaliman meskipun muslim”129

Keempat : memelihara agama dan akhlaq yang meliputi antara lain;

a. Syari’at tidak memandang masalah agama dan akhlaq tidak menjadi bagian dari aturan

kehidupan kemasarakatan, dan dipandang hanya bersifat individual, tidak termasuk

kedalam masyarakat seperti pandangan kaum sekularisme. Sebaliknya, syari’at

memandang memelihara agama menjadi kewajiban umat secara umum atau menolak

setiap apa saja yang berkembang yang dapat mengurangi dasar-dasar agama130, Ibnu

‘Asyur mengungkapkan bahwa masalah ini adalah bagian yang paling diperhatikan

dalam Maqāshidnya dan memandang sesungguhnya Allah mencakup memelihara

agama yang dituntut orang mukmin untuk menegakkannya. Artinya, bukan malah

menghilangkan atau tidak menjaganya.

b. Untuk mewujudkan maqashid jama’i ini, difardhukan sholat berjama’ah, shalat jum’at,

shalat Id, melaksanakan haji, supaya semua kaum muslimin merasakan hubungan

akidah dengan hamba yang berkumpul. Sebagaimana dijadikan perintah amar ma’ruf

dan nahi munkar bagian dari fardhu kifayah supaya menjadi dorongan terhadap

tegaknya dasar-dasar kehidupan masyarakat. Menuntut ilmu yang berhubungan

dengan akidah, dan ibadah fardhu ‘ain supaya menjadi wasilah (jalan) kepada

bagusnya akhlaq.

129 Jamal al-in ‘Athiyah, op. cit, hlm. 185


130 Yusuf al-Qardhawi, Madkhal li-Dirasat al-Syariah al-Islamiyyah, ( Qahirah : Pustaka Wahbah,
2001), cet- ke-4, hlm. 62. Lihat juga Jamaluddin ‘Athiyah, Nahwa Taf’il… hlm. 159
98

c. Syari’at menekankan akhlak, sebagaimana Rasul menjelaskan : ‫اﻧﻣﺎ ﺑﻌﺛت ﻻءﺗﻣم ﻣﻛﺎرم‬

‫اﻻﺧﻼق‬. Berdasarkan hadits ini dapat dilihat bahwa syari’at meletakkan akhlak menjadi

bagian hukum yang berhubungan dengan pribadi dan masyarakat. Oleh sebab itu,

syari’at menetapkan hukum muamalat dengan memelihara akhlaq, menghilangkan

perbuatan keji, dan sanksi bagi pelaku dosa besar

Kelima, saling menjaga, melindungi dan saling mencukupi. Pengertian

penjelasan ini terihat menjadi satu bagian dengan yang lain, antara umum dan khusus,

yaitu mencakup keumumannya di setiap bidang kebudayaan, kemasyarakatan, ekonomi,

dan pengembangan potensi umat.

Dalam hal ini, tidak hanya dengan menguatkan undang-undang dan kekuasaan,

tapi juga ditekankan pada sumber-sumber keimanan, seperti ukhuwah insaniyyah

(persaudaraan yang didasarkan pada kemanusiaan)131 dan ukhuwah imaniyyah

(persaudaraan yang di dasarkan pada keimanan)132

Keenam : menyebarkan ilmu dalam memelihara akal umat, yang meliputi;

a. Ibnu ‘Asyur mengatakan menjaga akal jama’ah dan umat secara umum lebih penting

dari pada menjaga akal secara individu, oleh sebab itu wajib mencegah umat dari

kebiasaan mabuk-mabukan diantara individu tersebut, demikian juga kebiasaan

menghisap sesuatu yang merusak akal seperti morphin, kokain, heroin, dan

semisalnya133

b. Perintah ini tidak berhenti hanya dari sisi memelihara akal dari kerusakan tetapi lebih

ditekankan pada penghargaan terhadap jalan mendapatkan ilmu pengetahuan dalam

memelihara jama’I (kemasyarakatan). Berdasarkan hal ini, akal jangan digiring pada

131 Hal ini sesuai hadits ‫ ﻻﻓﺿل ﻟﻌرﺑﻲ ﻋﻠﻰ اﻋﺟﻣﻰ اﻻ ﺑﺎﻟﺗﻘوى‬,‫اﻟﻧﺎس ﻛﻠﮭم ﻣن ادم ﻛﻠﮭم ﻣن ادم وادم ﻣن ﺗراب‬
132 ‫ اﻧﻣﺎ اﻟﻣؤﻣﻧون اﺧوة‬, hanya orang-orang beriman yang bersaudara ( Q.S. Al-Hujurat : 10)
133 Ibnu ‘Asyur, Maqashid al-syari’ah…hlm. 113
99

hal-hal yang tidak aktual, tidak memberi manfaat dan mudharat. Akal harus dibimbing

dari cara berfikir yang merusak, seperti membenarkan yang salah, sifat sukuisme, dan

kebodohan kepada berfikir yang lurus dan logis

c. Metode Islam tidak berhenti pada sisi pemeliharaan akal tetapi juga akan diajak

dengan sungguh-sungguh pada metode berfikir yang ilmiyah, dari segi fardhu ‘ain

tentang khurafat, taklid buta kepada berfikir yang berdasarkan ilmu yang benfaat baik

duniawi maupun ukhrawi. dari segi fardhu kifayah untuk keberlangsungan umat kepada

kesempurnaan pada setiap bidang kehidupan yang bersifat dharuriyat, hajiyat dan

tahsiniyyat.

Diantara cara untuk mencapai maqashid ini adalah :

a. Syari’at memberi hukum menjaga akal dari kerusakan seperti melarang minum-

minuman keras dan narkotika. Begitu juga kerusakan akal secara ma’nawi yang dapat

menghalangi jalannya mendapat ilmu

b. Syari’at mengajak secara sungguh-sungguh untuk berfikir, menganalisa, mengambil

pelajaran, melarang bertaklid kepada nenek moyang, berhukum tanpa dalil, sebaliknya

disuruh mencari kebenaran dengan bukti dan menjauhi khurafat

Ketujuh, memakmurkan bumi dan menjaga kebudayaan umat yang meliputi;

a. Maqāshid ini merupakan salah satu Maqāshid al-Syari’ah bagi kemanusiaan untuk

mengimarahkan (menyemarakkan) kehidupan di bumi, atau maqashid di sini guna

menyemarakkan salah satu bagian planet bumi dibawah kepemimpinan umat manusia

b. Maksud memelihara kebudayaan umat dapat dipahami bahwa harta manusia

sebenarnya hartanya Allah, dan manusia diberi kewenangan untuk mengaturnya, jadi
100

kepemilikan terhadap harta tersebut diperuntukkan untuk kepentingan umum bukan

hak mutlak individu

c. Kedua maksud tersebut, untuk menyemarakkan bumi dan menjaga kebudayaan umat

d. Bidang pertama maqashid ini adalah bidang yang disyari’atkan untuk menghadirkan

ketenangan bagi umat, menurut Jamaluddin ‘Athiyah pesatuan umat adalah masalah

dharuriyyat dalam mengatur dasar-dasar umat134

e. Ibnu ‘Asyur mengatakan memelihara harta individu pada dasarnya menjaga harta umat

dari kebinasaan dan dari pindahnya harta tersebut ketangan umat lain tanpa ada

gantinya135

f. Kedua pendapat antara Ibnu ‘Asyur dan Jamaluddin tentang harta menguatkan

argumentasi bahwa harta mereka posisikan sebagai dasar kepemilikan masuk kedalam

masalah kemasyarakatan dalam bidang ekonomi

g. Secara hakiki maksud ini adalah untuk menyemarakkan bumi dan menjaga budaya

umat. Dalam hal ini syari’at menetapkan beberapa hukum :

1) Dasar kepemilikan harta disyari’atkan zakat (hak Allah didalam harta) dan

sebenarnya didalam harta ada hak orang lain

2) Tidak dapat dipungkiri bahwa harta masuk dalam hal kemasyarakatan dalam

mengembangkan ekonomi, dan ekonomi harus memberi kemanfaatan kepada

kepentingan umum untuk medirikan masyarakat madani. Di dalam masyarakat

madani akan memerlukan aturan (administrasi) perwakafan yang banyak, bidang

134 Jamalu al- Din “Athiyah, Nahwa Taf’il…hlm. 163


135 Ibnu ‘Asyur, Maqashid al-.Syari’ah…450
101

pendidikan, kepustakaan, kemasyarakatan, kepolisian, rumah sakit, penampungan

tempat istirahat para musafir, penampungan air bersih.136

4. Maqāshid Syari’ah Yang Dikhususkan Untuk Kemanusiaan

Manusia berbeda-beda, maka para ulama juga berbeda dalam mengaplikasikan

al-maqashid al-syari’ah. Bagi manusia yang berada di negara kafir, maka pendekatan

yang digunakan adalah dengan berdakwah, sedangkan bagi manusia yang berada di

negara Islam wajib menerima Islam.

Para ulama berbeda dalam memandang masalah ini, sebagian berpandangan

bahwa bagi non muslim mereka harus disampaikan hukum-hukum furu’ (cabang) Islam

diawali dengan dasar-dasar keimanan. Jamaludin ‘Athiyah berbeda dengan yang lain.

Menurutnya, yang terpenting bagi non muslim adalah menyampaikan hukum-hukum

kulliyat. Karena banyak ayat yang mengajak seperti ini seperti :

Pertama, saling menolong dan saling mencukupi. Hal ini berdasarkana surat al-

Hujurat : 13

‫ﻳﺎءﻳﻬﺎﻟﻨﺎس اﻧﺎ ﺧﻠﻘﻨﺎﻛﻢ ﻣﻦ ذﻛﺮ واﻧﺜﻰ وﺟﻌﻠﻨﺎﻛﻢ ﺷﻌﻮﺑﺎ وﻗﺒﺎﺋﻞ ﻟﺘﻌﺎرﻓﻮا ان اﻛﺮﻣﻜﻢ ﻋﻨﺪ‬
(13 : ‫اﷲ اﺗﻘﺎﻛﻢ ) اﳊﺠﺮات‬
“Hai sekalian manusia sesungguhnya kami ciptakan kamu dari jenis laki-laki dan

perempuan, dan kami jadikan berbangsa-bangsa, bersuku-suku, agar kalian saling

mengenal, sesungguhnnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling taqwa ( al-

Hujurat : 13)137

Ayat tersebut menjelaskan tentang bentuk manusia seluruhnya. Karena dasar

manusia adalah satu, yaitu dari laki-laki dan perempuan, meskipun berbeda-beda suku

136 Jamal al-Din ‘Athiyyah, Nahwa Taf’’il, …hlm.154


137 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan…hlm. 340
102

dan bangsa. Adapun maksud Allah ( syari’ ) menciptakan perbedaan ini adalah agar saling

mengenal diantara mereka. Dalam pandangan Allah bahwa orang yang paling mulia di

sisi-Nya adalah yang paling taqwa.138

Kedua, hak menjadi khalifah bagi manusia di permukaan bumi. Hal ini

berdasarkan surat al-Baqarah ayat 30;

(30 : ‫واذ ﻗﺎل رﺑﻚ ﻟﻠﻤﻼﺋﻜﺔ اﱐ ﺟﺎﻋﻞ ﰱ اﻻرض ﺧﻠﻴﻔﺔ ) اﻟﺒﻘﺮة‬

“Dan ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat sesungguhnya akan aku ciptakan

khalifah dipermukaan bumi (Q.S. al-Baqarah : 30)139

Pada ayat lain dijelaskan:


‫اﻧﺎ ﻋﺮﺿﻨﺎ ﻻﻣﺎﻧﺎت ﻋﻠﻰ اﻟﺴﻤﻮات وﻻرض واﳉﺒﺎل ﻓﺎءﺑﲔ ان ﳛﻤﻠﻨﻬﺎ واﺷﻔﻘﻨﺎ ﻣﻨﻬﺎ‬
(72 : ‫وﲪﻠﻬﺎ ﻻﻧﺴﺎن اﻧﻪ ﻛﺎن ﻇﻠﻮﻣﺎ ﺟﻬﻮﻻ ) اﻻﺣﺰاب‬
“Sesungguhnya kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-

gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak

bisa melaksanakannya ( berat ), lalu dipikul amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia

itu sangat zalim dan sangat bodoh”. (Q.S. al- Ahzab : 72)140

Kedua ayat ini dapat dipahami bahwa manusia diposisikan sebagai khalifah

selamanya bagi makhuk lain dan akan dimintai pertanggungjawaban atas amanah yang

dibebankan kepadanya. Hal Ini adalah bentuk risalah manusia yang diberikan kebebasan

dalam memimpin. Meskipun, terdapat perbedaan agama dan filsafat dari segi

mengurusnya, namun tetap dalam kerangka mendahulukan kepentingan kemanusiaan dan

kehidupan, serta meninggikan dan memuliakan makhluk, bukan dalam bentuk

138 Jamaluddin ‘Athiyah, Nahwa Taf’il… hlm. 166


139 Q.S. al-Baqarah : 198
140 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan…hlm. 732
103

merendahkan eksistensi manusia. Bentuk ini merupakan ketetapan kebaikan manusia

untuk meniti jalan baik maupun buruk, karena secara fitrah manusia diberikan kemampuan

untuk membedakan jalan yang baik dan buruk141, firman Allah :

142
(8 : ‫ﻓﺎءﳍﻤﻬﺎ ﻓﺠﻮرﻫﺎ وﺗﻘﻮاﻫﺎ )اﻟﺸﻤﺲ‬
Artinya :“ Maka Dia mengilhamkan jalan keburukan dan jalan ketakwaan”. (al-Syams : 8)

Jauh sebelum kepemimpinan Islam, manusia secara umum telah berkumpul

dalam bentuk kehidupan kemasyarakatan dan saling tolong menolong. Karena pada

dasarnya manusia memiliki kesadaran dan keyakinan tentang keanekaragaman, yang

memang sudah menjadi pilihan Allah. Maka dengan sendirinya manusia akan membentuk

masyarakat yang teratur untuk melindungi segenap golongan, baik secara alamiah

maupun administrasi. Yang demikian itu, merupakan kemaslahatan yang hakiki sesuai

dengan syari’at sebagaimana yang didengungkan oleh para ulama 143

Allah menciptakan langit dan bumi untuk manusia, bahkan apa saja yang telah

diciptakan di bumi, Allah memberikan hukum supaya manusia memakmurkannya untuk

kebaikan manusia itu sendiri. Tolong-menolong antar manusia memiliki beberapa fungsi,

antara lain: pertama menjaga hak khilafah secara umum untuk kemanusiaan; Kedua,

tolong menolong untuk memakmurkan bumi, baik dari segi memelihara lingkungan, atau

dalam pengembangan bidang-bidang lain144

Ketiga, menciptakan kedamaian dan keadilan. Bahwa dasar hubungan antara

kaum muslimin dengan orang lain adalah perdamaian ( al-salam)145, jadi tidak akan terjadi

141 Jamal al-Din ‘Athiyah, Nahwa Taf’il…hlm. 168


142 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan…hlm. 840
143 Jamaluddin ‘Athiyah, Nahwa Taf’il… hlm. 168
144 Ibid., 169
145 Hal ini sesuai dengan ayat al-Qur’an. (61 : ‫وان ﺟﻧﺣوه ﻟﻠﺳﻠم ﻓﺎﺟﻧﺢ ﻟﮭﺎ )اﻻﻧﻔﺎل‬
104

peperangan dalam Islam kecuali terpaksa dalam rangka menolak permusuhan. Dan

diantara jalan (masalik) untuk menjaga kedamaian adalah mengatur hak-hak kedaulatan

untuk menjamin keamanan masyrakat dengan saling membantu meskipun berbeda-beda.

Kedamaian yang dituntut ialah membangun keadilan, karena damai tidak bisa dipisahkan

dengan keadilan. Adil bukanlah hal yang sepele di dalam masyarakat, sebaliknya keadilan

adalah tujuan yang inti (asasi). Sepanjang sejarah, manusia membutuhkan penegakkan

keadilan, syari’at menolak adanya perlawanan dan penyerangan musuh dengan

ditetapkan undang-undang jinayah. Islam mengajak bertahan secara syar’i dari serangan

musuh, dan jikapun melakukan peperangan karena ada sebab yang membolehkan.

Hakekatnya sesungguhnya Islam sejak awal mengharamkan perang. 146

Begitu pentingnya asas keadilan dalam hukum Islam sehingga menurut

Muhammad Alim, yang ia kutip dari Syaifuddin di dalam al-Qur’an sebagai sumber utama

hukum Islam, menyebutkan kata adil lebih dari seribu kali, menempati posisi terbanyak

ketiga setelah kata Allah dan Ilmu pengetahuan147.

Keempat, memelihara kedaulatan untuk menjaga hak-hak kemanusiaan yang

meliputi, antara lain;

a. Kebebasan dalam beribadah bagi manusia merupakan kesimpulan dasar kepada

penyatuan tauhid, dan mentiadakan segala bentuk kemusyrikan.

b. Membantu orang-orang yang lemah dimanapun berada, memelihara kebebasan dan

memelihara hak-hak kemerdekaan befikir dan berakidah, hal tersebut merupakan

sesuatu yang sangat diperhatikan, sehingga Islam meyuruh menghentikan bentuk

peraturan thaghut yang menghadang da’wah Islam kepada manusia.

146 Ibnu Taymiyyah, Maqashid al-syari’ah…64


147 Muhammad Alim, Asas-Asas Negara Hukum Modern Dalam Islam, kajian Komprehensif Islam
dan Ketatanegaraan ( Yogyakarta : PT. LkiS, 2010) , cet. Ke-1, hlm. 315
105

c. Kedaulatan masyarakat sangat memperhatikan hal ini, maka dibolehkan saling

memasuki negara lain untuk menjaga hak-hak manusia di manapun berada.


106

BAB IV
PERANG SAUDARA DALAM TINJAUAN MAQASHID AL- SYARI’AH

A. Esensi Perang Saudara

Menurut fitrahnya manusia adalah makhluk sosial ( homo-homini socius) yang

tidak mampu hidup secara individu. Manusia membutuhkan kebersamaan dalam

kehidupannya. Allah Swt menciptakan manusia beraneka ragam dan berbeda-beda dalam

status sosial. Kehidupan yang beraneka ragam dalam bermasyarakat sendiri tidak akan

terwujud dengan sempurna kecuali dengan semangat kebersamaan. Oleh karena itulah

Islam sangat menekankan agar kaum muslimin bersatu dalam jamaah. Rasulullah Saw

menyatakan seorang mukmin dengan mukmin lain seperti sebuah bangunan, sebagian

menopang sebagian yang lain .

Ibnu Khaldun mengatakan bahwa kehidupan sosial bagi manusia merupakan

sesuatu yang sangat penting ( dharuri )1. Ungkapan beliau sesuai dengan perkataan para

ahli hikmah bahwa peradaban manusia itu dibangun sesuai dengan kebiasaan masyarakat

itu sendiri, oleh sebab itu menjadi sebuah keharusan bagi seseorang untuk

bermasyarakat, hidup sesuai dengan lingkungannya. Apa yang dikatakan Ibnu Khaldun

tersebut sangat tepat, karena dalam realitanya manusia dilahirkan di dalam lingkungan

masyarakat dan tidak bisa hidup kecuali tanpa masyarakat tersebut. Kemudian tumbuh,

berkembang dan dibentuk sesuai perkembangan masyarakat itu sendiri, bukan dari luar.2

Dalam kehidupan yang majemuk, mau tidak mau bersosialisasi dan berhubungan

antar individu dari jenis masyarakat yang bermacam-macam. Dari sinilah lahir hak dan

1 Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, hlm. 41


2 Abdul Karim al-Zaidan, al-Madkhal li-Dirasahal-Syari’ati al-Islamiyyah, ( Baghdad : Dar al-Khitab,
1969), cet. Ke-4, hlm. 4
107

kewajiban antar anggota masyarakat, layaknya seseorang yang hidup ditengah-tengah

masyarakat tidak mungkin untuk bersenang-senang dengan menuntut kebebasannya

secara mutlak, karena hal itu akan bertabarakan dengan kebebasan orang lain yang bisa

mengarah pada perselisihan antar individu kecuali sudah disepakati. Dan semua ini wajib

memiliki peraturan yang membatasi kebebasan individu secara mutlak, sehingga setiap

individu bisa hidup dengan perasaan aman secara berkelanjutan. Ini merupakan kaidah-

kaidah bermasyarakat. Itulah yang disebut undang-undang (qanun). Maka undang-undang

( qanun ) menjadi sesuatu yang sangat penting (dharuri) dalam sebuah masyarakat

sebagaimana pentingnya manusia itu sendiri. Hal ini tidak bisa ditawar, sejak masa

lampau hingga akan datang. Dari kaedah-kaedah inilah yang menjadi batasan hak dan

kewajiban hubungan antar invidu dengan masyarakat3.

Hubungan antara sesama makhluk Allah di muka bumi diikat oleh moral, rahmah

dan kasih sayang. Hubungan sesama manusia diikat dengan moral ukhuwah insaniyyah.

Hubungan antar warga negara diikat dengan ukhuwah wathaniyyah dan Hubungan

sesama umat Islam diikat dengan ukhuwah Islamiyah. Oleh sebab itu, dalam ruang lingkup

umat,4 hubungan dibentuk berdasarkan kesamaan di antara manusia. Maka dilarang

menganggu jiwa, harta dan kehormatan manusia tanpa adanya landasan hukum yang sah,

barang siapa yang mengganggunya, akan mendapatkan sanksi dan dimintai

pertanggungjawaban5. Tawanan perang sekalipun, harus diperlakukan sebagai manusia

karena mereka bagian dari umat manusia6

3 Ibid., hlm. 4
4 Dalam al-Qur’an kata-kata umat ini di cantumkan dalam berbagai variasi pertama, binatang
termasuk burung disebut sebagai umat ( Q.S : 6 : 38 ). Kedua, umat manusia seluruhnya ( Q.S. 2 : 213 ),
ketiga, umat yang berarti satu komunitas manusia ( Q. S. 21 : 92 )
5 Islam telah mengatur secara jelas ( qath’i) dalam kehidupan masyarakat hak dan kewajiban setiap

individu telah dijamin oleh Allah swt, oleh sebab itu setiap kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia
108

Al-qur’an diturunkan sebagai doktrin Islam yang utama yang menekankan ajaran

perdamaian. Secara harfiyah, Islam berarti damai, aman, selamat dan penyerahan diri.

Dalam ritual sholat, yang merupakan kewajiban utama dalam Islam, ikrar terakhir yang

diucapkan adalah memberikan keselamatan dan perdamaian kepada sesama manusia.

Sholat menjadi gambaran keseluruhan ajaran Islam tentang perdamaian.

Namun tidak selamanya ajaran ideal tersebut bisa direalisasikan umat Islam

sesuai dengan konsep awal (maqashid al-syari’ah). Karena dalam sejarahnya, konsepsi

diatas tidak seiring dengan perjalanan umat Islam. Ajaran Islam mengajarkan konsep ideal

yang dapat menjadi panutan umat Islam kapan dan dimanapun berada, melalui

pemahaman teks yang berada di dalam al-Qur’an dan hadits.

Teks al-Qur’an yang telah diturunkan 14 abad lebih yang lalu, tentunya tidak bisa

memberi makna (arti) sendiri tanpa adanya penafsiran, pemikiran dan kesadaran umat

Islam. Pemikiran dan kesadaran manusia itulah yang akan menyebabkan sebuah teks-teks

al-Qur’an, termasuk teks-teks tentang peperangan menjadi berarti bagi kehidupan

manusia.

Untuk memahami teks-teks perang tidak bisa dipahami hanya dengan melihat

secara tekstual. Menurut Nashir Abu Zaid, untuk memahami teks-teks al-Qur’an perlu

memadukan makna ( dalalah ) dan signifikansi. Pemahaman makna berarti pemahaman

teks dilihat dari konteks internal bahasa dan konteks sosio kultural bahasa. Sedangkan

signifikan berkembang sesuai dengan perubahan cakrawala pembacaan terhadap teks.7

telah diatur sanksinya secara qath’I misal, pembunuhan akan di balas dengan Qishash ( Q. S. al-aqarah,
178 ), pencurian di potong tangannya ( Q. S. al-Maidah, 38), Qadzaf ( menuduh orang melakukan perzinaan
) di balas dengan dera 80 kali ( Q. S. al-Nur : 4). Perampokan di balas dengan di bunuh atau di salib atau di
potong tangan dan kaki secara bersilang atau di buang ke negeri lain (Q.S: al-Maidah, 33)
6 Departemenen Agama RI, Al- qur’an dan…hlm 243
7 Nashir Abu Abu Zaid, Naqd al-Khitab al-Diny, (Kairo : Sina li Nashr, 1992), hlm. 110-118
109

Pada awal dakwah Islam di Makkah, Nabi Muhammad tidak diperkenankan untuk

melakukan peperangan8, Ini membuktikan bahwa sesungguhnya Islam atau dakwah Nabi

Muhammad tidak melalui pedang namun dakwah yang disampaikan Nabi berupa dakwah

bi al-hâl. Nabi memberikan contoh-contoh kehidupan yang mulia baik di mata Allah

maupun di hadapan manusia. Dakwah Islam dilakukan dengan hikmah (bijaksana) dan

mau’izhah hasanah (ungkapan yang baik). Yakni mengajak manusia untuk mengikuti

agama Islam lebih bersifat persuasif.

Karena dalam pandangan Islam, nyawa itu harus dihormati bahkan menjaganya

merupakan kewajiban asasi manusia. Maka Islam menghendaki manusia hidup di dunia ini

dengan damai dan sejahtera. Namun dalam realitanya manusia tetaplah manusia, bukan

malaikat. Mereka banyak melakukan kesalahan baik sesama manusia maupun kepada

Tuhannya. Ternyata, dalam perjalanan sejarah umat Islam telah terjadi peperangan yang

mengakibatkan hancurnya kehidupan umat Islam sendiri, baik dari segi ekonomi, sosial,

budaya. Sehingga peradaban yang telah dibangun ribuan tahun yang lalu hancur seketika

dan mengakibatkan umat Islam tertinggal hingga kini.

Dalam realitas sejarah, peperangan antar sesama umat muslim telah terjadi sejak

perkembangan Islam hingga kini. Dimulai dari perang jamal yang mempertemukan antara

pasukan yang dipimpin oleh trio Aisyah RA, Thalhah, dan Zubeir melawan pasukan yang

dipimpin Ali bin Abi Thalib. Dalam peperangan tersebut yang sangat disesalkan Ali adalah

tewasnya Zubeir dan Thalhah, kemudian dikebumikan dengan penuh penghormatan,

sedangkan Aisyah ditawan dan diperlakukan dengan sangat hati-hati dan dengan cara

yang dapat memelihara sebagai ibu negara di tanah Arab. Perang antar sesama muslim ini

8 Ibn Taimiyah, Al-Siyâsat al-Syar’iyyah fî Ishlâhi al-Râ’i wa al- Ra’iyyah,cet. IV, Mesir: Dâr al-Kutub
110

terjadi pada tanggal 09 Desember 656 M9 dalam sejarah Islam merupakan perang

pertama yang terjadi di tengah masyarakat muslim10.

Menurut al-Thabari, terjadinya perang Jamal dikarenakan Aisyah menuntut para

pembunuh Usman bin Affan terhadap Ali11 Sedangkan Zubair dan Thalhah karena

keduanya tidak mengakui kekhalifahan Ali. Dengan demikian berakhirlah perang pertama

antar sesama umat Islam, peperangan yang memperebutkan kekuasaan yang akhirnya

melemahkan sendi-sendi Islam yang baru saja dibangun12

Setelah itu, disusul perang terbuka siffin yaitu peperangan antara tentara yang

dipimpin Muawiyah bin Abi Sofyan melawan tentara yang dipimpin Ali bin Abi Thalib yang

berlangsung selama beberapa minggu dan berakhir pada tanggal 28 Juli 657 M. Perang

yang menelan puluhan ribu jiwa sebagaimana dicantumkan di bab I ini terjadi disebabkan

Muawiyyah ingin menduduki posisi sebagai khalifah sehingga dia tidak mau ikut membai’at

Ali sebagai khalifah yang keempat. Untuk mencapai niatnya, Muawiyah bin Abi Sufyan

melakukan propaganda bahwa Ali harus menuntut tuntas pembunuh Usman bin Affan.

Demi kedamaian kekhalifahan yang dipimpin oleh Ali, maka Ali terpaksa melayani

tantangan Muawiyah13 untuk mengadakan perang saudara.

Peperangan berhenti ketika Ali hampir memenangkan pertempuran, Amr bin ‘Ash

yang cerdik dan licin, pemimpin pasukan Mu’awiyah melancarkan siasat. Salinan al-Qur’an

9 Philip K. Hitti, History of The Arab (terjemahan Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi) (
Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010), cet. ke-1, hlm. 224
10 Aisyah adalah istri Rasulullah dan ibu mertua Ali bin Abi Thalib, sedangkan Zubeir ibn Awwam

dan Thalhah ibn ‘Ubaidillah adalah sahabat nabi dan anggota tim formatur yang dibentuk Umar ibn Khattab
untuk membahas siapa yang akan diangkat menjadi khalifah sebagai pengganti dirinya setelah beliau wafat.
lihat. Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam), ( Jakarta : Radar Jaya : 2001),
cet. ke-1, hlm. 65 dan 77
11 Abi Ja’far Muhammad bin Jarir Al- Thabari, Tarikh al- Thabari (Mesir : Dar al-Ma’arif : tt) hlm. 539

12 Philip K. Hitti, History of...., hlm, 224


13 Penulis cantumkan bahwa Ali bin Abi Thalib terpaksa melayani peperangan yang dilancarkan

Muawiyah bin Abi Sufyan, karena dalam sejarah, Muawiyahlah yang mengajak mengadakan perang saudara
tersebut
111

dilekatkan diujung tombak tiba-tiba terlihat diacung-acungkan sebuah tanda yang diartikan

sebagai seruan untuk mengakhiri bentrokan senjata dan mengikuti keputusan al-Qur’an.

Karena desakan para pengikutnya akhirnya Ali yang baik hati menerima usulan tersebut

untuk melakukan arbitrase dalam persoalan mereka dan menyelamatkan jiwa umat Islam.

Meskipun dalam arbitrase tersebut Ali mengalami kekalahan dan kerugian besar bagi

dirinya karena harus turun dari jabatan khalifah dan ditinggalkan sebagian pengikutnya,

kemudian membentuk kelompok sendiri yang menamakan dirinya dengan Khawarij.14

Pasca perang masa khalifah al-Rasyidin berlanjut hingga pada zaman kekemasan

Islam, perebutan kekuasaan yang diperoleh kekhalifahan Bani Abbasiyah dari

kekhalifahan bani Umayyah juga tidak sedikit memakan korban baik materi maupun

immateri. Dan yang paling tragis adalah peperangan yang dilancarkan oleh Timur Lank

terhadap kekhalifahan Bani Abbasiyah dan daerah-daerah Islam lainnya. Peperangan ini

dicatat sebagai perang terburuk dalam sejarah Islam karena telah meluluhlantakkan

peradaban kekhalifahan Bani Abbasiyah yang telah dibangun ribuan tahun.

Begitu juga pada abad ke -20 terjadi peperangan antara negara Islam yang

mengorbankan kemaslahatan umat, sebagai contoh terjadinya perang antara Iraq dan

Iran, kedua-duanya adalah negara Islam. Perang ini terjadi pada tanggal 22 September

1980 sampai 20 Agustus 1988. Peperangan yang dikenal dengan perang Teluk I ini

berlangsung selama delapan tahun dan diperkirakan telah menewaskan lebih kurang

375.000 warga Iraq dan 500.000 warga Iran baik dari tentara maupun warga sipil. Salah

satu sebab terjadinya peperangan tersebut karena Iraq menerobos memasuki wilayah Iran

14 Philip K. Hitti, History of…hlm. 224


112

sedangkan Iran berusaha menggulingkan rezim Saddam Husein. setelah perang teluk I

berhenti, perang Teluk II meledak, peperangan ini dikarenakan Iraq menyerang Kuwait 15

Pada dasarnya, perang adalah perbuatan yang tercela, karena akibat dari perang

akan menimbulkan kesengsaraan baik secara ekonomi, sosial maupun budaya. Secara

materil, bagi yang mengalami kekalahan berarti kehilangan seluruh harta bendanya karena

menjadi harta rampasan perang. Jarahan perang dianggap harta yang suci dan dapat

dimiliki oleh orang-orang yang menang dalam perang. Begitu juga dengan implikasi sosial

di mana pasca peperangan meninggalkan berbagai konflik antar masyarakat yang

berkepanjangan. Terkadang malah menimbulkan dendam yang sewaktu-waktu akan

membara dan terjadi serangan balik.

Namun bukan berarti, perang itu tabu untuk dilaksanakan. Perang perlu dilakukan

manakala ada sebab-sebab yang krusial baik secara politis maupun ideologis. Bisa jadi,

dengan melakukan perang, kemuliaan dan perdamaian dapat diwujudkan sebagai upaya

menuju sukses. Agama Islam tidak menyukai pertumpahan darah, tetapi menegakkan

ajaran Islam harus dipertaruhkan dengan apa saja, termasuk menumpahkan darah

manusia. Tidaklah berlebihan jika ajaran Islam memberikan alternatif peperangan sebagai

salah satu benteng pertahanan apabila dianiaya atau dihina oleh orang atau kelompok

lain.

Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa sesungguhnya perang itu dibenci oleh Allah

dan manusia, karena perang berakibat pada pembinasaan nyawa umat manusia.

Persoalan nyawa adalah persoalan krusial dalam kehidupan. Tak dapat dipungkiri bahwa

15 Lihat Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Jihad, terj. (Kairo : Maktabah Wahbah, 2009) hlm. 800,
113

akibat peperangan akan bergelimang kekerasan. Karena itu, peperangan hanya boleh

dilaksanakan dalam keadaan terpaksa.

Hidup manusia di mata Allah adalah suci, tidak ada seorangpun yang berhak

untuk menumpahkan darah di muka bumi ini. Apabila darah manusia sudah tak berharga

dan kedamaian tidak lagi ditemukan di muka bumi ini, maka perang boleh ditegakkan demi

untuk menegakkan aturan-aturan Tuhan. Al-Qur’ân memberikan abstraksi :

‫واﻟﻘﻴﻨﺎ ﺑﻴﻨﻬﻢ اﻟﻌﺪاوة واﻟﺒﻐﻀﺎء اﱃ ﻳﻮم اﻟﻘﻴﻤﺔ ﻛﻠﻤﺎ او ﻗﺪوا ﻧﺎرا ﻟﻠﺤﺮب اﻃﻔﺎءﻫﺎ ﷲ وﻳﺴﻌﻮن ﰱ‬
(64 : ‫ﻻرض ﻓﺴﺎدا واﷲ ﻻﳛﺐ اﳌﻔﺴﺪﻳﻦ ) اﳌﺎﺋﺪة‬

:“ Dan kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian diantara mereka sampai

hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya, dan

mereka membuat kerusakan di muka bumi, dan Allah tidak menyukai orng-orang yang

membuat kerusakan (QS. Al-Maidah: 64)”16

Ayat di atas konteksnya adalah peperangan secara umum, sehingga peperangan

lebih berdimensi politis dari pada konteks keagamaan. Apalagi jika dilihat dari konteks ayat

tersebut, adalah surat Madaniyah di mana ayat ini diturunkan setelah Nabi berada di

komunitas negara Islam Madinah .

Dari penjelasan dapat penulis simpulkan bahwa pada dasarnya Islam tidak

menginginkan adanya peperangan apalagi peperangan antar sesama muslim, oleh sebab

itu, perang hanya boleh diberlakukan ketika dalam keadaan darurat atau tidak ada jalan

lain kecuali dengan peperangan tersebut. itu juga hanya sekedar untuk mengembalikan

kedamaian, keadilan dan mencegah kerusakan yang lebih berat. Bukan atas dasar

kebencian, ingin menguasai,dan semangat untuk menghancurkan orang lain.

16Departemen Agama, al- Qur’an dan terjemahannya, ( Bandung : CV. Penerbit Diponegoro, 2005),

cet. Ke- 10, hlm. 94


114

B. Perang saudara dalam tinjauan maqashid syari’ah

Maqashid syari’ah bertujuan untuk meraih kemasahatan dan menghilangkan

kemafsadatan, dan selamanya akan tetap seperti itu. Atau maqashid syari’ah memelihara

dari dua sudut pandang sekaligus yaitu dari segi wujud maupun ‘adamnya. Dalam

ungkapan lain, maqashid syari’ah bertujuan untuk meraih kebaikan (maslahah) dan

membatalkan kerusakan ( mafsadah)17.

Ibnu Taymiyyah berpandangan bahwa meraih kemaslahatan merupakan sebuah

kewajiban baik dari segi wujud maupun adamnya karena antara keduanya memiliki fungsi

yang sama. Maqashid dari segi wujud tidak akan tegak tanpa adanya adam, sebaliknya

tegaknya adam akan kosong tanpa adanya wujud. Dalam maqashid syari’ah, wujud

merupakan dasar (ashal) sedangkan adam sebagai penopang. atau dapat juga dipahami

wujud sebagai maksud dasar sedangkan adam sebagai pengikut (tabi’) atau penyempurna

(mukammil)18.

Ibnu ‘Asyur mengistilahkan dengan bahasa berbeda, ia mengatakan bahwa

hukum terbagi atas dua bagian yang pertama maqashid dan kedua wasail. Maqashid di

dalamnya mengandung kemaslahatan dan kemafsadatan, wasail merupakan beberapa

jalan atau cara untuk mencapai maqashid, maka wasilah berfungsi untuk mencapai

keutamaan maqashid dan lebih utama dari pada wasail. Dan wasilah untuk menghilangkan

maqashid merupakan wasilah yang lebih rendah untuk menghilangkan wasail19.

Selain kedua tokoh di atas, Jamaluddih ‘Athiyyah juga memberikan istilah dalam

menegakkan maqashid syari’ah, menurutnya bahwa untuk menegakkan al-maslahah al-

17 Ibnu Taymiyyah, Maqashid al-Syari’ah… hlm. 441


18 Ibid., hlm. 443
19 Muhammad Thahir bin ‘Asyur, Maqashid al-Syari’at al-Islamiyah, ( Dar al-Nafais : ), cet. hlm. 414
115

dharuriyyah harus ditegakkan pula masing-masing bidang (majal) dalam maqashid

tersebut.20

Dari ketiga konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Taymiyyah, Ibnu ‘Asyur dan

Jamluddin ‘Athiyyah, penulis menyimpulkan bahwa menegakkan maqashid syari’ah dan

metode atau jalan menuju maqashid tersebut, dalam kehidupan manusia merupakan

kewajiban dalam Islam yang tidak bisa ditawar. Dalam hal ini, ketiga tokoh ini hanya

memberikan istilah yang berbeda namun secara subtansi memiliki makna yang sama.

Menurut Ibnu Taymiyyah, bahwa pokok-pokok ajaran yang melindungi

kepentingan manusia, ada lima prinsip21 lima prinsip (al-dharûriyat al-khams) yakni Hifzh

al-dîn, hak untuk beragama atau kebebasan memilih agama dan mengimplementasikan

nilai-nilai agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Hifzh al-aql adalah kebebasan untuk

berfikir, mengemukakan pendapat sesuai dengan keadilan dan kebenaran. Ketiga Hifzh al-

nafs yakni hak atas perlindungan jiwa yakni kehidupan dunia, hidup layak, tumbuh dan

berkembang sesuai dengan alam lingkungannya. Hifzh al-mâl yakni kebebasan untuk

memilih harta dan menggunakannya untuk belanja kebutuhan kesehariannya. Dan terakhir

adalah Hifzh al-nasl yaitu hak untuk mempunyai keturunan sesuai dengan kebutuhan-

kebtuhan primer dan jaminan bagi anak cucu untuk menjadi orang yang berkualitas22

Pada analisis ini akan penulis paparkan satu persatu, al-maslahah al-dharuriyyah

yang harus ditegakkan dan diperoleh oleh setiap manusia, baik dari segi wujud dan

adamnya perbidang (majal) dalam kehidupan manusia dikaitkan dengan dampak perang

saudara sesama muslim:

20Jamal al-din ‘Athiyyah, Nahwa Taf’il Maqashid al-Syari’ah, ( Suriah : Dar al- Fikr, 2003), hlm. 139
21 Ibnu Taymiyyah, Maqashid al-Syariah..hlm. 442
22 Ibnu Taymiyyah, Maqashid al-Syari’ah…hlm. 441-488, lihat juga Jamaluddin ‘Athiyyah, Nahwa

Taf’il… hlm.139-164
116

1. Ancaman Terhadap Agama

Maqashid yang paling dharuriat untuk diperhatikan adalah agama, orang yang

memutuskan suatu perkara tentang harta, darah dan kehormatan tanpa keadilan antar

manusia saja maka nerakalah tempatnya, apalagi perbuatan yang dapat mengancam

eksistensi agama.

Secara wujud bahwa manusia berkewajiban memelihara dan menegakkan agama,

dengan beberapa cara pertama beriman kepada Allah, mencintai, membesarkan,

mengenal nama dan sifatnya. Kedua, menjaga kesucian agama, mengajarkan dan

mendakwahkannya23. Jamaluddin ‘Athiyah lebih lengkap dalam menjelaskan memelihara

agama dari segi wujud, menurutnya beriman kepada Rasul, kepada kitab suci, kepada

Malaikat, kepada hari akhir, mengucapkan kalimat syahadat serta melakukan ibadah

pokok lainnya. Dengan dasar akidah, memeliharanya menjauhi apa saja yang dapat

menghancurkannya. Dengan cara menguatkan akidah sesuai dengan kitabullah dan

Sunah24

Sedangkan dari segi adamnya atau membatalkan kerusakan berarti manusia

berkewajiban atau memiliki hak untuk mempertahankan agama dari orang-orang yang

akan merusak dan menghancurkannya. Diantara jalan yang dapat ditempuh dalam

mempetahankan agama tersebut adalah :

a. Berhati – hati dari sifat syirik dan riya’. Bahwa beragama yang benar adalah apabila

segala bentuk ibadah hanya ditujukan kepada Allah25. Rasulullah Saw telah

23 Ibnu Taymiyyah, Maqashid al-Syari’ah… hlm. 448-450


24 Jamaluddin ‘Athiyyah, Maqashid al-Syari’ah…hlm. 145
25 Ibnu Taymiyyah, Maqashid al-Syari’ah...hlm. 454
117

menggariskan bahwa ukuran diterima atau tidaknya amal manusia baik yang bersifat

mahdhah maupun ghairu al- mahdhah di sisi Allah di ukur dengan niat26

b. Memerangi orang yang murtad, setiap muslim berkewajiban menyuruh orang Islam

melaksanakan sholat bagi orang yang mampu melaksanakannya, orang yang tidak

mau melaksanakannya maka harus di ta’zir, orang yang tidak mau membayar zakat,

maka harus ditarik paksa27 orang yang menghina rasul maka harus diperangi. Ibnu

Najjar menjelaskan bahwa untuk memelihara agama salah satu jalan yang dapat

ditempuh oleh seorang muslim adalah berjihad (berperang menegakkan agama Allah)

c. Berhati-hati dari bid’ah dan memerangi para pembuat bid’ah. Yang dimaksud dengan

bid’ah adalah ibadah dan keyakinan apa saja yang menyalahi kitab al-Qur’an,

al-Sunnah atau apa saja yang tidak disyari’atkan Allah dalam masalah agama baik dari

segi ucapan dan perbuatan28

Dari penjelasan di atas dapat penulis simpulkan seorang muslim diperbolehkan

melakukan peperangan terhadap saudara sesama muslim ketika sudah membahayakan

eksistensi agama dan pemeluknya, seperti merusak agama yang dilakukan oleh ahli

bid’ah, tidak mau membayar zakat29, orang yang tidak mau mengerjakan sholat dan orang

yang menghina Rasul harus diperangi. Dalam konteks ini kepentingan agama terletak di

26 ‫اﻧﻣﺎ اﻻﻋﻣﺎل ﺑﺎﻟﻧﯾﺎت واﻧﻣﺎ ﻟﻛل اﻣرئ وان ﻛﺎﻧت ھﺟرﺗﮫ ﻟدﻧﯾﺎ ﯾﺻﯾﺑﮭﺎ اوﻣراءة ﯾﻧﻛﺣﮭﺎ ﻓﮭﺟرﺗﮫ اﻟﻰ ﻣﺎھﺎﺟر اﻟﯾﮫ‬

‫ﻣﺎﻧوى‬, “ “Perbuatan-perbuatan itu hanya tergantung pada niat, dan setiap perbuatan seseorang hanya
(dinilai) apa yang diniatkan, apabila hijrahnya karena dunia dia akan mendapatkannya, atau karna
perempuan dia akan menikahinya, maka hijrahnya tergantung apa yang diniatkan, lihat Imam al-Zabidi,
Mukhtasar Shahih al-Bukahri (Jakarta : Pustaka Amani, 2002), cet. Ke-2, hlm. 31
27 Ibid., hlm. 454. Bahkan pada zaman Abu Bakar orang yang tidak mau membayar diperangi dan

dibunuh karena telah mengingkari kewajiaban dalam syari’at Islam,


28Menurut Ibnu Taymiyyah yang dikatakan bid’ah adalah, apa saja yang menyalahi kitab, sunnah,

ijma’ para salaf dari segi keyakinan ( I’tiqad), dan ibadah Bid’ah terbagi dua pertama dari segi perkataan
seperti mengucapkan dan perbuatan orang yang beribadah sambil menari-nari dalam masjid, lihat, Ibnu
Taymiyyah, Maqashid al-Syari’ah…hlm. 457
29 Abu Bakar al-Shidiq pada awal kepemimpinan sebagai khalifah memerangi orang-orang beriman

yang tidak mau membayar zakat. Lihat. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyyah II,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm. 36
118

atas kepentingan lainnya, Abdul Majid al-Najjar menyatakan bahwa ketika agama

terancam atau hak seseorang terhambat untuk melaksanakan agamanya, maka Islam

memberikan jalan untuk berjihad (berperang) guna merebut hak tersebut30 .

Sebaliknya peperangan yang dilakukan bukan karena agama akan merusak agama

itu sendiri. Perang akan mengakibatkan kehancuran kestabilan ekonomi, sosial, budaya

dan fasilitas umum lainnya yang pada akhirnya bisa berimbas terenggutnya kebebasan

melaksanakan agama. Oleh sebab itu sampai sekarang masih banyak tokoh yang

memperjuangkan berdirinya negara Islam, karena mereka keyakinan untuk menciptakan

pelaksanaan syari’at secara utuh (kaffah) mau tidak mau harus didirikan negara Islam,

karena negara Islam akan menjadi jalan (wasilah) untuk menjalankan syari’at Islam secara

utuh pula.

2. Ancaman Terhadap jiwa

Ibnu Taimiyah mengungkapkan bahwa urutan memelihara jiwa terletak setelah

urutan menjaga agama. Merusak agama masih lebih bahaya dari pada merusak jiwa,

karena jiwa termasuk dalam persoalan duniawi. Membunuh jiwa tanpa alasan yang benar

merupakan dosa yang paling besar setelah dosa merusak agama karena kekafiran.

Karena harta hanya merupakan bagian materi dari raga, dan raga akan mengikuti hati dan

agama.31

Seperti yang sudah penulis definisikan pada bab III, menurut Jamaludin ‘Athiyyah

yang dimaksud memelihara jiwa adalah melindungi jiwa dari perusakan secara umum yang

dapat mengakibatkan kematian, atau dengan kata lain menjaga beberapa bagian tubuh

dari perusakan, atau bagian-bagian yang mengarah pada rusaknya seluruh bagian jasad,

30Lihat Abdul Majid al-Najjar, Maqashid al-Syari’ah…hlm. 82


31 Ibnu Taymiyyah, Maqashid al-syari’ah…hlm. 462
119

menghilangkan manfaat jiwa secara umum. Pelanggaran terhadap maksud ini

mengakibatkan seseorang dijatuhi hukuman diyat secara sempurna32 .

Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa sehat merupakan sumber kekuatan untuk

beribadah sholat, puasa, membaca al-Qur’an dan ibadah fardhu lainnya, sedangkan

kekuatan didapatkan dari makan, minum. Maka beliau berpandangan hal tersebut menjadi

sesuatu yang asasi didapatkan oleh setiap manusia ( wujud) dariI segi wujudnya. Secara

rinci beliau mengatakan bahwa yang termasuk wujud dalam memelihara jiwa adalah :

a. Wajib makan hal-hal yang diharamkan ketika dalam keadan darurat

b. Makan, minum dan berpakaian 33

Meskipun kedua ulama ini berbeda dalam meletakkan makan, minum dan pakaian

apakah menempati posisi wujud atau ‘adam, penulis dapat memberi kesimpulan bahwa

persoalan jiwa (nyawa) adalah persoalan urgen dalam kehidupan manusia, sehingga

seluruh aspek yang menjadi pondasi kehidupan manusia, seperti melindungi jiwa dari

pembunuhan, kelaparan, pelecehan harga diri menjadi kewajiban. Allah telah menentukan

hukuman bagi penghalang maksud-maksud tersebut. Khusus pembunuhan Allah telah

menetapkan qishas untuk memelihara jiwa seseorang. Agar tercapai maksud semula

tanpa menimbulkan ekses yang berlebih-lebihan dan permusuhan baru, Allah melengkapi

syarat pelaksanaannya hendaknya sebanding antara pembunuhan yang dilakukan dengan

hukuman yang diterima.

Supaya maqashid syari’ah tentang pemeliharaan jiwa terpelihara dan terjamin

hak-hak hidupnya, maka setiap prilaku yang mengancam eksistensi kehidupan manusia

32 Jamaluddin “Athiyyah, Nahwa Taf’il…hlm. 142


33 Ibnu Taymiyyah, Maqashid al-syari’ah…hlm. 462
120

harus dijauhkan. dari segi adam atau jalan (wasilah) untuk memelihara dan menegakkan

hak hidup bagi setiap manusia adalah :

1. Menjaga keamanan dari permusuhan, diharamkan membunuh karena adanya

permusuhan, menerapkan hukum qishash bagi pembunuhan yang disengaja dan

membayar diyat bagi pembunuhan tersalah34. Ibnu Taimiyah berfatwa bahwa setiap

kelompok yang telah keluar dari syari’at-syari’at Islam secara zahir, maka wajib

diperangi dengan persetujuan imam kaum muslimin, meskipun telah mengucapkan dua

kalimat syahadat. Pada awalnya secara hukum mereka dilarang menumpahkan darah,

harta, kehormatan tanpa berdasarkan al-Qur’an dan sunnah35

2. Menjaga penopang apa saja yang dibutuhkan jiwa, baik makanan, minuman, pakaian,

tempat tinggal, menjaga dari berbagai penyakit, ini semua merupakan jalan (wasail

dalam memelihara jiwa)

3. Menjaga kemerdekaan privasi dan menghormati manusia secara hakiki, memuliakan

manusia yang Allah pilih secara khusus dari pada hewan yang kehidupannya hanya

butuh makan dan minum. Oleh sebab itu manusia bukan hanya dilihat dari sisi materi

dan jasadiah, tetapi memiliki ruh (jiwa), maka cara memeliharanya adalah dengan

memelihara seluruh aspek jiwa dan raga tersebut. Hukum memelihara Maqāshid yang

demikian sebagai dharuri.36 Sedangkan Al-Syatibi memasukkan hal ini kepada

pemeliharaan kehormatan dan jiwa37

Dari pemaparan diatas, bahwa yang dimaksud dengan hifz al-nafs bukan sekedar

dilihat dari sisi jinayat saja, tetapi seluruh aspek yang mengarah pada pencapaian untuk

34 Jamaluddin “Athiyyah, Nahwa Taf’il…hlm. 142


35 Ibnu Taymiyyah, Maqashid al-syari’ah…hlm. 462
36 Jamaluddin ‘Athiyyah, hlm. 143. Lihat juga Abdul Majid al-Najjar, Maqashid al-syari’ah..hlm. 114-

121
37 Al-Syatibi, al-Muwafaqat…hlm. 48
121

meraih hak hidup merupakan bagian dari hifz al-nafs. Dalam maqashid al-dharuriyat,

kehidupan merupakan hak asasi yang harus didapatkan oleh setiap manusia baik secara

materi maupun maknawi. Oleh karena dari segi wujud manusia berhak mendapat

kehidupan, maka dari segi adamnya seluruh aspek yang bisa mendukung kehidupan

tersebut tidak seorangpun yang bisa untuk menghalangi hak yang harus didapatkan oleh

setiap manusia. Para ushuliyyun mengungkapkan :

‫ﻣﺎﻻ ﻳﺘﻢ اﻟﻮاﺟﺐ اﻻ ﺑﻪ ﻓﻬﻮ واﺟﺐ‬


:“Sesuatu yang tidak sempurna sesuatu yang wajib kecuai dengan sesuatu itu,

maka sesuatu itu wajib (pula adanya)38

Melalui kaedah ini dapat dipahami, memelihara jiwa merupakan sebuah

kewajiban, maka seluruh jalan (masalik) untuk menpertahankan jiwa menjadi wajib

hukumnya, atau dalam istilah lain masalik tersebut menjadi wajib li ghairih39

Dalam kaedah lain dicantumkan,


‫اﻟﻮﺳﺎ ﺋﻞ ﺣﻜﻢ اﳌﻘﺎﺻﺪ‬
Artinya :“ Jalan itu (hukumnya sama) dengan maksud (tujuan)40

Dalam konteks penelitian ini bahwa tidak ada hak manusia untuk membunuh dan

menghilangkan nyawa manusia lainnya, termasuk perang saudara, kecuali terpaksa.

Maksudnya adalah bahwa setiap pembunuh termasuk didalamnya karena peperangan

maka pembunuhnya harus diserahkan kepada wali al-amri (pemerintah atau qadhi/hakim)

untuk diadili berdasarkan syari’at. Namun jika wali-al-amri tidak ada atau tidak mampu

38 Mukhtar Yahya, Fatchurrahman, Dasar-Dasa Pembinaan Hukum Islami, ( Bandung, PT. al-
Ma’arif : 1986), cet. Ke- 1, hlm. 344
39 Lihat Zulkayandri, Stratifikasi Hukum Islam Dalam Perspektif Konsep Ihsan ‘Izz al-Din Ibn ‘Abd

al-Salam dan Relevansinya Dengan Ijtihad Kontemporer, disertasi, 2005, tidak dipublikasikan, hlm. 226
40 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in, (Beirut, Dar al-Fikr, 1977), juz.ke-3, hlm. 147
122

melaksanakan hukuman tersebut, atau dalam kondisi belum diketahui wali al-amri

sedangkan musuh sudah menyerang, maka berhak untuk mempertahankan nyawa dan

kehormatan dari serangan dengan maksud mempertahankan diri. Dalam sebuah hadits

dikatakan :

‫ﲡﻮز ﻻﻣﱴ اﻟﻨﺴﻴﺎن واﳋﻄﺎء وﻣﺎاﺳﺘﻜﺮﻫﻮا ﻋﻠﻴﻪ‬


“Dibolehkan bagi umatku yang lupa, salah dan perbuatan yang dipaksakan

untuknya ( H.R. Baihaqi dan Ibn Majah dari Ibnu Abbas)41”

3. Ancaman Terhadap akal

Akal merupakan sumber hikmah (pengetahuan), sinar hidayah, cahaya mata hati,

dan media kebagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Dengan akal manusia berhak

menjadi pemimpin (khalifah) di muka bumi, dan dengannya manusia menjadi sempurna,

serta berbeda dengan makhluk lainnya. Akal menjadi poros taklif. Dengannya, manusia

berhak mendapat pahala dan dosa, membuka cakrawala, menigkatkan strata hidupnya,

memperbaiki diri, dapat menjalin kehidupan materi dan spiritual, melanjutkan penemuan

dan inovasinya di berbagai bidang, menyelesaikan persoalan hidupnya dan mencapai cita-

cita, serta dengan akal manusia mendapatkan hidayah Allah, memahami keagungan dan

ajaran-ajaran Allah dan mengabdi kepada-Nya.

Oleh sebab itu untuk melengkapi fungsi akal Allah memberikan risalah (wahyu),

tanpa risalah akal tidak akan mendapat petunjuk untuk sampai pada pengetahuan

kemanfaatan dan kemudaharatan di dalam kehidupan dunia dan akhirat. karena cahaya

41 Abu Bakar Abd al-Razzaq Ibnu Hammam al-Shan’ani, Mushannif abd al-Razzaq, (Beirut : al-
Maktab al-Islami, 1403 H), juz. Ke-11, hlm 298
123

mata tidak akan kelihatan tanpa adanya cahaya yang mendahului. Demikian juga cahaya

akal tidak akan sampai kecuali ada yang meneranginya yaitu cahaya wahyu42

Karena akal berbentuk abstrak, tidak bisa diukur secara lahiriah maka dari segi

wujud memelihara akal bermaksud menjaga keselamatan otak, urat syaraf dan menjauhi

seluruh aspek yang dapat mengakibatkan kerusakannya. supaya akal tetap terlatih pada

fungsinya yang tinggi dari petunjuk-petunjuk yang logis, dapat mengkaji secara mendalam

(istiqra’i), menganalisa sejarah, menetapkan dasar-dasar akidah, beribadah yang akliyah

(masuk akal), mampu mengingat dan mempertimbangkan, melihat, merenungkan dan

mengambil i’tibar. Segi ini satu bentuk pemeliharaan akal dan agama43.

Untuk memaksimalkan fungsi akal sebagaimana yang dimaksud di atas, salah

satu bentuk kongkrit pemeliharan otak adalah meningkatkan pendidikan. Inilah konsep

yang telah ditawarkan Abd. Majid al-Najjar. Oleh sebab itu setiap manusia berhak

mendapatkan pendidikan44 formal dan non-formal, penyediaan bahan bacaan, penelitian

dan berbagai bentuk kegiatan yang dapat mengoptimalkan fungsi akal merupakan hak

pendidikan yang harus dipenuhi.

Sedangkan dari segi adamnya ada beberapa metode yang dapat memelihara akall

yaitu :

a. Haram merusak akal secara maknawi seperti berjudi, berfoya-foya dan melihat hal-hal

yang diharamkan. Menurut Ibn Taimiyah menjaga akal bukan hanya memeliharanya

dari hal-hall kongkrit yang dapat merusaknya fisik seperti minum-minuman khamar,

tetapi mencakup pada seluruh yang kotor (kurang baik)45. Allah berfirman :

42 IbnuTaymiyyah, Maqashid al-Syari’ah…,hlm. 466


43 Ibid., hlm. 466
44 Abd. Majid al-Najar, Maqashid al-Syari’ah….hlm. 134
45 IbnuTaymiyyah, Maqashid al-Syari’ah…hlm. 469
124

(43 : ‫ﻳﺎءﻳﻬﺎ ﻟﺬﻳﻦ اﻣﻨﻮا ﻻﺗﻘﺮﺑﻮا ﻟﺼﻠﻮة و اﻧﺘﻢ ﺳﻜﺎرى ﺣﱴ ﺗﻌﻠﻤﻮن ﻣﺎ ﺗﻘﻮﻟﻮن ) اﻟﻨﺴﺎء‬
“Hai orang-orang yang beriman jangan kamu mendekati shalat sedangkan

kamu kamu dalam keadaan mabuk hingga kamu mengetahui apa yang kamu ucapkan (

Q.S. al-Nisa : 43)”46

b. Menurut ayat ini bahwa ibadah sholat tidak akan diterima Allah sehingga seseorang

mengetahui apa yang diucapkan, karena orang yang tidak mengetahui apa yang

diucapkan adalah orang mabuk, orang mabuk tidak bisa diberikan hukum, dan hukum

baru bisa dibebankan ketika telah sadar.

c. Dilarang menghancurkan, menekan kebebasan berfikir.47

Akal bukanlah bentuk fisik yang bisa diukur dengan panca indera, maka untuk

memeliharanya adalah dengan menjaga media akal tersebut yaitu, keselamatan otak, alat

urat syaraf dengan menjauhi seluruh aspek yang mengakibatkan kerusakannya baik

karena mabuk (minum-minuman) maupun alat-alat yang menghilangan kesadaran

lainnya48

Dari penjelasan di atas, disimpulkan bahwa akal merupakan ukuran seseorang

layak atau tidaknya mendapatkan beban taklif syari’ah. Untuk memaksimalkan fungsi otak

tersebut maka diwajibkan memeliharanya dari kerusakan baik yang berbentuk fisik,

seperti minum-minuman khamar, alat-alat adiktif lainnya maupun yang bersifat nonfisik

(abstrak), seperti, tidak dididik, ditekan, diimtimidasi, ditakut-takuti, tidak dilatih untuk

berfikir ilmiah dan logis.

46 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan …hlm. 124


47 Abdul Majid al-Najjar, Maqashid al-Syari’ah…hlm. 130
48 Jamaludin ‘Athiyah, Nahwa Taf’il…hlm. 142
125

Dari penjelasan di atas juga dapat penulis analisis bahwa Salah satu jalan untuk

memelihara akal dari segi adamnya adalah : Pertama melalui pendidikan. Rasulullah

bersabda :

( ‫ﻃﻠﺐ اﻟﻌﻠﻢ ﻓﺮﻳﻀﺔ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻣﺴﻠﻢ ) رواﻩ اﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬


"Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan".

(Hadis riwayat Ibnu Majah)49.

Hadits di atas dapat dipahami, betapa pentingnya pendidikan untuk menjaga akal

manusia membutuhkan pendidikan, maka dari segi adamnya setiap orang di dunia berhak

mendapatkan ilmu pengetahuan sesuai dengan kemampuannya. Pihak manapun – baik

pemerintah maupun non-pemerintah, individu ataupun organisasi – tidak boleh melarang

atau menghalangi seseorang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya.

Sebaliknya badan-badan ini harus menyediakan berbagai fasilitas untuk mencapainya.

Kedua, melalui memberikan kebebasan dan keleluasaan berfikir. Karena berfikir

merupakan inti dari kehidupan manusia dalam mengemban amanah sebagai khalifah Allah

dipermukaan bumi. Maka harus diberikan kebebasan dalam memanfaatkannya. Akal yang

terpaksa atau terimtimidasi tidak mungkin tumbuh dan berkembang sesuai dengan

fungsinya50, dia akan terpengaruh oleh gesekan-gesekan eksternal yang melingkupinya.

Dalam hal ini Allah memberikan penekanan terhadap fungsi akal:

‫( ﻗﺎل اوﻟﻮﺟﺌﺘﻜﻢ‬23)‫ﻗﺎل ﻣﱰﻓﻮﻫﺎ اﻧﺎ وﺟﺪﻧﺎ اﺑﺎءﻧﺎ ﻋﻠﻰ اﻣﺔ واﻧﺎ ﻋﻠﻰ اﺛﺎرﻫﻢ ﻣﻘﺘﺪون‬
(24 ) ‫ﺑﺎءﻫﺪى وﺟﺪﰎ ﻋﻠﻴﻪ اﺑﺎءﻛﻢ ﻗﺎﻟﻮا اﻧﺎ ﲟﺎ ارﺳﻠﺘﻢ ﺑﻪ ﻛﺎﻓﺮون ﻓﺎﻧﺘﻘﻤﻨﺎ ﻣﻨﻬﻢ‬
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut satu agama dan
sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka (23) (Rasul berkata), apakah

49 Muhammad Ibn Yazid Abu Abdillah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah ( Beirut : Dar al-Fikr, tt), juz
ke-1, hlm. 81
50 Abdul Majid al-Najar, Maqashid al-Syari’ah…hlm. 136
126

(kamu mengikuti juga) sekalipun aku membawamu (agama) yang lebih (nyata) memberi
petunjuk dari pada apa yang telah kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya? Mereka
menjawab “sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu utus untuk
menyampaikannya ( QS. al-Zuhruf 23-24)”51

Dalam beberapa ayat Allah memerintahkan manusia supaya menggunakan


52
akalnya dalam kehidupannya dengan kalimat ‫ ( اﻓﻼ ﺗﻌﻘﻠون‬apakah kamu tidak berakal)

atau dengan kalimat 53‫( اﻓﻼ ﺗﻔﻛرون‬apakah kamu berfikir).

Kedua ayat menjelaskan bahwa manusia dilarang hanya mengikuti pendahulunya

tanpa mengetahui ilmunya, menalar dan menggunakan metodologi yang ilmiah dalam

bertindak. Oleh sebab itu Allah banyak menggunakan idiom sindiran yang ditujukan

kepada manusia supaya menggunakan akalnya secara sadar dalam menjalani

kehidupannya. Mafhum mukhalafah yang terkandung dalam ayat ini manusia dilarang

mematikan fungsi akal sebagai pencari hakekat kebenaran.

Perang merupakan salah satu musibah yang bisa menghancurkan seluruh sendi

kehidupan masyarakat, termasuk pendidikan dan fungsi akal. Dalam sejarah peperangan

Mongolia yang dilancarkan oleh Hulagu Khan terhadap kekhalifahan Bani Abbasyah

menjadi bukti, bahwa betapa peperangan tersebut telah menjadi bukti meluluh-lantakkan

peradaban dunia Islam, saat dunia Islam menjadi satu-satunya kiblat pendidikan dan

pengembangan pemikiran pada masa itu, umat Islam sedang dalam giat-giatnya

mengembangkan pemikiran (akal) melalui dunia pendidikan. Saat perang itulah seluruh

aset keilmuan Islam dan pemikiran dibumihanguskan54

51 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan …hlm. 232


52 Ibid…hlm. 675
53 al- Yubi, Maqashid al-Syari’ah…hlm. 235
54 Pada masa keemasan Khalifah Bani Abbasiyah telah melahirkan tokoh-tokoh- ilmuan dari

berbagai displin ilmu pengetahuan, buah keilmuan mereka masih dirasakan hingga masa sekarang.
sekedar contoh dalam bidang fiqh lahir ulama besar seperti imam Abu hanifah, Imam Maliki, Imam Hambal,
Imam Syafi’I, Dalam bidang hadits melahirkan, Imam Bukhari, Imam Muslim, al-Turmudzi, al-Nasa’I, Abu
Daud, Ibnu Majah. Dalam bidang filsafat melahirkan tokoh sekaliber Ibnu Sina, ibnu Rusyd. Dalam ilmu
127

Dari data tersebut bahwa perang saudara sesama muslim ditinjau dari maqashid

syari’ah sangat bertentangan dengan hak asasi (dharuri) manusia dalam bidang

pendidikan dan kebebasan berfikir.

4. Ancaman teradap keturunan

Untuk kelangsungan kehidupan manusia, perlu adanya keturunan yang sah dan

jelas. Untuk maksud itu Allah Swt melengkapi makhluk hidup ini dengan nafsu syahwat

yang mendorong untuk melakukan hubungan kelamin yang harus dilakukan secara sah

dan baik. Sehingga hubungan dua jenis antara laki-laki dan perempuan mutlak akan

mengajak pada kemuliaan terhadap maksud memelihara keturunan.

Syari’at menguatkan maksud hak-hak pemeliharaan keturunan. Dengan aturan

tersebut hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya menuju kesenangan tanpa

mengangkat kemuliaan dan derajat manusia. Karena pada dasarnya hubungan lawan jenis

merupakan sunnatullah dalam penciptaannya, baik manusia, hewan dan tumbuh-

tumbuhan.

Pernikahan diselenggarakan untuk mendapatkan anak, melanjutkan keturunan

agar manusia tidak punah di dunia ini. Menurut al-Ghazali, syahwat diberikan Allah kepada

manusia, agar mereka mendapatkan keturunan 55. Al-Jurjawi dalam bukunya “Hikmat al-

esakta lahir al-Khawarizmi. Tokoh-tokoh seperti ini lahir karena kondisi zaman pada waktu itu
memungkinkan, negara dalam keadaan aman dan pemerintahannya memberikan ruang kepada ulama untuk
berfikir bebas sesuai dengan keahliannya tanpa adanya intervensi dari luar. Lihat. Mana’, Tarikh al-Tasyri’ al-
Islami al-TasyrI’ wa- al-Fiqh, (Riyadh : Maktabah al-Ma’arif : 1997), cet. Ke- 2 hlm. 325-393 Syekh
Muhammad Ali as-Sayis, Sejarah Pembentukan Dan Perkembangan Hukum Islam ( Jakarta : Akademika
Presindo : 1996), cet. I, h. 182. Lihat juga Khudhari bik, Tarikh al-Tasyri’ al- Islami, ( Surabaya : al-Hidayah,
tt), h. 326-329, lihat juga Musthafa Ahmad Salabi, al-Madkhal fi al – Fiqhi-... h. 207
55 Berbeda dengan sebagian fuqaha’ lainnya yang memandang bahwa hakikat pernikahan adalah

untuk memenuhi kebutuhan seksual, sedangkan mendapatkan keturunan adalah hasil atau akibat
pernikahan. Bertitik tolak dari pemikiran ini Imam al-Ghazali berpendapat lebih baik menikah bagi mereka
yang disibukkan beribadah, menuntut ilmu dan memiliki kekurangan atau penyakit, seperti impotens. Dia
juga berpandangan bahwa azal, onani dan aborsi diharamkan karena dapat memutus kelestarian eksistensi
128

Tasyri’ wa Falsafatuh” menjelaskan hikmah pernikahan dengan cara yang sedikit

berbeda56. Menurutnya, Allah telah menciptakan manusia untuk memakmurkan bumi dan

segala yang ada di muka bumi untuk mereka. Kelestarian pemakmuran bumi amat

ditentukan oleh keberadaan manusia hingga hari Kiamat. Hal ini ditentukan oleh proses

regenerasi (berketurunan) dan pemeliharaan jenis manusia. Pemakmuran alam tergantung

kepada keberadaan manusia dan keberadaan manusia tergantung kepada keberadaan

pernikahan57.

Sebagaimana al-Ghazali, al-Jurjawi memandang bahwa hal ini merupakan hikmah

utama pernikahan, yang mengadung hikmah dan mamfa’at lainnya. Banyaknya keturunan

akan membuat pemakmuran bumi akan menjadi mudah bagi manusia. Memelihara

keturunan dan memperbanyaknya mesti dilakukan sehingga alam dapat dimakmurkan.

Yang dimaksud dengan memelihara nasab adalah hubungan yang jelas antara

anak dengan dasarnya yaitu bapak dan ibunya dalam ikatan yang diketahui secara pasti.

Memelihara nasab menjadi hal yang sangat dharuri dan berhubungan dharuri nya dengan

memelihara masyarakat.58 Pada bahasan yang lalu dikatakan bahwa maslahah yang

terdapat dalam pemeliharaan keturunan melingkupi persoalan individual (al-fard) dan

sosial (al-mujtama’/jama’ah). Pada tingkat individual, kelahiran seorang anak

mendatangkan kebahagiaan; pemeliharaan yang baik terhadap anak diharapkan

bermafa’at bagi kehidupan orang tuanya, baik sebelum atau pun ketika memasuki usia

manusia. Dia juga melarang membujang dan sikap kerahiban berdasarkan argumentasi ini. Imam al-Ghazali.
Ihya..., hlm.27.
56 Penjelasan yang hampir sama dengan al-Jurjawi ini dapat dilihat dalam Ibrahim Hosen. Fiqh

Perbandingan Masalah Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Fitdaus, tt), hlm. 130-132.


57 Al-Jurjawi. Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuh, Juz 2, (Kairo: Dar al-Fikri, 1994), hlm. 4.

58A bd.Majid al-Najjar, Maqashid al-…hlm. 151-152


129

lanjut. Rasulullah saw juga menyebutkan bahwa do’a anak yang sholeh menjadi syafa’at

bagi orang tuanya di akhirat nanti.

Sebaliknya, hifz al-nasl juga mengisyaratkan kebutuhan isteri terhadap suami dan

kebutuhan anak terhadap orang tuanya, baik dalam hal materi, fisik, psikologis atau

kepemimpinan. Perang menelan korban jiwa yang sangat banyak, baik dari kalangan sipil

maupun militer, telah membawa dampak sosial, terutama keutuhan keluarga. Banyak isteri

menjadi janda, dan anak menjadi yatim akibat perang. Dan hal ini menimbulkan persoalan

tersendiri. Bermunculannya keluarga-keluarga miskin, terlantar dan terzalimi di tengah

amukan dan pasca perang merupakan fakta lain tentang dampak perang yang

mengancam hifz al-nasl.

Sedangkan pada tingkat mujatama’ al-jama’ah manusia diciptakan oleh Allah

untuk menjadi khalifah di muka bumi, yaitu untuk mengimarahkan (membangun) alam. Misi

ini akan tetap berjalan hanya bila regenerasi manusia dijaga. Bila tidak, manusia akan

punah dan misi kekhalifahannya pun terhenti.

Dari penjelasan diatas disimpulkan bahwa Allah swt telah mengatur tata cara

menghargai eksistensi diri manusia, maka setiap pembunuh, penghasut, penggunjing dan

pencela disyariatkan diberikan sanksi59. Hak pengakuan terhadap eksistensi diri manusia

berarti bahwa sebagai makhluk sosial, manusia sama dihadapan Allah S.W.T dan sama

dihadapan hukum. Setiap orang berhak diperlakukan secara adil dan berprikemanusiaan.

Hal ini berlaku dimasa, damai maupun ketika terjadi peperangan.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa peperangan berpotensi dapat

menghilangkan nasal/keturunan baik secara fard atau mujtama’. Dari segi wujud, untuk
59 Saksi-sanksi terhadap perusak dan penggangu terhadap eksistensi diri manusia oleh hampir

seluruh ulama fiqh dikumpulkan dalam pembahasan khusus fiqh jinayah bab hudud, lihat Wahbah al-Zuhaili,
al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu, (Damsyiq : Dar al-Fikr, 1985) juz ke-6, cet ke-2, hlm.7-409
130

pemeliharaan keturunan (hifz al-nasl), Islam mensyari’atkan beberapa hal, antara lain:

dianjurkan untuk menikah; menikahi pasangan yang subur; mendidik keluarga; mencukupi

nafkah; menta’ati suami; menta’ati orang tua dan berbakti kepadanya; memelihara anak

yatim; menyantuni para janda dan sebagainya. Dari segi ‘adam, untuk pemeliharaan

keturunan (hifz al-nasl), Islam mensyari’atkan beberapa hal, antara lain: tidak boleh

membunuh anak; dilarang aborsi; mempertahankan keluarga dari serangan pihak luar;

dilarang membunuh anak-anak dan perempuan dalam perang; mempertahankan

masyarakat, bangsa dan negara dari serangan musuh dan sebagainya.

5. Ancaman terhadap harta

Maksud dasar dharuriyyat adalah demi kemaslahatan hati dan agama, maksud

ini bersifat jasadiah, sedangkan pelengkap untuk kemaslahatan jasadiah adalah makan,

minum yang akhirnya bisa melakukan pekerjaan untuk mendapatkan harta. Sedangkan

harta sebagai pelengkap bagi jasad, yang keduanya itu sebagai pelengkap bagi agama.

Dan seluruhnya itu untuk meraih kemaslahatan di dunia dan aktivitas-aktivitas lain yang

mengandung kemaslahatan bagi manusia60

Dari segi wujud teori memelihara harta akan bersangkut paut perkara-perkara

sebagai berikut :

a. wajib bekerja dan berusaha

Agama mencela bagi orang-orang yang meninggalkan pekerjaan dan berusaha

mencari harta sehingga tidak makan, minum, berpakaian dan apa saja yang mereka

butuhkan yang akhirnya mengakibatkan tidak sempurnanya agama mereka tanpa harta

tersebut61 .

60 Ibnu Taymiyyah, Maqashid al-Syai’ah…hlm. 480


61Ibid., hlm. 480
131

b. Tetapnya harta seeorang ditangan pemiliknya

Tidak diragukan lagi biasanya orang yang telah memilki harta yang banyak akan

menganggap bahwa harta tersebut dijadikan sebagai penolong dan penguasa atas dirinya.

Berbeda dengan orang yang beriman harta tidak dijadikan penguasa, karena di dalam

hatinya tidak ada penguasa lain kecuali Allah dan Rasulnya

Bagi orang beriman harta memilki tiga kamaslahatan, yaitu: pertama, sebagai harta

kekayaan bagi dirinya sehigga tidak manjadi manusia yang rendah dan fakir; kedua,

menyelamatkan harta, agama sehingga tidak berkurang karena harta dan tidak berpaling

karena harta; ketiga, menggunakan harta untuk agama sehingga bermanfaat untuk dirinya

dan untuk menolak kemudharatan62

Dari segi ‘adam nya ( menghilangkan kemudharatan), Islam mensyari’atkan

keharaman bermusuhan yang menghancurkan harta sebaliknya wajib melindunginya. Jika

ada peperangan atau menghadang di jalan (qath’u al-tahriq) atau perang antar kelompok

yang dilarang syari’at Islam, berarti mereka telah meruntuhkan atau merusak jiwa, harta,

usaha, keturunan, yang tidak menjadi maksud menegakkan agama dan hak milik 63.

Padahal untuk memelihara harta, Allah swt memjamin hak milik seseorang sebagaimana

terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah :

‫اﻟﺴﺎرق واﻟﺴﺎرﻗﺔ ﻓﺎﻗﻄﻌﻮا اﻳﺪﻳﻬﻤﺎ ﺟﺰاء ﲟﺎ ﻛﺴﺒﺎ ﻧﻜﺎﻻ ﻣﻦ اﷲ واﷲ ﻋﺰﻳﺰ ﺣﻜﻴﻢ ) اﳌﺎﺋﺪة‬
(38 :

62 Ibnu Taymiyyah, Maqashid al-Syai’ah..., hlm. 486.


63 Ibid.
132

“Pencuri laki-laki dan perempuani, potonglah tangan keduanya (sebagai)

pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah

Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. ( al-Maidah : 38)64.

Untuk menjamin hak kepemilikan harta dari perusakan, dan perampokan. Allah

menjelaskan :

‫اﳕﺎ ﺟﺰاءاﻟﺬﻳﻦ ﳛﺎرﺑﻮن اﷲ ورﺳﻮﻟﻪ وﻳﺴﻌﻮن ﰱ اﻻرض ﻓﺴﺎدا ان ﻳﻘﺘﻠﻮا او ﻳﺼﻠﺒﻮا اوﺗﻘﻄﻊ‬
‫اﻳﺪﻳﻬﻢ وارﺟﻠﻬﻢ ﻣﻦ ﺧﻼف او ﻳﻨﻔﻮا ﻣﻦ اﻻرض ذﻟﻚ ﳍﻢ ﺧﺰي ﰱ اﻟﺪﻧﻴﺎ وﳍﻢ ﰱ اﻻﺧﺮة‬
65
(33 : ‫ﻋﺬاب ﻋﻈﻴﻢ ) اﳌﺎﺋﺪة‬
“ Sesungguhnya pembalasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-
nya membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau di salib atau
dipotong tangan dan kaki secara bersilang atau dibuang dari negeri (kediamannya, yang
demikian itu sebagai suatu penghinaan bagi mereka, di dunia dan di akhirat mereka
mendapat siksa yang besar ( al-Maidah : 33)66

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan, bahwa perang saudara sesama muslim

secara umum melanggar hak-hak dasar kepemilikan individu. Harta, lapangan pekerjaan

bahkan harta milik seseorang akan menjadi hak milik orang yang menang dalam

peperangan. Padahal Allah swt tidak mensyari’atkan perbuatan-perbuatan yang merusak

harta.

6. Ancaman terhadap keutuhan umat

Konsep umat menjadi penting dalam kehidupan bersama. Karena pada dasarnya

salah maksud syari’at diturunkan adalah untuk melindungi hak-hak umat. Karena itulah

peperangan hanya dibolehkan ketika dalam keadaan terpaksa (dharurat). Artinya bukan

hukum asal ( azimah ). sesuai dengan kaedah-kaedah fiqh ‫ ( اﻻﺻل ﻓﻰ اﻟﻌﻼﻗﺔ اﻟﺳﻠم‬hukum

64 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan …127


65 Ibid., hlm. 240
66 Ibid,,, 33
133

asal hubungan (sesama manusia) itu adalah perdamaian ) 67 oleh sebab itu dalam Islam

setiap ada perselisihan antar kelompok atau individu harus diselesaikan terlebih dahulu

secara bermusyawarah. Bahkan dalam proses hukum pembunuhanpun yang

mengakibatkan hilangnya jiwa seseorang, Islam tetap menganjurkan kepada ahli warisnya

tetap memberikan peluang kepada pelaku agar dimaafkan, karena itulah bentuk

keringanan dan rahmat Allah, sedangkan untuk menerapkan efek jera, hukum qishahsh

yang harusnya di jatuhkan diganti dengan membayar diyat 68. dalam ayat lain dijelaskan

bahwa perang adalah jalan terakhir yang boleh ditempuh oleh umat muslim ketika tidak

ada jalan lain yang lebih damai kecuali perang tersebut. 69

C. Batasan diperbolehkannya perang saudara sesama muslim

Ayat-ayat yang konteksnya perang sangat bervariasi. Namun dapat disimpulkan

bahwa setiap peperangan yang dilakukan setiap muslim harus memiliki alasan yang kuat.

Apabila telah memenuhi alasan-alasan dasar baru diperbolehkannya perang dalam Islam.

Di antara bentuk-bentuk kapan seorang muslim bisa memerangi saudaranya yang muslim

adalah sebagai berikut:

1. Karena umat muslim dizalimi atau di aniaya. Ketika umat Islam di dholimi, dianiaya

atau diusir dari kampung halamannya sendiri mereka diperbolehkan untuk

melaksanakan perang, pada saat itu mereka memiliki hak untuk mempertahankan

harga dirinya dengan melakukan peperangan. Meskipun yang berbuat zalim tersebut

orang Islam. Tidak ada salahnya mereka diperangi, karena mereka adalah muslim

67
A. Djazuli, Fiqh Siyasah…, hlm. 218
68Selengkapnya firman Allah tersebut menyatakan;
‫ ﻓﻤﻦ ﻋﻔﻲ ﻟﻪ ﻣﻦ اﺧﻴﻪ ﺷﻴﺊ ﻓﺎﺗﺒﺎع ﺑﺎﳌﻌﺮوف واداء اﻟﻴﻪ ﺑﺎﺣﺴﺎن ذﻟﻚ‬.‫ اﳊﺮ ﺑﺎﳊﺮ وﻟﻌﺒﺪ ﺑﺎﻟﻌﺒﺪ وﻻﻧﺜﻰ ﺑﺎ ﻻﻧﺜﻰ‬.‫ﻳﺎءﻳﻬﺎ اﻟﺬﻳﻦ ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻴﻜﻢ اﻟﻘﺼﺎص ﰱ اﻟﻘﺘﻠﻰ‬
(178 : ‫ﲣﻔﻴﻒ ﻣﻦ رﺑﻜﻢ ورﲪﺔ ) اﻟﺒﻘﺮة‬
69 Selengkapnya firman Allah tersebut menyatakan;
134

yang zalim, dan orang zalim tidak boleh dibiarkan tanpa perlawanan 70. Hal ini sesuai

dengan al-Qur’an surat al-Hajj ayat 39-40 :

‫( واﻟﺬﻳﻦ‬39 ‫اذن‬
‫اﺧﺮﺟﻮاﻣﻦ دﻳﺎرﻫﻢ ﺑﻐﲑ ﺣﻖ اﻧﺎ ان ﻳﻘﻮاﻟﻮا رﺑﻨﺎﷲ وﻟﻮﻻ دﻓﻊ اﷲ اﻟﻨﺎس ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺑﺒﻌﺾ‬
‫ﳍﺪﻣﺖ ﺻﻮاﻣﻊ وﺑﻴﻊ وﺻﻠﻮات وﻣﺴﺎﺟﺪ ﻳﺬﻛﺮ ﻓﻴﻬﺎﺳﻢ اﷲ ﻛﺜﲑا وﻟﻴﻨﺼﺮن اﷲ ﻣﻦ‬
( 40 : ‫ ان اﷲ ﻟﻘﻮي ﻋﺰﻳﺰ )اﳊﺞ‬. ‫ﻳﻨﺼﺮﻩ‬
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
seungguhnya mereka mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar
maha kuasa menolong mereka itu (30) yaitu, orang-orang yang telah diusir dari
kampung halaman mereka tanapa alasan yang benar, kecuali mereka berkata “
Tuhan kami hanyalah Allah” dan sekiranya Allah Allah tiada menolak ( keganasan)
sebagian mereka dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara
Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibada orang-orang Yahudi dan masjid-masjid
yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong
orang-orang yang menolong (agama) Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha
kuat dan perkasa ( 40 )71

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa pada posisi mazlum (teraniaya), siapapun dan

dimanapun, seseorang akan memunculkan kecenderungan mempertahankan diri dari

keteraniayaan. Oleh karena prinsip Islam dalam peperangan bukan hanya berdimensi

teologis tapi berdimensi kemnusiaan.

Secara rill bahwa peperangan pada dasarnya adalah membinasakan jiwa

manusia, namun dalam konteks ini peperangan di perbolehkan ketika dalam keadaan

terpaksa untuk mepertahankan diri. dengan demikian peperangan dilakukan untuk

mencegah pertumbuhan darah yang lebih banyak diantara umat yang bertikai72

2. Karena adanya pembatalan perdamaian, adanya pembatalan perdamaian yang dibuat

diantara kedua belah pihak setelah mereka menjalin kesepakatan karena salah satu

70 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Jihad (terj),… hlm. 800


71 Q.S. Al- Hajj : 39-40
72 Wahbah al-Zuhaili, Atsaru al-Harb fi al-Islam Dirasah Muqaranah, ( Damskus : Dar al-Fikr,

1962), hlm. 48
135

pihak berbuat aniaya terhadap pihak lain73. Dalam hal ini, kelompok yang melanggar

perjanjian dan membatalkan perdamaian harus diperangi74. Berkenaan dengan hal ini,

ayat al-Qur’an menjelaskan :

‫وان ﻃﺎ ﺋﻔﺘﺎن ﻣﻦ اﳌﺆﻣﻨﲔ اﻗﺘﺘﻠﻮا ﻓﺎءﺻﻠﺤﻮا ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﻓﺎءن ﺑﻐﺖ اﺣﺪاﳘﺎ ﻋﻠﻰ اﻻءﺧﺮى‬
(9 : ‫ﻓﻘﺎ ﺗﻠﻮ ا اﻟﱵ ﺗﺒﻐﻲ ﺣﱴ ﺗﺒﻐﻰ ﺣﱴ ﺗﻔﻴﺊ اﱃ اﻣﺮاﷲ ) اﳊﺠﺮات‬
“Dan jika dua olongan orang mu’min berperang maka damaikanlah keduanya. Jika

sa lah satu dari dua golongan itu beruat aniaya terhadap golongan yang lain maka

perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada

perintah Allah ( Q.S. al-Hujurat : 9)75

3. Karena salah satu pihak menolak untuk menerima ajakan damai yang diperintahkan

oleh Allah swt. Ini merupakan bentuk aniaya dan kesombongan di muka bumi. Jika Al-

qur’an telah memerintahkan sambutan terhadap ajakan damai etika kaum musyrik yang

diperangi memintanya . apalagi jika ajakan damai itu dari sebagian muslim terhadap

muslim yang lain. seperti firman Allah:

(61 : ‫وان ﺟﻨﺤﻮا ﻟﻠﺴﻠﻢ ﻓﺎﺟﻨﺢ ﳍﺎ وﺗﻮﻛﻞ ﻋﻠﻰ اﷲ اﻧﻪ ﻫﻮاﻟﺴﻤﻴﻊ اﻟﻌﻠﻴﻢ ) اﻻﻧﻔﺎل‬
:“ Dan jika mereka condong kepada perdamaian, terimalah dan bertawakkallah

kepada Allah ( Q. S. al-Anfal : 61)76

Dalam ayat ini apabila orang-orang musyrik yang berperang mengajak damai,

maka terimalah ajakan itu, apalagi ajakan tersebut datang dari sebagian muslim

terhadap sebagian muslim lainnya. Jika kedua kelompok yang berperang itu menolak

73 Yusuf Qardhawi, Fiqh Jihad…hlm. 802


74 Sebagian besar pandangan ahli fiqh, kelompok yang memisahkan dan merongrong keamanan
negara disebut sebagai bughat yang harus diperangi. Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islam wa-Adillatuh,
( Dar a-Fikr, 1985) cet. II, juz VI, hlm.142
75 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan… hlm. 412
76 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan…hlm. 147
136

ajakan damai dan terus menerus saling menumpahkan darah tanpa alasan yang bisa

diterima, keduanya dipandang telah berbuat aniaya77. Jama’ah al-Halli wa-al ‘Aqdi (

penasehat di tengah umat harus memberikan keterangan dan menjelaskan kepada

umat hakekat kedua kelompok tersebut bahwa keduanya telah berbuat aniaya. Dan

kelompok seperti ini boleh diperangi

Termasuk hal-hal yang wajib dalam melawan mereka adalah dengan cara

yang paling mudah sebagaimana hukum melawan perang (agresor), jika bisa dilawan

dengan teguran, tidak dibenarkan penggunaan kekerasan. barangsiapa kalah dan lari

setelah mengangkat senjata, jangan di kejar. barangsiapa menyerah, harus disambut

baik kedatangannya barangsiapa terluka, janganlah membunuhnya. Jika sudah

tertawan, jangan membunuhnya dalam keadaan apapun. Tidak boleh membunuh

mereka dengan pembunuhan masal, seperti tembakan dengan meriam dan senjata

pemusnah masal lainnya.78

4. Wahbah al-Zuhaili lebih mendetail dalam menjelaskan secara umum beberapa hal yang

secara formal membolehkan perang dalam pandangan ahli fiqih antara lain :

a. perbedaan pemikiran,

b. perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama

c. persoalan politik kenegaraan,

d. menghalang-halangi keinginan manusia

e. mengalahkan yang lain dan

f. ekspansi ke negara lain.79

77Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Jihad (terj)… hlm. 802


78Ibid., hlm. 802
79 Wahbah Zuhaili, Atsâru al-harb … hal. 47
137

D. Dawabith ( tingkatan) di bolehkan perang saudara sesama muslim

Para ulama ushul berbeda pendapat dalam menempatkan hierarki hukum dharuri

al-khamsah. Imam al-Ghazali mengungkapkan bahwa hal yang perlu dijaga secara

berurutan adalah dimulai dari menjaga agama, jiwa, akal, keturunan ( al-Nasl), dan harta80.

sedangkan al- Buthi dengan mengambil beberapa pendapat tokoh mengungkapkan bahwa

menurut al-Razi secara runtut dimulai dari memelihara jiwa, harta, nasab, agama dan akal.

berbeda pula dengan Amidi secara berurutan beliau menempatkan agama sebagai

peringkat pertama, kemudian jiwa, akal, keturunan dan harta.

Dengan adanya perbedaan tersebut, untuk melihat mana sebenarnya yang lebih

penting di dahulukan dalam dharuriyyat al-khamsah, harus diseleksi dengan menggunakan

metode tarjih terhadap pendapat para ulama ini.81

Dengan adanya tarjih ini maka urutan al-Amidi terhdap dharuriyyat al- khamsah

di prioritaskan dari segi memelihara agama (hifdz al-din), kemudian memelihara jiwa (hifdz

al-nafs), keturunan (hifdz al-nasl), akal (hifdz al-akal) dan harta (hifdz al-mal). Sedangkan

menurut ibnu al- Hajib dimulai dari menjaga agama (hifdz al-din), jiwa (hifdz al-nafs), akal

(hifdz al-akal), keturunan (hifdz al-din), dan memelihara harta (hifdz al-mal). Berbeda pula

menurut menurut Asnawi bahwa memelihara al-dharuriyyat al-khamsah dimulai dari

menjaga agama (hifdz al-din) , kemudian jiwa (hifdz al-nafs) , akal (hifdz al-akal), harta

(hifdz al-mal) dan nasab (hifdz al-din ). sedangkan al-Syatibi menyebutkan bahwa menjaga

al-dharuriyyat al-khamsah secara berurutan dimulai dari menjaga agama (hifdz al-din), jiwa

(hifdz al-nafs), keturunan (hifdz al-nasl), harta (hifdz al-mal) dan akal (hifdz al akal).

80
Al- Imam Abu Hamid l-Muhammad bin Muhammad Ghazali, al- Mushtayfa min ‘Ilmi
al- Ushul, jilid ke-2, hlm. 482
81
Al- Jilaliy al- Mariniy, Al-Qawa’id al-Ushuliyyah ‘Inda al-Imam al-Syathibi Min Khilali
Kita.bih al-Muwafaqat , Mesir : Dar ibn Qayyim, cet. Ke-1, hal. 261
138

Dari seluruh pendapat ini dapat di jelaskan bahwa para ushuliyyun dalam

menetapkan dharuriyyah al- khamsah ada yang menempuh jalan yang dipakai oleh al-

Ghazali dan sebagaian mereka menempuh metode yang diterapkan al- Amidi, dan ada

juga yang sama sekali tidak menggunakan metode dari keduanya82.

Berdasarkan pemaparan pendapat ulama tersebut, penulis menggunakan metode

yang digunakan oleh Imam al-Ghazali yang secara berurutan dimulai dari menjaga agama

( hifdz al-din) , jiwa ( hifdz al- nafs), akal (hifdz al-akal), keturunan ( al-Nasl), dan harta (

hidz al- mal.). di dahulukan memelihara agama dari pada yang lain di karenakan

kemaslahatan manusia terbagi pada dua. Pertama kemaslahatan yang bersifat duniawi

dan kedua kemaslahatan yang bersifat ukhrawi. 83 dari kedua kemaslahatan tersebut

yang amat kekal adalah kemaslahatan ukhrawi. Dan seharusnya setiap kegiatan mukallaf

dalam meraih kemaslahatan harus berorientasi kepada kemaslahatan ukhrawi 84

Dalam konteks penelitian ini penulis sepakat terhadap pandangan Dr. Muhammad

Sa’id Ramadhan al-Buthy yang mengatakan bahwa kemaslahatan agama merupakan

dasar bagi kemaslahatan lainnya, maka apabila terjadi perbenturan terhadap

kemaslahatan yang lain, maka wajib hukumnya didahulukan dan mengorbankan

kemaslahatan yang lain demi kemaslahatan agama.85 `

Setelah memelihara agama, yang kedua adalah memelihara jiwa, pandangan

seperti ini dikarenakan menghilangkan jiwa adalah jenis pengerusakan yang paling besar

setelah pengerusakan agama. Membunuh jiwa tanpa alasan yang benar merupakan dosa

82
Ibid, hal. 262
83
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Dawabith al-Maslahah fi al-Syari’at al-
Islamiyyah, Mesir : Muassah al-Risalah, tt, hlm. 85
84
Ibid., hlm. 86
85
Ibid., hlm. 58
139

yang paling besar setelah kekafiran86. Bahkan menurut Jamaluddin ‘Athiyyah, memelihara

jiwa lebih didahulukan dari pada akal di sebabkan jiwa adalah sebagai dasar ( ashal)

sedangkan akal mengikut. Menjaga yang Dasar (ashal) lebih di dahulukan dari pada yang

mengikuti87. Pada intinya setiap orang berhak hidup meskipun tidak berakal. Sebagai

contoh orang gila walaupun tidak berfungsi dalam kehidupan masyarakat, tetapi mereka

tidak boleh dibunuh

Selanjutnya memelihara akal, akal menduduki posisi yang ketiga dalam maqashid

al-dharuri. Karena dengan akal yang sehat maka manusia dapat menjalankan fungsinya

sebagai khalifah Allah. Menjalankan kewajiban baik yang bersifat individu maupun sosial.

Selanjutnya, Menjaga keturunan (nasl) merupakan penyempurna bagi agama dan

jiwa. Yang demikian itu Allah menjelaskan bahwa ada tiga bagian yang dikatagorikan dosa

besar yaitu kekafiran, membunuh jiwa tanpa alasan yang benar dan berzina 88. Di dalam

surat al- Furqan ayat 68 dijelaskan :

‫واﻟﺬﻳﻦ ﻻﻳﺪﻋﻮن ﻣﻊ ا ﷲ اﳍﺎ اﺧﺮ وﻻﻳﻘﺘﻠﻮن اﻟﻨﻔﺲ اﻟﱵ اﻻ ﺣﺮم اﷲ اﻻ ﺑﺎﳊﻖ وﻻ ﻳﺰﻧﻮن‬

“Orang-orang yang tidak mengajak selain Allah, tidak membunuh jiwa yang

diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar dan juga mereka tidak berzina ( al-

Furqan : 68)”89

Sedangkan menjaga harta diletakkan pada tingatan dharuri yang terakhir, menurut

Ibnu Taymiyyah karena harta sebagai penyempurna dari keempat dharuri yang telah

disebutkan baik menjaga agama, jiwa , akal dan nasab90

86
Ibnu Taymiyyah, Maqashid al…hal. 461
87
Jamaluddin ‘Athiyyah, Maashid al..hlm. 39
88
Ibnu Taymiyyah, Maqashid al…hal. 472
89
D epartemen Agama, al-Qur’an dan…hm. 974
140

Berdasarkan katagorisasi yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan perang

antar sesama muslim dapat di laksanakan apabila betul-betul dalam keadaan dharurat.

Atau dengan kata lain jika tidak dilaksanakan peperangan akan terjadi kemudharatan yang

lebih besar yang dapat mengancam eksistensi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta

E. Variasi Perang Saudara Sesama Muslim Dan Analisa Hukumnya

Pada pembahasan diatas telah diuraikan bahwa dalam sejarah perjalanan umat

Islam sejak dari masa sahabat nabi hingga kini pernah di warnai peperangan antar umat

Islam sendiri. Perang-perang seperti ini tentu akan mengakibatkan efek hukum secara

syar’i yang harus ditinjau dari berbagai aspek termasuk dari sudut maqashid al-syari’ah

Secara normatif perang saudara merupakan perbuatan haram yang dilakukan oleh

umat Islam91 karena akan membinasakan kehidupan manusia dari berbagai sisi. Agama,

jiwa, akal, keturunan, harta keutuhan umat akan porak-poranda ketika terjadi peperangan

tersebut. Namun ketika masuk kedalam variasi berperang, bermacam model motivasi/niat

yang menjadi menyebabkan terjadinya peperangan. Di atas motivasi dan niat itulah

diletakkan dasar dan ‘illat hukum dalam menetapkan hukum perang saudara.

Dalam sejarah Islam, ada beberapa variasi perang sesama muslim yang pernah

terjadi diantaranya :

1. Perang antar sahabat , yaitu peperangan yang dilakukan oleh para sahabat nabi. Ada

beberapapa jumlah perang yang telah terjadi pada zaman sahabat : Pertama, perang

jamal yaitu peperangan yang dilakukan oleh Aisyah, Thalhah dan Zubeir berhadapan

dengan pasukan yang dipimpin Ali bin Abi Thalib92. perang saudara ini terjadi

90
Ibnu Taymiyyah, Maqashid al-…hal. 480
91 Ibid., hlm. 60
92 Abi Ja’far Muhammad bin Jarir Al- Thabari, Tarikh al-Thabari…hlm. 532-534
141

dikarenakan Aisyah menuntut pembunuh Usman bin Affan di adili 93, karena pada waktu

itu Ali sebagai khalifah, maka kewajiban Ali sebagai wali al-amri untuk memberikan

hukuman kepada pembunuh Usman. Sedangkan Ali bin Abi Thalib berpandangan

perlunya waktu yang tepat untuk mengusut tuntas pembunuhan Usman, kemudian

pada masa itu pembunuh Usman belum ditemukan secara pasti.

Menurut penulis, perang jamal terjadi karena adanya perbedaan dalam

berijtihad tentang bagaimana menuntaskan hukuman atas kematian Usman bin Affan,

menurut Aisyah Usman di zalimi, maka sebagai seorang muslim wajib membela dan

memberikan hukuman kepada seluruh yang menzalimi Usman 94. permintaan Aisyah

tentang hukuman bagi pembunuh Usman yang diusulkan ke Ali sebagai kepala negara

sudah tepat. Karena jika penuntutan dilakukan oleh masyarakat sipil, maka sistem

kemasyarakatan tidak teratur. Sedangkan Ali memiliki pertimbangan lain, ketika Aisyah

menuntut seluruh kelompok yang membunuh Ali harus diqishash. Persoalannya

menyangkut jiwa orang banyak dan dapat mengoncang kehidupan sosial ( mujtama’).

Maka Ali memiliki ijtihad sendiri,

Dari penjelasan diatas penulis simpulkan bahwa perang jamal terjadi tidak ada

unsur kebencian dan permusuhan antar aisyah dan Ali. Hal ini terbukti dengan

penawaran Ali kepada Aisyah supaya Aisyah membatalkan perang saudara tersebut.

Jadi bisa di simpulkan bahwa Ali dengan terpaksa melakukan peperanagn tersebut.

Oleh sebab itu Ali sangat menyesal ketika melihat Thalhah dan Zubeir tewas dalam

pertempuran tersebut. Sedangkan Aisyah oleh Ali dikembalikan ke Madinah dengan

perasaan hormat sebagai istri Rasulullah dan juga seorang ibu.

93 Ibid., hlm. 458


94 Ibid., hlm. 4558
142

Kedua perang Shiffin, yaitu peperangan yang mempertemukan tentara yang

dipimpin oleh Muawiyah bin Abu Sofyan berhadapan dengan tentara yang dibawa oleh

Ali bin Abi Thalib95. Peperangan ini juga terjadi karena adanya tuntutan Muawiyah agar

Ali menuntut balas kematian Usman ibn Affan96.

Sedangkan Ali masih menunda pengusutan tersebut karena harus

mendahulukan persoalan negara. Disamping itu. Sebelum terjadinya perang shiffin Ali

terlebih mengajak kelompok Muawiyah berdamai dan membatalkan niat perang

tersebut, namun Muawiyah menolak ajakan tersebut dan bertekad mengadakan

tersebut, sebaliknya tetapa mengadakan peperangan tersebut.

Menurut analisa penulis, tuntutan Muawiyah terhadap kematian Usman bin

Affan hanyalah bentuk propaganda untuk menggeser Ali dari kursi Kekhalifahan. hal ini

bisa dilihat dari sejarah, ketika tampuk khalifah berada ditangan Muawiyah dan

keturunannya hingga kekhalifahan tersebut berumur + 90 tahun tidak sekalipun di

usahakan tuntutan atas kematian Usman bin affan oleh mereka.

Atas data sejarah itu maka penulis berkesimpulan, bahwa Ali adalah orang

yang di zalimi oleh Muawiyah bin Abi Sofyan dan peperangan yang dilakukan oleh

Muawiyah hanya berorientasi kekuasaan, sedangkan Ali karena terdesak harus

melayani Muawiyah yang tidak mau diajak berdamai

2 Perang saudara sesama negara Islam, perang ini terjadi antara negara yang memiliki

dasar negara Islam, hukum yang diterapkan hukum Islam, penduduknya mayoritas

Islam. negara ini berdiri sendiri tanpa ada ikatan struktural, instruktif maupun

95 Ibid ., 563-565
96 Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, ( Jakarta : UI. Press,
2008), cet. Ke-5, hlm. 6
143

koordinatif dengan lawan perangnya. negara ini sama – sama memiliki kekuasaan

untuk mengatur negaranya masing-masing. Contoh peperangan seperti ini seperti,

perang teluk antara negara Iraq dan Iran dan perang Iraq melawan Kuwait 97

Perang Iraq melawan Iran ( perang teluk I) dikarenakan Iraq ingin menguasai

Iran ketika Iran sedang sibuk mengukuhkan revolusi dan mengumpulkan kekuatan.

Sedangkan perang Iraq melawan Kuwait ( perang teluk II) Iraq tetap dengan motivasi

yang sama yaitu ingin menguasai Kuwait. Sehingga rakyat Kuwait memberikan

perlawanan yang ketat terhadap perlakuan Iraq98.

Dari segi wujud, maqashid al- syari’ah menjamin setiap manusia memiliki hak

hidup, mendapat keamanan yang sama baik ancaman dari dalam maupun luar negeri

untuk memelihara jiwa, kehormatan dan hartanya. Maka dari segi adamnya, setiap

perbuatan yang mengancam eksisitensi wujud tersebut harus dilawan dan

dihapuskan99.

Berdasarkan penjelasan diatas, penulis sepakat dengan apa yang dikatakan

Yusuf al-Qardhawi dalam kondisi seperti ini, Iran maupun Kuwait diperbolehkan

mengadakan perlawanan terhadap Iraq, karena Iraq melakukan penzaliman terhadap

mereka. Meskipun yang diperangi adalah sesama umat atau negara muslim 100. Dalam

kondisi seperti ini seorang muslim boleh bahkan di wajibkan untuk mempertahankan

harga diri yang di zalimi orang lain. Hal ini sesuai dengan ayat al-Qur’an surat al-Hajj:

39, berikut ini:

(39
97 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Jihad… hlm. 800
98 Yusuf al-Qardhawi…lm. 800
99 Ibnu Taymiyyah, Maqashid al-syari’ah… hlm. 462, 480

100 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Jihad., hlm. 800


144

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena

seungguhnya mereka mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar

maha kuasa menolong mereka itu (Q.S. al-Hajj :39)”101

3. Perang antara negara Islam dengan kelompok separatis muslim dalam satu negara,

perang ini terjadi antara penguasa (pemerintahan) yang secara konstitusional sah

melawan penduduk atau masyarakat yang sah pula dalam negara tersebut, di dalam

beberapa kitab fiqh perang seperti ini disebut dengan bughat (pemberontak).102

Peperangan ini terjadi biasanya karena adanya perselisihan pandangan, ideologi,

kesenjangan ekonomi, sosial, budaya dan politik antara pemerintah dan rakyat yang

dipimpinnya. Peperangan model ini pernah terjadi hampir di seluruh negara yang telah

merdeka.

Perang model ini dalam Islam, ketika bughot (rakyat yang melakukan makar),

kepada pemerintahan yang konstitusional dan tidak melanggar syari’at. Maka demi

keutuhan umat pemerintah (wali al-amri) diperbolehkan melakukan perang atau

memberantas kelompok tersebut. Berkenaan dengan hal ini, ayat al-Qur’an

menjelaskan :

‫وان ﻃﺎ ﺋﻔﺘﺎن ﻣﻦ اﳌﺆﻣﻨﲔ اﻗﺘﺘﻠﻮا ﻓﺎءﺻﻠﺤﻮا ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﻓﺎءن ﺑﻐﺖ اﺣﺪاﳘﺎ ﻋﻠﻰ اﻻءﺧﺮى‬
(9 : ‫ﻓﻘﺎ ﺗﻠﻮا اﻟﱵ ﺗﺒﻐﻲ ﺣﱴ ﺗﺒﻐﻰ ﺣﱴ ﺗﻔﻴﺊ اﱃ اﻣﺮاﷲ ) اﳊﺠﺮات‬
“Dan jika dua olongan orang mu’min berperang maka damaikanlah keduanya. Jika

sa lah satu dari dua golongan itu beruat aniaya terhadap golongan yang lain maka

101Departemen Agama RI, al-Qur’an dan…hlm. 269


102 Lihat, Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al- Ghazali yang kemudian
dikenal dengan al-Gazali, al- Wajiz fi-fiqhi al—imam al-Syafi’I, ( Libanon : Beirut : Syirkah dar-al-Arqam bin
Abi al-Arqam, 1997), cet. Ke-2, jilid ke-2, hlm 163,i
145

perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada

perintah Allah ( Q.S. al-Hujurat : 9)103

Begitu juga sebaliknya, ketika pemerintah yang melakukan kezaliman,

ketidakadilan, dan sewenang terhadap rakyatnya, demi amar ma’ruf nahi munkar maka

rakyat pula memiliki hak unuk melakukan peringatan, bahkan perlawanan jika

peringatan tersebut tidak dihiraukan.

Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa berdasarkan konsep al-dzari’ah boleh

melakukan pembangkangan terhadap pemerintah yang zalim walaupun terkadang

pembangkangan itu membawa kemafsadatan104 .

Peperangan antar negara muslim, peperangan ini terjadi antara dua negara

yang sama-sama tidak berdasarkan hukum Islam, namun penduduknya mayoritas

sama-sama muslim . Misalnya, terjadi peperangan antara negara Indonesia105

melawan negara Malaysia106

Termasuk perang yang diharamkan adalah yang kita kenal pada zaman

sekarang dalam lingkup yang lebih luas, yaitu perang antar negara Islam dalam

memperebutkan wilayah-wilayah itu. Perang model ini merupakan peninggalan dan tipu

103 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan…hlm. 412


104 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muawaqqi’in ‘an Rabb al- ‘Alamin, ( Beirut : Dar al-Fikr :
1977) cet. Ke-2, hlm. 148
105 Yang dimaksud Indonesia sebagai negara muslim adalah Indonesia sebagai suatu negara yang

berpenduduk terbanyak beragama Islam. Hasil sensus tahun 1990 jumlah penduduk Indonesia adalah
179.321.641 jiwa.diperkirakan sedikitnya 85% beragama Islam. Lihat Muhammad Tahir Azhary, Negara
Hukum, suatu studi tentang prinsip-prisipnya, dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada negara
Madinah dan Masa Kini ( Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2003), cet. Ke- 3, hlm. 194
106Malaysia dan Konstitusinya tahun 1957 diubah pada tahun 1964 dengan tegas menyatakan

bahwa Islam menjadi agama resmi negara federasi. Konsekwensi logis dari ketentuan ini, adanya hubungan
antara federasi Malaysia sebagai negara agama Islam. Sehingga Malaysia tiak bisa disebut sebagai negara
sekuler. atau konsekwensi lebih jauh ajaran Islam dan hukum Islam di anut dan harus dilaksanakan di
federasi Malaysia. Ibid., hlm. 215
146

daya klasik kaum kolonial yang sering melakukan politik pecah belah terhadap negara

tetangganya107

Idealnya, wilayah-wilayah kaum muslimin bersatu padu menjadi suatu negara

yang besar yang dihimpun oleh oleh akidah Islam sebagai sentral dan syari’at Islam

sebagai tempat rujukan. Selain itu, mereka juga diikat oleh negeri Islam sebagai tanah

air dan kekhalifahan sebagai pemimpin. Namun realitas sekarang berbeda, negara –

negara Islam telah berdiri dalam bentuk kecil-kecil dan dibangun menurut ras, bahasa,

dan wilayah yang berbeda yang tidak mungkin disatukan dalam satu kekhalifahan

sebagimana pada zaman kekhalifahan Islam.

Dengan keadaan demikian, umat Islam secara tidak langsung telah sepakat

untuk membangun kejayaan Islam berdasarkan negara dan bangsanya masing-

masing. Namun tetap diikat oleh ukhuwah Islamiyyah. Dengan prinsip itu maka

keutuhan umat Islam akan tetap terjaga dengan mengembangkan Islam menurut, suku,

bangsa dan budayanya masing-masing.

Jika yang prinsip (wujud) adalah kesatuan kaum muslimin (Ukhuwah

Islamiyyah), tidak ada salahnya mengakui kenyataan perpecahan yang terjadi,

menurut ketentuan yang tidak mungkin diabaikan, disertai kewajiban untuk terus

berusaha mewujudkan persatuan umat. Negara – negara regional yang terbentuk

setelah keruntuhan kekhalifahan harus menjalin hubungan diantara mereka dengan

menentukan perbatasan untuk mencegah timbulnya perselisihan dan berusaha

107 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Jihad…hlm. 799


147

menciptakan kestabilan dan keamanan. Fakta-fakta atau perjanjian –perjajian ini

mengikat pihak-pihak yang terlibat didalamnya108. hal ini sesuai dengan firman Allah :

(34 : ‫واوﻓﻮا ﺑﻌﻬﺪى ان اﻟﻌﻬﺪ ﻛﺎن ﻣﺴﺌﻮﻻ ) اﻻﺳﺮاء‬


“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertnggungjawabannya (

al-Isra’: 34)109

Setelah adanya perjanjian saling mensepakati batas wilayah setiap negara

muslim maka setiap negara harus menghargai batas wilayah negara tetangganya

sesuai janji tersebut. Sesuai dengan surat al-Nahl : 91-92

‫واوﻓﻮ ﺑﻌﻬﺪاﷲ اذا ﻋﻬﺪﰎ وﻻ ﺗﻨﻘﻀﻮاﻻﳝﻦ ﺑﻌﺪ ﺗﻮﻛﻴﺪﻫﺎ وﻗﺪﺟﻌﻠﺘﻢ ﷲ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻛﻔﻴﻼ ان‬
‫( وﻻ ﺗﻜﻮﻧﻮا ﻛﺎﻟﺬي ﻧﻘﻀﺖ ﻏﺰﳍﺎ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﻗﻮة اﻧﻜﺎﺛﺎ‬91) ‫اﷲ ﻳﻌﻠﻢ ﻣﺎ ﺗﻌﻠﻤﻮن‬
‫ﺗﺘﺨﺬون اﳝﺎﻧﻜﻢ دﺧﻼ ﺑﻴﻨﻜﻢ ان ﻳﻜﻮن اﻣﺔ ﻫﻲ ارﰉ ﻣﻦ اﻣﺔ اﳕﺎ ﻳﺒﻠﻮﻛﻢ اﷲ ﺑﻪ وﻟﻴﺒﻴﻨﻦ‬
( 92 )‫ﻟﻜﻢ ﻳﻮم اﻟﻘﻴﻤﺔ ﻣﺎ ﻛﻨﺘﻢ ﻓﻴﻪ ﲣﺘﻠﻔﻮن‬
Dan janganlah kamu melanggar sumpah-sumpah setelah diikrarkan, sedangkan
kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa
yang kamu perbuat. Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang
menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai
kembali.kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat menipu di antaramu,
disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang
lain ( al-Nahl : 91-92)110"

Dengan adanya kesepakatan batas wilayah tersebut, jika terjadi perebutan

wilayah hingga terjadi peperangan antar negara muslim, maka harus di lihat siapa yang

zalim dan siapa yang dizalimi ( mazlum). Demi keutuhan ukhuwah Islamiyyah maka

secara adamnya pelaku penzaliman boleh diperangi, sedangkan negara yang dizalimi

harus dibantu untuk merebut haknya sebagai negara yang merdeka.

108 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Jihad…800


109 Durrun al-Qur’an dan terjemahnya …227
110 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan…hlm.221
148

5. Perang antara pemerintah yang tidak berdasarkan hukum Islam melawan pasukan

terdiri dari orang-orang muslim. Perang model ini diharamkan oleh Allah swt tanpa

alasan yang sesuai syari’at. Tidak ada dasar peperangan antar sesama umat muslim

hanya disebabkan perbedaan hukum negara dengan rakyatnya, Selama antara

pemerintah dan pasukan Islam tersebut tidak saling menzalimi dan membahayakan

keutuhan negara dan umat. Sebaliknya jika terjadi peperangan, maka yang menzalimi

harus dilawan sedang akan yang dizalimi harus dibantu untuk memerangi kezaliaman

tersebut111. dalam hierarki maqashid al-syari’ah kepentingan jiwa lebih diutamakan

dari pada kepentingan hukum itu sendiri. Karena jiwa bagian dari Maqashid al-Dharuri

112.

5. Peperangan antar negara Muslim, atau negara yang secara yuridis formal tidak

berdasarkan hukum Islam, namun penduduknya mayoritas muslim. Peperangan seperti

ini juga bertentangan dengan syari’at selama tidak ada hal-hal yang sangat darurat

menurut syari’at untuk melaksanakan peperangan. Namun jika ada diantara salah satu

kelompok berlaku zalim yang dapat membahayakan eksistensi muslim lainnya, maka

yang muslim yang terzalimi memiliki hak untuk mempertahankan hak itu.

6. Peperangan antara penduduk muslim, perang ini terjadi antara penduduk yang secara

yuridis sama-sama sah menjadi penduduk di satu negara. Peperangan seperti ini bisa

saja terjadi antar kelompok masyarakat yang beragama Islam di satu negara, atau

perang antar suku yang warganya beragama Islam, bisa juga terjadi peperangan antar

organisasi Islam di satu negara, seperti terjadinya peperangan antara orang Arab dan

111
Lihat, Lihat, usuf al-Qardhawi, Fiqh Jihad…hlm. 355
112
Lihat Zulkayandri, Stratifikasi Hukum Islam Dalam Perspektif Konsep Ihsan ‘Izz al-Din Abd al-
Salam Dan Relevansinya Dengan Ijtihad Kontemporer, ( Disertasi, Tidak dipublikasikan, 2004). hlm. 98
149

Kurdi, antara Kurdi an Turki, antara Arab dan Iran. Dan kelompok-kelompok lain yang

banyak terjadi di negari Islam113

Perang model ini terjadi dikarenakan adanya fanatisme satu kabilah dengan

kabilah lain, atau satu suku dengan suku lain. Setiap kelompok bersikap fanatik

terhadap kabilah, suku, atau wilayahnya dalam menghadapi kelompok lain yang

berbeda. Perang ini bukan demi suatu prinsip, idealisme, atau demi hak yang disia-

siakan114. Namun sebaliknya peperangan seperti terjadi karena adanya perasaan tidak

suka, merasa lebih terhormat dari pada kelompok lain. Dalam Islam perang seperti ini

hanya merusak sistem tata kehidupan masyarakat Islam. Yusuf al-Qardhawi mengutip

hadits Rasulullah SAW :

“Barangsiapa yang berperang dibawah bendera fanatisme, membenci karena

fanatisme, mengajak pada fanatisme, atau mencela fanatisme, lalu terbunuh, maka

kematiannya seperti kematian masa jahiliyyah115”

Oleh sebab itu demi menjaga kestabilan masyarakat dari terjadinya

peperangan antar kelompok tersebut, pemerintah harus segera mengambil peran untuk

mendamaikan. Demikian al-Qur’an menjelaskan :

(9 : ‫وان ﻃﺎ ﺋﻔﺘﺎن ﻣﻦ اﳌﺆﻣﻨﲔ اﻗﺘﺘﻠﻮا ﻓﺎءﺻﻠﺤﻮا ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ )اﳊﺠﺮات‬

“Dan jika dua olongan orang mu’min berperang maka damaikanlah keduanya. (Q.

S. al-Hujurat: 9)116

113 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Jihad…798


114 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Jihad…hlm. 798
115 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Jihad … 798

116 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan…hlm. 411


150

E. Otoritas penyelesaian sengketa perang saudara sesama muslim

Tujuan perang dilakukan adalah demi terwujudnya tata kehidupan yang lebih baik,

dari kezaliman menuju kedamaian, dari ketidakadilan menuju pengakuan persamaan hak.

maka ketika peperangan akan terjadi harus dipertimbangkan dari segala sisi maslahah dan

mafsadahnya. Sehingga terhindar dari menghilangkan kemudharatan namun

mendatangkan kemudharatan baru. Dalam hal ini Ushuliyyun memberikan kaedah :

‫اﻟﻀﺮر ﻻ ﻳﺰال ﺑﺎاﻟﻀﺮر‬


“ Kemudharatan tidak bisa dihilangkan dengan mendatangkan kemudharatan

baru”117

Al-Qur’an memberikan panduan kepada setiap perselisihan, supaya setiap

perselisihan di selesaikan secara baik dengan mengedepankan musyawarah melalui

arbitrase ( penengah). bahkan dalam lingkup sekecil apapun, seperti perselisihan

keluarga ( suami – isteri ) al-Qur’an telah menetapkan arbiternya, yaitu kedua orang tua

suami-isteri118. bagaimana mungkin perselisihan dan peperangan yang melibatkan

masyarakat, umat , kelompok bahkan antar negara tidak ada arbiternya?

Maka, jika di qiyaskan pada arbitrasi keluarga, arbitrasi bagi peperangan antar

umat Muslim menjadi Qiyas Aula119. Atau dengan kata lain kebutuhan arbtrasi tersebut

117 Jalaluddin, Imam Abdirrahman bin Abi Bakar al-Syuyuthi, al-Asybah wal-Nazhoir, ( Surabaya :
PT. Toha Putra, 1975) hlm. 47
118 Selengkapnya ayat tersebut berbunyi

(35 : ‫ ان ﯾرﯾدا اﺻﻼﺣﺎ ﯾوﻓق ﷲ ﺑﯾﻧﮭﻣﺎ ) اﻟﻧﺳﺎء‬,‫وان ﺧﻔﺗم ﺷﻘﺎق ﺑﯾﻧﮭﻣﺎ ﻓﺎﺑﻌﺛوا ﺣﻛﻣﺎ ﻣن اھﻠﮫ وﺣﻛﻣﺎ ﻣن اھﻠﮭﺎ‬
Artinya :“Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang juru
damai dari keluarga laki-laki satu orang dan dari keluarga perempuan. Jika kedua juru damai itu
menhendaki perbaikan, niscaya Allah memberikan taufiq kepada suami-isteri( Q.S. al- Nisa’ : 35),
lihat. Durrun, al- Qur’an dan terjemahannya, ( sinar Baru,t) hlm. 66
119 Qiyas aula yaitu ‘illat yang terdapat pada far’u ( cabang ) lebih utama dari pada ‘illat yang pada

ashal (pokok), Satria Efendi, Ushul Fiqh (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), cet. Ke-2, hlm.
140
151

menjadi wajib hukumnya. Dalam konteks ini maka jika terjadi peperangan harus dibawah

satu komando. Dalam hal ini dapat dirinci sebagai berikut :

1. Jika yang melakukan perang masyarakat sipil, baik antar penduduk maupun maupun

ancaman terhadap negara ( bughot), maka arbiter sekaligus yang menganjurkan

peperangan adalah ulil-amri (pemerintah). Hal ini sesuai dengan ayat :

‫وان ﻃﺎﺋﻔﺘﺎن ﻣﻦ اﳌﺆﻣﻨﲔ اﻗﺘﺘﻠﻮا ﻓﺎﺻﻠﺤﻮا ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﻓﺎن ﺑﻐﺖ اﺣﺪاﳘﺎ ﻋﻠﻰ اﻻﺧﺮى ﻓﻘﺎﺗﻠﻮ اﻟﱵ‬
‫ﺗﺒﻐﻰ ﺣﱴ اﱃ اﻣﺮاﷲ ﻓﺎءن ﻓﺎءت ﻓﺎءﺻﻠﺤﻮا ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺑﺎ ﻟﻌﺪل واﻗﺴﻄﻮا ان اﷲ ﻻ ﳛﺐ اﳌﻘﺴﻄﲔ‬
(9 : ‫) اﳊﺠﺮات‬
“Jika dua kelompok yang saling berperang, maka damaikanlah antara keduanya,
jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap yang lain, maka tindaklah
kelompok yang berbuat aniaya sehingga kembli kepada perintah Allah, jika ia telah
kembali maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah,
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil ( al-Hujurat : 9)” 120

2. Jika peperangan terjadi antar negara muslim, seharusnya yang menjadi arbiter adalah

mahkamah syari’ah internasional (mahkamah al-syari’ah al-‘alamiyyah), sebagaimana

yang dipaparkan oleh Yusuf al-Qardhawi121 dan Wahbah al-Zuhaili122. Karena ini

persoalan internal umat Islam yang hanya bisa diputuskan secara hukum Islam, melalui

ijtihad, maka tidak bisa diserahkan ke Persatuan Bangsa-Bangsa ( PBB ) yang tidak

menggunakan hukum Islam

3. Jika ulil-amri atau pemerintah yang melakukan kesalahan melanggar syari’at Allah,
maka umat muslim yang harus memberikan nasehat atau memberikan peringatan

supaya kembali kepada kebenaran. Hal ini sesuai dengan surat al-‘Asr : ayat 4

(4 : ‫وﺗﻮا ﺻﻮﺑﺎﳊﻖ ) اﻟﻌﺼﺮ‬


“Dan saling menegakkan kebenaran : Q.S. al- ‘Asr :4)123

120 Departemenen Agama RI, Al- qur’an dan…hlm 243


121 Yusuf al-Qardhawi, Fiqih Jihad…hlm. 803
122 Wahbah al-Zuhaili, Atsar al-Harb…hlm. 62

123 Departemenen Agama RI, Al- qur’an dan…hlm 1123


152

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap nash-nash dan konsep-konsep yang

dikemukakan oleh para ulama dan para ahli. Maka penelitian ini berkesimpulan bahwa

perang saudara sesama muslim adalah haram dan bertentangan dengan nilai-nilai

maqashid al-syari’ah. Namun jika diurai kasus-perkasus maka akan menghasilkan konklusi

hukum yang berbeda, karena setiap peperangan yang dilakukan oleh umat Islam baik dari

masa sahabat sampai masa sekarang memiliki motivasi dan niat yang berbeda. niat dan

motivasi yang berbeda itulah yang mengakibatkan hukumnya berbeda. Karena

pembangunan hukum harus diletakkan di atas niat dan ‘illat hukum. Begitu niat dan illat

nya berubah maka hukumnya juga berubah. Intinya hukum perang saudara sesama

muslim harus dilihat satu-persatu tidak bisa di hukum haram secara general

Dalam sejarah peradaban umat Islam higga hingga masa sekarang, ternyata

peperangan terbagi beberapa variasi dan memiliki motivasi berbeda :

1. Perang antar sahabat ( perang jamal ) yang mempertemukan tentara yang

dipimpin Aisyah dan Ali, tidak bertentangan dengan maqashid syari’ah, karena

perang yang mereka lakukan merupakan hasil ijtihad masing-masing tokoh dan

dengan niat untuk sama – sama menegakkan keadilan. Selanjutnya perang

tersebut tidak dilandasi dengan semangat kebencian terhadap lawannya.

Sedangkan perang shiffin yang mempertemukan tentara yang dipimpin

Muawiyah bin Abi Sofyan menentang pasukan Ali di motivasi oleh keinginan
153

Muawiyah bin Abi Sofyan menduduki posisi khalifah yang pada waktu itu

diamanhkan ke Ali bin Abi Thalib.

Dapat diambil konklusi hukum, penyerangan Muawiyah terhadap Ali

adalah sebuah tindakan yang tidak sesuai syari’at. Sedangkan Ali hanya

mempertahankan diri dari serangan yang mengancam keamanan negara dan

keutuhan umat

2. Perang saudara sesama negara Islam, perang ini terjadi antara negara yang

memiliki dasar negara Islam, seperti, penyerangan Negara Iraq terhadap Iran

pada perang Teluk I dan penyerangan Iraq ke Kuwait pada perang Teluk II.

Perang ini bagi Iraq merupakan perbuatan yang dilarang karena menghancurkan

negara lain tanpa alasan yang syar’i. Sebaliknya bagi Iran dan Kuwait

diperbolehkan untuk menyerang Iraq sekedar untuk bertahan diri dari kezaliman

3. Perang antara negara muslim melawan separatis atau bughat (melakukan makar)

terhadap pemerintah yang konstitusional dan tidak melakukan kema’siatan

terhadap syari’at. Perang model ini disyari’atkan di dalam al-Qur’an. Sebaliknya

rakyat juga memilki hak melakukan pembangkangan jika ulil amri melakukan

kemungkaran dan kezaliman

4. Perang antar penduduk muslim karena fanatisme mazhab, idealisme, dan

perasaan tidak suka kepada kelompok lain. Perang seperti ini diharamkan di

dalam Islam.

Berdasarkan keterangan diatas, maka hukum perang bersifat elastis

(sesuai keadaan). ketika kezaliman, ketidakadilan kesewenangan merajalela

yang bisa mengancam eksistensi agama, jiwa, akal, keturunan dan keummatan,
154

maka ketika itu Islam mewajibkan melakukan peperangan ( jihad fi sabilillah )

Untuk mengembalikan kehidupan yang adil, aman, dan menghargai eksistensi

manusia sebagai mahluk Allah

Meskipun hukum perang bisa berubah sesuai dengan kondisi, namun

tetap harus mengedepankan esensi perang itu sendiri yaitu ”mengembalikan hak

umat yang terenggut karena perang”. Maka perlu adanya otoritas seseorang atau

lembaga yang diberikan wewenang untuk menyelesaikan sengketa perang, yaitu :

A. Jika perang melawan pemberontak (bughat) atau terjadinya peperangan

antar penduduk, maka yang menyatakan perang atau damai adalah ulil-amri

B. Jika perang antar negara Muslim maka yang menyatakan perang atau

damai seharusnya Mahkamah Islam Internasional

C. Jika perang melawan pemerintah yang zalim, maka kewajiban seluruh umat

Islam melakukan pembangkangan

5. Perang saudara harus memperhatikan tingkat kemudharatan secara hierarkis.

Maka perang saudara hanya boleh dilakukan ketika ada ancaman yang dapat

menghapuskan eksistensi agama, jiwa, akal, keturunan dan harta

B. Saran-saran

Fiqh siyasah (politik) merupakan salah satu fiqh yang perkembangannya begitu

cepat, karena ia akan mengikuti perkembangan manusia yang setiap saat berubah seiring

dengan kebutuhan manusia itu sendiri. Perubahan dan perkembangan itulah yang kadang-

kadang terjadi gesekan-gesekan kepentingan antar manusia yang mengakibatkan

terjadinya peperangan. Hal tersebut tentu menuntut adanya status hukum Islam, karena

jika tidak banyak persoalan keumatan yang terlepas dari bingkai syari’ah
155

Penelitian ini termasuk pemula yang meninjau peperangan yang terjadi di tubuh umat

Islam sendiri dari segi hukum dan maqashid al-syari’ah. Karena biasanya peneliti hanya

melihat dari perspektif Siyasah (politik) yang hukumnya sendiri menjadi bias. Makanya

penelitian ini baru memberikan katagorisasi peperangan secara umum, belum menyentuh

seluruh persoalan mengapa seseorang melakukan peperangan.

Penelitian ini merekomendasikan supaya diupayakan berdirinya Mahkamah Syari’ah

Internasional sebagai lembaga arbitrase persengketaan antar umat muslim

Oleh sebab itu perlu adanya penelitian selanjutnya yang meneliti peperangan yang

dilakukan oleh umat Islam, diantara kemungkinan judul yang bisa diangkat adalah,

Terorisme di tinjau dari hukum Islam, pembangkangan rakyat sipil terhadap pemerintah

dalam tinjauan hukum Islam

Akhirnya penelitian ini jauh dari kesempurnaan, kritik dan saran yang kontruktif sangat

penulis harapkan, untuk kesempurnaan penulisan selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Ismail Salim, Al-Bahtsu al- Fiqhiyy, Thabi’atuhu, Khashaishuhu, Ushuluhu,


Mashadiruhu Ma’a al-Mushthalahat al-Fiqhiyyah fil al-Mazahib al-Arba’ah (
Makkah al-Mukarramah : Pustaka al-Asadi, 2008), cet. ke-1,

Afdzalurrahman, Muhammad Sebagai Pemimpin Militer (Jakarta : YAPI, 1990)

Ahmad, Yusuf Muhammad al-Badwi, Maqashid al-Syari’ah ‘Indi Ibu Taymiyyah, ( Dar. Al-Nafais,
1999),

Alim, Muhammad Ali, Asas-Asas Negara Hukum Modern Dalam Islam, kajian
Komprehensif Islam dan Ketatanegaraan ( Yogyakarta : PT. LkiS, 2010) , cet. Ke-1
Asqalâni, Imâm Hafîdz Abû Fadl Ahmad Al bin ‘Ali bin Muhammad bin Muhammad bin
Hajar, Fath al-Bâri bi Shahîh al-Bukhâri

‘Atsimin, Muhammad Sholeh bin Muhammad al, Majmu’ Fatawa wa – Rasail Ibn al-‘Atsimin
(Dar al-Wathan wa. Dar al Tsurya, 1413 H), juz. 9

‘Atsimin, Muhammad Sholeh bin Muhammad Muhammad, Liqa’ al-Bab al-Maftuh, 1421 H
Ri’asah al-‘Ammah li-Idarati al Buhuts al-‘Ilmiyyah wa-al-Ifta’, wa- al-da’wah, wa-al-
Irsyad,

‘Asyur, Muhmmad Thahir Ibnu, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah ( Pakistan, Dar al-
Nafais, 2001) , cet ke-2

‘Athiyah, Jamal al-Din, Nahwa Taf’’il Maashid al-Syari’ah, ( Syuriah : al- Ma’had al-‘alami
lil-Fikri al-Islami, 2003)

Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum, suatu studi tentang prinsip-prisipnya, dilihat
Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada negara Madinah dan Masa Kini (
Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2003), cet. Ke- 3

Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme hingga


Posmodernisme, ( Jakarta : Paramadina, 1991), cet. ke-1

Bakhsh, Khuda, Politik In Islam ( Delhi : Idarah Idabiah : 1975)

Bik, Khudhari, Tarikh al-Tasyri’ al- Islami, ( Surabaya : al-Hidayah, tt),

Ba’albaki, Munir, al-Maurid, a Basic Modern English – Arabic Dictionary (Beirut : Dar al-
Ilmi, 2002), cet. Ke-36
Badwi, Yusuf Ahmad Muhammad al, Maqashid al-Syari’ah ‘Indi Ibu Taymiyyah, ( Dar. Al-
Nafais, 1999)
Bari, Zakaria, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyah, (Kairo: Jami’ah al-Qohirah, 1975)

Bukhâri, Abû Abdullâh Muhammad Ibn Ismâil Ibn Ibrâhîm Ibn Mughîrah, Shahih Bukhori,
Beirut: Dâr al-Qalam, 1987

Buthi, Muhammad Sa’id al,Ramdhan, al-Jihad fil-Islam, Kaifa Nafhamuhu wa-Kaifa


Numarisuhu, ( Beirut : Dar al-Fikr, 1993), cet. Ke-1

Chapra, M. Umer, Masa Depan Ilmu Ekonomi, Sebuah Tinjauan Islam, terj. , terj. Ikhwan
Abidin Basri, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)

Clausewitz, Carol Von, On War, diedit oleh Houvard dan Peter Paret (Ner Jersey :
Princeton University Press, 1967),

Dahlan, Abdul Azis (et. al), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996)

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan terjemahannya, ( Semarang, PT.


Toha Putra,tt)

Djazuli, A Ilmu Fiqh ( Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam), (Jakarta
: Kencana, 2010)

_________, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta:


RajaGrafindo Persada, 2000)

Da’as, Ghazat ‘Abid, al- Qawa’id al-Fiqhiyyah, ( Libanon- Beirut : Dar- al-Turmudzi, 1989),
cet. Ke-3

Dawalibi, Muhammad Ma’ruf al, Al-Madkhal ila ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (T.tp: Dar al-‘Ilm li al-
Malayin, 1965)

Effendi, Satria, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008)

Esposio, John L., Ensiklopedi Dunia Islam Modern, ( Bandung : Mizan Dian Semesta,
2002) jilid ke-2, cet. ke-2,

Ghazali, Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al, al- Wajiz fi-fiqhi al—
imam al-Syafi’I, ( Libanon : Beirut : Syirkah dar-al-Arqam bin Abi al-Arqam,
1997), cet. Ke-2, jilid ke-2

____________, al-Wajiz fi-Fiqhi al-Imam al-Syafi’I, ( Beirut : Syirkah dar-al-Arqam bin Abi
al-Arqam : 1997), cet. Ke-1
____________, Al-Mustashfa min Ushul al-Fiqh, Jilid 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), Juz I,
hlm. 478-506. Al-Amidi. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Riyadh: Dar al-Shimi’y,
2003)

____________,al- Wajiz fi-fiqhi al—Imam al-Syafi’I, ( Libanon : Beirut : Syirkah dar-al-


Arqam bin Abi al-Arqam, 1997), cet. Ke-2, jilid ke-2

Ghazzy, Abi al-Harits al, Al-Wajiz fi idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyah, (Kairo: Muassisah
Risalah, 1416 H)

Halabi, Ahmad bin Yusuf al-Ma’ruf bil- Samin, al- Durru al –Mashun fi ‘Ulumi al-Kitabi al-
Malknun, (Damsyik, Dar al-Qalam : tt),

Hamidi, Muhammad bin Futuh al, al-Jam’u Baina Shahihaini al-Bukhari Wal-Muslim
(Beirut, Dar al- Hazm, 2002) jilid ke-1

Hamid, Shalih ibn Abdillah ibn, Raf’u al-Haraj fi al-Syari’at al-Islamiyah, Dhawabithuh wa
Thathbiquh, (Mekkah: Dar al-Istiqamah, 1412 H)

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos, 1996)

Hitti, Philip K., History of The Arab (terjemahan Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet
Riyadi) ( Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010), cet. ke-1

Hitti, Philip K., History of The Arab (terjemahan Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet
Riyadi) ( Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010), cet. ke-1

http://www.globalsecurity.org/military/world/war/iran-iraq.htm

Isfirayaini, Thohir bin Muhammad, Tafsir fi al-Din wa Tamyiz al-Firqah al-Najiyah an Firaq
al-Haliqin, ( Beirut : ‘Alam al-Kutub, 1983), juz. Ke-1

Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam), (Jakarta: Radar
Jaya : 2001), cet. ke-1

Jalaluddin, Imam Abdirrahman bin Abi Bakar al-Syuyuthi, al-Asybah wal-Nazhoir, (


Surabaya : PT. Toha Putra, 1975)

Jauhar, Ahmad al-Mursi Husain, Maqashid al-Syari’ah terj. Khikmawati, (Jakarta : Amzah ,
2009), hlm. 91-96.

Jauziyah, Ibnu Qayyim al, I’lam al-Muawaqqi’in ‘an Rabb al- ‘Alamin, ( Beirut : Dar al-Fikr :
1977) cet. Ke-2
____________, Ibnu Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, (Beirut, Dar al-Fikr, 1977), juz. ke-3

Jilaliy al- Mariniy, Al-Qawa’id al-Ushuliyyah ‘Inda al-Imam al-Syathibi Min Khilali Kita.bih al-
Muwafaqat , Mesir : Dar ibn Qayyim, cet. Ke-1

Jurjawi, Ali Ahmad al, Hikmah al-Tasyri’ wa-Falsafatuha, ( Dar al-Fikr : tt) juz I

Katsir, Ibnu, Tafsir al- Qur’an al-‘Adzim, ( Mesir, tt), jilid ke- 4, cet. Ke-1

Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Masdar Helmy, (Bandung: Gema Risalah
Perss, 1997)

Koto, Alaidin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (Sebuah Pengantar), (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2009)

Kurdy, Ahmad al-Haji, Al-Madkhal al-Fiqhy al-Qawa’id al-Kulliyah, (Damaskus: Dar al-
Ma’arif, 1980)

Malibari, Imam al, Fathu al-Mu’în, Surabaya: Dâr Indonesia, tt,

Manawi, Zainuddin Abd. Rauf, Taisir bi Syarhi al-Jami’ al-Shaghir, (Riyadh: Maktabah
Imam al-Syafi’i ,1988) juz ke- 2, cet. Ke-2

Majma’ al-Lughoh al-‘Arabiyah. Al-Mu’jam al-Wajiz, (Mesir: Wazarah al-Tarbiyah wa al-


Ta’lim, 1994),

Mandzur, Ibnu, Lisan al- Arab ( Al- Qahirah : 1119), Dar- al- Ma’arif

______________,jilid. Ke-1

______________,jilid.ke-2

______________,jilid ke-7

______________,jilid ke-6

Munawir, A.W., Kamus Al-Munawwir, Arab-Indonesia terlengkap, ( Yogyakarta : PT.


Pustaka Progresif, 1984)

______________,(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997)

Muhammad Daud, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002)

Najjar, Abdul Majid al, Maqashid al-Syari’ah bi ‘Ib’adi Jadidah, (Beirut : Dar al- Gharb al-
Islami, 2006), cet. Ke-1
Nasution, Harun, Teolgi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta : UI
Pres, 2008), cet. Ke-5

Qahthani, Musfir bin Ali bin Muhammad al, Manhaj Istinbath Ahkam al-Nawazil al-Fiqhiah
al-Mu’ashirah, Dirasah Ta’shiliah Tathbiqiah, (Mekkah: Dar al-Andalus al-
Hadhara’, 2003)

Qardhawi, Yusuf al, Madkhal Lidirasati al-Syari’ati al-Islamiyyah. ( Qahirah : Maktabah


Wahbah, 1990) cet. ke-4

______________, Fiqih Maqashid Syari’ah, terj.Arif Munandar, (Jakarta: Pustaka Al-


Kautsar, 2006)

______________, Fiqh al-Jihad, terj. ( Jakarta : PT. Mizan Pustaka, 2010), cet. Ke-1,

______________,Halal wa-al- haram ( Dar al-Fikr, 1989)

______________,al-Qardhawi, Yusuf, Madkhal li-Dirasat al-Syariah al-Islamiyyah, (


Qahirah : Pustaka Wahbah, 2001), cet- ke-4,

Qaththan, Manna’ Khalil, Muawwiqat Tathbiq al-Syari’at al-Islamiyah, (Kairo: Maktabah


Wahbah, 1991)

______________,al-Qattan, Mana’ Khalil, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami al-TasyrI’ wa- al-Fiqh,


(Riyadh : Maktabah al-Ma’arif : 1997), cet. Ke- 2

Qazwaini, Muhammad Ibn Yazid Abu Abdillah, Sunan Ibnu Majah ( Beirut : Dar al-Fikr, tt),
juz ke-1,
al-Qurthubi, Ibnu Bithal al-Bakr, Syarah Shahih al-Bukhari, ( Riyadh : Maktabah
al-Rusydi : 2003), juz. cet. Ke-2

Qurtubi, Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari, al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, ( Dar-
al-Ilmiyyah, Bairut, Libanon : 1993) jilid 15-16

______________,al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, (Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, t.th.), jilid.


Ke-10

Razy. al, Al-Mahshul min Ilmi Ushul al-Fiqh, Juz 6, (Beirut: Muassisah al-Risalah, tth)

Salam, Izzu al-Din Abd al, Maqashid al-Ibadah, (Hamas: Penerbit Yamamah, 1995).

Salami, Muhammad bin Isa al-Turmudzi, Jami’u al-Shahih al-Turmudzi ( Beirut : Ihya al-
Turats, tt), juz. Ke-5
Sa’id, Muhammad Ramadhan al-Buthi, Dawabith al-Maslahah fi al-Syari’at al-Islamiyyah,
Mesir : Muassah al-Risalah, tt,

Shabuni, Muhammad Ali al, Rawai’ul Bayan fi Tafsiri Ayat al-Qur’an, (Beirut : Maktabah al-
Ghazali, tt)

Shan’ani, Abu Bakar Abd al-Razzaq Ibnu Hammam al, Mushannif abd al-Razzaq, (Beirut :
al-Maktab al-Islami, 1403 H), juz. Ke-1
Sayis, Syekh Muhammad Ali, Sejarah Pembentukan Dan Perkembangan Hukum Islam (
Jakarta : Akademika Presindo : 1996), cet. I,

Syaibani, al Ahmad bin Hanbal Abu Abdillah, Fadhail al-Sahabah, ( Beirut : Muassisah al-
Risalah, 1983), cet. Ke-1, juz. Ke-1

Syatibi, al-Muwafaqat fi- Ushul al- Syari’ah, ( Maktabah Tajariyah, Mesir :tt) juz. ke- I,

_____________,al-Muwafaqat fi Usul-al ahkam, ( Dar- al Haditsah , tt), juz. ke-1

Subono, Nur Iman, Konflik Bersenjata, kekerasan militer dan Perempuan, dalam Yaasan
jurnal perempuan, Perempuandi Wilayah Konflik, SMKG Desa Putera, 2002

Syalabi, Muhammad Mushthafa, Madkhal fi al-Fiqh al-Islami, Ta’rifuhu wa Tarikhuhu wa


Mazahabuhu Nazhriyat al-Malikiyah wa al-‘Aqad, (Beirut: Al-Dar al-Jami’iyah,
1985)

Syaltut, Mahmud, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, Cet ke-3, (Darul Kalam, 1996)

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh (lLogos Wacana Ilmu : Jakarta, 1999), cet. Ke-1

_____________,Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009)

Syathibi. Muwafaqat, Jilid 2, (Saudi Arabiah: Dar Ibn Affan, 1997)

Syihab, M. Qurays, Tafsir al-Misbah, Pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an, (Tangerang
: PT. Lentera Hati, 2007), cet. Ke-8

Suyuthi, Jalaluddin al, al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir -bi- al-Ma’tsur, (Qahirah : Markaz
Hajar li-al-Buhuts wa-al-irasah al-‘Arabiyyah wa-al-Islamiyyah, 2003), cet. Ke-1

Taimiyah, Ibn, Al-Siyâsat al-Syar’iyyah fî Ishlâhi al-Râ’i wa al- Ra’iyyah,cet. IV, Mesir: Dâr
al-Kutub

________________, Fiqh Jihad, hlm. ( Beirut : Dar-al-Fikr al-‘Arabi : 1992), hlm. 90


Thabari, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an (Qahirah :
Maktabah Ibnu Taymmiyyah, tt), jilid ke-8

Thabari, Muhammad bin Jarir, Tarikh al-Thabari, ( Mesir : Dar- al-Ma’arif, tt), Juz. Ke-4

Usman, Muchlis, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,


2002),

Wahbah, Taufiq Ali, Al-Jihâd fî al-Islâm (Riyadz:Dâr al-Liwa, 1981)

_______________, Wahbah, al-Tafsir al-Wajiz ( Damsyik : Dar-al-fikr, tt)

Washil, Nashr Farid Muhammad, Al-Madkhal al-Wasith li Dirasat Syari’at al-Islamiyat wa


Fiqh wa al-Tasyri’, (Mesir: al-Maktabah al-Taufiqiyah, 1996)

Wright, Quincy, A Study of War, ( The University Chicago Press, 1951), dikutip dari
Hukum Humaniter Suatu Perspektif, ed. Fadillah Agus, ( Puat Studi Hukum
Humaniter, Fakultas Hukum Universitas Tri Sakti, Jakarta : 1997)

Yahya, Imam, Bagaimana Bentuk Perang Yang Terjadi Selama Masa al-Khulafa al-
Rasyidun, Baik Dilihat Dari Normatif Ayat-Ayat Al-Qur’an dan Hadits Maupun
Konteks Sejarah Perang (Jakarta : Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, 2006).

Yahya, Mukhtar Fatchurrahman, Dasar-Dasa Pembinaan Hukum Islami, ( Bandung, PT.


al-Ma’arif : 1986), cet. Ke- 1

Yatim, Badri Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo: 2004), cet. Ke-16

Yubi, Muhammad Sa’ad bin Sa’ad bin Mas’ud al, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah wa-
‘Alaqatiha bil-Adillati al-Syar’iyyati, (Dar a-Hijrah Li-al-Nasyri wa-al-Tauzi’ : al-
Mamlakah al-‘Aabiyah al-Su’udiyah : tt)

Zaid, Nashir Abu Abu, Naqd al-Khitab al-Diny, (Kairo : Sina li Nashr, 1992)

Zaidan, Abd al-Karim, Al-Madkhal li Dirasat al-Syari’at al-Islamiyah, (Iskandaria; Dar Umar
bin Khaththab, 2001)

_______________, Al-Madkhal Li-Dirasah al-Syari’ah al-Islamiyyah, ( Baghdad : Dar al-


Fikr: 1969), cet-ke-4

Zabidi, Imam al, Mukhtasar Shahih al-Bukahri (Jakarta : Pustaka Amani, 2002), cet. Ke-2,

Zaidan, Abdul Karim, al-Madkhal li-Dirasahal-Syari’ati al-Islamiyyah, (Baghdad : Dar al-


Khitab, 1969), cet. Ke-4
Zarqani, Muhammad Abdul ‘Adhim al, Manahilu al-‘Irfan fi Ulumi al-Qur’an, ( Qahirah : Dar
al- Hadits : 2001)

Zuhaili, Wahbah , al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu, (Damsyiq : Dar al-Fikr, 1985) juz ke-6,
cet ke-2,

______________, Atsar al-Harb fi-al-Fiqh al-Isami, Dirasah Muqaranah, (Damsyik : Dar-al-


Fikr, 1998), cet. Ke-3,

Zulkayandri, Stratifikasi Hukum Islam Dalam Perspektif Konsep Ihsan ‘Izz al-Din Ibn Abd
al-Salam Dan Relevansinya Dengan Ijtihad Kontemporer, ( Disertasi, tidak
publikasikan, 2004)

You might also like