You are on page 1of 12

Ghassan Kanafani in:

“The Land of the Sad Orange”

Ghassan Kanafani dalam:


"Bumi Oranye yang Sendu"
Ghassan Kanafani was born in Akka Palestine in 1936 and died, as a result of an
Israeli bomb planted to his car on 8th July 1972.
Ghassan Kanafani lahir di Akka, Palestina, pada 1936 dan meninggal pada 8
Juli 1972 akibat bom yang dipasang Israel di mobilnya.
His Danish wife Annie, described the event saying: “…We used to go shopping
together every Saturday morning, on that day he accompanied his niece Lamees.
Istrinya yang berkebangsaan Denmark, Annie, menggambarkan kejadian itu
dengan mengatakan: "...Tiap Sabtu pagi kami keluar bersama untuk
berbelanja. Dan hari itu dia mengajak keponakannya Lamis.
A few minutes after they left, I heard the sound of a huge explosion.
Namun selang beberapa menit setelah suamiku berangkat, aku mendengar
suara ledakan dahsyat.
I ran but only saw remanence of our exploded small car.
Ku berlari dan hanya melihat sisa-sisa mobil mungil kami yang telah meledak.
Lamees was a few meters away from the spot, but I could not find Ghassan.
Tubuh Lamis berada beberapa meter saja dari titik ledakan, tapi Ghassan tak
bisa kutemukan.
I hoped to find him injured, but I only found his left leg.
Kuharap bisa menemukannya dalam keadaan cedera, tapi yang kutemukan
hanya kakinya.
I was devastated, and our son Fayez, started knocking his head against the wall.
Aku langsung pingsan dan dan anak kami Fayez mulai membentur-benturkan
kepalanya ke dinding.
Little layla was crying: Baba…Baba…I gathered his remains, the Beiruti escorted
him to his last resting place at the Shuhada Cemetery where he was buried next to
Lamees who loved him and died with him“1
Si kecil Layla juga menangis: Papa...papa.... Ku kumpulkan sisa-sisa tubuhnya
dan warga Beirut pun mengantarkannya ke peristirahatan terakhirnya di
Pemakaman Syuhada. Ia dimakamkan di samping Lamis, yang menyayanginya
dan meninggal bersamanya." 1

Kanafani is a prominent literary figure in the Arabic Literature and worldwide.


Kanafani adalah tokoh sastra terkemuka dalam sastra Arab dan juga dunia.
His works were translated to many different languages.
Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
During his short life he enriched the Arabic library by with valuable collection of
publications, varying from novel to short story to literary researches and political
essays.
Semasa hidupnya yang singkat, ia telah memperkaya khazanah perpustakaan
Arab dengan koleksi publikasi yang berharga, mulai dari novel sampai ke cerita
pendek, penelitian sastra hingga esai-esai politik.
“The Land of the Sad Orange” is one of his early stories that depicts the influence of
the deportation on the Palestinians when the Israeli troops took over their country in
1948.
"Bumi Oranye yang Sendu" adalah salah satu cerpen pertamanya yang
melukiskan penderitaan akibat diusirnya orang-orang Palestina sewaktu
serdadu Israel merebut negara mereka pada 1948.
In this story Kanafani mixes the artistic reality with the historical one.
Dalam cerita ini, Kanafani memadukan fakta artistik dengan fakta sejarah.
Though the story tells the suffering of a middle class family, it stands as an example of
thousands of displaced families who had to suffer the humiliation of leaving their
country and living in poverty, following the 1948 calamity that befell the Palestinians
after the defeat of the Arab armies and the creation of the state of Israel.
Meski bercerita tentang penderitaan sebuah keluarga kelas menengah, cerita ini
bisa menjadi salah satu dari ribuan contoh keluarga-keluarga yang diungsikan.
Mereka yang mengalami penghinaan karena harus meninggalkan negara
mereka dan hidup dalam kemiskinan, menyusul tragedi 1948 yang menimpa
orang-orang Palestina pasca kekalahan tentara Arab dan pembentukan negara
Israel. N. Habib
The Land of the Sad Orange
Bumi Oranye yang Sendu

When we left Java to Akka, I felt no agony, it was like going from a city to another for
a holiday.
Aku tak merasakan derita apapun saat kita pergi meninggalkan Java menuju
kota Akka. Bagai pergi berlibur dari satu kota ke kota lain saja.
For several days, nothing painful happened, I was happy because this move gave me
a nice break from school…things started to look different when Akka was attacked
(by the Israeli troops).
Untuk beberapa hari, tidak ada hal menyakitkan yang terjadi. Aku senang
karena kepergian ini memberiku waktu untuk istirahat dari sekolah. Namun
segalanya menjadi berubah begitu Akka diserang (oleh para serdadu Israel).
That night was hard on you and me.
Malam itu adalah malam yang berat buatmu dan juga buatku.
The women were praying, men were bitter and silent.
Kaum perempuan sedang mengerjakan shalat waktu itu, sedangkan kaum
bapak hanya terdiam dalam getir.
You and me and all the kids of our age didn’t understand what was going on…But
that night we started to gather the threads of the story.
Kau dan aku, dan semua anak-anak yang sebaya dengan kita tak mengerti apa
yang sedang terjadi. Tapi malam itu kita mulai merajut benang-benang kisah
ini.
When the Israeli soldiers left, after threatening and swearing, a big van stopped in
front of our home, and few things (mainly beds and blankets) were thrown from here
and there.
Ketika tentara Israel itu pergi, disertai ancaman dan sumpah-serapah, sebuah
truk berhenti di depan rumah kita, dan sejumlah barang (terutama kasur dan
selimut) pun dikumpulkan dari mana tempat.
I was standing with my back against the wall of the old house, when I saw your
mother rise up to the van, then your aunt, then all the other little ones.
Aku tengah terbaring menghadap sebuah dinding rumah tua sewaktu kulihat
ibumu naik ke truk itu, disusul bibimu, lalu anak-anak yang lain.
Your father picked you up and threw you over the furniture, in the same way, he lifted
me over his head and threw me in the iron box at the top of the van.
Ayahmu memanggulmu naik dan meletakkanmu di atas perabot. Lalu dengan
cara yang sama ia menaikkanku ke kepalanya dan mendudukkanku dalam
sebuah lemari besi, yang ada di atas truk itu.
There was your brother Riad sitting in silence.
Kakakmu Riad sedang duduk dalam diam.
Before having myself settled properly, the car started moving and Akka started to
fade little by little beyond the zigzag escalating road that led to a place called
“Ra’ss-Ennakoura 2
Belum betul posisi dudukku, mobil itu sudah bergerak dan Akka pelan-pelan
menjadi mengecil di belakang jalan menanjak yang berliku, menuju ke sebuah
tempat yang bernama Ra'ss an-Nakoura2
The weather was somehow cloudy, a touch of cold chilled my body, Riad was sitting
calmly placing his legs up, over the top of the box, holding his back to the furniture
and staring toward the sky.
Bagaimanapun juga cuaca saat itu sedang berawan, sebuah sentuhan dari hawa
dingin menerpa tubuhku; Riad sedang duduk dengan tenang sembari
menaikkan kedua kakinya ke atas, di atas kotak, bersandar ke perabot sambil
memandang langit
I was sitting silent, holding my knees by my arms and putting my chin between
mylegs…All along the way there were orange groves.
Aku duduk dalam diam, menekuk lutut dan melingkarkan lengan pada kaki
yang dilipat. Sepanjang jalan pohon jeruk bertumbuhan.
A sense of fear and anxiety were spreading over everyone …The car was mounting
with difficulty over the wet soil, and from a distance, we heard the sound of gun shots
as if greeting us farewell,
Rasa takut dan cemas menyelimuti semua orang. Mobil itu mendaki dengan
terengah-engah, melintasi jalan tanah yang berlumpur, dan dari jauh, kami
mendengar suara tembakan seperti menyambut kami,
When “Ra’ss-Ennkoura” appeared, the car stopped…the women came down from
among the belongings and went to a farmer who was squatting in front of a basket of
oranges …They carried the oranges, we heard them lamenting.
Truk itu baru berhenti ketika Ra'ss an-Nakoura berada di depan mata. Di
antara tumpukan barang bawaannya seorang perempuan turun lalu
menghampiri seorang petani. Petani itu sedang berjongkok di depan
sekeranjang jeruk. Para petani itu membawa jeruk, ratap mereka yang
terdengar oleh kita.
At that moment I realised that orange is something precious…and these lovely big
oranges are something dear to our hearts.
Saat itu aku sadar: jeruk adalah buah yang begitu bernilai. Jeruk-jeruk besar
yang ranum itu sangat menyejukkan hati kita.
The women bought the oranges and went back to the car and then your father left his
place which was to the side of the driver, and stretched his arm, took an orange,
stared on it silently, then burst out crying as a miserable small child.
Perempuan itu kemudian membeli jeruknya dan kembali ke truk, lalu ayahmu
memberikan tempatnya yang berada di samping sopir, mengulurkan tangannya,
mengambil sebuah, memandanginya tanpa bersuara, lalu tangisnya pecah
seperti tangisan anak kecil yang menyayat-nyayat.
In Ra’ss-Ennakoura, our car stopped among many other cars.
Di Ra'ss an-Nakoura, truk kita pun berhenti bersama truk-truk lain.
The men started to give up their gun machines to the police officers who were there
for that reason.
Para lelaki mulai menyerahkan senapan mesin mereka kepada petugas polisi
yang berada di sana untuk memungut senapan.
When our turn came, the table was full of hand guns and automatic machines, and I
saw the long line of the big cars enter Lebanon leaving faraway the land of orange…
I started weeping in a loud sharp way…your mother was still looking in silence to the
oranges…In your father’s eyes were the reflection of all the orange trees he had left
behind for the Israelis …all the clean orange trees he had planted one by one
glittered in his face.
Ketika tiba giliran kita, meja itu sudah penuh dengan pistol dan senapan
otomatis. Kulihat deretan panjang truk besar memasuki Lebanon, kian jauh
meninggalkan Bumi Jeruk. Aku pun meraung-raung. Ibumu memandangi buah-
buah jeruknya dalam hening. Di mata ayahmu, buah-buah itu adalah refleksi
dari pohon-pohon jeruk yang ditinggalkannya untuk orang-orang Israel. Semua
pohon jeruk yang ditanamnya satu persatu melintas di depan wajahnya.
He failed to stop the tears that filled up his eyes, when facing the police head officer.
Saat menghadap kepala polisi, ia gagal menghentikan air mata yang membanjiri
kelopaknya,
When we reached Saida3, in the afternoon, we became refugees.
Lalu saat sampai di Saida sore harinya kita pun menjadi pengungsi.
***
The road absorbed us among many other things.
Jalan itu lebih memikat kami dari banyak hal lain.
Your father suddenly became older than before, he looked as if he didn’t sleep for a
long time.
Ayahmu tiba-tiba menjadi lebih tua dari sebelumnya. Ia terlihat seperti baru
bangun dari tidur panjangnya.
He was standing among the belongings, which were thrown over the side of the road.
Dia berdiri di antara barang-barang miliknya, yang berserakan di pinggir jalan.
I knew if I were to say any word he will burst to my face saying: “Damn your
father…Damn you….These two swears were clear on his face.
Aku tahu jika aku di sana untuk mengatakan sesuatu padanya, dia pasti akan
menghardik saya langsung di depannya: "Sialan. Sialan kamu.” Makian itu
terlihat jelas dari mukanya...
Even me, who was brought up in a catholic conservative school, at that moment,
doubted that this God wants to make his people happy. Meski dibesarkan di
lingkungan sekolah Katolik yang konservatif, saat itu aku tetap menyangsikan
Tuhan ingin agar umat-Nya bahagia.
I doubted that this God can hear and see everything …All the coloured pictures that
show God loves the children and smile for them looked like a lie among other lies
made by those people who build conservative schools for the benefit of charging
extra fees.
Aku ragu Tuhan itu bisa mendengar dan melihat segalanya... Semua lukisan
berwarna itu, yang memperlihatkan Tuhan mengasihi anak-anak dan tersenyum
pada mereka, terlihat seperti sebuah kebohongan di antara kebohongan-
kebohongan lain – yang diciptakan oleh orang-orang yang membangun sekolah-
sekolah konservatif supaya dapat memungut biaya ekstra.
I was sure that the God, we knew in Palestine, left Her as well and He is a refugee
somewhere in this world, and that He is incapable of solving his own problems, and
we, the refugees, who are sitting on the footpath of the road, are waiting a new
destiny to find us a solution.
Aku yakin bahwa Tuhan, setidaknya di Palestina, juga telah meninggalkan-Nya
(perempuan), sedang Dia (laki-laki) juga pengungsi di suatu tempat di dunia ini,
dan bahwa Dia tidak bisa memecahkan masalahnya sendiri, padahal kita, para
pengungsi, yang duduk di pinggir trotoar, tengah menanti tujuan berikutnya
untuk menemukan solusi buat kita.
We were responsible to find ourselves a solution …we were responsible to find a roof
over our heads.
Kita bertanggung jawab menemukan sendiri solusi buat kita. Kita bertanggung
jawab menemukan sebuah atap untuk menaungi kepala-kepala kita.
The pain started to strike the head of the naive young boy.
Derita mulai menyesak-nyesak di kepala laki-laki muda yang polos itu.
Night was awful, and the dark started to fall, bit by bit, I was frightened…thinking
that I am going to spend the night on the pavement of the road, filled my spirit with
dreadful nightmares….no one was there to calm me down….I couldn’t find any
person to turn for…your father’s rigid silence raised more fear in my heart, and the
oranges with your mother’s hand ignited fire in my chest…everyone was silent
everyone was gazing to the black road hoping that some solution could rise from
around the corner and take us to a certain roof. Malam mencekam, dan gelap
mulai menyelimuti, perlahan-lahan. Aku menangis memikirkan bahwa malam
ini akan kuhabiskan di atas kerikil jalanan, membuat batinku dipenuhi mimpi
buruk yang menakutkan. Takkan ada orang yang menenangkanku. Takkan
kutemukan orang yang akan membawaku berbelok dari nasib ini. Ayahmu yang
diam kaku membuat hatiku semakin kecut. Tapi buah jeruk yang digenggam
ibumu menggelorakan api dalam dadaku. Semuanya diam. Semuanya menatap
jalanan hitam, berharap ada solusi yang muncul dari segala penjuru dan
membawa kita terbang ke rumah-rumah. Then the destiny came…It was your
uncle who came to the town few days earlier.
Takdir pun datang. Pamanmu yang datang ke kota ini beberapa hari lebih awal.
He was our destiny.
Dialah takdir kita.
Your uncle wasn’t a man of real values, and when he found himself on the road, he
became more savage.
Pamanmu bukanlah orang yang percaya pada nilai-nilai konkret, dan waktu
menemukan dirinya berada di jalanan dia menjadi lebih buas. He went to a
house where a Jewish family lived, opened the door, threw the content of the room
away and cried to their face: “Go to Palestine”. Dia mendatangi sebuah rumah
yang dihuni oleh sebuah keluarga Yahudi, membuka pintunya, membuang
segala isi rumah dan berteriak di depan mereka sambil terisak: "Pergilah ke
Palestina!"
For sure they didn’t go to Palestine, but, intimidated by his frustration and anger,
they went to another room leaving him to enjoy a roof and a floor.
Tentu saja mereka tidak akan pergi ke Palestina, tapi mereka merasa terancam
dengan sikap frustasi dan kemarahannya. Lalu menghindar ke ruangan lain
sambil meninggalkannya “bersenang-senang” dengan loteng dan lantai rumah
itu.
Your uncle led us to that room; we were heaped with his family and his belongings.
Pamanmu mengajak kita ke ruangan itu; berdesakan dengan keluarganya dan
barang-barang miliknya.
We slept on the floor and were covered by the men’s coats, In the morning, when we
woke up, the men were still sitting on the chairs…and the tragedy started to penetrate
through our bodies…all our bodies!!….
Kita tidur di lantai dan menyelimuti tubuh dengan jaket para laki-laki dewasa.
Pagi harinya, saat bangun, kaum bapak itu duduk di atas bangku. Lalu tragedi
pun mulai menyelinap ke dalam tubuh kita...ke seluruh tubuh !!
We didn’t stay in Saida for a long, your uncle’s room wasn’t wide enough even for
half of us.
Di Saida kita tidak tinggal untuk waktu yang lama – ruangan milik pamanmu
tidak cukup besar bahkan untuk sebagian saja dari kita.
However we stayed there for three days.
Tapi kita menginap selama tiga hari di sana.
Your mother asked your father either to find himself a job or to return to the oranges.
Ibumu juga meminta agar ayahmu mencari kerja atau kembali ke kebun jeruk.
Your father exploded in her face.
Ayahmu marah besar padanya.
His voice was trembling with rage.
Suaranya bergetar dan garang.
Then our family problems had started.
Masalah keluarga kita pun dimulai.
The happy, strong bounded family, stayed there with the groves of orange and the old
house, and the martyrs.
Keluarga bahagia, dengan batasan yang ketat, tetap tinggal di sana bersama
kebun-kebun jeruk mereka, rumah tua, dan para syuhada.
I didn’t know from where your father got the money.
Aku tidak tahu dari mana ayahmu akan mendapat uang.
I knew that he had sold your mother’s jewellery, which he had bought her once, to
make her happy and proud of him.
Setahuku ia telah menjual batu permata milik ibumu, yang pernah ia belikan
untuknya, agar ibumu bahagia dan ia bangga.
But the jewellery wasn’t enough to solve our problems, there should be other
resources.
Tapi permata itu tak cukup untuk mengatasi masalah kita. Harus ada sumber
lain.
Had your father borrowed any money?
Pernahkah ayahmu meminjam uang?
Had he sell any belongings that he brought with him without letting us know!
Pernahkah ayahmu menjual barang-barang miliknya tanpa memberitahu kita!
I can’t tell…But I still remember that we moved to a certain suburb of Saida, and
there, your father sat on the high rock and smiled for the first time…He was waiting
for the 15th of May to return with the victorious armies
Aku tak bisa jawab. Tapi seingatku kita pindah ke pinggiran Saida, dan di sana,
ayahmu duduk di atas bukit batu dan tersenyum untuk pertama kalinya. Dia
menunggu tanggal 15 Mei agar bisa pulang bersama tentara yang menang.
The 15th of May came after a hard bitter period of time.
Tanggal 15 Mei itu datang setelah masa-masa yang cukup sulit.
Exactly, at twelve o’clock he nudged me with his foot while I was still sleeping, and
said in a voice thundering with great expectation: get up, go see the Arab armies4
entering Palestine.
Tepat pukul 12, dengan kakinya ia membangunkan aku yang sedang tertidur,
dan berkata dengan suara berat dan harapan yang luar biasa besar: bangun,
pergi lihat tentara Arab memasuki Palestina.
I woke up frenzied and we ran bare footed, all along the hills, in the mid of the night,
till we reached the street which was a full kilometre away from the village.
Aku terburu-buru bangun dan kita berlari dengan kaki telanjang, di sepanjang
bukit, di tengah malam itu, sampai di jalan yang jaraknya persis satu kilometer
dari desa.
All of us youngsters and elderly ran breathlessly like idiots.
Kita semua, muda-tua, berlari dengan nafas terengah-engah seperti orang tolol.
We saw the lights of the cars beaming from a distance, travelling towards “Ra’ss-
Ennakoura”.
Dari kejauhan kita lihat lampu-lampu mobil, mengelilingi Ra's an-Nakoura.
When we reached the main street, we felt the cold but your father’s crazy shouting
made us forget about everything …He started to run after the cars like a small boy…
He waved to them …he shouted in a broken voice… he went out of breath but kept
running after the cars like a small child…we ran beside him shouting like him and
the admirable soldiers were looking toward us from under their helmets with silence
and stiffness…We were all breathless, though your father kept running in spite of his
fifty years of age.
Saat sampai di jalan utama, kita kedinginan. Tapi suara gila ayahmu membuat
kita lupa akan segala-galanya. Dia berlari mengejar mobil-mobil itu seperti anak
kecil. Dia melambai-lambaikan tangannya pada mereka. Berteriak dengan suara
parau. Nafasnya sudah terengah-engah, tapi tetap saja mengejar mobil-mobil itu
seperti anak kecil. Kita mengikutinya sambil berlari, ikut berteriak hingga para
serdadu mulia yang waktu itu menatap kita di balik topi baja mereka dalam
hening dan kaku. Kita semua hampir tak bisa bernafas, tapi dalam usianya yang
sudah lima puluhan ayahmu tetap saja berlari.
He was throwing cigarettes to the soldiers.
Dia melempari para tentara itu dengan rokok.
He kept running and we kept following like a small herd of goats.
Dia terus berlari dan kita terus mengikutinya seperti sekawanan kecil domba.
The procession of the cars vanished suddenly and we returned home tired and
breathless.
Iring-iringan kendaraan tiba-tiba sirna dan kita kembali ke rumah dengan lelah
dan nafas sesak.
Your father went silent and speechless.
Mendadak ayahmu diam dan tak mau bicara.
When a passing car flashed its lights to his face, tears were spread all over his
cheeks
Ketika kilatan sebuah mobil menerpa mukanya, air matanya membasahi sampai
ke leher.
After that day, life passed slowly…We were deceived by announcements…we were
stunned by the bitter truth…Grimness started to invade the faces, your father found it
difficult to talk about Palestine or the happy days in his orange groves, or his
houses… We were the walls of his tragedy and we were the vicious who discover
easily the meaning beyond his shouting in the early morning: “go to the hill and
never come back before noon…” We knew that he wanted to distract us from asking
for breakfast.
Setelah hari itu, kehidupan mengalir pelan. Kita terperdaya oleh berita. Kita
terpukau oleh kenyataan pahit. Wajah-wajah pun bermuram-durja, ayahmu
merasa sangat sulit bicara tentang Palestina atau hari-hari bahagianya di kebun
jeruk, atau tentang rumahnya. Kita adalah dinding tragedinya dan kita adalah
orang-orang kejam yang menemukan dengan mudah makna di balik
teriakannya di pagi hari: "Pergilah ke tempat tinggi dan jangan pernah kembali
sebelum siang..." Kita tahu dia ingin mengalihkan perhatian kita dari minta
sarapan.
Things began to deteriorate.
Segalanya mulai memburuk.
Any simple issue was enough to ignite your father’s anger.
Persoalan sepele cukup untuk menyulut kemarahan ayahmu.
I remember when one of us asked him something and he jumped as if stricken by an
electrical circuit, then moved his eyes among us.
Aku ingat ketika salah satu dari kita bertanya padanya tentang sesuatu, dia
melompat seperti tersengat aliran listrik, lalu mengarahkan pandangannya pada
kita.
A damn idea stroked his mind.
Sebuah ide gila mampir di kepalanya.
He stood as if finding a solution to his dilemma.
Dia berdiri seolah-olah menemukan sebuah solusi untuk dilema yang sedang
dihadapinya.
Out of feeling that he is strong enough to end his tragedy, out of feeling the horror
one feels before involving in a disastrous action, he started talking nonsense, he
started turning around himself as if looking for something we couldn’t see.
Tanpa merasa cukup kuat untuk menuntaskan tragedinya, tanpa merasa takut
seseorang sebelumnya terlibat dalam sebuah aksi yang membahayakan, dia
mulai bicara ngawur, dia mulai meracau sendiri, seakan-akan melihat sesuatu
yang tidak bisa kita lihat.
Then he jumped to a box which we brought with us from Akka.
Dia lalu melompat ke sebuah kotak yang kita bawa dari Akka.
He started spreading its contents in a hysterical, frightening way.
Dia pun mengeluarkan isinya dengan histeris dan menakutkan.
In a moment, as if your mother, lead by motherly intuition, grasped what was going in
his mind, she started to push us away from the house and asked us to run to the hill.
Tidak lama kemudian, seperti ibumu, didorong oleh naluri keibuannya,
menangkap apa yang ada di benak suaminya, dia mulai mendorong kita
menjauh dari rumah itu dan meminta kita untuk lari ke bukit.
Against her will, we stuck to the window, and stuck our little ears to its wood.
Tapi berlawanan dengan keinginan ibu, kita menempelkan badan ke jendela,
dan menempelkan telinga mungil kita ke kayunya.
Frightened, we heard you father saying: I will kill them and kill myself…I want to
finish it …I want to….I want…
Tiba-tiba, kita mendengar ayahmu berteriak: saya akan membunuh mereka lalu
bunuh diri...aku mau tuntaskan semuanya. Aku mau…aku mau...
We started peeping through the cracks of the door, we saw your father thrown on the
ground breathing hardly, and gnawing his teeth.
Kita pun mengintip melalui celah-celah pintu, dan melihat ayahmu tersungkur
di lantai dengan nafas terengah-engah, sambil menggemeretakkan giginya.
Your mother was watching him from a distance.
Ibumu hanya bisa memandanginya dari jauh.
Her face was full of horror.
Wajahnya penuh ketakutan.
At First I didn’t understand what was going on.
Pada awalnya aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
I remember that when I saw a black pistol laying to his side, I found myself running
as fast as I could as if escaping a Phantom which appeared all of a sudden.
Aku ingat saat melihat sepucuk pistol hitam terselip di sampingnya, kutemukan
diriku berlari sekencang-kencangnya seolah-olah akan menyelamatkan seorang
hantu yang muncul tiba-tiba.
I ran away towards the hill escaping the house….The more I found myself away from
home the more I felt myself away from my childhood.
Aku berlari ke bukit menyelamatkan rumah itu. Kian jauh rasanya aku dari
rumah, kian jauh pula rasanya kutinggalkan masa kecilku.
I started to realise that our life is no more the same: things aren’t simple as they used
to be and life itself isn’t some thing you eagerly look forward to.
Aku mulai menyadari hidup kita kurang lebih sama: segala hal tidak
sesesederhana yang seharusnya dan hidup itu sendiri bukanlah sesuatu yang
kita tunggu dengan perasaan tak sabar.
The situation had reached the edge of having a shot to the head as the only thing a
father could offer his children.
Situasinya sudah sampai pada titik di mana menembakkan senjata ke kepala
merupakan sesuatu yang bisa ditawarkan seorang ayah pada anak-anaknya.
So from now and on, we have to watch our steps, behave ourselves, keep silent when
father speaks about his problems, we should not ask for food no matter how hungry
we went, we should show obedience by shaking our heads and smiling when father
shout: “Go to hills and don’t come back till noon.
Jadi mulai sekarang, kita harus memperhatikan langkah kaki kita, sikap kita,
tetap diam saat ayah bicara tentang masalah yang dialaminya, kita tidak boleh
minta makanan selapar apapun kita, kita harus menunjukkan kepatuhan
dengan menundukkan kepala dan tetap tersenyum saat ayah berteriak: "Pergi
ke bukit dan jangan kembali sampai siang.”
In the evening when darkness had spread over the house your father was still there
shaking with fever.
Malam harinya, saat gelap mulai menyelimuti rumah kita, ayahmu masih di
sana menggigil karena demam.
Your mother was to his side.
Ditemani ibumu.
Our eyes were glistening like cat’s eyes in the dark.
Mata kita berkilauan seperti mata kucing dalam kegelapan.
Our lips were sealed as if they were never opened, as if they were the remnants of old
injury,
Bibir kita terkunci seolah-olah tidak pernah terbuka, seolah-olah pernah
mengalami cedera lama.
We were heaped up there, withdrawn from our childhood, away from the land of
orange…the orange that dies, as an old farmer told us, if a strange hand watered its
trees.
Kita berhimpitan di sana, ditarik dari masa kecil kita, jauh dari Bumi
Jeruk...jeruk yang mati, seperti yang dikatakan seorang petani tua pada kita,
seandainya ada tangan asing menyirami pohonnya.

Your father was still sick, thrown down on his bed, your mother was gnawing tragic
tears that never left her eyes since that day.
Ayahmu masih sakit, tergolek di atas ranjangnya, ibumu mencucurkan air mata
tragisnya yang sejak hari itu tak pernah pergi dari kedua matanya.

I sneaked into the room as an outcast…when I saw your father’s face quivering with
broken rage…I had seen, in the same time that black pistol on the low table…near to
it was the orange fruit… The orange was wrinkled and dry
Aku menyelinap masuk ke ruangan seperti orang buangan, saat kulihat wajah
ayahmu gemetar karena bukan main marahnya. Pada saat yang sama, aku
melihat pistol hitam itu tergeletak di atas meja yang rendah. Di dekatnya sebutir
jeruk. Buah jeruk itu telah keriput dan kering.
1 More information could be found about the subject in Joussour, February 1999, p: 48-54)
2 A Lebanese check point situates on the boarders between Lebanon and palestine
3 A main city in South Lebanon
4 Groups of Arab armies, from the surrounding countries, entered Palestine, that day, to defend
its people against the Israeli Hagana Militias. Against all expectations, they were defeated and
the Israeli state was announced

1. Informasi lebih lanjut tentang masalah ini dapat ditemukan dalam Joussour, Februari 1999, h:
48-54)
2. Titik periksa Lebanon menggambarkan situasi di perbatasan antara Lebanon dan Palestina
3. Sebuah kota utama di Lebanon selatan
4. Beberapa kompi tentara Arab, dari beberapa negara tetangga, pernah masuk ke Palestina pada
hari itu, untuk membela penduduknya dalam menghadapi milisi Hagana dari Israel. Namun di
luar semua dugaan, tentara itu kalah dan negara Israel pun berdiri.
Translation, comments and notes: Nejmeh Habib, Sydney Australia
Terjemahan, Komentar dan catatan oleh Nejmeh Habib, Sidney, Australia.

You might also like