i VDSS E ew
he Komunikasi Digital
one eet met ec)
Ce eee
leh
Ee eee ee en“Kind words are like honey ~
siveet fo the soul and healthy for the body”
= Proverb 16:24
AGatah suatu kehormatan boleh berdiri di mimbar ini untuk berbicara
tentang filsafat, sebuah bentuk pengetahuan yang sudah sangat tua usianya,
namun masih relatif muda sebagai subyek akademis di negeri kita.
Universitas Pelita Harapan merupakan salah satu perguruan tinggi yang
mengajarkan filsafat, bukan hanya untuk jurusan tertentu, Semua alumni,
entah itu dokter, insinyur, arsitek, guru, atau sarjana ekonomi, pernah
belajar filsafat lewat kurikulum liberal arts dan pasca sarjana. Kalau saat ini
membahas tugas filsafat untuk era komunikasi digital, saya mengajak
berpikir tentang manfaat fisafat untuk publik, Tugas itu tent tidak mudah
arena harus ditunaikan di tengah zaman yang mulai malas berpikir dan
lebih suka browsing dan googling ini.
Filsafat sudah berakhir, yaitu mati, Demikian kesalahpahaman yang
terjadi, setelah Heidegger dan Rorty menulis hal itu. Beberapa kematian
atau akhir lain juga sempat diberitakan, seperti “kematian pengarang”
(Roland Barthes), “kesudahan seni” (Arthur Danto) dan “akhir manusia”
(Michel Foucault). Sudah jauh sebelumnya nabi sekular Friedrich Nietzsche
mengumumkan “kematian Allah’, dan mungkin awalnya dari situ.
Kesalahpahaman terjadi Karena “akhir” atau “kematian” yang dimaksud
para filsuf kontemporer itu sebetulnya adalah cara-cara berfilsafat yang
kedaluwarsa. Banyak yang ingin melayat filsafat, tetapi tidak melihat mayat
dalam peti matinya. Penjelasannya sederhana. Selama manusia berpikir,
selama itu filsafat masih hidup dan bahkan dilahirkan kembali. Namun disini kite pun menghadapi masala yang lebih pelik daripady
vovana-wacana tentang Kematian fisafat. Apakah manusia masih berpikir
‘i ora Konnunikai digital? Apakah arti berpikir di zaman kita? Pertanyaan
jini tidak mudah dijawab, Tapi ketika menggariskan tugas fisaft, kita
sedang dipaksa untuk menemukan jawabannya.
Zaman kita disebut dengan berbagai_ nama, seperti: post-modern,
revolusi industri 4.0, dan di sini kita sebut era komunikasi digital. Transisi
ke era itu kita sebut revolusi digital. Apa yang menyamakan isi semua nama
itu adalah Iuapan informasi yang diakibatkan pemakaian teknologi
komunikasi digital. Di akhir abad ke-20 filsuf dan sosiolog Prancis Jean
Baudrillard telah bicara tentang ‘simulacra’, yaitu tentang kondisi kita saat
ini, ketika realitas telah diganti dengan simbol.’ Menurutnya pengalaman
kita ~ politis, ekonomis, psikologis, erotis - tidak lebih daripada simulasi
Kenyataan, Teks, video, gambar di internet membingkai atau: merekayasa
peristiwa seolah-olah terjadi. Kita berada di dalamnya. Saat ini, ketika
sebagian besar orang menundukkan kepala melihat layar ponselnya, analisis
Baudrillard tampak semakin terbukti. Isi Zoom, Whatsapp, Tik Tok dan
Twitter, terasa lebih real daripada orang yang duduk di depan kita. Kita
menjadi gagap menghadapi kelangsungan.
Efeknya untuk demokrasi cukup menggelisahkan. Dengan telepon cerdas
ideal-ideal demokrasi seolah dapat diraih, Inilah era ketika siapa saja bisa
bicara, seolah dapat mengakses kekuasaan, Dalam komunikasi digital tidak
ada hirarki yang membatasi. Setiap orang bisa menjadi produsen, sutradar®,
sekaligus ekspert bagi orang lain. Tetapi persis pada saat ini pula, ketika
akses langsung ada dalam genggaman, cita-cita demokrasi terancem uput
dari genggaman. Alih-alih mengupayakan saling pemahaman, kerap Kali
‘media-media sosial menjadi sarana menyebarkan hoaks, berita pals, dan
Oh Jean Ba
I Simulcra and Simulation, (University of Michigan Pres: Michi. 1995
2berbagai kecohan lain dalam bentuk teks, video, poster, chat, atau foto yang
mendistorsi kenyataan, Industri kebohongan telah sampai ke ruang privat
kita untuk mengkhianati akal sehat dan memancing kebencian timbal balik,
Apakah bisa disebut komunikasi,jika kita tidak saling mengerti? Apakah
bisa disebut demokrasi, jika kebohongan merusak komunikasi?
Filsafat telah mengemban tugasnya sejak kelahirannya di zaman Yunani
‘kuno, Tugasnya adalah mengajak berpikir. Berpikir adalah mempersoalkan,
Sejak awal filsafat hidup dengan bertanya, Dahulu ia mempersoalkan mitos,
Dalam buku ketujuh The Republic, Plato bercerita tentang para tawanan
dalam gua yang sejak kecil hanya melihat bayang-bayang pada dinding.
Mereka percaya bahwva bayang-bayang adalah realitas. Mitos dikritik sebagai
realitas semu seperti itu. Di zaman modern filsafat mempersoalkan ideologi
dan bahkan agama sebagai bentuk lain mitos. Saat itu fiksi masih relatif
mudah dibedakan dari realitas.
Dalam revolusi digital, ketika luapan informasi mengacaukan persepsi,
distingsi antara fiksi dan realitas mulai kabur dan agaknya tidak menarik
lagi untuk dipersoalkan, Para pengguna gawai tidak lagi peduli bahwa
mereka telah menjadi tawanan seperti dalam cerita Plato itu. Bukan dinding
goa, melainkan layar; bukan bayang-bayang, melainkan simulacra sedang,
‘menjebak mereka, Namun mereka tampaknya menikmati bayang-bayang
itu. Apakah filsafat masih dapat menunaikan tugas Klasiknya? Masih
perlukah tugas itu, jika berpikir dianggap sama saja dengan menikmati
suasana goa masing-masing?
* Luh platon, Der Stat (Felix Miner Vela Hamburg, 1993) fagmen 514516, . 269-271
3Filsafat dan Komunikasi Digital
Jawaban saya adalah: Filsafat harus fetap menjalankan tugas Klasiknya,
yaity-mengajak berpikir untuk menemukan Kebenaran, memaknaj
keindahan, dan menilai kebaikan. Tugas ini diperlukan justru di zaman
ita, ketika komunikasi digital menjadi mode of being kita yang baru,
Khususnya di Indonesia, sebuah negara dengan pengguna internet yang
mencapai sekitar 125 juta orang, tugas ini mendesak untuk dilakukan,
Sebelum mengurai tugas itu, saya akan mengulas dua hal. Pertama, apa itu
dunia digital, Kedua, apa kebaruan komunikasi digital.
Jika bicara tentang ‘dunia, yang kita maksudkan adalah segala sesuatu
yang ada’ Namun sebagai persoalan komunikasi, ‘dunia’ adalah segala
sesuatu yang relevan bagi kita untuk kita bicarakan, Istilah dunia digital
‘mengacu pada pengertian terakhir ini. Aliran silih berganti pesan-pesan,
gambar-gambar, video-video - atau singkatnya komunikasi-komunikasi ~
membentuk satu Kesatuan yang kita sebut dunia digital, Dunia seperti ini
berciri linguistik. Jika kita menyalakan ponsel dan mulai terlibat dalam
komunikasi, kita menjadi aktor dalam dunia digital itu. Dunia itu
membedakan diri dari sesuatu di luarnya yang juga relevan bagi kita dalam
Komunikasi, yakni: dunia korporeal atau dunia fisik, Gabungan antara
dunia digital dan dunia korporeal dapat kita sebut ‘kompleksitas baru
Dalam kondisi ideal dunia digital dan dunia korporeal menjaga
batas-batasnya dan saling menafsirkan satu sama lain, Kita tahu bahwa is
dunia digital bukan seluruh kenyataan, melainkan ‘realitas sejauh
dibicarakan: Akal sehat mempertahankan distingsi itu. Namun distingsi
antara realitas dan ‘realitas sejauh dibicarakan’ itu menjadi sulit dijags,
ketika _Iuapan___informasi___ mengkooy esadaran__ dan
Mk, Marin Heidegger,
"Martin Heidegger, Sein und el (Max Niemeyer Verlag: Tubingen, 2001), paragral 4 h-€3
4mengacaukan persepsi pengguna gawai, Di dalam situasi ini dunia digital
mengganti dunia korporeal, Alih-alih kepada realitas, orang menjadi lebih
cepada ‘realitas sejauh dibicarakan} yaki
ya akhir, Bukankah jika ponsel mati atau pulsa habis,
npat kepada 4
simutacra, Namun tiap
tas sejauh
valitas
dibicarakan’ itu berhenti? Jeda hening itu: memberi
di luar pembicaraan’ untuk menampakkan diri, Komunikasi tidak dapat
menghabisiny yikannya di
balik kata-kata,
ransparansi digital malah telah menyembu
lsafat menghadapi Kompleksitas baru itu sebagai tantangan, Dahulu,
ket
korporeal itu, Descartes
kepada dirinya, subyek yang bertubuh, Kesadaran dibayan
i, res cogitans, Namun sekarang, dalam kompleksitas baru, filsafat
dunia hanya korporeal, renungan-renungan tertuju pada dunia
nukan kesadaran modern dengan mengacu
men
kan sebagai
subst
tidak lagi membayangkan si “aku” sebagai substansi Karena si “aku” dalam
komunikasi digital itu terdiri atas gumpalan rel
bali pesan-pesan yang dibacanya, Hal-hal, termasuk si “aku; dalam
Jasi yang memantulkan
komunikasi digital bukanlah mirror of nature (Rorty), melainkan ~ sebut
saja - mirror of communication, Di
gumpalan relasi-relasi atau “masyarakat dalam masyarakat” (Simmel).
bukanlah substansi, melainkan
Seperti bawang, tidak ada nucleus di dalamnya, hanya lapisan-lapisan
kontingensi yang berujung pada bukan apa-apa, Berapa banyak “aku*
kumi ‘aku” adalah mirror of communication? Adakah yang lebih
i" dalam komunikasi digital? Masih adakah subyek
iisterius daripada “di
moral?
“Lik Georg Simmel, Sorolge. Untersuchungen ber die For
Gezartaurgabe Band Tl, (Subskamp Taschenbuch Wissesch
» dk Kevon O'Donnell, Postmadernisme, (Penerbit Kansius:Yogyakarts, 209), 82
5Di samping gambaran manusia, secara praktis cara-cara pencarian
Kebenaran, keindahan, dan kebaikan juga berubah, Mereka tidak dicari
dengan refleksieiri di dalam benak, pada daya cerap, atau dalam lubuk hati
sendiri, melainkan dicari dengan klik ke dalam belantara informasi arahan
Google atau Youtube, Akal tidak lagi herois seperti di zaman Pencerahan,
Api yang dinyalakan Prometheus mulai redup. Akal harus bernegosiasi
dengan sentimen dan imajinasi yang berseliweran di ruang maya. Setelah
dua perang dunia di abad Jalu filsafat makin menyadari kontingensi akal
budi dan mulai bicara tentang “faktisitas” (Heidegger), “keberuntungan”
(Nussbaum), dan “anugerah” (Derrida). Akal membantu untuk mengenal
dunia, tetapi ia tak punya akses langsung ke dunia, karena akalpun adalah
interpretasi yang merangkul kekosongan? Kondisi ini makin benar dalam
komunikasi digital. Ii gawai kita tidak mengakhiri, malah menyingkap
makin banyak misteri kehidupan dengan tafsir tanpa ujung.
Kompleksitas baru itu tidak terpisahkan dari kebaruan komunikasi
digital. Ada tiga ciri kebaruannya? Penampilan online seseorang tidak perlu
mengandaikan adanya tubuh. Komunikasi menjadi bodyless. Anda berada
di sana sekaligus di sini, tetapi tubuh Anda entah di mana, Itulah fenomena
dekorporealisasi yang menjadi ciri pertama komunikasi digital. Dalam
telepresensi orang tidak merasakan langsung tindakannya, maka
sensibilitasnya jauh berkurang. Salah-rasa dan mati-rasa menjadi lazim.
‘Tubuh menjangkarkan kita dalam dunia, maka tanpanya kita kehilangan
rasa “berada-dalam-situasi” Tidakkah komitmen menjadi sulit di sini? Ciri
kedua adalah tercerabutnya tindakan dari teritorium tertentu.
ketik yang kita Iakukan pada layar menghapus perbedaan lokal dan global
karena setiap tindakan memiliki potensi global. Kita mengawasi sekaligus
diawasi, Tiap orang potensial menjadi paparazzi bagi yang lain.
ee PO eee menial Paparazel sbagl yang we
Toa ane
7 Uh. F Budi Hardiman, Aku Klik maka Aku Ada. Mania, dalam. Digital uate
Yogyakarta, 2021), h. 221-223 een Rete Die CEE
6Fenomena ini kita sebut deteritoralisasi. Apa lalu arti tempat, jika pesan kita
bisa ada di mana-mana tapi tidak di manapun? Akhirnya, tindakan, seperti
Wik atau ketik, bisa mendahului keputusan kesadaran akibat
ketidakberpikiran para pengguna, padahal efek tindakan itu bisa sangat
membahayakan, Satu klik bisa saja menimbulkan kerusuhan, seperti terjadi
di India dan Amerika belum lama ini, Kita menyebut kegiatan yang lolos
dari cek kesadaran akibat rutin ini banalisasi
Ketiga ciri kebaruan itu ikut mengaburkan kriteria epistemologis, esteti,
dan etis zaman kita, Celakanya banyak orang menyalahpahami kekaburan
itu sebagai dekonstruksi, lalu bersikap defaitistis terhadap kompleksitas.
Dekonstruksi bukan destruksi, melainkan suspensi makna untuk memberi
ruang bagi hal-hal baru, maka perlu dilanjutkan dengan rekonstruksi. Jika
tidak, kita melakukan Pembiaran. Anda membongkar rumah tua, tetapi
bukan untuk membiarkan reruntuhan itu melainkan untuk membangun
yang baru. Sebagaimana kita selalu butuh rumah untuk bermukim, kita juga
selalu membutuhkan kriteria kebenaran, keindahan, dan kebaikan untuk
berpikir dan berbuat. Apakah filsafat cukup puas hanya dengan
‘mempersoalkan kriteria-kriteria itu dan mendukung relativisme epistemis
dan moral? Jawaban saya sederhana: Filsafat tidak bertugas untuk
apalagi untuk menghasilkannya, melainkan untuk
ru untuk
membiarkan relativisme,
menguranginya. Ia harus membantu menetapkan Kriteria ba
rmengurangi absurditas. ika tidak, filsafat tak kurang daripada sofisme.
kau dala
ankfar aM 1996), b. 2021.
Derrida berkeberaan dengan kesalahpahaman itu dan mengiarifkas ms
Derrida, Geceeskraft Der mytnce Grund der Autor (Subrkamp: Fa
juga.
7‘Tugas Filsafat
‘Ada sekurangnya tiga tugas filsafat di era komunikasi digital. Tugas
pertama adalah menyingkap ambivalensi komunikasi digital. Filsafat perly
memproyeksikan kemungkinan-kemungkinan baru pemakaian teknologi
digital untuk meningkatkan kemanusiaan kita, seperti kreativitas,
kebebasan, dan moralitas. Namun ia juga harus mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kritis tentang sejauh mana teknologi digital dapat
mendegradasi kemanusiaan kita sampai ke taraf mesin, Dengan teknologi
ini kita bisa menjadi kosmopolitan, dan terbuka kemungkinan
terbentuknya kewargaan global, Namun ancamannya juga nyata, yakni:
‘thoughtlessness, Dewasa ini perluasan kapasitas kemanusiaan kita berjalan
i. berpikir
menjadi sekadar proses ‘teknis, seperti browsing dan googling.
Ketidakberpikiran bisa sangat berbahaya. Bukankah radikalisme religius
diuntungkan oleh mereka yang bereaksi robotik?’ Agaknya kita tidak hanya
dilatih menjadi kosmopolitan, tetapi juga sekaligus menjadi cyborg. Filsafat
hharus bersiasat untuk mengatasi dilemma itu.
seiring dengan kekuasaan besar robotisasi yang mendegrad:
Tugas Kedua adalah kritik ideologi dan refleksi rasional, Sebagai
pengetahuan kritis, filsafat bertugas mewaspadai hubungan-hubungan
kekuasaan teknokratis dan dogmatisme sains dan teknologi. Sejauh mana
digitalisasi telah menjelma menjadi pengawasan panoptis? Marginalisasi
baru mana yang ditimbulkannya di antara_kelas-kelas _sosial?
Pertanyaan-pertanyaan ini sangat wajar dilontarkan justru ketika banyak
orang mengandaikan begitu saja teknologi digital sebagai kebenaran.
Sebagai pengetahuan reflektif, filsafat bertugas untuk menyingkap
perubahan pemahaman antropologis, epistemologis, dan estetis yang
yatkan oleh interaksi antara-manusia dan dunia digital.
"Lah, FBud Hardiman, Aku Klik maka Ak Ada, 78
8Apakah kita masih manusia, ketika otak kita disambungkan secara langsung
atau tak Iangsung ke komputer? Apakah kebenaran, keindahan, dan
kebaikan, jika orisinalitas dan artifisialitas sulit dibedakan? Apakah
hhubungan digitalisasi dengan evolusi peradaban, kesadaran, penderitaan,
dan Tuhan? Untuk menjawab hal-hal itu, filsafat tidak bisa bekerja
iplin lain, termasuk
sendirian. Ia perlu bekerjasama dengan disiplin-
mitra seniornya, teologi, dan partner yuniornya, sains. Hal itu dilakukan
juga dengan Keinsyafan akan batas-batas bahasa sebagai representasi
realitas, Selalu ada ceruk antara bahasa dan realitas yang tidak dapat ditutup
secara tuntas oleh interpretasi, entah itu filosofis,teologis, ataupun ilmiah,
“Akhirnya, tugas ketiga adalah memberi tilikan etika komunikasi digital
Htika penting untuk membuat para pengguna media sosial mengalami
Komunikasi sebagai suatu dunia yang meneguhkan kebersamaan mereka
sebagai digital citizens. Saling menghina, mengancam, atau berbohong di
media-media sosial menghasilkan worldlessness, rasa Kehilangan dunia.
Meski selalu chatting, orang tetap merasa sendirian dan terisolasi dari yang
Btika harus menghasilkan kembali dunia milik bersama, mulai dari
sampai pada tuntutan hak-hak
ritikatas_praktik
sopan santun, kode etik, asas-asas tmoral,
komunikasi warga digital. Ia juga perlu_ memb
monopoli perusahaan-perusahaan penambang data. Digitalisasi harus
mendesak untuk perbaikan
diiringi promosi keadilan. Karena tugas ini
perilaku digital, etika komunikasi digital harus diberikan sejak dini di
sekolah dan universitas.Anugerah Komunikasi
Sebagai penutup saya telah menyiapkan sebuah catatan kecil. Bukan
hanya filsafat yang terbeban dengan ketiga tugas yang baru saja selesai saya
ulas. Kita semua terbeban untuk memperbaiki komunikasi digital sehingga
komunikasi digital makin dapat menjadi sarana_mencapai_saling
pengertian, Manusia tidak pernah bisa memastikan komunikasinya dengan
pencapaian rasionalnya, Karena selalu saja ada inkomunikabilitas dalam
komunikasi. Saling mengerti perlu disyukuri sebagai suatu pemberian,
anugerah komunikasi. Seperti direnungkan Derrida, ada paradoks dalam
memberi: Hidup ini terberi secara bebas, tetapi pemberian ini sekaligus
‘mengandung tugas.”” Dalam bahasa Jerman, hal itu terungkap dalam dua
kata: Gabe dan Aufgabe. Kata Gabe (pemberian) menyiratkan kata Aufgabe
(tugas).
Peristiwa saling mengerti meminta kita untuk mewujudkan kebaikan
bersama. Komunikasi digital bukan hanya fakta, melainkan juga
mengandung himbauan untuk menyebarkan kebenaran, menyingkap
keindahan, dan berbagi kebaikan, Kita mengupayakan komunikasi,tetap ia
juga adalah suatu peristiwa dengan hasil tidak terprediksi atau ~ seperti
disebut Hannah Arendt - suatu “reaksi berantai’.” Kita, mahlukemahluk
rentan, tidak memegang kendali atas seluruh peristiva komunikasi, Kita
hanya perlu mengasihi orang lain dengan tiap kata yang kita ketik di layat,
dan hal itu dibuat nyata dengan ‘inkamnasi’ ke dalam kehadiran korporeal.
Acta, non verba. Mungkin dengan itu orang menjadi lebih bijaksana di era
komunikasi digital.
ee eT a ee ee
a je Dts ine Goma amy elag pena
ee a ra ing
10