You are on page 1of 17

EPIGLOTITIS AKUT

Nurul Asfa Sarifuddin, Zakiah Mutiarin Risya, Nancy Sendra

I. PENDAHULUAN

Kanker menurut World Health Organization (WHO) adalah


pertumbuhan dan penyebaran sel yang tidak terkendali serta dapat
bermetastasis ke jaringan disekitarnya.1 Keganasan yang dalam istilah
medis disebut kanker merupakan salah satu kasus kematian utama di
dunia, termasuk di negara berkembang. Kanker juga merupakan hal yang
paling dicemaskan oleh masyarakat saat ini. Dalam lingkupan medis,
kanker menjadi kajian menarik karena masih banyak yang belum
terungkap tentang penyakit ini. Berbagai teori telah dimunculkan untuk
mekanisme terjadinya kanker, begitu juga dengan pengobatan serta
prognosis yang belum memuaskan. Berdasarkan data WHO, di dunia
terdapat 13% kematian disebabkan oleh kanker dan ada 100 jenis kanker
yang bisa menyerang tubuh manusia. Sekitar 70% kematian oleh kanker
berasal dari populasi negara dengan pendapatan rendah dan menengah. Di
Indonesia, prevalensi kanker adalah 4,3 per 1.000 penduduk dan
merupakan penyebab kematian nomor 7 (5.7%) setelah stroke, tubekulosis,
hipertensi, cedera, perinatal, dan diabetes mellitus. 2

Salah satu masalah kanker yang sulit dideteksi dini adalah


Karsinoma Nasofaring (KNF).2 karsinoma nasofaring adalah tumor ganas
daerah kepala dan leher yang terbanyak di temukan di Indonesia. 3 Hampir
60% tumor ganas kepala dan leher merupakan Karsinoma Nasofaring,
kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%),
laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil dan hipofaring dalam
presentase terendah.3 Berdasarkan data Laboratorium Patologi Anatomik
tumor ganas nasofaring sendiri selalu berada dalam 5 besar dari tumor
ganas tubuh manusia.3

1
Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit
dilakukan, karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit langit
dan terletak dibawah dasar tengkorak, oleh karena letak nasofaring yang
tidak mudah diperiksa, sering kali tumor ini ditemukan terlambat dan
menyebabkan metastasis di leher sebagai gejala pertama. 2,3
Sangat
mencolok perbedaan prognosis (angka bertahan hidup 5 tahun) dari
stadium awal hingga stadium lanjut, yaitu 76,9% untuk stadium 1, 56%
untuk stadium II, 38,4% untuk stadium III, dan hanya 16,4% untuk
stadium IV.3 Untuk dpaat berperan dalam pencegahan, deteksi dini dan
rehabilitasi perlu di ketahui seluruh aspeknya, antara lain epidemiologi,
etiologi, diagnostic, pemeriksaan serologi, histopatologi, terapi dan
pencegahan, serta perawatan paliatif pasien yang pengobatanya tidak
berhasil baik.2,3

II. ANATOMI DAN FISIOLOGI EPIGLOTIS

Epiglotis adalah salah satu kartilago yang membentuk kerangka

laring. Epiglotis merupakan sebuah fibrokartilago elastis yang berbentuk

seperti daun, dengan fungsi utama sebagai penghalang masuknya benda

yang ditelan ke aditus laring. Saat menelan, laring bergerak ke arah

anterosuperior. Hal ini membuat epiglotis mengenai pangkal lidah,

2
sehingga epiglotis terdorong ke arah posterior dan menempatkannya pada

aditus laring. Epiglotis memiliki dua tempat perlekatan di bagian anterior.

Secara superior, epiglotis melekat pada tulang hioid melalui ligamen

hioepiglotika. Secara inferior pada bagian stem, epiglotis melekat pada

permukaan dalam dari kartilago tiroid tepat di atas komisura anterior

melalui ligamen tiroepiglotika. Permukaan kartilago epiglotis memiliki

banyak lubang yang berisi kelenjar mukus.8

Gambar 1. Anatomi Laring8

Gambar 2. Anatomi Epiglotis14

Epiglotis dapat dibagi menjadi bagian suprahioid dan bagian

infrahioid. Bagian suprahioid bebas baik pada permukaan laringealnya

maupun permukaan lingualnya, dengan permukaan mukosa laring lebih

melekat dibandingkan dengan permukaan lingual. Akibat permukaan

mukosa laring melipat ke arah pangkal lidah, terbentuk tiga lipatan: dua

buah lipatan glosoepiglotika lateral dan sebuah lipatan glosoepiglotika

3
medial. Dua lekukan yang terbentuk dari ketiga lipatan tersebut disebut

dengan valekula (dalam bahasa Latin berarti “lekukan kecil”). Bagian

infrahioid hanya bebas pada permukaan laringealnya atau permukaan

posterior. Permukaan ini memiliki tonjolan kecil yang disebut tuberkel. Di

antara permukaan anterior dan membran tirohioid dan kartilago tiroid

terdapat celah pre-epiglotika yang berisi lapisan lemak. Yang melekat

secara lateral adalah membran kuadrangular yang memanjang ke aritenoid

dan kartilago kornikulata, membentuk lipatan ariepiglotika.8

Gambar 3. Perbedaan letak epiglotis pada (A) anak-anak dan (B) dewasa7

Seperti pada aspek lain dari saluran nafas pediatrik, epiglotis pada

anak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan pada orang dewasa.

Pada anak-anak, epiglotis terletak lebih ke anterior dan superior

dibandingkan pada orang dewasa, dan berada pada sudut terbesar dengan

trakea. Epiglotis pada anak juga lebih terkulai dan berbentuk “omega

shaped” dibandingkan dengan epiglotis yang lebih kaku dan berbentuk

“U-shaped” pada orang dewasa.7

4
III. DEFINISI

Epiglotitis akut merupakan inflamasi akut pada daerah supraglotis,

meliputi epiglotis, vallecula, arytenoid dan lipatan ariepiglotika.1-13 Mukosa

daerah sekitar epiglotis terdiri dari jaringan ikat longgar dan memiliki

banyak pembuluh darah, sehingga ketika terjadi inflamasi, iritasi atau

reaksi alergi dapat dengan mudah menyebabkan edema dan pembengkakan

pembuluh darah. Oleh sebab itu, istilah yang lebih tepat pada kondisi ini

yaitu “supraglotitis”.5,9

IV. ETIOLOGI

Epiglotitis akut biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri. Penyebab

tersering yaitu infeksi dari Haemophilus influenzae type B, terutama pada

anak-anak.1-8,10-16 Penyebab lain dari penyakit ini yaitu infeksi dari

Streptococcus pneumoniae Grup A, Staphylococcus aureus, Klebsiella

pneumoniae, Haemophilus parainfluenzae dan Streptococcus beta-

haemolyticus (grup A, B, C dan F), dihubungkan dengan epiglotitis yang

muncul setelah era vaksinasi. Kandida dan virus, termasuk herpes simplex

type 1, varicella-zoster and parainfluenza, dapat menyebabkan infeksi

pada pasien immunocompromised.2

Penyebab non-infeksi yang jarang dari epiglotitis akut dapat berupa

trauma langsung, termal (makanan atau minuman yang panas, penggunaan

obat-obatan terlarang), penyebab kaustik dan benda asing yang tertelan.5

V. EPIDEMIOLOGI

5
Sejak diperkenalkannya vaksin Haemophilus influenzae type B

(HiB), insidensi epiglotitis akut pada anak-anak memperlihatkan

penurunan, dengan estimasi kejadian sekitar 0,6–0,7 kasus per 10000

orang per tahun. Namun, insidensi epiglotitis akut pada dewasa meningkat

dengan laporan peningkatan dari 0,79 kasus per 10000 orang pada tahun

1986 menjadi 1,8 kasus per 10000 orang pada tahun 1990, 2,02 kasus per

10000 orang pada tahun 1998 dan 3,1 kasus per 10000 orang pada tahun

2000. Pada orang dewasa dilaporkan bahwa perjalanan penyakit ini lebih

lambat dibandingkan anak-anak, dengan penurunan probabilitas gangguan

jalan napas yang serius dan kebutuhan intervensi jalan napas. Meskipun

demikian, intervensi jalan napas dilaporkan mencapai 18-21%.11

VI. MANIFESTASI KLINIS

Onset dan gejala epiglotitis akut biasanya terjadi secara tiba-tiba

dan berkembang dengan cepat.1,6,10 Gambaran khusus dari supraglotitis

yaitu disfagia, saliva yang menetes dan distress pernapasan yang

perlangsungannya cepat dan progressif dalam hitungan jam. Gejala pada

anak yaitu, tampak toksik dan gelisah dengan demam yang tinggi. Anak

memperlihatkan respirasi yang dangkal, stridor saat inspirasi, retraksi

dinding dada dan saliva yang menetes. Nyeri tenggorokan dan disfagia

hebat, bicara terbatas akibat nyeri dan suara mungkin teredam. Stridor dan

retraksi merupakan gejala lanjutan dan sebelum terjadi obstruksi total pada

kejadian selanjutnya. Aktivitas pasien minimal dan pasien biasanya lebih

6
suka duduk condong kedepan (posisi tripod). Selain itu dapat dijumpai

nyeri menelan hebat. Laringospasme dapat muncul secara tiba-tiba dengan

adanya aspirasi sekret ke saluran nafas yang telah menyempit dan

menimbulkan respiratory arrest.1-3,5,7,10

Gejala tersering pada pasien dewasa yaitu nyeri menelan dan

disfagia.1-3,10 Pasien dengan keluhan nyeri menelan dan disfagia tanpa

adanya tanda inflamasi pada orofaring dapat meningkatkan kecurigaan

terhadap epiglotitis akut.2 Selain itu dapat pula ditemukan gejala demam,

suara teredam dan odinofagia.8,16 Progresifitas dan manifestasi gejala

epiglotitis akut pada pasien dewasa lebih lambat dari anak, hal ini

dikarenakan diameter traktus respiratori yang lebih lebar pada orang

dewasa.13

VII. DIAGNOSIS

Epiglotitis akut biasanya didiagnosis berdasarkan pada riwayat

penyakit dan gambaran klinis.7 Visualisasi laring, baik menggunakan

laringoskop yang kaku dibawah pengaruh anastesi umum setelah

mengamankan jalan napas pada pasien anak atau menggunakan

nasoendoskopik optik fiber pada pasien dewasa yang sadar. Secara khas,

terlihat epiglottis meradang dan edema, hal ini sering digambarkan seperti

“red cherry”. Supraglotis termasuk lipatan ariepiglotik, aritenoid dan

lipatan vestibular juga memperlihatkan tanda inflamasi dan edem.2,6

7
Menekan lidah dengan alat dapat memperlihatkan epoglotis yang

merah dan bengkak. Laringoskopi indirek dapat memperlihatkan edema

dan kongesti pada sturtur supraglotis. Pemeriksaan ini dihindari karena

dapat mempresipitasi obstruksi total. Pemeriksaan ini bisa dilakukan di

ruang operasi yang memiliki fasilitas untuk intubasi.1

Gambar 4. Supraglotis Normal3

A B

8
C

Gambar 5. Supraglotitis Akut: A)Visualisasi epiglotis menggunakan endoskopi

kaku memperlihatkan epiglotis mengalami inflamasi dan edema; B) Inflamasi

dan edema pada epiglottis; C) Inflamasi dan edema pada jaringan supraglotis12,15

Gambar 6. Gambaran radiografi lateral leher pada pasien dengan epiglotitis6

Pemeriksaan radiologi dikontraindikasikan karena hal ini dapat

menunda pengobatan, kadang tidak dapat mendiagnosis dan yang paling

penting pemeriksaan ini dapat memindahkan pasien dari tempat

resusitasi.14 Apabila diagnosis masih meragukan dan kondisi pasien

memungkinkan, pemeriksaan radiografi leher dengan posisi lateral dapat

9
membantu mengkonfirmasi diagnosis dan menyingkirkan penyebab lain.

Gambaran radiologi dari epiglotitis akut dapat memperlihatkan

“thumb/thumprint sign” (pembengkakan epiglotis) dengan penebalan dan

pembengkakan lipatan ariepiglotik. Jika radiografi memang dibutuhkan,

pemeriksaan harus didampingi dengan personil yang dapat mengintubasi

pasien secara cepat ketika obstruksi saluran nafas memberat atau telah

tertutup seluruhnya.1,2,5-8,10,16 Pemeriksaan Kultur epiglotis dan kultur darah

dapat dilakukan setelah jalan napas diamankan.8

VIII. DIAGNOSA BANDING

Pada pasien anak, epiglotitis akut sulit dibedakan dengan

laringotracheobronkhitis akut (croup). Saliva menetes sering didapatkan

pada epiglotitis akut, sedangkan batuk merupakan gejala pada croup.

Kondisi-kondisi lain yang menyerupai epiglotitis termasuk abses

retrofaringeal, aspirasi benda asing, tertelan zat korosif, angioedema, abses

parafaringeal, tonsilitis, faringitis dan kanker laring pada pasien dewasa.2

Perbedaan laringotracheobronkhitis akut (croup) dan epiglotitis

akut dapat dilihat pada table 1.

Tabel 1. Perbedaan Laringotracheobronkhitis Akut (croup) dan Epiglotitis Akut8

Ciri Croup Epiglotitis Akut


Usia < 3 tahun >3 tahun
Onset Bertahap Cepat
Batuk Menggonggong Tidak
Postur Supine Duduk
Saliva menetes Tidak Ya

10
Ragiografi Steemple Sign Thumb Sign
Etiologi Virus Bakteri
Pengobatan Supportive Manajemen jalan
napas dan antibiotic

11
IX. PENATALAKSANAAN

Penanganan yang cepat pada epiglotitis akut anak berbeda dengan

pasien dewasa. Pasien anak dengan gejala epiglotitis akut harus dirawat

dimana fasilitas dan ahli tersedia untuk menangani kegawatan jalan napas

pada anak. Otolaringologist, pediatrician, anesthetist dan dokter bagian

intensive care dan pada saat yang bersamaan kamar operasi harus

disiapkan untuk menangani ancaman obstruksi jalan napas atas. Anak yang

ditemani orangtuanya harus diperiksa dan ditangani di tempat yang sudah

dipersiapkan memiliki peralatan dalam kegawatan jalan napas. Nebulisasi

adrenalin 1:1000 0,5 ml/kgbb dapat digunakan untuk meringankan

sementara gejala airway sambil menunggu pasien dibawa ke kamar operasi

untuk mengamankan jalan napas.2

Dokter tidak boleh membuat pasien gelisah dengan tindakan

memisahkannya dengan orangtuanya atau melakukan pemeriksaan klinis

atau prosedur invasif, seperti pengambilan darah intravena. Mecoba

melakukan pemeriksaan pada mulut anak dengan alat dapat menyebabkan

distress pada anak dan merangsang gag refleks, yang dapat memperparah

obstruksi jalan napas. Bronkoscope dan laringoskop kaku serta

tracheostomy harus dipersiapkan diawal. Penggunaan obat sedatif, opioid

dan anestesi topikal harus dihindari karena dapat mempresipitasi obstruksi

total jalan napas.2 Intubasi atau tracheosomy mungkin diperlukan pada

obstruksi jalan napas.1

12
Antibiotik intravena dapat dimulai sesegera mungkin tanpa

menunggu hasil swab tenggorok dan kultur darah. Pemilihan antibiotik

yang efektif melawan Haemophilus influenzae type B dan Streptoccocus

group A dan secara klasik terdapat pada sefalosporin generasi kedua- atau

ketiga (cefuroxime, cefotaxime, ceftriaxone) dengan pemberian secara

parenteral (intravena atau intramuskular). Sefalosporin generasi ketiga

merupakan pilihan utama. Ampicillin/sulbactam dan trimetroprim/

sulfamethoxazole merupakan alternative pengobatan. Chloramphenicol

sangat efektif tetapi tidak diberikan karena ketersediaan pengobatan lain

yang kurang toksik. 1,2,8,10

Pemberian steroid seperti hidrocortison atau dexamethasone secara

iv atau im dapat meringankan gejala edema dan dapat menghindarkan dari

tindakan tracheostomi.1,10 Selain itu, penggunaan steroid dapat

memperpendek lama rawat di rumah sakit.2

Penggunaan laringoskop fiber optik setiap hari pada pasien yang

diintubasi dapat dilakukan untuk mengevaluasi kemajuan serta kapan

ekstubasi aman untuk dilakukan, biasanya 48-72 jam setelah intubasi dan

pengobatan. Perpanjangan lama intubasi tidak diperlukan karena edema

telah berkurang setelah 48-72 jam. Kriteria untuk ekstubasi termasuk

berkurangnya eritema dan edema pada epiglotis pada pemeriksaan

laringoskop dan terjadinya kebocoran udara disekitar pipa endotracheal. 2,7,8

Setelah tindakan ekstubasi dilakukan, pasien dapat menerima antibiotik

oral dengan total durasi pengobatan 7 -10 hari.7

13
Gambar 7. Algoritme penilaian dan pengelolaan pasien yang dicurigai mengalami

epiglotitis akut2

14
X. KOMPLIKASI

Komplikasi paling sering adalah bekterimia (90%-95% pasien),

pneumonia. Infeksi konkomitan dengan Haemophilus influenzae yang lain

termasuk meningitis, adenitis servikal, perikarditis, artritis septik dan otitis

media. Selain itu, dapat juga terjadi abses epiglotis dan uvulitis.7,12

Komplikasi non-infeksi juga dapat terjadi pada pasien dengan

epiglotitis. Pasien dengan obstruksi saluran nafas yang menyeluruh dan

respiratory arrest dapat mengalami kerusakan hipoksik dari sistem saraf

pusat. Perbaikan yang tiba-tiba dari obstruksi saluran nafas atas dapat

menyebabkan postpulmonary edem, yang dapat di cegah dengan

pemberian positive end-expiratory presurre dengan nilai yang tepat.7

XI. PROGNOSIS

Mortalitas pada pasien anak-anak telah menurun dari 7,1% menjadi

0,9% sejak digunakannya intervensi saluran nafas profilaksis. Mortalitas

pada orang dewasa sekitar 1 – 7%, namun jika terjadi obstruksi, mortalitas

menjadi 17,6%.12

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Dhingra PL dan Dhingra S. Disease of Ear, Nose and Throat 5 th Edition.


India: Elsevier; 2010:307-13
2. Lee MSW. Infections of the Larynx. Dalam: Hussain SM, editor. Logan
Turner’s Disease of the, Nose, Throat and Ear Head and Neck Surgery.
Prancis: CRC Press; 2016:191-5
3. Cheng J dan Smith LP. Airway and Aerodigestive Tract. Dalam: Cheng J
dan Bent JP, editor. Endoscopic Atlas of Pediatric Otolaryngology.
Switzerland: Springer International Publishing; 2016:39-41
4. Bizaki AJ, Numminem J, Vasama J, Laranne J dan Rautiainem M. Acute
Supraglottitis in Adults in Finland: Review and Analysis of 308 Cases.
Laryngoscope, 2011;121:2107-2113
5. Chung CH. Case and literature review: adult acute epiglottitis – rising
incidence or increasing awareness?. Hong Kong Med J Emerg Med,
2001;8:227-231
6. Som PM dan Curtin HD. Head and Neck Imaging 4th Edition. USA:
Mosby; 2003:1568,1656
7. Flint PW, Haughey BH, Lund VJ, Niparko JK, Robbins KT, Thomas JR dan
Lesperance MM, editor. Cummings Otolaryngology Head and Neck
Surgery 6th Edition Volume 1. Canada: Elsevier;2015:825-833,928-
934,1521,3045-3053
8. Snow JB dan Ballenger JJ. Ballenger's Otorhinolaryngology 16th Edition.
Spain: BC Decker Inc;2003:1090-1100, 1185-1199
9. Pradhananga RB, Adhikari P, Sinha BK dan Thapa N. Prevalence of Acute
Epiglottitis and its Association with Pulmonary Tuberculosis in Adults in a
Tertiary Care Hospital of Nepal. Intl. Arch. Otorhinolaryngol,
2008;12(4):494-7
10. Hans SA. Self Assesment and Review 7th Edition. India: Jaypee Brothers
Medical Publishers;2016:364-5

16
11. Hafidh MA, Sheahan P, Keogh I dan Walsh RM. Acute epiglottitis in
adults: A recent experience with 10 cases. The Journal of Laryngology &
Otology,2006;120:310–3.
12. Wick F, Ballmer PE dan Haller A. Acute epiglottitis in adults. Swiss Med
Wkly, 2002;132:541-7
13. Noh SJ dan Lee H. Sudden Death from Acute Epiglottitis and Epiglottic
Abscess in Adult. Korean J Leg Med, 2015;39:49-52
14. Corbridge RJ. Essential ENT Second Edition. India: Hodder
Arnold;2011:41-6
15. Paleri V. Infection of the Larynx. Dalam: Paleri V dan Hill J. An Atlast of
Investigation and Management ENT Infection. USA: Clinical
Publishing;2010:79-86
16. Pasha R dan Golub JS. Otolaryngology Head and Neck Surgery 5th Edition.
San Diego: Plural Publishing;2018:109-112,571-4

17

You might also like