You are on page 1of 25

Makalah

ULUMUL HADITS
Dosen Pengampu:
Hamdan Wildany, M. Pd

Disusun Oleh Kelompok 2:

1. Badru Lislami
2. Faizah
3. Faozan Hamzani
4. Hilmi Aziz
5. Juma’ah

FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM QOMARUL HUDA BAGU
LOMBOK TENGAH

i
Kata Pengantar
Puji dan syukur pertama kami panjatkan kehadiran allah SWT. Karna berkat rahmat
dan nikmatnya kami diberikan kesempatan untuk dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Tidak lupa pula sholawat serta salam kami curahkan kepada rasulullah SAW. Semoga
kita selalu dalam lindungan beliau.
Makalah yang berjudul tentang intelegensi ini disusun untuk melengkapi tugas
kelompok mata kuliah pembelajaran Ulumul Hadits . Penulisan makalah ini dimungkinkan
oleh adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih atas bantuan dan bimbingan kepada:
1. Dosen pembimbing mata kuliah HamdanWildany, M. Pd
2. Teman-teman yang sudah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan
karna masih dalam proses belajar. Oleh karna itu, kami dengan terbuka dan senang hati akan
menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini
menjadi lebih baik. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Akhir kata kami sampaikan terima kasih dan kurang lebihnya kami mohon maaf.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Lombok tengah, 22 Maret 2022

Penulis

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah


Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Quran yang
disandarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan
Nabi dalam setiap persoalan yang dihadapi oleh umat Islam. Walaupun demikian,
mengambil hadits sebagai hujjah atau dasar atas setiap perbuatan dan amalan kita
tidaklah semudah berdalil dengan Al-Quran, sebab Al-Quran merupakan firman Allah yang
tingkat kebenarannya mutlak dan pasti.

Sementara hadits, walaupun pada dasarnya disandarkan kepada Rasulullah saw,


namun dalam hal penetapannya sebagai hujjah tetap saja diperlukan perhatian khusus.
Karena tidak semua hadits memiliki kekuatan hujjah yang sama.

Membicarakan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits bertujuan untuk


mengangkat fakta dan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulallah SAW, kemudian secara
periodik pada masa-masa sahabat dan tabi’in.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana Sejarah Pembinaan/Proses Periodesasi Perkembangan Hadis?
2. Bagaimana Sejarah Penghimpunan(Tadwin)/Mengumpulkan Hadis?
3. bagaimana Masa Pemeliharaan, Penertiban, Penambahan, dan Penghimpunan Hadis?
4. Bagaimana cabang-cabang ilmu hadits?
5. Apa saja istilah istilah ilmu hadis?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Sejarah Pembinaan/Proses Periodesasi Perkembangan Hadits
2. Untuk mengetahui Sejarah Penghimpunan(Tadwin)/Mengumpulkan Hadits
3. Untuk mengetahui Masa Pemeliharaan, Penertiban, Penambahan, dan Penghimpunan
Hadis
4. Untuk mengetahui cabang-cabang ilmu hadits
5. Untuk mengetahui istilah istilah ilmu hadits

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Pembinaan/Proses Periodesasi Perkembangan Hadis


1. Hadis Pada Masa Rasul SAW (13SH-11H)
Membicarakan hadis pada masa Rasul SAW. Berarti membicarakan hadis pada
awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi
Rasululah sebagai sumber hadis. Rasulullah membina umatnya selama 23 tahun.
Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkannya
hadis. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat
sebagai pewaris pertama ajaran islam.

Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dijelaskan
Nabi melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), dan penetapan (taqrir). Sehingga
apa yang didengar, dilihat dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi
amaliah dan ubudiah mereka. Rasulullah merupakan contoh satu-satunya bagi para
sahabat, karena Nabi SAW memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul
Allah SWT. Yang berbeda dengan manusia lainnya.

a. Cara Rasuullah Menyampaikan Hadis


Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa
lainnya. Umat islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadis dari
Rasul SAW sebagai sumber hadis. Antara Rasulullah dengan mereka tidak ada
jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuannya.

Allah menurunkan Al-Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai


utusanNya adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisah-pisahkan, dan apa-apa
yang disampaikannya juga merupakan wahyu. Allah SWT berfirman dalam alquran
surah an-najm ayat 2-3:

‫ق ع َِن ْالهَ ٰوى‬


ُ ‫َو َما يَ ْن ِط‬
"(Dan tiadalah apa yang diucapkannya itu) apa yang disampaikannya kepada
kalian (menurut kemauan hawa nafsunya) menurut kehendaknya sendiri."

ٌ ْ‫اِ ْن هُواِاّل َوح‬


‫ي يُّوْ ٰحى‬
"(Tiada lain) tidak lain (ucapannya itu hanyalah wahyu yang diwahyukan)
kepadanya."

kedudukan Nabi yang demikian ini otomatis menjadikan semua perkataan,


perbuatan dan taqrir Nabi sebagai referensi bagi para sahabat. Dan para sahabat

2
tidak menyia-nyiakan keberadaan Rasulullah ini. Mereka secara proaktif berguru
dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang mereka tidak ketahui baik
dalam urusan dunia maupun akhirat. Mereka mentaati semua yang dikatakannya,
bahkan menirunya. Ketaatan itu sendiri dimaksudkan agar keberagamaannya
dapat mencapai tingkat kesempurnaan.

Oleh karena itu, tempat-tempat pertemuan diantara kedua belah pihak


sangatlah terbuka dalam banyak kesempatan. Tempat yang biasa digunakan
Rasulullah cukup bervariasi, seperti di masjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika
dalam perjalanan (safar) dan ketika muqim (berada di rumah).

Melalui tempat-tempat tersebut Rasulullah menyampaikan hadis, yang


terkadang disampaikannya melalui sabdanya yang didengar oleh para sahabat,
dan terkadang melalui perbuatan serta taqrirnya yang disaksikannya oleh sahabat
melalui musyahadah. Menurut riwayat Bukhari, Ibnu Mas’ud pernah bercerita
bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh dikalangan sahabat, Rasulullah
menyampaikan hadisnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para sahabat
selalu ingin mengikuti pengajiannya.

Ada beberapa cara Rasulullah menyampaikan hadis kepada para sahabat, yaitu:

1. melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis Al-‘ilmi.
Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk
menerima hadis, sehingga mereka berusaha utk selalu mengkonsentrasikan
diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Rasulullah.
2. dalam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan hadisnya melalui
para sahabat tertentu , yang kemudian mereka menyampaikannya kepada
yang lain.
3. melalui pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan Fathul
Makkah.
4. Rasulullah memberikan contoh atau suri tauladan pada kehidupan sehari-
hari.
5. Rasulullah juga mengajarkan kaum wanita, baik kepada istri-istri beliau
ataupun pada kaum muslimat di majlis.
b. Penyebaran Hadis Pada Masa Rasulullah
Penyebaran Hadis dilakukan semenjak hari pertama Rasulullah diutus untuk
berdakwah dalam penyebaran ajaran islam. Hal ini dilakukan dari hari kehari yang
mulanya secara diam-diam di Dar al-Islam, yaitu Dar al-Arqam dan selanjutnya
dilakukan secara terang-terangan.

Adapun penyebaran hadis pada masa Rasulullah dilakukan dengan cara:

1. Kesungguhan Rasulullah dalam berdakwah dan menyebarkan islam. Beliau


mencurahkan waktunya untuk menyampaikan ajaran islam kepada para sahabat.

3
2. Kesungguhan para sahabat dalam mempelajari ilmu, menghafalnya, dan
menyampaikannya pada kaum muslimin lainnya.
3. Peran para Ummul Mukminin r.a. dalam bertabligh dan menyebarkan sunnah
diantara istri-istri kaum muslimin.
4. Peran para sahabat dalam bertabligh dan menyebarkan sunnah terhadap istri-istri
mereka.
5. Penyebaran hadis diakukan sampai ke pusat-pusat pemerintahan islam, bahkan ke
pelosok suku-suku.
Setelah terbukanya kota Makkah banyak utusan-utusan bangsa arab dari
seluruh jazirah arab yang datang untuk menghadap Rasulullah dan menyatakan
berada dibawah naungan islam. Rasulullah mengajarkan islam pada mereka dan
memberi petunjuk kepada mereka. Dari mereka ada yang tinggal di Makkah dan
ada yang kembali ke asal suku mereka. Disinilah ajaran islam yang dibawa
Rasulullah tersebar ke seluruh Jazirah Arab.

c. Penghafalan dan Penulisan Hadis Pada Masa Rasulullah


Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan Al-Qur’an dan
Hadis, sebagai dua sumber ajaran islam, Rasulullah menempuh jalan yang
berbeda. Terhadap Al-Qur’an beliau secara resmi menginstruksikan kepada
sahabat supaya ditulis disamping dihafal. Sedangkan terhadap hadis beliau hanya
menyuruh menghafalnya dan melarang menulisnya secara resmi. Nabi SAW
bersabda: “Janganlah kalian menulis sesuatu dariku. Barang siapa menulis sesuatu
dariku selain Al-Qur’an, maka hendaklah dia menghapusnya. Ceritakan saja yang
diterima dariku, yang demikian ini tidak mengapa, dan barang siapa dengan
sengaja berbohong tentang diriku hendaklah ia mengambil tempat duduknya di
neraka.” (HR. Muslim).

Maka segala hadis yang diterima dari Rasulullah oleh para sahabat diingatnya
secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat khawatir dengan ancaman
Rasulullah untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang diterimanya.

Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat
dalam kegiatan menghafal hadis ini. Pertama, karena kegiatan menghafal
merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak pra Islam dan
mereka terkenal kuat hafalannya. Kedua, Rasulullah banyak memberikan spirit
melalui doa-doanya. Ketiga, sering kali Rasulullah menjanjikan kebaikan akhirat
kepada mereka yang menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain.

Dibalik larangan Rasulullah SAW seperti pada hadis diatas, ternyata ada
beberapa sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan
terhadap hadis, para sahabat itu antara lain :

4
1. Abdullah Ibn Amr Al-‘Ash. Beliau memiliki catatan hadis yang menurut
pengakuannya dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Menurut suatu riwayat
diceritakan bahwa orang-orang Quraisy mengeritik sikap abdullah Ibn Amr, karena
sikapnya yang selalu menulis segala sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW.
Mereka berkata : “Engkau tuliskan apa saja yang datang dari Rasul, padahal Rasul
itu manusia, yang bisa saja bicara dalam keadaan marah”. Kritikan ini
disampaikannya kepada Rasulullah SAW kemudian beliau menjawabnya dengan
berkata : “ Tulislah! Demi zat yang diriku ada ditangan-Nya, tidak ada yang keluar
dari padanya kecuali yang benar”. (HR Bukhari). Hadis- hadis yang terhimpun
dalam catatannya ini sekitar seribu hadits, yang menurut pengakuannya diterima
langsung dari Rasulullah ketika mereka berdua tanpa ada orang lain yang
menemaninya.
2. Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al-Anshari (w. 78 H). Beliau memiliki catatan hadis dari
Rasulullah SAW mengenai manasik haji. hadis – hadisnya kemudian diriwayatkan
oleh Muslim. Catatannya ini dikenal dengan Sahifah Jabir.
3. Abu Hurairah Al-Dausi (w. 59 H). Beliau memiliki catatan hadis dan hadis- hadis
nya ini diwariskan kepada anaknya yang bernama Hammam.
4. Abu Syah (Umar ibn Sa’ad Al-Anmari) adalah seorang penduduk yaman. Beliau
meminta kepada Rasulullah SAW dicatatkan hadis yang disampaikannya ketika
pidato pada peristiwa fathul Mekkah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan
yang dilakukan oleh sahabat dari Bani Khuza’ah kepada salah seorang lelaki Bani
Lais. Rasulullah SAW kemudian bersabda : “Kalian tuliskan untuk Abu Syah”.
Selain nama-nama diatas, masih banyak lagi nama-nama sahabat lainnya
yang mengaku memiliki catatan-catatan hadis dan dibenarkan oleh Rasulullah
SAW. Seperti Rafi’ bin Khadij, Amr bin Hazm, dan Ibn Mas’ud.

ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis tertentu terhadap


mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukkan hadits dengan Al-Quran.

2. Hadis Pada Masa Sahabat (12-98H)

Periode kedua sejarah perkembangan hadis, adalah masa sahabat, khususnya


masa khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin
Abi Thalib). Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar. Karena pada masa ini
perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-
Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang, dan kelihatannya
berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai
masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan ( al-tasabbut wa al-iqlal
min al-riwayah ).

a. Menjaga Pesan Rasulullah

5
Rasulullah sangat disegani dan ditaati oleh para sahabat. Mereka sadar bahwa
mentaati Rasulullah adalah wujud dalam berbakti kepada Allah SWT. Oleh
karena itu, para sahabat sangat bersungguh-sungguh dalam menerima segala
yang diajarkan oleh Nabi dan mentaatinya, baik yang berupa wahyu Al-Qur’an
dan Hadis Nabi.

Rasulullah pernah berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada
Al-Qur’an dan Hadis serta mengajarkannya kepada orang lain, sebagaimana
sabdanya: “Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, selama kalian
berpegang teguh padanya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu
Kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Al-Hadis).” (HR. Malik).

Pesan-pesan Rasulullah sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat,


sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan
memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasulullah dibuktikan
dengan melaksanakan segala yang dicontohkannya.

b. Kehati-hatian Sahabat dalam Periwayatan Hadis


Pada masa khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, mereka sangat
berhati-hati dalam periwayatan hadis. Jika menerima hadis dari sahabat lainnya
mereka meminta untuk bersumpah dan meminta saksi atas kebenaran hadis
tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh Umar r.a. ketika mendengar hadis:
“Jika seseorang diantara kalian minta izin untuk bertamu sampai tiga kali,tetapi
tidak mendapatkan izin, maka hendaklah dia pulang.” Maka Umar berkata:
“Tegakkanlah saksi atasnya, jika tidak, aku akan menyakitimu.”

Begitu juga yang diriwayatkan Ahmad, bahwa Ali r.a.berkata: “Saya bila
mendengar dari Rasulullah sebuah Hadis, maka Allah memberikan manfaat
bagiku sesuai dengan kehendakNya, dan jika yang mengatakan kepadaku selain
Rasulullah, maka Aku akan meminta kepadanya untuk bersumpah. Jika dia mau
bersumpah, Maka aku membenarkannnya.”

Kehati-hatian para sahabat dalam meriwayatkan hadis Rasulullah, karena


khawatir terjerumus pada kesalahan dan karena takut ada kesalahan/kekeliruan
masuk kedalam Hadis. Padahal Hadis merupakan sumber hukum setelah Al-
Qur’an.

c. Proses Penerimaan Hadis Para Sahabat


Para sahabat dapat menghafal dengan baik ajaran-ajaran Rasulullah, Karena
disamping dorongan keagamaan, mereka juga mempunyai hafalan yang kuat,
ingatan yang teguh serta mempunyai kecerdasan dan kecepatan dalam
memehami sesuatu.

6
Hadis diterima para sahabat, baik secara langsung maupun tidak langsung
dari Rasulullah. Penerimaan hadis secara langsung misalnya sewaktu Rasulullah
memberi ceramah, pengajian, khutbah atau penjelasan terhadap pertanyaan
para sahabat. Sedangkan yang tidak langsung seperti mendengar dari sahabat
lain atau dari utusan-utusan.

d. Periwayatan Sahabat dengan Lafzhi dan Maknawi


Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadis yang ditunjukkan oleh
para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya, tidak berarti hadis-hadis Rasul tidak
diriwayatkan. Dalam batas-batas tertentu hadis-hadis itu diriwayatkan,
khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari
seperti dalam permasalahan ibadah dan muamalah.

Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasulullah.
Pertama dengan jalan periwayatan Lafzhi (redaksinya persis seperti yang
disampaikan Rasulullah), dan kedua, dengan jalan periwayatan Maknawi
(maknanya saja).

1. Periwayatan Lafzhi
Periwayatan Lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau
matannya persis seperti yang diwurudkan Rasulullah. Ini hanya bisa dilakukan
apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasulullah.

Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini.


Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari
Rasulullah, bukan menurut redaksi mereka.

Diantara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan


hadis dengan jalan Lafzhi adalah Ibnu Umar. Ia seringkali menegur sahabat
yang membacakan hadis yang berbeda walau satu kata dengan yang pernah
didengarnya dari Rasulullah.

2. Periwayatan Maknawi
Periwayatan maknawi adalah periwayatan hadis yang matannya tidak
persis sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah, akan tetapi isi atau
maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh
Rasulullah tanpa ada perubahan sedikitpun.

Diantara para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam


keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan
Rasulullah, boleh meriwayatkan hadis secara maknawi. Meskipun demikian,
para sahabat melakukannya dengan sangat hati-hati dan teliti.

7
e. Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Hadis
Para sahabat tidak sama banyaknya dalam menerima dan mengetahui Hadis
dari Rasulullah, karena adanya faktor seperti tempat tinggal, pekerjaan, usia dan
hal-hal lainnya.

Para sahabat yang banyak menerima Hadis dari Rasulullah antara lain:

a. Para sahabat yang tergolong Al-Sabiqunal Al-Awwalun (yang mula-mula


masuk islam), seperti: Abu Bakar, Umar, Usman, Ali dan Abdullah bin
Mas’ud.
b. Yang selalu menyertai Rasulullah dan berusaha keras menghafal sabdanya,
seperti: Abu Hurairah dan Abdullah bin Amr bin Ash.
c. Sahabat yang meskipun tidak lama bertemu dengan Rasul. Tetapi mereka
dapat menerima hadis dari sesama sahabat, seperti: Anas bin malik dan
Abdullah bin Abbas.
d. Para Ummahatul Mukminin (istri-istri Rasulullah), seperti: Aisyah, Ummu
Salamah dan lainnya.
Adapun jumlah hadis terbanyak yang diriwayatkan oleh sahabat, sebagaimana
yang telah ditulis oleh para ulama Hadis yaitu:

a. Abu Hurairah, Abdurrahman bin shakhr al-Dausi al-Yamani (19 SH-59 H).
Jumlah hadis yang diriwayatkannya 5.374 buah hadis.
b. Abdullah bin Umar bin Khathab (10 SH-73 H). Jumlah hadis yang
diriwayatkannya 2.630 buah hadis.
c. Anas bin Malik (10 SH-93 H). Jumlah hadis yang diriwayatkannya 2.286 buah
hadis.
d. Aisyah binti Abu Bakar (9 SH-58 H). Jumlah hadis yang diriwayatkannya
2.210 buah hadis.
e. Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib (3 SH-68 H). Jumlah hadis yang
diriwayatkannya 1.660 buah hadis.
f. Jabir bin Abdillah al-Anshari (6 SH-78 H). Jumlah hadis yang diriwayatkannya
1.540 buah hadis.
g. Abu Sa’id al-khudri al-Anshari (12 SH-74 H). Jumlah hadis yang
diriwayatkannya 1.170 buah hadis.
3. Hadis Pada Masa Tabi’in

Tabi’in adalah orang yang bertemu dengan sahabat dalam keadaan muslim dan
meninggal dunia dalam keadaan islam pula dan tidak hidup pada masa Nabi
Muhammad SAW.Pada masa tabi’in, islam telah meluas ke negeri syam, irak,
mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H sampai ke spanyol. Yang demikian
karena keberangkatan para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam
rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu agama.
Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan islam, penyebaran para

8
sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga masa ini dikenal
dengan masa menyebarnya periwayatan hadis (intisyar al-riwayah ila al-amshar)

Para tabi’in menerima riwayat Hadis dari para sahabat, baik di masjid-masjid
ataupun tempat lainnya. Hadis-hadis yang diterima para tabi’in, ada yang dalam
bentuk catatan-catatan dan ada pula yang dihafal.

Pada umumnya, periwayatan Hadis yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak
begitu berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat sebagai guru-guru
mereka. Adapun tokoh-tokoh Hadis dikalangan tabi’in antara lain:

Di Madinah: Sa’id bin al-Musayyab, Urwah bin Zubair, Ubaidillah bin Utbah bin
Mas’ud, dll.

Di Makkah: Ikrimah Maula Ibnu Abbas, Atha’ bin Abi Rabah, Thawus bin Kaisan,
dll.

Di Kufah: Kamil bin Zaid al-Nakha’i, Amir bin Syurahil al-Sya’bi, dll.

Di Syiria (Syam): Salim bin Abdillah al-Muharibi, Abu Idris al-Khulani, Abu
Sulaiman al-Darani, dll.

Di Mesir: Yazid bin Abu Hubaib, Umar bin al-Harits, dll.

Di Yaman: Hammam bin Munabbih, Ma’mar bin Rasyid, Wahab bin Munabbih,
dll.

a. Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis


Pada masa tabi’in ini terdapat pergolakan politik. Pergolakan politik ini
sebenarnya sudah muncul sejak masa sahabat, setelah terjadinya perang jamal
dan perang siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan
tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat
islam kedalam beberapa kelompok, yaitu Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan
golongan yang tidak termasuk dalam ketiga kelompok tersebut.

Dari pergolakan politik tersebut, secara langsung atau tidak langsung telah
berpengaruh pada perkembangan Hadis berikutnya, Baik yang positif ataupun
yang negatif. Pengaruh yang bersifat negatif ialah dengan munculnya Hadis-hadis
palsu (maudhu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing
kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya.

Sedangkan pengaruh yang positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang
mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin Hadis, sebagai upaya
penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolakan
politik tersebut.

9
B. Sejarah Penghimpunan (Tadwin)/Mengumpulkan Hadis
Secara luas tadwin diartikan dengan al-Jam’u (mengumpulkan). Al-Zahrani
merumuskan pengertian tadwin sebagai berikut: “Mengikat yang berserak-serakan
kemudian mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari
lembaran-lembaran.”

Sementara yang dimaksud dengan tadwin Hadis pada periode ini adalah
pembukuan (kodifikasi) secara resmi yang berdasarkan perintah kepala Negara,
dengan melibatkan beberapa orang yang ahli dibidangnya. Bukan yang dilakukan
secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi.

a. Latar Belakang Munculnya Pemikiran Usaha Tadwin Hadis


Setelah Agama Islam tersebar luas di masyarakat, dipeluk dan dianut oleh
penduduk yang tinggal di luar Jazirah Arab, dan para sahabat yang tidak sedikit
jumlahnya telah meninggal dunia, maka terasa perlunya Hadis diabadikan dalam
bentuk tulisan dan kemudian dibukukan.

Permasalahan ini menggerakkan hati Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Khalifahh ke
8 dari Bani Umayah) yang menjabat Khalifah antara tahun 99-101 hijriyah untuk
menulis dan membukukan Hadis.

Ada beberapa hal pokok mengapa Umar bin Abdul Aziz mengambil sikap seperti
ini. Pertama, para penghafal Hadis semakin berkurang karena sudah banyak yang
meninggal dunia. Apabila Hadis tidak segera dikumpulkan dan dibukukan, maka
Hadis dikhawatirkan berangsur-angsur akan hilang. Kedua, sudah tidak ada
kekhawatiran tercampurnya antara Al-Qur’an dan Hadis. Ketiga, Hadis merupakan
salah satu sumber ilmu pengetahuan sehingga pembukuan Hadis sangat
diperlukan. Keempat, Khawatir akan tercampurnya antara Hadis-hadis yang sahih
dengan Hadis-hadis palsu.

b. Yang Pertamakali Membukukan Hadis Nabi SAW


Orang yang pertama kali menaruh perhatian untuk membukukan Hadis Nabi
adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab al-Zuhri al-Madani. Dalam
kitab al-Muwatha’ diriwayatkan dan begitu juga dalam sunan al-Darimi, ketika
Umar bin Abdul Aziz menjabat khalifah, beliau merasa khawatir akan merosot dan
hilangnya ilmu karena meninggalnya para ulama, maka beliau menyerukan kepada
Abu Bakar bin Hazm untuk membukukan Hadis Rasulullah seraya berkata: “Lihatlah,
apa yang terjadi pada Hadis Rasulullah atau Sunnahnya, atau Hadis dari ‘Amra atau

10
lainnya, maka tulislah karena aku mengkhawatirkan akan merosotnya ilmu dengan
meninggalnya para ulama.”

Kemudian, Abu Bakar bin Hazm menyerukan Muhammad bin Syihab al-Zuhri,
yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui Hadis.Al-Zuhri tercatat
sebagai ulama besar pertama yang membukukan Hadis. Kebijaksanaan Khalifah
Umar bin Abdul Aziz ini oleh sejarah dicatat sebagai Kodifikasi Hadis yang pertama
secara resmi. Peristiwa tersebut terjadi di penghujung abad pertama hijriyah.
Selanjutnya, kodifikasi Hadis dilakukan pada masa dinasti Abbasiyah.

c. Gerakan Menulis Hadis Pada Kalangan Tabi’in dan Tabi’at Tabi’in Setelah Ibnu
Syihab az-Zuhri
Ada ulama ahli Hadis yang berhasil menyusun kitab tadwin, yang bisa
diwariskan kepada generasi sekarang, yaitu Malik bin Anas di Madinah, dengan
kitab hasil karyanya yaitu Al-Muwatha’. Kitab tersebut disusun pada tahun 143 H
atas permintaan khalifah Al-Mansur. Para ulama menilai Al-Muwatha’ ini sebagai
kitab tadwin yang pertama dan banyak dijadikan rujukan oleh para muhaddis
selanjutnya.

1. Masa Penyaringan Hadis

Masa seleksi atau penyaringan Hadis terjadi ketika pemerintahan dipegang


oleh Dinasti Bani Abbas, khususnya sejak masa Al-Makmun sampai dengan Al-
Muktadir (sekitar tahun 201-300 H). Munculnya periode seleksi ini, karena pada
periode sebelumnya, yakni periode tadwin, belum berhasil memisahkan beberapa
Hadis Mauquf dan Maqthu’ dari Hadis Marfu’. Begitu pula belum bisa memisahkan
beberapa Hadis yang dhaif dari yang sahih. Bahkan masih ada Hadis yang Maudhu’
tercampur pada Hadis yang sahih.

Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan


Hadis yang diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya, para ulama
pada masa ini berhasil memisahkan Hadis-hadis yang dhaif (lemah) dari yang sahih
dan Hadis-hadis yang Mauquf (periwayatannya berhenti pada sahabat) dan yang
Maqthu’ (terputus) dari yang Marfu’ (sanadnya sampai Nabi SAW).

Kitab Al-Sittah: Enam Kitab Hadis Induk

Berkat keuletan dan keseriusan para ulama pada masa ini, maka
bermunculan kitab-kitab Hadis yang hanya memuat Hadis-hadis sahih. Kitab-kitab
tersebut pada perkembangannya kemudian, dikenal dengan Kutub Al-Sittah (Kitab
induk yang enam).

Ulama yang berhasil menyusun kitab tersebut, ialah Abu Abdillah


Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari, yang

11
terkenal dengan “Imam Bukhari”(194-252 H) dengan kitabnya Al-Jami’ Al-Shahih.
Kemudian Abu Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Kusairi Al-Naisaburi, yang dikenal
dengan “Imam Muslim”(204-261 H) dengan kitabnya juga disebut Al-Jami’ Al-
Shahih. Para ulama merespon kedua kitab tersebut dengan sikap menerima, dan
sepakat bahwa keduanya adalah kitab paling shahih setelah Al-Qur’an al-Karim.
Imam Nawawi berkata,”Para ulama sepakat bahwa kitab paling shahih setelah Al-
Qur’an adalah kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, sedangkan umat
menerima keduanya.”

Usaha yang sama juga dilakukan oleh Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’as bin
Ishaq Al-Sijistani (202-275 H), Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah Al-Tirmidzi
(200-279 H) dan Abu Abdillah bin Yazid bin Majah (207-273 H). Hasil karya keempat
ulama ini dikenal dengan kitab “Sunan”, yang menurut para ulama kualitasnya
dibawah karya Bukhari dan Muslim.

Secara lengkap kitab-kitab yang enam diatas, diurutkan sebagai berikut:

1. Shahih al-Bukhari, karya Imam al-Bukhari

2. Shahih Muslim, karya Imam Muslim

3. Sunan Abi Daud, karya Imam Abu Daud

4. Sunan al-Tirmidzi, karya Imam al-Tirmidzi

5. Sunan al-Nasa’i, karya Imam al-Nasa’i

6. Sunan Ibni Majah, karya Imam Ibnu Majah

Bentuk penyusunan Kitab hadist pada Abad ke 3 Hijriyah

1. Kitab Shahih, kitab ini hanya menghimpun hadist-hadist sahih,sedangkan


yang tidak shahih tidak dimasukkan kedalamnya. Penyusunannya berbentuk
Mushannaf, Yaitu penyajian berdasarkan bab masalah tertentu. Hadis yang
dihimpun menyangkut masalah fiqh, aqidah, akhlak, sejarah dan tafsir.
Contoh : sahih Muslim dan sahih Bukhari.
2. Kitab Sunan. Didalam kitab ini dijumpai hadis yang sahih dan juga hadis dhaif
yang tidak terlalu lemah dan mungkar.Terhadap hadist dhaif dijelaskan sebab
kedhaifannya. Bentuk penyusunannya berbentuk Mushannaf dan hadistnya
3. terbatas hanya pada masalah fiqh . Contoh : Sunan Abu Dawud, Sunan at
Turmidzi, Sunan al Nasai, Sunan Ibn Majah dan Sunan al Darimi.
4. Kitab Musnad. Didalam kitab ini hadis disususn berdasrkan nama perawi
pertama. Urutan nama perawi pertama ada yang berdasrkan kabilah seperti
bani hasyim dsb. Ada juga yang berdasarkan nama sahabat berdasrkan urutan
waktu memeluk Islam. Contoh : Musnad Ahmad ibn Hanbal, Musnad Abu
qasim Albaghawi, dan musnab ustman ibn abi syaibah.

12
C. Masa Pemeliharaan, Penertiban, Penambahan, dan Penghimpunan Hadis

1. Kegiatan periwayatan Hadist pada periode ini.


Periode ini dimulai pada masa Khlifah Al Muktadir sampai Khalifah Al
Muktashim. Meskipun kekuasaan Islam Pada periode ini mulai melemah dan
bahkan mengalami keruntuhan pada abad ke-7 Hijriah akibat serangan Hulaqu
Khan, Cucu dari Jengis Khan. Kegiatan para Ulama Hadis tetap berlangsung
sebagaimana periode-periode sebelumnya, hanya saja hadis-hadis yang dihimpun
pada periode ini tidaklah sebanyak penghimpunan pada periode-periode
sebelumnya, kitab-kitab hadis yang dihimpun pada periode ini diantaranya adalah
:

o Al Shahih oleh Ibn Khuzaimah.(313 H)

o Al Anma’wa al Taqsim oleh Ibn Hibban (354 H)

o Al Musnad oleh Abu Amanah ( 316 H)

o Al Mustaqa oleh Ibn Jarud.

o Al Mukhtarah oleh Muhammad Ibn Abd Al Wahid al Maqdisi.

Setelah Lahirnya karya-karya diatas maka kegiatan para ulama berikutnya


pada umumnya hanyalah merujuk pada karya–karya yang telah ada dengan
bentuk kegiatan mempelajari, menghafal, memeriksa dan menyelidiki sanad-
sanadnya dan matannya.

2. Bentuk Penyusunan Kitab Hadis pada masa periode ini:


Para Ulama Hadis Periode ini memperkenalkan sistem baru dalam penyusunan
Hadis, yaitu :

a. Kitab Athrafudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik dari sanad
kitab hadis yang dikutib matannya ataupun dari kitab-kitab lainya contohnya :
1. Athraf Al Shahihainis, oleh Al Dimasyqi (400 H)
2. Athraf Al Shahihainis, oleh Abu Muhammad khalaf Ibn Muhammad al
Wasithi
3. (401 H)
4. Athraf Al Sunnah al arrba’ah, oleh Ibn Asakir al dimasyqi (571 H)
5. Athraf Al Kutub al Sittah, oleh Muhammad Ibn Tharir al Maqdisi ( 507 H)

b. Kitab Mustadhrak, Kitab ini memuat matan Hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari atau Muslim, atau keduanya atau lainnya, dan selanjutnya penyusun

13
kitab ini meriwayatkan matan hadis tersebut dengan sanadnya sendiri,
conntoh :
1. Mustadhrak Shahih Bukhari , oleh Jurjani
2. Mustadhrak Shahih Muslim, oleh Abu Awanah (316 H)
3. Mustadhrak Bukhari Muslim, oleh Abu bakar Ibn Abdan al Sirazi (w.388 H)

c. Kitab Jami’, Kitab ini menghimpun Hadist-hadist yang termuat dalam kitab-
kitab yang telah ada yaitu yang menghimpun hadis shahih Bukhari dan
Muslim. Contohnya: Al Jami’ bayn al Shahihaini oleh Ibnu Al Furat. Al Jami’
bayn al Shahihaini oleh Muhammad bin Nashir al Humaidi (488 H),Al Jami’
bayan al Shahihaini oleh Al Baqhawi (516 H)

D. Periode Mengklasifikasikan dan Mensistematiskan Susunan Kitab-Kitab Hadis


Usaha ulama ahli hadis pada abad ke 5 sampai sekarang adalah ditujukan untuk
mengklasifikasikan Hadis dengan menghimpun hadis-hadis yang sejenis
kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab hadis. Disamping itu
mereka pada men-syarahkan dan mengikhtishar kitab-kitab hadis yang telah disusun
oleh ulama yang mendahuluinya. seperti yang dilakukan oleh Abu 'Abdillah al-
Humaidi (448 H.) adapun contoh kitab-kitab hadits pada periode ini antara lain:

o Sunan al-Kubra, Karya abu Bakar Ahmad bin Husain 'Ali al-Baihaqy (384-458 H.)

o Muntaqa al-Akhbar, karya Majduddin al-Harrany (652 H.)

o Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari, Karya Ibnu Hajar al-'Asqolany (852 H.).

o Nailu al-Awthar, Syarah kitab Muntaqa al-Akhbar, karya al-Imam Muhammad


bin Ali al-Syaukany (1172- 1250 H.)

Hadis pada masa abad ke 5 H sampai sekarang hanya ada sedikit tambahan dan
modifikasi kitab-kitab terdahulu. Sehingga karya-karya ulama hadits abad kelima
lebih simple dan sistematis.

E. CABANG-CABANG ILMU HADIS


Banyak sekali jumlah cabang ilmu hadis, para ulama menghitungnya secara
beragam. Ibnu Ash-Shalah menghitungnya 65 cabang, bahkan ada yang menghitung
hanya 10 hingga 6 cabang tergantung kepentingan penghitung itu sendiri ada yang
menghitungnya secara terperinci dan ada pula yang menghitungnya secara global
saja. Cabang- cabang Ilmu Hadis yang terpenting baik dilihat dari segi sanad atau
matan dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu sebagai berikut :

a. Ilmu Rijal Al-Hadits

14
Ilmu Rijal Al- Hadits dibagi menjadi dua, yaitu Ilmu Tawarikh Ar- Ruwah
dan ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Ilmu
Tawarikh Ar-Ruwah adalah ilmu mempelajari waktu yang membatasi keadaan
kelahiran, wafat, peristiwa/kejadian dan lain-lain. Tujuan ilmu ini adalah
untuk mengetahui bersambung (muttasil) atau tidaknya sanad suatu hadis.
Maksud persambungan sanad adalah pertemuan langsung apakah perawi
berita itu bertemu langsung dengan pembawa berita ataukah tidak atau
hanya pengakuan saja.
b. Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
Dr. Shubhi Ash-Shalih memberikan definisi Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil yaitu
ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi apa yang datang dari
keadaaan mereka, dari apa yang mencela mereka atau yang memuji mereka
dengan menggunakan kata-kata khusus. Jadi ilmu ini membahas tentang nilai
cacat (al-jarh) atau adilnya (at-ta’dil) seorang perawi dengan menggunakan
ungkapan kata-kata tertentu dan memiliki hirarki tertentu.

c. ‘Ilmu ‘Ilal Al-Hadits


Dalam bahasa al-‘illah diartikan al-maradh= penyakit. Dalam istilah ilmu
hadis ‘Ilmu ‘Ilal Al-Hadits adalah ilmu yang membahas tentang sebab-sebab
yang samar yang membuat kecacatan keshahihan hadis, seperti me-
washalkan hadis yang munqathu dan me-marfu-kan hadis yang mawquf,
memasukan suatu hadis ke hadis yang lain. Tujuan mempelajari ilmu ini
adalah untuk mengetahui siapa diantara periwayat hadis yang terdapat illat
dalam periwayatannya, dalam bentuk apa dan dimana “illat tersebut terjadi,
dan pada sanad atau pada matan.

d. ‘ilmu Gharib Al-Hadits


‘ilmu Gharib Al-Hadits adalah ilmu yang mempelajari makna matan
hadis dari iafal yang sulit dan asing bagi kebanyakan manusia, karena tidak
umum dipakai orang arab. Tujuan ilmu ini untuk mengetahui mana katta-kata
dalam hadis yang tergolong gharib dode para ulama memberikan interpretasi
kalimat gharib dalam hadis tersebut. Apakah melalui perbandingan beberapa
sanad dalam hadis yang sama atau melalui jalan lain.

e. ‘Ilmu Mukhtalif Al-Hadist


Dr. Mahmud Ath-Thahan menjelaskan secara sederhana, bahwa
Mukhthalif Al-Hadits Adalah ilmu yang membahas hadis-hadis yang lahirnya
terjadi kontradiksi akan tetapi dapat dikompromikan, baik dengan cara di-
taqyid (pembatasan) yang mutlak, takhshish al-‘alam (pengkhususan yang
umum), atau dengan yang lain. Tujuan ilmu ini untuk mengetahui hadis mana
saja yang kontra satu dengan yang lain dan bagaimana pemecahannya atau

15
langkah-langkah apa yang dilakukan para ulama dalam menyikapi hadis-hadis
yang kontra tersebut.

f. ‘ilmu Nasikh wa Mansukh


Menurut ulama ushul fikih, nasakh adalah pembatalan hukum syari’
(pembuat syariat) dengan dalil syara’ yang datang kemudian ‘Ilmu Nasikh wa
Mansukh adalah ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang menasakh
dan yang dinasakh. Tujuan mempelajari ilmu ini untuk mengetahui salah satu
proses hukum yang dihasilkan dari Hadi dalam bentuk nasikh mansukh dan
mengapa terjadi Nasikh Mansukh

g. ‘Ilmu Fann Al-Mubhamat


‘Ilmu Fann Al-Mubhamatadalah ilmu yang membicarakan tentang
seseorang yang samar namanya dalam matan atau sanad. Tujuan ilmu ini
mengetahui siapa sebenarnya nama-nama atau identitas orang-orang yang
disebutkan dalam matan atau sanad hadis yang masih samar-samar atau
tersembunyi.

h. ‘ilmu Asbat Wurud Al-Hadits


‘ilmu Asbat Wurud Al-Hadits adalah ilmu yang menjelaskan tentang
sebab-sebab datangnya hadis, latar belakang dan waktu terjadinya. Tujuan
mengetahui ilmu ini mengetahui sebab-sebab dan latar belakang munculnya
suatu hadis sehingga dapat mendukung dalam pengkajian makna hadis yang
dikehendaki.

i. ‘ilmu Tashhif wa Tahrif


‘ilmu Tashhif wa Tahrif adalah ilmu yang membahas hadis-hadis yang
diubah titiknya (mushahhaf) atau dirubah bentuknya (muharraf). Tujuannya,
mengetahui kata-kata atau nama-nama yang salah dalam sanad atau matan
hadis dan bagaimana sesungguhnya yang benajar sehingga tidak terjadi
kesalahan terus menerus dalam penakilan dan mengetahui derajat kualitas
kecerdasan dan ke-dhabith-an seorang perawi.

j. ‘Ilmu Mushthalah Al-Hadits


‘Ilmu Mushthalah Al-Hadits adalah ilmu yang membahas tentang
pengertian istilah-istilah ahli hadis dan yang dikenal antara mereka.
Tujuannya,memudahkan para pengkaji dan peneliti hadis dalam mempelajari
dan riset hadis, karena para pengkaji dan peneliti tidak akan dapat melakukan
kegiatannya dengan mudah tanpa mengetahui istilah-istilah yang telah
disepakati oleh para ulama.

F. ISTILAH-ISTILAH ILMU HADIS

16
a. Pengertian Istilah
Istilah merupakan symbol-simbol yang disepakati bersama secara
terminologi untuk mengidentifikasikan masalah dengan tujuan memudahkan
pembahasan berikutnya untuk menunjuk sesuatu yang dimaksud secara simpel
dan sederhana, sehingga sampai kepada tujuan yang dimaksud.

Kata istilah dalam bahasa Arab berasal dari kata ishthalaha, yashthalihu,
ishthilaha, artinya persesuaian paham dan tidak adanya perselisihan. Jadi kata
istilah mempunyai makna kesepakatan sekelompok orang tentang sesuatu yang
khusus. Kumpulan berbagai istilah Dallam ilmu hadis dihimpun secara sistematik
oleh para ulama, sehingga sebagian mereka menyebutkan sebagai ‘ilmu
Musthalah Al-Hadits. Kata musthalah diambil dari kata istilah tersebut. ‘Ilmu
Musthalah Al-Hadits adalah ilmu yang mempelajari tentang apa yang diistilahkan
ulama hadis dan dikenal menjadi uruf (kebiasaan) diantara mereka. Istilah-istilah
itu dijadikan ilmu yang berdiri sendiri kemudian ditambah dengan kaidah-kaidah
dan ilmu-ilmu pendukung lain sehingga para ulama beragam dalam memberikan
nama ilmu ini. Diantara mereka member nama ‘Ulumul Al-Hadits, ‘Ilmu Ushul Al-
Hadits, Ilmu Al-Hadit, dan lain-lain tergantung pada fokus materi yang diberikan
didalamnya.

b. Istilah-istilah dalam Periwayatan


1. Sanad
Sanad menurut bahasa adalah almu’tamadu, yaitu sesuatu yang dijadikan
sandaran, pegangan dan pedoman. Menurut istilah adalah mata ranntai para
perawi hadis yang menghubungkan smpai kepada matan hadis. Dalam bidang
ilmu hadis sanad itu merupakan salah satu neraca yang menimbang shahih
atau dha’if-nya suatu hadis. Sanad ini sangat penting dalam hadis, karena
hadis terdiri dari dua unsur yaitu sanad dan matan.

2. Lambang Periwayatan
Lambang periwayatanَ ‫ َح ُّد ثُنا‬/‫ َح َّد ثَي‬/‫ْت‬
ُ ‫ َس ِمع‬dipergunakan dalam metode
As-Sama’ artinya seorang murid mendengarkan penyampaian hadis dari
seorang guru (Syaikh) secara langsung. Hadis yang menggunakan lambing
periwayatan tersebut dalam segala tingkatan sanad berarti bersambung
(muttashil), masing-masing periwayat dalam sanad bertemu langsung dengan
Syaikhnya.

Lambang periwayatan َ ‫َأ ْخبَ َر نا‬/‫ َأ ْخبَ َرنِئ‬dipergunakan dalam metode Al-
Qira’ah atau Al-‘Ardh artinya seorang murid membaca atau yang lain ikut
mendengarkan dan didengarkan oleh seorang guru, guru mengiyakan jika
benar dan meluruskan jika terjadi kesalahan. Dalam dunia Pesantren metode
ini dikenal dengan metode sorogan.

17
Lambang periwayatan ‫ أ ْنبا ني‬dalam metode ijazah seorang guru
memberikan periwayatan kepada seorang atau beberapa orang muridnya.
Murid yang diberi ijazah untuk menyampaikan periwayatan tidak sembarang
murid, akan tetapi hanya murid-murid tertentu yang memiliki kemampuan
untuk melakukan hal tersebut.

Lambang periwayatan ‫ قا َ َل لِ ْي‬: “ia berkata kepadaku” atau ‫ َذ َك َر لِ ْي‬: “ ia


menyebutkan kepadaku” dipergunakan dalam menyampaikan hadis metode
Sama’ Al-Mudzakarah artinya murid mendengar bacaan guru dalam kontek
mudzakarah bukan dalam kontek menyampaikan periwayatan yang tentunya
tidak siap kedua belah pihak. Berbeda dalam konteks ada’ (menyampaikan
periwayatan) ,edua belah pihak siap untuk member atau menyampaikan dan
menerima hadis.

Lambang periwayatan ‫ع َْن‬. Menurut Jumhur ulama dapat diterima asal


periwayatannya tidak mudallis (penyimpan cacat) dan dimungkinkan adanya
pertemuan dengan gurunya. Jika tidak memenuhi dua persyaratan ini maka
tidak dihukumi muttashil.

3. Matan
Kata matan atau al-matan menurut bahasa berarti: keras, kuat,
sesuatu yang Nampak dan asli. Menurut istilah matan adalah sesuatu kalimat
setelah berakhirnya sanad.

Matan hadis ini sangat penting karena yang menjadi topic kajian dan
kandungan syariat Islam untuk dijadikan petunjuk dalam beragama.

4. Mukharrij atau Pewaris Hadis


Kata mukharrij isim fa’il dari kata takhrij atau istikharaj dan ikhraj
yang dalam bahasa diartikan : menampakkan, mengeluarkan, dan menarik.
Maksud mukharraj adalah seorang yang menyebutkan suatu hadis dalam
kitabnya dengan sanadnya. Sedangkan menurut istilah mukharrij ialah orang
yang mengeluarkan, menyampaikan atau menuliskan kedalam suatu kitab
apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya) .

c. Istilah-istilah dalam Kepakaran Hadis


Gelar keilmuan dalam Islam memang patut dihargai karena
mununjukkan tingkat kepakaran seseorang dalam bidang ilmu tertentu,
disamping menunjukkan kemajuan peradaban umat Islam dalam bidang ilmu
lebih pesat pada awal Islam sebelum barat maju, sebelum adanya gelar Prof.,
Dr., MM., M.Pd., dan lain-lain. Diantara gelar keahlian dalam bidang hadis
yaitu sebagai berikut :

1. Amir Al-Mu’minin

18
Gelar Amil Al-Mu’minin sebenarnya diberikan kepada khalifah
Abu Bakar Ash-Siddiq dan setelahnya. Gelar Amil Al-Mu’minin dalam
hads tidak berkait dengan kekhalifahan secara formal dalam politik,
akan tetapi berkaitan dengan penguasaan hadis seseorang.

2. Al-Hakim
Al-Hakim yaitu, suatu gelar keahlian bagi para pakar hadis yang
menguasai seluruh permasalahan hadis baik matan yang diriwayatkan
maupun sanad-nya dan mengetahui hal ihwal para pewari hadis yang
adil dan yang tercela mengetahui biogografi para perawi, baik tentang
perjalanan kepada guru-gurunya dan sifat-sifatnya yang dapat diterima
maupun ditolak.

3. Al-Hujjah
Gelar Al-Hujjah diberikan kepada para pakar hadis yang
kemampuan hafalan hadisnya dapat dijadikan hujjah dan menjadi
referensi bagi para penghafal lainnya. Menurut sebagian ulama, gelar
Al-Hujjah diberikan kepada para imam yang sanggup menghafal
300.000 hadis yang diriwayatkan baik matan,sanad maupun perihal
para perawi seperti tentang keadilan, kecacatan, dan biografinya.

4. Al-Hafizh
Gelar Al-Hafizh adalah gelar ahli hadis yang dapat men-shahih-
kan para perawi hadis.

5. Al-Muhaddits
Menurut At-Taj As-Subki dalam bukunya Maw’id An-Ni’am ialah
orang yang mengetahui sanad, illat, nama para periwayat hadis baik
yang tinggi dan yang rendah.

6. Al-Musnid
Al-Musnid adalah gelar keahlian yang meriwayatkan hadis
beserta sanad-nya, baik ia menguasai benar tentang keadaan sanad
maupun tidak.

7. Thalib Al-Hadits
Thalib Al-Hadits adalah gelar yang terendah diantara sekian
gelar yang telah dijelaskan sebelumnya. Gelar Thalib Al-Hadits diberikan
kepada orang yang memulai kariernya dalam bidang hadis yaitu orang
yang mencari hadis atau yang sedang mempelajarinya.

d. Berkaitan dengan Generasi Perawi

19
1. Thabaqat
Dalam bahasa Thabaqat diartikan = kaum yang serupa atau
sebaya. Menurut istilah Thabaqat adalah kaum yang berdekatan atau
sebaya dalm usia dan dalam isnad saja.

2. Sahabat
Dari segi bahasa sahabat diambil dari kata ash-Shahabati dengan
makna Ash-Shuhbatu= persahabatan. Menurut istilah sahabat adalah
orang yang bertemu dengan Nabi dalam keadaan beragama islam dan
mati dalam islam sekalipun dipisah murtad ditengah tengah menurut
pendapat yang benar.

3. Tabi’in
Tabi’in jamak dari kata tabi’i atau tabi’ yang berarti orang yang
mengikuti atau berjalan dibelakang. Menurut istilah tabi’in adalah
orang muslim yang bertemu seorang sahabat dan mati dalam beragama
islam.

20
BABIII
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pada masa permulaan Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi Muhammad SAW melarang menulis
hadis karena dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan Al-Qu’ran. Pada masa itu, di
samping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi Muhammuad SAW juga menyuruh menghafalkan
ayat-ayat Al-Qur’an. Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadis, namun hadis
masih belum dibukukan sebagaimana Al-Qur’an. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadis
setelah agama Islam tersiar di daerah-daerah yang jauh bahkan banyak di antara ulama para
penghafal Hadis yang wafat. Menurut pendapat yang populer di kalangan ulama hadis, yang
pertama-tama menghimpun hadis serta membukukannya adalah Ibnu Syihab az-Zuhri, kemudian
diikuti oleh ulama-ulama di kota-kota besar lainnya. Penulisan dan pembukuan hadis Nabi SAW
ini dilanjutkan dan disempurnakan oleh ulama-ulama hadis pada abad berikutnya, sehingga
menghasilkan kitab-kitab yang besar seperti kitab al-Muwaththa’, Kutubus Sittah dan lain
sebagainya. Ilmu hadis merupakan ilmu yang membicarakan tentang keadaan atau sifat para
perawi dan yang diriwayatkan. Ilmu hadis dibagi menjadi dua, yaitu ilmu hadis riwayah dan ilmu
hadis dirayah. Sejarah perkembangan ilmu hadis dimulai dari periode Rasulullah SAW, periode
sahabat nabi dan para ulama yang dituliskan dalam beberapa kitab karya para ulama tersebut.
Banyak sekali jumlah cabang ilmu hadis, para ulama menghitungnya secara beragam. Ibnu Ash-
Shalah menghitungnya 65 cabang, bahkan ada yang menghitung hanya 10 hingga 6 cabang
tergantung kepentingan penghitung itu sendiri ada yang menghitungnya secara terperinci dan ada
pula yang menghitungnya secara global saja, antara lain ; Ilmu Rijal Al-Hadits, Ilmu Al-Jarh wa At-
Ta’dil, ‘Ilmu ‘Ilal Al-Hadits dan sebagainya.

21
DAFTARPUSTAKA

Dr. Suhbi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadist,(Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995),


hlm 72-83.

Gufron, Mohammad dan Rahmawati. 2013. ULUMUL HADITS. Yogyakarta: Teras

Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Tengku Muhammad Hasbi, ilmu hadist (Semarang : PT PUSAKA RIZKI PUTRA, 1999),
hlm 27-48.

22

You might also like