Professional Documents
Culture Documents
Ulumul Hadits 2
Ulumul Hadits 2
ULUMUL HADITS
Dosen Pengampu:
Hamdan Wildany, M. Pd
1. Badru Lislami
2. Faizah
3. Faozan Hamzani
4. Hilmi Aziz
5. Juma’ah
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM QOMARUL HUDA BAGU
LOMBOK TENGAH
i
Kata Pengantar
Puji dan syukur pertama kami panjatkan kehadiran allah SWT. Karna berkat rahmat
dan nikmatnya kami diberikan kesempatan untuk dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Tidak lupa pula sholawat serta salam kami curahkan kepada rasulullah SAW. Semoga
kita selalu dalam lindungan beliau.
Makalah yang berjudul tentang intelegensi ini disusun untuk melengkapi tugas
kelompok mata kuliah pembelajaran Ulumul Hadits . Penulisan makalah ini dimungkinkan
oleh adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih atas bantuan dan bimbingan kepada:
1. Dosen pembimbing mata kuliah HamdanWildany, M. Pd
2. Teman-teman yang sudah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan
karna masih dalam proses belajar. Oleh karna itu, kami dengan terbuka dan senang hati akan
menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini
menjadi lebih baik. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Akhir kata kami sampaikan terima kasih dan kurang lebihnya kami mohon maaf.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
Kelompok 2
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana Sejarah Pembinaan/Proses Periodesasi Perkembangan Hadis?
2. Bagaimana Sejarah Penghimpunan(Tadwin)/Mengumpulkan Hadis?
3. bagaimana Masa Pemeliharaan, Penertiban, Penambahan, dan Penghimpunan Hadis?
4. Bagaimana cabang-cabang ilmu hadits?
5. Apa saja istilah istilah ilmu hadis?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Sejarah Pembinaan/Proses Periodesasi Perkembangan Hadits
2. Untuk mengetahui Sejarah Penghimpunan(Tadwin)/Mengumpulkan Hadits
3. Untuk mengetahui Masa Pemeliharaan, Penertiban, Penambahan, dan Penghimpunan
Hadis
4. Untuk mengetahui cabang-cabang ilmu hadits
5. Untuk mengetahui istilah istilah ilmu hadits
1
BAB II
PEMBAHASAN
Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dijelaskan
Nabi melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), dan penetapan (taqrir). Sehingga
apa yang didengar, dilihat dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi
amaliah dan ubudiah mereka. Rasulullah merupakan contoh satu-satunya bagi para
sahabat, karena Nabi SAW memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul
Allah SWT. Yang berbeda dengan manusia lainnya.
2
tidak menyia-nyiakan keberadaan Rasulullah ini. Mereka secara proaktif berguru
dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang mereka tidak ketahui baik
dalam urusan dunia maupun akhirat. Mereka mentaati semua yang dikatakannya,
bahkan menirunya. Ketaatan itu sendiri dimaksudkan agar keberagamaannya
dapat mencapai tingkat kesempurnaan.
Ada beberapa cara Rasulullah menyampaikan hadis kepada para sahabat, yaitu:
1. melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis Al-‘ilmi.
Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk
menerima hadis, sehingga mereka berusaha utk selalu mengkonsentrasikan
diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Rasulullah.
2. dalam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan hadisnya melalui
para sahabat tertentu , yang kemudian mereka menyampaikannya kepada
yang lain.
3. melalui pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan Fathul
Makkah.
4. Rasulullah memberikan contoh atau suri tauladan pada kehidupan sehari-
hari.
5. Rasulullah juga mengajarkan kaum wanita, baik kepada istri-istri beliau
ataupun pada kaum muslimat di majlis.
b. Penyebaran Hadis Pada Masa Rasulullah
Penyebaran Hadis dilakukan semenjak hari pertama Rasulullah diutus untuk
berdakwah dalam penyebaran ajaran islam. Hal ini dilakukan dari hari kehari yang
mulanya secara diam-diam di Dar al-Islam, yaitu Dar al-Arqam dan selanjutnya
dilakukan secara terang-terangan.
3
2. Kesungguhan para sahabat dalam mempelajari ilmu, menghafalnya, dan
menyampaikannya pada kaum muslimin lainnya.
3. Peran para Ummul Mukminin r.a. dalam bertabligh dan menyebarkan sunnah
diantara istri-istri kaum muslimin.
4. Peran para sahabat dalam bertabligh dan menyebarkan sunnah terhadap istri-istri
mereka.
5. Penyebaran hadis diakukan sampai ke pusat-pusat pemerintahan islam, bahkan ke
pelosok suku-suku.
Setelah terbukanya kota Makkah banyak utusan-utusan bangsa arab dari
seluruh jazirah arab yang datang untuk menghadap Rasulullah dan menyatakan
berada dibawah naungan islam. Rasulullah mengajarkan islam pada mereka dan
memberi petunjuk kepada mereka. Dari mereka ada yang tinggal di Makkah dan
ada yang kembali ke asal suku mereka. Disinilah ajaran islam yang dibawa
Rasulullah tersebar ke seluruh Jazirah Arab.
Maka segala hadis yang diterima dari Rasulullah oleh para sahabat diingatnya
secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat khawatir dengan ancaman
Rasulullah untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang diterimanya.
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat
dalam kegiatan menghafal hadis ini. Pertama, karena kegiatan menghafal
merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak pra Islam dan
mereka terkenal kuat hafalannya. Kedua, Rasulullah banyak memberikan spirit
melalui doa-doanya. Ketiga, sering kali Rasulullah menjanjikan kebaikan akhirat
kepada mereka yang menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain.
Dibalik larangan Rasulullah SAW seperti pada hadis diatas, ternyata ada
beberapa sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan
terhadap hadis, para sahabat itu antara lain :
4
1. Abdullah Ibn Amr Al-‘Ash. Beliau memiliki catatan hadis yang menurut
pengakuannya dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Menurut suatu riwayat
diceritakan bahwa orang-orang Quraisy mengeritik sikap abdullah Ibn Amr, karena
sikapnya yang selalu menulis segala sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW.
Mereka berkata : “Engkau tuliskan apa saja yang datang dari Rasul, padahal Rasul
itu manusia, yang bisa saja bicara dalam keadaan marah”. Kritikan ini
disampaikannya kepada Rasulullah SAW kemudian beliau menjawabnya dengan
berkata : “ Tulislah! Demi zat yang diriku ada ditangan-Nya, tidak ada yang keluar
dari padanya kecuali yang benar”. (HR Bukhari). Hadis- hadis yang terhimpun
dalam catatannya ini sekitar seribu hadits, yang menurut pengakuannya diterima
langsung dari Rasulullah ketika mereka berdua tanpa ada orang lain yang
menemaninya.
2. Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al-Anshari (w. 78 H). Beliau memiliki catatan hadis dari
Rasulullah SAW mengenai manasik haji. hadis – hadisnya kemudian diriwayatkan
oleh Muslim. Catatannya ini dikenal dengan Sahifah Jabir.
3. Abu Hurairah Al-Dausi (w. 59 H). Beliau memiliki catatan hadis dan hadis- hadis
nya ini diwariskan kepada anaknya yang bernama Hammam.
4. Abu Syah (Umar ibn Sa’ad Al-Anmari) adalah seorang penduduk yaman. Beliau
meminta kepada Rasulullah SAW dicatatkan hadis yang disampaikannya ketika
pidato pada peristiwa fathul Mekkah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan
yang dilakukan oleh sahabat dari Bani Khuza’ah kepada salah seorang lelaki Bani
Lais. Rasulullah SAW kemudian bersabda : “Kalian tuliskan untuk Abu Syah”.
Selain nama-nama diatas, masih banyak lagi nama-nama sahabat lainnya
yang mengaku memiliki catatan-catatan hadis dan dibenarkan oleh Rasulullah
SAW. Seperti Rafi’ bin Khadij, Amr bin Hazm, dan Ibn Mas’ud.
5
Rasulullah sangat disegani dan ditaati oleh para sahabat. Mereka sadar bahwa
mentaati Rasulullah adalah wujud dalam berbakti kepada Allah SWT. Oleh
karena itu, para sahabat sangat bersungguh-sungguh dalam menerima segala
yang diajarkan oleh Nabi dan mentaatinya, baik yang berupa wahyu Al-Qur’an
dan Hadis Nabi.
Rasulullah pernah berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada
Al-Qur’an dan Hadis serta mengajarkannya kepada orang lain, sebagaimana
sabdanya: “Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, selama kalian
berpegang teguh padanya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu
Kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Al-Hadis).” (HR. Malik).
Begitu juga yang diriwayatkan Ahmad, bahwa Ali r.a.berkata: “Saya bila
mendengar dari Rasulullah sebuah Hadis, maka Allah memberikan manfaat
bagiku sesuai dengan kehendakNya, dan jika yang mengatakan kepadaku selain
Rasulullah, maka Aku akan meminta kepadanya untuk bersumpah. Jika dia mau
bersumpah, Maka aku membenarkannnya.”
6
Hadis diterima para sahabat, baik secara langsung maupun tidak langsung
dari Rasulullah. Penerimaan hadis secara langsung misalnya sewaktu Rasulullah
memberi ceramah, pengajian, khutbah atau penjelasan terhadap pertanyaan
para sahabat. Sedangkan yang tidak langsung seperti mendengar dari sahabat
lain atau dari utusan-utusan.
Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasulullah.
Pertama dengan jalan periwayatan Lafzhi (redaksinya persis seperti yang
disampaikan Rasulullah), dan kedua, dengan jalan periwayatan Maknawi
(maknanya saja).
1. Periwayatan Lafzhi
Periwayatan Lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau
matannya persis seperti yang diwurudkan Rasulullah. Ini hanya bisa dilakukan
apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasulullah.
2. Periwayatan Maknawi
Periwayatan maknawi adalah periwayatan hadis yang matannya tidak
persis sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah, akan tetapi isi atau
maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh
Rasulullah tanpa ada perubahan sedikitpun.
7
e. Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Hadis
Para sahabat tidak sama banyaknya dalam menerima dan mengetahui Hadis
dari Rasulullah, karena adanya faktor seperti tempat tinggal, pekerjaan, usia dan
hal-hal lainnya.
Para sahabat yang banyak menerima Hadis dari Rasulullah antara lain:
a. Abu Hurairah, Abdurrahman bin shakhr al-Dausi al-Yamani (19 SH-59 H).
Jumlah hadis yang diriwayatkannya 5.374 buah hadis.
b. Abdullah bin Umar bin Khathab (10 SH-73 H). Jumlah hadis yang
diriwayatkannya 2.630 buah hadis.
c. Anas bin Malik (10 SH-93 H). Jumlah hadis yang diriwayatkannya 2.286 buah
hadis.
d. Aisyah binti Abu Bakar (9 SH-58 H). Jumlah hadis yang diriwayatkannya
2.210 buah hadis.
e. Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib (3 SH-68 H). Jumlah hadis yang
diriwayatkannya 1.660 buah hadis.
f. Jabir bin Abdillah al-Anshari (6 SH-78 H). Jumlah hadis yang diriwayatkannya
1.540 buah hadis.
g. Abu Sa’id al-khudri al-Anshari (12 SH-74 H). Jumlah hadis yang
diriwayatkannya 1.170 buah hadis.
3. Hadis Pada Masa Tabi’in
Tabi’in adalah orang yang bertemu dengan sahabat dalam keadaan muslim dan
meninggal dunia dalam keadaan islam pula dan tidak hidup pada masa Nabi
Muhammad SAW.Pada masa tabi’in, islam telah meluas ke negeri syam, irak,
mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H sampai ke spanyol. Yang demikian
karena keberangkatan para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam
rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu agama.
Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan islam, penyebaran para
8
sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga masa ini dikenal
dengan masa menyebarnya periwayatan hadis (intisyar al-riwayah ila al-amshar)
Para tabi’in menerima riwayat Hadis dari para sahabat, baik di masjid-masjid
ataupun tempat lainnya. Hadis-hadis yang diterima para tabi’in, ada yang dalam
bentuk catatan-catatan dan ada pula yang dihafal.
Pada umumnya, periwayatan Hadis yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak
begitu berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat sebagai guru-guru
mereka. Adapun tokoh-tokoh Hadis dikalangan tabi’in antara lain:
Di Madinah: Sa’id bin al-Musayyab, Urwah bin Zubair, Ubaidillah bin Utbah bin
Mas’ud, dll.
Di Makkah: Ikrimah Maula Ibnu Abbas, Atha’ bin Abi Rabah, Thawus bin Kaisan,
dll.
Di Kufah: Kamil bin Zaid al-Nakha’i, Amir bin Syurahil al-Sya’bi, dll.
Di Syiria (Syam): Salim bin Abdillah al-Muharibi, Abu Idris al-Khulani, Abu
Sulaiman al-Darani, dll.
Di Yaman: Hammam bin Munabbih, Ma’mar bin Rasyid, Wahab bin Munabbih,
dll.
Dari pergolakan politik tersebut, secara langsung atau tidak langsung telah
berpengaruh pada perkembangan Hadis berikutnya, Baik yang positif ataupun
yang negatif. Pengaruh yang bersifat negatif ialah dengan munculnya Hadis-hadis
palsu (maudhu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing
kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya.
Sedangkan pengaruh yang positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang
mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin Hadis, sebagai upaya
penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolakan
politik tersebut.
9
B. Sejarah Penghimpunan (Tadwin)/Mengumpulkan Hadis
Secara luas tadwin diartikan dengan al-Jam’u (mengumpulkan). Al-Zahrani
merumuskan pengertian tadwin sebagai berikut: “Mengikat yang berserak-serakan
kemudian mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari
lembaran-lembaran.”
Sementara yang dimaksud dengan tadwin Hadis pada periode ini adalah
pembukuan (kodifikasi) secara resmi yang berdasarkan perintah kepala Negara,
dengan melibatkan beberapa orang yang ahli dibidangnya. Bukan yang dilakukan
secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi.
Permasalahan ini menggerakkan hati Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Khalifahh ke
8 dari Bani Umayah) yang menjabat Khalifah antara tahun 99-101 hijriyah untuk
menulis dan membukukan Hadis.
Ada beberapa hal pokok mengapa Umar bin Abdul Aziz mengambil sikap seperti
ini. Pertama, para penghafal Hadis semakin berkurang karena sudah banyak yang
meninggal dunia. Apabila Hadis tidak segera dikumpulkan dan dibukukan, maka
Hadis dikhawatirkan berangsur-angsur akan hilang. Kedua, sudah tidak ada
kekhawatiran tercampurnya antara Al-Qur’an dan Hadis. Ketiga, Hadis merupakan
salah satu sumber ilmu pengetahuan sehingga pembukuan Hadis sangat
diperlukan. Keempat, Khawatir akan tercampurnya antara Hadis-hadis yang sahih
dengan Hadis-hadis palsu.
10
lainnya, maka tulislah karena aku mengkhawatirkan akan merosotnya ilmu dengan
meninggalnya para ulama.”
Kemudian, Abu Bakar bin Hazm menyerukan Muhammad bin Syihab al-Zuhri,
yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui Hadis.Al-Zuhri tercatat
sebagai ulama besar pertama yang membukukan Hadis. Kebijaksanaan Khalifah
Umar bin Abdul Aziz ini oleh sejarah dicatat sebagai Kodifikasi Hadis yang pertama
secara resmi. Peristiwa tersebut terjadi di penghujung abad pertama hijriyah.
Selanjutnya, kodifikasi Hadis dilakukan pada masa dinasti Abbasiyah.
c. Gerakan Menulis Hadis Pada Kalangan Tabi’in dan Tabi’at Tabi’in Setelah Ibnu
Syihab az-Zuhri
Ada ulama ahli Hadis yang berhasil menyusun kitab tadwin, yang bisa
diwariskan kepada generasi sekarang, yaitu Malik bin Anas di Madinah, dengan
kitab hasil karyanya yaitu Al-Muwatha’. Kitab tersebut disusun pada tahun 143 H
atas permintaan khalifah Al-Mansur. Para ulama menilai Al-Muwatha’ ini sebagai
kitab tadwin yang pertama dan banyak dijadikan rujukan oleh para muhaddis
selanjutnya.
Berkat keuletan dan keseriusan para ulama pada masa ini, maka
bermunculan kitab-kitab Hadis yang hanya memuat Hadis-hadis sahih. Kitab-kitab
tersebut pada perkembangannya kemudian, dikenal dengan Kutub Al-Sittah (Kitab
induk yang enam).
11
terkenal dengan “Imam Bukhari”(194-252 H) dengan kitabnya Al-Jami’ Al-Shahih.
Kemudian Abu Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Kusairi Al-Naisaburi, yang dikenal
dengan “Imam Muslim”(204-261 H) dengan kitabnya juga disebut Al-Jami’ Al-
Shahih. Para ulama merespon kedua kitab tersebut dengan sikap menerima, dan
sepakat bahwa keduanya adalah kitab paling shahih setelah Al-Qur’an al-Karim.
Imam Nawawi berkata,”Para ulama sepakat bahwa kitab paling shahih setelah Al-
Qur’an adalah kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, sedangkan umat
menerima keduanya.”
Usaha yang sama juga dilakukan oleh Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’as bin
Ishaq Al-Sijistani (202-275 H), Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah Al-Tirmidzi
(200-279 H) dan Abu Abdillah bin Yazid bin Majah (207-273 H). Hasil karya keempat
ulama ini dikenal dengan kitab “Sunan”, yang menurut para ulama kualitasnya
dibawah karya Bukhari dan Muslim.
12
C. Masa Pemeliharaan, Penertiban, Penambahan, dan Penghimpunan Hadis
a. Kitab Athrafudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik dari sanad
kitab hadis yang dikutib matannya ataupun dari kitab-kitab lainya contohnya :
1. Athraf Al Shahihainis, oleh Al Dimasyqi (400 H)
2. Athraf Al Shahihainis, oleh Abu Muhammad khalaf Ibn Muhammad al
Wasithi
3. (401 H)
4. Athraf Al Sunnah al arrba’ah, oleh Ibn Asakir al dimasyqi (571 H)
5. Athraf Al Kutub al Sittah, oleh Muhammad Ibn Tharir al Maqdisi ( 507 H)
b. Kitab Mustadhrak, Kitab ini memuat matan Hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari atau Muslim, atau keduanya atau lainnya, dan selanjutnya penyusun
13
kitab ini meriwayatkan matan hadis tersebut dengan sanadnya sendiri,
conntoh :
1. Mustadhrak Shahih Bukhari , oleh Jurjani
2. Mustadhrak Shahih Muslim, oleh Abu Awanah (316 H)
3. Mustadhrak Bukhari Muslim, oleh Abu bakar Ibn Abdan al Sirazi (w.388 H)
c. Kitab Jami’, Kitab ini menghimpun Hadist-hadist yang termuat dalam kitab-
kitab yang telah ada yaitu yang menghimpun hadis shahih Bukhari dan
Muslim. Contohnya: Al Jami’ bayn al Shahihaini oleh Ibnu Al Furat. Al Jami’
bayn al Shahihaini oleh Muhammad bin Nashir al Humaidi (488 H),Al Jami’
bayan al Shahihaini oleh Al Baqhawi (516 H)
o Sunan al-Kubra, Karya abu Bakar Ahmad bin Husain 'Ali al-Baihaqy (384-458 H.)
o Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari, Karya Ibnu Hajar al-'Asqolany (852 H.).
Hadis pada masa abad ke 5 H sampai sekarang hanya ada sedikit tambahan dan
modifikasi kitab-kitab terdahulu. Sehingga karya-karya ulama hadits abad kelima
lebih simple dan sistematis.
14
Ilmu Rijal Al- Hadits dibagi menjadi dua, yaitu Ilmu Tawarikh Ar- Ruwah
dan ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Ilmu
Tawarikh Ar-Ruwah adalah ilmu mempelajari waktu yang membatasi keadaan
kelahiran, wafat, peristiwa/kejadian dan lain-lain. Tujuan ilmu ini adalah
untuk mengetahui bersambung (muttasil) atau tidaknya sanad suatu hadis.
Maksud persambungan sanad adalah pertemuan langsung apakah perawi
berita itu bertemu langsung dengan pembawa berita ataukah tidak atau
hanya pengakuan saja.
b. Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
Dr. Shubhi Ash-Shalih memberikan definisi Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil yaitu
ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi apa yang datang dari
keadaaan mereka, dari apa yang mencela mereka atau yang memuji mereka
dengan menggunakan kata-kata khusus. Jadi ilmu ini membahas tentang nilai
cacat (al-jarh) atau adilnya (at-ta’dil) seorang perawi dengan menggunakan
ungkapan kata-kata tertentu dan memiliki hirarki tertentu.
15
langkah-langkah apa yang dilakukan para ulama dalam menyikapi hadis-hadis
yang kontra tersebut.
16
a. Pengertian Istilah
Istilah merupakan symbol-simbol yang disepakati bersama secara
terminologi untuk mengidentifikasikan masalah dengan tujuan memudahkan
pembahasan berikutnya untuk menunjuk sesuatu yang dimaksud secara simpel
dan sederhana, sehingga sampai kepada tujuan yang dimaksud.
Kata istilah dalam bahasa Arab berasal dari kata ishthalaha, yashthalihu,
ishthilaha, artinya persesuaian paham dan tidak adanya perselisihan. Jadi kata
istilah mempunyai makna kesepakatan sekelompok orang tentang sesuatu yang
khusus. Kumpulan berbagai istilah Dallam ilmu hadis dihimpun secara sistematik
oleh para ulama, sehingga sebagian mereka menyebutkan sebagai ‘ilmu
Musthalah Al-Hadits. Kata musthalah diambil dari kata istilah tersebut. ‘Ilmu
Musthalah Al-Hadits adalah ilmu yang mempelajari tentang apa yang diistilahkan
ulama hadis dan dikenal menjadi uruf (kebiasaan) diantara mereka. Istilah-istilah
itu dijadikan ilmu yang berdiri sendiri kemudian ditambah dengan kaidah-kaidah
dan ilmu-ilmu pendukung lain sehingga para ulama beragam dalam memberikan
nama ilmu ini. Diantara mereka member nama ‘Ulumul Al-Hadits, ‘Ilmu Ushul Al-
Hadits, Ilmu Al-Hadit, dan lain-lain tergantung pada fokus materi yang diberikan
didalamnya.
2. Lambang Periwayatan
Lambang periwayatanَ َح ُّد ثُنا/ َح َّد ثَي/ْت
ُ َس ِمعdipergunakan dalam metode
As-Sama’ artinya seorang murid mendengarkan penyampaian hadis dari
seorang guru (Syaikh) secara langsung. Hadis yang menggunakan lambing
periwayatan tersebut dalam segala tingkatan sanad berarti bersambung
(muttashil), masing-masing periwayat dalam sanad bertemu langsung dengan
Syaikhnya.
Lambang periwayatan َ َأ ْخبَ َر نا/ َأ ْخبَ َرنِئdipergunakan dalam metode Al-
Qira’ah atau Al-‘Ardh artinya seorang murid membaca atau yang lain ikut
mendengarkan dan didengarkan oleh seorang guru, guru mengiyakan jika
benar dan meluruskan jika terjadi kesalahan. Dalam dunia Pesantren metode
ini dikenal dengan metode sorogan.
17
Lambang periwayatan أ ْنبا نيdalam metode ijazah seorang guru
memberikan periwayatan kepada seorang atau beberapa orang muridnya.
Murid yang diberi ijazah untuk menyampaikan periwayatan tidak sembarang
murid, akan tetapi hanya murid-murid tertentu yang memiliki kemampuan
untuk melakukan hal tersebut.
3. Matan
Kata matan atau al-matan menurut bahasa berarti: keras, kuat,
sesuatu yang Nampak dan asli. Menurut istilah matan adalah sesuatu kalimat
setelah berakhirnya sanad.
Matan hadis ini sangat penting karena yang menjadi topic kajian dan
kandungan syariat Islam untuk dijadikan petunjuk dalam beragama.
1. Amir Al-Mu’minin
18
Gelar Amil Al-Mu’minin sebenarnya diberikan kepada khalifah
Abu Bakar Ash-Siddiq dan setelahnya. Gelar Amil Al-Mu’minin dalam
hads tidak berkait dengan kekhalifahan secara formal dalam politik,
akan tetapi berkaitan dengan penguasaan hadis seseorang.
2. Al-Hakim
Al-Hakim yaitu, suatu gelar keahlian bagi para pakar hadis yang
menguasai seluruh permasalahan hadis baik matan yang diriwayatkan
maupun sanad-nya dan mengetahui hal ihwal para pewari hadis yang
adil dan yang tercela mengetahui biogografi para perawi, baik tentang
perjalanan kepada guru-gurunya dan sifat-sifatnya yang dapat diterima
maupun ditolak.
3. Al-Hujjah
Gelar Al-Hujjah diberikan kepada para pakar hadis yang
kemampuan hafalan hadisnya dapat dijadikan hujjah dan menjadi
referensi bagi para penghafal lainnya. Menurut sebagian ulama, gelar
Al-Hujjah diberikan kepada para imam yang sanggup menghafal
300.000 hadis yang diriwayatkan baik matan,sanad maupun perihal
para perawi seperti tentang keadilan, kecacatan, dan biografinya.
4. Al-Hafizh
Gelar Al-Hafizh adalah gelar ahli hadis yang dapat men-shahih-
kan para perawi hadis.
5. Al-Muhaddits
Menurut At-Taj As-Subki dalam bukunya Maw’id An-Ni’am ialah
orang yang mengetahui sanad, illat, nama para periwayat hadis baik
yang tinggi dan yang rendah.
6. Al-Musnid
Al-Musnid adalah gelar keahlian yang meriwayatkan hadis
beserta sanad-nya, baik ia menguasai benar tentang keadaan sanad
maupun tidak.
7. Thalib Al-Hadits
Thalib Al-Hadits adalah gelar yang terendah diantara sekian
gelar yang telah dijelaskan sebelumnya. Gelar Thalib Al-Hadits diberikan
kepada orang yang memulai kariernya dalam bidang hadis yaitu orang
yang mencari hadis atau yang sedang mempelajarinya.
19
1. Thabaqat
Dalam bahasa Thabaqat diartikan = kaum yang serupa atau
sebaya. Menurut istilah Thabaqat adalah kaum yang berdekatan atau
sebaya dalm usia dan dalam isnad saja.
2. Sahabat
Dari segi bahasa sahabat diambil dari kata ash-Shahabati dengan
makna Ash-Shuhbatu= persahabatan. Menurut istilah sahabat adalah
orang yang bertemu dengan Nabi dalam keadaan beragama islam dan
mati dalam islam sekalipun dipisah murtad ditengah tengah menurut
pendapat yang benar.
3. Tabi’in
Tabi’in jamak dari kata tabi’i atau tabi’ yang berarti orang yang
mengikuti atau berjalan dibelakang. Menurut istilah tabi’in adalah
orang muslim yang bertemu seorang sahabat dan mati dalam beragama
islam.
20
BABIII
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada masa permulaan Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi Muhammad SAW melarang menulis
hadis karena dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan Al-Qu’ran. Pada masa itu, di
samping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi Muhammuad SAW juga menyuruh menghafalkan
ayat-ayat Al-Qur’an. Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadis, namun hadis
masih belum dibukukan sebagaimana Al-Qur’an. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadis
setelah agama Islam tersiar di daerah-daerah yang jauh bahkan banyak di antara ulama para
penghafal Hadis yang wafat. Menurut pendapat yang populer di kalangan ulama hadis, yang
pertama-tama menghimpun hadis serta membukukannya adalah Ibnu Syihab az-Zuhri, kemudian
diikuti oleh ulama-ulama di kota-kota besar lainnya. Penulisan dan pembukuan hadis Nabi SAW
ini dilanjutkan dan disempurnakan oleh ulama-ulama hadis pada abad berikutnya, sehingga
menghasilkan kitab-kitab yang besar seperti kitab al-Muwaththa’, Kutubus Sittah dan lain
sebagainya. Ilmu hadis merupakan ilmu yang membicarakan tentang keadaan atau sifat para
perawi dan yang diriwayatkan. Ilmu hadis dibagi menjadi dua, yaitu ilmu hadis riwayah dan ilmu
hadis dirayah. Sejarah perkembangan ilmu hadis dimulai dari periode Rasulullah SAW, periode
sahabat nabi dan para ulama yang dituliskan dalam beberapa kitab karya para ulama tersebut.
Banyak sekali jumlah cabang ilmu hadis, para ulama menghitungnya secara beragam. Ibnu Ash-
Shalah menghitungnya 65 cabang, bahkan ada yang menghitung hanya 10 hingga 6 cabang
tergantung kepentingan penghitung itu sendiri ada yang menghitungnya secara terperinci dan ada
pula yang menghitungnya secara global saja, antara lain ; Ilmu Rijal Al-Hadits, Ilmu Al-Jarh wa At-
Ta’dil, ‘Ilmu ‘Ilal Al-Hadits dan sebagainya.
21
DAFTARPUSTAKA
Tengku Muhammad Hasbi, ilmu hadist (Semarang : PT PUSAKA RIZKI PUTRA, 1999),
hlm 27-48.
22