Professional Documents
Culture Documents
Dosen Pengampu:
Dr. Iwan Romadon Sitorus, MHI
Disusun Oleh :
M. Alfan Aulia 2011110062
Kemas Mulia Subakti 2011110078
PIDANADAN KLASIFIKASINYA.
Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala aali sayyidina
Muhammad. Sholawat kita haturkan kepada kekasih kita, Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang insyaa Allah kita dapatkan syafaatnya di hari akhir
kelak.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas dari dosen mata kuliah fiqih
jinayah serta insyaa Allah untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis dan
pembaca yang diharapkan dapat bermanfaat bagi dunia dan akhirat. Akhirul kalam,
kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Karena itu, kami
mengharapkan saran dan kritik para pembaca sekalian demi perbaikan di masa
mendatang.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum pidana Islam mengatur segala permasalahan kejahatan yang
dilakukan oleh seseorang, karena sudah pasti perbuatan atau kejahatan
tersebut melanggar syari’at yang ada. Seseorang yang melakukan kejahatan
akan menerima akibatnya seperti dikenakan salah satu jenis jarimah. Dalam
hukum pidana Islam, ketentuan-ketentuan tentang jarimah telah diatur
sedemikian rupa. Jadi, apabila seseorang berani melakukan sebuah kejahatan,
maka dia juga telah siap menerima jarimah sesuai kejahatan yang dia lakukan.
Umat Islam, perlu mengetahui unsur-unsur yang terkandung dalam
tindak pidana, agar sikap yang dipilihnya adalah sikap yang bijak. Karena hal
ini menyangkut pula syari’at, dimana Al-Qur’an dan As-Sunnah selamanya
akan dipegang teguh. Oleh sebab itu, dalam makalah ini penulis mengangkat
tema yang didasarkan pada pentingnya wawasan umat akan unsur-unsur
dalam tindak pidana Islam, sehingga penulis akan memaparkan masalah
tersebut dalam makalah dengan judul “Unsur-Unsur Tindak Pidana Islam.”
B. Rumusan Masalah
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Unsur-Unsur Tindak Pidana Islam
Untuk menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam
hukum Islam, diperlukan unsur normatif dan moral sebagai berikut:1 Secara
yuridis normatif disuatu aspek harus didasari oleh suatu dalil yang
menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan
hukuman. Aspek lainnya secara yuridis normatif mempunyai unsur materiil,
yaitu sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu
yang diperintahkan oleh Allah SWT.Unsur moral, yaitu kesanggupan
seseorang untuk menerima sesuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana apabila unsur-
unsurnya telah terpenuhi. Unsur-unsur ini ada yang umum dan ada yang
khusus. Unsur umum berlaku untuk semua jarimah, sedangkan unsur khusus
hanya berlaku untuk masing-masing jarimah dan berbeda antara jarimah yang
satu dengan jarimah yang lain.2
Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur umum untuk
jarimah itu ada tiga macam:
1. Unsur formal, yaitu adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan
mengancamnya dengan hukuman.
2. Unsur material, yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik
berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif).
1 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm.22
2 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2006), hlm.27-28.
2
3. Unsur moral, yaitu bahwa pelaku adalah orang mukallaf yakni orang yang
dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang
dilakukannya.3
Sebagai contoh, suatu perbuatan baru dianggap sebagai pencurian dan
pelakunya dapat dikenakan hukuman apabila memenuhi unsure-unsur sebagai
berikut :
a. Ada nash (ketentuan) yang melarangnya dan mengancamnya dengan
hukuman. Ketentuan tentang hukuman pencurian ini tercantum dalam
Surah Al-Maidah (38) yang berbunyi:
(
ِۗ. ٱ/َ ِ
ّ ٗ َ َ َ َ َ
ٰ َ ۢ َ َ ا ٓ َء َ ُ َ ِ ۡ َ ْ " َ! ُ ٓا#
ۡ َ َُ ( َ ُ ( َ
$ %&ِوٱ) رِق وٱ) ر
ِ
ُ ( َو
ٞ 34َ ٌ 6 7َ .ٱ
12ِ ِ
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah: 38)
b. Perbuatan tersebut benar-benar telah dilakukan, walaupun baru
percobaan saja. Misalnya sudah mulai membongkar pintu rumah
korban, meskipun belum mengambil barang-barang yang ada di
dalamnya.
c. Orang yang melakukannya adalah orang yang cakap (mukallaf) yaitu
baligh dan berakal. Dengan demikian apabila orang yang
melakukannya gila atau masih di bawah umur maka ia tidak dikenakan
hukuman, karena ia orang yang tidak bisa dibebani
pertanggungjawaban pidana.
3 Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al-Jinay Al-Islamiy, (Beirut: Dar Al-Kitab, t.t.), hlm.110-
111
3
B. Pengklasifikasian Unsur-Unsur Tindak Pidana Islam
1. Unsur Formal Jarimah
Suatu perbuatan baru dianggap sebagai jarimah (tindak pidana) apabila
sebelumnya sudah ada nash (ketentuan) yang melarang perbuatan tersebut dan
mengancamnya dengan hukuman. Unsur ini disebut unsur formal jarimah.
Dalam membicarakan unsur formal ini, terdapat lima masalah pokok sebagai
berikut:
a. Asas legalitas dalam hukum pidana Islam
Salah satu kaidah yang penting dalam syariat Islam adalah : “Sebelum
ada nash (ketentuan), tidak ada hukuman bagi perbuatan orang-orang
yang berakal sehat.”4
Kaidah di atas juga identik dengan kaidah lain yang berbunyi: “Pada
dasarnya semua perkara dibolehkan, sehingga ada dalil yang menunjukan
keharamannya.”5
Kesimpulan dari kaidah tersebut adalah sebagai berikut: “Suatu
perbuatan atau sikap tidak berbuat tidak boleh dianggap sebagai jarimah,
kecuali karena adanya nash (ketentuan) yang jelas yang melarang perbuatan
dan sikap tidak berbuat tersebut. Apabila tidak ada nash yang demikian
sifatnya, maka tidak ada tuntutan atau hukuman atas pelakunya.”6
Asas legalitas yang terkenal di dalam hukum positif telah ada sejak
Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat-ayat yang
menggambarkan adanya asas legalitas diantaranya adalah Surah Al-Isra ayat
15 dan Al-Qashash ayat 59. Dengan demikian maka syariat Islam telah
mengenal lebih dahulu asas ini.
b. Sumber-sumber aturan-aturan pidana Islam
4 Ibid, hlm.115
5 Jalaluddin As-Sayuthi, Al Asybah wa An Nazhair fi Al Furu’, Dar Al Fikr, t.t., hlm.43
6 Abdul Qadir Audah, op.cit, hlm.116
4
Jumhur ulama telah sepakat bahwa sumber hukum Islam pada umumnya
ada empat, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’, dan qiyas. Untuk hukum
pidana Islam formil, atau hukum acara pidana semua sumber hukum
tersebut bisa terpakai. Akan tetapi, penggunaan qiyas dalam jarimah
tertentu masih diperdebatkan oleh para fuqaha.
c. Masa berlakunya aturan-aturan pidana Islam
Menurut hukum pidana Islam ketentuan tentang masa berlakunya
peraturan pidana ini, pada prinsipnya sama dengan hukum positif. Seperti
halnya dalam hukum positif, peraturan pidana dalam hukum Islam berlaku
sejak ditetapkannya dan tidak berlaku terhadap peristiwa yang terjadi
sebelum peraturan itu dikeluarkan. Dengan demikian peraturan pidana
dalam hukum pidana Islam juga tidak berlaku surut.7 Hal ini juga
dijelaskan oleh Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 22-23, Al-Maidah ayat 38.
d. Lingkungan berlakunya aturan-aturan pidana Islam
Dalam hubungan dengan lingkungan berlakunya peraturan pidana
Islam, secara teoritis para fuqaha membagi dunia ini kepada dua bagian,
yaitu Negeri Islam dan Negeri Bukan Islam. Termasuk kelompok negeri
Islam adalah negeri-negeri dimana hukum Islam tampak di dalamnya,
karena penguasanya adalah penguasa Islam. Juga termasuk dalam
kelompok ini, negeri dimana penduduknya yang beragama Islam dapat
menjalankan hukum-hukum Islam. Termasuk dalam kelompok negeri
bukan Islam adalah negeri-negeri yang tidak dikuasai oleh kaum muslimin
atau negeri dimana hokum Islam tidak dijalankan walaupun di sana
terdapat umat Islam.
e. Asas pelaku atau terhadap siapa berlakunya aturan-aturan pidana Islam
Hukum pidana syariat Islam khususnya dalam pelaksanaannya tidak
membeda-bedakan tingkatan manusia. Sejak pertama kali diturunkan
7 Ibid, hlm.261
5
syariat Islam memandang bahwa semua orang di depan hukum itu sama
tingkatannya. Tidak ada perbedaan antara orang kaya dan miskin, dan
sebagainya. Dalam Islam perbedaan tingkatan itu hanya satu, yaitu yang
paling takwa. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujurat: 13
ْ ٓ ُ َ َ َ َ ٓ َ َ َ ٗ ُ ُ ۡ ُ َ ۡ َ َ َ َ ُ َ َ َ ّ ُ َ ۡ َ َ ( ُ ( َ K َ Mَ
ۚ ا$ِ ر9 :ِ; " = < و1>ٰ?@ وA ٰ وأDٖ ذ/ِ 1>ٰ?F@G ِ س إJ ٱL
ٞN Gَ 12ِ
ٌ @7َ .ٱ ُ ٰ ََۡ ( َ ۡ ُ ََ ۡ َ (
َ ( إ (ن1ۡ >
ِ ِ ۚ PFQ ِ. ٱRِ7 1> DSإِن أ
6
(jinayah atau janhah), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai atau
berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan
kehendak pelaku.”8
Untuk mengetahui sampai dimana suatu perbuatan percobaan dapat
dihukum maka terdapat tiga fase pelaksanaan jarimah, yaitu fase
pemikiran dan perencanaan, fase persiapan, dan fase pelaksanaan.
Pada fase pemikiran dan perencanaan, memikirkan dan merencanakan
suatu jarimah tidak dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi hukuman,
karena menurut ketentuan yang berlaku dalam syariat Islam, seseorang
tidak dapat dituntut atau dipersalahkan karena lintasan hatinya atau niat
yang terkandung di dalam hatinya. Hal ini didasarkan kepada hadis Nabi
SAW: Abu Hurairah ra. Berkata : Nabi SAW telah bersabda :
“Sesungguhnya Allah mengampuni umatku karena aku atas apa yang
terlintas dalam hatinya, selama belum dikerjakan atau diucapkan.”9
Fase persiapan juga tidak dianggap sebagai maksiat yang dapat
dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang
sebagai maksiat. Akan tetapi mazhab Hambali dan Maliki, perbuatan
persiapan dipandang sebagai perantara kepada perbuatan yang haram dan
hukumnya adalah haram. Sehingga dengan demikian pelakunya
dikenakan hukuman.
Fase pelaksanaan, pada fase inilah perbuatan pelaku dapat dianggap
sebagai jarimah. Untuk dikenakan hukuman maka dalam hal ini cukup
apabila perbuatan itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat.
b. Turut serta melakukan jarimah
7
Turut serta melakukan jarimah itu ada dua macam yaitu turut serta
secara langsung dan secara tidak langsung. Turut serta secara langsung
terjadi apabila orang yang melakukan jarimah dengan nyata lebih dari
satu orang. Turut berbuat tidak langsung adalah setiap orang yang
mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu
perbuatan yang dapat dihukum, menyuruh (menghasut) orang lain atau
memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut disertai dengan
kesengajaan.
c. Unsur Pertanggungjawaban (Moral) Jarimah
1) Pertanggungjawaban pidana
Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam
adalah pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau adanya
perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang
tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu.10
Orang yang harus bertanggung jawab atas suatu kejahatan
adalah orang yang melakukan kejahatan itu sendiri, bukan orang lain.
Faktor yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban pidana adalah
perbuatan maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan yang dilarang oleh
syara’ atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan oleh syara’.
2) Hapusnya pertanggungjawaban pidana
Pertanggungjawaban pidana dapat dihapus karena hal-hal yang
bertalian dengan perbuatan atau karena bertalian dengan keadaan
pelaku. Sebab-sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang disebut
asbab al-ibahah. Sedangkan sebab-sebab yang berkaitan dengan
keadaan pelaku disebut asbab raf’i al-uqubah atau sebab hapusnya
hukuman.
10 A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm.121.
8
Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa sebab
dibolehkannya perbuatan yang dilarang itu ada enam macam, yaitu
pembelaan yang sah, pendidikan dan pengajaran, pengobatan,
permainan olahraga, hapusnya jaminan keselamatan, menggunakan
wewenang dan melaksanakan kewajiban bagi pihak yang berwajib.
Sedangkan sebab-sebab hapusnya hukuman itu ada empat macam,
yaitu paksaan, mabuk, gila, dan di bawah umur.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Unsur-unsur umum untuk jarimah itu ada tiga macam:
1. Unsur formal, yaitu adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan
mengancamnya dengan hukuman.
2. Unsur material, yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik
berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif).
3. Unsur moral, yaitu bahwa pelaku adalah orang mukallaf yakni orang yang
dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya
Klasifikasi unsur-unsur jarimah:
1. Unsur formal jarimah, meliputi asas legalitas, sumber-sumber aturan
pidana Islam, masa berlaku, lingkungan berlaku, serta terhadap siapa aturan
itu berlaku.
2. Unsur materiil jarimah, meliputi percobaan dan turut serta melakukan
tindak pidana Islam.
3. Unsur moral (pertanggungjawaban) jarimah, meliputi pertanggungjawaban
pidana dan hapusnya pertanggung jawaban pidana.
10
DAFTAR PUSTAKA
11