You are on page 1of 10

PURNAMA-TILEM: KONSEP RWA BHINNEDA PADA WARIGA DI BALI

Wasudewa Bhattacarya
Kementerian Agama Surabaya
E-mail: wasudewabhattacarya06@gmail.com

Abstract:
The spread of Hinduism from India to Indonesia is the result of acculturation of culture which then
brought the concepts of Astronomy-Astrology in Jyotiṣa to Indonesia and Bali. Arriving in Bali, the
concept of Astronomy-Astrology is known as Wariga. Wariga’s existence gave rise to holy days in
the implementation of Yajña. One of them is the holy day of Purnama-Tilem. The determination of
this holy day is based on the appearance of the moon from the earth as a repetitive cycle. If the
moon appears perfectly round from the earth, it is called Purnama (Full Moon), whereas if the
moon is not visible from the earth it is called Tilem (Dark Moon). This shows that there are two
very basic differences in determining Purnama and Tilem. Dualistic this difference in Hinduism
is called Rwa Bhinneda. Rwa Binneda is a polarization of life that speaks of all forms of dualism
such as, top down, right left, dark light, and so on. Based on manuscipts in Bali, the existence of
Purnama and Tilem shows a dualism in Hindu Theology called Sanghyang Rwa Bhinneda there
are Sanghyang Wulan and Sanghyang Surya at the level of Saguṇa Brahman. The dualism of the
difference between Purnama and Tilem also influences Bhuwana Agung and Bhuwana Alit. The
difference in the meaning of Purnama and Tilem is not something bad, but through this difference
will bring about a balance between God, humans and the universe so that all beings will be able to
reach the Moksartham Jagadhita ya ca iti Dharma.
Keywords: Purnama, Tilem, Rwa Bhinneda, Wariga

Abstrak:
Penyebaran Agama Hindu dari India ke Indonesia menyebabkan terjadinya akulturasi budaya yang
selanjutnya membawa konsep-konsep Astronomi-Astrologi atau tarikh dalam Jyotisa ke Nusantara
hingga ke Bali. Sesampainya di Bali, konsep Astronomi-Astrologi ini dikenal dengan sebutan
Wariga. Keberadaan Wariga ini memunculkan adanya hari-hari suci dalam pelaksanaan Yajña. Salah
satunya adalah hari suci Purnama-Tilem. Munculnya hari suci Purnama-Tilem dalam masyarakat
Bali ditentukan melalui sistem Wariga melalui kenampakan bulan dari bumi. Kenampakan bulan
dari bumi merupakan sebuah siklus yang berulang-ulang. Apabila bulan tampak bulat sempurna
dari bumi, maka disebut Purnama (Bulan Penuh), sedangkan apabila bulan tidak tampak dari
bumi maka disebut Tilem (Bulan Baru). Hal ini menunjukkan adanya dua perbedaan yang sangat
mendasar dalam penentuan Purnama dan Tilem. Dualistis perbedaan ini dalam Hindu disebut
dengan Rwa Bhinneda. Rwa Binneda adalah sebuah polarisasi kehidupan yang berbicara tentang
segala bentuk dualisme seperti, atas bawah, kanan kiri, gelap terang, dan sebagainya. Berdasarkan
pada lontar di Bali, keberadaan Purnama dan Tilem menunjukkan dualism pada Teologi Hindu yakni
Sanghyang Rwa Bhinneda antara lain Sanghyang Wulan dan Sanghyang Surya pada tataran Saguṇa
Brahman. Dualisme pada Purnama dan Tilem juga mempengaruhi Bhuwana Agung dan Bhuwana
Alit. Perbedaan makna dari Purnama dan Tilem bukanlah sesuatu yang buruk, melainkan melalui
perbedaan ini akan muncul keseimbangan antara Tuhan, manusia dan alam semesta sehingga semua
makhluk dapat mencapai Mokshartam Jagadhita ya ca iti Dharma.
Kata Kunci: Purnama, Tilem, Rwa Bhinneda, Wariga

34 YOGA DAN KESEHATAN Volume 2, No.1,Juni 2019


I. Pendahuluan Kenampakan bulan dari bumi merupakan sebuah
Penentuan waktu pelaksanaan upacara Yajña siklus yang berulang-ulang. Apabila bulan tampak
dalam agama Hindu tidaklah sembarangan. Umat bulat sempurna dari bumi, maka disebut Purnama,
Hindu memiliki pedoman utama terkait dengan sedangkan apabila bulan tidak tampak dari
waktu pelaksanaan upacara Yajña. Pedoman bumi maka disebut Tilem. Hal ini menunjukkan
tersebut terdapat dalam pustaka suci Jyotiṣa. adanya dua perbedaan yang sangat mendasar
Jyotiṣa merupakan bagian dari Vedāṅga yang dalam penentuan Purnama dan Tilem. Dualistis
merupakan bagian dari Veda Sṁṛti. Jyotiṣa perbedaan ini dalam Hindu disebut dengan Rwa
adalah ilmu Astronomi dan Astrologi (Titib, Bhinneda. Rwa Binneda adalah sebuah polarisasi
1996: 124). Jyotiṣa merupakan pustaka suci yang kehidupan yang berbicara tentang segala bentuk
menguraikan tentang peredaran tata surya, bulan dualisme seperti, atas bawah, kanan kiri, gelap
dan badan angkasa lainnya yang diyakini terang, dan sebagainya. Adanya perbedaan ini
memiliki pengaruh dalam pelaksanaan Yajña. Hal bukan berarti sesuatu yang buruk, namun salah
ini sesuai dengan kepercayaan umat Hindu dalam satu cara untuk memahami sebuah kebenaran.
melaksanakan upacara Yajña memerlukan hari Oleh karena itu, keberadaan Purnama dan Tilem
dan waktu yang tepat, seperti halnya dalam menunjukkan salah satu konsep Rwa Bhinneda di
melaksanakan upacara Agnihotra dan upacara Bali.
lainnya agar pelaksanaan Yajña tersebut dapat
berjalan lancar dan berhasil. II. Pembahasan
Penyebaran Agama Hindu dari India ke II. 1Siklus Purnama-Tilem dalam Sistem Wariga
di Bali
Indonesia menyebabkan terjadinya akulturasi
Keberadaan hari suci Purnama dan Tilem
budaya yang selanjutnya membawa konsep-
menunjukkan para nenek moyang jaman dahulu
konsep Astronomi-Astrologi atau tarikh dalam
sudah memiliki interpretasi yang baik terhadap
Jyotisa ke Nusantara hingga ke Bali. Sesampainya
benda-benda di langit yang berpengaruh terhadap
di Bali, konsep Astronomi-Astrologi ini dikenal
kehidupan manusia. Menurut Raras (2004: 6),
dengan sebutan Wariga. (Aryana, 2007: 13).
Purnama dan Tilem sudah dirayakan oleh nenek
Dahulu masyarakat banyak menyebutnya dengan
moyang di nusantara, sebelum pengaruh Hindu
Wariga Dewasa dan saat ini lebih dikenal dengan
datang ke Indonesia. Berdasarkan sumber-sumber
Wariga saja. Terbentuknya Wariga dalam bahasa
yang dapat dipercaya, bahwa hari suci Purnama
Bali bersumber dari kata wara + ika (wara ika)
Tilem erat kaitannya dengan keberadaan Dinasti
yang tidak disandisuarakan, fenomena ini biasanya
Candra. Dinasti Candra menganggap bahwa
terlihat pada struktur bahasa Pengawi Bali,
leluhurnya dahulu berasal dari keturunan suci,
kemudian dalam perkembangannya kata wara –
yang diturunkan ke bumi sebagai Dwa Candra atau
ika mengalami proses fonemis hingga menjadi
Dewa Bulan. Sakti atau istri dari Dewa Candra itu
Wariga, sebab ada sedikit kesulitan artikulator
disebut dengan Dewi Soma. Dewa Candra dan
dalam melafalkan kata wara ika dibanding Wariga.
Dewi Soma inilah yang kemudian menurunkan
Kalimat pendek wara-ika berarti hari yang baik
wangsa Candra.
itu atau itu hari yang baik (Aryana, 2006: 2).
Dalam kurun waktu yang berabad-abad
Keberadaan Wariga ini memunculkan
kemudian keturunan bangsa dari Dinasti Candra
adanya hari-hari suci dalam pelaksanaan Yajña.
muncul kepercayaan bahwa bulan Purnama dan
Salah satunya adalah hari suci Purnama-Tilem.
Tilem sebagai hari suci bersangkutan. Kepercayaan
Munculnya hari suci Purnama-Tilem dalam
ini kemudian dianut oleh berbagai kepercayaan di
masyarakat Bali ditentukan melalui sistem
Wariga melalui kenampakan bulan dari bumi.
YOGA DAN KESEHATAN Volume 2, No.1,Juni 2019 35
belahan negeri Timur dari berbagai sekta. Akhirnya ke-14 atau Penanggal ping 14 disebut dengan
hari suci Purnama dan Tilem juga dipercayai oleh Purwani/ Prawani, yaitu keadaan sehari menjelang
umat Hindu di Nusantara hingga ke Bali (Raras, bulan mati atau tidak kelihatan di bumi. Panglong
2004: 7). Keberadaan Purnama dan Tilem di Bali ping 15 disebut dengan Tilem, yaitu bulan dalam
selalu berkaitan dari ajaran Wariga. keadaan tidak kelihatan di bumi. Penanggal/
Keberadaan Purnama dan Tilem salam Panglong tersebut selalu berulang ulang selama
sistem Wariga di Bali tidak bisa dilepaskan 30 hari yang terdiri dari 15 hari Penanggal dan
dengan Penanggal/ Panglong. Sistem Penanggal/ 15 hari Panglong. Hal ini menunjukkan hari suci
Panglong adalah peredaran bulan sebagai satelit Purnama dan Tilem pada umumnya dilaksanakan
bumi yang juga mempunyai pengaruh besar setiap 30 hari sekali yang disesuaikan pula dengan
terhadap alam semesta beserta isinya (Ariana dan Sasih pada saat jatuhnya Purnama dan Tilem
Budayoga, 2016: 59). Hal ini berarti Penanggal/ tersebut
Panglong adalah penentuan baik buruknya suatu Berdasarkan uraian tesebut, keadaan bulan
hari berdasarkan pada pengaruh posisi bulan dan dari bumi terlihat berubah-ubah sesuai dengan
kenampakan bulan bagi kehidupan manusia di fasenya pada waktu-waktu tertentu. Hal inilah
bumi. yang dijadikan pedoman dalam Wariga di Bali.
Adanya Penanggal/ Panglong merupakan Perubahan atau fase bulan selama mengalami
sebuah siklus yang berlangsung berulag-ulang. Penanggal dan Panglong diilustrasikan seperti
Penanggal atau Tanggal disebut juga dengan gambar berikut ini.
Sukla Paksa. Penanggal adalah adalah hari-hari
sesudah bulan mati/ tilem yang lamanya 15 hari.
Perhitungan satu sampai 15 hari itu disebut dengan
Penanggal. Sehari sesudah tilem disebut dengan
Penanggal ping 1 (Apisan), dua hari sesudah tilem
disebut dengan Penanggal ping 2 (ping Kalih/
pendo), demikian selanjutnya hingga Penanggal
ping 13 (telu welas). Penanggal yang ke-14 atau
Penanggal ping 14 disebut dengan Purwani/
Prawani, yaitu keadaan sehari menjelang bulan
penuh kelihatan di bumi. Penanggal ping 15
disebut dengan Purnama, yaitu bulan dalam
keadaan penuh atau bulat sempurna kelihatan dari
Gambar 2.1
bumi.
Ilustrasi Fase Bulan Purnama, Tilem, Penanggal
Panglong disebut juga dengan Kresna Paksa. dan Panglong
Panglong adalah adalah hari-hari sesudah bulan (Sumber: Penulis, 2018)
penuh/ purnama yang lamanya 15 hari. Hal ini
berarti hari-hari yang mana bulan nampak tidak
Berdasarkan ilustrasi bulan Penanggal/
penuh sedikit demi sedikit hingga tidak kelihatan
Panglong tersebut, kenampakan bulan dari bumi
dari bumi. Sehari sesudah purnama disebut
setiap harinya berubah-ubah seusai dengan
dengan Panglong ping 1 (Apisan), dua hari
hitungan Penanggal/ Panglong. Pada saat bulan
sesudah purnama disebut dengan Panglong ping 2
Purnama, kenampakan bulan terlihat penuh dari
(ping Kalih/ pendo), demikian selanjutnya hingga
bumi, kemudian mulai memasuki Panglong 1,
panglong ping 13 (telu welas). Panglong yang

36 YOGA DAN KESEHATAN Volume 2, No.1,Juni 2019


maka kenampakan bulan akan berkurang sekitar adalah selama kurang lebih setiap tiga tahun sekali
1/15 (satu per lima belas) bagian dari ukuran terjadi penambahan Śaśih atau bulan ke-13, untuk
bulan, kemudian pada Panglong 2, kenampakan menyesuaikan tahun bulan dengan tahun matahari.
bulan akan berkurang 2/15 bagian dari ukuran Pada satu Śaśih pada umumnya terdiri dari 29/
bulan, begitu seterusnya berkurang setiap harinya 30 hari, yang terbagi menjadi dua bagian yaitu
hingga pada saat bulan sama sekali tidak nampak Penanggal/ Panglong. Hal ini berarti Penanggal/
dari bumi yaitu Tilem atau bulan baru. Fase Panglong berkaitan dengan Śaśih. Jika satu Śaśih
bulan Tilem menuju Purnama juga mengalami berumur 29 hari berarti terjadi pengalihan pada
proses yang sama, yang mana pada setiap harinya bulan tersebut yang disebut dengan Ngunalatri
bulan akan mulai nampak 1/15 bagian mulai dari yang berarti waktu saat hilangnya satu malam
Pananggal 1 sampai dengan Purnama. pada hari tertentu. Pengalihan tersebut terjadi
Dalam penggunaan Padewasan atau setiap 63 hari sekali dengan perhitungan rumus
menentukan baik buruknya waktu lebih tertentu. Hal inilah yang menyebabkan dalam
banyak menggunakan Penanggal. Hal tersebut Wariga di Bali terjadi penambahan Śaśih setiap
dikarenakan Penanggal merupakan hari-hari kurun waktu tiga tahun sekali.
menuju bulan terang atau Purnama, hal ini Keberadaan Śaśih tersebut pada umumnya
dikonotasikan oleh masyarakat Bali apabila pada digunakan untuk mencari rentang hari baik
hari-hari Penanggal melaksanakan suatu kegiatan bercocok tanam dan bulan-bulan yang baik untuk
akan mencapai terang atau kebaikan. Hal tersebut melakukan upacara tertentu. Oleh karena itu
juga diadopsi oleh ahli pembuat kalender Bali, keberadaan Śaśih menjadi hal yang penting bagi
sehingga pada penujukan Penanggal 1 sampai 15 masyarakat Hindu di India dan Bali. Keberadaan
pada umumnya menggunakan tinta warna merah Śaśih tersebut berkaitan dengan keberadaan bulan
yang identik dengan hal yang terang. Śaka di India dan Masehi. Hal tersebut dapat
Keberadaan Purnama dan Tilem juga tidak diuraikan dalam tabel berikut ini.
bisa dilepaskan dengan Śaśih pada sistem Wariga di Tabel 2.1
Bali. Śaśih adalah ilmu yang berhubungan dengan Tabel Perbandingan Śaśih Bali, Śaka India,
penentuan musim berdasarkan peredaran gerak dan Bulan Masehi
semu matahari mengelilingi bumi (Ariana dan No Śaśih Bali Śaka India Bulan Interval
Budayoga, 2016: 190). Hal ini berarti perhitungan Masehi
1 Kasa Śrawana Juli – 30/ 29 hari
Śaśih memperhitungkan posisi tertentu pada saat Agustus
bumi beredar pada sumbunya pada momen yang 2 Karo Bhadrapāda Agustus – 29/ 30 hari
September
berhadapan dengan matahari dan bulan. Ardhana 3 Katiga Aświna September 30/ 29 hari
– Oktober
(2005: 13) menyebutkan bahwa Śaśih adalah 4 Kapat Kārtika Oktober – 29/ 30 hari
Nopember
bulan. Dalam kurun waktu satu Śaśih disamakan 5 Kalima Mārgaśirṣa Nopember – 30/ 29 hari
Desember
dengan satu bulan. Śaśih juga disebut Masa. 6 Kanem Pauṣya Desember – 29/ 30 hari
Januari
Masa dapat diartikan waktu sehubungan dengan 7 Kapitu Māgha Januari – 30/ 29 hari
umurnya tahun. Februari
8 Kawolu Phālguna Februari – 29/ 30 hari
Keberadaan Śaśih ini sama dengan Maret
kalender Internasional yakni berjumlah 12 Śaśih 9 Kasanga Caitra Maret
April
– 30/ 29 hari

dalam kurun waktu setahun. Perhitungannya 10 Kadaśa Waiśākha April – Mei 29/ 30 hari
menggunakan perhitungan Rasi sesuai dengan 11 Deṣtha Jyeṣtha Mei – Juni 30/ 29 hari
tahun surya/ matahari (12 Rasi = 365/366 hari).
Perbedaannya dengan kalender internasional

YOGA DAN KESEHATAN Volume 2, No.1,Juni 2019 37


12 Sadha Āṣādha Juni – Juli 29/ 30 haripengetahuantentang ketuhanan (mengenai sifat
A
llah, dasar kepercayaan kepada Allah dan agama,
(Sumber: Ardhana, 2005: 13)
terutama berdasar pada kitab suci). Secara harfiah
Setiap Śaśih terdapat satu Purnama dan satu Teologi berarti ‘studi tentang Allah”, di mana
Tilem. Hal ini berarti dalam satu tahun terdapat 12 secara etimologi kata Teologi berasal dari kata
Purnama dan 12 Tilem. Namin, dalam perhitungan Yunani theos, yang berarti ‘Tuhan’ dan akhiran –
Wariga terdapat penambahan satu Purnama dan logy dari kata Yunani logos yang berarti (dalam
satu Tilem pada saat Śaśih Mala yang jatuh setiap konteks ini) ‘wacana’, ‘teori’, atau ‘penalaran’.
3 tahun sekali. Begitu pula siklus Purnama dan Secara umum, teologi adalah studi iman agama,
Tilem secara berulang-ulang. Penamaan Purnama praktik dan pengalaman atau spiritualitas (Donder,
dan Tilem tersebut menyesuaikan dengan jatuhnya 2009: 1). Dalam agama Hindu istilah teologi
Śaśih. Misalnya apabila terjadi Purnama dan Tilem dikenal dengan Brahma Vidyā atau Brahma Tattva
pada Śaśih Kasa maka nama Purnama dan Tilem Jñāna. Kata “Brahma” dalam pengertian diatas
pada Śaśih tersebut adalah Purnama Kasa dan dinyatakan sebagia Tuhan, kata Vidyā atau Jñāna
Tilem Kasa. Begitu pula selanjutnya hingga Śaśih
berarti ilmu atau pengetahuan, dan Tattva berarti
Sadha. Masyarakat Hindu di Bali pada umumnya
hakekat tentang Tat atau itu (Tuhan dalam bentuk
melaksanakan perayaan hari suci yang berbeda-
Nirguṇa Brahman). Sehingga yang dimaksud
beda pada setiap Purnama dan Tilem tersebut.
Brahma Tattva Jñāna adalah pengetahuan atau
ilmu tentang Tuhan.
II.2 Konsep Rwa Bhinneda pada Purnama-
Tilem Teologi Hindu menggunakan pendekatan teks
Secara harfiah, istilah Rwa Bhinneda terdiri dan kitab suci sebagai acuan dalam mengetahui
dari dua kata, yaitu Rwa dan Bhinneda. Kata Rwa Tuhan. Di Bali, acuan tersebut pada umumnya
berarti dua dan Bhinneda berarti berbeda. Dengan tertulis dalam lontar-lontar. Keberadaan lontar-
demikian, Rwa Bhinneda merupakan konsep lontar di Bali banyak menjelaskan mengenai
dualistis yang menyebabkan dunia menjadi Wariga dan penjelasanan tentang hari suci.
harmoni. Hal ini berarti Rwa Bhinneda adalag
Salah satunya adalah lontar Sundarigama. Pada
keseimbangan hidup manusia dalam dimensi
umumnya masyarakat Bali menggunakan acuan
dualistis, yaitu oercaya terhadap adanya dua
lontar atau teks Sundarigama dalam melaksanakan
kekuatan yang sangat dasyat (Rai, 2001: 148).
perayaan hari suci, karena teks Sundarigama
Memahami Rwa Bhinneda berarti memahami secara kompleks menjelaskan mengenai hari-
tentang perbedaan, esensi dari perbedaan, dan hari suci yang ada di Bali beserta tuntunan secara
harmonisasi dari perbedaan. Purnama dan Tilem
praktis terkait dengan upacara dan banten yang
yang dirayakan oleh umat Hindu merupakan
digunakan pada hari-hari suci tersebut. Disamping
simbolis konsep Rwa Bhinneda. Purnama dan
itu, penjelasan dalam teks Sundarigama juga
Tilem mengingatkan manusia akan adanya dua
banyak menguraikan mengenai makna hari suci
sisi yang saling bertentangan dalam kehidupan ini
namun saling melengkapi dan dapat menyebabkan bagi intern umat manusia yang disesuikan dengan
kehidupan ini menjadi harmonis. ajaran agama Hindu.

Konsep Rwa Bhinneda pada Purnama- Tilem Dalam teks Sundarigama juga menjelaskan
dalam Teologi Hindu mengenai hari suci Purnama dan Tilem yakni
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim, sebagai berikut.
2008: 1444) menyebutkan bahwa Teologi adalah

38 YOGA DAN KESEHATAN Volume 2, No.1,Juni 2019


Mwah hana way reresik ira Sanghyang Penggunaan istilah Sanghyang menunjukkan
Rwabhineda, mekadi Sanghyang Surya bahwa konsep Teologi pada Purnama dan Tilem
Chandra, yatik ring Purnama mwang ring pada tataran wilayah kognitif teologi Saguṇa
tilem. Brahman. Istilah Sanghyang merupakan kata
Yen ring Purnama, Sanghyang Wulan sandang untuk Tuhan atau Brahman yang sudah
mayoga ring Tilem, Sanghyang Surya bermanifestasi serta memiliki fungsi dan atribut.
mayoga. Samangkana ika sang Purohita Saguṇa Brahman adalah salah satu jalan atau
tekeng jadma sa kawangan ira, wenang cara menghayati dan meyakini Tuhan dalam
ahening adnyana, haturakna wangi-wangi, berbagai aspek manifestasi-Nya (Donder, 2009:
canang biasa ring sarwa Dewa, mapan 584). Hal ini menunjukkan masyarakat Bali telah
lakunia ring sargha gocara, puspawangi. memiliki penghayatan dan keyakinan terhadap
Tuhan dengan baik.
Terjemahan: Petikan teks Sundarigama tersebut juga
Dan ada pula hari suci terhdap Sanghyang mengambarkan Teologi Pantheisme. Menurut
Rwa Bhineda, yakni Sanghyang Surya Titib (1996: 87) menyebutkan bahwa Pantheisme
dan Sanghyang Ratih, itulah yang pada adalah keyakinan bahwa dimana-mana serba Tuhan
hari Purnama dan hari Tilem. Kalau hari atau setiap aspek alam digambarkan dikuasai oleh
Purnama, Sanghyang Wulanlah yang Tuhan. Pendapat lainnya menguraikan bahwa
beryoga, demikian pula kalau Tilem, pantheisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu akar
Sanghyang Suryalah yang beryoga. kata pan yang artinya ‘segala sesuatu’, dan akar
Demikianlah bagi para Sulinggih dan kata theos yang berarti ‘Tuhan’. Jadi, panteisme
setiap umat, patutlah melakukan penyucian adalah kepercayaan yang mengajarkan bahwa
diri, dengan menghaturkan wangi-wangi, segala sesuatu adalah Tuhan (Donder, 2009: 567).
canang biasa yang disuguhkan kepada Hal ini sesuai dengan petikan sastra agama Hindu
para Dewa. Dan oleh karena perbuatan itu yakni “Śarvaṁ khalvidaṁ Brahman” yang
dilakukan dalam ciptaan Tuhan, wajarlah artinya semuanya ini adalah Tuhan.
bila dilakukan denga air suci, serta bunga
serba harum (Suandra, 2003: 11). Pantheisme dalam petikan teks tersebut
ditunjukkan pada Tuhan yang menguasai bulan
Petikan teks tersebut menjelaskan bahwa pada dan matahari dalam aspek Sanghyang Wulan dan
saat hari Purnama dan Tilem merupakan pemujaan Sanghyang Surya yang beryoga pada Purnama dan
terhadap Sanghyang Rwa Bhinneda. Pada saat hari Tilem. Hal tersebut berarti bahwa Tuhan tersebut
Purnama maka beryogalah Sanghyang Wulan, berada dalam aspek-aspek alam dan keseluruhan
sedangkan pada saat hari Tilem maka beryogalah alam ini selalu diliputi oleh Tuhan. Semua yang
Sanghyang Surya. Hal ini menunjukkan dua hal ada di alam semesta ini adalah wujud dari Tuhan
yang berbeda, namun tidak bisa dipisahkan dan sehingga semuanya ini adalah Tuhan itu sendiri.
saling melengkapi, yaitu keberadaan Sanghyang Hal tersebut sesuai dengan petikan pustaka suci
Wulan dan Sanghyang Surya. Sanghyang Wulan Bhagavad Gītā sebagai berikut.
merupakan dewata sebagai penguasa bulan, dan
Sanghyang Surya merupakan dewata sebagai Raso’ ham apsu kaunteya
penguasa matahari. Matahari dan bulan adalah Prabhā’smi sasisūryayoh,
dua hal yang berbeda, namun saling melengkapi Pranavah sarvavedeshu
Sabdah khe paurusham nrishu.
satu sama lain.
(Bhagavad Gītā VII. 8)

YOGA DAN KESEHATAN Volume 2, No.1,Juni 2019 39


Terjemahan: Konsep Rwa Bhinneda pada Purnama
Aku adalah rasa dalam air, Kuntiputra, Aku dan Tilem di alam semesta yang sangat jelas
adalah cahaya pada bulan dan matahari, dan dapat dibuktikan secara rasional empiris
Aku adalah AUM dalam Kitab Suci adalah terjadinya pasang naik dan pasang surut
Veda, Aku adalah suara pada ether dan
air laut. Keberadaan bulan Purnama dan Tilem
kemanusiaan pada manusia (Maswinara,
mempengaruhi pasang naik dan pasang surut air
2003: 285).
laut. Hal tersebut dikarenakan bulan dan bumi
Maya tatam idam sarvam memiliki gravitasinya masing-masing. Kedua
jagad avyaktamurtina, gaya gravitasi ini akan mempengaruhi satu sama
Matsthani sarvabhūtani lain. Antara pusat bumi dan pusat bulan terjadi
na ca ham tesav avassthitah. gaya saling tarik menarik akbiat gravitasi tersebut.
(Bhagavad Gītā, IX. 4) Inilah yang mendasari terjadinya pasang surut air
laut.
Terjemahan: Kondisi saat air laut naik disebut pasang naik.
Seluruh alam raya ini terselimuti oleh- Kondisi ini terjadi dua kali, yaitu pada saat bulan
Ku melalui wujud-ku yang tak purnama dan bulan baru (Arifin, 2013: 105). Di
termanifestasikan. Semua makhluk ada belahan bumi yang mengalami bulan purnama,
pada-Ku, tetapi Aku tak ada pada mereka jarak antara air laut dan pusat bulan lebih dekat
(Maswinara, 2003: 313). daripada jarak antara pusat humi dengan pusat
bulan. Akibatnya, gravitasi bulan menarik air laut
Melalui dua bait sloka di atas nyatalah
lebih kuat daripada bumi. Ini mengakibatkan air
bagaimana gambaran tentang Saguṇa Bṛahman
laut sedikit menggembung terhadap permukaan
dan Teologi Pantheisme. Bṛahman ibarat sinar
bumi dan terjadilah pasang naik. Begitu pula
matahari yang menyinari seluruh celah yang ada
sebaliknya, di belahan bumi yang mengalami
di bumi. Bṛahman adalah sumber segalanya dan
bulan baru (Tilem), jarak air laut dan pusat bulan
Bṛahman meresapi seluruh ciptaanya, segala yang
lebih jauh daripada jarak antara pusat bumi
ada di alam semesta ini diliputi oleh Bṛahman.
dengan pusat bulan. Akibatnya, graviatsi bulan
Hal tersebut berarti pada Purnama dan Tilem
menarik bumi lebih kuat daripada air laut di
terdapat konsep Teologi Pantheisme.
bagian tersebut. Ini mengakibatkan air laut juga
sedikit menggembung terhadap permukaan bumi
Konsep Rwa Bhinneda pada Purna- ma Tilem
dan terjadilah pasang naik. Pada bagian bumi
sebagai dalam Bhuwana Agung
yang tidak terkena pengaruh bulan purnama dan
Konsep Rwa Bhineda sebagai dimensi bulan baru maka terjadilah pasang surut, hal
dualistis terdapat pada Bhuwana Agung atau alam ini dikarenakan bulan purnama dan bulan baru
semesta. Perbedaan tersebut selalu ada di alam tersebut mengambil jatah air pada belahan bumi
semesta ini dan saling berdampingan. Adanya lainnya (Arifin, 2013: 106).
konsep Rwa Bhineda di alam semesta ini sebagai
Kondisi pasang naik dan pasang surut air laut
hokum alam yang tidak bisa ditentang oleh
ini menunjukkan bahwa adanya dua hal berbeda
makhluk hidup manapun. Hukum alam atau Rta
yang akan dipengaruhi pada saat Purnama dan
ini ditentukan oleh Tuhan dalam gelar Rtawan
Tilem. Keadaan pasang naik dan pasang surut
yang artinya penguasa hukum Rta. Melalui hukum
air laut yang dipengaruhi oleh bulan Purnama
Rta ini Tuhan mengatur alam semesta ini agar
dan Tilem merupakan bukti nyata adanya konsep
selalu seimbang dan harmonis.
Rwa Bhinneda pada alam semesta ini. Perbedaan

40 YOGA DAN KESEHATAN Volume 2, No.1,Juni 2019


kondisi alam tersebut tentunya akan berpengaruh hendaknya dihilangkan melalui pelaksanaan Bhuta
terhadap alam semesta dan kehidupan makhluk Yajña sebagai simbolis pelebur/ somya unsur-
hidup di bumi. Walaupun demikian, adanya unsur negatif untuk mencapai keseimbangan alam
perbedaan tersebut bukan akan menyebabkan semesta. Berbagai macam contoh pelaksanaan
terjadinya keseimbangan di alam semesta. upacara Bhuta Yajña yang bertepatan dengan
Keseimbangan ini akan menyebabkan kehidupan Tilem adalah sebagai berikut.
di bumi akan berjalan harmonis. 1. Tilem Kanem, yakni pelaksanaan upacara
Konsep Rwa Bhinneda pada Purnama dan Nangluk Merana sebagai simbolis
Tilem juga terlihat pada perbedaan pelaksanaan menghilangkan segala macam kekotoran/
mala yang ada di alam semesta.
upacara yajña di Bali. Pada hari Purnama pada
umumnya masyarakat akan melaksanakan 2. Tilem Kapitu, yakni pelaksanan hari suci
upacara Dewa Yajña. Hal tersebut dikarenakan Siwararti yang memilki makna istronspeksi
masyarakat meyakini bahwa hari purnama ini diri dan penyucian diri serta alam semesta.
waktu yang tepat untuk memohon kecemerlangan 3. Tilem Kesanga, yakni pelaksanaan upacara
dan kesempurnaan dari cahaya suci Ida Sang Bhuta Yajña terbesar yaitu Tawur Agung
Hyang Widhi Wasa serta berbagai Ista Dewata. Kesanga setiap setahun sekali, Panca Wali
Krama setiap sepuluh tahun sekali, dan
Disamping itu, Purnama atau Pananggal ping 15
Eka Dasa Rudra setiap 100 tahun sekali
ini merupakan Dewasa Ayu atau hari baik untuk
sebagai simbolis menetralisir bhuta kala
berbagai macam pekerjaan. Oleh karena itu, dan menyeimbangkan alam semesta.
sangat banyak piodalan yang dilangsungkan pada
Purnama. Berbagai macam contoh pelaksanaan Uraian diatas menguraikan mengenai
upacara Dewa Yajña yang bertepatan dengan perbedaan mendasar upacara yajña yang
Purnama adalah sebagai berikut. dilakukan pada Purnama dan Tilem. Hal tersebut
menujukkan adanya konsep Rwa Bhinneda melalui
1. Purnama Kapat, yakni beryoganya Bhatara
upacara yajña yakni upacara Dewa Yajña pada hari
Parameswara sebagai wujud Sanghyang
Purnama sedangkan upacara Bhuta Yajña. Dewa
Purusangkara, yang diiringi oleh para
Para Dewa, Widyadara-widyadari dan para dan Bhuta ini merupakan dua unsur yang berbeda,
Rsighana (Swastika, 2010: 124) namun saling melengkapi. Adanya Purnama
yang diidentikan dengan Dewa dan Tilem yang
2. Purnama Kedasa, yakni Upacara Ida
Bhatara Turun Kabeh di Pura Penataran diidentikan dengan Bhuta suatu keseimbangan
Agung Besakih. secara vertical yaitu antara alam semesta dengan
penciptanya.
3. Purnama Sadha, yakni umat Hindu memuja
Bhatara Kawitan di Sanggah Kemulan Konsep Rwa Bhinneda pada Purnama dan
(Swastika, 2010: 125). Bagi umat Hindu Tilem dalam Bhuwana Agung menunjukan dimensi
di Tengger, pada hari ini melaksanakan dualistis atau perbedaan itu akan menyebabkan
upacara Kesodo di Gunung Bromo. keseimbangan di alam semesta. Apabila alam
Pada hari Tilem, pada umumnya umat Hindu semesta ini sudah seimbang maka kehidupan di
di Bali melaksanakan upacara Bhuta Yajña. Hal alam semesta in akan dapat berjalan sesuai dengan
tersebut dikarenakan pada hari Tilem, masyarakat hukum Rta. Hal ini hendaknya disadari oleh
meyakini mempunyai keutamaan sebagai pelebur manusia agar manusia akan memiliki kesadaran
segala macam unsur-unsur negative dan kekotoran. alam semesta (Cosmic Consciusnes) sehingga
Disamping itu, pada hari Tilem diidentikkan kehidupan akan berjalan harmonis dan damai
dengan kegelapan, oleh karena itu kegelapan (Shanti Jagadhita).

YOGA DAN KESEHATAN Volume 2, No.1,Juni 2019 41


Keberadaan Rwa Bhinneda melalui
Konsep Rwa Bhinneda pada Purnama- Tilem perayaan Purnama dan Tilem ini memiliki makna
dalam Bhuwana Alit keseimbangan di dalam tubuh manusia. Adanya
Keberadaan Bhuwana Agung tidak bisa keseimbangan ini akan menyebabkan jiwa
dipisahkan dari Bhuwana Alit. Unsur-unsur yang manusia tenang dan stabil. Apabila jiwa manusia
terdapat pada Bhuwana Agung sama dengan sudah tenang dan stabil, maka manusia akan lebih
Bhuwana Alit. Hal ini berarti, Rwa Bhinneda tidak mudah untuk mencapai Tuhan bahkan menemukan
hanya berpengaruh pada Bhuwana Agung tetapi Tuhan di dalam dirinya. Hal ini sesuai dengan
juga pada Bhuwana Alit yakni tubuh manusia. petikan Wirama Totaka pada Kekawin Arjuna
Bulan Purnama memiliki makna munculnya Wiwaha berikut ini.
pencerhan yang ada alam diri manusia, sedangkan
Śaśi wimba haneng ghaṭa mesi bañu
pada Tilem memiliki makna untuk menghilangakan Ndanasing śuci nirmala mesi wulan
kegelapan yang ada dalam diri manusia seperti Sad Iwa mangkana rakwa kiteng kadadin
Ripu. Oleh karena itu pada Purnama dan Tilem Ringangāmbeki yoga kiteng sakala
hendaknya manusia selalu menyalakan cahaya di Terjemahan:
dalam diri untuk menghilangkan kegelapan yang Bagaikan bayangan bulan di dalam sebuah
menyelimutinya. belanga (periuk) yang berisi air, hanya pada
Bulan Purnama dan Tilem merupakan setiap tempat yang suci tanpa noda berisi
cerminan dari hati dan pikiran manusia yang banyang bulan, seakan-akan demikian Engkau
sedang menyusut dan terang benderang. Dengan (Tuhan) terhadap semua makhluk, kepada
perumpamaan yang berbasis pada kekuatan Kala orang yang sedang melaksanakan yogalah
atau waktu. Bulan disimboliskan dengan Ketua Engkau (Tuhan) menampakkan diri (Surada,
Dewatanya Pikiran (Candrama Manaso Jatah). 2006: 158-159).
Itulah sebabnya terkadang hati dan pikiran
seseorang bisa menyamai sifat-sifat kedewataan.
Melalui siklus Purnama dan Tilem ini
Jadi bisa dikatakan bahwa, jika pikiran seseorangs
sesungguhnya alam mengajarkan kepada manusia
edang keruh, dirasuki oleh sifat-sifat angkara
murka, maka distilahkan Bulan Dewatanya sedang tentang adanya Rwa Bhinneda yang menyelimuti
menyusut pada kegelapan atau Tilem. Kesadaran manusia yakni terang dan gelap. Oleh karena itu,
atau Atma Tattwa inilah yang dituju oleh umat Purnama dan Tilem ini merupakan momentum
manusia. Namun banyak yang masih bingung dan yang baik untuk kembali menyadari akan sang
meraba-raba dalam kegelapan, karena manusia diri agar mencapai pencerahan dan terhindar dari
ada dalam pengatruh Maya Tattwa. Pengaruh kegelapan sehingga kualitas kehidupan manusia
Atma Tattwa (kecemerlangan) disimboliskan akan semakin baik kedepannya.
dengan bulan Purnama dan pengaruh Maya
Tattwa (kegelapan) disimboliskan dengan bulan
III. Penutup
Tilem yang selalu bertarung dalam pikiran
manusia. Apabila Atma Tattwa yang menang atau Konsep Rwa Bhinneda di Bali menjadi konsep
lebih dominan maka seseorang menjadi bijaksana, yang mendasari dan mempengaruhi alam semesta
welas ash dan berbudi pekerti yang luhur. Apabila dankehidupanmasyarakatdiBali.Dimensidualistis
Maya Tattwa yang lebih dominan maka ego dari Rwa Bhinneda ini akan menghantarakan pada
seseorang akan muncul dan menimbulkan sifat- keharmonisan dan keseimbangan. Hari Purnama
sifat buruk dan negatif. dan Tilem merupakan implementasi dari konsep

42 YOGA DAN KESEHATAN Volume 2, No.1,Juni 2019


Rwa Bhinneda tersebut yang ditunjukkan oleh Raras, Niken Tembang. 2004. Purnama Tilem:
masyarakat Bali melalui ilmu astronomi-astrologi Rahasia Kasih Rwa Bhineda. Surabaya:
yakni Wariga yang telah diwariskan secara turun Paramita.
Suandra, I Made. 2003. Sundarigama. Denpasar:
temurun. Keberadaan Purnama dan Tilem juga
Upada Sastra.
menujukkan adanya konsep dualistis dalam teologi Surada, I Made. 2006. Dharmagita: Kidung Panca
lokal di Bali yang tentunya dapat memperkuat Yajna, Beberapa Wirama, Sloka, Phalawakya,
struktur Teologi Hindu yang akan berdampak dan Macepat. Surabaya: Paramita.
pula pada peningkatan sraddha dan bhakti umat Swastika, I Ketut Pasek. 2010. Petunjuk Yadnya
Rerahinan Hindu. Denpasar: CV Kayumas
Hindu. Pelaksanaan hari suci Purnama dan
Agung.
Tilem juga merupakan momentum untuk meraih Tim. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
keseimbangan di pada Bhuwana Agung dan Pusat Bahasa (Edisi Keempat). Jakarta: PT.
Bhuwana Alit. Hal tersebut hanya bisa dicapai jika Gramedia Pustaka Utama.
umat bisa memahami hakekat dari konsep Rwa Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci: Pedoman
Bhinneda pada hari Purnama dan Tilem. Apabila Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita.
keseimbangan tersebut telah tercapai, maka umat
Hindu akan bisa mencapai tujuan hidup sebagai
manusia yaitu Mokshartam Jagadhita ya ca iti
Dharma.

DAFTAR PUSTAKA

Ardhana, IB. Suparta. 2005. Pokok-Pokok Wariga.


Surabaya: Paramita.
Ariana, Ida Bagus Putra Manik dan Ida Bagus
Budayoga. 2016. Ala Ayuning Dewasa, Ketut
Bangbang Gde Rawi (Sebuah Canangsari).
Denpasar: Penerbit ESBE Buku.
Arifin, Aji. 2013. Geografi: Buku Siswa kelas X
SMA. Surakarta: CV Mediatama.
Aryana, IB. Putra M. 2006. Dasar Wariga:
Kearifan Alam dalam Sistem Tarikh Bali.
Denpasar: Bali Aga.
Aryana, IB. Putra M. 2007. Tenung Wariga: Kunci
Ramalan Astrologi Bali. Denpasar: Bali Aga.
Donder, I Ketut. 2009. Teologi: Memasuki
Gerbang Ilmu Pengetahuan Ilmiah tentang
Tuhan Paradigma Sanatana Dharma.
Surabaya: Paramita.
Maswinara, I Wayan. 2003. Bhagawad Gita.
Surabaya: Paramita.
Rai, S., I Wayan. 2001. “Rwa Bhinneda dalam
Berkesenian Bali”. Mudra Jurnal Seni Budaya
No.11 TH IX. Denpasar: Sekolah Tinggi Seni
Indonesia (STSI) Denpasar.

YOGA DAN KESEHATAN Volume 2, No.1,Juni 2019 43

You might also like