You are on page 1of 15

Lex Crimen Vol.I/No.

4/Okt-Des/2012

PIDANA PENJARA MENURUT KUHP1 dan perumusan kumulatif, harus ada


Nama: Rifanly Potabuga2 pedoman bagi hakim apabila perlu
menggunakan sistem perumusan yang
ABSTRAK tunggal, harus melakukan reorientasi dan
Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu evaluasi terhadap keseluruhan peraturan
untuk mengetahui bagaimanakah dasar perundang-undangan yang ada, dan untuk
pembenaran existensi pidana penjara hukuman seumur hidup hendaknya dilihat
dilihat dari sudut efektivitas sanksi, dari konsep pemasyarakatan karena pidana
bagaimanakah kebijakan legislatif dalam seumur hidup hanya dijatuhkan untuk
rangka mengefektifkan pidana penjara, dan melindungi masyarakat. 3. Bahwa pidana
bagaimanakah masalah pidana penjara penjara dalam perspektif falsafah
dalam perspektif falsafah pemidanaan. pemidanaan, tetap bersifat selektif yang
Melaluyi penelitian kepustakaan ditujukan terhadap perbuatan-perbuatan:
disimpulkan bahwa: 1. Eksistensi pidana pertama: yang bertentangan dengan
penjara dilihat dari sudut efektifitas sanksi kesusilaan, agama dan moral Pancasila;
harus/dapat dilihat dari dua aspek pokok kedua: yang membahayakan atau
tujuan pemidanaan yakni aspek merugikan kehidupan masyarakat, bangsa
perlindungan masyarakat dan aspek dan negara; ketiga: yang menghambat
perbaikan si pelaku. Dari aspek tercapainya pembanguan nasional.
perlindungan masyarakat maka tujuannya Kata kunci: Pidana penjara
adalah untuk mencegah, mengurangi atau
mengendalikan tindak pidana, dan PENDAHULUAN
memulihkan kesimbangan masyarakat A. LATAR BELAKANG MASALAH
antara lain; menyelesaikan konflik, Masalah pidana penjara memang
mendatangkan rasa aman, memperbaiki menjadi suatu dilemma, dengan peristiwa-
kerugian/kerusakan, menghilangkan noda- peristiwa yang terjadi, dimana ternyata
noda, dan memperkuat kembali nilai-nilai bahwa penjara sudah tidak lagi ditakuti
yang hidup dalam masyarakat, sedankan oleh para pelaku tindak pidana maka
aspek perbaikan si pelaku meliputi berbagai pidana apakah yang harus diterapkan
tujuan antara lain melakukan rehabilitasi terhadap para pelaku tindak pidana.
dan memasyarakatkan kembali si pelaku Ruangan penjara atau sel tempat para
dan melindunginya dari perlakuan pelaku tindak pidana ditahan bahkan oleh
sewenang-wenang di luar hukum. 2. Bahwa sebagian pelaku diubah menjadi ruangan
dalam rangka mengefektifkan pidana yang mewah dengan segala fasilitas yang
penjara maka dalam kebijakan legislatif itu memudahkan pelaku melakukan segala
haruslah diperhatikan: penetapan pidana aktifitasnya seperti tidak berada dalam
penjara yang selektif dan limitatif, penjara. Sebut saja Artalita, yang dengan
perumusan tujuan pemidanaan dan mudahnya mengubah sel tahanannya
pedoman pemidanaan baik yang bersifat menjadi kamar yang mewah dan dari
umum maupun khusus, menghidari kamarnya dengan segala fasilitas yang
perumusan ancaman pidana yang bersifat canggih dia mengendalikan pekerjaaannya/
imperatif yaitu sistem perumusan tunggal perusahaaannya. Demikian juga dengan
para tahanan tindak pidana narkoba (ada
1
Artikel skripsi. Dosen Pembimbing Skripsi: Frans beberapa), dari kamar yang berada di
Maramis, SH, MH, Veybe V. Sumilat,SH,MH, Michael penjara, dia bisa mengkoordinir penjualan
Barama,SH,MH narkoba yang berada di luar penjara.
2
NIM: 090711449. Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Sam Ratulangi, Manado.

79
Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012

B. RUMUSAN MASALAH B.TEORI-TEORI PEMIDANAAN DAN


1. Bagaimanakah dasar pembenaran TUJUAN PEMIDANAAN
existensi pidana penjara dilihat dari Mengenai tujuan yang ingin dicapai
sudut efektivitas sanksi? dengan suatu pemidanaan, ternyata tidak
2. Bagaimanakah kebijakan legislatif dalam terdapat kesamaan pendapat diantara para
rangka mengefektifkan pidana penjara? pemikir atau penulis, akhirnya timbul
3. Bagaiamanakah masalah pidana penjara beberapa teori sebagai dasar pembenar
dalam perspektif falsafah pemidanaan? dari pemidanaan.
Secara tradisional, teori-teori
c. METODE PENELITIAN pemidanaan pada umumnya dapat dibagi
Metode penelitian yang digunakan dalam dua kelompok teori, yaitu :
dalam penulisan skripsi adalah metode 1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan
penelitian kepustakaan (library research). (retributive/vergeldings theorieen);
Penelitian kepustakaan dilakukan dengan 2. Teori Relatif atau Teori Tujuan
mengumpulkan data sekunder, dimana (utilitarian/doeltheorieen).
data sekunder dalam skripsi ini terdiri dari Namun ada teori yang ketiga yang
bahan hukum primer yaitu dengan ditambahkan oleh para ahli yaitu :
mempelajari perundang-undangan yang 3. Teori Gabungan (vereniging theorieen).
berlaku, kemudian bahan hukum sekunder
yaitu dengan jalan mempelajari dan PEMBAHASAN
mengumpulkan bahan-bahan pustaka A.DASAR PEMBENARAN EKSISTENSI
seperti buku-buku literatur dan tulisan- PIDANA PENJARA DALAM PERUNDANG-
tulisan yang ada hubungannya dengan UNDANGAN DILIHAT DARI SUDUT
obyek penelitian yaitu tentang pidana EFEKTIFITAS SANKSI
penjara. Bahan-bahan hukum ini kemudian Efektif tidaknya suatu ketentuan seperti
setelah terkumpul dianalisis secara halnya pidana penjara maka yang menjadi
kualitatif normatif. ukuran adalah berhasil tidaknya pidana
penjara itu dalam mencapai tujuannya,
TINJAUAN PUSTAKA bukanlah pada berat ringannya pidana
A.SEJARAH PIDANA PENJARA penjara yang dijatuhkan kepada pelaku
Embrio pidana penjara pertama-tama tindak pidana. Namun yang menjadi
dijalankan di Inggris. Pada tahun 1553, persoalan apakah efektifitas pidana penjara
kastil (puri) Bridewall di london digunakan itu dapat diukur dan dibuktikan untuk
oleh Raja Edward VI sebagai tempat memberikan dasar pembenaran
berteduh bagi pengemis, gelandangan dan ditetapkannya pidana penjara dalam
anak terlantar. Setelah itu, di tempat- perundang-undangan.
tempat lain di Inggris didirikan Bridewall- Untuk melihat efektivitas pidana
Bridewall yang menjadi bentuk-bentuk dari penjara akan ditinjau dari dua aspek pokok
rumah penjara (houses of correction). tujuan pemidanaan, yaitu dari aspek
Tempat tersebut pada awalnya hanya perlindungan masyarakat dan aspek
dipakai sebagai tempat penampungan, perbaikan si pelaku.4
tetapi akhirnya berubah fungsi menjadi 1.Efektivitas Pidana Penjara Dilihat dari
tempat penyiksaan para pengemis dan aspek Perlindungan Masyarakat.
gelandangan.3
4
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996,
3
Ibid, hlm. 246.

80
Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012

Dilihat dari aspek Barda Nawawi dalam bukunya Widodo


perlindungan/kepentingan masyarakat, mengatakan bahwa ancaman pidana
maka suatu pidana dikatakan efektif penjara yang sangat dominan yaitu
apabila pidana itu sejauh munkin dapat sebagaimana diatur dalam hukum pidana
mencegah atau mengurangi kejahatan. Jadi negara asing dan KUHP Indonesia.6 Dalam
kriteria efektivitas dilihat dari seberapa KUHP Indonesia, jumlah ancaman pidana
jauh frekuensi kejahatan dapat ditekan. penjara secara tunggal dan alternatif
Dengan kata lain, kriterianya terletak pada sebanyak sembilan puluh delapan persen
seberapa ajauh efek ’pencegahan umum’ (98%) dari seluruh tindak pidana yang
(general prevention) dari pidana penjara diatur. Dalam ketentuan pidana di luar
dalam mencegah warga masyarakat pada KUHP, pidana penjara diancamkan sekitar
umumnya untuk tidak melakukan sembilan puluh dua persen (92 %) dari
kejahatan. seluruh jumlah tindak pidana.
Berdasarkan penelitian yang pernah Melihat banyaknya penjatuhan pidana
dilakukan, diperoleh gambaran bahwa penjara dalam kasus-kasus tindak pidana
pidana penjara merupakan jenis pidana yang ada dibandingkan jenis pidana yang
yang paling banyak dijatuhkan oleh hakim lain sebagaiman yang diatur dalam Pasal 10
dibandingkan dengan jenis-jenis pidana KUHP, nampaknya jumlah /banyaknya
lainnya. Di Indonesia saat ini masih terjadi pidana penjara yang dijatuhkan tidak ada
dominasi penjatuhan pidana penjara, pengaruhnyanya dengan kejahtan yang
dibandingkan dengan penjatuhan jenis terus terjadi, bahkan kejahatan semakin
pidana yang lain. Dalam hukum pidana meningkat. Apakah dengan demikian dapat
materiel pun, jenis pidana penjara dikatakan bahwa pidana penjara
merupakan jenis pidana yang paling banyak merupakan jenis pidana yang tidak efektif?
diancamkan. Jenis pidana pokok dalam Sebenarnya terlalu banyak faktor yang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebabkan naik turunnya kejahatan
(KUHP) terdiri atas empat (4) jenis yaitu: yang terjadi dalam masyarakat. Dengan
pidana mati, pidana penjara (terdiri atas kata lain, apabila naik turunnya frekuensi
pidana seumur hidup dan pidana kejahatan digunakan sebagai ukuran untuk
sementara), pidana kurungan, dan pidana menentukan efektivitas pidana penjara,
denda. Sedangkan dalam hukum pidana maka hal demikian terlalu
materiel indonesia, ada enam (6) jenis menyederhanakan hubungan antara naik
pidana pokok yaitu: pidana mati, pidana turunnya kejahatan dengan bekerjanya
penjara (terdiri atas pidana seumur hidup suatu sanksi pidana.
dan pidana sementara), pidana kurungan, Schultz mengatakan bahwa naik
pidana denda, pidana tutupan dan pidana turunnya kejahatan di suatu negara
pengawasan (khusus untuk anak tidaklah berhubungan dengan perubahan-
sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun perubahan di dalam hukumnya atau
1997 tentang Pengadilan Anak).5 kecenderungan-kecenderungan dalam
Pengertian hukum pidana materiel meliputi putusan pengadilan, tetapi berhubungan
ketentuan pidana sebagaimana diatur dengan bekerjanya atau berfungsinya
dalam KUHP dan ketentuan pidana dalam perubahan-perubahan kultural yang besar
peraturan perundang-undangan di luar dalam kehidupan masyarakat.7 Demikian
KUHP. pula Rubin menyatakan bahwa

6
Ibid.
5 7
Widodo, Op-Cit, hlm. 13. Ibid, hlm. 248.

81
Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012

penghukuman, apapun yang menjadi kejahtan tidak dapat begitu saja digunakan
hakikatnya yaitu apakah dimaksudkan sebagai ukuran untuk menentukan efektif
untuk menghukum atau untuk tidaknya pidana penjara. Terlebih lagi ada
memperbaiki, sedikit atau tidak mempunyai sisi lain dari ’aspek perlindungan
pengaruh terhadap masalah kejahatan.8 masyarakat’ yaitu pemidanaan bertujuan
Mengetahui pengaruh bekerjanya juga untuk ’memulihkan keseimbangan
pidana penjara ini memang tidak mudah, masyarakat’. Seberapa ajauh efektivitas
karena seperti dikatakan bahwa bekerjanya pidana penjara untuk mencapai tujuan ini,
hukum pidana selamanya harus dilihat dari jelas tidak dapat diukur dengan indikator
keseluruhan konteks kulturalnya. Ada saling naik turunnya frekuensi kejahatan yang
pengaruh antara hukum dengan faktor- lebih bersifat kuantitatif.10
faktor lain yang mmeebntuk sikap dan Indikator telah pulihnya kembali
tindakan-tindakan kita. Sehubungan keseimbangan masyarakat antara lain telah
dengan adanya ’saling pengaruh’ ini, maka ada penyelesaian konflik, telah ada
wajarlah apabila Wolf Middendorf kedamaian dan rasa aman dalam
dikatakan bahwa sangatlah sulit untuk masyarakat, telah hilangnya noda-noda di
melakukan evaluasi terhadap efektivitas masyarakat atau telah pulihnya kembali
dari general detrrence (pencegahan umum) nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
karena mekanisme penangkalan/awal Indikator-indikator ini lebih bedifat
pencegahan itu tidak diketahui. Kita tidak kualitatif dan hal ini pulalah yang menurut
dapat mengetahui hubungan yang Roger Hood dan Richard Sparks merupakan
sesungguhnya antara sebab dan akibat. aspek-aspek lain dari ’general prevention’
Orang mungkin melakukan kejahatan atau yang sulit untuk diteliti.11
mungkin mengulanginya lagi tanpa Pengaruh pidana terhadap masyarakat
hubungan dengan ada tidaknya undang- luas sangatlah sukar untuk diukur, karena
undang atau pidana yang dijatuhkan. pengaruh itu terdiri dari sejumlah bentuk-
Terlebih lagi menurut Middendorf, sarana- bentuk aksi dan reaksi yang berbeda dan
sarana kontrol sosial lainnya seperti saling berkaitan erat, yang disebut dengan
kekuasaan orang tua, kebiasaan-kebiasaan berbagai nama, misalnya pencegahan awal,
atau agama, mungkin dapat mencegah pencegahan umum, memperkuat kembali
perbuatan jahat sama kuatnya dengan nilai-nilai moral, memperkuat kesadaran
ketakutan orang pada pidana.9 Efektifitas kolektif, menghidupkan kembali perasaan
hukum pidana tidaklah dapt diukur secara solidaritas yang goyah, penegasan kembali
akurat. Malahan ditegaskan bahwa hukum rasa aman masyarakat, memgurangai atau
hanya merupakan salah satu sarana kontrol meredakan ketakutan, melepaskan
sosial. Kebiasaan, keyakinan agama, ketegangan-ketegangan agresif dan lain
dukungan dan pencelaan kelompok, sebagainya. Pengaruh penjara terhadap si
penekanan dari kelompok-kelompok pelanggar dapat diketahui dengan jelas
interest dan pengaruh dari pendapat umum tetapi pengaruhnya terhadap masyarakat
merupakan sarana yang lebih efeisien secara keseluruhan merupakan suatu
dalam megatur tingkah laku manusia wilayah yang tidak diketahui.
daripada sanksi hukum.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa indikator naik turunnya frekuensi
10
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep
8
ibid, hlm. 249. KUHP Baru, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 212.
9 11
Ibid., hlm. 249. ibid, hlm. 213.

82
Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012

2.Efektivitas Pidana Penjara Dilihat dari berapa lama tenggang waktu pengulangan
Aspek Perbaikan Si pelaku. sejak putusan pemidanaan yang terdahulu.
Ukuran efektivitas terletak pada aspek Aspek kedua, yaitu aspek perbaikan.
pencegahan khusus, ukurannya terletak Berhubungan dengan masalah perubahan
pada masalah seberapa ajauh pidana itu sikap dari siterpidana. Seberapa jauh
(pidana penjara) mempunyai pengaruh pidana penjara dapat mengubah sikap
terhadap si pelaku/terpidana. Ada dua (2) terpidana masih merupakan masalah yang
aspek pengaruh pidana terhadap terpidana, belum dapat dijawab secara memuaskan.
yaitu aspek pencegahan awal dan aspek Hal ini disebabkan karena adanya beberapa
perbaikan.12 problem metodology yang belum
Aspek pertama, biasanya diukur dengan terpecahkan dan belum ada kesepakatan,
menggunakan indikator residivis. khususnya mengenai:
Berdasarkan indikator ini R.M. Jackson a. Apakah ukuran untuk menentukan
menyatakan, bahwa suatu pidana adalah telah adanya ’tanda-tanda
efektif apabila si pelanggar tidak dipidana perbaikan’ atau adanya ’perubahan
lagi dalam suatu periode tertentu. sikap’ pada diri si pelaku; ukuran
Selanjutnya ditegaskan, bahwa efektivitas ’recidivism rate’ (residivis) atau
adalah suatu pengukuran dari ’reconviction rate’ (penghukuman
perbandingan antara jumlah pelanggar kembali) masih banyak yang
yang dipidana kembali dan yang tidak meragukan.
dipidana kembali.13 Penelitian dengan b. Berapa alamnaya ’periode tertentu’
indikator residivis ini sulit dilakukan di untuk melakukan evaluasi terhadap
Indonesia, karena data yang ada biasanya ada tidaknya perubahan sikap
sangat sumir yaitu hanya mengemukakan setelah terpidana menjalani pidana
jumlah residivis pada tiap akhir bulan atau penjara.14
akhir tahun. Dari data yang disajikan tidak Berdasarkan masalah metodologis yang
dapat diketahui secara pasti jenis dan berat dikemukakan di atas dapat dinyatakan
ringannya pidana yang terdahulu bahwa penelitian-penelitian selama ini
dijatuhkan, jenis tindak pidana yang pernah belum dapat membuktikan secara apasti
dilakukan terdahulu dan yang kemudian apakah pidana penjara itu efektif atau
diulanginya serta berapa tenggang waktu tidak. Masalah efektivitas sesungguhnya
pengulangnnya. Dengan hanya mengetahui berhubungan dengan masalah
jumlahnya saja, tidak dapat diketahui berfungsinya/bekerjanya sanksi pidana. Di
tingkat efektivitas pidana penjara dan samping itu, berdasarkan pengamatan
perbandingannya dengan jenis pidana beberapa hasil penelitian dan pendapat
lainnya. Mengukur perbandingan para sarjana, efektivitas pidana penjara
efektivitas pidana tidak dapat dilakukan lebih bersifat khusus yaitu berhubungan
hanya dengan mengetahui jumlah residivis, erat dengan karakteristik tindak pidana dan
tetapi perlu juga diketahui jumlah orang pelaku tertentu. Oleh karena itu, mungkin
yang pernah dipidana untuk pertama lebih patut untuk dipertimbangkan pada
kalinya, dengan tiap-tiap jenis pidana yang tahapan penerpan pidana daripada tahap
diterimanya dan berapa diantaranya yang penetapan pidana in abstracto yang lebih
tidak mengulangi lagi. Juga perlu diketahui menghendaki hal-hal yang berlaku umum.
Dalam hal-hal tertentu, efektivitas
pidana penjara memang dapat
12
Ibid, hlm. 214.
13 14
Ibid, hlm. 214. Ibid, hlm. 216.

83
Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012

dipertimbangkan untuk tahapan kebijakan


legislatif/formulatif. Namun tidak dapat B.KEBIJAKAN LEGISLATIF DALAM RANGKA
dijadikan sebagai tolok ukur absolut untuk MENGEFEKTIFKAN PIDANA PENJARA
memeberikan dasar pembenaran dalam Kebijakan legislatif (formulatif)
menetapkan jenis pidana tertentu. Wolf merupakan tahap paling startegis dari
Middendorf pernah menyatakan bahwa keseluruhan proses
eketivitas hanya merupakan salah satu operasionalisasi/fungsionalisasi dan
kriteria dari pidana. tidaklah mungkin konkretisasi hukum pidana. Oleh karena itu,
menggunkana pidan-pidana yang kejam untuk mengefektifkan berfungsinya pidana
sekalipun terbukti sangat efektif.15 Adalah penjara atau pidana perampasan
tidak mungkin untuk menetapkan pidana kemerdekaan pada umumnya, kebijakan
penjara dengan perlakuan diluar batas legislatif sepatutnya memperhatikan hal-
kemanusiaan atau dengan sistem minimal hal sebagai berikut:
20 tahun untuk semua jenis tindak pidana, 1. Mengingat berbagai kritik dan
sekalipun terbukti bahwa hal tersebut kelemahan/pengaruh negatif dari
sangatlah efektif. Begitu pula bahwa tidak pidana penjara, maka
dapat pidana penjara begitu saja penggunaan/penetapan pidana
dinyatakan tidak perlu atau tidak penjara dalam perundang-undangan
mempunyai dasar pembenaran dilihat seyogyanya ditempuh dengan
semata-mata dari sudut efektivitasnya. kebijakan selektif dan limitatif.
Demikian juga dengan pidana mati, Kebijakan demikian (selektif dan
sekalipun pidana mati merupakan suatu limitatif) tidak hanya berarti harus
alat yang sangat efektif, belumlah berarti ada penghematan dan pembatasan
bahwa atas delik-delik yang begitu ringan pidana penjara yang
akan diterapkan pidana mati. dirumuskan/diancamkan dalam
Dasar pembenaran perlunya pidana perundang-undangan, tetapi juga
penjara tidak semata-mata didasarkan pada harus ada peluang bagi hakim untuk
masalah atau dilihat dari sudut efektivitas menerapkan pidana penjara itu
penerapan sanksi/pidana. pencegahan secara selektif dan limitatif. Ini
residivisme bukan satu-satunya tujuan dari berarti harus pula tersedia jenis-
pidana dan oleh karena itu tidak mungkin jenis pidana/tindakan alternatif lain
menghapuskan pidana penjara sebagai yang bersifat ’non-custodian’.
suatu sarana untuk menghadapi kejahatan. 2. Agar hakim dapat menerapkan
Pidana penjara sekurang-kurangnya pidana penjara secara selektif dan
memisahkan penjahat dari masyarakat, dengan demikian pidana penjara
sehingga menghilangkan kesempatan diharapkan dapat berfungsi secara
baginya untuk melakukan tindak pidana efektif sesuai dengan tujuannya,
lagi. Jadi mencegah penghukuman kembali maka dalam kebijakan legislatif
(reconviction) walaupun tidak selamanya perlu dirumuskan ’tujuan
mencegah. Sekalipun pidana penjara tidak pemidanaan’ dan ’pedoman
berhasil atau tidak efektif mencegah pemidanaan’. Pedoman
residivisme namun masih mempunyai dasar pemidanaan ini dapat bersifat
pembenaran untuk tetap dipertahankan, umum maupun khusus yang
karena untuk ’memisahkan penjahat dari berhubungan dengan pidana
masyarakat’. penjara. Pedoman atau kriteria
penjatuhan pidana penjara ini
15 seyogyanya disusun dengan
Ibid, hlm. 217.

84
Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012

menggunakan perumusan negatif, dasar dari pidana penjara yang ingin


yaitu pedoman/kriteria untuk dikembangkan sekarang di
menghindari atau tidak Indonesia dengan sistem
menjatuhkan pidana penjara. pemasyarakatan. Dengan masih
Penyususnan pedoman ini pun adanya sistem perumusan tunggal
seyogyanya berorientasi pada hasil- dalam perundang-undangan selama
hasil penelitian mengenai efektivitas ini, maka sebenarnya terkandung di
pidana penjara dan berbagai dalamnya kontradiksi ide. Konsep
rekomendasi atau kecenderungan pemasyarakatan yang bertolak dari
kesepakatan internasional. dari ide rehabilitasi dan resosialisasi,
3. Dalam kebijakan legislatif jelas menghendaki adanya
sepatutnya dihindari perumusan individualisasi pidana dan
ancaman pidana yang bersifat kelonggaran dalam menetapkan
imperatif (yaitu, sistem perumusan pidana yang ssesuai untuk
tunggal dan perumusan kumulatif). terdakwa. Konsep atau ide demikian
Kelemahan utama dari sistem jelas berlawanan (kontradiktif)
imperatif ini ialah sifatnya yang dengan sistem perumusan tunggal
sangat kaku karena bersifat yang kaku. Ini berarti ide dasar dari
’mengharuskan’. Jadi, hakim pidana penjara dengan sistem
dihadapkan pada suatu jenis pidana pemasyarakatan tidak dapat
yang sudah pasti dan sangat bersifat disalurkan / diwujudkan dengan
mekanik, karena mau tidak mau baik lewat sistenm perumusan
hakim seolah-olah harus tunggal.
smenetapkan pidana penjara secara 4. Sekiranya sistem perumusan
otomatis. Hakim tidak diberi tunggal (untuk pidana penjara) akan
kesempatan dan kelonggaran untuk tetap digunakan, maka untuk
menentukan jenis pidana lain yang menghindarai sifat kaku dari sistem
sesuai untuk terdakwa. Mengamati tunggal ini, di dalam kebijakan
karakteristik yang demikian (yaitu legislatif harus ada pedoman bagi
bersifat kaku, imperatif, definite dan hakim untuk dapat menerapkan
mekanik/otomatis), jelas terlihat sistem perumusan tunggal itu
bahwa sistem demikian merupakan secara lebih elstis/fleksibel. Artinya,
bukti dari adanya peninggalan atau dalam pedoman itu tetap diberi
pengaruh yang sangat mnecolok kemungkinan/kewenangan kepada
dari aliran klasik. Sebagaimana hakim untuk:
dimaklumi, aliran klasik ingin a. Di satu pihak, dapat
mengobyektifkan hukum pidana menghindari atau tidak
dari sifat-sifat subyektif si pelaku menjatuhkan pidana penjara
dan tidak memberi kebebasan yang telah ditetapkan secara
kepada ahakim untuk menetapkan tunggal itu dengan
jenis pidana dan ukuran menggantinya dengan jensi
pemidanaan. pidana lain yang lebih ringan,
Bertolak dari uraian di atas, sehingga sistem pidana tunggal
maka sistem imperatif jelas tidak itu seolah-olah dapt diterapkan
sesuai dengan kebijakan selektif dan sebagai sistem alternatif; atau
limitatif. Terlebih perumusan b. Di lain pihak, dalam hal-hal
tunggal jelas tidak sesuai dengan ide tertentu dapat menambah atau

85
Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012

memeperberat jenis pidana sistem pemayarakatan, masalah


penjara yang telah ditetapkan pengawasan eksekusi pidana dan
secara tunggal itu dengan jenis masalah perubahan/modofikasi
pidana lainnya, misalnya dengan pidana setelah terpidana menjalani
pidana denda, sehingga sistem pidana penjara.
tunggal itu seolah-olah dapat 6. Khusus mengenai pidana penjara
diterapkan juga sebagai sistem seumur hidup, dapat kiranya
kumulatif. dikemukakan hal-hal sebagai
5. Sistem perumusan pidana penjara berikut:
yang tertuang dalam a. Pidana penjara seumur hidup,
kebijakanlegislatif bukanlah sistem seperti halnya dengan pidana
yang berdiri sendiri. mati pada dasarnya merupakan
Sistem/kebijakan pidana penjara ini jenis pidana absolut. Dilihat dari
terkait erat dengan keseluruhan sudut penjatuhan pidana dan
sistem/kebijakan pemidanaan, baik juga dari sudut terpidana,
yang terdapat dalam perundang- pidana seumur hidup itu bersifat
undangan hukum pidana pasti, karena si terpidana
substantif/material, maupun yang dikenakan jangka waktu yang
terdapat dalam aturan hukum pasti, yaitu menjalani pidana
pidana formal dan hukum sepanjang hidupnya, walaupun
pelaksanaan pidanna. Oleh karena orang tidak tahu pasti berapa
itu, untuk mengefektifkan pidana alama masa hidup seseorang di
penjara perlu dilakukan reorientasi dunia ini. Dilihat dari kenyataan
terhadap keseluruhan peraturan praktik, dapat juga dikatakan
perundang-undangan yang ada bahwa pidana seumur hidup
selama ini (dalam bidang hukum bersifat ’indeterminate’ karena
pidana material, hukum pidana si terpidana tidak tahu pasti
formal dan hukum pelaksanaan kapan dia dapat dilepaskan
pidana) yaitu apakah sesuai dan kembali ke masyarakat.
menunjang kebijakan pidana b. Mengingat sifat/karakteristik
penjara yang berorientasi pada pidana seumumr hidup yang
sistem pemasyarakatan dan demikian, maka sebenarnya ada
berorientasi pada kebijakan yang kontradiksi ide antara pidana
selektif dan limitatif. seumumr hidup dengan sistem
Masalah ini sepatutnya pemasyarakatan. Pidana penjara
mendapat perhatian, karena seumur hidup lebih berorientasi
berdasarkan penelitian dan pada ide perlindungan
pengamatan, selama ini dijumpai kepentingan masyarakat,
berbagai faktor yang kurang sedangkan pidana penjara
menunjang kebijakan pidana dengan sistem pemasyarakatan
penjara yang selektif dan limitatif. lebih berorientasi pada ide
Berbagai faktor itu anatara lain yang perlindungan/pembinaan dan
berhubungan dengan pidana perbaikan (rehabilitasi) si
bersyarat, pidana denda, sistem terpidana untuk dikembalikan
alternatif, penundaan penuntutan lagi ke masyarakat. Jadi, dilihat
bersyarat, aturan pelaksanaan dari ide pemasyarakatan, pada
pidana penjara khususnya dengan hakikatnya pidana ’perampasan

86
Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012

kemerdekaan’ seseorang hanya dari lamanya pidana penjara


bersifat ’sementara’ (untuk (sementara), sekurang-
waktu tertentu), tidak untuk kurangnya telah menjalani
seumur hidup (untuk waktu sembilan bulan penjara;
yang tidak ditentukan). 2. Pasal 7 Keppres No. 5 /1987
c. Sekiranya pidana penjara menyatakan, napi seumur
seumur hidup memang masih hidup dapat diberi
patut dipertahankan, maka pengurangan masa
kebijakan legislatif mengenai menjalani pidana hanya
pidana seumur hidup apabila pidana seumur hidup
seyogyanya mengintegrasikan telah diubah menjadi pidana
ide/konsep perlindungan penjara sementara oleh
masyarakat dengan ide/konsep presiden; dan
pemasyarakatan serta 3. Pasal 3 Kep. MenKeh No. M.
memperhatikan ide-ide yang 03. MH. 02. 01 thn 1988,
tertuang di dalam standard menyatakan bahwa:
Minimum Rules for The Permohonan perubahan
Treatment of Prisoners (yang pidana penjara seumur
telah diterima oleh Kongres PBB hidup menjadi pidana
ke-1 Mengenai ”The Prevention penjara sementara bagi
of Crime and the Treatment of narapidana sebagaimana
Offenders” tahun 1955) maupun dimaksud dalam Pasal 7
berbagai pernyataan pada Keppres No. 5/1987 tidak
Kongres-kongres PBB berikutnya dapat diajukan apabila:
(khususnya kongres ke-6 dan ke- a. Napi pernah
8 yang berhubungan dengan memperoleh grasi dari
masalah pidana seumur hidup). pidana mati menjadi
d. Menurut peraturan perundang- pidana penjara seumur
undangan (kebijakan legislatif) hidup; atau
selama ini, sangat sulit bagi b. Napi pernah mengajukan
narapidana seumur hidup permohonan grasi atas
mendapatkan pelepasan pidana penjara seumur
bersyarat (’conditional release’ hidup dan ditolak
atau ’voorwaardelijke presiden.
Inverijheidstelling’), 4. Pasal 8 Peraturan Menkeh
pengurangan masa pidana No. M. 01 – PK. 01. 10 Tahun
(remisi) maupun proses asimilasi 1989 menyatakan bahwa:
(proses pembauran napi dalam persyaratan substamtif bagi
kehidupan masyarakat). Hal seorang napi untuk dapat
demikian terlihat dari izin asimilasi antara lain ia
ketentuan-ketentuan sebagai telah menjalani setengah
berikut: dari masa pidananya.
1. Menurut Pasal 15 KUHP, Selanjutnya, dalam Pasal 10
pelepasan bersyarat hanya Peraturan Menteri
dapat diberikan kepada kehakiman tersebut
terpidana yang telah dinyatakan bahwa asimilasi,
menjalani dua pertiga (2/3) pembebasan bersyarat dan

87
Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012

cuti menjelang bebas, tidak berubah menjadi ”The


diberikan kepada napi yang Commission on Crime
terlibat dalam perkara- Prevention and Criminal Justice)
perkara subversi, korupsi, untuk memeriksa /mengkaji
penyelundupan, perjudian, kedudukan hukum mengenai
narkotika atau perkara alain hak dan kewajiban para napi
yang menimbulkan seumur hidup dan mengkaji
keresahan dan menarik berbagai sistem untuk menilai
perhatian masyarakat. kelayakan (pantas-tidaknya)
e. Memperhatikan ketentuan- mereka memperoleh pelepasan
ketentuan di atas, (yaitu sangat bersyarat.
sulitnya terpidana esumur hidup f. Bertolak dari uaraian
mendapatkan sebelumnya dapatlah ditegaskan
’pelepasan/pembebasan bahwa, untuk mengefektifkan
bersyarat, remisi dan asimilasi), pidana penjara seumur hidup
dapatlah dikatakan bahwa dilihat dari konsep/sistem
kebijakan legislatif yang ada pemasyarakatan, maka
selama ini masih menempatkan ketentuan legislatif seyogyanya
pidana seumur hidup berada di memuat kebijakan-kebijakan
luar sistem pemasyarakatan sebagai berikut:
atau setidak-tidaknya belum 1. Pidana seumur hidup selalu
begitu jelas kedudukan dirumuskan/diancamkan
narapidana seumur hidup di secara alternatif dengan
dalam sistem pemsyarakatan. jenis pidana lainnya;
Bahkan di dalam konsep RUU 2. Pidana seumur hidup hanya
tentang ”Pemasyarakatan” (edisi dijatuhkan untuk melindungi
1995 Dep Kehakiman), masyarakat, menjamin
kedudukan napi seumur hidup keadilan dan hanya
ini pun tidak begitu jelas. Juga di dikenakan kepada pelaku
dalam Konsep Rancangan KUHP kejahatan yang sangat serius
Baru, belum terlihat adanya dan sulit diperbaiki;
kemungkinan bagi napi seumur 3. Pidana seumur hidup tidak
hidup untuk mendapatkan dapat dikenakan kepada
’pelepasan bersyarat’. anak/remaja;
Tampaknya Konsep KUHP Baru 4. Ada jaminan bahwa
masih belum melakukan terpidana seumur hidup
kajian/review yang mendalam memepunyai hak juga untuk
terhadap Pasal 15 KUHP mmeeproleh
sekarang (WvS) dilihat dati pelepasan/pembebasan
ide/konsep pemasyarakatan. bersyarat, remisi dan proses
Patut kiranya dicatat bahwa asimilasi.
Kongres PBB ke-8 di Havana
Tahun 1990 telah meminta C.PIDANA PENJARA DALAM PERSPEKTIF
kepada Komite pencegahan dan FALSAFAH PEMIDANAAN
Pengendalian Kejahatan (The Perlakuan terhadap narapidana
Cimmittee on Crime Prevention berdasarkan perikemanusiaan dan
and Control, yang sekarang telah pendekatan pelaksanaan pidana penjara,

88
Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012

tidak lepas dari cara-cara kehidupan dalam pidana penjara sebagai bagian dari prevensi
masyarakat, sesuai dengan rumusan umum dan khusus, dan tolok ukur
Standard Minimum Rules for The treatment penjeraan sebagai salah satu sarana
of Prisoners, yang anatara lain mengatur nasional dalam menanggulangi kejahatan.
tentang pembinaan, perbaikan nasib, Dari perkembangan kongres PBB, mengenai
pekerjaan, pedidikan, rekreasi dan prevention of crime and treatment of
hubungan-hubungan sosial.16 Eksistensi offenders, pidana penjara masih tetap
dasar pembenaran ditetapkannya pidana dapat dipertahankan hanya perlu dibatasi
penjara selama ini tidak pernah penggunaannya untuk tindak pidana
dipersoalkan, yang pada umumnya tertentu, terutam yang menjadi perhatian
dipersoalkan adalah mengani berat adalah tentang resosialisasi terpidana.
ringannya ancaman pidana penjara dan Selanjutnya dilihat dari pemidanaan dalam
sistem perumusannya dalam undang- masyarakat modern, pidana sebagai proses
undang. Tidak dipersoalkan eksistensi dan untuk merobah tingkah laku, maka pidana
dasar pembenaran penjara yang penjara masih dapat dipertahankan, dan
berhubungan dengan adanya kebijaksanaan dilihat dari perlunya upaya pengamanan
yang mempertahankan jenis-jenis pidana masyarakat, pidana penjara merupakan
sebagaimana dalam Pasal 10 KUHP salah satu dari pemidanaan yang lebih
menurut UU No. 1 Tahun 1946. Tetapi manusiawi dibandingkan dengan tindakan
menurut pertimbangan kriminalisasi, masih yang sewenang-wenagn diluar hukum.17
patutnya dipidana perbuatan tertentu Sebagai suatu kajian, pidana penjara
sehingga penggunaan sanksi pidana pada dalam berbgaai pendekatan, maka selalu
umumnya dan pidana penjara pada dikaitkan antara stelsel pidana penjara
khususnya, tetap bersifat selektif yang dengan hukum pidana dan filsafat sebagai
diorientasikan pada pola kebijaksanaan pembenarannya. Bambang poernomo
tertentu, yakni ditujukan terhadap mengemukkakan bahwa pertentangan
perbuatan-perbuatan: pendapat apakah pidana itu telah dimulai
pertama, yang bertentangan dengan pada zaman keemasan paham Sofisme,
kesusilaan, agama dan moral Pancasila; dengan memeberikan isyarat bahwa tujuan
kedua, yang membahayakan atau pdana adalah harus memeperhatikan
merugikan kehidupan masyarakat, bangsa keadaan masa datang dan usaha untuk
dan negara; mencegah agar seseorang atau orang yang
ketiga, yang menghambat tercapainya lain sadar untuk tidak mengulangi
pembangunan nasional. kejahatannya lagi.18 Selanjutnya
Dengan demikian, maka pendekatan pertentangan anatar teori preventif dan
kebijaksanaan kriminalisasi sekaligus retributif dengan perkembangannya
kebijaksanaan penetapan pidana penjara masing-masing.
selama ini, ditempuh melalui atau Pada masyarakat Indonesia, peristiwa
berorientasi pada nilai. Dengan melihat pelanggaran yang mengakibatkan derita
aspek-aspek tujuan pemidanaan yakni pada orang lain, sehingga kehidupan
bernuansa pada aspek perlindungan masyarakat menjadi tidak seimbang,
masyarakat, perlindungan individual. penyelesaiannya sangat beraneka ragam,
Sehingga dapat dilihat dari hasil-hasil dimana tidak hanya dikenai hukum, tetapi
penelitian ilmiah, masih diperlukannya juga ikutnya bertanggungjawab dari

16 17
Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Bina Kasara, Syaiful Bakhri, Op-Cit, hlm. 78.
18
Jakarta, 1982, hlm. 174. Bambang Poernomo, Op-Cit.

89
Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012

kelaurga dan kerabatnya, sehingga harus dengan segala potensinya untuk


dipertahankan keseimbangan hidup berperan serta membantu pembinaaan
bermasyarakat, dengan memberikan sesuai dengan sepuluh prinsip
hukum yang setimpal sesuai dengan pemasyarakatan.
perasaan keadilan masyarakat di wilayah Kelima, pemasyarakatan sebagai metode
masing-masing, dengan memperlakukan mempunyai tata cara yang direncanakan
peneyelesaian konflik memulihkan untuk meneylenggarakan
keseimbangan, dengan sanksi adat yang pembinaan/bimbingan tertentu bagi
berfungsi sebagai saran untuk kepentingan masyarakat dan individu
mengembalikan rusaknya keseimbangan narapidana yang bersangkutan melalui
masyarakat adat. upaya-upaya remisi, asimilasi, integrasi,
Pelaksanaan pidana penjara, tercermin cuti, lepas bersyarat, program
dalam pembaharuan hukum pidana pendididkan, latihan , ketrampilan yang
sebagaimana yang dikemukakan oleh realisasinya menjadi indikator dari
Bambang Poernomo. pelaksanaan pidana penjara dengan
Pertama, pidana tetap menjadfi pidana dan sistem pemasyarakatan.
berorientasi kedepan melalui usaha Keenam, upaya pembinaan terpidana,
kearah pemasyarakatan, sehingga tidak berupa remisi dan cuti, seharusnya
hanya sekedar pidana perampasan dikembangkan lebih efektif, karena
kemerdekaan akan tetapi mengandung bukan sekedar pemberian kelonggaran
upaya-upaya bersifat baru; pidana dengan kemurahan hati,
Kedua, pelaksanaan pidana penjara dengan melainkan sebagai indikator awal
sistem pemasyarakatan sebaga tujuan pembaharuan pidana penjara harus
harus memperhatikan aspek perbuatan dimanfaatkan sedemikian rupa agar
melanggar hukum dan aspek anarapidana menyadari makna
manusianya sekaligus menunjukkan pembinaan melalui sistem
dengan dasar teori pemidanaan, pemayarakatan.
menganut asas pengimbangan atas Ketujuh, pokok pemikiran pembaharuan
perbuatan dan sekaligus mempelakukan pidana penjara yang diterapkan dengan
narapidana sebagai manusia sekalipun sistem pemasyarakatan belum didukung
telah melanggar hukum; oleh kekuatan hukum undang-undang.19
Ketiga, pengembangan pelaksanaan pidana Oleh karena itu, bila dilihat dari RUU
penjara dengan sistem pemasyarakatan KUHP tahun 2008, maka jenis pidana terdiri
dengan segala kelemahannya buaknlah dari pidana pokok, pidana penjara, pidana
untuk mencari jalan keluar dengan tutupan, pidana pengaawasan, pidaana
menghapuskan jenis pidana penjara dan denda dan pidana kerja sosial. Adapaun
perlakuan cara baru terhadap pidana mati merupakan pidana pokok yang
narapidana, disertai teknik dan metode bersifata khusus dan selalau diancamkan
dalam rangka pembaharuan pidana secara alternatif. Sedangkan tujuan pidana
yang bersifat universal. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
Keempat, sistem pemasyarakatan sebagai Tentang tujuan pemidanaan yaitu:
proses melibatkan hubungan interrelasi, 1. Pemidanaan bertujuan:;
interaksi dan integritas antara a. Mencegah dilakukannya tindak
komponen petugas, penegak hukum pidana dengan menegakkan
yang menyelenggarakan proses
pembinaan, dan komponen masyarakat
beserta budaya yang ada disekitarnya 19
Ibid, hlm. 242-243.

90
Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012

norma hukum demi 2. Ringannya perbuatan, keadaan


pengayoman masyarakat; pribadi pembuat atau keadaan pada
b. Memasyarakatkan terpidana waktu dilakukan perbuatan atau
dengan mengadakan pembinaan yang terjadi kemudian, dapat
sehingga menjadi orang yang dijadikan dasar pertimbangan untuk
baik dan berguna; tidak menjatuhkan pidana atau
c. Menyelesaikan konflik yang mengenakan tindakan dengan
ditimbulkan oleh tindak pidana, memeprtimbangkan segi keadilan
memulihkan keseimbangan dan dan kemanusiaan.
mendatangkan rasa damai
dalam masyarakat; dan Pasal 56:
d. Membebaskan rasa bersalah Seseorang byang melakukan tindak
terpidana. pidana tidak dibebaskan dari
2. Pemidanaan tidak dimaksdukan petanggunjawaban pidana berdasarkan
untuk menderitakan dan alasan penghapus pidana, jika orang
merendahkan martabat manusia. tersebut telah dengan sengaja
menyebabkan terjadinya alasan penghapus
Pasal 55; pidana tersebut.
Pedoman pemidanaan: Berkenaan dengan pidana penjara,
1. Dalam pemidanaan wajib telah diatur juga dalam RUU-KUHP, Pasal
dipertimbangkan: 69:
a. Kesalahan pembuat tindak 1. Pidana penjara dijatuhkan untuk
pidana; seumur hidup atau untuk waktu
b. Motif dan tujuan melakukan ntertentu;
tindak pidana; 2. Pidana penjara untuk waktu
c. Sikap batin pembuat tindak tertentu dijatuhkan paling lama 15
pidana; (lima belas) tahun berturut-tururt
d. Apakah tindak pidana dilakukan atau paling singkat 1 (satu) hari,
dengan berencana; kecuali ditentukan minimum
e. Cara melakukan tindak pidana; khusus.;
f. Sikap dan tindakan pembuat 3. Jika dapat dipilih antara pidana mati
sesudah melakukan tindak dana pidana penjara seumur hidup
pidana; atau jika ada pemberatan pidana
g. Riwayat hidup dan keadaan atas tindak pidana yang dijatuhkan
sosial ekonomi pembuat tindak pidana penjara 15 (lima belas)
pidana; tahun, maka pidana penjara untuk
h. Pengaruh pidana terhadap masa waktu tertentu dapat dijatuhkan
depan pembuat tindak pidana; untuk wkatu 20 (dua puluh) tahun
i. Pengaruh tindak pidana berturut-turut.
terhadap korban atau keluarga 4. Dalam hal bagaimanapun, pidana
korban; penjara untuk waktu tertentu tidak
j. Pemaafan dari korban dan/atau boleh dijatuhkan lebih dari 20 (dua
keluarganya; dan/atau puluh) tahun.
k. Pandangan masyarakat Pasal 70:
terhadap tindak pidana yang 1. Jika terpidana seumur hidup telah
dilakukan. menjalani pidana peling kurang 10
(sepuluh) tahun pertama dengan

91
Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012

berkelakuan baik, maka sisa pidana beratnya tindak pidana yang


tersebut dapat diubah menjadi dilakukan terdakwa;
pidana penjara paling lama 15 (lima 13. Tindak pidana terjadi di kalangan
belas) tahun. keluarga; atau
2. Ketentuan mengenai tata cara 14. Terjadi karena kealpaan.
pelaksanaan perubahan pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat PENUTUP
(1) diatur lebih lanjut dengan A.KESIMPULAN
Peraturan Pemerintah. 1. Bahwa eksistensi pidana penjara dilihat
dari sudut efektifitas sanksi harus/dapat
Pasal 71: dilihat dari dua aspek pokok tujuan
Dengan mempertimbangkan Pasal 54 pemidanaan yakni aspek perlindungan
dan Pasal 55, pidana penjara sejauh masyarakat dan aspek perbaikan si
mungkin tiak dijatuhkan jika dijumpai pelaku. Dari aspek perlindungan
keadaan-keadaan sebagai berikut: masyarakat maka tujuannya adalah
1. Terdakwa berusia dibawah 8 untuk mencegah, mengurangi atau
(delapan) tahun atau diatas 70 mengendalikan tindak pidana, dan
(tujuh puluh) tahun. memulihkan kesimbangan masyarakat
2. Terdakwa baru pertama kali antara lain; menyelesaikan konflik,
melakukan tindak pidana; mendatangkan rasa aman, memperbaiki
3. Kerugian dan penderitaan korban kerugian/kerusakan, menghilangkan
tidak terlalu besar; noda-noda, dan memperkuat kembali
4. Terdakwa telah membayar ganti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat,
kerugian kepada korban; sedankan aspek perbaikan si pelaku
5. Terdakwa tidak mengetahui bahwa meliputi berbagai tujuan antara lain
tindak pidana yang dilakukan akan melakukan rehabilitasi dan
menimbulkan kerugian yang besar; memasyarakatkan kembali si pelaku dan
6. Tindak pidana terjadi karena melindunginya dari perlakuan
hasutan yang sangat kuat dari orang sewenang-wenang di luar hukum.
lain; 2. Bahwa dalam rangka mengefektifkan
7. Korban tindak pidana mendorong pidana penjara maka dalam kebijakan
terjadinya tindak pidana tersebut; legislatif itu haruslah diperhatikan:
8. Tindak pidana tersebut merupakan penetapan pidana penjara yang selektif
akibat dari suatu keadaan yang tidak dan limitatif, perumusan tujuan
mungkin terulang lagi; pemidanaan dan pedoman pemidanaan
9. Kepribadian dan perilaku terdakwa baik yang bersifat umum maupun
meyakinkan bahwa ia tidak akan khusus, menghidari perumusan ancaman
melakukan tindak pidana yang lain; pidana yang bersifat imperatif yaitu
10. Pidana penjara akan menimbulkan sistem perumusan tunggal dan
penderitaan yang besar bagi perumusan kumulatif, harus ada
terdakwa atau keluarganya; pedoman bagi hakim apabila perlu
11. Pembinaan yang bersifatnon menggunakan sistem perumusan yang
institusional diperkirakan akan tunggal, harus melakukan reorientasi
cukup berhasil untuk diri terdakwa; dan evaluasi terhadap keseluruhan
12. Penjatuhan pidana yang lebih ringan peraturan perundang-undangan yang
tidak akanmengurangi sifat ada, dan untuk hukuman seumur hidup
hendaknya dilihat dari konsep

92
Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012

pemasyarakatan karena pidana seumur Atmasasmita, Romli., Kapita Selekta Hukum


hidup hanya dijatuhkan untuk Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju,
melindungi masyarakat. Bandung, 1995.
3. Bahwa pidana penjara dalam perspektif Bakhri, Syaiful., Perkembangan Stelsel
falsafah pemidanaan, tetap bersifat Pidana Indonesia, Total Media,
selektif yang ditujukan terhadap Yogyakarta, 2009.
perbuatan-perbuatan: pertama: yang Iriawan, I Gusti Ketut., Reorientasi
bertentangan dengan kesusilaan, agama Terhadap Bebrepa Permasalahan
dan moral Pancasila; kedua: yang Pidana Penjara
membahayakan atau merugikan (Suatu Kajian dari Dimensi Politik Kriminal),
kehidupan masyarakat, bangsa dan Kertha Pratika, Majalah Ilmuah FH
negara; ketiga: yang menghambat Universitas Udayana, Bali, 1994.
tercapainya pembanguan nasional. Mulyadi, Lilik., Kapita Selekta Hukum
Pidana, Kriminologi dan Victimologi,
B.SARAN Djambatan,
Pidana penjara pada dasarnya masih Jakarta, 2007.
tetap diperlukan/dipettahankan Prayudi, Guse., Beberapa Aspek Tindak
keberadaannya dalam KUHP, karena Pidana Kekerasan Dalam Rumah
walaupun efek jera seakan-akan tidak lagi Tangga,
didapatkan tetapi untuk melindungi Merkidd Press, Yogyakarta, 2008.
masyarakat dan untuk memperbaiki Poernomo, Bambang.,Hukum Pidana, Bina
tingkah laku si pelaku tindak pidana, pidana Aksara, Jakarta, 1982.
penjara masih sangatlah dibutuhkan. Prasetyo, Teguh., Hukum Pidana,
Dengan dimasukkannya si pelaku tindak RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011.
pidana dalam penjara maka dengan sistem Sudarto, Hukum dan Hukum pidana,
pemasyarakatan yang ada dan diatur dalam Alumni, Bandung, 1981.
UU No. 12 Tahun 1995, sedikit banyak Soerodibroto, Soenarto., KUHP dan KUHAP,
dapat membuat si pelaku tindak pidana RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003.
dapat merobah tingkah lakunya. Waluyo, Bambang., Pidana dan
Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta,
DAFTAR PUSTAKA 2003.
Arief, Barda Nawawi., Bunga Rampai Widodo., Sistem Pemidanaan Dalam Cyber
Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Crime, Laksbang Mediatama,
Bakti, Yogyakarta, 2009.
Bandung, 1996.
..................., Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana, Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana,
Jakarta, 2010.
Arief, Barda Nawawi dan Muladi., Teori-
teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, 2005.
................., Pidana dan Pemidanaan, Badan
Penyediaan Bahan
Kuliah Fakultas Hukum UNDIP< Semarang,
1984.

93

You might also like