Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846 adalah orang pertama yang mencetuskan istilah
anestesi berupa keadaan amnesia, analgesia dan narkosis untuk mengurangi rasa sakit saat
dilakukan tindakan operasi.1
Bidang khusus anestesi dimulai pada pertengahan abad ke-19. Prosedur obat-obatan
anestesi yang digunakan seperti poppy, daun kokain, akar mandrake, alkohol dan bahkan
proses pengeluaran darah (hingga tak sadarkan diri) dilakukan oleh ahli bedah selama
operasi. Kombinasi yang umum digunakan seperti morfin dan skopolamin digunakan untuk
premedikasi hingga saat ini. 1
Saat kehamilan dan melahirkan, wanita mengalamai perubahan fisiologis seperti
perubahan sistem kardiovaskular, pernapasan, pencernaan, sistem saraf, ginjal dan hepar.
Perubahan ini menyebabkan perubahan respon pada anestesi sehingga pada wanita hamil
membutuhkan penanganan yang berbeda dibandingkan pasien lainnya.1
Operasi caesar adalah persalinan janin melalui sayatan perut terbuka (laparotomi) dan
sayatan di rahim (histerotomi). Sekarang ini adalah operasi paling umum yang dilakukan di
Amerika Serikat, dengan lebih dari 1 juta wanita melahirkan melalui operasi caesar setiap
tahun. Angka persalinan sesar meningkat dari 5% pada tahun 1970 menjadi 31,9% pada
2016. 3 Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai manajemen anestestesi pada section
caesarea dengan anestesi spinal.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Bila Ketuban Pecah Dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut Ketuban
Pecah Dini pada kehamilan prematur. Dalam keadaan normal 8 - 10 % perempuan hamil
aterm akan mengalami Ketuban Pecah Dini. Keruban Pecah Dini Prematur terjadi pada 1 %
kehamilan.2
2.1.4 Patofisiologi
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi urerus dan
peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan
biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput
ketuban rapuh. Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi ekstraselular matriks.
Perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen
berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah. 2
Mendekati waktu persalinan, keseimbangan antara MMP dan TIMP-1 mengarah pada
degradasi proteolitik dari matriks ekstraselular dan membran janin. Aktivitas degradasi
2
proteolitik ini meningkat menjelang persalinan. Pada penyakit periodontitis di mana terdapat
peningkatan MMP, cenderung terjadi Ketuban Pecah Dini. Selaput ketuban sangat kuat pada
kehamiian muda. Pada trimester ketiga selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan
selaput ketuban ada hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan gerakan
janin. Pada trimester terakhir terjadi perubahan biokimia pada selaput ketuban. Pecahnya
ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal fisiologis. 2
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi yang timbul akibat Ketuban Pecah Dini bergantung pada usia kehamilan.
Dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan prematur, hipoksia karena
kompresi tali pusat, deformitas janin, meningkatnya insiden seksio sesarea, atau gagalnya
persalinan normal. 2
1. Persalinan Prematur
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten
tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90 "h teqradt daJam 24 jam
setelah ketuban pecah. Pada kehamilan anrara 28 - 34 minggu 50 % persalinan
3
dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam I
minggu. 2
2. Infeksi
Infeksi dapat terjadi pada maternal maupun neonatal. Risiko infeksi ibu dan anak
meningkat pada Ketuban Pecah Dini. Pada ibu terjadi korioamnionitis" Pada bayt
dapat terjadi septikemia, pneumonia, omfalitis. Umumnya terjadi korioamnionitis
sebelum janin terinfeksi. Pada Ketuban Pecah Dini premarur, infeksi lebih sering
daripada aterm. Secara umum insiden infeksi sekunder pada Ketuban Pecah Dini
meningkat sebanding dengan lamanya periode laten. 2
3. Hipoksia dan Asfiksia
Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga
terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan
derajat oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat. 2
4. Sindrom Deformitas Janin
Ketuban Pecah Dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin, sena
hipoplasi pulmonar. 2
2.2.2. Epidemiologi
Sejak tahun 1970 hingga 2010, operasi caesar di United State berkisar antara 4,5%
dari total kelahiran 32,8%. 2
Operasi caesar adalah operasi paling umum yang
dilakukan di Amerika Serikat, dengan lebih dari satu juta kelahiran caesar dilakukan
setiap tahun. 3
2.2.3. Indikasi 3
4
2. Permintaan ibu
3. Deformitas panggul atau disproporsi sefalopelvis
4. Trauma perineum sebelumnya
5. Sebelum operasi rekonstruksi panggul atau anal / rektal
6. Herpes simpleks atau infeksi HIV
7. Penyakit jantung atau paru
8. Aneurisma otak atau malformasi arteriovenosa
9. Patologi yang membutuhkan pembedahan intraabdominal secara bersamaan
10. Sesar perimortem
b. Indikasi Uterin/Anatomi untuk SC
1. Plasentasi abnormal (seperti plasenta previa, plasenta akreta)
2. Solusio plasenta
3. Sebelum histerotomi klasik
4. Miomektomi ketebalan penuh sebelumnya
5. Riwayat dehiscence insisi uterus
6. Kanker serviks invasif
7. Trakelektomi sebelumnya
8. Massa obstruktif saluran genital
9. Cerclage permanen
c. Indikasi Janin untuk SC
1. tatus janin yang tidak meyakinkan (seperti pemeriksaan Doppler tali pusat
abnormal) atau detak jantung janin yang abnormal
2. Prolaps tali pusat
3. Gagal melahirkan pervaginam operatif
4. Malpresentation
5. Makrosomia
6. Anomali kongenital
7. Trombositopenia
8. Trauma kelahiran neonatal sebelumnya
2.2.4. Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi medis yang benar untuk operasi caesar. Operasi caesar
adalah pilihan jika pasien hamil sudah meninggal atau sekarat, atau jika janin sudah
mati atau sekarat. Meskipun terdapat kondisi ideal untuk operasi caesar, seperti
5
ketersediaan anestesi dan antibiotik serta peralatan yang sesuai, ketiadaan kondisi ini
bukan merupakan kontraindikasi jika skenario klinis menentukan. 3
Secara etis, operasi caesar merupakan kontraindikasi jika pasien hamil
menolak. Pendidikan dan konseling yang memadai sangat penting untuk mendapatkan
persetujuan yang diinformasikan. Namun, jika pasien hamil tidak setuju untuk
menjalani operasi pada tubuhnya, pada akhirnya itu adalah haknya sebagai pasien
otonom. 3
2.2.5. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada persalinan sesarea antara lain:
a. Peningkatan mortalitas dan morbiditas ibu dengan persalinan sesarea
dibandingkan persalinan pervaginam, sebagian terkait dengan prosedur
tersbut, dan sebagian diakibatkan dengan kondisi yang menyebabkan
perlunya melakukan persalinan sesarea
b. Infeksi
c. Penyakit tromboemboli (contohnya trombosis vena dalam, tromboplebhitis
pelvis septik)
7
Nyeri persalinan timbul dari kontraksi miometrium melawan resistensi
serviks dan perineum, pelebaran progresif serviks dan segmen bawah rahim, serta
peregangan dan kompresi struktur panggul dan perineum. Ketidaknyamanan
selama kala satu persalinan terutama nyeri viseral akibat kontraksi uterus dan
pelebaran serviks. Biasanya awalnya terbatas pada dermatom T11-T12 selama
fase laten, tetapi akhirnya melibatkan dermatom T10-L1 saat persalinan
memasuki fase aktif. Serabut aferen viseral yang bertanggung jawab untuk nyeri
persalinan berjalan dengan serabut saraf simpatis pertama ke pleksus
uterovaginal, kemudian melalui pleksus hipogastrik inferior, sebelum memasuki
sumsum tulang belakang dengan akar saraf T10-L1. 1
Nyeri awalnya dirasakan di perut bagian bawah tetapi mungkin semakin
meningkat ke daerah lumbosakral, daerah gluteal, dan paha saat persalinan
berlangsung. Intensitas nyeri juga meningkat dengan dilatasi serviks progresif dan
dengan peningkatan intensitas dan frekuensi kontraksi uterus. Wanita nullipara
biasanya mengalami rasa sakit yang lebih besar selama tahap pertama persalinan.
Timbulnya nyeri perineum pada akhir kala satu menandakan awal turunnya janin
dan kala dua persalinan. Peregangan dan kompresi struktur panggul dan perineum
meningkatkan rasa sakit. Persalinan sensorik perineum disediakan oleh saraf
pudendal (S2-4), sehingga nyeri selama kala dua persalinan melibatkan dermatom
T10-S4. 1
B. Agen Parenteral
Hampir semua analgesik opioid parenteral dan sedatif mudah melewati
plasenta dan dapat mempengaruhi janin. Kekhawatiran tentang depresi janin
membatasi penggunaan agen ini pada tahap awal persalinan atau situasi di mana
teknik anestesi regional tidak tersedia atau tidak sesuai. Depresi sistem saraf pusat
(SSP) pada neonatus dapat dimanifestasikan oleh waktu yang lama untuk
pernapasan berkelanjutan, asidosis pernapasan, atau pemeriksaan neurobehavioral
yang abnormal. Selain itu, hilangnya variabilitas denyut-ke-denyut dalam denyut
jantung janin (terlihat pada sebagian besar depresan SSP) dan penurunan gerakan
janin (karena sedasi janin) mempersulit evaluasi kesejahteraan janin selama
persalinan. Variabilitas detak jantung janin jangka panjang lebih dipengaruhi
daripada variabilitas jangka pendek. Derajat dan signifikansi efek ini bergantung
pada agen spesifik, dosis, waktu yang berlalu antara pemberian dan persalinan,
dan kematangan janin. Neonatus prematur menunjukkan sensitivitas terbesar. 2
8
Selain depresi pernapasan ibu, opioid juga dapat menyebabkan mual dan
muntah ibu serta menunda pengosongan lambung. Meperidine, opioid yang umum
digunakan, dapat diberikan dalam dosis 10 sampai 25 mg secara intravena atau 25
sampai 50 mg secara intramuskular, biasanya sampai total 100 mg. Depresi
pernapasan ibu dan janin maksimal terlihat dalam 10 hingga 20 menit setelah
pemberian intravena dan dalam 1 hingga 3 jam setelah pemberian intramuskular.
Akibatnya, meperidine biasanya diberikan pada awal persalinan saat persalinan
tidak diharapkan selama minimal 4 jam. Fentanil intravena, 25 sampai 100 mcg /
jam, juga telah digunakan untuk persalinan. Fentanil dalam dosis 25 hingga 100
mcg memiliki onset analgesik 3 hingga 10 menit yang awalnya berlangsung
sekitar 60 menit, dan bertahan lebih lama setelah beberapa dosis. Namun, depresi
pernapasan ibu lebih lama dari analgesia. Dosis fentanil yang lebih rendah dapat
dikaitkan dengan sedikit atau tanpa depresi pernapasan neonatal dan dilaporkan
tidak berpengaruh pada skor Apgar. Banyak bukti yang mendukung penggunaan
remifentanil opioid kerja ultra pendek untuk analgesia persalinan. Bukti
menunjukkan remifentanil sama atau lebih efektif daripada opioid parenteral lain
atau alternatif inhalasi, meskipun tidak memberikan derajat pereda nyeri yang
ditawarkan oleh analgesia neuraksial. Pengaturan analgesia yang dikontrol pasien
yang populer adalah bolus 40-mcg dengan penguncian 2 menit. Pemantauan
pasien satu-satu yang cermat adalah wajib. Agen dengan aktivitas agonis-
antagonis campuran (butorphanol, 1-2 mg, dan nalbuphine, 10-20 mg secara
intravena atau intramuskular) juga efektif dan berhubungan dengan sedikit atau
tanpa depresi pernapasan kumulatif, tetapi sedasi berlebihan dengan dosis
berulang dapat menjadi masalah. Promethazine (25-50 mg intramuskular) dan
hydroxyzine (50-100 mg intramuscular) dapat berguna sendiri atau dalam
kombinasi dengan opioid. Kedua obat tersebut mengurangi kecemasan, kebutuhan
opioid, dan kejadian mual, tetapi tidak menambah depresi neonatal. Kerugian
yang signifikan dari hydroxyzine adalah nyeri di tempat suntikan setelah
pemberian intramuskular. 1
Agen antiinflamasi nonsteroid, seperti ketorolac, tidak direkomendasikan
sebagai terapi antepartum karena mereka menekan kontraksi uterus dan
mendorong penutupan duktus arteriosus janin. Dosis kecil (sampai 2 mg
intravena) dari midazolam (Versed) dapat diberikan dalam kombinasi dengan
dosis kecil fentanil (sampai 100 mcg intravena) pada ibu melahirkan yang sehat
9
untuk memfasilitasi efek analgesik dari blokade neuraksial. Pada dosis ini,
amnesia ibu belum diamati. Pemberian kronis benzodiazepin diazepam (Valium)
kerja lama telah dikaitkan dengan depresi janin. Ketamin intravena dosis rendah
adalah analgesik yang ampuh. Dalam dosis 10 sampai 15 mg secara intravena,
analgesia yang baik dapat diperoleh dalam 2 sampai 5 menit tanpa kehilangan
kesadaran. Bolus ketamin yang besar (> 1 mg / kg) dapat dikaitkan dengan
kontraksi uterus hipertonik. Ketamin dosis rendah paling bermanfaat sesaat
sebelum pelahiran atau sebagai adjuvan untuk anestesi regional. Di masa lalu,
konsentrasi agen anestesi volatil yang berkurang (misalnya, methoxyflurane)
dalam oksigen kadang-kadang digunakan untuk meredakan nyeri persalinan yang
lebih ringan. Penghirupan nitrous oksida-oksigen tetap umum digunakan untuk
menghilangkan nyeri persalinan ringan. Seperti disebutkan sebelumnya, nitrous
oksida memiliki efek minimal pada aliran darah uterus atau kontraksi uterus. 1
C. Teknik Anestesi Regional
Teknik epidural atau intratekal, sendiri atau kombinasi, saat ini merupakan
metode pereda nyeri paling populer selama persalinan dan persalinan. Mereka
dapat memberikan analgesia yang sangat baik sambil membiarkan ibu tetap
terjaga dan kooperatif selama persalinan. Meskipun opioid spinal atau anestesi
lokal saja dapat memberikan analgesia yang adekuat, teknik yang
menggabungkan keduanya terbukti paling memuaskan pada kebanyakan ibu
melahirkan. Selain itu, sinergi antara opioid dan anestesi lokal menurunkan
kebutuhan dosis dan memberikan analgesia yang sangat baik dengan sedikit efek
samping pada ibu dan sedikit atau tanpa depresi neonatal. 1
D. Spinal Opioid
Opioid dapat diberikan secara intratekal sebagai suntikan tunggal atau
sewaktu-waktu melalui kateter epidural atau intratekal. Dosis yang relatif besar
diperlukan untuk analgesia selama persalinan ketika opioid epidural atau
intratekal digunakan sendiri. Misalnya, ED50 selama persalinan adalah 124 mcg
untuk fentanil epidural dan 21 mcg untuk sufentanil epidural. Dosis yang lebih
tinggi dapat dikaitkan dengan risiko tinggi efek samping, terutama depresi
pernapasan. Untuk alasan ini, kombinasi anestesi lokal dan opioid paling sering
digunakan (lihat pembahasan selanjutnya). Teknik opioid murni paling berguna
untuk pasien berisiko tinggi yang mungkin tidak dapat mentolerir simpatektomi
fungsional yang terkait dengan anestesi spinal atau epidural. 1
10
Kelompok ini termasuk pasien dengan hipovolemia atau penyakit
kardiovaskular yang signifikan seperti stenosis aorta sedang hingga berat,
tetralogi Fallot, sindrom Eisenmenger, atau hipertensi pulmonal. Kecuali
meperidin, yang memiliki sifat anestesi lokal, opioid spinal saja tidak
menghasilkan blokade motorik atau simpatektomi. Dengan demikian, mereka
tidak mengganggu kemampuan ibu melahirkan untuk "mendorong". Kerugian
termasuk analgesia kurang lengkap, kurangnya relaksasi perineum, dan efek
samping seperti pruritus, mual, muntah, sedasi, dan depresi pernapasan. Efek
samping dapat diatasi dengan nalokson dosis rendah (0,1-0,2 mg / jam secara
intravena). 1
1. Opioid Intratekal
Morfin intratekal dalam dosis 0,1 sampai 0,3 mg dapat menghasilkan
analgesia yang memuaskan dan berkepanjangan (4-6 jam) selama kala satu
persalinan. Sayangnya, permulaan analgesia lambat (45-60 menit), dan dosis
ini mungkin tidak cukup pada banyak pasien. Namun, dosis yang lebih tinggi
dikaitkan dengan insiden efek samping yang relatif tinggi. Oleh karena itu,
morfin jarang digunakan sendiri. Kombinasi morfin, 0,1 hingga 0,25 mg, dan
fentanil, 12,5 mcg (atau sufentanil, 5 mcg), dapat menyebabkan onset
analgesia yang lebih cepat (5 menit). Bolus intermiten 10 sampai 15 mg
meperidine, 12,5 sampai 25 mcg fentanil, atau 3 sampai 10 mcg sufentanil
melalui kateter intratekal juga dapat memberikan analgesia yang memuaskan
untuk persalinan. Laporan awal bradikardia janin setelah injeksi opioid
intratekal (misalnya sufentanil) belum dikonfirmasi oleh penelitian
selanjutnya. Hipotensi setelah pemberian opioid intratekal untuk persalinan
mungkin disebabkan oleh analgesia yang dihasilkan dan penurunan kadar
katekolamin dalam sirkulasi. 1
2. Opioid Epidural
Dosis yang relatif besar (≥7,5 mg) morfin epidural diperlukan untuk
analgesia persalinan yang memuaskan tetapi tidak dianjurkan karena
peningkatan risiko depresi pernapasan yang tertunda dan karena analgesia
yang dihasilkan hanya efektif pada awal persalinan kala satu. Onset mungkin
memakan waktu 30 sampai 60 menit tetapi analgesia berlangsung hingga 12
sampai 24 jam (seperti halnya risiko depresi pernafasan yang tertunda).
Epidural meperidine, 50 sampai 100 mg, memberikan analgesia yang baik,
11
tetapi relatif singkat (1 sampai 3 jam). Fentanil epidural, 50 sampai 150 mcg,
atau sufentanil, 10 sampai 20 mcg, biasanya menghasilkan analgesia dalam 5
sampai 10 menit dengan sedikit efek samping, tetapi durasinya singkat (1-2
jam). Meskipun opioid epidural “suntikan tunggal” tampaknya tidak
menyebabkan depresi neonatal yang signifikan, kewaspadaan harus
dilakukan setelah pemberian berulang. Kombinasi dosis morfin yang lebih
rendah, 2,5 mg, dengan fentanil, 25 sampai 50 mcg (atau sufentanil, 7,5-10
mcg), dapat menyebabkan onset yang lebih cepat dan perpanjangan analgesia
(4-5 jam) dengan efek samping yang lebih sedikit. 1
14
teknik ini sangat bergantung pada pengguna, dan hanya sedikit praktisi yang
mengadopsinya. 1
Jika terjadi pungsi dural yang tidak disengaja, ahli anestesi memiliki
dua pilihan: (1) menempatkan kateter epidural di ruang subarachnoid untuk
analgesia dan anestesi spinal (intratekal) kontinyu (lihat pembahasan berikut),
atau (2) lepaskan jarum dan coba penempatan di tingkat tulang belakang
lainnya. Kateter epidural yang dipasang di intratekal dapat digunakan sebagai
anestesi spinal kontinu. Jika digunakan dengan cara ini, infus 0,0625% hingga
0,125% bupivakain dengan fentanil, 2 hingga 3 mcg / mL mulai dari 1-3 mL /
jam, adalah pilihan yang khas. 1
2. Pemilihan Kateter Epidural
Banyak dokter menganjurkan penggunaan kateter multi-lubang daripada
kateter lubang tunggal untuk anestesi kebidanan. Penggunaan kateter multi-
lubang dapat dikaitkan dengan lebih sedikit blok unilateral dan sangat
mengurangi kejadian aspirasi negatif palsu saat menilai penempatan kateter
intravaskular atau intratekal. Memasukkan kateter multi-lubang 4 sampai 6 cm
ke dalam ruang epidural tampaknya optimal untuk mendapatkan tingkat
sensorik yang memadai. Kateter lubang tunggal hanya perlu dimasukkan 3
sampai 5 cm ke dalam ruang epidural. Panjang insersi yang lebih pendek di
ruang epidural (<5 cm) dapat menyebabkan kateter keluar dari ruang epidural
pada pasien obesitas setelah gerakan fleksi / ekstensi tulang belakang. Panjang
insersi epidural yang lebih lama di ruang epidural dapat meningkatkan risiko
analgesia unilateral atau insersi vena epidural. Kateter yang diperkuat kawat
spiral sangat tahan terhadap kekusutan. Ujung spiral atau pegas, terutama bila
digunakan tanpa stylet, dikaitkan dengan parestesia yang lebih sedikit dan
kurang intens. 1
3. Pemilihan Larutan Anestesi Lokal
Penambahan opioid ke larutan anestesi lokal untuk anestesi epidural
telah secara dramatis mengubah praktik anestesi obstetrik. Sinergi antara
opioid epidural dan larutan anestesi lokal mencerminkan tempat kerja yang
terpisah: reseptor opioid dan akson saraf, masing-masing. Ketika keduanya
digabungkan, konsentrasi yang sangat rendah dari anestesi lokal dan opioid
dapat digunakan dengan efek yang sangat baik. Selain itu, kejadian efek
samping yang merugikan, seperti hipotensi dan toksisitas obat, berkurang.
15
Meskipun anestesi lokal dapat digunakan sendiri, jarang ada alasan untuk
melakukannya. Selain itu, ketika opioid dihilangkan, konsentrasi anestesi lokal
yang lebih besar diperlukan (misalnya, bupivacaine, 0,25%, dan ropivacaine,
0,2%) untuk analgesia yang adekuat dapat mengganggu kemampuan ibu
melahirkan untuk mendorong secara efektif saat persalinan berlangsung. 1
Kombinasi anestesi / opioid lokal yang paling umum digunakan untuk
analgesia persalinan adalah bupivakain atau ropivakain dalam konsentrasi
0,0625% hingga 0,125% dengan fentanil, 2 hingga 3 mcg / mL, atau
sufentanil, 0,3 hingga 0,5 mcg / mL. Secara umum, semakin rendah
konsentrasi anestesi lokal semakin besar konsentrasi opioid yang dibutuhkan.
Campuran anestesi lokal yang sangat encer (0,0625%) umumnya tidak
menghasilkan blokade motorik dan memungkinkan beberapa pasien ambulasi
(epidural “berjalan” atau “bergerak”). Durasi kerja bupivacaine yang lama
membuatnya menjadi agen persalinan yang populer. Ropivacaine mungkin
lebih disukai karena potensi kardiotoksisitasnya berkurang . Pada dosis equi-
analgesik, ropivacaine dan bupivacaine tampaknya menghasilkan derajat blok
motorik yang sama. 1
Efek larutan yang mengandung epinefrin selama persalinan agak
kontroversial. Banyak dokter menggunakan larutan yang mengandung
epinefrin hanya untuk dosis uji intravaskular karena khawatir larutan tersebut
dapat memperlambat perkembangan persalinan atau berdampak buruk pada
janin; yang lain hanya menggunakan konsentrasi epinefrin yang sangat encer
seperti 1: 800.000 atau 1: 400.000. Namun, penelitian yang membandingkan
berbagai agen ini gagal menemukan perbedaan skor Apgar neonatal, status
asam basa, atau evaluasi neurobehavioral. 1
4. Aktivasi Epidural Fase Pertama Persalinan
Injeksi epidural awal dapat dilakukan sebelum atau setelah kateter dipasang.
Pemberian melalui jarum dapat memfasilitasi penempatan kateter, sedangkan
pemberian melalui kateter memberikan jaminan bahwa kateter berfungsi
dengan baik. Urutan berikut disarankan untuk aktivasi epidural: 1
a. Tes untuk penempatan jarum atau kateter subarachnoid atau intravaskular
yang tidak disengaja menggunakan dosis uji 3-mL dari anestesi lokal
dengan epinefrin 1: 200.000 Banyak dokter menguji dengan lidokain
1,5% karena hasilnya toksisitas yang lebih rendah setelah injeksi
16
intravaskular yang tidak disengaja dan onset anestesi spinal yang lebih
cepat setelah injeksi intratekal yang tidak disengaja dibandingkan dengan
bupivacaine atau ropivacaine. Dosis uji harus disuntikkan di antara
kontraksi untuk membantu mengurangi tanda positif palsu dari suntikan
intravaskular (yaitu, takikardia karena kontraksi yang menyakitkan).
b. Jika setelah 5 menit tidak ada tanda-tanda injeksi intravaskular atau
intratekal, dengan pasien terlentang dan terjadi perpindahan uterus ke kiri,
berikan 10 mL campuran anestesi-opioid lokal dengan peningkatan 5 mL,
tunggu 1 hingga 2 menit di antara dosis, untuk mencapai tingkat sensorik
T10 – L1. Bolus awal biasanya terdiri dari 0,1% sampai 0,2% ropivacaine
atau 0,0625% sampai 0,125% bupivacaine dikombinasikan dengan 50
sampai 100 mcg fentanil atau 10 sampai 20 mcg sufentanil.
c. Pantau dengan sering menilai tanda-tanda vital selama 20 sampai 30
menit, atau sampai pasien stabil. Oksimetri denyut juga harus digunakan.
Oksigen diberikan melalui masker wajah jika terjadi penurunan tekanan
darah atau saturasi oksigen yang signifikan.
b. Ulangi langkah 2 dan 3 saat nyeri berulang sampai kala satu persalinan
selesai. Sebagai alternatif, teknik infus epidural berkelanjutan dapat
digunakan dengan menggunakan bupivacaine atau ropivacaine dalam
konsentrasi 0,0625% hingga 0,125% dengan fentanil, 1 hingga 5 mcg /
mL, atau sufentanil, 0,2 hingga 0,5 mcg / mL, dengan kecepatan 10 mL /
h, yang selanjutnya disesuaikan dengan kebutuhan analgesik pasien
(kisaran: 5-15 mL / jam). Pilihan ketiga adalah menggunakan analgesia
epidural yang dikontrol pasien (PCEA). Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa total kebutuhan obat mungkin lebih sedikit dan
kepuasan pasien lebih besar dengan PCEA bila dibandingkan dengan
teknik analgesia epidural lainnya. Pengaturan PCEA tradisional biasanya
adalah dosis bolus 5 mL dengan penguncian 5 hingga 10 menit dan laju
basal 0 hingga 12 mL / jam; biasanya digunakan batas 1 jam 15 sampai
25 mL. Bukti terbaru juga menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan
infus dasar epidural, teknik bolus terprogram terprogram (misalnya, 6 mL
bupivakain 0,0625% setiap 30 menit tanpa infus dasar) dapat
meningkatkan kepuasan pasien. Migrasi kateter epidural ke dalam
pembuluh darah selama teknik infus kontinyu dapat ditandai dengan
17
hilangnya analgesia yang efektif; indeks kecurigaan yang tinggi
diperlukan karena tanda-tanda toksisitas sistemik yang jelas mungkin
tidak ada. Erosi kateter melalui dura mengakibatkan blokade motorik
progresif lambat pada ekstremitas bawah dan peningkatan blokade
sensorik.
5. Pemberian Epidural Fase Kedua Persalinan
Pemberian analgesia epidural untuk kala dua persalinan harus memperpanjang
blok untuk memasukkan dermatom S2-4. Apakah kateter sudah terpasang atau
anestesi epidural baru saja dimulai, langkah-langkah berikut harus dilakukan:
1. Jika pasien belum memasang kateter, buat akses ruang epidural saat pasien
dalam posisi duduk. Seorang pasien yang sudah memasang kateter epidural
harus ditempatkan dalam posisi semi-tegak atau duduk sebelum penyuntikan.
2. Berikan anestesi lokal dengan dosis uji 3 mL (misalnya, lidokain 1,5%)
dengan epinefrin 1: 200.000. Seperti disebutkan sebelumnya, injeksi harus
diselesaikan di antara kontraksi. 3. Jika, setelah 5 menit, tanda-tanda injeksi
intravaskular atau intratekal tidak ada, berikan 10 hingga 15 mL campuran
anestesi-opioid lokal tambahan dengan kecepatan tidak lebih cepat dari 5 mL
setiap 1 hingga 2 menit. 4. Baringkan pasien terlentang dengan perpindahan
uterus ke kiri dan pantau tanda-tanda vital setiap 1 sampai 2 menit selama 15
menit pertama, kemudian setiap 5 menit setelahnya. 1
6. Prevensi Injeksi Intravaskular dan Intratekal yang Tidak Diinginkan
Pemberian analgesia dan anestesi epidural yang aman bergantung pada
menghindari injeksi intratekal atau intravaskular yang tidak disengaja.
Penempatan jarum atau kateter epidural secara intravaskular atau intratekal
yang tidak disengaja dapat dilakukan meskipun aspirasi gagal menghasilkan
darah atau cairan serebrospinal (CSF). Insiden pemasangan kateter epidural
intravaskular atau intratekal yang tidak disengaja masing-masing adalah 5%
hingga 15% dan 0,5% hingga 2,5%. Bahkan kateter yang ditempatkan dengan
benar selanjutnya dapat terkikis menjadi vena epidural atau posisi intratekal.
Kemungkinan ini harus dipertimbangkan setiap kali anestesi lokal disuntikkan
melalui kateter epidural. Dosis uji lidokain (45–60 mg), bupivakain (7,5–10
mg), ropivakain (6–8 mg), atau kloroprokain (100 mg) dapat diberikan untuk
menyingkirkan penempatan intratekal yang tidak disengaja. 1
18
Tanda-tanda blokade sensorik dan motorik biasanya menjadi jelas
masing-masing dalam 2 sampai 3 menit dan 3 sampai 5 menit, jika injeksi
intratekal. Pada pasien yang tidak menerima antagonis β-adrenergik, injeksi
intravaskular larutan anestesi lokal dengan 15 hingga 20 mcg epinefrin secara
konsisten meningkatkan denyut jantung sebesar 20 hingga 30 denyut / menit
dalam waktu 30 hingga 60 detik jika kateter epidural atau ujung jarum
dipasang ke dalam pembuluh darah. . Teknik ini tidak selalu dapat diandalkan
pada ibu melahirkan karena teknik ini sering memiliki variasi dasar spontan
dalam denyut jantung dengan kontraksi. 1
Metode alternatif untuk mendeteksi penempatan kateter intravaskular
yang tidak disengaja didasarkan pada tanda-tanda toksisitas SSP, termasuk
tinitus, pusing, mati rasa perioral, atau rasa logam. Penggunaan larutan
anestesi lokal encer dan kecepatan injeksi yang lambat tidak lebih dari 5 mL
dalam satu waktu juga dapat meningkatkan deteksi injeksi intravaskular yang
tidak disengaja sebelum komplikasi katastropik berkembang. 1
7. Manajemen Komplikasi
a. Hipotensi — Secara umum didefinisikan sebagai penurunan lebih dari
20% pada tekanan darah sistolik dasar pasien, atau tekanan darah sistolik
kurang dari 100 mm Hg, hipotensi adalah efek samping umum dari
anestesi neuraksial. Hal ini terutama disebabkan oleh penurunan tonus
simpatis dan sangat ditekankan oleh kompresi aortokaval dan posisi tegak
atau semi-tegak. Perawatan harus terdiri dari bolus fenilefrin intravena
(40-120 mcg), oksigen tambahan, perpindahan uterus ke kiri, dan bolus
cairan intravena. Meskipun penggunaan rutin bolus cairan kristaloid
sebelum pemberian dosis kateter epidural tidak efektif dalam pencegahan
hipotensi, penting untuk memastikan hidrasi intravena yang tepat pada
pasien hamil. Penggunaan posisi head-down (Trendelenburg) kontroversial
karena efeknya yang berpotensi merusak pertukaran gas paru. 1
b. Injeksi intravaskular yang tidak disengaja — Pengenalan awal injeksi
intravaskular, yang difasilitasi oleh penggunaan anestesi lokal dengan
dosis kecil dan berulang alih-alih bolus besar, dapat mencegah toksisitas
anestesi lokal yang lebih serius, seperti kejang atau kolaps kardiovaskular.
Suntikan intravaskular dosis toksik lidokain atau kloroprokain biasanya
19
muncul sebagai kejang. Propofol, 20 sampai 50 mg, akan menghentikan
aktivitas kejang. Pemeliharaan jalan napas paten dan oksigenasi yang
adekuat sangat penting; namun, pemberian suksinilkolin dan intubasi
endotrakeal jarang diperlukan. Suntikan bupivakain intravaskular dapat
menyebabkan kolaps kardiovaskular yang cepat serta aktivitas kejang.
Resusitasi jantung mungkin sangat sulit dan diperburuk oleh asidosis dan
hipoksia. Infus segera 20% Intralipid dikombinasikan dengan dosis
tambahan epinefrin telah menunjukkan kemanjuran dalam membalikkan
toksisitas jantung yang diinduksi bupivakain. Amiodaron adalah agen
pilihan untuk mengobati aritmia ventrikel yang diinduksi oleh anestesi
lokal. 1
c. Injeksi intratekal yang tidak disengaja — Bahkan jika tusukan dural
dikenali segera setelah injeksi anestesi lokal, upaya aspirasi anestesi lokal
biasanya tidak berhasil. Pasien harus diletakkan terlentang dengan posisi
uterus kiri. Peninggian kepala menonjolkan efek samping hipotensi pada
aliran darah otak dan harus dihindari. Hipotensi harus segera diobati
dengan fenilefrin dan cairan intravena. Hipotensi sedang hingga berat
mungkin memerlukan pemberian epinefrin (10-50 mcg) atau vasopresin
(0,4-2,0 U intravena). Tingkat tulang belakang yang tinggi juga dapat
menyebabkan kelumpuhan otot diafragma dan interkostal, yang
memerlukan intubasi dan ventilasi dengan 100% oksigen. Onset tertunda
dari blok yang sangat tinggi dan seringkali tidak merata atau unilateral
mungkin disebabkan oleh injeksi subdural yang tidak dikenali, yang
dikelola dengan cara yang sama. 1
d. Sakit kepala postdural puncture (PDPH) —Ada banyak penyebab sakit
kepala setelah anestesi regional di kebidanan. Penarikan kafein dan sakit
kepala migrain tidak jarang terjadi. Pungsi dural yang tidak disengaja
dengan jarum epidural yang besar biasanya akan menyebabkan PDPH,
sebagai konsekuensi dari penurunan tekanan intrakranial dengan
vasodilatasi serebral kompensasi . Istirahat di tempat tidur, hidrasi,
analgesik oral, dan kafein natrium benzoat (5 00 mg ditambahkan ke 1000
mL cairan intravena yang diberikan pada 200 mL / jam) mungkin efektif
pada pasien dengan sakit kepala ringan dan sebagai pengobatan sementara.
Gabapentin, hidrokortison, dan teofilin oral telah terbukti berhasil dalam
20
beberapa penelitian. Pasien dengan sakit kepala sedang sampai berat
biasanya memerlukan patch darah epidural (10-20 mL). Patch darah
epidural profilaksis tidak direkomendasikan, karena 25% sampai 50%
pasien mungkin tidak memerlukan patch darah setelah tusukan dural.
Menunda tambalan darah selama 2 4 jam meningkatkan kemanjurannya,
meskipun tirah baring selama 24 jam sambil menunggu tambalan darah
epidural tidak nyaman dan tidak praktis untuk ibu baru. Hematoma
subdural intrakranial telah dilaporkan sebagai komplikasi yang jarang
terjadi 1 sampai 6 minggu setelah tusukan dural yang tidak disengaja pada
pasien kebidanan. 1
e. Demam kehamilan — Demam ibu sering diartikan sebagai korioamnionitis
dan dapat memicu evaluasi sepsis neonatal. Bertentangan dengan laporan
beberapa penulis, tidak ada bukti yang jelas bahwa anestesi epidural
mempengaruhi suhu ibu atau sepsis neonatal meningkat dengan analgesia
epidural. Peningkatan suhu ibu dikaitkan dengan indeks massa tubuh yang
tinggi dan dengan nuliparitas pada wanita dan persalinan lama. 1
G. Anestesi Spinal
Anestesi spinal yang diberikan sebelum persalinan — juga dikenal sebagai saddle
block — memberikan anestesi yang mendalam untuk pelahiran per vaginam
operatif. Penggunaan jarum spinal berujung pensil berukuran 22 atau lebih kecil
(Whitacre, Sprotte, atau Gertie Marx) mengurangi kemungkinan PDPH. Tetrakain
hiperbarik, 3–4 mg, bupivakain, 2,5–5 mg, atau lidokain, 20–40 mg, biasanya
memberikan anestesi perineum yang sangat baik. Penambahan fentanil, 12,5–25
mcg, atau sufentanil, 5–7,5 mcg, secara signifikan mempotensiasi blok. Tingkat
sensorik T10 dapat diperoleh dengan anestesi lokal dalam jumlah yang sedikit
lebih besar. Tiga menit setelah injeksi intratekal larutan hiperbarik, pasien
ditempatkan pada posisi litotomi dengan pergeseran uterus kiri. 1
25
BAB III
LAPORAN KASUS
1.2 Anamnesis
3.2.1. Keluhan Utama
Mulas ingin melahirkan
27
- Tidak ada penggunaan otot-otot bantu pernapasan
Circulation
- Akral hangat.
- Heart Rate (HR) 80 kali/menit, regular.
- Capillarity refill time (CRT) <2 detik
- Konjungtiva tidak anemis.
Disability : GCS 15 (E:4 V:5 M: 6).
Exposure : Pasien diselimuti
2. Pemeriksaan EKG
29
Gelombang P normal, PR interval 0,12 detik normal
Kompleks QRS normal 0,08 detik
Interval QRS normal
Segmen ST : Sejajar garis isoelektris (normal)
Gelombang T : Normal
Kesan : EKG dalam batas normal
Resume
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penujang diatas, maka :
Diagnosis klinis : KPSW pada G1P0A0 Hamil 36-37 minggu JTH Preskep
Diagnosis Anestesi: ASA II
Rencana operasi : Sectio Caesaria
Rencana Anestesi : Anestesi Regional dengan teknik Spinal
30
3.6.6 Posisi Pasien
Terlentang
3.6.7 Pramedikasi
- Injeksi Ondansentron 4 mg/2ml
3.6.8 Induksi
- Injeksi Bupivacaine 0,5% 15 mg
31
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien Ny. DM, 22 tahun, pasien hamil anak pertama
datang ke PONEK Bari Palembang dengan keluhan mulas seperti ingin melahirkan sejak
sekitar 2 jam SMRS. Riwayat keluar air-air tidak ada, darah dan lendir tidak ada. Pasien
ditetapkan pada klasifikasi ASA II. ASA II menunjukkan pasien dengan penyakit sistemik
ringan (tanpa keterbatasan fungsional). Berdasarkan American Society Anesthesiology,
klasifikasinya adalah sebagai berikut.1
Klasifikasi Definisi
1 Pasien sehat dan normal.
2 Pasien dengan penyakit sistemik ringan (tanpa keterbatasan
fungsional)
3 Pasien dengan penyakit sistemik berat (dengan
sebagian/beberapa keterbatasan fungsional)
4 Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam
kehidupan (dengan kelumpuhan fungsional)
5 Pasien yang tidak dapat bertahan hidup jika tidak dilakukan
operasi
6 Pasien dengan kematian batang otak, yang organnya akan
diambil untuk tujuan pendonoran
E Jika tindakan emergensi
Pada kasus ini, dilakukan penilaian status dan evaluasi status generalis dengan
pemeriksaan fisik dan penunjang (pemeriksaan laboratorium) untuk mengoreksi
kemungkinan adanya gangguan fungsi organ yang mengancam serta mempersiapkan darah
untuk transfusi untuk mengantisipasi jika adanya perdarahan pada pasien.
Preoperatif merupakan tindakan yang dilakukan sebelum anestesi dan proses
pembedahan dimana dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien
dibedah dalam keadaan baik. Dari proses preoperatif yang telah dilakukan didapatkan
tekanan darah: 120/70 mmHg, nadi: 80x/menit, suhu: 36,5℃, pernapasan 20x/menit, SpO2
100%. Selain itu, pasien dipuasakan selama 6 jam sebelum dilakukan operasi.
32
Operasi dilakukan tanggal 16 Mei 2021 pukul 08.30 WIB. Pada kasus ini pasien
diberikan premedikasi berupa ondancentron 4mg/2mL. Tujuan dari pemberian obat ini
adalah untuk mengurangi keluhan mual saat dilakukan tindakan anestesi. Ondansetron,
granisetron, tropisetron, dan dolasetron secara selektif memblokir reseptor serotonin 5-
HT3, dengan sedikit atau tidak ada efek pada reseptor dopamin (reseptor 5-HT3, yang
terletak di perifer (aferen vagal abdominal) dan di sentral (zona pemicu kemoreseptor
di area postrema dan nukleus traktus solitarius), tampaknya memainkan peran penting
dalam inisiasi refleks muntah Reseptor 5-HT 3 dari zona pemicu kemoreseptor di area
postrema berada di luar sawar otak. Zona pemicu kemoreseptor diaktifkan oleh zat-zat
seperti anestesi dan opioid dan memberi sinyal pada nukleus traktus solitarius,
menghasilkan mual muntah paska operasi. Rangsangan emetogenik dari saluran GI juga
merangsang terjadinya mual muntah paska operasi.1
Saat tahap operatif berlangsung, dilakukan pemeriksaan tanda vital pasien
dengan tujuan mendapatkan informasi fungsi organ vital selama perianesthesia.
Monitoring dilakukan dengan menilai fungsi kardiovaskular (nadi, tekanandarah,
banyaknya perdarahan), monitoring respirasi tanpa alat (gerakan dada-perut, warna
mukosa bibir, kuku, ujungjari), dan oksimetri. 1
Setelah tindakan operatif dilakukan penilaian pulih sadar menurut Bromage
Score didapatkan nilai 2 tak mampu fleksi lutut yang artinya pasien dapat pindah
ruangan ke bangsal bedah. 1
33
BAB V
KESIMPULAN
1. Jenis Anestesi yang akan dilakukan yaitu Anestesi Regional dengan teknik spinal
anestesi.
2. Obat-obatan yang digunakan premedikasi yaitu ondansentron 4 mg/2 mL sedangkan
untuk induksi anestesinya yaitu bupivacain 0,5% IV.
3. Post Sectio caesarian pasien dirawat di bangsal obgyn untuk dimonitoring stabilitas
pasien post operasi sampai keadaan umumnya membaik yang kemudian dapat
dipulangkan.
4. Pada laporan kasus ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada sectio
caesaria pada Ny. D 22 tahun, status fisik ASA 2, dengan diagnosis pra-operatif
ketuban pecah dini (KPD) pada G1P0A0 Hamil 36-37 minggu inpartu fase laten JTH
Preskep.
5. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari
segi anestesi maupun tindakan operasinya.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan & Mikhail. Chapter 41: Obstetric Anesthesia. 6th Edition. Clinical
Anesthesiology. US: McGraw-Hill; 2018.
2. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Edisi Empat. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo ; 2011.
3. Sung, S., dan Mahdy, H. Cesarean Section. StatPearls. Tersedia di
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK546707/. Diakses pada 19 Mei 2021. 2020.
35