Professional Documents
Culture Documents
KKP Dan Hiv
KKP Dan Hiv
Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak .
Saniman (Nim.210102384)
(STIKES)
AL INSYIRAH PEKANBARU
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR
Adapun penyusun makalah ini kiranya masih jauh dari kata sempurna.
Unuk itu, kami mengaturkan permohonan maaf apabila terdapat kesalahan dalam
makalah ini. Kami pun berharap pembaca makalah ini dapat memberikan
kritik dan sarannya kepada kami agar dikemudian hari kami bisa menyusun
makalah yang lebih sempurna lagi.
Akhir kata, saya sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Kelompok III
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1. LATAR BELAKANG...............................................................................1
1.2. TUJUAN PENULISAN............................................................................4
1.3. BATASAN MAKALAH...........................................................................4
1.4. PENELITIAN TERKAIT..........................................................................5
BAB II TINJAUAN TEORITIS..............................................................................6
A. Kekurangan kalori protein.........................................................................6
2.1. Definisi...............................................................................................6
2.2. Etiologi...............................................................................................6
2.3. Klasifikasi Anak dengan KKP...........................................................7
2.4. Manifestasi klinis...............................................................................8
2.5. Patofisiologi.......................................................................................9
2.6. Pemeriksaan penunjang....................................................................10
2.7. Penatalaksanaan...............................................................................12
2.8. Asuhan keperawatan........................................................................15
B. Human Immunodeficiency Virus (HIV)..............................................20
2.1. Definisi.........................................................................................20
2.2. Etiologi.........................................................................................21
2.3. Tahapan perubahan HIV/AIDS....................................................21
2.4. Penularan HIV/AIDS...................................................................24
2.5. Manifestasi klinis.........................................................................26
2.6. Patologi.........................................................................................27
2.7. Patofisiologi..................................................................................28
2.8. Respon Tubuh Terhadap Perubahan Fisiologis...........................29
2.9. Pencegahan...................................................................................34
2.10. Pelaksanaan...............................................................................38
2.11. Asuhan keperawatan pada anak................................................45
BAB III PENUTUP...............................................................................................49
3.1. Kesimpulan...............................................................................49
3.2. Saran.........................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................51
iv
BAB I PENDAHULUAN
Protein yang berasal dari kata protos atau proteos yang berarti pertama
atau utama. Protein berfungsi sebagai zat utama dalam pembentukan dan
pertumbuhan tubuh. Kita memperoleh protein dari makanan yang berasal dari
hewan dan tumbuhan. Jika kita tidak mendapat asupan protein yang cukup dari
makanan tersebut, maka kita akan mengalami kondisi malnutrisi energi protein.
1
kehidupan dan mengurusnya lemak bawah kulit dan otot. Energi yang diperoleh
oleh tubuh bukan hanya diperoleh dari proses katabolisme zat gizi yang tersimpan
dalam tubuh, tetapi juga berasal dari energi yang terkandung dalam makanan yang
kita konsumsi. Fungsi utama karbohidrat adalah sebagai sumber energi,
disamping membantu pengaturan metabolisme protein.
Di Indonesia masalah malnutrisi atau gizi buruk masih menjadi salah satu
masalah kesehatan masyarakat yang utama. Menurut Riskesdas tahun 2013
tercatat sekitar 4,6 juta diantara 23 juta anak di Indonesia mengalami gizi buruk
dan kurang. Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah mencatat jumlah
balita yang mengalami gizi buruk pada tahun 2012 berjumlah 3.514, telah
menurun 0,18% dibandingkan tahun 2009 yang berjumlah 5.249.
2
untuk dikaji dalam persoalan ini adalah penularan HIV/AIDS pada
kelompok anak, baik yang ditularkan melalui ibu ke bayi yang dikandungnya
atau yang dikenal dengan istilah penularan vertikal, maupun melalui proses
penularan horizontal atau ditularkan antar individu akibat perilaku
beresiko seperti hubungan seksual, melalui jarum suntik yang tidak steril dan
transfusi darah yang mengandung virus. Penanganan kasus HIV/AIDS pada anak
berbeda dengan penanganan kasus HIV/AIDS pada individu dewasa. Jika
menggunakan asumsi perlindungan anak, maka anak-anak pengidap HIV/AIDS
dalam undang-undang dimasukkan ke dalam dikategorikan kelompok anak yang
mendapatkan perlindungan khusus (Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak), Kelompok usia anak adalah kelompok individu yang
berusia dibawah 18 tahun oleh karena itu dibutuhkan pula upaya-upaya yang
secara khusus, sistematis dan komprehensif dalam menangani permasalahan ini.
Penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya juga cenderung
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan HIV positif yang
tertular baik dari pasangan maupun akibat perilaku yang berisiko seperti
dengan meningkatnya kasus pengguna narkoba suntik termasuk kelompok
dengan status telah menikah. Untuk diketahui, efektivitas penularan HIV dari
ibu bayi adalah sebesar 10-30%. Artinya dari 100 ibu hamil yang terinfeksi
HIV, ada 10 sampai 30 bayi yang akan tertular.
3
tidak berdaya dan bingung pada anak dan anggota keluarga atau keluarga
pengasuh lainnya, terutama terkait masa depan (Allen & Marshall, 2008:359).
4
1.4. PENELITIAN TERKAIT
5
6
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1. Definisi
Nama internasional KKP yaitu Calori Protien Malnutrition atau
CPM adalah suatu penyakit difisiensi gizi dari keadaan ringan sampai
berat, disebut juga Protien Energi Malnutrisi ( PEM ).
Kekurangan kalori protein adalah defisiensi gizi terjadi pada
anak yang kurang mendapat masukan makanan yang cukup bergizi,
atau asupan kalori dan protein kurang dalam waktu yang cukup lama.
Kurang kalori protein (KKP) adalah suatu penyakit gangguan
gizi yang dikarenakan adanya defisiensi kalori dan protein dengan
tekanan yang bervariasi pada defisiensi protein maupun energy.
Kekurangan kalori protein diklasifikasi menjadi dua
berdasarkan berat tidaknya yaitu KKP ringan atau sedang disebut
juga sebagai gizi kurang (undernutrition) ditandai oleh adanya
hambatan pertumbuhan dan KKP yang meliputi kwasiorkor,
marasmus dan kwashiorkor marasmus. Malnutrisi kalori protein
adalah tidak adekuatnya intake protein dan kalori yang dibutuhkan
oleh tubuh.
Kurang kalori protein (KKP) adalah suatu penyakit gangguan
gizi yang dikarenakan adanya defisiensi kalori dan protein dengan
tekanan yang bervariasi pada defisiensi protein maupun energi
(Sediatoema, 1999).
2.2. Etiologi
Etiologi malnutrisi dapat primer, yaitu apabila kebutuhan
individu yang sehat akan protein, kalori atau keduanya, tidak dipenuhi
oleh makanan yang adekuat, atau sekunder, akibat adanya penyakit
yang menyebabkan asupan suboptimal, gangguan penyerapan dan
pemakaian nutrien, dan/atau peningkatan kebutuhan karena
terjadinya hilangnya nutrien atau keadaan stres.
1
Kekurangan kalori protein merupakan penyakit energi
terpenting di negara yang sedang berkembang dan salah satu
penyebab utama morbilitas dan mortalitas pada masa kanak – kanak
diseluruh dunia. Penyebab langsung dari KKP adalah defisiensi kalori
protein dengan berbagai tekanan, sehingga terjadi spektrum gejala-
gejala dengan berbagai nuansa dan melahirkan klasifikasi klinik
(kwashiorkor, marasmus, marasmus kwashiorkor). Penyebab tak
langsung dari KKP sangat banyak sehingga penyakit ini disebut
sebagai penyakit dengan multifactoral.
Berikut ini merupakan sistem holistik penyebab multifactoral
menuju ke arah terjadinya KKP :
2
klinis KKP/ KEP berat (gizi buruk) secara garis besar dapat
dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor dan marasmus-
kwashiorkor.
g. Aktifitas berkurang
h. Kelainan kulit (kering, kusam)
i. Rambut kemerahan
2. KKP Berat
a. Gangguan pertumbuhan
b. Mudah sakit
c. Kurang cerdas
d. Jika berkelanjutan menimbulkan kematian (Betz, L & Linda S,
2013).
Kwashiorkor:
3
2. Wajah membulat dan sembab
3. Rambu tipis dan kemerahan seperti rambut jagung
4. Atrofi/pengecilan otot
5. Kulit terdapat bercak merah muda yang meluas dan berubah
warna menajdi cokelat dan kehitaman dan terkelupas
6. Sering disertai penyakit infeksi akut seperti diare
Marasmus:
2.5. Patofisiologi
Patofisiologi Marasmus
4
Kurang kalori protein akan terjadi manakala kebutuhan tubuh
akan kalori, protein, atau keduanya tidak tercukupi oleh diet. Dalam
keadaan kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha untuk
mempertahankan hidup dengan memenuhi kebutuhan pokok atau
energi. Kemampuan tubuh untuk mempergunakan karbohidrat, protein
dan lemak merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan
kehidupan, karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh jaringan
tubuh sebagai bahan bakar, sayangnya kemampuan tubuh untuk
menyimpan karbohidrat sangat sedikit, sehingga setelah 25 jam sudah
dapat terjadi kekurangan.
Akibatnya katabolisme protein terjadi setelah beberapa jam
dengan menghasilkan asam amino yang segera diubah jadi karbohidrat
di hepar dan ginjal. Selama puasa jaringan lemak dipecah menjadi asam
lemak, gliserol dan keton bodies. Otot dapat mempergunakan asam
lemak dan keton bodies sebagai sumber energi kalau kekurangan
makanan ini berjalan menahun. Tubuh akan mempertahankan diri
jangan sampai memecah protein lagi setelah kira-kira kehilangan
separuh dari tubuh.
Patofisiologi Kwashiorkor
5
2.6. Pemeriksaan penunjang
Menurut WHO untuk pemeriksaan atau pengkajian pada pasien
dengan kekurangan kalori protein (KKP) sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Fisik
a) Kaji tanda-tanda vital.
b) Kaji perubahan status mental, pada anak apakah anak nampak
cengeng atau apatis.
c) Pengamatan timbulnya gangguan gastrointestinal, untuk
menentukan kerusakan fungsi hati, pankreas dan usus.
d) Menilai secara berkelanjutan adanya perubahan warna rambut
dan keelastisan kulit
e) dan membran mukosa.
f) Pengamatan pada output urine.
g) Kaji perubahan pola eliminasi.
h) Perhatikan apakah ada ditemukan gejala seperti diare, perubahan
frekuensi BAB, dan
i) di tandai adanya keadaan lemas dan konsistensi BAB cair.
j) Kaji secara berkelanjutan asupan makanan tiap hari.
k) Perhatikan apakah ada dijumpainya gejala mual dan muntah dan
biasanya ditandai
l) dengan penurunan berat badan.
m)Pengkajian pergerakan anggota gerak/aktivitas anak dengan
mengamati tingkah laku
n) anak melalui rangsang.
2. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah tepi untuk memperlihatkan apakah
dijumpai anemia ringan sampai sedang, umumnya
pada KKP dijumpai berupa anemia hipokronik atau
normokromik.
Pada uji faal hati:
6
Pada pemeriksaan uji faal hati tampak nilai albumin sedikit
atau amat rendah, trigliserida normal, dan kolesterol normal
atau merendah.
Kadar elektrolit K rendah, kadar Na, Zn dan Cu bisa normal
atau menurun.
Kadar gula darah umumnya rendah. (normalnya Gula darah
puasa : 70-110 mg/dl, Waktu tidur : 110-150 mg/dl, 1 jam
setelah makan < 160 mg/dl, 2 jam setelah makan : < 125 mg /
dl
Asam lemak bebas normal atau meninggi.
Nilai beta lipoprotein tidak menentu, dapat merendah atau
meninggi.
Kadar hormon insulin menurun, tetapi hormon pertumbuhan
dapat normal, merendah maupun meninggi.
Analisis asam amino dalam urine menunjukkan kadar 3-metil
histidin meningkat dan indeks hidroksiprolin menurun.
Pada biopsi hati hanya tampak perlemakan yang ringan,
jarang dijumpai dengan kasus perlemakan berat.
Kadar imunoglobulin serum normal, bahkan dapat
meningkat.
Kadar imunoglobulin A sekretori rendah.
Penurunan kadar berbagai enzim dalam serum seperti
amilase, esterase, kolin esterase, transaminase dan
fosfatase alkali. Aktifitas enzim pankreas dan xantin
oksidase berkurang.
Defisiensi asam folat, protein, besi.
Nilai enzim urea siklase dalam hati merendah, tetapi kadar
enzim pembentuk asam amino meningkat.
b) Pemeriksaan Radiologik
Pada pemeriksaan radiologik tulang memperlihatkan
osteoporosis ringan
7
2.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kurang kalori protein:
1. Diit tinggi kalori, protein, mineral dan vitamin
2. Pemberian terapi cairan dan elektrolit
3. Penannganan diare bila ada : cairan, antidiare, dan antibiotic
8
Jangan mengunakan jalur intravena untuk rehidrasi kecuali
keadaan syok/rentan. Lakukan pemberian infus dengan hati –
hati, tetesan pelan – pelan untuk menghindari beban sirkulasi
dan jantung. Gunakan larutan garam khusus yaitu resomal
(rehydration Solution for malnutrition atau pengantinya).
Anggap semua anak KKP berat dengan diare encer mengalami
dehidrasi sehingga harus diberikan :
a. Cairal Resomal/pengantinya sebanyak 5ml/kgBB setiap 30
menit selama 2 jam secara oral atau lewat pipa nasogastric
b. Selanjutnya beri 5 -10 ml/kgBB/jam selama 4-10 jam
berikutnya ; jumlah yang tepat harus diberikan tergantung
berapa baanyak anak menginginkannntya dan banyaknya
kehilangan cairan melalui tinja dan muntah.
c. Ganti Resomal/penganti pada jam ke-6 dan ke-10 dengan
formulas khusus sejumlah yang sama, bila keadaan rehidrasi
menetap/stabil.
d. Selanjutnya mulai beri formula khusus.
IV. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
Pada senua KKP berat terjadi kelebihan natrium tubuh,
walaupun kadar Na plasma rendah. Defisiensi kalium (K) dan
magnesium (Mg)msering terjadi dan paling sedikit perlu 2
minggu untuk pemulihan. Ketidakseimbangan ini ikut andil
pada terjadinya edema (jangan obati dengan pemberian
diuretik). Berikan:
a) Tambahkan K2-4 mEq/kgBB/hari (=150-300mg
KCL/kgBB/hari)
b) Tambahkan Mg 0,3-0,6 mEq/kgBB/hari
(=7,5-15mgKCL/kgBB/hari)
c) Siapkan makanan tanpa beri garam
Tambahkan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk
cairan dan tambahkan langsung pada makanan. Penambahan
9
20ml larutan pada 1 liter formula. Selain itu atasi penyakit
penyerta, yaitu :
a. Defisiensi vitamin A, seperti korelasi defisiensi mikro
b. Dermatosis
Umum defisiensi Zn terdapat pada keadaan ini dan
dermatosis membaik dengan pemberian suplementasi Zn, selain
itu :
a. Kompres bagian kulit yang terkena dengan KmnO (K-
permanganat) 1% selama 10 menit.
b. Beri salep (Zn dengan minyak kastor)
c. Jaga daerah perineum agar tetap kering
d. Parasit/cacing, beri mebendazol 100 mg oral, 2 kali sehari
selama 3 hari.
e. Diare melanjut
Diare biasa menyertai dan berkurang dengan sendirinya
pada pemberian makanan secara berhati – hati. Bila ada
intoleransi laktosa (jarang) obati hanya bila diare
berlanjutnya diare. Bila mungkin lakukan pemeriksaan tinja
mikroskopik, berikan metronidazol 7,5 mg/kgBB setiap 8 jam
selama 7 hari.
2) Keluhan Utama
a. Saat MRS : lemas dan menangis
b. Saat Pengkajian : anak lemas, pucat, dehidrasi, aktivitas
menurun
3) Riwayat Penyakit Sekarang : anak lemas, pucat, dehidrasi,
aktivitas menurun
10
4) Riwayat Penyakit Dahulu : Penyakit yang pernah dialami,
Kecelakaan ( termasuk kecelakaan lahir/persalinan), Operasi
( jenis dan waktu )
a. Antenatal:
11
e. Perkembangan : jika masalah nutrisi ini tidak segera
diatasi maka akan berpengaruh terhadap
perkembangan kognitif(pengetahuan),
afektif(sikap, perilaku) dan
psikomotor(tingkah laku) pada anak.
8) Riwayat Imunisasi :
Umur/ Kelompok sasaran Jenis imunisasi
< 2 jam Hepatitis B
1 BCG,
bu
2 Polio
DPT-HB-Hib1, Polio tetes 2
bu
3 DPT-HB-Hib 2, Polio tetes 3
bu
4 DPT-HB-Hib 3, Polio tetes 4, polio suntik
bu
9 (IPV) Campak
b -Rubella
9) Pola kebiasaan pemeliharaan Kesehatan
a. Nutrisi dan metabolisme : frekuensi, jenis, pantangan, nafsu
makan
b. Eliminasi alvi (BAB) : frekuensi jarang, jumlah, konsistensi
sedikit
c. Eliminasi urine (BAK) perlu dikaji apakah sering kencing,
sedikit/banyak, sakit/tidak
12
4. Mulut : mukosa bibir kering, pucat
5. Telinga : normal
6. Leher : tampak kurus
7. Dada : tulang rusuk nampak jelas
8. Perut : buncit
9.Genitalia : Ulserasi
10. Ekstrimitas : kulit kering, CRT >2 detik, lesi kulit
hipo/hiper pigmentasi
2. Pemeriksaan urine
3. Uji faat hati
4. EKG
5. Photo thorax
6. Antropometri anak (TB/U, BB/U, LK/U)
12) Terapi yang diberikan
1. Diit tinggi kalori, protein, mineral dan vitamin
2. Pemberian terapi cairan dan elektrolit
3. Penannganan diare bila ada : cairan, antidiare, dan antibiotic
2. Diagnose keperawatan
1. ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d
diare dan ketidakmampuan mencerna makanan.
2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status
nutrisi (kekurang protein)
3. Resiko feksi b.d Imunosupresi (penurunan kekebalan tubuh)
4. resiko keterlambatan perkembangan b.d gangguan kogenital
(kelainan pada otot)
13
3. Rencana keperawatan
1. Diagnosa: ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan
tubuh b.d diare dan ketidakmampuan mencerna makanan.
NOC:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x 24 jam, pasien dapat
terpenuhi dengan kreteria ; toleransi terhadap makanan, diare,
penurunan berat badan
NIC:
a. Tentukan riwayat diare
b. Ambil tinja ntuk pemeriksaan kultur dan sensitifitas
c. Ajari pasien penggunaan obat antidiare secara tepat
d. Anjurkan pasien menghindari makanan oedas dan yang
menimbulkan gas dalam perut
2. Diagnose : Gangguan integritas kulit berhubungan dengan
perubahan status nutrisi (kekurangan protein)
NOC :
NIC :
14
3. Diagnosa: Resiko feksi b.d Imunosupresi (penurunan kekebalan
tubuh).
NOC:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam
diharapkan Titer antibodi, Kontrol Kehilangan berat badan,
Skiring infeksi saat ini
NIC:
a) Tentukan status gizi dan kemampuan psien untuk memenuhi
kebutuhan gizi
b) Berikan tawaran pilihan makanan sambil berikan bimbingan
terhadap pilihan makanan tersebut
c) Ciptakan lingkungan yang optimal pada saat mengkonsumsi
makanan
4. Diagnosa: resiko keterlambatan perkembangan b.d gangguan
kogenital (kelainan pada otot)
NOC:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x 24 jam, pasien dapat
terpenuhi dengan kreteria; berat badan : massa tubuh
NIC :
a. Tentukan populasi target untuk pemeriksaan kesehatan
b. Berikan prosedur kenyamanan saat skiring
c. Berikan informasi skiring pemeriksaan dini
2.1. Definisi
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan
penyakit kekurangan sistem imun yang disebabkan oleh retrovirus HIV
tipe 1 atau HIV tipe 2 (Copstead dan Banasik, 2012). Infeksi HIV
adalah infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah
putih infeksi oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem
kekebalan tubuh secara progresif, menyebabkan terjadinya infeksi
oportunistik dan kanker tertentu (terutama pada orang dewasa)
15
(Bararah dan Jauhar. 2013). Acquired Immune Deficiency Syndrome
(AIDS) adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan
hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Sylvia & Lorraine, 2012).
AIDS / Acquired Immune Deficiency Syndrom merupakan
sekelompok gejala penyakit yang disebabkan oleh retrovirus HIV.
Gejalanya ditandai dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh
sehingga dapat menimbulkan neoplasma sekunder, infeksi
oporturnistik, dan manifestasi neurologis lainnya (Kummar, et al.
dalam Yuliyanasari, 2016).
Perkembangan dari mulai terpaparnya virus HIV hingga ke fase
AIDS membutuhkan waktu yang cukup lama yakni dengan masa
inkubasi selama 6 bulan – 5 tahun, dalam masa tersebut orang yang
terpapar virus HIV akan terus mengalami penurunan kekebalan
(Nandasari & Hendrati, 2015). Orang yang baru terpapar HIV belum
tentu menderita AIDS. Hanya saja lama kelamaan sistem kekebalan
tubuhnya makin lama semakin lemah, sehingga semua penyakit
dapat masuk ke dalam tubuh. Pada tahapan itulah penderita disebut
sudah terkena AIDS.
2.2. Etiologi
Menurut Kemenkes RI (2014) Penyakit AIDS disebabkan oleh
Human Immunodeficiency Virus HIV yang menginfeksi sistem
kekebalan tubuh manusia dan bekerja dengan cara merusak sel darah
putih sehingga terjadinya penurunan fungsi pada sistem kekebalan
tubuh seseorang. Menurut Rezeki & Sasanti (2017) di dalam tubuh,
virus HIV memiliki kecenderungan untuk berikatan dengan sel CD4,
dimana sel ini berpengaruh besar terhadap sistem kekebalan tubuh.
Cepat lamanya waktu seseorang yang terinfeksi HIV
mengembangkan AIDS dapat bervariasi antar individu. Dibiarkan tanpa
pengobatan, mayoritas orang yang terinfeksi HIV akan
mengembangkan tanda-tanda penyakit terkait HIV dalam 5-10
tahun, meskipun ini bisa lebih pendek. Waktu antara mendapatkan HIV
dan diagnosis AIDS biasanya antara 10–15 tahun, tetapi terkadang
16
lebih lama. Terapi antiretroviral (ART) dapat memperlambat
perkembangan penyakit dengan mencegah virus bereplikasi dan oleh
karena itu mengurangi jumlah virus dalam darah orang yang terinfeksi
(dikenal sebagai 'viral load').
2) Fase 2
Umur infeksi : 2-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada
fase kedua ini individu sudah positif HIV dan belum
menampakkan gejala sakit. Sudah dapat menularkan pada orang
lain. Bisa saja terlihat/mengalami gejala-gejala ringan, seperti flu
(biasanya 2-3 hari dan sembuh sendiri)
3) Fase 3
Mulai muncul gejala-gejala awal penyakit. Belum
disebut sebagai gejala AIDS. Gejala-gejala yang berkaitan antara
lain keringat yang berlebihan pada waktu malam, diare
terus menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang
tidak sembuh-sembuh, nafsu makan berkurang dan badan menjadi
lemah, serta berat badan terus berkurang. Pada fase ketiga ini
sistem kekebalan tubuh mulai berkurang.
4) Fase 4
Sudah masuk pada fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa
setelah kekebalan tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah
17
sel-T nya. Timbul penyakit tertentu yang disebut dengan infeksi
oportunistik yaitu TBC, infeksi paru-paru yang menyebabkan
radang paru-paru dan kesulitan bernafas, kanker, khususnya
sariawan, kanker kulit atau sarcoma kaposi, infeksi usus yang
menyebabkan diare parah berminggu-minggu, dan infeksi otak
yang menyebabkan kekacauan mental dan sakit kepala.
18
sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50% (PELKESI,1995
dalam Nursalam, 2007).
19
suntik, pada para pemakai IDU secara bersama-sama juga
menggunakan tempat penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos
obat, sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan HIV.
20
( 3 ) Postnatal : setelah proses persalinan, melalui air susu
ibu. Kenyataannya 25-35% dari semua bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang sudah terinfeksi di negara
berkembang tertular HIV, dan 90% bayi dan anak
yang tertular HIV tertular dari ibunya.
21
kelenjar getah bening yang membengkak, penurunan berat badan,
demam, diare dan batuk. Tanpa pengobatan, mereka juga bisa
mengembangkan penyakit berat seperti tuberkulosis, meningitis
kriptokokus, infeksi bakteri berat dan kanker seperti limfoma dan
sarkoma kaposi.
22
penurunan sistem imum. Jika tidak melakukan pengobatan maka
akan terjadi perkembangan penyakit berat seperti TBC, meningitis
kriptokokus, kanker seperti limfoma dan sarkoma kaposi.
2.6. Patologi
Infeksi HIV akan menyerang sistem kekebalan di dalam tubuh
manusia. Ketika virus HIV menyerang sistem imun akan berdampak
pada kondisi immunodeficiency atau melemahnya sistem kekebalan
tubuh, hal tersebut terjadi akibat virus HIV akan mengganggu
keseimbangan dan fungsi sel CD4 di dalam tubuh. Virus HIV
selanjutnya akan menyerang sel dendrit dan makrofag di dalam tubuh,
masuk melalui aliran darah serta jaringan mukosa kemudian proses
infeksi akan terjadi di dalam kelenjar limfoid dan pada saat itu virus
akan berada dalam kondisi laten dalam waktu yang cukup lama hingga
kembali aktif dan munculnya gejala AIDS (Yuliyanasari, 2016).
2.7. Patofisiologi
Menurut Robbins, Dkk (2011) Perjalanan infeksi HIV paling
baik dipahami dengan menggunakan kaidah saling memengaruhi
antara HIV dan sistem imun. Ada tiga tahap yang dikenali yang
mencerminkan dinamika interaksi antara virus dan penjamu. (1) fase
akut pada tahap awal; (2) fase kronis pada tahap menengah; dan (3)
fase krisis, pada tahap akhir.
23
Namum segera setelah hal itu terjadi, akan muncul respon imun
yang spesifik terhadap virus, yang dibuktikan melalui serokonversi
(biasanya dalam rentang waktu 3 hingga 17 minggu etelah pejanan)
dan muali munculnya sel T sitoksik CD8+ yang spesifik terhadap
virus. Setelah viremia mereda, sel T CD4+ kembali mendekati jumlah
normal. Namun, berkurangnya virus dalam plasma bukan merupakan
penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berlanjut di
dalam makrofag dan sel T CD 4+ jaringan.
24
interval yang berubah-ubah, para pasien mengalami infeksi
oportunistik yang serius, neoplasma sekunder, dan atau
manifestasi neurologis (disebut dengan kondisi yang menentukan
AIDS), dan pasien yang bersangkutan dikatakan telah menderita
AIDS yang sesungguhnya. Bahkan jika kondisi lazim yang
menentukan AIDS tidak muncul, pedoman CDC yang digunakan saat
ini menentukan bahwa seseorang yang terinfeksi HIV dengan jumlah
sel CD4+ kurang atau sama dengan 200/μL sebagai pengidap AIDS.
a. Respiratori
Pneumonia Pneumocytis carini. Gejala nafas yang
pendek, sesak nafas (dispnea), batuk-batuk, nyeri dada dan
demam akan menyertai berbagai infeksi oportunistik seperti yang
disebabkan oleh Mycobacterium avium intracellulare (MAI),
sitomegalovirus (CMV) dan Legionella. Walaupun begitu, infeksi
yang paling sering ditemukan pada penderita AIDS adalah
Pneumonia Pneumocytis Carinii (PCP) yang merupakan penyakit
oportunistik pertama yang dideskripsikan berkaitan dengan AIDS.
25
demam, menggigil, batuk non produktif, nafas pendek, dispnea
dan kadang-kadang nyeri dada. Konsentrasi oksigen dalam darah
arterial pada pasien yang bernafas dengan udara ruangan dapat
mengalami penurunan yang ringan; keadaan ini menunjukkan
keadaan hipoksemia minimal. Bila tidak diatasi, PCP akan
berlanjut dengan menimbulkan kelainan paru yang signifikan dan
pada akhirnya, kegagalan pernafasan.
b. Gastrointerstinal
Manifestasi gastrointerstinal penyakit AIDS mencangkup
hilagnya selera makan, mual, vomitus, kondisiasis oral, serta
esofagus, dan diare kronis. Bagi pasien AIDS, diare dapat
membawa akibat yang serius sehubungan dengan terjadinya
penurunan berat badan yang nyata (lebih dari 10% berat badan),
gangguan keseimbnagan cairan dan elektrolit, ekskoriasis kulit
perianal, kelemahan dan ketidakmampuan untuk melaksanakan
kegiatan yang biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Kanker
26
Sarkoma Kaposi yaitu kelainan malignasi yang berkaitan
dengan HIV yang paling sering ditemukan merupakan penyakit
yang melibatkan lapisan endotel pembuluh darah dan limfe.Kaposi
yang berhubungan dengan AIDS memperlihatkan penyakit yang
lebih agresif dan beragam yang berkisar mulai dari lesi kutaneus
setempat hingga kelainan yang menyebar dan mengenai lebih dari
satu sistem organ. Lesi Kutaneus yang dapat timbul pada setiap
bagian tubuh biasanya bewarna merah mudah kecoklatan
hingga ungu gelap. Lesi dapat datar atau menonjol dan dikelilingi
oleh ekimosis (bercak-bercak perdarahan) serta edema.
d. Neurologik
Ensefalopati HIV disebut juga sebagai kompleks demensia
AIDS. Hiv ditemukan dengan jumlah yang besar dalam otak
maupun cairan serebrospinal pasien-pasien ADC (AIDS dementia
complex). Sel-sel otak yang terinfeksi HIV didominasi olehsel-sel
CD4 + yang berasal dari monosit/magrofag. Infeksi HIV diyakini
akan memicu toksin atau limfokin yang mengakibatkan disfungsi
seluler atau yang mengganggu atau yang mengganggu fungsi
neurotransmiter ketimbang menyebabkan kerusakan seluler.
Keadaan ini berupa sindrom klinis yang ditandai oleh penurunan
progresif pada fungsi kognitif, prilaku dan motorik. Tanda tanda
dan gejalanya yang samar-samar serta sulit dibedakan dan
27
kelelahan, depresi atau efek terapi yang merugikan terhadap infeksi
dan malignansi.
e. Struktur integrumen
Manifestasi kulit menyertai infeksi HIV dan infeksi
oportunistik serta malignansi yang mendampinginya, Infeksi
28
oportunistik seperti harpes zoster dan harpes simpleks akan
disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri yang merusak
integritas kulit. Moloskum kontagiosum merupakan infeksi virus
yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai deformitas.
Dermatitis seboreika akan disertai ruam yang difus, bersisik
dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah.
2.9. Pencegahan
Menurut Murwanto (2014) ada beberapa upaya pencegahan HIV
AIDS yang dapat dilakukan untuk mencegah terinfeksi penyakit HIV
/AIDS adalah dengan menerapkan prinsip “ABCDE”.
29
Individu dapat mengurangi risiko infeksi HIV dengan membatasi
berikut :
30
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang paling umum dan
perawatan kesehatan.
31
orang yang hidup dengan HIV akan berkontribusi secara
signifikan untuk mengurangi penularan HIV.
8) Bagi remaja
Semua orang tanpa kecuali dapat tertular, sehingga
remaja tidak melakukan hubungan seks tidak aman, berisiko
IMS karena dapat memperbesar risiko penularan HIV/AIDS.
Mencari informasi yang lengkap dan benar yang berkaitan
dengan HIV/AIDS. Mendiskusikan secara terbuka permasalahan
yang sering dialami remaja dalam hal ini tentang masalah
perilaku seksual dengan orang tua, guru, teman maupun orang
yang memang paham mengenai hal tersebut.
32
HIV. Menghindari perilaku yang dapat mengarah pada perilaku
yang tidak sehat dan tidak bertanggungjawab.
4) Perawatan HIV.
6) Penggunaan kondom.
2.10. Pelaksanaan
Pengobatan yang dilakukan pada pasien dengan HIV/AIDS
hingga saat ini adalah penggunaan antiretroviral (ARV). Terapi
obat ARV berfungsi untuk mengontrol laju perkembangan virus
HIV di dalam tubuh agar tidak menimbulkan infeksi lanjutan /
infeksi oportinistik sehingga pasien dengan HIV/AIDS dapat
memperoleh kualitas hidup yang jauh lebih baik. ARV
merupakan regimen pengobatan yang harus diterapkan oleh
pasien dengan HIV/AIDS selama seumur hidup dan harus sesuai
dengan petunjuk serta pengawasan dokter. Regimen pengobatan
ARV terbagi menjadi beberapa kelas atau golongan (Kemenkes
RI, 2011).
33
malignansi, penghentian replikasi virus HIV lewar preparat
antivirus, dan penguatan serta pemulihan sistem imun melalui
pengguanaan preparat immunomodulator. Perawatan suportif
merupakan tindakan yang penting karena efek infeksi HIV
dan penyakit AIDS yang sangat menurunkan keadaan umum
pasien; efek tersebut mencangkup malnutrisi, kerusakan kulit,
kelemahan dan imobilisasi dan perubahan status mental.
Penatalaksanaan HIV AIDS sebegai berikut :
34
harus dipantau untuk endeteksi efek yang potensial
merugikan dan serius dari amfoterisin B yang
mencangkup reaksi anafilaksik, gangguan renal serta hepar,
gangguan keseimbangan elektrolit, anemia, panas dan
menggigil.
35
yang tinggi ditemukan dalam traktus gastrointerstinal maupun
jaringan lainnya. Somatostain akan menghambat banyak
fungsi fisologis yang mencangkup motalisis gastrointerstinal
dan sekresi-interstinal air serta elektrolit.
d. Penanganan keganasan
Penatalaksanaan sarkoma Kaposi biasanya sulit karena
sangat beragamnya gejala dan sistem organ yang
terkena.Tujuan terapinya adalah untuk mengurangi gejala
dengan memperkecil ukuranlesi pada kulit, mengurangi
gangguan rasa nyaman yang berkaitan dengan edema serta
ulserasi, dan mengendalikan gejala yang berhubungan dengan
lesi mukosa serta organ viseral. Hinngga saat ini, kemoterapi
yang paling efektif tampaknya berupa ABV (Adriamisin,
Bleomisin, dan Vinkristin).
e. Terapi Antiretrovirus
Saat ini terdapat empat preparat antiretrovirus yang
sudah disetujui oleh FDA untuk pengobatan HIV, keempat
preparat tersebut adalah ; Zidovudin, Dideoksinosin ,
dideoksisitidin dan Stavudin. Semua obat ini menghambat
kerja enzim reserve transcriptase virus dan mencegah virus
reproduksi virus HIV dengan cara meniru salah satu
substansi molekuler yang digunakan virus tersebut untuk
36
membangun DNA bagi partikel-partikel virus baru.
Dengan mengubah komponen struktural rantai DNA, produksi
virus yang baru akan dihambat.
f. Inhibitor Protase
Inhibitor protase merupakan obat yang menghambat
kerja enzim protase, yaitu enzim yang dibutuhkan untuk
replikasi virus HIV dan produksi virion yang menular.
Inhibisi protase HIV-1 akan menghasilkan partikel virus
noninfeksius dengan penurunan aktivitas enzim reserve
transcriptase.
g. Perawatan pendukung
Paien yang menjadi lemah dan memiliki keadaan
umum yang menurun sebagai akibat dari sakit kronik yang
berkaitan dengan HIV memerlukan banyak macam perawatan
suportif. Dukungan nutrisi mungkin merupakan tindakan
sederhana seperti membantu pasien dalam mendapatkan atau
mempersiapkan makanannya. Untuk pasien dengan gangguan
nutrisi yang lanjut karena penurunan asupan makanan,
sindrome perlisutan atau malabsobsi saluran cerna yang
berkaitan dengan diare, mungkin diperlukan dalam pemberian
makan lewat pembuluh darah seperti nutrisi parenteral total.
37
Gejala paru seperti dispnea dan napas pendek mungkin
berhubungan dengan infeksi, sarkoma kaporsi serta keadaan
mudah letih. Pasien-pasien ini mungkin memerlukan terapi
oksigen, pelatihan relaksasi dan teknik menghemat tenaga.
Pasien dengan ganggguan fungsi pernafasan yang berat
pernafasan yang berat dapat membutuhkan tindakan ventilasi
mekanis. Rasa nyeri yang menyertai lesi kulit, kram perut,
neuropati perifer atau sarkoma kaposi dapat diatasi dengan
preparat analgetik yang diberikan secara teratur selama 24
jam. Teknik relaksasi dan guded imagery (terapi
psikologi dengan cara imajinasi yang terarah) dapat
membantu mengurangi rasa nyeri dan kecemasan pada
sebagian pasien.
h. Terapi nutrisi
Menurut Nursalam (2011) nutrisi yang sehat dan
seimbang diperlukan pasien HIV AIDS untuk
mempertahankan kekuatan, meningkatkan fungsi sistem
imun, meningkatkan kemampuan tubuh, utuk memerangi
infeksi, dan menjaga orang yang hidup dengan infeksi HIV
AIDS tetap aktif dan produktif. Defisiensi vitamin dan
mineral bisa dijumpai pada orang dengan HIV, dan defisiensi
sudah terjadi sejak stadium dini walaupun pada ODHA
mengonsumsi makanan dengan gizi berimbang. Defisiensi
terjadi karena HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan dan
gangguan absorbsi zat gizi.
38
kesehatan (konselor) yang bersifat rahasia, sehingga
memungkinkan orang tersebut mampu menyesuaikan atau
mengadaptasi diri dengan stres dan sanggup membuat
keputusan bertindak berkaitan dengan HIV/AIDS.
39
konseling bertujuan untuk memberikan dukungan kepada
ODHA agar mampu hidup secara positif.
40
c. Demam yang berkepanjangan (lebih dari 1 bulan)
d. Mulut dan faring dijumpai bercak – bercak putih
e. Limphodenophati yang menyeluruh
f. Infeksi berulang (OMP, pharingitis)
g. Batuk yang menetap (lebih dari 1 bulan)
h. Dermatitis yang menyeluruh
3. Riwayat penyakit dalam keluarga
a. Orang tua yang terinfeksi HIV
b. Penyalahgunaan zat
4. Riwayat kehamilan dan persalinan
a. Ibu selama kehamilan terinfeksi HIV, 50% dapat menularkan
kepada anaknya.
b. Penularan dapat terjadi pada minggu 9 – 20.
c. Penularan pada proses persalinan apabila terjadi kontak
darah ibu dan bayi.
d. Penularan setelah lahir dapat terjadi melalui ASI.
5. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
Dapat terjadi kegagalan pertumbuhan dan perkembangan pada
anak
6. Riwayat imunisasi
Imunisasi BCG tidak boleh diberikan karena pertimbangan
bahwa kuman hidup, polio diberikan dalam bentuk inactied
pelivaccine (virus yang mati)
7. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum: dapat terjadi penurunan kesadaran hingga
koma
41
Mata : cotton wool spot, sytomegalovirus retinus,
toksoplasma choroiditis, perivasculitis pada retina, infeksi tepi
kelopak mata, secret berkerak, lesi retina.
42
Diagnosa Keperawatan
Intervensi keperawatan
Diagnosa keperawatan 1: Risiko keterlambatan perkembangan
NOC:
1. Perkembangan anak usia 1 bulan
2. Perkembangan anak usia 2 bulan
3. Perkembangan anak usia 4 bulan
4. Perkembangan anak usia 6 bulan
5. Perkembangan anak usia 12 bulan
6. Perkembangan anak usia 2 tahun
7. Perkembangan anak usia 3 tahun
8. Perkembangan anak usia 4 tahun
9. Perkembangan anak usia 5 tahun
10. Perkembangan anak usia usia anak pertengahan
11. Perkembangan anak usia remaja
NIC:
1. Bimbingan antisipatif
2. Manajemen perilaku
3. Modifikasi perilaku: keterampilan social
4. Dukungan pengasuhan Peningkatan perkembangan bayi
Peningkatan perkembangan anak Peningkatan perkembangan
remaja Pengajaran nutrisi (sesuai usia) Pengajaran stimulasi
(sesuai usia)
43
Diagnosa keperawatan 2: Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari
kebutuhan
NOC:
Status nutrisi bayi : asupan nutrisi
NIC:
1. Manajemen diare
2. Penahapan diet
3. Manajemen gangguan makan Manajemen cairan Manajemen
nutrisi
4. Bantuan peningkatan berat badan
44
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
45
3.2. Saran
46
47
DAFTAR PUSTAKA
Hapsari, T. A., & Azinar, M. 2017. Praktik Terapi Antiretroviral pada Anak
Penderita HIV/AIDS. HIGEIA (Journal of Public Health Research and
Development), 1(2): 39–48
Irianto, Kus dan Kusno Waluyo. 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat. Bandung :
Yrama Widya. Tim Penyusun Pusat Kamus. 2007. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Kemenkes Ri. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang
Kemenkes Ri
Muksin, R. I., & Shaluhiyah, Z. 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Stigma Guru terhadap Anak HIV Positif. Jurnal Kesehatan Masyarakat,
3(4): 230–237.
48
Phenomenology Study : Community Non Acceptance of Children with HIV /
AIDS in Surakarta. Journal of Epidemiology and Public Health, 1(3): 148–
153.
Rani, A. A., Jacobus, A., 2011. Buku Ajar Gastroenterologi, In: Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 1st ed. Jakarta Pusat: Interna Publishing. 55-65.
Wachdin, F. R., Murti, B., & Demartoto, A. 2016.
49