You are on page 1of 59

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN KEKURANGAN

KALORI PROTEIN DAN HIV

Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak .

Disusun Oleh : Kelompok III

Nurul Safitri (Nim.210102355)

Rini Setyowati (Nim.21102375)

M. Sukri Hidayat (Nim.210102383)

Saniman (Nim.210102384)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESESHATAN

(STIKES)

AL INSYIRAH PEKANBARU

TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Makalah ini berisikan tentang asuhan keperawatan pada anak dengan


kekurangan kalori protein dan HIV. Materi yang diangkat dimulai dari
pengertian kekurangan kalori protein dan HIV hingga materi pembahasan tentang
asuhan keperwatannya. Diharapkan makalah ini, dapat memberikan informasi
kepada kita semua.

Adapun penyusun makalah ini kiranya masih jauh dari kata sempurna.
Unuk itu, kami mengaturkan permohonan maaf apabila terdapat kesalahan dalam
makalah ini. Kami pun berharap pembaca makalah ini dapat memberikan
kritik dan sarannya kepada kami agar dikemudian hari kami bisa menyusun
makalah yang lebih sempurna lagi.

Akhir kata, saya sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.

Pekanbaru, 04 April 2022

Kelompok III
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1. LATAR BELAKANG...............................................................................1
1.2. TUJUAN PENULISAN............................................................................4
1.3. BATASAN MAKALAH...........................................................................4
1.4. PENELITIAN TERKAIT..........................................................................5
BAB II TINJAUAN TEORITIS..............................................................................6
A. Kekurangan kalori protein.........................................................................6
2.1. Definisi...............................................................................................6
2.2. Etiologi...............................................................................................6
2.3. Klasifikasi Anak dengan KKP...........................................................7
2.4. Manifestasi klinis...............................................................................8
2.5. Patofisiologi.......................................................................................9
2.6. Pemeriksaan penunjang....................................................................10
2.7. Penatalaksanaan...............................................................................12
2.8. Asuhan keperawatan........................................................................15
B. Human Immunodeficiency Virus (HIV)..............................................20
2.1. Definisi.........................................................................................20
2.2. Etiologi.........................................................................................21
2.3. Tahapan perubahan HIV/AIDS....................................................21
2.4. Penularan HIV/AIDS...................................................................24
2.5. Manifestasi klinis.........................................................................26
2.6. Patologi.........................................................................................27
2.7. Patofisiologi..................................................................................28
2.8. Respon Tubuh Terhadap Perubahan Fisiologis...........................29
2.9. Pencegahan...................................................................................34
2.10. Pelaksanaan...............................................................................38
2.11. Asuhan keperawatan pada anak................................................45
BAB III PENUTUP...............................................................................................49
3.1. Kesimpulan...............................................................................49
3.2. Saran.........................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................51

iv
BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Manusia membutuhkan makan untuk bertahan hidup. Selain untuk bertahan


hidup, makanan juga berfungsi memenuhi kebutuhan-kebutuhan tubuh akan zat-
zat seperti karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, dan zat-zat lain. Namun,
di zaman yang sudah modern ini justru banyak orang yang tidak dapat memenuhi
zat-zat tersebut.

Protein yang berasal dari kata protos atau proteos yang berarti pertama
atau utama. Protein berfungsi sebagai zat utama dalam pembentukan dan
pertumbuhan tubuh. Kita memperoleh protein dari makanan yang berasal dari
hewan dan tumbuhan. Jika kita tidak mendapat asupan protein yang cukup dari
makanan tersebut, maka kita akan mengalami kondisi malnutrisi energi protein.

Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status


gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat
gizi yang digunakan secara efisien sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik,
perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat
setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan
satu atau lebih zat-zat gizi esensial.

Beragam masalah malnutrisi banyak ditemukan pada anak-anak. Secara


umum, kurang gizi adalah salah satu istilah dari penyakit KKP, yaitu penyakit
yang diakibatkan kekurangan energi dan protein. KKP dapat juga diartikan
sebagai keadaan kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan
protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi Angka Kecukupan
Gizi (AKG). Bergantung pada derajat kekurangan energy protein yang terjadi,
maka manifestasi penyakitnya pun berbeda-beda. Penyakit KKP ringan sering
diistilahkan dengan kurang gizi.

KKP adalah bentuk malnutrisi kalori protein yang terutama akibat


kekurangan kalori yang berat dan kronis terutama terjadi selama tahun pertama

1
kehidupan dan mengurusnya lemak bawah kulit dan otot. Energi yang diperoleh
oleh tubuh bukan hanya diperoleh dari proses katabolisme zat gizi yang tersimpan
dalam tubuh, tetapi juga berasal dari energi yang terkandung dalam makanan yang
kita konsumsi. Fungsi utama karbohidrat adalah sebagai sumber energi,
disamping membantu pengaturan metabolisme protein.

Malnutrisi yaitu suatu kondisi dimana penderita mengalami penurunan berat


badan lebih dari 10% dari berat badan sebelumnya dalam 3 bulan terkhir. Kriteria
lain yang digunakan adalah apabila saat pengukuran berat badan kurang dari 90%
berat badan ideal berdasarkan tinggi badan. Malnutrisi jenis marasmus adalah
suatu bentuk malgizi protein dan energi karena kelaparan, dan semua unsur diet
kurang.

Penyakit ini paling banyak menyerang anak balita, terutama di negara-


negara berkembang. Gejala kurang gizi ringan relative tidak jelas, hanya terlihat
bahwa berat badan anak tersebut lebih rendah dibanding anak seusianya. Kira-
kira berat badannya hanya sekitar 60% sampai 80% dari berat badan ideal.

Di Indonesia masalah malnutrisi atau gizi buruk masih menjadi salah satu
masalah kesehatan masyarakat yang utama. Menurut Riskesdas tahun 2013
tercatat sekitar 4,6 juta diantara 23 juta anak di Indonesia mengalami gizi buruk
dan kurang. Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah mencatat jumlah
balita yang mengalami gizi buruk pada tahun 2012 berjumlah 3.514, telah
menurun 0,18% dibandingkan tahun 2009 yang berjumlah 5.249.

HIV terus menjadi masalah kesehatan utama pada masyarakat di dunia,


menurut WHO telah lebih dari 35 juta jiwa penderita sejauh ini. Pada 2017,
940.000 orang di dunia meninggal karena penyebab terkait HIV. Data WHO
menunjukan di dunia ada sekitar 36,9 juta orang yang hidup dengan HIV
pada akhir tahun 2017 dengan 1,8 juta orang baru terinfeksi pada tahun 2017.
Sebanyak 59% orang dewasa dan 52% anak-anak yang hidup dengan HIV
menerima terapi antiretroviral (ART) seumur hidup pada tahun 2017.

Persoalan penularan HIV/AIDS di Indonesia saat ini telah menjadi isu


prioritas penanganan masalah kesehatan di Indonesia. Salah satu yang menarik

2
untuk dikaji dalam persoalan ini adalah penularan HIV/AIDS pada
kelompok anak, baik yang ditularkan melalui ibu ke bayi yang dikandungnya
atau yang dikenal dengan istilah penularan vertikal, maupun melalui proses
penularan horizontal atau ditularkan antar individu akibat perilaku
beresiko seperti hubungan seksual, melalui jarum suntik yang tidak steril dan
transfusi darah yang mengandung virus. Penanganan kasus HIV/AIDS pada anak
berbeda dengan penanganan kasus HIV/AIDS pada individu dewasa. Jika
menggunakan asumsi perlindungan anak, maka anak-anak pengidap HIV/AIDS
dalam undang-undang dimasukkan ke dalam dikategorikan kelompok anak yang
mendapatkan perlindungan khusus (Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak), Kelompok usia anak adalah kelompok individu yang
berusia dibawah 18 tahun oleh karena itu dibutuhkan pula upaya-upaya yang
secara khusus, sistematis dan komprehensif dalam menangani permasalahan ini.

Penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya juga cenderung
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan HIV positif yang
tertular baik dari pasangan maupun akibat perilaku yang berisiko seperti
dengan meningkatnya kasus pengguna narkoba suntik termasuk kelompok
dengan status telah menikah. Untuk diketahui, efektivitas penularan HIV dari
ibu bayi adalah sebesar 10-30%. Artinya dari 100 ibu hamil yang terinfeksi
HIV, ada 10 sampai 30 bayi yang akan tertular.

Persoalan anak pengidap HIV/AIDS ini belum sepenuhnya dapat dilayani


dengan lebih baik. Perlakuan penanganan pengidap HIV/AIDS anak saat
ini masih sama dengan perlakuan penanganan pada kelompok HIV/AIDS
dewasa, padahal dibutuhkan upaya yang lebih lagi (Wawancara dengan KT
ketua IPPI Sumatera Barat, 12 April 2019).

Anak dalam kondisi HIV/AIDS berada dalam kondisi penyakit kronis


sehingga beresiko mengalami perubahan fisik, psikologis, perilaku dan
emosional yang kronis. Pelayanan kesehatan yang diberikan perlu komprehensif
dan intensif dari yang dibutuhkan oleh anak lain pada umumnya. Ketidakpastian
serta ketergantungan pada perawatan dan pengobatan menimbulkan perasaan

3
tidak berdaya dan bingung pada anak dan anggota keluarga atau keluarga
pengasuh lainnya, terutama terkait masa depan (Allen & Marshall, 2008:359).

Dibutuhkan perawatan dan pengasuhan yang bersifat holistik pada anak


pengidap HIV/AIDS. Holistik dalam hal ini berarti peran atau bantuan yang
bersifat utuh, mencakup bantuan pada pemenuhan kebutuhan aspek
biologis, psikologis, sosiokultural, dan spiritual dengan segala sifatnya yang
hakiki (Potter dan Perry, 2010:208). Mengembangkan dukungan yang holistik
tidaklah mudah dalam hal HIV/AIDS karena masih terdapat stigmatisasi dalam
persoalan ini.

1.2. TUJUAN PENULISAN

1. Mengetahui Definisi Kekurangan Kalori Protein dan HIV


2. Mengetahui penyebab Anak dengan Kekurangan Kalori Protein dan
HIV
3. Mengetahui Klasifikasi Anak dengan Kekurangan Kalori Protein dan
HIV
4. Mengetahui Manifestasi Klinis Anak dengan Kekurangan Kalori
Protein dan HIV
5. Mengetahui Patofisiologi Anak dengan Kekurangan Kalori Protein dan
HIV
6. Mengetahui Pemeriksaan Penunjang Anak dengan Kekurangan Kalori
Protein dan HIV
7. Mengetahui Penatalaksanaan Anak dengan Kekurangan Kalori Protein
dan HIV

1.3. BATASAN MAKALAH

Pembatasan suatu masalah digunakan untuk menghindari adanya


penyimpangan maupun pelebaran pokok masalah agar penulisan lebih terarah dan
memudahkan dalam pembahasan sehingga tujuan penulis akan tercapai.

4
1.4. PENELITIAN TERKAIT

....Penelitian yang dilakukan oleh avika titisari (2020) menyatakan Stigma d


diskriminasi tersebar cepat yang menyebabkan terjadinya kecemasan dan
prasangka terhadap anak dengan HIV, dengan hasil Simpulan penelitian ini
adalah terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan, ketersediaan sumber
informasi, dukungan tokoh masyarakat, dan dukungan petugas kesehatan dengan
stigma anak HIV/AIDS pada masyarakat.

Penelitian yang dilakukan oleh Ayi tansah (2015) menyatakan terdapat


hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan, status pekerjaan ibu, dan
penghasilan KK dengan kejadian KKP, dan tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara umur, dan jumlah anak dengan KKP dengan p-value = 0,032.

5
6
BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Kekurangan kalori protein

2.1. Definisi
Nama internasional KKP yaitu Calori Protien Malnutrition atau
CPM adalah suatu penyakit difisiensi gizi dari keadaan ringan sampai
berat, disebut juga Protien Energi Malnutrisi ( PEM ).
Kekurangan kalori protein adalah defisiensi gizi terjadi pada
anak yang kurang mendapat masukan makanan yang cukup bergizi,
atau asupan kalori dan protein kurang dalam waktu yang cukup lama.
Kurang kalori protein (KKP) adalah suatu penyakit gangguan
gizi yang dikarenakan adanya defisiensi kalori dan protein dengan
tekanan yang bervariasi pada defisiensi protein maupun energy.
Kekurangan kalori protein diklasifikasi menjadi dua
berdasarkan berat tidaknya yaitu KKP ringan atau sedang disebut
juga sebagai gizi kurang (undernutrition) ditandai oleh adanya
hambatan pertumbuhan dan KKP yang meliputi kwasiorkor,
marasmus dan kwashiorkor marasmus. Malnutrisi kalori protein
adalah tidak adekuatnya intake protein dan kalori yang dibutuhkan
oleh tubuh.
Kurang kalori protein (KKP) adalah suatu penyakit gangguan
gizi yang dikarenakan adanya defisiensi kalori dan protein dengan
tekanan yang bervariasi pada defisiensi protein maupun energi
(Sediatoema, 1999).

2.2. Etiologi
Etiologi malnutrisi dapat primer, yaitu apabila kebutuhan
individu yang sehat akan protein, kalori atau keduanya, tidak dipenuhi
oleh makanan yang adekuat, atau sekunder, akibat adanya penyakit
yang menyebabkan asupan suboptimal, gangguan penyerapan dan
pemakaian nutrien, dan/atau peningkatan kebutuhan karena
terjadinya hilangnya nutrien atau keadaan stres.

1
Kekurangan kalori protein merupakan penyakit energi
terpenting di negara yang sedang berkembang dan salah satu
penyebab utama morbilitas dan mortalitas pada masa kanak – kanak
diseluruh dunia. Penyebab langsung dari KKP adalah defisiensi kalori
protein dengan berbagai tekanan, sehingga terjadi spektrum gejala-
gejala dengan berbagai nuansa dan melahirkan klasifikasi klinik
(kwashiorkor, marasmus, marasmus kwashiorkor). Penyebab tak
langsung dari KKP sangat banyak sehingga penyakit ini disebut
sebagai penyakit dengan multifactoral.
Berikut ini merupakan sistem holistik penyebab multifactoral
menuju ke arah terjadinya KKP :

1. Ekonomi negara rendah


2. Pendidikan umum kurang
3. Produksi bahan pangan rendah
4. Hygiene rendah
5. Pekerjaan rendah
6. Pasca panen kurang baik
7. Sistem perdagangan dan distribusi tidak lancar
8. Persediaan pangan kurang
9. Penyakit infeksi dan investasi cacing
10. Konsumsi kurang
11. Absorpsi terganggu
12. Utilisasi terganggu
13. Pengetahuan gizi kurang
14. Anak terlalu banyak (Betz, L & Linda S, 2013).

2.3. Klasifikasi Anak dengan KKP


Menurut Departemen Kesehatan RI (1999) KKP/ KEP yang
dibagi berdasarkan gejala klinis ada 3 tipe yaitu KEP ringan, sedang,
dan berat (gizi buruk). Untuk KEP/KKP ringan dan sedang, gejala
klinis yang ditemukan hanya anak tampak kurus sedangkan gejala

2
klinis KKP/ KEP berat (gizi buruk) secara garis besar dapat
dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor dan marasmus-
kwashiorkor.

Kwashiorkor merupakan KKP berat karena kekurangan


protein(terjadi edema di sekujur tubuh terutama bagian ekstremitas),
Marasmus ialah KKP berat karena kekurangan Kalori atau
karbohidrati (Anak tampak kurus dan wajahnya seperti orangtua) dan
Marasmik-Kwashiorkor karena kekurangan karbohidrat dan protein
(campuran gejala klinik dari kwashiorkor dan marasmus dengan
edema tidak mencolok).

2.4. Manifestasi klinis

1. KKP Ringan dan sedang


a. Pertumbuhan linear terganggu
b. Peningkatan berat badan berkurang, terhenti, bahkan turun

c. Ukuran lingkar lengan atas menurun

d. Maturasi tulang terlambat


e. Ratio berat terhadap tinggi normal atau cenderung menurun

f. Anemia ringan atau pucat

g. Aktifitas berkurang
h. Kelainan kulit (kering, kusam)
i. Rambut kemerahan
2. KKP Berat
a. Gangguan pertumbuhan

b. Mudah sakit

c. Kurang cerdas
d. Jika berkelanjutan menimbulkan kematian (Betz, L & Linda S,
2013).
Kwashiorkor:

1. Edema tubuh, terutama pada bagian punggung kaki

3
2. Wajah membulat dan sembab
3. Rambu tipis dan kemerahan seperti rambut jagung
4. Atrofi/pengecilan otot
5. Kulit terdapat bercak merah muda yang meluas dan berubah
warna menajdi cokelat dan kehitaman dan terkelupas
6. Sering disertai penyakit infeksi akut seperti diare

Marasmus:

1. Tampak kurus, seperti tulang yang tinggal terbungkus kulit


2. Wajah seperti orang tua
3. Kerusakan integritas kulit yaitu keriput
4. Perut cekung
5. Disertai penyakit infeksi seperti diare kronik atau konstipasi

2.5. Patofisiologi

Kurang kalori protein akan terjadi manakala kebutuhan tubuh


akan kalori, protein, atau keduanya tidak tercukupi oleh diet. Dalam
keadaan kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha untuk
mempertahankan hidup dengan memenuhi kebutuhan pokok atau
energi. Kemampuan tubuh untuk mempergunakan karbohidrat,
protein dan lemak merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan kehidupan, karbohidrat (glukosa) dapat dipakai
oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan bakar, sayangnya
kemampuan tubuh untuk menyimpan karbohidrat sangat sedikit,
sehingga setelah 25 jam sudah dapat terjadi kekurangan.
Akibatnya katabolisme protein terjadi setelah beberapa
jam dengan menghasilkan asam amino yang segera diubah jadi
karbohidrat di hepar dan ginjal. Selama puasa jaringan lemak dipecah
menjadi asam lemak, gliserol dan keton bodies. Otot dapat
mempergunakan asam lemak dan keton bodies sebagai sumber energi
kalau kekurangan makanan ini berjalan menahun. Tubuh akan
mempertahankan diri jangan sampai memecah protein lagi setelah
kira-kira kehilangan separuh dari tubuh. (Arisman, 2012) .

Patofisiologi Marasmus

4
Kurang kalori protein akan terjadi manakala kebutuhan tubuh
akan kalori, protein, atau keduanya tidak tercukupi oleh diet. Dalam
keadaan kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha untuk
mempertahankan hidup dengan memenuhi kebutuhan pokok atau
energi. Kemampuan tubuh untuk mempergunakan karbohidrat, protein
dan lemak merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan
kehidupan, karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh jaringan
tubuh sebagai bahan bakar, sayangnya kemampuan tubuh untuk
menyimpan karbohidrat sangat sedikit, sehingga setelah 25 jam sudah
dapat terjadi kekurangan.
Akibatnya katabolisme protein terjadi setelah beberapa jam
dengan menghasilkan asam amino yang segera diubah jadi karbohidrat
di hepar dan ginjal. Selama puasa jaringan lemak dipecah menjadi asam
lemak, gliserol dan keton bodies. Otot dapat mempergunakan asam
lemak dan keton bodies sebagai sumber energi kalau kekurangan
makanan ini berjalan menahun. Tubuh akan mempertahankan diri
jangan sampai memecah protein lagi setelah kira-kira kehilangan
separuh dari tubuh.

Patofisiologi Kwashiorkor

Pada defesiensi protein murni tidak terjadi katabolisme jaringan


yang sangat lebih, karena persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah
kalori dalam dietnya. Kelainan yang mencolok adalah gangguan
metabolik dan perubahan sel yang meyebabkan edem dan perlemakan
hati. Karena kekurangan protein dalam diet, akan terjadi kekurangan
berbagai asam amino esensial dalam serum yang diperlukan untuk
sentesis dan metabolisme. Makin kekurangan asam amino dalam serum
ini akan menyebabkan kurangnya produksi albumin oleh hepar yang
kemudian berakibat edem. Perlemakan hati terjadi karena gangguan
pembentukan beta-lipoprotein, sehingga transport lemak dari hati
kedepot terganggu, dengan akibat terjadinya penimbunan lemah dalam
hati.

5
2.6. Pemeriksaan penunjang
Menurut WHO untuk pemeriksaan atau pengkajian pada pasien
dengan kekurangan kalori protein (KKP) sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Fisik
a) Kaji tanda-tanda vital.
b) Kaji perubahan status mental, pada anak apakah anak nampak
cengeng atau apatis.
c) Pengamatan timbulnya gangguan gastrointestinal, untuk
menentukan kerusakan fungsi hati, pankreas dan usus.
d) Menilai secara berkelanjutan adanya perubahan warna rambut
dan keelastisan kulit
e) dan membran mukosa.
f) Pengamatan pada output urine.
g) Kaji perubahan pola eliminasi.
h) Perhatikan apakah ada ditemukan gejala seperti diare, perubahan
frekuensi BAB, dan
i) di tandai adanya keadaan lemas dan konsistensi BAB cair.
j) Kaji secara berkelanjutan asupan makanan tiap hari.
k) Perhatikan apakah ada dijumpainya gejala mual dan muntah dan
biasanya ditandai
l) dengan penurunan berat badan.
m)Pengkajian pergerakan anggota gerak/aktivitas anak dengan
mengamati tingkah laku
n) anak melalui rangsang.
2. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan darah tepi untuk memperlihatkan apakah
dijumpai anemia ringan sampai sedang, umumnya
 pada KKP dijumpai berupa anemia hipokronik atau
normokromik.
 Pada uji faal hati:

6
Pada pemeriksaan uji faal hati tampak nilai albumin sedikit
atau amat rendah, trigliserida normal, dan kolesterol normal
atau merendah.
 Kadar elektrolit K rendah, kadar Na, Zn dan Cu bisa normal
atau menurun.
 Kadar gula darah umumnya rendah. (normalnya Gula darah
puasa : 70-110 mg/dl, Waktu tidur : 110-150 mg/dl, 1 jam
setelah makan < 160 mg/dl, 2 jam setelah makan : < 125 mg /
dl
 Asam lemak bebas normal atau meninggi.
 Nilai beta lipoprotein tidak menentu, dapat merendah atau
meninggi.
 Kadar hormon insulin menurun, tetapi hormon pertumbuhan
dapat normal, merendah maupun meninggi.
 Analisis asam amino dalam urine menunjukkan kadar 3-metil
histidin meningkat dan indeks hidroksiprolin menurun.
 Pada biopsi hati hanya tampak perlemakan yang ringan,
jarang dijumpai dengan kasus perlemakan berat.
 Kadar imunoglobulin serum normal, bahkan dapat
meningkat.
 Kadar imunoglobulin A sekretori rendah.
 Penurunan kadar berbagai enzim dalam serum seperti
amilase, esterase, kolin esterase, transaminase dan
fosfatase alkali. Aktifitas enzim pankreas dan xantin
oksidase berkurang.
 Defisiensi asam folat, protein, besi.
 Nilai enzim urea siklase dalam hati merendah, tetapi kadar
enzim pembentuk asam amino meningkat.
b) Pemeriksaan Radiologik
Pada pemeriksaan radiologik tulang memperlihatkan
osteoporosis ringan

7
2.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kurang kalori protein:
1. Diit tinggi kalori, protein, mineral dan vitamin
2. Pemberian terapi cairan dan elektrolit
3. Penannganan diare bila ada : cairan, antidiare, dan antibiotic

Penatalaksanan KKP berat dirawat inap dengan pengobatan rutin:


I. Atasi atau cegah hipoglikemi
Periksa kadar gula darah bila ada hipotermi (suhu skala <
35 derajat celciul suhu rektal 35,5 derajat celcius). Pemberian
makanan yang lebih sering penting untuk mencegahkedua
kondisi tersebut. Bila kadar gula darah di bawah 50 mg/dl,
berikan :
a. 50 mlbolus glukosa 10 % atau larutan sukrosa 10% (1 sdt
gula dalam 5 adm air) secara oral atau sonde / pipa
nasogastric
b. Selanjutnya berikan lanjutan tersebut setiap 30 menit selama
2 jam (setiap kali berikan ¼ bagian dari jatah untuk 2 jam)
c. Berikan antibiotik
d. Secepatnya berikan makanan setiap 2 jam, siang dan malam
II. Atasi atau cegah hipotermi
Bila suhu rektal < 35.5 derajat celcius :
a. Segera berikan makanan cair / formula khusus (mulai dengan
rehidrasi bila perlu)
b. Hangatkan anak dengan pakaian atau seelimut sampai
menutup kepala, letakkan dekat lampu atau pemanas (jangan
gunakan botol air panas) atau peluk anak di dasa ibu,
selimuti.
c. Berikan antibiotik
d. Suhu diperiksa sampai mencapai > 36,5 derajat celcius
III. Atasi atau cegah dehidrasi

8
Jangan mengunakan jalur intravena untuk rehidrasi kecuali
keadaan syok/rentan. Lakukan pemberian infus dengan hati –
hati, tetesan pelan – pelan untuk menghindari beban sirkulasi
dan jantung. Gunakan larutan garam khusus yaitu resomal
(rehydration Solution for malnutrition atau pengantinya).
Anggap semua anak KKP berat dengan diare encer mengalami
dehidrasi sehingga harus diberikan :
a. Cairal Resomal/pengantinya sebanyak 5ml/kgBB setiap 30
menit selama 2 jam secara oral atau lewat pipa nasogastric
b. Selanjutnya beri 5 -10 ml/kgBB/jam selama 4-10 jam
berikutnya ; jumlah yang tepat harus diberikan tergantung
berapa baanyak anak menginginkannntya dan banyaknya
kehilangan cairan melalui tinja dan muntah.
c. Ganti Resomal/penganti pada jam ke-6 dan ke-10 dengan
formulas khusus sejumlah yang sama, bila keadaan rehidrasi
menetap/stabil.
d. Selanjutnya mulai beri formula khusus.
IV. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
Pada senua KKP berat terjadi kelebihan natrium tubuh,
walaupun kadar Na plasma rendah. Defisiensi kalium (K) dan
magnesium (Mg)msering terjadi dan paling sedikit perlu 2
minggu untuk pemulihan. Ketidakseimbangan ini ikut andil
pada terjadinya edema (jangan obati dengan pemberian
diuretik). Berikan:
a) Tambahkan K2-4 mEq/kgBB/hari (=150-300mg
KCL/kgBB/hari)
b) Tambahkan Mg 0,3-0,6 mEq/kgBB/hari
(=7,5-15mgKCL/kgBB/hari)
c) Siapkan makanan tanpa beri garam
Tambahkan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk
cairan dan tambahkan langsung pada makanan. Penambahan

9
20ml larutan pada 1 liter formula. Selain itu atasi penyakit
penyerta, yaitu :
a. Defisiensi vitamin A, seperti korelasi defisiensi mikro
b. Dermatosis
Umum defisiensi Zn terdapat pada keadaan ini dan
dermatosis membaik dengan pemberian suplementasi Zn, selain
itu :
a. Kompres bagian kulit yang terkena dengan KmnO (K-
permanganat) 1% selama 10 menit.
b. Beri salep (Zn dengan minyak kastor)
c. Jaga daerah perineum agar tetap kering
d. Parasit/cacing, beri mebendazol 100 mg oral, 2 kali sehari
selama 3 hari.
e. Diare melanjut
Diare biasa menyertai dan berkurang dengan sendirinya
pada pemberian makanan secara berhati – hati. Bila ada
intoleransi laktosa (jarang) obati hanya bila diare
berlanjutnya diare. Bila mungkin lakukan pemeriksaan tinja
mikroskopik, berikan metronidazol 7,5 mg/kgBB setiap 8 jam
selama 7 hari.

2.8. Asuhan keperawatan


1. Pengkajian
1) Identitas Klien (nama, nomor regular, jenis kelamin, usia,
pendidikan, tanggal MRS, tanggal pengkajian, penanggung
jawab, nama orang tua, usia, pendidikan, pekerjaan, hubungan
dengan anak, agama dan alamat).

2) Keluhan Utama
a. Saat MRS : lemas dan menangis
b. Saat Pengkajian : anak lemas, pucat, dehidrasi, aktivitas
menurun
3) Riwayat Penyakit Sekarang : anak lemas, pucat, dehidrasi,
aktivitas menurun

10
4) Riwayat Penyakit Dahulu : Penyakit yang pernah dialami,
Kecelakaan ( termasuk kecelakaan lahir/persalinan), Operasi
( jenis dan waktu )

5) Riwayat Penyakit Keluarga : Penyakit yang pernah diderita


keluarga, Lingkungan rumah dan komunitas, Perilaku yang
mempengaruhi kesehatan, Persepsi keluarga terhadap penyakit
anak)

6) Riwayat Psiko Sosial Spiritual : orang tua merasa cemas


dengan keadaan anaknya yang mengalami penurunan
aktivitas serta nampak lemas, pucat, dan terjadi penurunan
berat badan yang signifikan. Orang tua berharap anaknya dapat
sembuh dan kembali.

7) Riwayat Tumbuh Kembang

a. Antenatal:

1. Hiperemesis gravidarum : ibu beresiko mengalami


kekurangan nutrisi dan penurunan berat badan akibat
mual muntah yang berlebihan sehingga bayi lahir BBLR
dan kekurangan kalori protein (nutrisi)

2. perdarahan pervaginam : tidak ada perdarahan


vagina selama kehamilan

3. Anemia : pada awal kehamilan


trimester I

4. penyakit infeksi : tidak ada penyakit infeksi


selama kehamilan

5. preeklamsi dan eklamsia : tifak ada terjadi saat


kehamilan maupun persalinan

b. Natal : bisa lahir normal atau SC

c. Post Natal : bayi yang beresiko mengalami KKP antara


lain yang lahir premature, dan BBLR.

d. Pertumbuhan : mengalami keterlambatan pertumbuhan, TB


dan BB tidak sesuai umur

11
e. Perkembangan : jika masalah nutrisi ini tidak segera
diatasi maka akan berpengaruh terhadap
perkembangan kognitif(pengetahuan),
afektif(sikap, perilaku) dan
psikomotor(tingkah laku) pada anak.
8) Riwayat Imunisasi :
Umur/ Kelompok sasaran Jenis imunisasi
< 2 jam Hepatitis B
1 BCG,
bu
2 Polio
DPT-HB-Hib1, Polio tetes 2
bu
3 DPT-HB-Hib 2, Polio tetes 3
bu
4 DPT-HB-Hib 3, Polio tetes 4, polio suntik
bu
9 (IPV) Campak
b -Rubella
9) Pola kebiasaan pemeliharaan Kesehatan
a. Nutrisi dan metabolisme : frekuensi, jenis, pantangan, nafsu
makan
b. Eliminasi alvi (BAB) : frekuensi jarang, jumlah, konsistensi
sedikit
c. Eliminasi urine (BAK) perlu dikaji apakah sering kencing,
sedikit/banyak, sakit/tidak

d. Tidur dan istirahat : anak sering mengalami kurang tidur


karena mengalami sakit/nyeri otot dan persendian sehingga
kuantitas dan kualitas tidur maupun istirahatnya kurang

e. Kebersihan : upaya keluarga untuk menjaga kebesihan,


perilaku dan tanggapan bila ada keluarga yangsakit sertta
upaya untuk menjaga kesehatan. (Wong, L, D &
Whaleys,2012)

10) Pengkajian fisik


a. Keadaan Umum : Sadar (Composmentis)
b. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala : Ubun-ubun cekung
2. Mata : Cekung atau mata cowong
3. Hidung : Normal

12
4. Mulut : mukosa bibir kering, pucat
5. Telinga : normal
6. Leher : tampak kurus
7. Dada : tulang rusuk nampak jelas
8. Perut : buncit
9.Genitalia : Ulserasi
10. Ekstrimitas : kulit kering, CRT >2 detik, lesi kulit
hipo/hiper pigmentasi

11) Pemeriksaan penunjang


1. Pemeriksaan darah lengkap (Hb, Ht, albumin, globulin,
protein total, elektrolit serum)

2. Pemeriksaan urine
3. Uji faat hati
4. EKG
5. Photo thorax
6. Antropometri anak (TB/U, BB/U, LK/U)
12) Terapi yang diberikan
1. Diit tinggi kalori, protein, mineral dan vitamin
2. Pemberian terapi cairan dan elektrolit
3. Penannganan diare bila ada : cairan, antidiare, dan antibiotic
2. Diagnose keperawatan
1. ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d
diare dan ketidakmampuan mencerna makanan.
2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status
nutrisi (kekurang protein)
3. Resiko feksi b.d Imunosupresi (penurunan kekebalan tubuh)
4. resiko keterlambatan perkembangan b.d gangguan kogenital
(kelainan pada otot)

13
3. Rencana keperawatan
1. Diagnosa: ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan
tubuh b.d diare dan ketidakmampuan mencerna makanan.
NOC:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x 24 jam, pasien dapat
terpenuhi dengan kreteria ; toleransi terhadap makanan, diare,
penurunan berat badan
NIC:
a. Tentukan riwayat diare
b. Ambil tinja ntuk pemeriksaan kultur dan sensitifitas
c. Ajari pasien penggunaan obat antidiare secara tepat
d. Anjurkan pasien menghindari makanan oedas dan yang
menimbulkan gas dalam perut
2. Diagnose : Gangguan integritas kulit berhubungan dengan
perubahan status nutrisi (kekurangan protein)
NOC :

Setelah dilakukan tindakan selama 1x24 jam, diharapkan


dehidrasi teratasi dan kulit kembali normal dengan kriteria hasil
Elastisitas kulit normal, Perfusi jaringan normal, Kulit
membaik, Tekstur kulit normal, Membran mukosa normal dan
CRT <2 detik

NIC :

1. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis.


Perubahan status nutrisi terapeutik
2. Gunakan produk berbahan petroleum atau minyak pada kulit
kering
3. Hindari produk berbahan dasar alcohol pada kulit kering
4. Anjurkan menggunakan pelembab atau lotion
5. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi, buah dan sayur
6. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori
dan jenis nutrient yang diberikan jika perlu

14
3. Diagnosa: Resiko feksi b.d Imunosupresi (penurunan kekebalan
tubuh).
NOC:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam
diharapkan Titer antibodi, Kontrol Kehilangan berat badan,
Skiring infeksi saat ini
NIC:
a) Tentukan status gizi dan kemampuan psien untuk memenuhi
kebutuhan gizi
b) Berikan tawaran pilihan makanan sambil berikan bimbingan
terhadap pilihan makanan tersebut
c) Ciptakan lingkungan yang optimal pada saat mengkonsumsi
makanan
4. Diagnosa: resiko keterlambatan perkembangan b.d gangguan
kogenital (kelainan pada otot)
NOC:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x 24 jam, pasien dapat
terpenuhi dengan kreteria; berat badan : massa tubuh
NIC :
a. Tentukan populasi target untuk pemeriksaan kesehatan
b. Berikan prosedur kenyamanan saat skiring
c. Berikan informasi skiring pemeriksaan dini

B. Human Immunodeficiency Virus (HIV)

2.1. Definisi
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan
penyakit kekurangan sistem imun yang disebabkan oleh retrovirus HIV
tipe 1 atau HIV tipe 2 (Copstead dan Banasik, 2012). Infeksi HIV
adalah infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah
putih infeksi oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem
kekebalan tubuh secara progresif, menyebabkan terjadinya infeksi
oportunistik dan kanker tertentu (terutama pada orang dewasa)

15
(Bararah dan Jauhar. 2013). Acquired Immune Deficiency Syndrome
(AIDS) adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan
hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Sylvia & Lorraine, 2012).
AIDS / Acquired Immune Deficiency Syndrom merupakan
sekelompok gejala penyakit yang disebabkan oleh retrovirus HIV.
Gejalanya ditandai dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh
sehingga dapat menimbulkan neoplasma sekunder, infeksi
oporturnistik, dan manifestasi neurologis lainnya (Kummar, et al.
dalam Yuliyanasari, 2016).
Perkembangan dari mulai terpaparnya virus HIV hingga ke fase
AIDS membutuhkan waktu yang cukup lama yakni dengan masa
inkubasi selama 6 bulan – 5 tahun, dalam masa tersebut orang yang
terpapar virus HIV akan terus mengalami penurunan kekebalan
(Nandasari & Hendrati, 2015). Orang yang baru terpapar HIV belum
tentu menderita AIDS. Hanya saja lama kelamaan sistem kekebalan
tubuhnya makin lama semakin lemah, sehingga semua penyakit
dapat masuk ke dalam tubuh. Pada tahapan itulah penderita disebut
sudah terkena AIDS.

2.2. Etiologi
Menurut Kemenkes RI (2014) Penyakit AIDS disebabkan oleh
Human Immunodeficiency Virus HIV yang menginfeksi sistem
kekebalan tubuh manusia dan bekerja dengan cara merusak sel darah
putih sehingga terjadinya penurunan fungsi pada sistem kekebalan
tubuh seseorang. Menurut Rezeki & Sasanti (2017) di dalam tubuh,
virus HIV memiliki kecenderungan untuk berikatan dengan sel CD4,
dimana sel ini berpengaruh besar terhadap sistem kekebalan tubuh.
Cepat lamanya waktu seseorang yang terinfeksi HIV
mengembangkan AIDS dapat bervariasi antar individu. Dibiarkan tanpa
pengobatan, mayoritas orang yang terinfeksi HIV akan
mengembangkan tanda-tanda penyakit terkait HIV dalam 5-10
tahun, meskipun ini bisa lebih pendek. Waktu antara mendapatkan HIV
dan diagnosis AIDS biasanya antara 10–15 tahun, tetapi terkadang

16
lebih lama. Terapi antiretroviral (ART) dapat memperlambat
perkembangan penyakit dengan mencegah virus bereplikasi dan oleh
karena itu mengurangi jumlah virus dalam darah orang yang terinfeksi
(dikenal sebagai 'viral load').

2.3. Tahapan perubahan HIV/AIDS


1) Fase 1
Umur infeksi 1-6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu
sudah terpapar dan terinfeksi. Tetapi ciri-ciri terinfeksi belum
terlihat meskipun ia melakukan tes darah. Pada fase ini
antibodi terhadap HIV belum terbentuk. Bisa saja
terlihat/mengalami gejala-gejala ringan, seperti flu (biasanya 2-3
hari dan sembuh sendiri).

2) Fase 2
Umur infeksi : 2-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada
fase kedua ini individu sudah positif HIV dan belum
menampakkan gejala sakit. Sudah dapat menularkan pada orang
lain. Bisa saja terlihat/mengalami gejala-gejala ringan, seperti flu
(biasanya 2-3 hari dan sembuh sendiri)

3) Fase 3
Mulai muncul gejala-gejala awal penyakit. Belum
disebut sebagai gejala AIDS. Gejala-gejala yang berkaitan antara
lain keringat yang berlebihan pada waktu malam, diare
terus menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang
tidak sembuh-sembuh, nafsu makan berkurang dan badan menjadi
lemah, serta berat badan terus berkurang. Pada fase ketiga ini
sistem kekebalan tubuh mulai berkurang.

4) Fase 4
Sudah masuk pada fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa
setelah kekebalan tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah

17
sel-T nya. Timbul penyakit tertentu yang disebut dengan infeksi
oportunistik yaitu TBC, infeksi paru-paru yang menyebabkan
radang paru-paru dan kesulitan bernafas, kanker, khususnya
sariawan, kanker kulit atau sarcoma kaposi, infeksi usus yang
menyebabkan diare parah berminggu-minggu, dan infeksi otak
yang menyebabkan kekacauan mental dan sakit kepala.

WHO menetapkan empat stadium klinis HIV, sebagaimana berikut:

a) Stadium 1 : tanpa gejala.


b) Stadium 2 : penyakit ringan.
c) Stadium 3 : penyakit lanjut.
d) Stadium 4 : penyakit berat.
Menurut Nursalam dan Kurniawati (2011) virus HIV menular melalui
enam cara penularan, yaitu :

a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS


Hubungan sesual secara vaginal, anal dan oral dengan
penderita HIV tanpa perlindungan bisa menularkan HIV.
Selama hubungan seksual berlangsusng, air mani, cairan
vagina, dan darah yang dapat mengenai selaput lendir, penis, dubur,
atau muluh sehingga HIV yang tedapa dalam cairan tersebut
masuk ke aliran darah (PELEKSI,1995 dalam Nursalam,2007 ).

Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding


vagina, dubur dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk
ke aliran darah pasangan seksual.

b. Ibu pada bayinya


Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in
utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan
HIV dari ibu ke bayi adalah 0.01% sampai 7%. Bila ibu baru
terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi
terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan gejala AIDS

18
sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50% (PELKESI,1995
dalam Nursalam, 2007).

Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui


tranfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran
mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan.
(Lili V, 2004 dalam Nursalam, 2007). Semakin lam proses
melahirkan, semakin besar resiko penularan. Oleh karena itu, lama
persalinan bisa dipersingkat dengan operasi sectio caesaria (HIS
dan STB,2000 dalam Nursalam, 2007). Transmisi lain terjadi
selam periode post partum melaui ASI. Resiko bayi tertular
melalui ASI dai Ibu yang positif sekitar 10%.

c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS


Sangat cepat menular HIV karena virus langsung masuk
ke pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh.

d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril


Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum,
dan alat-alat lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air
mani yang terinveksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang
lain yang tidak terinfeksi HIV, dan langsung digunakan untuk
orang lain yang tidak terinfeksi HIV bisa menular HIV

e. Alat-alat untuk menoreh kulit


Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat
seseorang, membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa
menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa
disterilkan terlebih dahulu.

f. Menggunakan jarum suntik secara bergantian


Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan,
maupun yang digunakan oleh para pengguna narkoba (Injecting
Drug User-IDU) sangat berpotensi menularkan HIV. Selain jarun

19
suntik, pada para pemakai IDU secara bersama-sama juga
menggunakan tempat penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos
obat, sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan HIV.

HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu


tangan, hidup serumah dengan penderita HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan
hubungan sosial yang lain.

2.4. Penularan HIV/AIDS


1) Media penularan HIV/AIDS
HIV dapat ditularkan melalui pertukaran berbagai cairan
tubuh dari individu yang terinfeksi, seperti darah, air susu ibu, air
mani dan cairan vagina. Individu tidak dapat terinfeksi melalui
kontak sehari-hari biasa seperti berciuman, berpelukan, berjabat
tangan, atau berbagi benda pribadi, makanan atau air.

2) Cara penularan HIV/AIDS


a) Hubungan seksual : hubungan seksual yang tidak aman dengan
orang yang telah terpapar HIV.
b) Transfusi darah : melalui transfusi darah yang tercemar
HIV.
c) Penggunaan jarum suntik : penggunaan jarum suntik, tindik,
tato, dan pisau cukur yang dapat menimbulkan luka yang tidak
disterilkan secara bersama-sama dipergunakan dan sebelumnya
telah dipakai orang yang terinfeksi HIV. Cara- cara ini dapat
menularkan HIV karena terjadi kontak darah.
d) Ibu hamil kepada anak yang dikandungnya
( 1 ) Antenatal : saat bayi masih berada di dalam rahim,
melalui plasenta.

( 2 ) Intranatal : saat proses persalinan, bayi terpapar darah ibu


atau cairan vagina

20
( 3 ) Postnatal : setelah proses persalinan, melalui air susu
ibu. Kenyataannya 25-35% dari semua bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang sudah terinfeksi di negara
berkembang tertular HIV, dan 90% bayi dan anak
yang tertular HIV tertular dari ibunya.

3) Perilaku berisiko yang menularkan HIV/AIDS

a) Melakukan seks anal atau vaginal tanpa kondom.

b) Memiliki infeksi menular seksual lainnya seperti sifilis, herpes,


klamidia, kencing nanah, dan vaginosis bakterial.

c) Berbagi jarum suntik yang terkontaminasi, alat suntik dan


peralatan suntik lainnya dan solusi obat ketika
menyuntikkan narkoba.

d) Menerima suntikan yang tidak aman, transfusi darah,


transplantasi jaringan, prosedur medis yang melibatkan
pemotongan atau tindakan yang tidak steril.

e) Mengalami luka tusuk jarum yang tidak disengaja, termasuk


diantara pekerja kesehatan.

f) Memiliki banyak pasangan seksual atau mempunyai


pasangan yang memiliki banyak pasangan lain.

2.5. Manifestasi klinis


Gejala-gejala HIV bervariasi tergantung pada tahap infeksi.
Meskipun orang yang hidup dengan HIV cenderung paling menular
dalam beberapa bulan pertama, banyak yang tidak menyadari status
mereka sampai tahap selanjutnya. Beberapa minggu pertama setelah
infeksi awal, individu mungkin tidak mengalami gejala atau penyakit
seperti influenza termasuk demam, sakit kepala, ruam, atau sakit
tenggorokan.

Ketika infeksi semakin memperlemah sistem kekebalan, seorang


individu dapat mengembangkan tanda dan gejala lain, seperti

21
kelenjar getah bening yang membengkak, penurunan berat badan,
demam, diare dan batuk. Tanpa pengobatan, mereka juga bisa
mengembangkan penyakit berat seperti tuberkulosis, meningitis
kriptokokus, infeksi bakteri berat dan kanker seperti limfoma dan
sarkoma kaposi.

Tanda dan gejala HIV sangat bervariasi tergantung dengan


tahapan infeksi yang diderita (WHO,2016). Berikut adalah tanda dan
gejala HIV:

a. Individu yang terkena HIV jarang sekali merasakan


dan menunjukkan timbulnya suatu tanda dan gejala infeksi.
Jika ada gejala yang timbul biasanya seperti flu biasa, bercak
kemerahan pada kulit, sakit kepala, ruam-ruam dan sakit
tenggorokan.

b. Jika sistem kekebalan tubuhnya semakin menurun akibat


infeksi tersebut maka akan timbul tanda-tanda dan gelaja lain
seperti kelenjar getah bening bengkak, penurunan berat badan,
demam, diare dan batuk. Selain itu juga ada tanda dan gejala yang
timbul yaitu mual, muntah dan sariawan.

c. Ketika penderita masuk tahap kronis maka akan muncul gejala


yang khas dan lebih parah. Gejala yang muncul seperti sariawan
yang banyak, bercak keputihan pada mulut, gejala herpes zooster,
ketombe, keputihan yang parah dan gangguan psiskis. Gejala lain
yang muncul adalah tidak bisa makan, candidiasis dan kanker
servik

d. Pada tahapan lanjutan, penderita HIV akan kehilangan berat

badan, jumlah virus terus meningkat, jumlah limfosit CD4+

menurun hingga <200 sel/ul. Pada keadaan ini dinyatakan AIDS.

Pada tahapan akhir menunjukkan perkembangan infeksi


opurtunistik seperti meningitis, mycobacteruim avium dan

22
penurunan sistem imum. Jika tidak melakukan pengobatan maka
akan terjadi perkembangan penyakit berat seperti TBC, meningitis
kriptokokus, kanker seperti limfoma dan sarkoma kaposi.

2.6. Patologi
Infeksi HIV akan menyerang sistem kekebalan di dalam tubuh
manusia. Ketika virus HIV menyerang sistem imun akan berdampak
pada kondisi immunodeficiency atau melemahnya sistem kekebalan
tubuh, hal tersebut terjadi akibat virus HIV akan mengganggu
keseimbangan dan fungsi sel CD4 di dalam tubuh. Virus HIV
selanjutnya akan menyerang sel dendrit dan makrofag di dalam tubuh,
masuk melalui aliran darah serta jaringan mukosa kemudian proses
infeksi akan terjadi di dalam kelenjar limfoid dan pada saat itu virus
akan berada dalam kondisi laten dalam waktu yang cukup lama hingga
kembali aktif dan munculnya gejala AIDS (Yuliyanasari, 2016).

2.7. Patofisiologi
Menurut Robbins, Dkk (2011) Perjalanan infeksi HIV paling
baik dipahami dengan menggunakan kaidah saling memengaruhi
antara HIV dan sistem imun. Ada tiga tahap yang dikenali yang
mencerminkan dinamika interaksi antara virus dan penjamu. (1) fase
akut pada tahap awal; (2) fase kronis pada tahap menengah; dan (3)
fase krisis, pada tahap akhir.

Fase akut menggambarkan respon awal seseorang dewasa


yang imunokompeten terhadap infeksi HIV. Secara klinis, hal yang
secara khas merupakan penyakit yang sembuh sendiri yang terjadi
pada 50% hingga 70% dari orang deawasa selama 3-6 minggu setelah
infeksi; fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu nyeri
tenggorokan, mialgia, demam, ruam, dan kadang-kadang meningitis
aseptik. Fase ini juga ditandai dengan produksi virus dalam jumlah
yang besar, viremia dan persemaian yang luas pada jaringan limfoid
perifer, yang secara khas disertai dengan berkurangnya sel T CD4+.

23
Namum segera setelah hal itu terjadi, akan muncul respon imun
yang spesifik terhadap virus, yang dibuktikan melalui serokonversi
(biasanya dalam rentang waktu 3 hingga 17 minggu etelah pejanan)
dan muali munculnya sel T sitoksik CD8+ yang spesifik terhadap
virus. Setelah viremia mereda, sel T CD4+ kembali mendekati jumlah
normal. Namun, berkurangnya virus dalam plasma bukan merupakan
penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berlanjut di
dalam makrofag dan sel T CD 4+ jaringan.

Fase kronis, pada tahap menengah, menunjukkan tahap


penahanan relatif virus. Pada fase ini, sebagian besar sistem imun
masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga beberapa tahun.
Pada pasien tidak menunjukkan gejala ataupun menderita
limfadenopati persisten, dan banyak penderita yang mengalami infeksi
oportunistik “ringan” seperti sariawan (Candida) atau harpes zoster
selama fase ini replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut.
Pergantian virus yang meluas akan disertai dengan kehilangan sel
CD4+ yang berlanjut. Namun, karena kemampuan regenerasi sistem
imun besar, sel CD4+ akan tergantikan dalam jumlah yang besar.

Oleh karena itu penurunan sel CD4+ dalam darah perifer


hanyalah hal yang sederhana. Setelah melewati periode yang panjang
dan beragam, pertahanan penjamu mulai berkurang, jumlah sel CD4+
mulai menurun, dan jumlah sel CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV
semakin meningkat. Limfadenopati persisten yang disertai dengan
kemunculan gejala konstitusional yang bermakna (demam, ruam,
mudah lelah) mencerminkan onset adanya dekompensasi sistem imun,
peningkatan replikasi virus, dan onset fase “krisis”.

Tahap terakhir, fase krisis, ditandai dengan kehancuran


ppertahanan penjamu yang sangat merugikan peningkatan viremia
yang nyata, serta penyakit klinis. Para pasien khasnya akan mengalami
demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat badan, dan
diare. Jumlah sel CD4+ menurun dibawah 500 sel/μL. Setelah adanya

24
interval yang berubah-ubah, para pasien mengalami infeksi
oportunistik yang serius, neoplasma sekunder, dan atau
manifestasi neurologis (disebut dengan kondisi yang menentukan
AIDS), dan pasien yang bersangkutan dikatakan telah menderita
AIDS yang sesungguhnya. Bahkan jika kondisi lazim yang
menentukan AIDS tidak muncul, pedoman CDC yang digunakan saat
ini menentukan bahwa seseorang yang terinfeksi HIV dengan jumlah
sel CD4+ kurang atau sama dengan 200/μL sebagai pengidap AIDS.

2.8. Respon Tubuh Terhadap Perubahan Fisiologis


Menurut Burnner dan Suddarth (2013) Manifestasi klinis
penyakit AIDS menyebar luas dan pada dasarnya dapat mengenai
setiap sistem organ. Penyakit yang berkaitan dengan infeksi HIV dan
penyakit AIDS terjadi akibat infeksi, malignasi dan atau efek
langsung HIV pada jaringan tubuh, pembahasan berikutini
dibatasi pada manifestasi klinis dan akibat infeksi HIV berat yang
paling sering ditemukan.

a. Respiratori
Pneumonia Pneumocytis carini. Gejala nafas yang
pendek, sesak nafas (dispnea), batuk-batuk, nyeri dada dan
demam akan menyertai berbagai infeksi oportunistik seperti yang
disebabkan oleh Mycobacterium avium intracellulare (MAI),
sitomegalovirus (CMV) dan Legionella. Walaupun begitu, infeksi
yang paling sering ditemukan pada penderita AIDS adalah
Pneumonia Pneumocytis Carinii (PCP) yang merupakan penyakit
oportunistik pertama yang dideskripsikan berkaitan dengan AIDS.

Gambaran klinik PCP pada pasien AIDS umumnya tidak


begitu akut bila dibandingkan dengan pasien gangguan kekebalan
karena keadaan lain. Periode waktu antara awitan gejala dan
penegakan diagnosis yang benar bisa beberapa minggu hingga
beberapa bulan. Penderita AIDS pada mulanya hanya
memperlihatkan tanda-tanda dan gejala yang tidak khas seperti

25
demam, menggigil, batuk non produktif, nafas pendek, dispnea
dan kadang-kadang nyeri dada. Konsentrasi oksigen dalam darah
arterial pada pasien yang bernafas dengan udara ruangan dapat
mengalami penurunan yang ringan; keadaan ini menunjukkan
keadaan hipoksemia minimal. Bila tidak diatasi, PCP akan
berlanjut dengan menimbulkan kelainan paru yang signifikan dan
pada akhirnya, kegagalan pernafasan.

Penyakit kompleks Kompleks Mycobacterium avium


(MAC; Mycobacterium avium Complex) yaitu suatu kelompok
baksil tahan asam, biasanya menyebabkan infeksi pernafasan
kendati juga sering dijumpai dalam traktus gastrointerstinal,
nodus limfatik dan sumsum tulang. Sebagian pasien AIDS
sudah menderita penyakit yang menyebar luas ketika diagnosis
ditegakkan dan biasanya dengan keadaan umum yang buruk.

Berbeda dengan infeksi oportunistik lainnya, penyakit


tuberkulosis (TB) cenderung terjadi secara dini dalam perjalanan
infeksi HIV dan biasanya mendahului diagnosa AIDS. Dalam
stadium infeksi HIV yang lanjut, penyakit TB disertai dengan
penyebaran ke tempat-tempat ekstrapulmoner seperti sistem saraf
pusat, tulang, perikardium, lambung, peritoneum dan skrotum.

b. Gastrointerstinal
Manifestasi gastrointerstinal penyakit AIDS mencangkup
hilagnya selera makan, mual, vomitus, kondisiasis oral, serta
esofagus, dan diare kronis. Bagi pasien AIDS, diare dapat
membawa akibat yang serius sehubungan dengan terjadinya
penurunan berat badan yang nyata (lebih dari 10% berat badan),
gangguan keseimbnagan cairan dan elektrolit, ekskoriasis kulit
perianal, kelemahan dan ketidakmampuan untuk melaksanakan
kegiatan yang biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

c. Kanker

26
Sarkoma Kaposi yaitu kelainan malignasi yang berkaitan
dengan HIV yang paling sering ditemukan merupakan penyakit
yang melibatkan lapisan endotel pembuluh darah dan limfe.Kaposi
yang berhubungan dengan AIDS memperlihatkan penyakit yang
lebih agresif dan beragam yang berkisar mulai dari lesi kutaneus
setempat hingga kelainan yang menyebar dan mengenai lebih dari
satu sistem organ. Lesi Kutaneus yang dapat timbul pada setiap
bagian tubuh biasanya bewarna merah mudah kecoklatan
hingga ungu gelap. Lesi dapat datar atau menonjol dan dikelilingi
oleh ekimosis (bercak-bercak perdarahan) serta edema.

Lokasi dan ukuran beberapa lesi dapat menimbulkan statis


aliran vena, limfadema serta rasa nyeri. Lesi ulserasi akan merusak
integritas kulit dan meninggalkan ketidaknyamanan pasien serta
kerentanannya terhadap infeksi.

Limfoma Sel-B merupakan malignansi paling sering kedua


yang terjadi diantara pasien-pasien AIDS. Limfoma yang
berhubungan dengan AIDS cenderung berkembang diluar
kelenjer limfe; limfoma ini paling sering dijumpai pada otak,
sumsum tulang dan traktus gastrointerstinal.

d. Neurologik
Ensefalopati HIV disebut juga sebagai kompleks demensia
AIDS. Hiv ditemukan dengan jumlah yang besar dalam otak
maupun cairan serebrospinal pasien-pasien ADC (AIDS dementia
complex). Sel-sel otak yang terinfeksi HIV didominasi olehsel-sel
CD4 + yang berasal dari monosit/magrofag. Infeksi HIV diyakini
akan memicu toksin atau limfokin yang mengakibatkan disfungsi
seluler atau yang mengganggu atau yang mengganggu fungsi
neurotransmiter ketimbang menyebabkan kerusakan seluler.
Keadaan ini berupa sindrom klinis yang ditandai oleh penurunan
progresif pada fungsi kognitif, prilaku dan motorik. Tanda tanda
dan gejalanya yang samar-samar serta sulit dibedakan dan

27
kelelahan, depresi atau efek terapi yang merugikan terhadap infeksi
dan malignansi.

Manifestasi dini mencangkup gangguan daya ingat, sakit


kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif, pelambatan
psikomotorik, apatis dan ataksia. Stadium lanjutmencangkup
ganggua kognitif global kelambatan dalam respon verbal,
gagguan afektif seperti pandangan yang kosong,hiperrefleksi
paraparesis spastik, psikologis, halusiansi, tremor, inkontenensia,
serangan kejang, mutisme dan kematian.

Infeksi jamur Criptococcus neoformans merupakan infeksi


opotunistik paling sering keempat yang terdapat di antara
pasien-pasien AIDS dan penyebab infeksi paling sering ketiga
yang menyebabkan kelainan neurologik. Meningitis kriptokokus
ditandai dengan gejala seperti demam/panas, sakit kepala, keadaan
tidak enak badan (melaise), kaku kuduk, mual, vormitus, perubahan
status mental, dan kejang-kenjang.

Leukoensefalopati Multifokal Progresif (PML) merupakan


kelainan sistem saraf pusat dengan demielinisasi yang
disebabkan oleh virus J.C. Manifestasi klinis dapat dimulai
dengan konfusi mental dan mengalami perkembangan cepat yang
akhirnya mencakup gejala kebutaan, afasia, paresis, (paraliasis
ringan) serta kematian.

Kelemahan neurologik lainnya berupa neuropati perifer yang


berhubungan dengan HIV diperkirakan merupakan kelainan
demielinisasi dengan disertai rasa nyeri serta patirasa pada
ekstremitas, kelemahan, penurunan rekfleks tendon yang dalam,
hipotensi ortostatik dan impontensi.

e. Struktur integrumen
Manifestasi kulit menyertai infeksi HIV dan infeksi
oportunistik serta malignansi yang mendampinginya, Infeksi

28
oportunistik seperti harpes zoster dan harpes simpleks akan
disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri yang merusak
integritas kulit. Moloskum kontagiosum merupakan infeksi virus
yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai deformitas.
Dermatitis seboreika akan disertai ruam yang difus, bersisik
dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah.

Penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folokulasi


menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan
mengelupas atau dengan dermatitis atropik seperti ekzema atau
psoriasis. Hingga 60% enderita yang diobati dengan
trimetroprimsulfametoksazol (TMP/SMZ) untuk mengatasi
pneumonia pneumocytis carinii akan mengalami ruam yang
berkaitan dengan obat dan berupa preuritus yang disertai
pembentukan papula serta makula bewarna merah muda. Terlepas
dari penyebab ruam ini pasien akan mengalami ganggua rasa
nyaman dan menghadapi peningkatan resiko untuk menderita
infeksi tambahan, akibat rusaknya keutuhan kulit.

2.9. Pencegahan
Menurut Murwanto (2014) ada beberapa upaya pencegahan HIV
AIDS yang dapat dilakukan untuk mencegah terinfeksi penyakit HIV
/AIDS adalah dengan menerapkan prinsip “ABCDE”.

1) A (Abstinence): artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan


seks bagi yang belum menikah.

2) B (Be faithful): artinya Bersikap saling setia kepada satu


pasangan seks (tidak berganti-ganti pasangan).

3) C (Condom): artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan


seksual dengan menggunakan kondom.

4) D (Drug No): artinya Dilarang menggunakan narkoba.

5) E (Education): artinya pemberian Edukasi dan informasi yang benar


mengenai HIV, cara penularan, pencegahan dan pengobatannya.

29
Individu dapat mengurangi risiko infeksi HIV dengan membatasi

paparan faktor risiko. Pendekatan utama untuk pencegahan HIV sebagai

berikut :

1) Penggunaan kondom pria dan wanita


Penggunaan kondom pria dan wanita yang benar dan

konsisten selama penetrasi vagina atau dubur dapat melindungi

terhadap penyebaran infeksi menular seksual, termasuk HIV.

Bukti menunjukkan bahwa kondom lateks laki-laki memiliki

efek perlindungan 85% atau lebih besar terhadap HIV dan

infeksi menular seksual (IMS) lainnya.

2) Tes dan konseling untuk HIV dan IMS


Pengujian untuk HIV dan IMS lainnya sangat

disarankan untuk semua orang yang terpajan salah satu

faktor risiko. Dengan cara ini orang belajar tentang status

infeksi mereka sendiri dan mengakses layanan pencegahan dan

perawatan yang diperlukan tanpa penundaan. WHO juga

merekomendasikan untuk menawarkan tes untuk pasangan.

Selain itu, WHO merekomendasikan pendekatan pemberitahuan

mitra bantuan sehingga orang dengan HIV menerima dukungan

untuk menginformasikan mitra mereka sendiri, atau dengan

bantuan penyedia layanan kesehatan.

3) Tes dan konseling, keterkaitan dengan perawatan tuberkulosis

30
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang paling umum dan

penyebab kematian di antara orang dengan HIV. Hal ini fatal

jika tidak terdeteksi atau tidak diobati, yang bertanggung jawab

untuk lebih dari 1 dari 3 kematian terkait HIV.

Deteksi dini TB dan keterkaitan yang cepat

dengan pengobatan TB dan ARV dapat mencegah kematian

pada ODHA. Pemeriksaan TB harus ditawarkan secara rutin

di layanan perawatan HIV dan tes HIV rutin harus ditawarkan

kepada semua pasien dengan dugaan dan terdiagnosis TB.

Individu yang didiagnosis dengan HIV dan TB aktif harus

segera memulai pengobatan TB yang efektif (termasuk untuk

TB yang resistan terhadap obat) dan ARV. Terapi pencegahan

TB harus ditawarkan kepada semua orang dengan HIV yang

tidak memiliki TB aktif.

4) Sunat laki-laki oleh medis secara sukarela


Sunat laki-laki oleh medis, mengurangi risiko infeksi HIV

sekitar 60% pada pria heteroseksual. Sunat laki-laki oleh medis

juga dianggap sebagai pendekatan yang baik untuk menjangkau

laki-laki dan remaja laki-laki yang tidak sering mencari layanan

perawatan kesehatan.

5) Penggunaan obat antiretroviral untuk pencegahan


Penelitian menunjukkan bahwa jika orang HIV-positif
mematuhi rejimen ARV yang efektif, risiko penularan virus ke
pasangan seksual yang tidak terinfeksi dapat dikurangi sebesar
96%. Rekomendasi WHO untuk memulai ARV pada semua

31
orang yang hidup dengan HIV akan berkontribusi secara
signifikan untuk mengurangi penularan HIV.

6) Profilaksis pasca pajanan untuk HIV


Profilaksis pasca pajanan adalah penggunaan obat ARV
dalam 72 jam setelah terpapar HIV untuk mencegah infeksi.
Profilaksis pasca pajanan mencakup konseling, pertolongan
pertama, tes HIV, dan pemberian obat ARV selama 28
hari dengan perawatan lanjutan. WHO merekomendasikan
penggunaan profilaksis pascapajanan untuk pajanan pekerjaan,
non- pekerjaan, dewasa dan anak-anak.

7) Pengurangan dampak buruk bagi orang-orang yang


menyuntikkan dan menggunakan narkoba

Mulai berhenti menggunakan NAPZA sebelum terinfeksi


HIV, tidak memakai jarum suntik, sehabis menggunakan
jarum suntik langsung dibuang atau jika menggunakan jarum
yang sama maka disterilkan terlebih dahulu, yaitu dengan
merendam pemutih (dengan kadar campuran yang benar) atau
direbus dengan suhu tinggi yang sesuai.

8) Bagi remaja
Semua orang tanpa kecuali dapat tertular, sehingga
remaja tidak melakukan hubungan seks tidak aman, berisiko
IMS karena dapat memperbesar risiko penularan HIV/AIDS.
Mencari informasi yang lengkap dan benar yang berkaitan
dengan HIV/AIDS. Mendiskusikan secara terbuka permasalahan
yang sering dialami remaja dalam hal ini tentang masalah
perilaku seksual dengan orang tua, guru, teman maupun orang
yang memang paham mengenai hal tersebut.

Menghindari penggunaan obat-obatan terlarang dan


jarum suntik, tato dan tindik. Tidak melakukan kontak
langsung percampuran darah dengan orang yang sudah terpapar

32
HIV. Menghindari perilaku yang dapat mengarah pada perilaku
yang tidak sehat dan tidak bertanggungjawab.

Paket komprehensif intervensi untuk pencegahan dan pengobatan


HIV meliputi:
1) Program jarum dan alat suntik.

2) Terapi substitusi opioid untuk orang yang bergantung


pada opioid dan pengobatan ketergantungan obat berbasis
bukti lainnya.

3) Tes dan konseling HIV.

4) Perawatan HIV.

5) Informasi dan edukasi pengurangan risiko dan penyediaan


nalokson.

6) Penggunaan kondom.

7) Manajemen IMS, tuberkulosis dan virus hepatitis

2.10. Pelaksanaan
Pengobatan yang dilakukan pada pasien dengan HIV/AIDS
hingga saat ini adalah penggunaan antiretroviral (ARV). Terapi
obat ARV berfungsi untuk mengontrol laju perkembangan virus
HIV di dalam tubuh agar tidak menimbulkan infeksi lanjutan /
infeksi oportinistik sehingga pasien dengan HIV/AIDS dapat
memperoleh kualitas hidup yang jauh lebih baik. ARV
merupakan regimen pengobatan yang harus diterapkan oleh
pasien dengan HIV/AIDS selama seumur hidup dan harus sesuai
dengan petunjuk serta pengawasan dokter. Regimen pengobatan
ARV terbagi menjadi beberapa kelas atau golongan (Kemenkes
RI, 2011).

Menurut Burnnner dan Suddarth (2013) Upaya penanganan


medis meliputi beberapa cara pendekatan yang mencangkup
penanganan infeksi yang berhubungan dengan HIV serta

33
malignansi, penghentian replikasi virus HIV lewar preparat
antivirus, dan penguatan serta pemulihan sistem imun melalui
pengguanaan preparat immunomodulator. Perawatan suportif
merupakan tindakan yang penting karena efek infeksi HIV
dan penyakit AIDS yang sangat menurunkan keadaan umum
pasien; efek tersebut mencangkup malnutrisi, kerusakan kulit,
kelemahan dan imobilisasi dan perubahan status mental.
Penatalaksanaan HIV AIDS sebegai berikut :

a. Obat-obat untuk infeksi yang berhubungan dengan HIV infeksi


Infeksi umum trimetroprime-sulfametokazol, yang
disebut pula TMP- SMZ (Bactrim,septra), merupakan
preparat antibakteri untuk mengatasi berbagai
mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Pemberian
secara IV kepada pasien-pasien dengan fungsi
gastrointerstinal yang normal tidak memberikan keuntungan
apapun. Penderita AIDS yang diobati dengan TMP-SMZ
dapat mengalami efekyang merugikan dengan insiden tinggi
yang tidak lazim terjadi, seperti demam, ruam,
leukopenia, trombositopenia dengan ganggua fungsi renal.

Pentamidin, suatu obat anti protozoa, digunakan sebagai


preparat alternatif untuk melawan PCP. Jika terjadi efek
yang merugikan atau jika pasien tidak memperlihatkan
perbaikan klinis ketika diobati dengan TMP-SMZ, petugas
kesehatan dapat merekomendasikan pentamidin.

Kompleks Mycobacterium avium, terapi kompleks


Mycobacterium avium complex (MAC) masih belum
ditentukan dengan jelas dan meliputi penggunaan lebih dari
satu macam obat selam periode waktu yang lama.

Meningitis, Terpi primer yang muthakhir untuk


meningitis kriptokokus adalah amfoterisin B IV dengan atau
tanpa flusitosin atau flukonazol (Diflucan). Keadaan pasien

34
harus dipantau untuk endeteksi efek yang potensial
merugikan dan serius dari amfoterisin B yang
mencangkup reaksi anafilaksik, gangguan renal serta hepar,
gangguan keseimbangan elektrolit, anemia, panas dan
menggigil.

Retinitis Sitomegalovirus, Retinitis yang disebabkan


oleh sitomegalovirus (CMV;cytomegalovirus) merupan
penyebab utama kebutaan pada penderita penyakit AIDS.

Foskarnet (Foscavir), yaitu peparat lain yang


digunakan mengobati retinitis CMV, disuntikkan intravena
setiap 8 jam sekali selama 2 hingga 3 minggu. Reaksi
merugikan yang lazim terjadi pada pemberian foskarnet
adalah nefrotoksisitas yang mencangkup gagal ginjal akut dan
gangguan keseimbangan elektrolit yang mencangkup
hipokalasemia, hiperfosfatemia serta hipomagnesemia. Semua
keadaan ini dapat membawa kematian. Efek merugikan
lainnya yang lazim dijumpai adaah serangan kejang-kejang,
gangguan gastrointerstinal, anemia, flebitis, pada tempat infus
dan nyeri punggung bawah.

Keadaan lain, Asiklovir dan foskarnat kini digunakan


untuk mengobati infeksi ensefalitis yang disebabkan oleh
harpes simpleks atau harpes zoster. Pirimetamin (Daraprim)
dan Sulfadiazin atau klindamisin (Cleosin HCL) digunakan
untuk pengobatan maupun terapi supresif seumur hidup
bagiinfeksi Toxoplasmosis gondi. Infeksi kronis yang
membandel oleh kondendidasi (trush) atau lesi esofagus
diobati dengan Ketokonazol atau flukonazol.

b. Penatalaksanaan Diare Kronik


Terapi dengan oktreotid asetat (sandostain), yaitu suatu
analog sintetik somatostatin, ternyata efektif untuk mengatasi
diare yang berat dan kronik. Konsentrasi reseptor somatosin

35
yang tinggi ditemukan dalam traktus gastrointerstinal maupun
jaringan lainnya. Somatostain akan menghambat banyak
fungsi fisologis yang mencangkup motalisis gastrointerstinal
dan sekresi-interstinal air serta elektrolit.

c. Penatalaksanaan Sindrom Pelisutan


Penatalaksanaan sindrom pelisutan mencangkup
penanganan penyebab yang mendasari infeksi oportunitis
sistematik maupun gastrointerstinal. Malnutrsi sendiri akan
memperbesar resiko infeksi dan dapat pula meningkatkan
insiden infeksi oportunistis. Terapi nutrisi bisa dilakukan
mulai dari diet oral dan pemberian makan lewat sonde
(terapi nutriasi enternal) hingga dukungan nutrisi
parenteral jika diperlukan.

d. Penanganan keganasan
Penatalaksanaan sarkoma Kaposi biasanya sulit karena
sangat beragamnya gejala dan sistem organ yang
terkena.Tujuan terapinya adalah untuk mengurangi gejala
dengan memperkecil ukuranlesi pada kulit, mengurangi
gangguan rasa nyaman yang berkaitan dengan edema serta
ulserasi, dan mengendalikan gejala yang berhubungan dengan
lesi mukosa serta organ viseral. Hinngga saat ini, kemoterapi
yang paling efektif tampaknya berupa ABV (Adriamisin,
Bleomisin, dan Vinkristin).

e. Terapi Antiretrovirus
Saat ini terdapat empat preparat antiretrovirus yang
sudah disetujui oleh FDA untuk pengobatan HIV, keempat
preparat tersebut adalah ; Zidovudin, Dideoksinosin ,
dideoksisitidin dan Stavudin. Semua obat ini menghambat
kerja enzim reserve transcriptase virus dan mencegah virus
reproduksi virus HIV dengan cara meniru salah satu
substansi molekuler yang digunakan virus tersebut untuk

36
membangun DNA bagi partikel-partikel virus baru.
Dengan mengubah komponen struktural rantai DNA, produksi
virus yang baru akan dihambat.

f. Inhibitor Protase
Inhibitor protase merupakan obat yang menghambat
kerja enzim protase, yaitu enzim yang dibutuhkan untuk
replikasi virus HIV dan produksi virion yang menular.
Inhibisi protase HIV-1 akan menghasilkan partikel virus
noninfeksius dengan penurunan aktivitas enzim reserve
transcriptase.

g. Perawatan pendukung
Paien yang menjadi lemah dan memiliki keadaan
umum yang menurun sebagai akibat dari sakit kronik yang
berkaitan dengan HIV memerlukan banyak macam perawatan
suportif. Dukungan nutrisi mungkin merupakan tindakan
sederhana seperti membantu pasien dalam mendapatkan atau
mempersiapkan makanannya. Untuk pasien dengan gangguan
nutrisi yang lanjut karena penurunan asupan makanan,
sindrome perlisutan atau malabsobsi saluran cerna yang
berkaitan dengan diare, mungkin diperlukan dalam pemberian
makan lewat pembuluh darah seperti nutrisi parenteral total.

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang


terjadiakibat mual, Vomitus dan diare hebat kerapkali
memerlukan terapi pengganti yang berupa infus cairan serta
elektrolit. Lesi pada kulit yang berkaitan dengan sarkoma
kaposi, ekskoriasi kulit perianal dan imobilisasi ditangani
dengan perawatan kulit yang seksama dan rajin;
perawatan ini mencangkup tindakan membalikkan tubuh
pasien secara teratur, membersihkan dan mengoleskan salep
obat serta menutup lesi dengan kasa steril.

37
Gejala paru seperti dispnea dan napas pendek mungkin
berhubungan dengan infeksi, sarkoma kaporsi serta keadaan
mudah letih. Pasien-pasien ini mungkin memerlukan terapi
oksigen, pelatihan relaksasi dan teknik menghemat tenaga.
Pasien dengan ganggguan fungsi pernafasan yang berat
pernafasan yang berat dapat membutuhkan tindakan ventilasi
mekanis. Rasa nyeri yang menyertai lesi kulit, kram perut,
neuropati perifer atau sarkoma kaposi dapat diatasi dengan
preparat analgetik yang diberikan secara teratur selama 24
jam. Teknik relaksasi dan guded imagery (terapi
psikologi dengan cara imajinasi yang terarah) dapat
membantu mengurangi rasa nyeri dan kecemasan pada
sebagian pasien.

h. Terapi nutrisi
Menurut Nursalam (2011) nutrisi yang sehat dan
seimbang diperlukan pasien HIV AIDS untuk
mempertahankan kekuatan, meningkatkan fungsi sistem
imun, meningkatkan kemampuan tubuh, utuk memerangi
infeksi, dan menjaga orang yang hidup dengan infeksi HIV
AIDS tetap aktif dan produktif. Defisiensi vitamin dan
mineral bisa dijumpai pada orang dengan HIV, dan defisiensi
sudah terjadi sejak stadium dini walaupun pada ODHA
mengonsumsi makanan dengan gizi berimbang. Defisiensi
terjadi karena HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan dan
gangguan absorbsi zat gizi.

Untuk mengatasi masalah nutrisi pada pasien HIV


AIDS, mereka harus diberikan makanan tinggi kalori, tinggi
protein, kaya vitamin dan mineral serta cukup air.

i. Manfaat konseling dan VCT pada pasien HIV


Menurut Nursalam (2011) konseling HIV/AIDS
merupakan dialog antara seseorang (klien) dengan pelayanan

38
kesehatan (konselor) yang bersifat rahasia, sehingga
memungkinkan orang tersebut mampu menyesuaikan atau
mengadaptasi diri dengan stres dan sanggup membuat
keputusan bertindak berkaitan dengan HIV/AIDS.

Konseling HIV berbeda dengan konseling lainnya,


walaupun keterampilan dasar yang dibutuhkan adalah sama.
Konseling HIV menjadi hal yang unik karena :

1) Membutuhkan pengetahuan yang luas tentang infeksi


menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS
2) Membutuhkan mengenai praktik seks yang
bersifat pribadi
3) Membutuhkan pembahasan tentang keamatian atau
proses kematian
4) Membutuhkan kepekaan konselor dalam
menghadapi perbedaan pendapat dan nilai yang
mungkin sangat bertentangan dengan nilai yang dianut
oleh konselor itu sendiri.
5) Membutuhkan keterampilan pada saat memberikan
hasil HIV positif
6) Membutuhkan keterampilan dalam menghadapi
kebutuhan pasangan maupun anggota keluarga klien

Menurut Nursalam (2011) tujuan konseling HIV yaitu :


1) Mencegah penularan HIVdengan cara mengubah prilaku.
Untuk mengubah prilaku ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS)
tidak hanya membutuhkan informasi belaka, tetapi jauh lebih
penting adalah pemberian dukungan yang dapat menumbuhkan
motivasi mereka, misalnya dalam prilaku seks aman, tidak
berganti-ganti jarum suntik, dan lain-lain.

2) Meningkatkan kualitas hidup ODHA dalam segala aspek baik


medis, psikologis, sosial, dan ekonomi. Dalam hal ini

39
konseling bertujuan untuk memberikan dukungan kepada
ODHA agar mampu hidup secara positif.

Voluntary Conseling Testing atau VCT adalah suatu


pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak
terputus antara konselor dan kliennya dengantujuan untuk
mencegah penurlaran HIV, memberikan dukungan moral,
informasi, serta dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga, dan
lingkungannya (Nursalam, 2011).

Tujuan VCT yaitu sebagai upaya pencegahan


HIV/AIDS, upaya untuk mengurangi kegelisahan,
meningkatkan presepsi/ pengetahuan mereka tentang faktor-
faktor resiko penyebab seseorang terinfeksi HIV, dan upaya
pengembangan perubahan prilaku, sehingga secara dini
mengarahkan menuju ke program pelayanan dan dukungan
termasuk akses terapi antiretroviral, serta membantu mengurangi
stigma dalam masyarakat (Nursalam, 2011).

2.11. Asuhan keperawatan pada anak


Pengkajian
1. Data subjektif, meliputi:
a. Demam dan diare berkepanjangan
b. Pengetahuan pasin/ keluarga tentang AIDS
c. Data nutrisi, intake makan, adanya penurunan berat badan
d. Keluhan pada sistem respirasi (takipnea, batuk, dispnea,
hipoksia).
e. Ketidaknyamanan (kaji PQRST)
2. Riwayat penyakit sekarang:
a. BB dan TB yang tidak naik
b. Diare lebih dari 1 bulan.

40
c. Demam yang berkepanjangan (lebih dari 1 bulan)
d. Mulut dan faring dijumpai bercak – bercak putih
e. Limphodenophati yang menyeluruh
f. Infeksi berulang (OMP, pharingitis)
g. Batuk yang menetap (lebih dari 1 bulan)
h. Dermatitis yang menyeluruh
3. Riwayat penyakit dalam keluarga
a. Orang tua yang terinfeksi HIV
b. Penyalahgunaan zat
4. Riwayat kehamilan dan persalinan
a. Ibu selama kehamilan terinfeksi HIV, 50% dapat menularkan
kepada anaknya.
b. Penularan dapat terjadi pada minggu 9 – 20.
c. Penularan pada proses persalinan apabila terjadi kontak
darah ibu dan bayi.
d. Penularan setelah lahir dapat terjadi melalui ASI.
5. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
Dapat terjadi kegagalan pertumbuhan dan perkembangan pada
anak

6. Riwayat imunisasi
Imunisasi BCG tidak boleh diberikan karena pertimbangan
bahwa kuman hidup, polio diberikan dalam bentuk inactied
pelivaccine (virus yang mati)

7. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum: dapat terjadi penurunan kesadaran hingga
koma

Pengukuran tanda – tanda vital


a. Pengkajian sistem penginderaan:

41
Mata : cotton wool spot, sytomegalovirus retinus,
toksoplasma choroiditis, perivasculitis pada retina, infeksi tepi
kelopak mata, secret berkerak, lesi retina.

Mulut : oral thrush akibat jamur, stomatitis gangrenesa,


sarcoma kaposi.

Telinga : OMP, kehilangan pendengaran.


b. Sistem Respirasi: batuk lama dengan atau tanpa sputum, sesak
nafas, tachipneu , hipoxia, nyeri dada, nafas pendek waktu
istirahat gagal nafas.

c. Sistem pencernaan : BB menurun, anoreksia, nyeri menelan,


kesulitan menelan, bercak putih, kekuningan pada mukosa oral,
pharingitis, candidiasis esophagus, candidiasis mulut, selaput
lendir kering, pembesaran hati, mual, muntah, colitis akibat
diare kronik, pembesaran limpha.

d. Sistem Kardiovaskuler: nadi cepat, tekanan darah


meningkat, CHF

e. Sistem integumen: variccla, herpes zooster, scabies

f. Sistem perkemihan: anuria, proteinuria

g. Sistem endokrin: pembesaran kelenjar parotis,


limphadenopathi, pembesaran kelenjar yang menyeluruh.

h. Sistem neuromuskuler: sakit kepala, penurunan kesadaran,


sukar konsentrasi, kejang – kejang ensephalopati, gangguan
psikomotor, meningitis, keterlambatan perkembangan, nyeri
otot.

i. Sistem muskuloskeletal: nyeri otot, nyeri persendian, letih,


ataksia.

j. Psikososial: orang tua merasa bersalah, merasa malu dan


menarik diri dari lingkungan.

42
Diagnosa Keperawatan

1. Risiko keterlambatan perkembangan.


2. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan

Intervensi keperawatan
Diagnosa keperawatan 1: Risiko keterlambatan perkembangan

Defenisi: rentan mengalami keterlambatan 25% atau lebih


pada satu atau lebih area sosial atau perilaku regulasi – diri,
atau keterampilan kognitif, bahasa, motorik kasar dan halus, yang
dapat mengganggu kesehatan.

NOC:
1. Perkembangan anak usia 1 bulan
2. Perkembangan anak usia 2 bulan
3. Perkembangan anak usia 4 bulan
4. Perkembangan anak usia 6 bulan
5. Perkembangan anak usia 12 bulan
6. Perkembangan anak usia 2 tahun
7. Perkembangan anak usia 3 tahun
8. Perkembangan anak usia 4 tahun
9. Perkembangan anak usia 5 tahun
10. Perkembangan anak usia usia anak pertengahan
11. Perkembangan anak usia remaja

NIC:
1. Bimbingan antisipatif
2. Manajemen perilaku
3. Modifikasi perilaku: keterampilan social
4. Dukungan pengasuhan Peningkatan perkembangan bayi
Peningkatan perkembangan anak Peningkatan perkembangan
remaja Pengajaran nutrisi (sesuai usia) Pengajaran stimulasi
(sesuai usia)

43
Diagnosa keperawatan 2: Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari
kebutuhan

Defenisi: Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan


metabolik
Batasan karakteristik:
1. Berat badan 20% atau lebih di bawah rentang normal berat
badan ideal
2. Ketidakmampuan memakan makanan Kurang minat pada
makanan
3. Membran mukosa pucat
4. Tonus otot menurun
5. Kram abdomen

NOC:
Status nutrisi bayi : asupan nutrisi
NIC:
1. Manajemen diare
2. Penahapan diet
3. Manajemen gangguan makan Manajemen cairan Manajemen
nutrisi
4. Bantuan peningkatan berat badan

44
BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang.


Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup
zat-zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga memungkinkan
pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan
secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila
tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial.

HIV/AIDS menjadi masalah serius karena bukan hanya merupakan


masalah kesehatan atau persoalan pembangunan, tetapi juga masalah
ekonomi, sosial, dan lain-lain. Berdasarkan sifat dan efeknya, sangatlah unik
karena AIDS mematikan kelompok yang paling produktif dan paling efektif
secara reproduksi dalam masyarakat, yang kemudian berdampak pada
mengurangi produktivitas dan kapasitas dari masyarakat. Dampak yang
ditimbulkan AIDS terhadap masyarakat dapat bersifat permanen atau
setidaknya berjangka sangat panjang.

AIDS secara sosial tidak terlihat (invisible) meski demikian kerusakan


yang ditimbulkannya sangatlah nyata. HIV/AIDS karena sifatnya yang sangat
mematikan sehingga menimbulkan rasa malu dan pengucilan dari masyarakat
yang kemudian akan mengiring pada bentuk-bentuk pembungkaman,
penolakan, stigma, dan diskriminasi pada hampir semua sendi kehidupan.
Hampir semua orang yang diduga terinfeksi AIDS tidak memiliki akses
terhadap tes HIV, inilah yang membuat usaha-usaha pencegahan dan
penyembuhan menjadi sangat rumit.

Program pencegahan penyebaran HIV/AIDS harus segera dilaksanakan,


tak terkecuali area Lembaga Pemasyarakatan ataupun Rumah Tahanan.

45
3.2. Saran

Diharapkan dengan adanya makalah ini ibu lebih memperhatikan status


gizi anak agar tidak terjadi malnutrisi atau kekurangan kalori protein (KKP).

Masa depan bangsa ini harus segera diselamatkan caranya adalah


dengan mendidik dan membimbing generasi muda secara intensif agar mereka
mampu menjadi motor penggerak kemajuan dan mendorong perubahan kearah
yang lebih dinamis, progesif dan produktif. Dengan demikian diharapkan
kedepannya bangsa ini mampu bersaing dengan negara lainya .

Agar mencapai impian tersebut remaja Indonesia harus tumbuh secara


positif dan kontruktif, serta sebisa mungkin dijauhkan dari telibat kenakalan
remaja. Inialah tantangan riil yang kita hadapi sebagai guru dan orang tua.
Sudah sedemikian lama fenomena maraknya kenakalan remaja ini dibiarkan
begitu saja, seolah hanya di tangani dengan asal-asalan.

Pemerintahan sebagai pemengang utama kebijakan juga dapat


menjalankan perannya, yaitu membuat undang undang pendidikan, undang
undang teknologi komunikasi (yang mengatur tayangan yang layak di akses di
internet, televisi, dan media massa), serta membangun aparat kepolisian yang
kuat.

Dengan permasalahan remaja yang terkena HIV DAN AIDS dikalangan


masyarakat diakibatkan pergaulan bebas remaja yang tidak terpantau, dengan
sebab itupenulis berharap ada pengawasan dari orang yang bertanggung
jawab.

46
47
DAFTAR PUSTAKA

Arisman, 2012. Gizi dalam daur kehidupan, jakarta : EGC


Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
180- 195.
Betz, L & Linda S, 2013, Buku saku pedritik, Alih bahasa monica ester edisi 8,
jakarta :EGC Wong, L, D & Whaleys, 2012, Pedoman klinis asuhan
keperawatan anak

Depkes RI. (1999). Rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat


2010. Jakarta.
Febrianti. 2017. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stigma terhadap Orang
Dengan HIV dan AIDS (ODHA). Journal Endurance, 2(6): 158–167.

Hapsari, T. A., & Azinar, M. 2017. Praktik Terapi Antiretroviral pada Anak
Penderita HIV/AIDS. HIGEIA (Journal of Public Health Research and
Development), 1(2): 39–48

Irianto, Kus dan Kusno Waluyo. 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat. Bandung :
Yrama Widya. Tim Penyusun Pusat Kamus. 2007. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Kemenkes Ri. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang
Kemenkes Ri
Muksin, R. I., & Shaluhiyah, Z. 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Stigma Guru terhadap Anak HIV Positif. Jurnal Kesehatan Masyarakat,
3(4): 230–237.

Nelson. 2000. Ilmu kesehatan Anak,volume 2 Edisi 15. EGC. Jakarta.

Nelson. 2011. Ilmu kesehatan Anak,volume 2 Edisi 15. EGC. Jakarta.


http://rabelanti.blogspot.com/2009/03/askep-anak-dengan-kkp.html
http://texbuk.blogspot.com/2011/04/asuhan-keperawatan-pada-anak-
kekurangan.html#ixzz1qE2Rw5wB

Nuuhsan Lubis an Arlina Mursada. 2002. Penatalaksanaan Busung Lapar pada


Balita. Jakarta : EGC.

48
Phenomenology Study : Community Non Acceptance of Children with HIV /
AIDS in Surakarta. Journal of Epidemiology and Public Health, 1(3): 148–
153.

Rani, A. A., Jacobus, A., 2011. Buku Ajar Gastroenterologi, In: Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 1st ed. Jakarta Pusat: Interna Publishing. 55-65.
Wachdin, F. R., Murti, B., & Demartoto, A. 2016.

49

You might also like