Professional Documents
Culture Documents
2B - Kelompok 8 PBAK-1
2B - Kelompok 8 PBAK-1
Lingkungan Masyarakat
Disusun Oleh :
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
JURUSAN KEPERAWATAN
A. Kasus
ICW: Titip Absen di Kampus adalah Bentuk Perilaku Koruptif
Titip absen barangkali sudah marak ditemui di dunia kampus. Kamu yang menjadi
mahasiswa pasti setidaknya pernah mendengar istilah yang suka disingkat tipsen itu. Tapi
tahukah kamu bahwa perilaku ini ternyata termasuk perilaku koruptif? Hal ini ditegaskan
oleh Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo.
“Ya, itu perilaku koruptif kategorinya. Kan ada tindak pidana korupsi yang diatur
dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Ada yang satu lagi itu perilaku koruptif, itu sesuatu
yang lebih luas daripada tindak pidana korupsi,” Adnan menjelaskan kepada kumparan.
Menurut Adnan, titip absen merupakan pelanggaran aturan main yang ada di kampus.
Praktik tersebut tidak hanya merugikan diri sendiri, melainkan juga sudah merusak sistem
yang ada.
Adnan mencontohkan, “Ketika dirinya semestinya enggak ikut kuliah tapi
kemudian karena dia titip absen, apalagi kemudian ditambah lagi dia mencontek, dan
karenanya dia mendapat nilai bagus. Sementara yang lain yang serius melakukan proses
perkuliahan tapi nilainya jadi lebih kecil, itu kan membuat sistemnya menjadi rusak.”
Meski berbeda dengan korupsi uang oknum pejabat yang langsung merugikan negara, ada
kekhawatiran praktik perilaku koruptif tersebut bisa menyuburkan praktik korupsi itu di
kemudian hari. Adnan mencontohkan bahwa pelaku yang terbiasa berperilaku koruptif ini
punya kemungkinan jadi penyelenggara negara.
E. Perspektif Kasus
Korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang oleh
karena itu memerlukan upaya luar biasa pula untuk memberantasnya. Korupsi bukan lagi
milik politisi, kepala daerah, birokrasi, dan pihak swasta, tetapi korupsi juga bersemai dan
tumbuh dalam perguruan tinggi. Dengan terjeratnya perguruan tinggi dalam lingkaran,
maka benteng kejujuran, kebenaran dan moralitas menjadi roboh. Implikasinya adalah
publik antipati dan tidak percaya kepada perguruan tinggi. Tugas pokok pimpinan
perguruan tinggi adalah mengembalikan roh luhur perguruan tinggi. Caranya adalah
dengan mensosialisasikan semangat anti – korupsi kepada semua civitas akademika.
Selain itu, perencanaan yang tepat bisa menutup terjadi ruang korupsi. Semua ini hanya
bisa dilakukan melalui pemimpin yang kuat, bersih, amanah dan akuntabel.
A. Kasus
Polisi Tetapkan Bendahara RSUD Abepura Tersangka Penggelapan Dana BPJS
"LPM telah kita tahan di rumah tahanan Polresta Jayapura Kota. Pada Januari 2021 akan
dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jayapura," ujar Kasat Reskrim Polresta Jayapura AKP
Komang Yustrio Wirahari Kusuma, Rabu (23/12/2020).
Kasus Korupsi ini termasuk ke dalam jenis Korupsi otogenik (autogenic corruption) yaitu
korupsi yang dilaksanakan oleh seseorang seorang diri. Dikarenakan, kasus ini murni
dilakukan oleh tersangka seorang diri dengan maksud memperkaya diri sendiri. Atas
perbuatannya, LPM dijerat Pasal 8 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan UU Nomor
20 Tahun 2001 dengan ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun penjara.
C. Modus Korupsi
Menurut Komang, LPM selaku Bendahara RSUD memalsukan tanda tangan direktur untuk
mencairkan dana BPJS RSUD Abepura. Tindakan tersangka diduga dilaksanakan sejak Maret
sampai September 2020.
Modus tersangka memalsukan tanda tangan untuk melakukan pencairan dana tersebut dari
bank, lalu uangnya dipakai sendiri.
D. Prespektif Kasus
Jika dikaji dari sudut pandang hukum dan agama, pada kasus tersebut tersangka jelas-jelas
salah. Karena, uang tersebut bukan uang pribadi. Jika digelapkan guna memperkaya dirinya
sendiri, tentu saja sangat merugikan orang lain.
Mencuri atau menggelapkan uang dari baitul maal (kas Negara) dan zakat dari kaum
muslimin juga disebut dengan Al-ghulul. Berdasarkan hadits-hadits dari Rasulullah maka
yang termasuk Al-ghulul, adalah sebagai berikut:
a. Larangan Mengambil yang bukan haknya meskipun seutas benang dan sebuah jarum
d. Pada hari kiamat orang akan memikil terhadap barang yang diambil secara tidak sah
e. Larangan Pejabat Publik untuk mengambil semua kekayaan publik secara tidak sah
Penggelapan oleh pejabat umum kita temui pengaturan umumnya dalam Pasal 415 KUHP
dan lebih khusus lagi dalam Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”)
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai
negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum
secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau
surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga
tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan
tersebut.”
A. Kasus
Pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) melalui calo baik di luar maupun di
dalam area pelayanan. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan
Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk pembuatan SIM A,
SIM B1, SIM B2 sebesar Rp. 120.000, SIM C, SIM C1, SIM C2 Rp. 100.000, dan
SIM D, SIM D1 sebesar Rp. 50.000 sedangkan jika menggunakan jasa calo tarif yang
dikenakan bisa sampai berkali-kali lipat yaitu sekitar Rp. 500.000 – Rp. 700.000.
Tindakan tersebut termasuk ke dalam tindakan korupsi. Hal itu terjadi ketika
calo baik oknum kepolisian atau orang tertentu secara aktif menawarkan jasa atau
meminta imbalan kepada pengguna layanan dengan maksud agar dapat membantu
mempercepat tercapainya tujuan si pengguna jasa, walau melanggar prosedur. Oleh
karena itu, dari segi tipologi tindakan tersebut termasuk ke dalam jenis korupsi
transaktif (transactive corruption), yaitu jenis korupsi yang menunjuk adannya
kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan
kepda kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan kepada
kedua belah pihak.
D. Perspektif Kasus
Di Indonesia pengguna jasa calo SIM masih sangat banyak, pemberian harga
yang tinggi tidak mengurangi minat seorang calon pemohon SIM untuk menggunakan
jasa calo. Setiap pengguna jasa calo memiliki rasionalitas tersendiri mengapa ia
memilih calo dalam pengurusan SIM mereka. Penggunaan calo pada proses
pengurusan SIM merupakan tindakan yang illegal, karena jika menggunakan calo
maka calon pemohon SIM bisa mendapatkan SIM dengan mudah dan cepat tanpa
melewati serangkaian prosedur pengurusan SIM, terutama pada prosedur ujian
praktek. Jika ia tidak melalui proses terebut, maka kecapakan dalam mengemudi
masih dipertanyakan. Selain itu, penggunaan calo pada pengurusan SIM juga jelas
dilarang dan melanggar hukum. SIM nembak itu sama halnya dengan melakukan
praktik korupsi. Sehingga hukuman yang dikenakan adalah pasal 378 KUHP tentang
penipuan, dimana sanksi yang dikenakan adalah penjara selama empat tahun paling
lama. Namun pasal tersebut akan berlaku untuk calo atau pihak yang mengeluarkan
SIM tersebut. Sedangkan untuk pemohon hanya diberikan penjelasan tentang
informasi pembuatan SIM yang benar, tanpa adanya hukuman secara pidana atau
administrasi.