You are on page 1of 20

MAKALAH SEJARAH ISLAM ASIA TENGGARA TAMADUN MELAYU

ISLAM DI JAWA

DOSEN PENGAMPU:

Dr. Nelly Yusra, M.Ag

PENULIS:

Azzahra Alfitri Ramdani

Farhansyah

Zedika

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
2021

1| ISLAM DI JAWA
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat rahmat serta karunia-Nya sehingga makalah yang
berjudul “Peran Tarekat dalam Islamisasi Asia Tenggara” dapat terselesaikan.

Makalah ini disusun dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Islam Asia Tenggara
dari Ibu Dr. Nelly Yusra, M.Ag. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan untuk menambah
wawasan kepada pembaca tentang sejarah Islam di daerah Jawa juga kesultanan Johor-Riau dan Riau-
Lingga

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Dr. Nelly Yusra, M.Ag selaku dosen
pengampu mata kuliah Sejarah Islam Asia Tenggara. Berkat tugas yang diberikan, dapat menambah
wawasan penulis berkaitan dengan topik yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih terdapat banyak kesalahan.
Oleh karena itu, penulis memohon maaf atas kesalahan dan ketidaksempurnaan yang pembaca
temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran dari pembaca apabila
menemukan kesalahan dalam makalah ini. Atas perhatiannya, penulis ucapkan terima kasih

Pekanbaru, 9 April 2022

2| ISLAM DI JAWA
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................

A. LATAR BELAKANG......................................................................................
B. RUMUSAN MASALAH.................................................................................
C. TUJUAN MAKALAH.....................................................................................

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................

A. ISLAM DI JAWA...........................................................................................
B. ISLAM DI KESULTANAN JOHOR-RIAU DAN RIAU-
LINGGA.........................................................................................................
C. PENGARUH ISLAM DALAM MASYARAKAT TRADISIONAL
MELAYU........................................................................................................

BAB III PENUTUP...................................................................................................

A. KESIMPULAN..............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................

3| ISLAM DI JAWA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sebelum masuknya agama Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen, kepercayaan masyarakat Nusantara
masih banyak yang berdasarkan dari kepercayaan animisme dan dinamisme. Kepercayaan tersebut
menyisakan praktik-praktik ritual agama sebelumnya dalam agama baru mereka. Hal ini yang
kemudian dijadikan sebagai salah satu ciri identitas Islam Nusantara oleh sebagian pemeluk Islam.

Ketika masyarakat Jawa menganut agama Hindu dan Buddha, kepercayaan animisme dan dinamisme
mulai menurun. Pemeluk agama Hindu saat itu lebih bayak daripada Buddha. Penulis mengupas
kerajaan-kerajaan dan tradisi, khususnya Hindhu pada masa tersebut. Kerajaan-kerajaan Hindhu ini
menunjukkan bahwa agama Hindhu memiliki penganut seta kekuatan politik yang sangat kuat di
Jawa. Penulis juga menunjukkan sikap Islam terhadap kebudayaan agama Hindu dan Buddha.

Kemudian Islam masuk ke tanah Jawa. Ketika Islam memasuki tanah Jawa, terdapat beberapa
tantangan yang harus dihadapi. Salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh para pedakwah saat itu
adalah banyaknya masyarakat Jawa yang telah beragama. Hindu menjadi agama mayoritas yang
dianut oleh masyarakat Jawa saat itu. Meski demikian, sebagian masyarakat masih memegang
kepercayaan animisme dan dinanisme. Sehingga terjadinya pencampuran kepercayan-kepercayaan ini
dengan agama mereka dan muncullah istilah Kejawen. Kejawen dapat diartikan sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan pandangan dunia masyarakat Jawa meyangkut keyakinan, mitos dan termasuk
juga menyangkut masalah-masalah agama. Hal ini juga terjadi pada agama Islam dan muncullah
istilah Islam Kejawen.

Terdapat berbagai perbedaan pendapat mengenai teori masuknya Islam di Jawa. Perbedaan ini
disebabkan tidak ditemukannya catatan tertulis yang dapat menujukkan periode awal masuknya Islam
di Jawa dengan jelas. Meskipun demikian, beragamnya teori yang dikemukakan dapat menunjukkan
bahwa pulau Jawa sudah menjadi kawasan penting dan mejadi jalur perdagangan internasional. Teori-
teori yang dimaksud dan berkembang hingga saat ini terkait penyebaran Islam antara lain; teori India,
Arab, Makkah, Persia, Turki, dan China.

Dalam penyebaran Islam di Jawa, Wali Sanga memberikan pengaruh yang besar. Istilah Wali Sanga
diartikan dengan perkumpulan para pedakwah Islam yang berjumlah sembilan orang. Bedasarkan kata
songo dalam bahasa Jawa berarti sembilan. Akan tetapi, beberapa pendapat menyebutkan bahwa
jumlah Wali Sanga lebih dari sembilan orang. Namun terlepas dari perbedaan pendapat tersebut,
masyarakat Jawa menyakini Wali Sanga terdiri dari sembilan orang.

Anggota Wali Sanga memiliki sebutan Sunan. Anggota tersebut terdiri atas, Sunan Gresik, Sunan
Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan
Sunan Gunung Jati. Sunan-sunan ini memiliki ciri khas tersendiri dalam menyebarkan dakwahnya

Seperti Sunan Kalijaga, beliau memodifikasi seni pewayangan dalam metode dakwahnya. Seni
pewayangan sendiri sangat kental dengan unsur Hindu dan India. Dalam pertunjukkannya, masyarakat
yang hendak menonton hanya perlu mengucapkan kalimat syahadat. Sehingga banyak masyarakat
yang tertarik dan akhirnya masuk Islam. Seni pewayangan ini merupakan salah satu bentuk toleransi
Islam terhadap budaya sebelumnya. Hal inilah yang dimaksud dengan Islam Kejawen.

4| ISLAM DI JAWA
Islam meninggalkan banyak bukti dalam penyebarannya. Ditemukannya makam, naskah, dan masjid
kuno menjadi saksi penyebaran Islam di Jawa. Selain itu, terdapat juga cerita rakyat yang berkembang
di masyarakat. Walaupun cerita-cerita ini dinilai tidak ilmiah, kisah-kisah tersebut tetap hidup dalam
masyarakat dan selalu diwariskan secara turun-temurun. Dengan demikian, masyarakat akan
mengetahui tentang sejarah tokoh pendahulunya. Syekh Subakir merupakan salah satu kisah populer
saat awal penyebaran Islam di Jawa.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana sejarah perkembangan islam di daerah Jawa?


2. Bagaimana perkembangan islam di kesultanan Johor-Riau dan Riau-Lingga?
3. Bagaimana pengaruh islam dalam masyarakat tradisional Melayu?

C. Tujuan makalah

1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan Islam di daerah Jawa


2. Untuk menambah pengetahuan tentang sejarah permulaan Islam di Kesultanan
Johor-Riau dan Riau-Lingga
3. Juga mengetahui apa saja pengaruh dari perkembangan Islam dalam
masyarakat tradisional Melayu

5| ISLAM DI JAWA
BAB II

PEMBAHASAN

Islam di Jawa

Menurut peneliti bernama De Graff,islam mulai memasuki tanah Jawa sejak abad ke 13. Adapun
pendapat lain mengatakan bahwa islam mulai memasuki tanah Jawa pada abad ke 15,hal tersebut
diindikasikan oleh adanya pemukiman Islam didaerah ini. Islam berkembang di Jawa seiring dengan
melemahnya kerajaan Majapahit. Pada saat Majapahit mengalami masa kemunduran,wilayah wilayah
kekuasaannya secara otomatis mulai memisahkan diri. Hal inilah yang memberi peluang kepada
penguasa penguasa Islam di pesisir untuk membangun pusat kesatuan yang independent.. sistem
pemerintahan yang berkembang menjadi kerajaan tersendiri adalah
Demak,Pajang,Mataram,Cirebon,Banten dan sebagainya.

a. Kesultanan Demak
Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa. Sebelumnya,Demak merupakan
wilayah bekas kekuasaan majapahit yang dipercayakan oleh Raja Majapahit kepada
anaknya,Raden Fatah. Setelah Demak menjadi kerajaan sendiri,Raden Fatah ditunjuk
menjadi Raja pertama yang memimpin kerajaan Demak. Seiring berjalannya
waktu,kesultanan demak menjadi pusat berkembangnya agama Islam. Adapun tokoh
yang berperan penting dalam perkembangan Islam di kesultanan Demak yaitu
Walisongo. Dominasi dari Hindu-Buddha berganti dengan dominasi kebudayaan
Islam pada masa Walisongo ini. Mereka berusaha menanamkan unsur unsur Islam di
tanah Jawa. Sepanjang periode Demak ini,ulama jawa merupakan tokoh tokoh politik
dan keagamaan yang utama sehingga mereka bisa menguasai raja dan bangsawan
lokal . pada masa ini,ulamalah yang membantu raja dalam melaksanakan roda
pemerintahan,terutama mengenai hal yang berkaitan dengan agama. Contohnya
ketika kesultanan Demak didirikan,Sunan Ampel turut berperan dalam berdirinya
kerajaan tersebut dengan menunjuk muridnya,Raden Fatah sebagai sultan Demak
yang pertama.
Selain sunan Ampel,putranya yaitu Sunan Bonang juga turut mengambil
peran dalam penyebaran islam di kesultanan Demak. Ia mendirikan masjid Agung
Demak,bersama dengan wali walinya. Sunan Giri juga ikut mendukung
perkembangan dari kesultanan Demak ini,ia bertindak sebagai penasihat dan
panglima militer di kerajaan tersebut. Kesultanan Demak berada dibawah
pemerintahan Raden Fatah sejak akhir abad ke 15 hingga awal abad ke 16.
Kepemimpinannya digantikan oleh anaknya Pati Unus,yang menduduki tahta pada
usia 17 tahun. Pada masa kepemimpinannya,Demak terancam dengan kedudukan
portugis di Malaka,ia pun memutuskan untuk menyerang Malaka dan mengalami
kekalahan besar. Tahta kerajaan pun diduduki oleh Trenggono yang bergelar Sultan
Ahmad Abdul Arifin. Dalam masa pemerintahan Trenggono ini,Islam menyebar
sampai ke Palembang dan Kalimantan. Sultan Trenggono meninggal pada saat
pertempuran di Pasuruan,ia kemudian digantikan oleh Sultan Prawoto. Namun

6| ISLAM DI JAWA
pangeran ini akhirnya dibunuh oleh adik dari Trenggono yang bernama Sekar Seda
Lepen. Meninggalnya Sultan Prawoto pada tahun 1549 menandai berakhirnya
kerajaan Demak. Adapun peninggalan dari kesultanan Demak ini yaitu Masjid Agung
Demak,yang diduga didirikan oleh Walisongo.

b. Kesultanan Pajang

kesultanan Pajang adalah lanjutan dari kesultanan Demak. Kesultanan ini didirikan
oleh Jaka Tingkir,yang dikenal dengan Sultan Adiwijaya. Kesultanan ini terletak di
pedalaman pulau jawa. Kesultanan Pajang ini merupakan babak baru dari sejarah
Islam di pulau Jawa. Kerajaan yang terletak dipedalaman ini mengakibatkan
kesusastraan dan kesenian kerajaan dikenal di pedalaman Jawa. Pada masa kekuasaan
Adiwijaya,kekuasaan Pajang berhasil meluas hingga ke madiun,Kediri,dan blora. Ia
mendapatkan pengakuan kekuasaan sebagai raja islam dan sultan dari raja raja
terpenting di Jawa Timur. Pada tahun 1582,mataram yang dipimpin oleh Sutawijaya
melakukan pemberontakan. Hal ini diakibatkan karena adik iparnya,Tumenggung
Mayang,dihukum dan dibuang oleh Sultan Adiwijaya ke Semarang. Pemberontakan
ini menjadi perang antara kesultanan Mataram dan kesultanan Pajang,yang akhirnya
dimenangkan oleh Kesultanan Mataram. Setelah peperangan,Sultan Adiwijaya
menderita sakit dan meninggal dunia pada tahun 1587.

Sepeninggal Sultan,terjadi perebutan kekuasaan antara anak dan menantu sultan


Adiwijaya. Tahta pun diduduki oleh Arya Pangiri. Pemerintahannya juga disibuki
oleh usaha balas dendam kepada mataram. Kehidupan rakyat pun terabaikan. Ia
dikalahkan oleh kerajaan mataram dan Pangeran Benawa pun menjadi raja kerajaan
Pajang yang ketiga. Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir pada tahun 1587 dan
tidak ada yang menggantikan kedudukannya. Kesultanan Pajang pun dijadikan
sebagai negeri bawahan Mataram.

c. Kesultanan Mataram
Mataram muncul sebagai kerajaan Islam pada abad XVI M. pusat peradaban
kesultanan Mataram ini terletak di daerah Mentaok,wilayah yang terletak di timur
kota Yogyakarta. Wilayah kekuasaan Mataram terbatas pada daerah Jawa
Timur,mewarisi bekas daerah kekuasaan kesultaan Pajang. Tanah Jawa dan daerah
Madura menjadi bagian dari daerah kekuasaan Kesultanan ini pada tahun 1619
dibawah pemerintahan Sultan Agung. Pada masa inilah Kerajaan Mataram
melakukan perubahan tata hokum dibawah pengaruh hukum Islam. Peradilan pradata
yang sebelumnya merupakan bagian dari agama Hindu diganti menjadi peradilan
surambi yang bertempat di serambi Masjid Agung. Perkara kejahatan yang menjadi
urusan peradilan ditetapkan menurut Kitab Kisas yaitu kitab undang-undang hukum
islam pada masa Sultan Agung. Penghulu pada masa itu juga berperan sebagai
mufti,yaitu penasihat hukum islam dalam sidang sidang pengadilan,selain itu juga
berperan sebagai qadi atau hakim,sebagai imam masjid raya,sebagai wali hakim dan
sebagai amil zakat.
Sultan Agung selaku Sultan dari Kesultanan Mataram wafat pada tahun 1646.
Tahta kesultanan pun digantikan oleh putra mahkota Amangkurat I. masa
pemerintahan dari Amangkurat I ini tidak pernah reda dari konflik. Amangkurat

7| ISLAM DI JAWA
menganggap bahwa santri dan ulama adalah ancaman bagi tahtanya pada saat itu.
Tahun 1647,sekitar 5000 sampai 6000 ulama beserta keluarga nya dibunuh. Hal ini
menggambarkan ketidakharmonisan antara penguasa dan ulama. Hadirnya kekuasaan
asing pada lingkungan kerajaan mengakibatkan ulama dan santri makin menjauhkan
diri dari lingkungan kerajaan. Pada tahun 1677 sampai 1678,pemberontakan
pemberontakan dari kaum ulama muli terjadi,adapun tokoh yang terkenal dari
pemberontakan ini yaitu Raden Kajoran. Pemberontakan seperti inilah yang
menyebabkan lemahnya kekuasaan Mataram. Didalam setiap konflik,VOC selalu
mencari keuntungan dari melemahnya kesultanan tersebut. Melalui perjanjian Giyanti
pada tanggal 13 Februari 1755,kesultanan Mataram dibagi menjadi dua yaitu
Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta. Inilah akhir dari Kesultanan
Mataram.

d. Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Kerajaan ini
didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Nama asli dari Sunan Gunung Jati adalah Syekh
Ibnu Maulana,Fataleha dan Syarif Hidayatullah. Dibawah pemerintahan
nya,Kesultanan Cirebon mampu menahan menahan badai perluasan yang dilancarkan
oleh Kerajaan Mataram. Ia juga berhasil menaklukan Sunda Kelapa. Disamping
menjadi ulama dengan mengajar dan belajar,Sunan Gunung Jati juga menyebarkan
agama Islam. Sebelum dan sesudah masuknya pengaruh Islam,Cirebon merupakan
merupakan pelabuhan yang penting di pesisir Utara Jawa. Kota ini menjadi sangat
terbuka bagi interaksi budaya yang meluas dan mendalam. Diawal abad ke
16,Cirebon masih merupakan bagian dari kerajaan Pajajaran. Dari Cirebon,Sunan
Gunung Jati mengembangkan Islam ke daerah lain di Jawa Barat seperti
Majalengka,Kuningan,Sunda Kelapa,Banten. Ketika ia kembali ke Cirebon sepulang
dari menyebarkan agama Islam,Banten diserahkan kepada anaknya Sultan
Hasanudin. Keturunan dari Sultan Hasanuddin inilah yang akan menjadi raja-raja di
banten. Ditangan mereka,Pajajaran berhasil dikalahkan.

Kesultanan Banten

Kerajaan Islam yang pernah berdiri dan berjaya di ujung barat pulau Jawa pada abad ke-16 yang

kita kenal sekarang dengan provinsi Banten adalah Kesultanan Banten. Pada masa itu, Kesultanan

Banten menjadi salah satu kerajaan yang punya peranan penting dalam perdagangan rempah sekaligus

penyebaran agama Islam di Pulau Jawa.

a) Sejarah Kesutanan Banten

Kesultanan Banten didirikan oleh Syarif hidayatullah atau yang lebih dikenal dungeon Sunan

Gunung Jati di abar . Walaupun sebagai pendiri Sunan Gunung Jati tidak pernah menjadi raja. Dan

raja pertama dari kesultanan Banten iyalah sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570 M) yang mana ia

adalah anak dari Sunan Gunung Jati. Dan raja ke dua dan juga sebagai raja besar kesultanan Banten

8| ISLAM DI JAWA
ialah sultan Agung Tirtayasa (1651-1683 M), dan raja yang terakhir yaitu Sultan Muhammad

Shafiuddin (1809-1813 M).

Pada masa kepemimpinan Maulana Hasanuddin (1552-1570), perdagangan Kerajaan Banten

berkembang pesat yang didukung dengan adanya pelabuhan sebagai gerbang perdagangan

antarnegara. Lokasinya yang strategis, menjadikan Kerajaan Banten sangat mengandalkan

perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Lada menjadi komoditas yang paling diunggulkan

dan berkembang pesat pada masa itu. Bahkan monopoli perdagangan lada di Lampung dikuasai oleh

Banten.Belum lagi didukung oleh niaga melalui jalur laut yang membuat Banten berkembang tak

hanya di Nusantara, melainkan sampai pada pedagang Persia, India, Arab, Portugis, hingga Tiongkok.

b) Kejayaan Kesultanan Banten

Masa keemasan Kerajaan Banten berlangsung ketika kerajaan dalam kepemerintahan Sultan

Ageng Tirtayasa (1651-1683 M).Di bawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, ia banyak memimpin

perlawanan terhadap Belanda lantaran VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang
merugikan Kesultanan Banten.Di sisi lain, Sultan Ageng Tirtayasa juga menginginkan Banten

menjadi kerajaan Islam terbesar. Tak heran jika Islam telah menjadi pilar dalam Kerajaan Banten
maupun pada kehidupan masyarakatnya.

c) Kemunduran Kesultanan Banten

Salah satu penyebab runtuhnya Kerajaan Banten ialah perang saudara. Sekitar tahun 1680 terjadi

perselisihan dalam Kesultanan Banten. Putra dari Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Sultan Haji, berusaha
merebut kekuasaan Kesultanan Banten dari tangan sang ayah. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh

kompeni VOC dengan memberi dukungan dan bantuan persenjataan kepada Sultan Haji, sehingga
perang saudara tak bisa terelakkan. Akibat, Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah

bersama putranya yang lain yaitu Pangeran Purbaya. Kemudian pada 1683 Sultan Ageng ditangkap

VOC dan ditahan di Batavia.

Perang saudara yang berlangsung di Banten menyisakan ketidakstabilan dan konflik di masa

pemerintahan berikutnya. VOC semakin ikut campur dalam urusan Kesultanan Banten bahkan
meminta kompensasi untuk menguasai Lampung sekaligus hak monopoli perdagangan lada di sana.

d) Peninggalan Kerajaan Banten

9| ISLAM DI JAWA
Kerajaan Banten memiliki benda peninggalan yang menjadi bukti bahwa kerajaan ini pernah

berjaya di masanya. Jejak peninggalan Kerajaan Banten banyak berupa bangunan seperti Masjid

Agung Banten, Istana Keraton Kaibon, Keraton Surosowan, Vihara Avalokitesvara, Benteng
Speelwijk, dan Meriam Ki Amuk.

Kesultanan Johor-Riau dan Riau Lingga

Kesultanan Riau Lingga merupakan kerajaan Islam yang berdiri di Kepulauan Riau pada paruh
pertama abad ke-19. Secara historis kemunculan kerajaan ini bisa dirunut dari sejarah Kerajaan

Malaka dan Johor. Ketika Kesultanan Malaka berdiri pada abad ke-15 M, Riau Lingga merupakan

daerah kekuasaan Malaka. Di saat Malaka runtuh karena serangan kolonial Portugis, muncul kerajaan

Riau Johor yang menggantikan posisi Malaka sebagai representasi kekuatan politik puak Melayu di

kawasan tersebut. Ketika itu Riau Lingga termasuk wilayah yang berada di kekuasaan Riau Johor

Sejarah Kesultanan Johor-Riau

Kesultanan Johor didirikan oleh sultan Alauddin Riayat Syah (yaitu putra terakhir dari Mahmud
Syah dari Kesultanan Malaka) pada tahun 1528 Masehi. Sebelum Portugis menyerang Kesultanan

Malaka pada tahun 1511 Masehi, Johor masihlah di bawah kekuasaan Kesultanan Malaka. Selama

berdirinya, Kesultanan Johor di pimpin oleh 16 sultan atau raja. Berikut nama-nama sultan yang

memimpin kesultanan Johor:

1. 1528-1564: Sultan Alauddin Riayat Syah II (Raja Ali/Raja Alauddin)

2. 1564-1570: Sultan Muzaffar Syah II (Raja Muzafar/Radin Bahar)

3. 1570-1571: Sultan Abd. Jalil Syah I (Raja Abdul Jalil)

4. 1570 / 71-1597: Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II (Raja Umar)

5. 1597-1615: Sultan Alauddin Riayat Syah III (Raja Mansur)

6. 1615-1623: Sultan Abdullah Ma'ayat Syah (Raja Mansur)

7. 1623-1677: Sultan Abdul Jalil Syah III (Raja Bujang)

8. 1677-1685: Sultan Ibrahim Syah (Raja Ibrahim/Putera Raja Bajau)

10 | I S L A M D I J A W A
9. 1685-1699: Sultan Mahmud Syah II (Raja Mahmud)

10. 1699-1720: Sultan Abdul Jalil IV (Bendahara Paduka Raja Tun Abdul Jalil)

11. 1718-1722: Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Raja Kecil/Yang DiPertuan Johor)

12. 1722-1760: Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (Raja Sulaiman/Yang DiPertuan Besar

Johor-Riau)

13. 1760-1761: Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah

14. 1761: Sultan Ahmad Riayat Syah

15. 1761-1812: Sultan Mahmud Syah III (Raja Mahmud)

16. 1812-1819: Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah (Tengku Abdul Rahman)

Sesudah Sultan Alauddin Syah membangun pusat pemerintahan baru pada kawasan muara

Sungai Johor, perlawanan terhadap penaklukan Portugal terus berlanjut. Pada masa yang sama, dari

kawasan utara Pulau Sumatra, muncul kekuatan baru di Aceh yang mulai melakukan ekspansi

wilayah kekuasaan dengan menaklukan beberapa kawasan Melayu dan berusaha mengontrol jalur

pelayaran di Selat Melaka. Kesultanan Aceh selain juga mencoba menyerang kedudukan Portugal di

Malaka, juga menyerang kedudukan Sultan Johor. Pada tahun 1613, Sultan Iskandar Muda
menaklukan Johor, Sultan Johor beserta seluruh kerabatnya ditawan dan dibawa ke Aceh.

Pada tahun 1641, Belanda berhasil merebut Malaka dari Portugal,[4] dan Belanda mengakui
kedaulatan Sultan Johor atas wilayah kekuasaannya dan pada saat bersamaan kawasan muara Sungai

Johor kembali muncul sebagai salah satu pelabuhan dagang di Semenanjung Malaya.

Sejarah Kesultanan Riau-Lingga

Kesultanan Lingga-Riau ialah sebuah kerajaan Islam di Kepulauan Lingga,

Kepulauan Riau, Indonesia yang merupakan pecahan daripada Kesultanan Johor. Kesultanan ini

dibentuk berdasarkan perjanjian antara United Kingdom dan Belanda pada tahun 1824, dengan Sultan
Abdul Rahman Muazzam Shah sebagai sultan pertamanya. Kesultanan ini dihapuskan oleh

pemerintah kolonial Belanda pada 3 Februari 1911.

11 | I S L A M D I J A W A
Kesultanan Lingga-Riau memainkan peranan yang penting dalam perkembangan bahasa

Melayu sehingga menjadi bentuk bahasa Indonesia kini. Pada masa kesultanan ini, bahasa Melayu

menjadi sebuah bahasa baku yang kaya dengan kesusasteraan serta memiliki kamus ekabahasa sendiri
dan sejajar dengan bahasa-bahasa lain yang besar di dunia. Tokoh besar di belakang perkembangan

pesat bahasa Melayu ini adalah Raja Ali Haji, seorang pujangga dan ahli sejarah yang

berketurunan Melayu-Bugis.

Riau-Lingga pada awalnya merupakan sebahagian dari Kesultanan Melaka, dan

kemudian Kesultanan Johor-Riau. Pada 1812 Sultan Mahmud Shah III wafat tanpa pewaris. Dalam

sengketa yang timbul Inggeris mendukung putera tertua, Tengku Hussain,

sedangkan Belanda mendukung adik tirinya, Tengku Abdul Rahman. Perjanjian Inggeris-

Belanda pada 1824 membahagi Kesultanan Johor-Riau menjadi dua: Johor berada di bawah pengaruh
Inggeris sedangkan Riau-Lingga berada di dalam pengaruh Belanda. Tengku Abdul Rahman

ditabalkan menjadi raja Riau-Lingga dengan gelar Sultan Abdul Rahman Muazzam Shah.

Pada 7 Oktober 1857 pemerintah Hindia-Belanda menurunkan Sultan Mahmud IV Muzaffar

Shah dari takhtanya. Pada saat itu Sultan sedang berada di Singapura. Sebagai penggantinya diangkat

bapa saudaranya, yang menjadi raja dengan gelar Sultan Sulaiman II Badrul Alam Shah.

Jawatan (Yang Dipertuan Muda) yang biasanya dipegang oleh bangsawan

keturunan Bugis disatukan dengan jabatan raja oleh Sultan Abdul Rahman II pada 1899. Karena tidak

ingin menandatangani kontrak yang membatasi kekuasaannya Sultan Abdul Rahman II

meninggalkan Pulau Penyengat dan hijrah ke Singapura. Pemerintah Hindia Belanda menurunkan

Sultan Abdul Rahman II dari takhtanya in absentia 3 Februari 1911, dan resmi memerintah sehingga

tahun 1913.

Periode Pemerintahan dan Wilayah Kekuasaan

Rentang masa berdiri kerajaan Riau Lingga relatif pendek, hanya satu abad. Didirikan karena peran
kolonial Belanda, kemudian runtuh karena dibubarkan Belanda. Selama rentang satu abad tersebut,
telah berkuasa lima orang sultan sebagai berikut:

Sultan Riau-Lingga

12 | I S L A M D I J A W A
Masa pemerintahan
No Nama

1 Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah 1819–1832

2 Sultan Muhammad II Muadzam Syah 1832–1835

3 Sultan Mahmud IV Mudzafar Syah 1835–1857

4 Sultan Sulaiman II Badarul Alam Syah 1857–1883

Sultan Abdul Rahman II Muadzam Syah


5 1885–1911

Wilayah kekuasaan kerajaan Riau Lingga mencakup kawasan yang cukup luas, di antaranya Johor,
Pahang, Riau dan Lingga. Pusat kerajaan pada awalnya terletak di Daik, kemudian menjelang akhir
keruntuhan, pusat kerajaan pindah ke Pulau Penyengat. Ada dua pusat kendali pemerintahan; pertama
di istana Yang Dipertuan Besar (YDB/Sultan), dan kedua di istana Yang Dipertuan Muda (YDM).
Istana YDM berada di Kota Piring, sehingga dikenal juga dengan nama Istana Kota Piring, terletak di
Pulau Biram Dewa (Malim Dewa) Bintan), sedangkan istanan YDB berada di Daik Lingga, kemudian
pindah ke Pulau Penyengat pada tahun 1900. Kedudukan istana di Kota Piring yang masih berfungsi
di masa kerajaan Riau Lingga sesungguhnya masih diperdebatkan sebab ada yang mengatakan bahwa
istana ini telah hancur pada tahun 1784, seperempat abad sebelum Riau Lingga berdiri. Namun,
sumber lain ada yang mengatakan bahwa istana ini masih berdiri hingga 1884. Artinya, istana ini
masih berfungsi pada masa Riau Lingga.

Struktur dan Pusat Pemerintahan

Kekuasaan dan struktur tertinggi di Kerajaan Riau Lingga berada di tangan sultan ( YDB). Namun,
dalam prakteknya, kekuasaan tersebut banyak dipengaruhi dan mengalami intervensi dari kolonial
Belanda. Sisi lain yang menunjukkan kuatnya pengaruh Belanda adalah kewajiban setiap sultan yang
baru untuk mengucapkan sumpah setia kepada Belanda di saat ia dilantik. Dari sini bisa dilihat bahwa
sebenarnya yang berkuasa adalah Belanda, bukan sultan.

Selain itu, tidak berbeda dengan Kesultanan Johor Riau, meskipun secara teoritis kekuasaan tertinggi
berada di tangan sultan, namun secara operasional kekuasaan pemerintahan berada di tangan Yang
Dipertuan Muda. Sejak masa pemerintahan YDM Raja Ja’far (1805), pusat pemerintahan berpindah
ke Pulau Penyengat, sebuah pulau dengan luas sekitar 5 km² di seberang Tanjung Pinang, sementara
Sultan tetap tinggal di Lingga.1

Berikut ini nama-nama YDM yang memerintah di Kerajaan Riau Lingga yang dipegang oleh
keturunan Bugis secara turun temurun, berikut pusat pemerintahannya:

Pemerintah Kerajaan Riau Lingga

1 . Abu Hassan Sham, “Masalah Menentukan Syair-syair dari penyengat”, hlm. 96

13 | I S L A M D I J A W A
No Nama YDM Masa Pusat
pemerintahan pemerintahan

1 Raja Ja’far bin 1806 – 1831 Pulau


Raja Haji Penyengat
2 Raja Abdul 1831 – 1844 Pulau
Rahman bin Ja’far Penyengat
3 Raja Ali bin Raja 1844 – 1857 Pulau
Ja’far Penyengat
4 Raja Abdullah bin 1857 – 1858 Pulau
Raja Ja’far Penyengat
5 Raja Muh.Yusuf 1858 – 1899 Pulau
bin R. Ali Penyengat
6 Sultan 1899 – 1911 Pulau
Abdurrahman Penyengat

2
Sejak Pulau Penyengat menjadi pusat pemerintahan YDM tahun 1805,
disertai oleh

perpindahan Raja Hamidah, isteri sultan Mahmud III, Pulau Penyengat menjadi terkenal, terus
melangkah maju, bahkan kemudian menjadi pusat perkembangan agama dan budaya.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, sultan juga dibantu oleh para penasehat, juru tulis, qadhi,
syah bandar, dan beberapa pembantu lainnya. Dalam kehidupan keagamaan muncul beberapa orang
ulama di Riau Lingga, diantaranya Haji Ja’far bin Encik Abu Bakar. Ia belajar agama di Mekah
seangkatan dengan K.H. Hasyim Asyari, ulama dari Jawa yang mendirikan organisasi Nahdhatul
Ulama.

Salah satu karakter peradaban yang dipengaruhi ajaran Islam adalah menyebarnya kemampuan dan
tradisi tulis baca pada semua kalangan, bukan hanya di kalangan kerajaan. Ciri ini juga bisa
ditemukan di Riau Lingga. Saat itu, selain kaum bangsawan istana, rakyat jelata juga banyak yang
menjadi penulis. Sebagai contoh, seorang nelayan yang bernama Encik Abdullah menulis buku
tentang perkawinan penduduk di Pulau Penyengat. Pengarang lainnya, yaitu Khatijah terung juga
banyak menulis buku. Maraknya perkembangan dunia tulis menulis di Riau Lingga juga didukung
oleh tersedianya sarana pendukung seperti percetakan dan kelompok diskusi. Percetakan dan
penerbitan yang didirikan saat itu adalah Mathba’ah alRiyawiyah yang beroperasi sejak sekitar tahun
1890, sedangkan kelompok diskusi yang paling terkenal adalah Rusydiah Klab yang banyak
melahirkan intelektual Melayu.

Kehidupan tulis menulis semakin semarak di Riau Lingga, khususnya di Pulau Penyengat seiring
dengan pindahnya Sultan Abdul Rahman Mudzaffar Syah ke pulau tersebut pada tahun 1900. Sebelas

2 . Pulau ini, menurut kisah adalah mas kawin dari Sulthan Mahmud kepada Raja Hamidah (Engku Putri

binti Raja Haji), belakangan dibangun menjadi tempat istana (pusat) pemerintahan Yang dipertuan Muda
Kerajaan Melayu Riau secara turun-temurun. Mengenai asal-usul nama pulau ini, sebelum dibuka pada 1803,
bermula adanya kapal yang mendampar di pulau ini untuk mencari perbekalan air dalam perjalanan. Sewaktu
mendarat ada sejenis binatang serangga yang terbang menyengat salah seorang awak kapal hingga pingsan.
Dari peristiwa ini, akhirnya pulau ini dikenal dengan sebutan Pulau Penyengat. Lihat, Hasan Junus,

14 | I S L A M D I J A W A
tahun kemudian (1911), keadaan berubah. Antara sultan dan Belanda terjadi konflik, Sultan tidak mau
menandatangani kontrak ketundukan kepada Belanda.

Akhirnya sultan yang diikuti oleh para bangsawan istana dan pengarang pindah ke Singapura. Seiring
dengan itu, kehidupan intelektual di Pulau Penyengat juga semakin mundur dan pudar. Demikianlah,
akhirnya kerajaan Riau Lingga lenyap di telan sejarah.

Pengaruh Islam dalam Masyarakat Tradisional Melayu

Islamisasi orang-orang Melayu, seperti juga yang dialami oleh orang-orang di tempat lain, tidak
pernah berlangsung secara sekaligus, monolitik atau absolut, tetapi berlangsung secara bertahap,
evolusioner, tidak merata dan merupakan suatu proses yang berjalan secara terus menerus, di mana
Islam mulai menjadi bagian yang hampir tak bisa dipisahkan dari adat, budaya dan jiwa Melayu.

Dalam budaya Melayu, unsur-unsur Islam juga menjadi demikian dominan apakah itu dalam bidang
seni, bahasa, sastra, folk-lore, musik, pakaian dan kebiasaan. Dari beberapa peninggalan sejarah dapat
dicermati bahwa produk budaya yang dibawa oleh Islam seperti tulisan Arab memberi sumbangan
yang besar bagi perkembangan budaya Melayu. Informasi tentang Melayu, masyarakatnya, kehidupan
sosial-ekonomi, budaya, politik dan keagamaannya sampai pada masyarakat masa kini adalah melalui
tulisan Arab. Selain itu, perbendaharaan sastra dan tradisi lisan Melayu juga sarat dengan terma-terma
dan nilai-nilai Islam. Besarnya pengaruh Islam dalam sastra digambarkan oleh Chamamah Soeratno
sebagai berikut:

Karya-karya seperti Sejarah Melayu, Hikayat Rajaraja Pasai, Hikayat Iskandar


Zulkarnain, Hikayat Muhammad Hanafiah, ditulis dengan menggunakan tulisan Arab atau
tulisan Jawi. Di samping tulisan yang menggunakan alfabet Arab, juga terdapat modifikasi
berbagai karya Melayu dengan warna Islam. Hikayat Marakarma yang bercorak Hindu
misalnya, diganti dengan judul Hikayat Si Miskin. Juga terdapat pengenalan berbagai karya-
karya sastra yang bercorak Islam seperti Kisah Amir Hamzah yang diterjemahkan dan
disadur dalam bahasa Melayu. Juga dilakukan penciptaan karyakarya sastra yang bercorak
Islam dengan menggunakan nama-nama peristiwa yang penting dalam sejarah Islam, seperti
Hikayat Raja Khaibar. Selain itu, karya-karya yang mengandung ajaran
Islam sebagaimana kitab-kitab dalam ajaran agama Islam bermunculan dalam dunia
perbukuan Melayu, misalnya Kitab Seribu Masalah,
Siratalmustaqim, dan sejumlah karya tasawuf.3

Naquib Al-Attas memberikan penjelasan menarik tentang hal ini, bahwa Islam menandai suatu tahap
yang krusial dalam modernisasi Melayu. Dia mengatakan bahwa adalah Islam yang memberikan nilai-
nilai universal yang baru dan positif pada Melayu. Dalam hubungan ini, orang bisa mengatakan
bahwa Islam memberi isi pada definisi tentang “kemelayuan” dan pada nilai-nilai Melayu.4 Oleh
karena itu, tidak mengherankan bila Islam kemudian dianggap sebagai komponen utama budaya
Melayu.

Selain itu, dilihat dari aspek pendidikan, Islam merupakan pencerahan bagi masyarakat Melayu karena
Islam sangat mendukung intelektualisme yang tidak terlihat pada masa Hindu-Budha. Dalam banyak

3 . Siti Chamamah Soeratno, Perkembangan Masyarakat Melayu dan Dakwah Pembangunan: Satu Tinjauan dari

Sisi Peran Islam, dalam Jurnal Kebudayaan dan Peradaban Ulumul Quran No. 1/VII/1996, hlm. 15.
4 . Syed M. Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bangi: University Kebangsaan

Malaysia, 1972).

15 | I S L A M D I J A W A
kasus, mesjid atau surau menjadi lembaga pusat pengajaran. Bahkan, tidak jarang, istana kerajaan
menjadi pusat studi dan pengembangan intelektualisme Islam, tempat di mana berkumpul para ulama
dan pelajar dari berbagai daerah untuk mendalami ilmu pengetahuan. Studi Islam semacam ini
mendapat dukungan penuh dari pemerintah yang berkuasa saat itu. 5

Dalam pada itu, banyak hal yang turut menyumbang bagi kelancaran transmisi ilmu pengetahun Islam
di kalangan masyarakat Melayu, seperti hubungan erat dengan pusat-pusat pendidikan di dunia Islam,
pelaksanaan ibadah haji ke Tanah Suci, serta terjalinnya ikatan emosional, spritual, psikologis dan
intelektual dengan kaum Muslim Timur Tengah. Lebih dari itu, arus imigrasi masyarakat Arab ke
wilayah ini semakin deras. Lebih dari itu semua, Islam juga mempunyai tempat yang khusus dalam
urusan pemerintahan mulai dari penggunaan sebutan kehormatan dan gelar
yang bernafaskan Islam sampai pada pengadopsian unsur-unsur hukum Islam dalam
perundang-undangan negara. Kitab Undang-Undang Melaka menyebut para sultan Malaka sebagai
”khalifat al-mu’minin, zill Allah fi al-alam” 6 yang berarti khalifah kaum Muslimin, bayang-bayang
Allah di muka bumi. 7 Ini mengandung makna bahwa sultan bertanggung Jawab langsung kepada
Tuhan untuk memelihara dan mengembangkan agama Islam. Karena itu – sebagaimana dijelaskan di
atas– mereka tidak hanya terlibat langsung dalam pembentukan lembaga Islam, melainkan juga dalam
wacana dan aktifitas keagamaan yang mengkristalkan budaya Melayu. 8

Perubahan ini bukan saja menandai pembentukan kembali perspektif sosial dan perubahan makna
budaya dan sejarah, melainkan juga memperlihatkan sebuah pencarian makna baru untuk melegitiasi
posisi dan kedudukan para penguasa dan kekuasaan mereka. Lebih jauh, hal ini dapat dilihat dari
klaim-klaim yang digunakan oleh para penguasa Muslim di dunia Melayu untuk meningkatkan
legitimasi dan aura kekuasaannya. Bukan hanya gelar sultan yang digunakan, tetapi juga ada yang
mengklaim diri mereka sebagai “wakil” Tuhan (khalifat Allah). Kitab Undang-Undang Melaka
menyebut penguasanya sebagai “khalifat al-mu’minin (khalifah kaum mukmin) dan zhill Allah fi al-
ardh” (bayangan Tuhan di muka bumi).9 Dalam kitab Undang-Undang Pahang, juga disebutkan
berbagai upaya pihak kesultanan untuk menjadikan penguasa setempat identik dengan “khalifat
Allah”.10 Gelar semacam ini juga dijumpai pada mata uang. Sebagai contoh, mata uang Malaka abad
kelima belas menyebut penguasa setempat selain sebagai “sultan” juga sebagai Nasir al-Dunia wa al-
Din (penolong di dunia dan akhirat).11

5 . Fenomena semacam ini terjadi di beberapa lingkungan istana kesultanan Melayu, Selain Malaka yang
menjadi pusat studi Islam pada abad ke-15 hingga awal abad ke-16, fenomena yang sama juga terdapat di
Kesultanan Aceh Darussalam pada abad ke-17, dan kerajaan Patani pada abad ke- 17 & 18. Bahkan Aceh
Darusalam pada abad ke-17 dapat diklaim sebagai pusat intelektualisme Islam di Asia Tenggara.
6 . Sultan Mahmud Syah misalnya digelar Zillu‘llah fi al-‘²lam dan Sultan Mahmud Syah putera Sultan

Alauddin Ri’ayat Syah sebagai khalifat al-mukminin, zillu Allah fi al-‘alam. Lihat Liaw Yock Fang, Undang-Undang
Melaka, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1976), hlm. 64.
7 Ini sesuai dengan tradisi pemberian gelar pada para penguasa Muslim di Timur Tengah. AC. Milner,

Islam and the Muslim State, dalam M.B. Hooker, Islam in Southeast Asia, Leiden: E.J. Brill, 1988.
8 . Azra mengemukan analisa yang sediki berbeda terhadap pemberian gelar semacam ini. Menurutnya,

gelar semacam itu selain mengisyaratkan hasrat mereka untuk mendapatkan legitimasi tambahan bagi
kekuasaan mereka, sekaligus mengindikasikan keinginan untuk mengasosiasikan diri dengan pusat-pusat
politik dan keagamaan Islam, dalam hal ini Timur Tengah. Secara tidak langsung, mereka ingin diakui sebagai
bagian integral dari Dar al-Islam. Penjelasan lebih jauh lihat Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, hlm.
92.
9 . Liaw Yock Fang, Undang-undang Melaka, Den Haag: 1976), hlm. 64-5.

10 . J.E. Kempe & R.O. Winstedt, “A Malay Legal Digest Confiled for Abd al-Ghafur Muhaiyuddin Shah,

Sultan of Pahang, 1592-1614”, JMBRAS, Jil. XXI. 1948, hlm. 24-5.


11 . A.C. Milner, “Islam and the Muslim state”, hlm. 35.

16 | I S L A M D I J A W A
Kedatangan dan penyebaran Islam di Dunia Melayu tidak serta-merta mengubah esensi entitas politik
tersebut. Buktinya, dalam masyarakat Muslim yang baru masuk Islam, masih ditemukan pandangan
mitologis semacam itu terhadap penguasanya. Bukan hanya dalam komunitas Melayu tetapi juga
punya kesamaan dengan komunitas di tempat lain manapun di kepulauan Nusantara. Sebagaimana
dicatat A. C. Milner, di Pasai, penguasanya diperlakukan sebagai “dewa Apollo”. Di Minangkabau,
raja dipandang sebagai emanasi Tuhan. Di kalangan Jawa Muslim, para penguasa kadang-kadang
tetap dikenal sebagai “Wisnu” yang kepada rakyatnya selalu diperingatkan bahwa perintah raja
sebanding dengan perintah Tuhan.152 Pandangan yang senada juga terdapat di kalangan masyarakat
Melayu Riau, sehingga mendorong Raja Ali Haji153 untuk mengemukakan pemikirannya mengenai
demitologisasi raja.12

Persepsi mitologis semacam ini merupakan warisan dari unsur pra-Islam yang masih melekat dalam
pemikiran politik Melayu. Namun demikian, ketika Islam telah diterima dan dipahami, persepsi
mitologis semacam itu berangsur-angsur hilang dari keyakinan masyarakat Muslim. Karena sesuai
dengan pandangan Islam, seorang penguasa tidak lain adalah seorang manusia biasa yang tidak luput
dari berbagai macam kecendrungan manusiawi yang bersifat negatif sehingga pola kelakuannya harus
berpedoman pada moral agama. Karena itu, seorang penguasa harus selalu mencari ilmu pengetahuan
dan selalu berpedoman kepada Al-Quran dan Sunnah serta fatwa-fatwa ulama.

Selain itu, Undang-Undang Malaka yang disebut Hukum Kanun Malaka, disusun pada masa
pemerintahan Sultan Muzaffar Shah, dengan jelas juga berisi hukum Islam, baik yang terkait dengan
perdata maupun pidana. Acuan pada syari’at Islam terlihat jelas terutama dalam bidang jinayah
(pembunuhan, pencurian, fitnah, zina, murtad, minuman keras), sivil, kekeluargaan, undangundang
keterangan dan acara dan syarat-syarat kelayakan
raja.13

Untuk menyebutkan beberapa contoh, di antara pasal-pasalnya berbunyi sebagai berikut:


5.1. Pasal yang kelima pada menyatakan orang membunuh dengan tiada setahu raja atau orang
besar-besar. Jikalau dibunuhnya dengan tiada dosanya sekalipun dibunuh pula ia pada
hukum Allah, maka adil namanya.
7.2. Adapun pada hukum Allah orang yang mencuri itu tiada harus dibunuh melainkan
dipotong tangan.
12.3. Adapun akan hukum orang menuduh orang zina itu pada hukum Allah didera 80 kali
deranya. Jikalau pada hukum kanun didenda 10 tahil.
37.1. Pasal yang ke-37 pada menyatakan hukum saksi yang harusnya di atas 4 martabat. Pertama
tahu ia akan halal dan haram, kedua tahu ia akan sunah dan fardu, ketiga tahu ia akan
salah dan benar, keempat tahu ia akan baik dan jahat. Itulah harus diperbuat saksi.14

12 . Demitologisasi raja berarti menghilangkan pandangan mitos tentang raja. Konsep ini sebagaimana yang

tercantum dalam karyanya Tuhfat al-Naf³s , melandasi dan menafasi jalan pemikiran politiknya. Konsep ini
merupakan counter terhadap persepsi mitologis yang berkembang sebelumnya yang “mengagungkan” dan
“mengkultuskan” penguasa sebagai bayangan Tuhan dan keturunan dewa, yaitu suatu persepsi yang diwarisi
dari unsur pra-Islam yang masih melekat dalam pemikiran politik Melayu.
Sesuai dengan pandangan Islam, di mata Raja Ali Haji, seorang penguasa tidak lain adalah seorang
manusia biasa yang tidak luput dari berbagai macam kecendrungan manusiawi yang bersifat negatif, sehingga
pola kelakuannya harus berpedoman pada moral agama. Di samping itu, tanggung Jawab penguasa dipandang
begitu berat, sehingga
13 . Liaw Yock Fang, Undang-undang Malaka, (The Hague: Marti nus Nijh off, 1976.
14 . Lebih jelasnya lihat Liaw Yock Fang, Undang-undang Malaka, hlm. 68, 74, 84, dan 150.

17 | I S L A M D I J A W A
Hukum Kanun Malaka telah menjadi kitab sumber hukum dalam menangani berbagai perkara hukum
di kesultanan Malaka. Degan demikian, menurut Winstedt dan Azizan, Malaka dapat dianggap
sebagai kerajaan Melayu pertama yang menyusun perundangan yang mempunyai unsur-unsur syari’at
Islam.15

Hukum Kanun Malaka sebagai produk hukum kedua setelah prasasti Trengganu, banyak berpengaruh
pada undang-undang negara-negara Melayu lainnya. Karena menurut Liaw Yock Fang, undang-
undang ini kemudian menjadi acuan dalam penulisan sejumlah kitab kodifikasi hukum di negara-
negara Melayu yang lain,16 seperti Kitab Hukum Pahang, UU Sembilan Puluh Sembilan Perak, Buku
Hukum Kedah dari 1650-1784 dan Buku Hukum Kedah 1789. Sehingga dapat dibayangkan bahwa
undang-undang Melayu lainnya juga sarat dengan unsur syari’ah Islam.
Singkatnya, hukum Islam telah dirumuskan ke dalam kitab hukum yang menjadi kitab undang-undang
di negara-negara tradisional Melayu. Seperti yang dijelaskan di atas, Kitab Hukum Melaka, Kitab
Hukum Pahang, UU Sembilan Puluh Sembilan Perak, Buku Hukum Kedah dari 1650-1784, Buku
Hukum Kedah 1789 dan Majallat Ahkam Johor.

Satu hal yang perlu menjadi catatan adalah bahwa di samping pelaksanaan hukum Islam, nampaknya
hukum adat juga masih dipegang secara kuat. Misalnya seorang penguasa Pahang pernah
memperingatkan warganya agar mematuhi pejabat yang diangkatnya selama ia masih mengikuti adat
dan syari’ah. Hukum Kanun Malaka, selain mengandung unsur-unsur Islam, juga mempunyai
unsurunsur hukum adat. Namun demikian, menurut Abu Bakar, unsur-unsur perundangan Islam lebih
banyak mempengaruhi kitab tersebut dibandingkan dengan hukum adat.17

Dalam kehidupan sehari-hari, ajaran Islam menjadi sumber panutan hidup yang penting. Tamadun
Melayu pun mencapai puncak kejayaannya sebab peradaban Melayu modern terjelma melalui
penyebaran dan pengamalan Islam.

Selain itu, secara politis, Islam memainkan peran penting dalam masyarakat Tradisional Melayu,
Islam bukan hanya merupakan faktor pemersatu tapi muncul sebagai ungkapan umum bagi identitas
politik Melayu. Evolusi politik negara-negara Melayu tradisional tergantung pada Islam sebagai
wahana penting bagi perubahan dan stabilitas. Terbukanya negara-negara tradisional Melayu bagi
dunia di sekitarnya pada dasarnya juga lewat hubungan diplomatik, perdagangan dan keagamaan
dengan negara-negara Muslim sezaman di wilayah itu atau di luarnya. Negara-negara Tradisional
Melayu, menjadi anggota masyarakat internasional, pada dasarnya melalui Islam. Juga Islam yang
menjadi ramuan bagi resistensi anti-kolonial orang-orang Melayu. Reaksi Melayu yang menolak
kolonial didukung secara aktif, terutama pada lapisan masyarakat bawah oleh ulama Tradisional
Melayu. Dengan demikian, tidaklah berlebihan bila disimpulkan bahwa Islam telah menyatu dengan
sejarah, budaya, identitas, hukum dan entitas politik masyarakat Tradisional Melayu.

15 . R.O. Winstedt, A History of Classical Malay Literature, (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1969);
Azizan bin Abdul Razak, “The Law in Malacca before and After” dalam Tamadun Islam di Malaysia, (Kuala
Lumpur: Persatuan Sejarah Malaysia, 1980), hlm. 66.
16 . Liaw Yock Fang, Undang-undang Melaka, hlm. 1.

17 . Abu Bakar Abdullah, Ke Arah Perlaksanaan Undang-undang Islam di Malaysia: Masalah dan
Penyelesaiannya, (Kuala Lumpur: Pustaka Damai, 1986), hlm. 17.

18 | I S L A M D I J A W A
KESIMPULAN

Situasi kehidupan Reigius masyarakat di Tanah Jawa sebelum datangnya Islam sangatlah heterogen.
Kepercayaan import maupun kepercayaan asli telah dianut oleh orang Jawa. Sebelum Hindu-Budha,
masyarakat Jawa prasejarah telah memeluk keyakinan yang bercorak animisme dan dinamisme.
Pandangan hidup orang Jawa adalah mengarah pada

pembentukan kesatuan numinous antara alam nyata, masyarakat, dan alam adikodrati yang dianggap
keramat.

Pengaruh Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya Jawa yang
menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah melalui proses
akulturasi yang tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga berpengaruh terhadap sistem
agama.18

Masyarakat Jawa dalam Taraf keagamaan, mereka menerima pengaruh agama dan kebudayaan dari
Hindu-Budha. dengan cara melalui pemahaman dan pengolahan golongan bangsawan serta para
cendikiawan jawa. Dari pemahaman dan pengolahan para cendikiawan inilah orang-orang awam
menerima pengaruh Hindu-Budha. Para cendikiawan yang mengerti bahasa sansekerta, akhirnya
dapat pula mengolah huruf-huruf yang berasal dari Hindu-Budha, untuk menulis bahasa Jawa.
Menggunakan bahasa Jawa merupakan permulaan sejarah bagi suku Jawa.

Islam berhasil tersebar di berbagai penjuru pulau Jawa setelah melalui proses yang cukup panjang,
meski ada tempat yang tidak terjalin kontak dengan Islam secara Intensif, bahkan ada yang tak
terjangkau dengan dakwah Islam. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat keimanan, kekuatan Islam, dan

pengalaman nilai-nilai Islam yang tercermin dalam sikap, tingkah laku, dan kehidupan keberagaman
umat Islam di Jawa.19

Dalam berbagai cacatan Historiogrfi di Jawa, keberadaan tokoh-tokoh Wali Songo diasumsikan
sebagai tokoh Waliyullah sekaligus tokoh waliyul amri. Yaitu sebagai orang-orang yang dekat dengan
Allah yang terpelihara dari kemaksiatan (Waliyullah), dan juga sebagai orang-orang yang memegang
kekuasaan atas hukum kaum muslimin. Pemimpin masyarakat, yang berwenang menetukan dan
memutuskan urusan masyarakat, baik dalam bidang keduniawian maupun urusan keagamaan

(Waliyul amri).20

18 Masyarakat Heterogen Adalah masyarakat dengan identitas ras, Etnis, agama, dan budaya yang

beragam. Sejarah Awal Agama Islam masuk ke Tanah Jawa. Http://www.id.islamic-sources.com (diakses
pada 20 oktober 2018)
19 Soekama Karya, Dkk, Ensiklopedia Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam,…p. 173
20 Agus Sunyoto, Atlas Walisongo … P. 149

19 | I S L A M D I J A W A
DAFTAR PUSTAKA

http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/juspi/article/view/1519

https://amp.kompas.com/bandung/read/2022/01/23/163000878/kesultanan-banten-sejarah-pendiri-
masa-kejayaan-dan-peninggalan

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Johor

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Lingga

20 | I S L A M D I J A W A

You might also like