You are on page 1of 13

C.

Kemukjizatan Al Qur’an
Semua nabi yang diutus Allah Swt kepada manusia selalu disertai mukjizat sebagai bukti
kebenaran risalah ilahi yang dibawa. Nabi Muhammad Saw, nabi terakhir yang diutus bagi
seluruh umat manusia sampai akhir masa menjadikan Al-Qur’an sebagai mukjizatnya.

1. Definisi mukjizat
Kata “mukjizat” merupakan bentuk subjek (isim fâ’il) dari‫( اعجز‬a’jaza) yang berarti
“melemahkan”. Tambahan huruf ta’ di ujung kata ini merupakan ta’ ta’nits (huruf ta’ untuk
menunjukkan bentuk feminim)menunjukkan sifat keagungan atau mubâlaghah.Dapat
disimpulkan bahwa secara etimologis, “mukjizat” berarti “sesuatu yang melemahkan”.
Selanjutnya, “mukjizat” ditinjau dari sisi terminologis memiliki arti sebagai suatu perkara di
luar kebiasaan manusia yang diberikan Allah Swt kepada nabi atau rasul-Nya disertai
tantangan dan tidak dapat ditandingi manusia lain.
a. Syarat mukjizat
Dengan demikian, suatu perkara dapat dikatakan mukjizat,apabila memenuhi empat unsur
berikut.
Pertama, di luar kebiasaan manusia. Mukjizat adalah media utama bagi seorang nabi
untuk membuktikan kepada kaumnya bahwa dia benar utusan Allah Swt. Oleh karena itu,
mukjizat harus sesuatu yang tidak biasa. Jika mukjizat adalah perkara yang biasa maka hal ini
tidak akan menarik perhatian kaumnya untuk mengimaninya.
Kedua, diberikan Allah Swt kepada nabi atau rasul. Mukjizat harus berada di tangan
seorang rasul. Jika terdapat perkara luar biasa, tetapi bukan berada di tangan seorang rasul
maka perkara itu tidak dapat dianggap sebagai mukjizat.
Ketiga, adanya tantangan. Suatu mukjizat harusdisertai tantangan kepada manusia untuk
menandinginya. Dalam Bahasa Arab, tantangan ini dikenal dengan nama tahaddi (‫)التحدي‬,
berarti suatu pekerjaan yang sengaja dilakukan untuk menantang orang lain melakukan hal
serupa dengan tujuan menunjukkan kehebatannya.
Keempat, tidak dapat ditandingi siapapun. Syarat keempat ini berkaitan erat dengan syarat
ketiga yang disebutkan sebelumnya. Sebagian melihatnya kontradikftif karena memuat dua
halyang seakan bertentangan, yaitu menantang dan tidak dapat ditandingi. Akan tetapi, jika
dicermati justru ini nilai kemukjizatan suatu perkara. Dia harus menantang manusia dan
manusia tidak dapat menandinginya. Jika manusia dapat menandinginya maka perkara itu
tidak dapatdisebut mukjizat.
b. Periode kemunculan istilah mukjizat
Dalam Al-Qur’an, kata “mukjizat” sama sekali tidak pernah disebutkan. Walaupun
demikian, Al-Qur’an memuat banyak lafadz atau kata yang mengandung makna mukjizat,
seperti lafal àyah(‫)االية‬, burhân (‫)البرهان‬dan sulthân (‫)السلطان‬.
Semua lafal ini menjadi argumen terkuat bahwa keberadaan nabi atau rasul tidak mungkin
terlepas dari mukjizat karena Allah Swt memberikan mukjizat kepada setiap nabi-Nya untuk
membantah hujatan para pemangkang. Selain itu, dengan adanya mukjizat tersebut,
keyakinan kaum yang menentang para nabi akan adanya kekuatan selain Allah Swt yang
mereka sembah akan dengan mudah diruntuhkan.
Istilah mukjizat sendiri ada pada paruh kedua abad ke-III. Pendapat lain mengatakan
bahwa istilah ini baru terdengar di akhir abad ke-II dan awal abad ke-III. Akan tetapi,
pendapat terakhir menyatakan bahwa kata mukjizat muncul dari perkataan para teolog akhir
abad ke-III hingga awal abad ke-IV.
Berdasarkan pendapat tersebut dapatditegaskan bahwa terminologi mukjizat memang
belum ada pada masa Rasulullah Saw, sahabat, dan awal tabiin. Itulah sebabnya, pembahasan
mengenai mukjizat Al-Qur’an atau i’jâzul Qur’an baru lahir sekitar abad ke-3 Hijriah.
2. Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar
a. Mukjizat indrawi bagipara nabi sebelum Nabi Muhammad Saw
Setiap nabi atau rasul yang diutus Allah Swt memiliki mukjizat berbeda sesuai kondisi
lingkungan dan masyarakat yang menjadi sasaran dakwah setiap nabi. Pada zaman Nabi
Musa AS, Allah Swt memberikan mukjizat berupa tongkat dan tangan bercahaya yang
memiliki kekuatan seperti sihir. Mukjizat seperti ini diberikan kepada Nabi Musa AS karena
sihir adalah perkara yang sangat popular pada masa itu. Bahkan, Fir’aun sebagai pemimpin
Mesir saat itu memiliki tim sihir khusus. Kemasyhuran kedua mukjizat Nabi Musa AS ini
diabadikan dalam QS. Asy Syu’araa [26]: 32-33.


Maka dia (Musa) melemparkan tongkatnya, tiba-tiba tongkat itu menjadi ular besar yang
sebenarnya dan dia mengeluarkan tangannya (dari dalam bajunya), tiba-tiba tangan itu
menjadi putih (bercahaya) bagi orang-orang yang melihatnya. (QS. Asy Syuaraa’ [26] : 32-
33)
Contoh lain adalah mukjizat Nabi Isa AS yang berupa kemampuan mengobati orang sakit
dan menghidupkan orang mati. Singkatnya, mukjizat Nabi Isa AS berkaitan dengan ilmu
kedokteran. Mengapa harus ilmu kedokteran? Pada masa itu, Nabi Isa AS hidup di bawah
kekuasaan Yunani, yaitu suatu peradaban yang sangat mengagungkan ilmu kedokteran.

b. Mukjizat maknawibagiNabi Muhammad Saw


Hal ini berbeda dengan Nabi Muhammad Saw yang dianugerahi Al-Qur’an sebagai
mukjizat. Sebagai rasul utusan Allah Swt di tengah kaum pecinta syair dan sastra, Al-Qur’an
memuat nilai sastra yang sangat agung sehingga mampu mengalahkan kedigdayaan para
pujangga Arab saat itu.
Al-Qur’an yang dibawa Nabi Muhammad Saw berhasil membuat takjub masyarakat Arab
yang saat itu dianggap sebagai para penyair dan sastrawan ulung. Saking gemar dan cintanya
masyarakat Arab ketika itu dengan syair, mereka menjadikan sastra sebagai salah satu pokok
kebudayaan mereka. Ketika mengetahui Nabi Muhammad SAW membawa suatu kitab yang
tidak tertandingi nilai sastranya, merekapun berbondong-bondong masuk Islam.
Berbicara mengenai Al-Qur’an sebagai mukjizat utama Rasulullah Saw maka akan
menghadirkan beragam pertanyaan. Mengapa justru Al-Qur’an yang menjadi mukjizat utama
Nabi Muhammad Saw? Bukankah hal ini justru memberikan peluang besar bagi masyarakat
Arab dengan kefasihan dan kemahiran mereka dalam dunia sastra untuk mengingkari Al-
Qur’an atau mandinginya?
Sebelum menjawab pertanyaan iniharus meyakini bahwa Al-Qur’an sebagai mukjizat
utama Nabi Muhammad Saw adalah kehendak Allah Swt Yang Maha Mengetahui segalanya
sebagaimana firman-Nya,


Dan mereka (orang-orang kafir Mekah) berkata, “Mengapa tidak diturunkan mukjizat-
mukjizat dari Tuhannya?” Katakanlah (Muhammad), ‘Mukjizat-mukjizat itu terserah kepada
Allah. Aku hanya seorang pemberi peringatan yang jelas.’.” (QS. Al ‘Ankabuut [29]: 50)
Ayat ini menjelaskan bahwa kaum Kafir Quraisy meminta Rasulullah Saw agar
menunjukkan mukjizat lain, selain Al-Qur’an. Mukjizat yang mereka inginkan adalah
mukjizat indrawi, seperti yang diturunkan Allah Swt kepada nabi sebelum Nabi Muhammad
Saw. Akan tetapi, dengan tegas Allah Swt menolak permintaan tersebutkarena mukjizat
adalah hak istimewa Allah Swt. Allah Swt akan memberikan kepada siapa dalam bentuk apa
adalah kehendak mutlak Allah SWT yang tidak dapat dicampuri orang lain.
c. Hikmah penurunan mukjizat maknawi
Jika segala kehendak Allah Swt tidak mungkin lepas dari suatu hikmah maka apa hikmah
di balik penurunan mukjizat Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw, bukan mukjizat
indrawi seperti para nabi sebelumnya?
Penolakan Allah Swt terhadap permintaan mukjizat indrawi menjelaskan keistimewaan
Al-Qur’an dibandingkan mukjizat indrawi tersebut. Al-Qur’an memposisikan dirinya sebagai
mukjizat ‘aqliy (mukjizat akal) untuk membedakan dengan mukjizat sebelumnya yang
cenderung indrawi. Sebagai mukjizat ‘aqli, Al-Qur’an mengajak seluruh manusia, yang
merupakan makhluk berpikir untuk mengamati dan memahami apa yang dibawa Al-Qur’an
dengan penalaran akal yang dalam. Dengan ini, mereka akan menemukan kenyataan bahwa
Al-Qur’an benar dari Allah Swt, bukan ciptakan Nabi Muhammad Saw, jin, malaikat, atau
manusia.
Tidak hanya itu, Al-Qur’an juga memainkan dua peran penting, yaitu sebagai mukjizat
utama bagi Rasulullah Saw dan sebagai kitab suci bagi umat Islam. Urgensi peran ganda ini
tentu sangat berbeda apabila dibandingkan dengan mukjizat paranabi lain yang terletak di
luar kitab suci mereka. Sebagai contoh, mukjizat Nabi Musa AS yang berupa tongkat, tetapi
kitab suci yang dimiliki Nabi Musa AS adalah Taurat. Hal ini menunjukkan bahwa tongkat
yang dimiliki Nabi Musa AS memiliki peran dan posisi berbeda dengan Taurat sebagai kitab
sucinya.
Selain kedua keistimewaan tersebut, satu keistimewaan lain yang dimiliki Al-Qur’an
dalam perannya sebagai mukjizat utama Nabi Muhammad saw adalah masa berlakunya yang
tidak mengenal ruang dan waktu. Semua mukjizat yang diberikan Allah swt kepada para nabi
sebelum Nabi Muhammad saw akan habis masa berlakunya bersamaan dengan meninggalnya
nabi yang bersangkutan. Sebagai contoh, mukjizat Nabi Isa AS yang berupa kemampuan
menyembuhkan penderita buta sejak lahir. Ketika zaman kenabian Isa AS telah usai maka
mukjizat ini tidak akan berlaku lagi di zaman kenabian Muhammad SAW. Akan tetapi, Al-
Qur’an tetap berlaku,walau Rasulullah Saw telah meninggal dunia.
Berdasarkan penjelasan tersebut, Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar dapat disimpulkan
dari empat faktor utama.Pertama, Al-Qur’an adalah mukjizat rasio (al-mu’jizah al-‘aqliyyah)
sehingga untuk mengungkap keagungan dan nilai mukjizatnya dibutuhkan penggunaan akal
secara maksimal, sedangkan mukjizat lain adalah mukjizat indrawi (al-mu’jizah al-hissiyyah)
yang lebih bersandar hanya pada indra. Kedua, dengan statusnya sebagai mukjizat akal,
kemukjizatan Al-Qur’an tidak terbatas pada satu periode tertentu karena selama manusia
masih memiliki akal maka selama itu pula tantangan Al-Qur’an tetap relevan. Ketiga,
tantangan yang diberikan Al-Qur’an tidak hanya terbatas pada bangsa manusia, tetapi juga
mencakup bangsa jin dan manusia secara bersamaan. Keempat, selain sebagai mukjizat, Al-
Qur’an juga memiliki peran ganda sebagai wahyu dan inti ajaran agama yang dibawa Nabi
Muhammad Saw.

3. Aspek kemukjizatan Al-Qur’an


Walaupuntelah disepakati sebagai mukjizat (bahkan mukjizat terbesar), tetapi para ulama
berbeda pandangan dalam menentukan letak nilai kemukjizatan Al-Qur’an. Unsur apa yang
menjadikan Al-Qur’an sebagai mukjizat masih menjadi perbincangan hingga saat ini belum
terselesaikan. Menurut Aisyah Abdurrahman (lebih dikenal sebagai Bintu Syati), seorang
cendekiawan Mesir yang mendalami kajian kemukjizatan Al-Qur’an, setiap ulama yang
membahas tentang kemukjizatan Al-Qur’an selalu merasa pendapatnya sebagai pendapat
akhir yang paling shohih. Akan tetapi, seiring bejalannya waktu akan terbukti bahwa ulama
tersebut masih meninggalkan celah kosong yang mendorong ulama setelahnya untuk mengisi
kekosongan tersebut. Fenomena ini terus berlangsung hingga dia sendiri (Bintu Syati)
menuliskan pandangannya tentang kemukjizatan Al-Qur’an dalam buku berjudul Al I’jâz Al
Bayâni li Al Qur’ân.
Dengan demikian, Bintu Syati berpendapat bahwa problematika kemukjizatan Al-Qur’an
akan selalu terbuka sehingga tidak dibenarkan seseorang menganggap pendapatnya sebagai
pendapat akhir, kemudian menutup pintu pembahasan masalah tersebut. Perbedaan sudut
pandang dan problematika kemukjizatan yang tidak berujung merupakan salah satu bentuk
kemukjizatan Al-Qur’an itu sendiri.
Namun,semua ulama sepakat bahwa unsur kemukjizatan paling dominan dari Al-Qur’an
terdapat pada aspek kebahasaan atau sastra. Pendapat ini dilandasi sebuah fakta bahwa Al-
Qur’an diturukan kepada sebuah kaum yang gemar dan piawai dalam membuat syair serta
merangkai karangan sastra.
Dalam bukunya An-Nabâ Al ‘Adîm: Nadarât Jadîdah fi Al Qur’ân, Muhammad Darraz,
seorang cendekiawan lulusan Al Azhar yang mendalami kajian sastra Arab, menyebutkan
tiga dimensi utama kemukjizatan Al-Qur’an, yaitu kemukjizatan dari sisi sastra, kandungan
ilmiah yang dimuat, dan pengaruh yang ditimbulkan terhadap perjalanan sejarah.

a. Kemukjizatan sastrawi
Terkait kemukjizatan Al-Qur’an dari dimensi sastrawi, Muhammad Abdullah Darraz
melihat dua hal penting yang menjadikan Al-Qur’an sebagai perkara sangat mengagumkan.
Pertama, berdasarkan bagian luar lafal Al-Qur’an (al qasyarah al sathiyyah). Abdullah
Darraz mengungkapkan dua hal yang membuat Al-Qur’an sangat menakjubkan, yaitu
keindahan suara karena keteraturan antara harakat, sukun, mad, dan dengungnya saat
dibaca,juga keserasian susunan kata karena kesempurnaan pengaturan antara perlafal hingga
membentuk suatu kalimat sempurna.
Keistiewaan Al-Qur’an dalam hal ini dapatdengan mudah ditemukan, ketika mendengar
lantunan ayat Al-Qur’an dari para qâri (pembaca Al-Qur’an). Walaupun tidak mengetahui
maknanya, tetapi dari keteraturan nada, keserasian, dan keindahan bacaan Al-Qur’an mampu
membawa yang mendengarkannya berpikir bahwa Al-Qur’an sangat luar biasa.
Kedua, berdasarkan bagian dalam atau cakupan makna yang terkandung (lubb al bayân al
qur’ânî), Abdullah Darraz menemukan empat faktor yang membuat Al-Qur’an sangat
istimewa, yait lafalnya sederhana, tetapi mampu mengungkap makna yang diinginkan secara
sempurna (al qasdu fi al-lafzi wa al wafâ bi haqqi al ma’na), isi kandungan Al-Qur’an
mampu dipahami kalangan awam serta spesialis sekaligus (khitâb al âmmah wa khitâb al
khâssah), metode penuturan Al-Qur’an mampu memuaskan pikiran dan memberi kenikmatan
terhadap jiwa (iqnâ’ al ‘aql wa imthâ’ al ‘âthifah), makna yang disampaikan Al-Qur’an
sangat jelas meskipun diungkapkan hanya secara umum (al bayân wa al ijmâl).
Intinya, bagi Abdullah Darraz, nilai utama kemukjizatan sastra Al-Qur’an (dilihat dari
kandungannya) adalah karena Al-Qur’an mampu mengumpulkan dua hal yang bagi manusia
terlihat sangat bertentangan. Al-Qur’an mampu dipahami orang awam dan ilmuwan sekaligus
sesuai dengan kapasitas keilmuan mereka.Padahal dalam karangan manusia biasa, suatu
karya jika mudah dipahami seorang spesialis, dia akan terasa sulit dipahami (bahkan tidak
dapat dipahami) kalangan awam.
Begitu juga Al-Qur’an mampu memuaskan akal dan memberi kenikmatan kalbu, ketika
menjelaskan suatu makna, baik dengan cara keseluruhan maupun terperinci. Padahal
karangan manusia biasa, tidak pernah dapat memuaskan akal dan hati sekaligus karena
keduanya berbeda. Akal berhubungan dengan sesuatu yang logis, sementara hati
berhubungan dengan sesuatu yang menakjubkan. Suatu karangan yang memuaskan akal tidak
dapat memberikan kenikmatan kalbu, begitu juga sebaliknya. Sementara, Al-Qur’an mampu
menggabungkan dua hal yang terlihat sangat kontradiktif dalam satu sentuhan. Dalam banyak
ayatnya, Al-Qur’an mengajak manusia untuk berpikir tentang kebesaran Allah swt melalui
ayat kauniyah-nya (fenomena alam) dengan uraian yang sangat indah dan penuh nilai sastra.
Al-Qur’an dapat memuaskan akal karena mengajak berpikir rasional, juga memberikan
kenikmatan kalbu karena mengungkapkannya dalam bahasa sastra yang indah.
b. Kemukjizatan ilmiah
Aspek kemukjizatan berikutnya yang juga dianggap bagian dari kemukjizatan pokok Al-
Qur’an adalah isyarat ilmiah yang disinggung Al-Qur’an. Aspek kemukjizatan ini sering
disebut sebagai kemukjizatan saintifik, ilmiah, atau al-i’jaz al-‘imiy. Konsep kemukjizatan ini
merupakan salah satu konsep kemukjizatan yang baru diungkap.
Yang dimaksud dengan kemukjizatan saintifik adalah bahwa Al-Qur’an telah memuat
isyarat kebenaran ilmiah yang belum diketahui masyarakat ketika turunnya Al-Qur’an.
Konsep kemukjizatan saintifik yang banyak diusung para ilmuwan eksakta ini mencoba
membawa Al-Qur’an ke dalam ranah eksakta, melalui penafsiran ayat kauniyah tentang
peristiwa alam dan kebenaran ilmiah yang baru diungkap para penemu ilmiah. Contoh dari
aspek kemukjizatan ini dapatdiketahui melalui QS. AnNuur [24]: 45.



Dan Allah menciptakan semua jenis hewan dari air maka sebagian ada yang berjalan di atas
perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang lain) berjalan
dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Allah Mahakuasa
atas segala sesuatu. (QS. An Nuur [24]: 45)
Pandangan Al-Qur’an yang mengatakan bahwa semua makluk tercipta dari air, ternyata
sama dengan fakta ilmiah yang menyatakan bahwa lebih dari tujuh puluh lima persen unsur
tubuh suatu makhluk hidup terdiri atas air.

c. Kemukjizatan tentang kabar gaib


Selain kedua aspek tersebut, adanya hal gaib yang terkandung dalam Al-Qur’an dianggap
sebagai bagian dari aspek penting kemukjizatan Al-Qur’an. Definisi kata “gaib” dalam
konteks ini mengandung arti sebagai suatu perkara yang tidak diketahui umat manusia, baik
tidak diketahui karena jaraknya seperti galaksi dan benda langit, dzatnya seperti jin dan
malaikat, atau karena waktunya. Yang tidak diketahui karena waktunya dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu peristiwa yang terjadi di masa lampau, masa kini, atau masa yang akan datang.
Salah satu contoh peristiwa yang masuk dalam kategori masa lampau adalah semua
peristiwa yang terjadi sebelum Nabi Muhammad Saw diutus. Kategori pertama ini juga
dikenal dengan nama i’jâz târîkhiy. Peristiwa yang dimaksud adalah kisah para nabi
terdahulu dengan umatnya, kisah ashâb al-kahfi (tujuh pemuda beriman yang sembunyi di
sebuah gua untuk berlindung dari kejaran penguasa zalim saat itu), kisah perjumpaan Nabi
Musa AS dengan Khidir AS, dan lain sebagainya.
Adapun mengenai hal gaib yang terjadi di masa saat ini (pada masa Rasulullah Saw)
adalah segala peristiwa yang terjadi di masa kenabian Rasulullah Saw, tetapi secara logis
tidak mungkin diketahui Nabi Muhammad Saw. Misalnya adalah tentang perilaku kaum
Yahudi, kaum munafikin, dan para musuh Islam lainnya pada waktu itu. Al-Qur’an
menyebutkan keburukan dan siasat untuk menghancurkan Islam yang mereka sembunyikan.
Namun, peristiwa gaib yang termasuk dalam kategori terakhir adalah segala peristiwa
yang baru terjadi beberapa waktu setelah turunnya ayat yang membahas kejadian tersebut.
Contoh kemukjizatan dalam hal ini dapat ditemukan pada keterangan Al-Qur’an tentang
kemenangan bangsa Romawi atas bangsa Persia setelah kekalahan mereka beberapa tahun
sebelumnya yang direkam dalam QS.Ar Ruum [30]: 1-4.


Alif Laam Miim. Bangsa Romawi telah dikalahkan di negeri yang terdekat dan mereka
setelah kekalahannya itu akan menang dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan
sebelum dan setelah (mereka menang), dan pada hari (kemenangan bangsa Romawi) itu
bergembiralah orang-orang yang beriman. (QS. Ar Ruum [30]: 1-4)
Selain tiga kemukjizatan tersebut, satu aspek lain yang saat ini sering disebut para
cendekiawan muslim kontemporer, yaitu kemukjizatan dari sisi pokok peribadatan umat
Islam yang dijelaskan Al-Qur’an atau dalam istilah Bahasa Arab disebut i’jaz tasyri’iy.
Kemukjizatan syariat adalah sebuah pemahaman bahwa ajaran yang diturunkan Allah Swt
dalam Al-Qur’an sangat tepat bagi manusia. Ajaran yang dibawa Al-Qur’an sangat
mempertimbangkan aspek dan kondisi manusia sebagai makhluk istimewa. Syariat tersebut
tidak mungkin keluar dari manusia karena manusia pun tidak mengetahui tentang dirinya
sendiri. Para ulama menyimpulkan bahwa Al-Qur’an pasti lahir dari Dzat yang mengetahui
dengan sangat detil dan jelas semua aspek dan kondisi manusia, baik lahir maupun batin.
Jadi, yang mengetahui hal itu tidak lain adalah Allah Swt, pencipta semesta alam beserta
isinya.
Para ulama membagi pokok syariat Islammenjadi tiga, yaitu akidah, syariah,dan akhlak.
Akidah yang dijelaskan Al-Qur’an adalah konsep ketauhidan yang menegaskan bahwa tidak
ada yang wajib disembah, kecuali Allah Swt. Konsep ini merupakan misi utama diutusnya
paranabi, dari Nabi Adam As hingga Nabi Muhammad Saw. Setelah ketauhidan, fase akidah
selanjutnya adalah keimanan kepada rasul Allah Swt beserta risalah yang disampaikannya,
serta hari akhir. Ketiga hal ini yang menjadi fondasi utama akidah Islam.
Setelah akidah, Al-Qur’an menjelaskan pokok syariat kedua, yaitu hukum Allah swt yang
mengatur hubungan antara seorang hamba dengan Tuhan dan sesamanya. Bagian ini terdiri
dari dua hal, yaitu ibadah dan muamalah. Dalam bagian ibadah, Al-Qur’an menjelaskan
bentuk peribadatan yang harus dilakukan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Sementara, bagian muamalah berbicara tentang kegiatan sosial yang lebih tertuju kepada
interaksi manusia dengan sesamanya. Dalam kajian para ulama kontemporer, pengharaman
terhadap hal tertentu membawa mudarat dalam tatanan sosial masyarakat. Nilai kemukjizatan
tersebut karena untuk mengetahui bahaya dari pengharaman sesuatu tidak mungkin dapat
diketahui masyarakat Arab yang sangat terbelakang dalam dunia keilmuan. Karena itu, Al-
Qur’an tidak mungkin diciptakan masyarakat Arab, termasuk Nabi Muhammad saw, tetapi
Allah swt Yang Maha Mengetahui apapun yang telah lalu maupun yang akan datang.
Kembali kepada peran Al-Qur’an sebagai mukjizat primer Rasulullah Saw sekaligus
mukjizat terbesar sepanjang zaman, karakteristik utama serta aspek kemukjizatan yang telah
disebutkan adalah bentuk penegasan keistimewaan Al-Qur’an dibandingkanmukjizat lain.
Kedua sisi penilaian ini cukup menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa Al-Qur’an menjadi
mukjizat primer sekaligus terbesar yang diberikan Allah swt.

4. Kemukjizatan Al-Qur’an dalam era globalisasi


Perkembangan ilmu pengetahuan pada era globalisasi saat ini telah terjadi di segala lini
kehidupan dan menuntut siapapun untuk menjawab dan mengikutinya, tidak terkecuali umat
Islam. Hal ini pun berpengaruh terhadap Al-Qur’an yang menjadi pedoman dan panduan
kaum muslimin sepanjang zaman. Mereka yang mengingkari Islam dan Al-Qur’an seakan-
akan menuntut Al-Qur’an untuk menunjukkan eksistensinya menghadapi gempuran
perkembangan ilmu pengetahuan.
Para ulama pun terdorong merespon fenomena ini. Kajian Al-Qur’an akhirnya semakin
meruncing pada misi untuk menemukan nilai kemukjizatan yang diyakini berhubungan
dengan ilmu pengetahuan dan perkembangan zaman yang semakin pesat.

a. Kemukjizatan sistem ekonomi


Tidak heran apabila beberapa tahun terakhir mulai bermunculan bentuk baru
kemukjizatan Al-Qur’an, seperti halnya kemukjizatan ekonomi (i’jâz iqtisadiy), Al-Qur’an
ternyata banyak berbicara tentang sistem ekonomi ideal sejak 14 abad yang lalu. Salah
satunya adalah bagaimana Al-Qur’an dengan tegas mengharamkan riba dan kecurangan
dalam perdagangan. Terbukti hingga saat ini praktik riba adalah faktor utama yang
menyengsarakan masyarakat sehingga justru menjauhkan manusia dari kesejahteraan. Firman
Allah Swt,



Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba
(yang belum dipungut), jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak
melaksanakannya maka umumkanlah perang dari Allah dan rasul-Nya, tetapi jika kamu
bertobat maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan
tidak dizalimi (dirugikan). (QS. Al Baqarah [2]: 278-279)
Ada juga kemukijizatan metode dakwah (i’jâz da’wi), Al-Qur’an telah memuat metode
jitu mengajak manusia kepada kebenaran. Contohnya dapat ditemukan ketika Al-Qur’an
menyuruh kaum muslimin agar berdakwah dengan cara yang santun, lembut, dan penuh
kebijaksanaan. Firman Allah Swt,


Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri
kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus?
Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan-Nya. (QS. An Nisaa’ [4]: 125)

b. Kemukjizatan metode pendidikan


Kemukjizatan dalam bidang metode pendidikan (i’jâz tarbawi), Al-Qur’an juga telah
memuat metode pendidikan ideal bagi manusia. Pendidikan diawali dengan penanaman
akidah yang benar, diikuti denganpendidikan karakter yang luhur. Contoh metode pendidikan
dapat dilihat dalam QS. Luqman [31]: 13-19, ketika Lukman berwasiat kepada anaknya.











Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran
kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” Dan Kami
perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam
dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku
kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu
yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu maka janganlah engkau menaati keduanya,
dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu maka akan Aku bertahukan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Lukman berkata), ‘Wahai anakku! Sungguh, jika
ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau langit atau di Bumi,
niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahahalus, Mahateliti.
Wahai anakku! Laksanakanlah sholat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan
cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu,
sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting. Dan janganlah kamu
memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di Bumi dengan
angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan
diri. Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara adalah suara keledai.’.” (QS. Luqmaan [31]: 13-19)

c. Kemukjizatan psikologis manusia


Kemukjizatan psikologis (i’jâz nafsiy), Al-Qur’an juga telah berbicara banyak tentang
hakikat psikologis manusia yang tidak diketahui sebelumnya. Al-Qur’an memuat banyak ayat
yang membangkitkan motivasi manusia untuk hidup opitimis. Masalah yang dihadapi selalu
ada solusinya sehingga tidak perlu bersedih dan gundah gulana. Kemukjizatan psikologis ini
tercantum dalam QS. Asy Syarh [94]: 1-8.



Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Muhammad)? Dan Kami pun telah menurunkan
beban darimu yang memberatkan punggungmu, dan Kami tinggikan sebutan (nama)mu
bagimu maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama
kesulitan ada kemudahan maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah
bekerja keras (untuk urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.
(QS. Asy Syarh [94]: 1-8)

5. Al-Qur’an bukan syair


Pada awal Al-Qur’an diturunkan, masyarakat Arab kagum dengan keindahan dan
keagungan Al-Qur’an. Hati mereka tidak dapat berbohong untuk mengakui bahwa Al-Qur’an
tidak mungkin lahir dari seorang manusia, melainkan dari Allah Swt. Akan tetapi, karena
kedengkian hati, mereka melancarkan beragam tuduhan dengan mengatakan bahwa Al-
Qur’an adalah syair yang dibuat Nabi Muhammad Saw atau jin pembantunya.Untuk
menjawab tuduhan tersebut, Allah Swt menurunkan beberapa ayat yang menegaskan bahwa
Al-Qur’an bukan syair.



Maka aku bersumpah demi apa yang kamu lihat dan demi apa yang tidak kamu lihat.
Sesungguhnya dia (Al-Qur’an) benar-benar wahyu (yang diturunkan kepada) rasul yang
mulia dan dia (Al-Qur’an) bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman
kepadanya. Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil
pelajaran darinya. Dia (Al-Qur’an) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam.
(QS. Al Haaqqah [69]: 38-43)
Apa yang membedakan antara Al-Qur’an dengan syair? Padahal dalam beberapa ayat
terdapat akhiran ayat yang menyerupai sajak syair? Dalam hal ini, sastrawan muslim klasik,
Abu Bakar Al Baqillâni menjawab bahwa Al-Qur’an tidak dapat dikatakan sebagai syair
karena beberapa alasan berikut.
Pertama, untuk menilai suatu perkataan dianggap syair atau bukan maka harus
mengetahui niat pembicara. Suatu syair harus diniatkan pembicaranya. Sebaik apapun suatu
perkataan dan seserasi apapun sajak suatu ucapan, jika tidak dimaksudkan sebagai syair oleh
pembicaranya maka dia tidak dapat dikatakan sebagai syair. Al-Qur’an secara jelas
mengatakan bahwa dia bukan syair sebagaimana tercantum jelas dalam firman-Nya,

Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah pantas
baginya. Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang jelas. (QS. Yaasiin [36]:
69)
Kedua, suatu perkataan bersajak dapat dikatakan syair, apabila memiliki minimal dua bait
dengan sajak yang sama. Apabila ada suatu perkataan mengikuti sajak tertentu,tetapi hanya
satu bait maka dia tidak dapat dikatakan syair. Terdapat sebagian ayat Al-Qur’an yang
menyerupai sajak atau irama syair, tetapi ayat tersebut tidak lebih dari satu bait.
Ketiga, seandainya mereka meyakini bahwa lafadz Al-Qur’an yang dibaca adalah syair,
tentu masyarakat Arab akan langsung menciptakan karya yang sama sebab syair bagi mereka
adalah satu hal yang sangat mudah untuk diciptakan. Jika mereka tidak dapat menciptakan
yang demikian maka Al-Qur’an bukan syair.

You might also like