You are on page 1of 10

ARTIKEL ILMIAH

IMPLEMENTASI PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)


TERHADAP PERBANKAN DI INDONESIA

Citra Maharani Sanriadi 1

ABSTRAK

Sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), untuk tercapainya


sebuah sistem perbankan yang sehat dan stabil, bank dalam melaksanakan
tugasnya tidak luput dari pengawasan Bank Indonesia yang bertindak
selaku bank sentral. Kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral,
mempunyai tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah. Bank Indonesia secara yuridis masih memiliki otoritas dalam
pengaturan dan pengawasan perbankan walaupun telah hadir Otoritas
Jasa Keuangan (OJK). Hal ini dikarenakan, Pengawasan macroprudential
tetap saja menjadi kewenangan dari Bank Indonesia, sebagaimana diatur
dalam penjelasan Pasal 7 Undang-Undang OJK mengenai tugas dan
wewenang Bank Indonesia, yang menyatakan bahwa lingkup pengaturan
dan pengawasan macroprudential merupakan tugas dan wewenang Bank
Indonesia. Sedangkan fungsi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah
penyelengaraan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi
terhadap keseluruhan kegiatan di sektor keuangan dalam hal termasuk
pada sektor perbankan

Kata kunci: Perbankan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

PENDAHULUAN

Kehadiran sebuah bank sangat erat kaitannya dengan perkembangan di


bidang perdagangan. Kehidupan dunia modern saat ini tidak dapat dilepaskan

1
Penulis adalah mahasiswa jurusan peminatan perbankan Vokasi Universitas Brawijaya
Malang
dan bahkan sering tergantung pada aktivitas dan jasa perbankan. Hal ini sama
seperti yang terjadi di Indonesia, bahwa perkembangan perekonomian dan
perdagangan sangat bergantung pada kinerja perbankan.oleh karena itu, dengan
kehadirannya banyak lembaga keuangan perbankan maka, pemerintah
Indonesia membuat kebijakan tentang pengawasan terhadap kinerja bank.
Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia yang telah dirubah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
tentang Bank Indonesia dan dirubah dengan Undang Undang Nomor 6 Tahun
2009 yang mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa
keuangan yang mencakup perbankan, asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal
ventura, dan perusahaan pembiayaan serta badan-badan yang
menyelenggarakan dana-danamasyarakat.

Sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), untuk tercapainya


sebuah sistem perbankan yang sehat dan stabil, bank dalam melaksanakan
tugasnya tidak luput dari pengawasan Bank Indonesia yang bertindak
selaku bank sentral. Kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral, mempunyai
tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Demi
mewujudkan tujuannya tersebut, Bank Indonesia memiliki tugas sebagaimana
yang dicantumkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, yaitu
sebagai berikut:

a. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;


b. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;
c. Mengatur dan mengawasi bank.

Kebijakan ini diambil dikarenakan banyaknya permasalahan di


sektor perbankan yang terjadi krisis yang berdampak 21 (dua puluh satu) bank
swasta nasional yang krisis dilikuidasi oleh Bank Indonesia, yang
ditemukan berbagai penyimpangan sehingga banyak yang mempertanyakan
pengawasan Bank Indonesia. Begitu juga adanya peristiwa yang mengejutkan
bahwa Bank Century ditetapkan Bank Indonesia sebagai bank gagal berdampak
sistemik. Banyaknya permasalahan di sektor jasa keuangan di bidang perbankan
yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan semakin mendorong
diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang
terintegrasi.

Fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa


keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa
Keuangan. Setiap pejabat selalu membuat kebijakan dalam berbagai bidang.
Kebijakan (policy) diberi arti yang berbeda oleh Harold D. Lasswell dan
Abraham Keplan yang mengartikan kebijakan sebagai “a projected program of
goals, values and practices”. Kebijakan dimaknai sebagai serangkaian tindakan
yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah
yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan
seluruh masyarakat.

PERBANKAN

Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang


perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik Negara,
bahkan lembaga-lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang dimilikinya
(Hermansyah, 2007: 7). Pengertian bank secara otentik telah dirumuskan di dalam
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang PokokPokok Perbankan yang
terakhir diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998. Berdasarkan
Undang- undang No. 10 Tahun 1998 bank adalah badan usaha yang menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Bank yang dikenal sebagai lembaga keuangan yang kegiatan utamanya


menerima simpanan giro, tabungan dan deposito. Kemudian banyak juga dikenal
sebagai tempat untuk meminjam uang (kredit) bagi masyarakat yang
membutuhkannya. Di samping itu, bank juga dikenal sebagai tempat menukar
uang, memindahkan uang atau menerima segala macam bentuk pembayaran dan
setoran seperti pembayaran listrik, telepon, air, pajak, uang kuliah dan
pembayaran lainnya.
Berdasarkan pengertian di atas dapat dijelaskan secara lebih luas lagi
bahwa bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan,
artinya aktifitas perbankan selalu berkaitan dalam bidang keuangan. Sehingga
berbicara mengenai bank tidak lepas dari masalah keuangan. Aktifitas perbankan
yang pertama adalah menghimpun dana dari masyarakat luas yang dikenal dengan
istilah di dunia perbankan adalah funding. Pengertian menghimpun dana
maksudnya adalah mengumpulkan atau mencari dana dengan cara membeli dari
masyarakat luas.

Pembelian dana dari masyarakat ini dilakukan oleh bank dengan cara
memasang produk-produknya sebagai strategi agar masyarakat mau
menananamkan dananya dalam bentuk simpanan. Jenis simpanan yang dapat
dipilih oleh masyarakat adalah seperti:

a. Giro, merupakan simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat


dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran
lainnya, atau dengan pemindah bukuan;
b. Tabungan, merupakan suatu simpanan yang penarikannya hanya dapat
dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat
ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan
dengan itu;
c. Sertifikat deposito, merupakan simpanan dalam bentuk deposito yang
sertifikat bukti penyimpannya dapat dipindahtangankan
d. Deposito berjangka, merupakan simpanan dengan jangka waktu tertentu
yang berbunga tinggi.

OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)

Untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara


berkelanjutan dan stabil diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang
terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mampu
mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, sehingga diperlukan
OJK yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan
terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen dan
akuntabel (OJK, 2014: 19).

Setelah tugas mengatur dan mengawasi perbankan dialihkan kepada


Otoritas Jasa Keuangan, tugas BI dalam mengatur dan mengawasi perbankan tetap
berlaku, namun difokuskan pada aspek makroprudensial sistem perbankan secara
makro. BI dapat melakukan pengawasan mikroprudensial ketika dinilai bank itu
memiliki systemically important bank, bank yang memiliki dampak sistemik.
Systemically important bank yaitu bank yg memiliki pengaruh terhadap bank-
bank lain atau kelangsungan ekonomi Indonesia. Biasanya bank besar memiliki
dampak sistemik, dan ada pula beberapa bank yang kecil apabila dinilai itu
dampaknya sistemik. Dampak sistemik tidak hanya dari sisi aset juga tetapi bisa
dilihat dari kaitannya dengan apakah nanti bank ini tidak sehat kemudian ada
pengaruh, katakanlah psikologis bagi masyarakat adanya rush segala hal sehingga
berdampak yang lain. Namun dalam pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu,
BI tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank.

OJK menetapkan tingkat kesehatan suatu bank, dilihat apakah bank-bank


tersebut pada berada dikoridornya masing-masing, misalkan OJK menentukan
minimal tingkat rasio permodalan yang harus dimiliki bank sebesar 8%.
Rentabilitas dan profitnya diharapkan bank tidak rugi rasionya terlihat dari itu.
Misalkan semua bank dalam tingkat rasio yang baik, maka akan terjadi ekosistem
keuangan yang baik. Apabila berbicara dari sisi pengawasannya sendiri, apabila
ada beberapa bank yang tingkat kesehatan yang kurang baik dari sisi penilaian
OJK, maka OJK akan melakukan pembinaan, apa yang menjadi masalah bank itu
apa, apakah modalnya tidak cukup, sehingga tak bergerak naik, atau bagaimana.
Jadi OJK menentukan indikator-indikator tertentu untuk meyakinkan bahwa bank-
bank tersebut sudah baik (ontrack).

OJK tidak hanya menyempurnakan tapi juga ada beberapa peraturan yang
dulu BI tidak sempat buat itu diperkuat oleh OJK sekarang. Dahulu di Bank
Indonesia belum mengenal yang namanya Tata Kelola BPR (Good Corporate
Government), bagaimana BPR mengelola usahanya dengan prinsip kewajaran dan
prinsip Tata Kelola yang baik, dan sekarang OJK membuat peraturan mengenai
Tata Kelola (Good Corporate Government). Jadi OJK dalam melakukan
pengawasan membuat peraturan-peraturan yang sebagai landasan operasional
bank.

Sistem pengawasan yang digunakan OJK, Berdasarkan hasil wawancara


penulis dengan petugas bagian Informasi dan Dokumentasi kantor regional 2 Jawa
Barat; OJK masih menggunakan sistem pengawasan dari BI, namun saat-saat ini
OJK sedang mengembangkan kebijakan/peraturan OJK terkait pengawasan bank,
istilahnya kita perbaharui. Dalam kaitannya juga dalam konglomerasi pengawasan
teritegrasi, karena dalam hal ini OJK tak hanya bank yang diawasi, tapi bank dan
juga konglomerasinya. Namun untuk saat ini sistem yang digunakan OJK masih
sistem BI. Untuk sistem aplikasinya, peraturan-peraturannya masih banyak
menggunakan peraturan BI sebelum nanti dilakukan perubahan oleh peraturan
OJK. Tapi apabila peraturan BI itu masih bagus cocok untuk saat ini maka OJK
tak akan melakukan perubahan.

IMPLEMENTASI PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN


DALAM PERBANKAN

Dalam hal pengawasan perbankan OJK selaku sebagai lembaga


pengawasan jasa keuangan memberikan kebijakan sektor jasa keuangan.
Penguatan struktur dan peningkatan peran sector jasa keuangan tidak dapat
dilakukan secara parsial. Dalam rangka itu, OJK tengah menyusun suatu cetak
biru pengembangan sektor jasa keuangan yang akan diarahkan untuk mencapai 3
(tiga) sasaran utama, yakni :

1. Mengoptimalkan peran sektor jasa keuangan dalam mendukung


peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional;
2. Menjaga stabilitas system keuangan sebagai landasan bagi pembangunan
yang berkelanjutan; serta
3. Mewujudkan kemandirian finansial masyarakat serta mendukung upaya
peningkatan pemerataan dalam pembangunan.

Ketiga sasaran tersebut akan dicapai dengan menekankan pada 4 (empat)


strategi pengembangan, yaitu :
1. Penguatan aspek pengaturan dan pengawasan secara menyeluruh dengan
penekanan pada pendekatan berbasis resiko dan peningkatan kapasitas
kelembagaan dan daya saing industry untuk menunjang stabilitas sistem
keuangan.
2. Penguatan dan pengembangan pasar dan industri jasa keuangan dalam
rangka pendalaman pasar dan perluasan akses antara produk dan jasa
layanan keuangan melalui perluasan jalur distribusi dan sinergi antar
sektor di industry jasa keuangan.
3. Pengembangan ekosistem yang lebih optimal dalam mendukung
pembiayaan sektor ekonomi strategis serta pengembangan kualitas, efisien,
dan daya tarik pasar keuangan syariah.
4. Penguatan tingkat literasi masyarakat dan penyempurnaan infrastruktur
pendukung bagi perlindungan konsumen, transparansi, dan tata kelola
yang lebih baik.

Pengawasan yang dilakukan oleh OJK pun melalui pendekatan


pengawasan langsung dan tidak langsung. Pengawasan tidak Langsung, dilakukan
dikantor tidak langsung masuk ke bank, seperti proses perizinan yang dilakukan di
kantor dengan pembuatan surat, meminta pembukaan cabang segala macam.
Sementara, Pengawasan Langsung, dilakukan langsung ke bank untuk
memastikan kebenaran bank-bank tersebut memberikan laporan kepada
pengawas, karena bank-bank tersebut memberi laporan kepada pengawas sebagai
bahan supervise pengawas, bahan pengawasan tidak langsung seperti laporan
tahunan, rencana kerja, bisnis bank. Misalkan rencana kerja bisnis bank di tahun
2015, asset bank tumbuh 20%, kredit 15%, kalau inngin tumbuh bank harus
membuat rencana kerja, dan ada realisasinya.

Bank wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan dengan menggunakan


pendekatan risiko (Risk-based Bank Rating) baik secara individual maupun secara
konsolidasi. Bank wajib melakukan penilaian sendiri (self assessment) atas TKS
bank paling kurang setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember.
Bank wajib melakukan pengkinian self assesment TKS bank sewaktu-waktu
apabila diperlukan. Faktor-faktor penilaian TKS bank meliputi:
1. Profil risiko (risk profile)
2. Good Corporate Governance (GCG);
3. Rentabilitas (earnings); dan
4. Permodalan (capital).

Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank


Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang perbankan antara lain:

1. Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum Bank Kebutuhan modal


minimum bank pada dasarnya adalah micro prudensial. Tapi karena ini
menyangkut dengan pengaturan Basel Core Principles dan Bank Indonesia
merupakan anggota BIS (Bank for International Settlement), maka
Kebutuhan modal minimum bank ini satu bagian mikro yang harus tetap
berkoordinasi antara Bank Indonesia dengan OJK.
2. Produk Perbankan, Transaksi Derivatif, Kegiatan Usaha Bank Lainnya
Produk perbankan pada umumnya adalah berbagai macam bentuk
simpanan di bank, pemberian kredit, pemberian jasa pembayaran dan
peredaran uang serta bentuk jasa produk perbankan lainnya. Transasksi
derifative yang merupakan suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang
nilainya merupakan turunan dari instrument yang mendasari seperti suku
bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti, dan indeks. Kegiatan usaha bank
lainnya antara lain adalah kartu kredit, kartu debit, dan internet banking.
Sebagai otoritas pengawas perbankan, OJK tetap berkoordinasi dengan
Bank Indonesia dalam membuat regulasi tentang produk perbankan,
transaksi derivatif, dan kegiatan usaha bank lainnya.
3. Penentuan Institusi Bank yang Masuk Kategori Systemically Important
Bank Systemically Important Bank adalah suatu bank yang karena ukuran
aset, modal, dan kewajiban, luas jaringan, atau kompleksitas transaksi atas
jasa perbankan serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat
mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank-bank lain atau
sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial, apabila
bank tersebut mengalami gangguan atau gagal.
Dalam melakukan pengawasan makroprudensial OJK dapat berkoordinasi
dengan Bank Indonesia, untuk memberikan himbauan moral kepada bank. Namun
OJK tidak melakukan pengawasan macroprudential, karena OJK tidak berwenang
dalam pengawasan makroprudensial, akan tetapi OJK hanya membantu
melakukan pengawasan makroprudensial. OJK membantu bukan dalam membuat
ketentuan tetapi menghimbau kepada bank. OJK memberikan himbauan terhadap
bank berdasarkan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), yang
beranggota, Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua DK OJK, dan Ketua DK
LPS.98 OJK dalam hal membantu BI melaksanakan pengawasan makroprudensial
dengan memberikan himbauan moral, dari berbagai aspek yang terkait dengan
stabilitas sistem keuangan. Tak hanya dari dana pihak ketiga tapi juga dari sisi
penyaluran kredit

PENUTUP

Fungsi pengaturan dan pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia


dengan hadirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara yuridis tetaplah ada.
Hal ini dikarenakan, Pengawasan macroprudentialtetap saja menjadi kewenagnan
Bank Indonesia. Sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 7 Undang-Undang
OJK tentang tugas dan wewenang Bank Indonesia meliputi lingkup pengaturan
dan pengawasan macroprudential, yakni pengaturan dan pengawasan selain hal
yang diatur dalam pasal ini, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia.
Dalam rangka pengaturan dan pengawasan macroprudential, OJK membantu
Bank Indonesia untuk melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada
Perbankan.

Secara yuridis, fungsi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah


penyelengaraan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap
keseluruhan kegiatan di sector keuangan termasuk pada sektor perbankan. Oleh
karena itu maka, keseluruhan kegiatan jasa keuangan yang dilakukan oleh
Lembaga-lembaga keuangan termasuk perbankan harus tunduk padasistem
pengaturan dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini sebagaimana di
tegaskan dalam Pasal 6 Undang-Undang tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan menyebutkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan adalah melaksanakan
tugas pengaturan dan pengawasan salah satunya adalah kegiatan jasa keuangan
di sektor perbankan.

DAFTAR RUJUKAN

Marulak Pardede, (2009), Aspek Hukum Pemisahan Pembinaan Dan


Pengawasan Perbankan, JAKARTA: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum Dan HAM –RI.

Permadi Gandapradja, (2004), Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank, Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.

Lina Maulidiana, Fungsi Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Lembaga Pengawas


Perbankan Nasional Di Indonesia, Jurnal KEADILAN PROGRESIF Volume
5 Nomor 1 Maret 2014

M Jeffri Arlinandes Chandra, 2015, Kewenangan Bank Indonesia Dalam


Pengaturan Dan Pengawasan Perbankan Setelah Terbitnya Undang-Undang
No 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Jurnal Hukum Sehasen
Vol.1 No.1 Tahun 2015.

Sihombing, Jonker, (2012), Otoritas Jasa Keuangan : Konsep,Regulasi dan


Implementasi, Jakarta:Ref Publisher.

You might also like