You are on page 1of 170

DETERMINAN TERJADINYA RISIKO GANGGUAN OTOT

RANGKA/MUSCULOSKELETAL DISORDERS (MSDs)


PADA PEGAWAI LAB. KLINIK PRAMITA
CAB. MEDAN TAHUN 2016

TESIS

Oleh

ISMED ROCHAIDI
147032109/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DETERMINAN TERJADINYA RISIKO GANGGUAN OTOT
RANGKA/MUSCULOSKELETAL DISORDERS (MSDs)
PADA PEGAWAI LAB. KLINIK PRAMITA
CAB. MEDAN TAHUN 2016

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes)
dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Kesehatan Kerja
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara

Oleh

ISMED ROCHAIDI
147032109/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Judul Tesis : DETERMINAN TERJADINYA RISIKO
GANGGUAN OTOT RANGKA /
MUSCULOSKELETAL DISORDERS
(MSDs) PADA PEGAWAI
LABORATORIUM KLINIK PRAMITA
CAB. MEDAN TAHUN 2016
Nama Mahasiswa : Ismed Rochaidi
Nomor Induk Mahasiswa : 147032109
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Kesehatan Kerja

Menyetujui
Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes) (Ir. Kalsum, M.Kes)


Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si)

Tanggal lulus :12 Agustus 2016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Telah diuji
Pada Tanggal : 12 Agustus 2016

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes


ANGGOTA : 1. Ir. Kalsum, M.Kes
2. dr. Mhd. Makmur Sinaga, M.S
3. Dr. dr. Taufik Ashar, M.K.M

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PERNYATAAN

DETERMINAN TERJADINYA RISIKO GANGGUAN OTOT


RANGKA/MUSCULOSKELETAL DISORDERS (MSDs)
PADA PEGAWAI LAB. KLINIK PRAMITA
CAB. MEDAN TAHUN 2016

TESIS

Dengan ini Saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan Saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2016


Peneliti

Ismed Rochaidi
147032109/IKM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ABSTRAK

Pegawai yang bekerja di laboratorium mempunyai risiko pekerjaan berupa


gangguan otot rangka/MSDs. Hal ini disebabkan pekerjaan di laboratorium cenderung
dilakukan berulang dengan posisi yang statis. Penelitian ini ditujukan untuk
menganalisis pengaruh karakteristik individu pegawai dan postur kerja terhadap
risiko gangguan otot rangka/MSDs.
Metode penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan sampel
sebanyak 30 orang pegawai yang bekerja di Laboratorium Klinik Pramita Cabang
Medan pada bulan Februari sampai dengan Juni 2016.
Analisis hubungan signifikan antara faktor jenis kelamin dan postur kerja
responden terhadap risiko gangguan MSDs telah diuji menggunakan uji Chi Square
yang menunjukkan bahwa nilai probilitan(p) jenis kelamin adalah 0,026 dan nilai
probilitan(p) untuk postur kerja adalah 0,005. Uji Regresi Logistik Berganda
dilakukan untuk mencari determinan yang paling dominan terhadap kedua variabel
diatas yang menghasilkan kesimpulan bahwa Postur kerja merupakan faktor yang
paling dominan terhadap risiko gangguan otot rangka dengan nilai p=0,011 dan odds
ratio sebesar 25,389. Gangguan otot rangka/MSDs yang dirasakan pegawai adalah
pada bagian pinggang 83,3%, punggung dan tengkuk 76,7%, bahu kanan 73,3%,
leher atas 70%, betis 66,7%, bokong 63,3%, pinggul dan lengan 50% serta
pergelangan tangan kanan 46,7%.
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa postur kerja merupakan
faktor yang paling berpengaruh terhadap gangguan MSDs. Disarankan kepada
pegawai agar dapat bekerja dengan postur yang lebih ergonomi dan diperlukan
perbaikan fasilitas kerja untuk mengurangi gangguan otot rangka/MSDs.

Kata Kunci: Karakteristik Individu, Postur Kerja, MSDs

i
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRACT

Employees who work in laboratory have the risk for musculoskeletal


disorders/MSDs because work in laboratory tends to be done repeatedly with a static
position. The objective of the research was to analyze the influence of employees’
Individual characteristics and work posture on the risk for getting musculoskeletal
disorders/MSDs.
The research used cross sectional design. The samples were 30 employees
who worked at the Clinical Laboratory Pramita, Medan Branch, in the period of
February-June, 2016.
The analysis of significant correlation of the factors of respondents’ sex and
work posture with the risk for MSDs which had been tested by using chi square test
showed that p-value for sex was 0.026 < α (0.05) and p-value for work posture was
0.005 < α (0.05). The Binari Logistic Regression analysis test done to find the
determinant of the most dominant of the two above variables that lead to the
conclusion that the working posture is the most dominant factor to the risk of
musculoskeletal disorders with p-value = 0,011 and odds ratio of 25.389. MSDs
disorders felt by the respondents were in their waists (83.3%), backs and cervixes
(76.7%), right shoulders (73.3%), upper necks (70%), calves (66.7%), buttocks
(63.3%), hips and arms (50%), and right wrists (46.7%).
The conclusion of the research was that work posture was the most
influencing factor on MSDs disorders. It is recommended that the employees do their
job with more ergonomic posture and needed repair work facilities in order to
decrease MSDs disorders.

Keywords: Individual Characteristics, Work Posture, MSDs.

ii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat

dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Determinan

Terjadinya Risiko Gangguan Otot Rangka/Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada

Pegawai Lab. Klinik Pramita Cab. Medan Tahun 2016”. Tesis ini disusun sebagai

salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Magister di Program Studi Ilmu

Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari begitu banyak yang memberi dukungan, bimbingan,

informasi, bantuan moril maupun materi dan kemudahan dari berbagai pihak,

sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera

Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Dekan dan Ketua Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara.

3. Prof. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2

Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara.

iii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4. Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes dan Ir. Kalsum, M.Kes selaku pembimbing yang

telah memberi perhatian, dukungan dan pengarahan kepada penulis dalam

melakukan penelitian hingga selesainya penyusunan tesis ini.

5. dr. Mhd. Makmur Sinaga, M.S dan Dr. dr. Taufik Ashar, M.Kes, selaku penguji

yang telah memberikan masukan sehingga dapat menyempurnakan tesis ini.

6. Seluruh staf dosen Kesehatan Kerja dan staf pegawai di Program Studi S2

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberi ilmu dan

bantuannya kepada penulis.

7. Presiden Direktur PT. Pramita, H. Sarno Eryanto, S.H, M.H dan Direktur Umum-

SDM, dr. H. Drajat Nedrosuwito, M.Si yang telah memberi ijin kepada penulis

untuk melakukan penelitian di Lab. Klinik Pramita Cab. Medan.

8. Staf dan pegawai Lab. Klinik Pramita Cab. Medan yang telah bersedia menjadi

responden dalam penelitian ini.

9. Sdr. Pipit Wahyuningsih dari Balai K3 Sumatera Utara yang telah melakukan

pemeriksaan dan pengukuran responden dalam penelitian ini.

10. Teristimewa untuk orang tua tercinta, Ibunda Rd. Entin Kartini yang telah

memberikan dorongan moril dan do’a selama penulis menuntut ilmu di

Universitas Sumatera Utara.

11. Drs. H. Sukiman, M.MPd (Bapak Mertua) dan Ibu Hj. Kurniasih, SST (Ibu

Mertua) atas do’a nya sehingga penulis bisa menyelesaikan tesis ini.

iv
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12. Untuk istri tercinta, Hj. Dwi Sophia Anggiani, S.K.M yang telah memberikan

dorongan moril dan tenaga guna membantu dalam penyelesaian tesis ini dan

kepada anakku, M. Rafizzan Akbar yang memberikan semangat kepada penulis.

13. Teman-teman S2 FKM USU khususnya minat studi Kesehatan Kerja (Doni, Jony,

Vendra, dr. Arlina, dr. Shanti, dr. Sylvia, Widya Putri, Putri, Nova, Rini,

Ismuhadi) yang telah memberikan semangat dan bantuan selama penyusunan tesis

ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, untuk itu

diharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan tesis ini. Akhir kata penulis

mengucapkan terima kasih, semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2016


Penulis

Ismed Rochaidi
147032109/IKM

v
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RIWAYAT HIDUP

Nama penulis Ismed Rochaidi, lahir di Bandung tanggal 12 Mei 1971, jenis

kelamin laki-laki beragama Islam, anak ketiga dari enam bersaudara, dari pasangan

Abdul Madjid Jasansyah dan Rd. Entin Kartini, pada saat ini sudah menikah. Penulis

bertempat tinggal di Komp. Bumi Asri Blok G No 98 Medan.

Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar di SDN. Sarijadi Selatan

Bandung pada tahun 1984. Menamatkan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 26

Bandung tahun 1987 dan menamatkan Sekolah Menengah Atas di SMAN 15

Bandung tahun 1990. Penulis menamatkan pendidikan D3 di Akademi Analis

Kesehatan Bandung tahun 1993, menamatkan pendidikan S1 di STIE YASMI

Cirebon tahun 2002.

Riwayat pekerjaan, mulai bekerja di Lab. Klinik Pramita Cab. Bandung pada

tahun 1993, pada tahun 1999-2000 menjabat sebagai wakil kepala cabang Lab. Klinik

Pramita Cab. Bandung. Pada tahun 2000- 2005 menjadi Kepala Cabang di Lab.

Pramita Cab. Cirebon dan pada tahun 2005 sampai dengan sekarang menjabat sebagai

Kepala Cabang Lab. Pramita Cab. Medan.

vi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL........................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1


1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 7
1.4 Hipotesis .................................................................................... 7
1.5 Manfaat Penelitian ..................................................................... 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 9


2.1 Ergonomi .................................................................................. 9
2.1.1 Definisi Ergonomi ........................................................... 9
2.1.2 Tujuan Ergonomi ............................................................. 9
2.1.3 Aktivitas di Tempat Kerja ............................................... 10
2.2 Musculoskeletal Disorders (MSDs) ......................................... 13
2.2.1 Definisi Musculoskeletal Disorders (MSDs) .................. 13
2.2.2 Langkah Mengatasi Keluhan Otot Rangka ...................... 23
2.2.3 Metode Penilaian Keluhan Otot Rangka ......................... 24
2.2.3.1 Metode REBA...................................................... 24
2.2.3.2 Metode RULA ..................................................... 32
2.2.3.3 Metode NORDIC BODY MAP ............................ 40
2.3 Landasan Teori.......................................................................... 43
2.4 Kerangka Konsep ..................................................................... 45

BAB 3. METODE PENELITIAN ................................................................ 46


3.1 Jenis Penelitian ......................................................................... 46
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... 46
3.3 Populasi dan Sampel................................................................. 46
3.4 Metode Pengumpulan Data ...................................................... 47
3.5 Definisi Operasional ................................................................. 47
3.6 Metode Pengukuran .................................................................. 49
3.6.1 Metode REBA.................................................... .............. 50

vii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.6.2 Metode RULA................. ................................................. 51
3.6.3 Metode NBM......................................... .......................... 51
3.7 Metode Analisis Data ............................................................... 54
3.7.1 Teknik Pengolahan Data ................................................. 54
3.7.2 Analisa Data .................................................................... 54

BAB 4. HASIL PENELITIAN ..................................................................... 56


4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ...................................................... 56
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian ........................................................ 58
4.2.1 Karakteristik Individu . .................................................... 58
4.2.2 Risiko Gangguan MSDs ...... ........................................... 64
4.2.3 Hubungan Variabel Independen dengan Risiko
Gangguan MSDs ... ......................................................... 66
4.2.4 Faktor Dominan Gangguan MSDs .................................. 68

BAB 5. PEMBAHASAN ............................................................................... 71


5.1 Karakteristik Individu ............................................................... 71
5.2 Risiko Gangguan Otot Rangka/MSDs ...................................... 89

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 92


6.1 Kesimpulan ............................................................................... 92
6.2 Saran ......................................................................................... 92

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 94

LAMPIRAN .................................................................................................. 97

viii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1 Posisi Badan dan Skoring ....................................................................... 28

2.2 Posisi Leher dan Skoring ........................................................................ 29

2.3 Posisi Kaki dan Skoring ......................................................................... 29

2.4 Posisi Lengan dan Skoring ..................................................................... 30

2.5 Posisi, Kisaran Sudut Lengan Bawah dan Skoring ................................ 30

2.6 Posisi, Kisaran Sudut Pergelangan Tangan dan Skoring ........................ 31

2.7 Skor untuk Pembebanan/Force .............................................................. 31

2.8 Skoring untuk Jenis Pegangan Kontainer ............................................... 31

2.9 Skoring untuk Jenis Aktifitas Otot ......................................................... 32

2.10 Standar Kinerja Berdasarkan Skor Akhir ............................................... 32

2.11 Skoring pada Lengan .............................................................................. 34

2.12 Skor Lengan Atas dan Peningkatan dan atau Penurunan Skor ............... 34

2.13 Sudut Lengan Bawah dan Skoring ......................................................... 34

2.14 Peningkatan Skor Lengan Bawah ........................................................... 35

2.15 Skoring Pergelangan Tangan .................................................................. 35

2.16 Deviasi Pergelangan Tangan dan Peningkatan Skor .............................. 35

2.17 Posisi Pergelangan Tangan Memuntir dan Skoring................................ 36

2.18 Kisaran Sudut pada Leher dan Skoring .................................................. 36

2.19 Posisi yang Menambah Skor Postur Leher ............................................. 36

ix
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.20 Kisaran Sudut pada Badan dan Skoring ................................................. 37

2.21 Posisi yang dapat Memodifikasi Skor Postur pada Badan ..................... 37

2.22 Skoring untuk Posisi Kaki ...................................................................... 37

2.23 Pemberian Skor Berdasarkan Penggunaan Otot, Pembebanan dan


Pengerahan Tenaga ................................................................................. 39

2.24 Perhitungan Grand Skor Berdasarkan Kombinasi Skor C dan D ........... 39

2.25 Tingkat Aksi yang Diperlukan Berdasarkan Grand Skor ....................... 40

2.26 Klasifikasi Subjektivitas Tingkat Risiko Otot Rangka Berdasarkan


Total Skor Individu ................................................................................. 42

4.1 Karakteristik Individu Responden Lab. Klinik Pramita Cab. Medan Tahun
2016.............. .......................................................................................... 58

4.2 Hasil Pengukuran Sudut Postur Kerja (RULA) Responden Lab. Kinik Pramita
Cab. Medan Tahun 2016 ........................................................................ 60

4.3 Hasil Pengukuran Sudut Postur Kerja (REBA) Responden Lab. Kinik Pramita
Cab. Medan Tahun 2016 ........................................................................ 60

4.4 Skor RULA Responden Lab. Kinik Pramita Cab. Medan Tahun 2016 .. 61

4.5 Skor REBA Responden Lab. Kinik Pramita Cab. Medan Tahun 2016... 62

4.6 Rekapitulasi Pengukuran Postur Tubuh Responden Lab. Klinik Pramita Cab.
Medan Tahun 2016 ................................................................................. 62

4.7 Rekapitulasi Skor Nordic Body Map Responden Lab. Klinik Pramita Cab.
Medan Tahun 2016 ................................................................................. 64

4.8 Distribusi Risiko Gangguan MSDs Responden Lab. Klinik Pramita Cab.
Medan Tahun 2016 ................................................................................. 65

4.9 10 (Sepuluh) Gangguan MSDs Tertinggi Responden ............................ 65

4.10 Hubungan variabel Independen dengan Gangguan MSDs Responden Lab.


Klinik Pramita Cab. Medan Tahun 2016 ................................................ 66

x
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.11 Hasil Seleksi Kandidat dengan Uji Regresi Logistik Berganda Determinan
Risiko Gangguan Responden Lab. Klinik Pramita
Cab. Medan Tahun 2016 ........................................................................ 68

4.12 Hasil Uji Regresi Logistik Berganda Tahap Pertama Determinan Risiko
Gangguan Responden Lab. Klinik Pramita Cab. Medan Tahun 2016 ... 69

4.13 Hasil Uji Regresi Logistik Berganda Tahap Kedua: Variabel Umur dikeluarkan
dari Model............................................................................................... 69

4.14 Hasil Uji Regresi Logistik Berganda Tahap Ketiga: Variabel Jenis Kelamin
dikeluarkan dari Model ........................................................................... 70

4.15 Model Akhir Analisis Multivariat Determinan Risiko Gangguan Responden


Lab. Klinik Pramita Cab. Medan Tahun 2016 ........................................ 70

xi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1 Kerangka Konsep Penelitian................................................................... 45

4.1 Alur Proses Pelayanan di Laboratorium Klinik Pramita ........................ 57

xii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Surat Ijin Penelitian ................................................................................ 97

2. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ...................................... 98

3. Pengantar Kuesioner ............................................................................... 99

4. Kuesioner ................................................................................................ 100

5. Kuesioner Nordic Body Map .................................................................. 101

6. Hasil Kuesioner Nordic Body Map ......................................................... 102

7. Rekapitulasi Gangguan MSDs ................................................................ 103

8. Penilaian Gangguan MSDs Metode RULA ............................................. 104

9. Penilaian Gangguan MSDs Metode REBA ............................................. 106

10. Hasil Observasi Pengukuran Posisi Kerja Menggunakan RULA ........... 109

11. Hasil Observasi Pengukuran Posisi Kerja Menggunakan REBA............ 115

12. Output Hasil Penelitian ........................................................................... 120

xiii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan industri kesehatan di Indonesia sangatlah pesat. Hal ini seiring

dengan laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat. Data dari Ikatan

Laboratorium Kesehatan Indonesia (ILKI) menyebutkan bahwa pada tahun 2014 terdapat

897 Laboratorium Rumah Sakit swasta dan Laboratorium Kesehatan swasta tersebar di 33

Propinsi di Indonesia (ILKI, 2015). Keberadaan fasilitas laboratorium kesehatan di atas

tentunya telah menyerap banyak tenaga kerja. Selain tenaga kerja berupa ahli tenaga

laboratorium medik, juga terdapat tenaga kerja lain di dalamnya seperti dokter, perawat,

radiographer, administrasi, keuangan, marketing, keamanan dan bagian umum (office

boy).

Setiap tenaga kerja di fasilitas laboratorium kesehatan berupaya untuk

menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dalam menjalankan tugas-

tugasnya agar terhindar dari kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja. Amanat

dari Undang-undang No: 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, yaitu: tenaga

kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan dalam melakukan

pekerjaan dan setiap orang lain yang berada di tempat kerja perlu terjamin pula

keselamatannya perlu dilaksanakan. Hak atas jaminan keselamatan ini

membutuhkan prasyarat adanya lingkungan kerja yang sehat dan aman bagi

tenaga kerja dan masyarakat disekitarnya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2

Keselamatan dan kesehatan tenaga kerja ditegaskan juga melalui

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No: PER.03/Men/1982 tentang

Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja yang menyatakan bahwa pelayanan kesehatan

adalah usaha kesehatan yang dilaksanakan dengan tujuan melindungi tenaga kerja

terhadap setiap gangguan kesehatan yang timbul dari pekerjaan dan lingkungan

kerja. Namun demikian, berbagai persoalan keselamatan dan kesehatan kerja

(K3) masih timbul pada tenaga kerja sehubungan dengan pekerjaannya. Salah satu

penyakit akibat kerja yang dapat muncul sewaktu-waktu adalah gangguan sistem

otot rangka/Musculoskeletal Disorders (MSDs).

MSDs menjadi masalah kesehatan pada para pekerja dan meningkat jumlah

kasusnya secara global. Berdasarkan laporan dari The Bureau of Labour Statistics (BLS)

Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat yang dipublikasikan pada 19 Nopember

2015, bahwa pada tahun 2014 terdapat 365.580 kasus Musculoskeletal Disorders (MSDs).

Insiden Rate untuk kasus MSDs adalah 33,8 kasus per 10.000 pekerja penuh waktu pada

tahun 2014, turun dari 35,8 pada tahun 2013. Pada tahun 2014 pekerja yang menderita

MSDs memerlukan waktu rata-rata 13 hari untuk memulihkan diri sebelum kembali

bekerja, naik bila dibandingkan pada tahun 2013 yang hanya membutuhkan waktu 11 hari

untuk pemulihan (BLS, 2015). Besarnya biaya kompensasi yang harus dikeluarkan oleh

perusahaan secara pasti belum diketahui. Namun demikian, hasil estimasi yang

dipublikasikan oleh NIOSH (1996) menunjukan bahwa biaya kompensasi untuk

gangguan sistem otot rangka sudah mencapai 13 milyar US$ setiap tahunnya (Bernard,

1997). Biaya tersebut merupakan yang terbesar bila dibandingkan dengan biaya

kompensasi untuk gangguan/sakit akibat kerja lainnya. Sementara itu National Safety

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3

Council melaporkan bahwa sakit akibat kerja yang frekuensi kejadiannya paling tinggi

adalah sakit punggung, yaitu 22% dari 1.700.000 kasus (Tarwaka, 2015).

Terry (2004) mengemukakan bahwa seorang ahli cytogenetics di Departement of

Medical Genetics at Henry Ford Hospital, Detroit, MI yang telah bekerja dengan

mikroskop selama 25 tahun mengalami gangguan Musculoskeletal Disorders (MSDs)

berupa rasa sakit di bahu sebelah kanan dan akhirnya didiagnosis sebagai impingement

syndrome yang mempengaruhi tendon dan otot pemutar. Bekerja dengan menggunakan

mikroskop tidak akan menyebabkan cedera, tetapi postur tubuh yang statis dan

pengulangan pergerakan dapat menyebabkan terjadinya MSDs.

Maulik (2012) menyatakan bahwa Medical Laboratory Technicians (ahli

teknologi laboratorium medik) adalah sekelompok profesional yang mempunyai risiko

pekerjaan berupa gejala gangguan otot rangka. Penelitian dilakukan terhadap 49 orang

medical laboratory technicians yang bekerja di Departement of Laboratory Medicine in

Mumbai Hospital dan menemukan adanya gangguan MSDs pada pekerja tersebut. Hasil

penelitian memperlihatkan bahwa bagian dari tubuh yang paling sering mengalami

gangguan MSDs adalah punggung bagian bawah (30,61%), punggung bagian atas dan

lutut (20,4%) dan leher (18,36%). Intervensi ergonomik direkomendasikan untuk

mengurangi risiko terjadinya MSDs pada Medical Laboratory Technician (Sherya, 2012).

Agrawal (2014) dalam penelitiannya terhadap 250 orang profesional

laboratorium/Laboratory Professionals (Lab technicians, Pathologists, Microbiologists,

biochemistry technologists) di distrik Karnataka, India menemukan fakta bahwa

prevalensi gejala MSDs pada profesional laboratorium tersebut adalah sebesar 21,2% .

Leher dan punggung bagian bawah adalah bagian tubuh yang paling terpengaruh

merasakan sakit dan tidak nyaman dengan prevalensi masing-masing 8% dan 6,8%.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4

Profesional laboratorium mempunyai risiko tinggi terkena MSDs yang berkaitan dengan

akumulasi trauma (Agrawal, 2014).

Arora (2015) melakukan penelitian terhadap 100 orang Pathology Laboratory

Technicians memberikan kesimpulan bahwa masalah gangguan MSDs sangat erat

hubunganya dengan faktor ergonomik di tempat kerja yang tidak baik. Gangguan yang

paling utama dalam pekerjaan terkait dengan MSDs adalah rasa sakit (87%), kelelahan

(41%) dan kekakuan (40%). Paling sering dijumpai adalah nyeri pinggang (53%), leher

(39%), pergelangan tangan (21%), bahu (21%), tumit (14%) dan lutut (10%).

Berdasarkan metode Rapid Upper Limb Assesment score, sebagian besar subyek

penelitan mengalami risiko ergonomik faktor seperti postur kerja yang canggung,

frekuensi kerja yang tinggi dan lama serta kerja otot yang statis (Arora, 2015).

Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Pelayanan Medik Depkes RI (2006–

2008) mengenai kejadian penyakit akibat kerja di rumah sakit pada tahun 2005, 2006 dan

2007, dari sepuluh penyakit akibat kerja, nyeri punggung bagian bawah menempati

jumlah kasus terbanyak. Hasil survey yang dilakukan oleh Direktorat Bina Kesehatan

pada tahun 2006 di beberapa kabupaten/kota dilaporkan mengenai sepuluh penyakit

akibat kerja menurut pekerjaan formal dan informal diketahui bahwa penyakit otot rangka

menempati presentasi yang paling besar (pekerjaan formal=13,8% dan informal=18,9%).

Hal ini terkait dengan faktor ergonomik seperti posisi yang salah, frekuensi dan lamanya

kerja serta desain dan layout tempat kerja yang tidak sesuai.

Rahadini (2006) melakukan survei kuisioner terhadap karyawan perkantoran di

tujuh kantor perusahaan nasional di Bandung dan Yogyakarta. Responden yang dipilih

adalah mereka yang dominan dengan pekerjaan komputer (duduk). Dari sekitar 200

kuisioner yang kembali, ditemukan tingkat prevalensi gangguan sistem otot rangka

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5

terbesar ada pada bagian leher (68,7%), bagian punggung (62,1%) dan bagian tulang

belakang (60%). Penelitian ini juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara faktor

risiko postur kerja statis, kerja repetitive dan durasi penggunaan komputer dengan

gangguan sistem otot rangka beberapa bagian tubuh (Iridiastadi, 2014). Haryanti (2007)

melakukan survei prevalensi gangguan sistem otot rangka pada pekerja profesi perawat.

Survei dilakukan melalui kuisioner dengan hasil menunjukan adanya gangguan pada

bagian punggung atas (51,3%), bahu kanan (47,4%), punggung bawah (45,6%) dan leher

(44,9%) (Iridiastadi, 2014).

Berdasarkan Permenkes No. 411/Menkes/Per/III/2010, Laboratorium

Klinik Umum didefinisikan sebagai “Laboratorium Klinik Kesehatan yang

melaksanakan pelayanan pemeriksaan spesimen klinik di bidang hematologi,

kimia klinik, mikrobiologi klinik, parasitologi klinik dan imunologi klinik, untuk

mendapatkan informasi kesehatan perorangan, dan terutama untuk menunjang

diagnosa penyakit, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan”. Klasifikasi

dari Laboratorium Klinik Umum terdiri atas Pratama, Madya dan Utama.

Berdasarkan studi pendahuluan dengan menggunakan kuisioner Nordic Body

Map (NBM) terhadap 10 pegawai di Laboratorium Klinik Pramita Cab. Medan,

didapatkan bahwa 100% responden mengalami gangguan Musculoskeletal Disorsers

(MSDs) setelah bekerja menjadi pegawai. Gangguan terbanyak dirasakan pada bagian

pinggang sebanyak 8 orang (80%), diikuti dengan gangguan pada tengkuk dan betis

sebanyak 7 orang (70%), gangguan ketiga terbanyak adalah pada punggung, bahu,

pergelangan kaki dan kaki kanan sebanyak 5 orang (50%), gangguan pada bokong dan

lengan kanan atas 4 orang (40%), lengan kanan bawah, pergelangan tangan, tangan kanan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6

dan lengan atas kiri sebanyak 3 orang (30%), gangguan pada pinggul dan paha sebanyak

2 orang (20%) serta yang paling sedikit dirasakan, yaitu pada lutut dan tangan kiri

sebanyak 1 orang (10%).

Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu dilakukan penelitian tentang

faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya risiko gangguan otot rangka/Musculoskeletal

Disorders (MSDs) pada pegawai Laboratorium Klinik Pramita Cab. Medan yang bekerja

di bagian customer service, pengambilan bahan pemeriksaan, pengolahan bahan

pemeriksaan, proses pemeriksaan di laboratorium dan administrasi laboratorium.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


7

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang

akan diteliti adalah apa saja yang menjadi Determinan Terjadinya Risiko Gangguan Otot

Rangka/Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada Pegawai yang bekerja di Laboratorium

Klinik Pramita Cab. Medan?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitan adalah untuk menganalisis pengaruh karakteristik

individu dan postur kerja terhadap terjadinya risiko gangguan otot

rangka/Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada pegawai yang bekerja di Laboratorium

Klinik Pramita Cab. Medan.

1.4 Hipotesis

Ada pengaruh signifikan faktor karakteristik pegawai dan postur kerja

terhadap risiko terjadinya gangguan otot rangka/Musculoskeletal Disorders

(MSDs) pada pegawai yang bekerja di Laboratorium Klinik Pramita Cab.Medan.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Untuk Pegawai Laboratorium Klinik Pramita

Sebagai informasi tentang adanya determinan terjadinya risiko gangguan otot

rangka/MSDs pada pegawai yang bekerja di laboratorium klinik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


8

1.5.2 Untuk Manajemen Laboratorium Klinik Pramita

Sebagai acuan bagi manajemen dalam upaya meningkatkan kesehatan

pegawainya sehingga diharapkan dengan pegawai yang sehat, maka

produktifitas akan meningkat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


9

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ergonomi

2.1.1 Definisi Ergonomi

Istilah ergonomi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata,

yaitu Ergon berarti kerja dan Nomos berarti aturan atau hukum. Jadi secara

ringkas ergonomi adalah suatu aturan atau norma dalam sistem kerja (Friend dan

Kohn, 2007). Ergonomi berkenaan juga dengan optimalisasi, efisiensi, kesehatan,

keselamatan dan kenyaman manusia di tempat kerja, rumah dan dimana saja

manusia berada (Nurmianto, 2008).

2.1.2 Tujuan Ergonomi

Secara umum tujuan dari penerapan ergonomi (Tarwaka, 2015) adalah:

1. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cedera dan

penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengupayakan

promosi dan kepuasan kerja.

2. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial,

mengelola dan mengkoordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan jaminan

sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif.

3. Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek, yaitu aspek teknis,

ekonomis, antropologis dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan, sehingga

tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


10

2.1.3 Aktivitas di Tempat Kerja

Setiap jenis pekerjaan memiliki karakteristik yang sangat beragam, hal ini

terkait dengan hasil yang diharapkan dan faktor-faktor penunjang seperti peralatan

yang dipersiapkan. Untuk jenis pekerjaan statis, terdapat 2 (dua) aktivitas di

tempat kerja (Wowo, 2014) yaitu:

1. Kerja duduk

Beberapa jenis pekerjaan harus dilakukan oleh pekerja dengan posisi duduk.

Menurut pendapat Grandjean (1993) yang dikutip oleh Wowo (2014), pelayanan

pekerjaan dengan posisi duduk memiliki keuntungan antara lain pembebanan pada kaki,

penggunaan energi sehingga keperluan untuk sirkulasi darah dapat dikurangi,

dibandingkan dengan bekerja pada posisi berdiri. Ditinjau dari aspek kesehatan, bekerja

pada posisi duduk yang memerlukan waktu lama dapat menimbulkan otot perut semakin

elastis, tulang belakang melengkung, otot bagian mata terkonsentrasi sehingga cepat

merasa lelah. Kejadian tersebut, jika tidak diimbangi dengan rancangan tempat duduk

yang tidak memberikan keleluasaan gerak atau alih pandang yang memadai tidak

menutup kemungkinan terjadinya gangguan bagian punggung belakang, ginjal dan mata.

Posisi duduk pada otot rangka (musculoskeletal) dan tulang belakang terutama pada

pinggang harus dapat ditahan oleh sandaran kursi agar terhindar dari nyeri dan cepat

lelah. Pada posisi duduk, tekanan tulang belakang akan meningkat dibanding berdiri atau

berbaring (Santoso, 2004).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


11

a. Duduk bergantian dengan berdiri dan berjalan

Walaupun posisi kerja duduk lebih menguntungkan daripada berdiri,

posisi duduk dalam waktu relatif lama harus dihindari karena dapat

mempengaruhi kesehatan.

Saat duduk, leher dan punggung mengalami tekanan dalam waktu lama

yang dapat menyebabkan gangguan pada leher dan punggung. Pekerjaan yang

membutuhkan waktu duduk dengan durasi waktu yang lama, sebaiknya harus

diselingi dengan tugas-tugas yang dapat dilakukan dalam posisi berdiri atau

berjalan.

b. Ketinggian kursi dan sandaran kaki harus disesuaikan

Ketinggian kursi harus dipilih sedemikian rupa sehingga kaki didukung

dengan baik, tanpa bagian belakang lutut menjadi sempit. Sandaran harus

memberikan dukungan terutama untuk punggung bagian bawah. Selain itu kursi

harus dapat berputar, hal ini mengurangi kebutuhan untuk memutar tubuh.

c. Hindari jangkauan berlebihan

Upaya membatasi gerak maju dan ke samping untuk menggapai sesuatu,

harus menghindari posisi membungkuk atau memutar. Jangkauan kerja yang

boleh dilakukan adalah dalam radius kira-kira 50 cm.

d. Pilih permukaan kerja miring untuk membaca

Membungkukkan kepala dan leher ke depan dapat dikurangi dengan

menggunakan kemiringan permukaan kerja minimal 45°. Untuk tugas-tugas

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


12

dimana tangan harus digunakan untuk menyentuh layar komputer, maka

permukaan kerja harus ditempatkan pada sudut sekitar 15°.

2. Kerja Berdiri

Berdasarkan pendapat Septiawan (2013) yang mengutip pendapat Pudjianto

(2001), postur kerja berdiri merupakan postur kerja dengan posisi tulang belakang

vertikal dan berat badan tertumpu secara seimbang pada dua kaki. Bekerja dengan posisi

berdiri terus menerus menyebabkan penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada

bagian kaki dan hal ini akan bertambah bila bentuk dan ukuran sepatu yang digunakan

tidak sesuai.

a. Berdiri bergantian dengan duduk dan berjalan

Tugas yang harus dilakukan dalam waktu lama dalam posisi berdiri harus

diselingi dengan tugas-tugas yang dapat dilakukan sambil duduk atau berjalan.

b. Ketinggian meja kerja harus dapat disesuaikan

Ketinggian meja kerja harus dapat disesuaikan untuk berbagai keperluan

dan dapat dipergunakan oleh beberapa orang.

c. Menyediakan cukup ruang untuk kaki

Ruang bebas yang cukup di bawah permukaan kerja harus dijaga untuk

posisi kerja berdiri. Hal ini memungkinkan seseorang untuk menjadi lebih dekat

dengan pekerjaan tanpa harus menekuk kakinya.

d. Hindari jangkauan berlebihan

Upaya membatasi gerak maju dan ke samping untuk menggapai sesuatu,

harus menghindari posisi membungkuk atau memutar. Alat kerja dan benda

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


13

lainnya yang digunakan secara rutin harus ditempatkan langsung di depan dan

dekat tubuh.

e. Hindari melaksanakan tugas di atas bahu

Tangan dan siku harus berada jauh di bawah bahu ketika melaksanakan

tugas. Jika pekerjaan di atas permukaan bahu tidak dapat dihindarkan, maka

durasi kerja harus terbatas dan istirahat teratur harus dilaksanakan.

f. Keuntungan dari posisi kerja berdiri

- Jangkauan lebih besar pada posisi kerja berdiri dibandingkan dengan posisi kerja

duduk.

- Berat badan dapat digunakan untuk mengerahkan kekuatan.

- Pekerja yang berdiri sedikit membutuhkan ruang untuk kakinya.

- Kaki sangat efektif dalam meredam getaran.

- Tekanan piringan pada tulang punggung bagian bawah lebih rendah.

- Kekuatan otot batang tubuh kecuali kepala dan leher dua kali lebih besar ketika berdiri

daripada duduk.

2.2 Musculoskeletal Disorders (MSDs)

2.2.1 Definisi Musculoskeletal Disorders (MSDs)

MSDs adalah kondisi yang mempengaruhi sistem otot rangka dan dapat

terjadi dalam tendon, otot, sendi, pembuluh darah dan/atau saraf tungkai dan

punggung. Gejala mungkin termasuk rasa sakit, ketidaknyamanan, mati rasa dan

kesemutan di daerah yang terkena dan dapat berbeda dalam tingkat keparahan dari

ringan, sedang, kondisi parah, kronis dan melemahkan (HSENI, 2013).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


14

Musculoskeletal Disorders (MSDs) diakui memiliki faktor etiologi kerja

pada awal abad ke-18. Namun, tidak sampai tahun 1970-an menunjukkan faktor

pekerjaan yang diperiksa menggunakan metode epidemiologi dan pekerjaan

keterkaitan kondisi ini mulai muncul teratur dalam literatur ilmiah internasional

(Bernard,1997).

Bureau of Labor Statistic U.S Departement of Labor melaporkan bahwa

Musculoskeletal Disorders (MSDs) menyumbang 32% kasus cedera dan penyakit

akibat kerja pada tahun 2014. Insiden rate MSDs pada tahun 2014 menurun

menjadi 33,8 kasus per 10.000 pekerja penuh waktu bila dibandingkan pada tahun

2013 (35,8 kasus per 10.000). Kasus MSDs memberikan kontribusi 54% dari total

kasus cedera dan penyakit kerja pada profesi asisten perawat pada tahun 2014

(BLS, 2015).

Cedera dan penyakit pada wanita menyumbang 39% dari total kasus tidak

masuk kerja pada tahun 2014. Dibandingkan dengan laki-laki, wanita memiliki

tingkat insiden yang lebih tinggi dan jumlah kasus yang terkait dengan kekerasan

yang disengaja, terjatuh dan oleh karena gerakan berulang. Pada wanita,

kekerasan yang disengaja meningkat pada tahun 2014 sebesar 4,0 kasus per

10.000 pekerja penuh waktu, angka ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun

2013, yakni 3,8 kasus per 10.000 pekerja (BLS, 2015).

Insiden rate pada asisten perawat memiliki tingkat kejadian 372,5 pada

tahun 2014, turun bila dibandingkan pada tahun 2013 (392,8). Cedera dan

penyakit yang dihasilkan dari kelelahan dan reaksi tubuh menyumbang 55% dari

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


15

kasus yang terjadi untuk asisten perawat dan menurun menjadi 21.430 kasus pada

tahun 2014. Tingkat kejadian akibat kelelahan dan reaksi tubuh untuk asisten

perawat adalah 204,6 yaitu lima kali lebih besar (35,6) dibandingkan dengan

semua kejadian yang dialami pekerja (BLS, 2015).

Pada tahun 2014 terdapat 365,580 kasus MSDs pada pekerja. Pekerja yang

terkena MSDs membutuhkan waktu rata-rata 13 hari untuk kembali bekerja pada

tahun 2014, dibandingkan pada tahun 2013 yang rata-rata hanya membutuhkan

waktu 11 hari untuk kembali bekerja (BLS, 2015).

Gangguan pada sistem musculoskeletal adalah gangguan pada bagian-

bagian otot rangka yang dirasakan oleh seseorang mulai dari gangguan sangat

ringan sampai dengan sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara

berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan gangguan berupa

kerusakan pada sendi, ligament dan tendon. Gangguan hingga kerusakan inilah

biasanya diistilahkan dengan gangguan musculoskeletal disorders (MSDs) atau

cedera pada sistem musculoskeletal (Tarwaka, 2015).

Secara garis besar gangguan otot dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Gangguan sementara (reversible), yaitu gangguan otot yang terjadi pada saat otot

menerima beban statis, namun demikian gangguan tersebut akan segera hilang

apabila pemberian beban dihentikan.

2. Gangguan menetap (persistent), yaitu gangguan otot yang bersifat menetap,

walaupun pemberian beban kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih

terus berlanjut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


16

Studi tentang MSDs pada berbagai jenis industri telah banyak dilakukan.

Hasil studi menunjukan bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan adalah otot

rangka yang meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan, jari, punggung, pinggang

dan otot-otot bagian bawah.

Gangguan sistem otot rangka pada umumnya terjadi karena kontraksi otot

berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi

pembebanan yang panjang. Sebaliknya, gangguan otot kemungkinan tidak terjadi

apabila kontraksi otot hanya berkisar antara 15–20% dari kekuatan otot

maksimum. Namun apabila kontraksi otot melebihi 20%, maka peredaran darah

ke otot berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi besarnya tenaga

yang diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat

terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang

meyebabkan timbulnya rasa nyeri otot (Tarwaka, 2015).

Iridiastadi (2014) menyebutkan, antisipasi terhadap kemungkinan risiko

gangguan pada sistem otot rangka di tempat kerja hanya dapat dilakukan dengan

memahami secara baik faktor-faktor penyebabnya. Terdapat 7 faktor risiko utama

gangguan pada sistem otot rangka, sebagai berikut:

1. Tekanan yang disebabkan oleh posisi kerja (postural stress)

Posisi netral (duduk dan berdiri secara normal) merupakan kondisi yang

paling alamiah untuk bekerja dengan usaha otot dan tekanan pada sendi,

tendon dan ligamen yang paling minimum. Namun sayangnya, banyak

pekerjaan yang memaksa pekerjanya dengan posisi bungkuk, jongkok atau

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


17

postur kerja dengan pergelangan tangan menekuk, leher mendongak dan lain-

lain. Postur kerja yang melelahkan inilah yang sering menjadi gangguan

pekerja. Dalam jangka panjang, postur kerja tersebut sangat berisiko

berdampak pada sistem otot rangka.

2. Kerja yang menggunakan kekuatan otot secara berlebihan (forceful exertion)

Kerja otot yang berlebihan akan mengakibatkan penekanan yang berlebihan

pada tendon, ligamen dan sendi. Nyeri atau cedera pada punggung bawah

biasanya diakibatkan oleh kerja angkat dan angkut yang berlebihan.

3. Gerakan yang dilakukan secara berulang (repetitive exertions)

Ketika bergerak, otot dan tendon bekerja dengan memendek dan memanjang.

Peradangan pada tendon dan ligament sangat mungkin terjadi jika gerakan

yang dilakukan berulang secara terus menerus tanpa istirahat yang cukup.

4. Postur kerja menahan sesuatu secara statis (sustained/static exertion)

Kerja otot statis berbeda dan lebih berisiko dibandingkan dengan kerja otot

dinamis. Bentuk kerja otot statis misalnya ketika anggota tubuh kita

menumpu atau menahan sesuatu. Pada saat itu, terjadi kenaikan pada tekanan

internal otot dan mengakibatkan aliran darah dan suplai oksigen terganggu.

Secara sederhana, kekurangan suplai oksigen pada jaringan tubuh berpotensi

mengakibatkan kerusakan apalagi secara berulang dalam jangka panjang.

5. Tekanan kontak mekanis setempat (localized mechanical contact stresses)

Tekanan kontak mekanis setempat secara terus menerus dapat mengakibatkan

peradangan atau pembengkakan pada tendon. Salah satu contoh adalah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


18

pembengkakan pada sendi dan tulang pangkal ibu jari kaki (bintal kaki).

Wanita sering mengalami bintal kaki karena sering menggenakan sepatu

berujung lancip. Contoh lain adalah peradangan pada ruas jari tangan yang

dialami pekerja garmen akibat sering menggunakan gunting yang terlalu

kecil. Faktor ini disebut sebagai tekanan mekanis setempat karena terjadi

hanya pada area atau bagian tertentu anggota tubuh yang mengalami kontak

langsung dengan benda atau alat kerja.

6. Getaran (vibration)

Getaran yang dialami pekerja secara terus menerus dapat berdampak pada

kerusakan jaringan dan organ tubuh. Dampak dari faktor risiko ini ditentukan

oleh frekuensi getaran dan lamanya paparan getaran yang dialami.

7. Suhu dingin (cold temperature)

Suhu dingin yang ekstrem dapat menyebabkan terganggunya aliran darah dan

metabolisme tubuh lainnya.Walaupun kondisi tempat kerja dengan suhu

ekstrem jarang ditemui di Indonesia yang memiliki suhu tropis, faktor risiko

ini tetap perlu diperhatikan bagi mereka yang bekerja di daerah pegunungan

dengan suhu cukup dingin, misalnya pekerja perkebunan dan tambang.

Suatu gangguan pada sistem otot rangka dapat disebabkan oleh satu atau

kombinasi beberapa faktor risiko. Semakin banyak faktor risiko yang melekat pada suatu

pekerjaan, risiko MSDs yang mungkin terjadi juga semakin besar (Iridiastadi, 2014).

Disamping ketujuh faktor penyebab terjadi gangguan sistem otot rangka

tersebut di atas, beberapa ahli menjelaskan bahwa faktor individu seperti umur,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


19

jenis kelamin, kebiasaan merokok, aktifitas fisik, kekuatan fisik dan ukuran tubuh

juga dapat menjadi penyebab terjadinya gangguan otot skeletal (Tarwaka, 2015).

1. Umur

Prevalensi MSDs semakin meningkat seiring dengan lamanya waktu sesorang

bekerja. Menurut Chaffin dan Guo et al(1995) menyatakan bahwa mulai umur

35 tahun kebanyakan orang akan mengalami gangguan pertama berupa sakit

bagian belakang (usia pekerja antara 25 sampai 65 tahun) dan gangguan

tersebut akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur (Bernard,

1997). Hal ini terjadi karena umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan

otot mulai menurun sehingga risiko terjadi gangguan otot meningkat. Sebagai

contoh, Betti’e, et al (1989) telah melakukan studi tentang kekuatan statik

otot untuk pria dan wanita dengan usia antara 20 sampai di atas 60 tahun.

Penelitian difokuskan untuk otot lengan, punggung dan kaki. Hasil penelitian

menunjukan bahwa kekuatan otot maksimal terjadi pada saat umur antara 20-

29 tahun, selanjutnya terus terjadi penurunan sejalan dengan bertambahnya

umur. Pada saat umur mencapai 60 tahun, rerata kekuatan otot menurun

sampai 20%. Ketika kekuatan otot mulai menurun inilah, maka risiko

terjadinya gangguan otot akan meningkat. Rihimaki, et al (1989) menjelaskan

bahwa umur mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan gangguan sistem

otot rangka, terutama untuk otot leher dan bahu. Bahkan ada beberapa ahli

lainnya menyatakan bahwa umur merupakan penyebab utama terjadinya

gangguan otot (Tarwaka, 2015).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


20

2. Jenis Kelamin

Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli tentang pengaruh

jenis kelamin terhadap risiko gangguan sistem otot rangka, namun beberapa

hasil penelitian secara signifikan menunjukan bahwa jenis kelamin sangat

mempengaruhi tingkat risiko gangguan otot. Hal ini terjadi karena secara

fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih rendah dari pada pria

(Tarwaka, 2015). Astrand & Rodahl (1996) menjelaskan bahwa kekuatan otot

wanita hanya sekitar dua pertiga dari kekuatan otot pria, sehingga daya tahan

otot pria pun lebih tinggi dibandingan dengan wanita (Tarwaka, 2015).

Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Benard et al. (1994), Hales et al.

(1994), Johansson (1994), Chiang et al. (1993) menyatakan bahwa prevalensi

MSDs tertinggi ditemukan pada wanita (Bernard, 1997). Menurut Stevent et

al.(1988) perbandingan rasio pria dan wanita yang menderita Carpal Tuner

Syndrome (CTS) adalah sebesar 1 : 3 (Bernard, 1997).

3. Kebiasaan Merokok

Sama halnya dengan faktor jenis kelamin, pengaruh kebiasaan merokok

terhadap risiko gangguan otot juga masih diperdebatkan dengan para ahli,

namun demikian beberapa penelitian telah membuktikan bahwa

meningkatnya gangguan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan

tingkat kebiasaan merokok. Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi

merokok, semakin tinggi pula tingkat gangguan otot yang dirasakan

(Tarwaka, 2015).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


21

Boshuizen, et al (1993) menemukan hubungan yang signifikan antara

kebiasaan merokok dengan gangguan otot pinggang, khususnya untuk

pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot. Hal ini sebenarnya terkait erat

dengan kondisi kesegaran tubuh seseorang. Kebiasaan merokok akan

menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga kemampuan untuk mengkonsumsi

oksigen menurun. Sebagai akibatnya, tingkat kesegaran tubuh juga menurun.

Apabila yang bersangkutan harus melakukan tugas yang menuntut

pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam

darah rendah, pembakaran karbohidrat terhambat, terjadi tumpukan asam

laktat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot (Tarwaka, 2015).

4. Kekuatan Fisik

Chaffin and Park (1973) yang dilaporkan NIOSH menemukan adanya

peningkatan gangguan punggung yang tajam pada pekerja yang melakukan

tugas yang menuntut kekuatan melebihi batas kekuatan otot pekerja

(Tarwaka, 2015). Bagi pekerja yang kekuatan ototnya rendah, resiko

terjadinya gangguan tiga kali lipat dari yang mempunyai kekuatan tinggi.

Sementara itu, Betti’e et al. (1990) menemukan bahwa pekerja yang sudah

mempunyai gangguan pinggang mampu melakukan pekerjaan seperti pekerja

lainnya yang belum memiliki gangguan pinggang.Terlepas dari perbedaan

kedua hasil penelitian tersebut di atas, secara fisiologis ada yang dilahirkan

dengan struktur otot yang mempunyai kekuatan fisik lebih kuat dibandingkan

dengan yang lainnya. Dalam kondisi kekuatan yang berbeda ini, apabila harus

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


22

melakukan pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot, jelas mempunyai

kekuatan rendah akan lebih rentan terhadap risiko cedera otot. Namun untuk

pekerjaan-pekerjaan yang tidak memerlukan pengerahan tenaga, maka faktor

kekuatan fisik kurang relevan terhadap risiko gangguan sistem otot rangka

(Tarwaka, 2015).

5. Ukuran Tubuh (antropometri)

Walaupun pengaruhnya relatif kecil, berat badan, tinggi badan dan masa

tubuh merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan sistem

otot rangka.Vessy, et al.(1990) menyatakan bahwa wanita yang gemuk

mempunyai risiko dua kali lipat dibandingkan wanita kurus (Tarwaka, 2015).

Hal ini diperkuat oleh Werner, et al.(1994) yang menyatakan bahwa bagi

pasien yang gemuk (obesitas dengan indeks masa tubuh>29) mempunyai

risiko 2,5 lebih tinggi dibandingkan dengan yang kurus, khususnya untuk otot

kaki. Temuan lain menyatakan bahwa pada tubuh yang tinggi umumnya

sering menderita gangguan sakit punggung, tetapi tubuh tinggi tidak

mempunyai pengaruh terhadap gangguan leher, bahu dan pergelangan tangan.

Apabila dicermati, gangguan sistem otot rangka yang tekait dengan ukuran

tubuh lebih disebabkan oleh kondisi kesimbangan struktur rangka di dalam

menerima beban, baik beban berat tubuh maupun beban tambahan lainnya.

Sebagai contoh, tubuh tinggi pada umumnya mempunyai bentuk tulang yang

langsing sehingga secara biomekanik rentan terhadap beban tekan dan rentan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


23

terhadap tekukan, oleh karena itu mempunyai risiko yang lebih tinggi

terhadap terjadinya gangguan sistem otot rangka (Tarwaka, 2015).

2.2.2 Langkah Mengatasi Gangguan Sistem Otot Rangka

Berdasarkan rekomendasi dari Occupational Safety and Health

Administration (OSHA), tindakan ergonomik untuk mencegah adanya sumber

penyakit adalah melalui dua cara, yaitu rekayasa teknik dan rekayasa manajemen

(Grandjean, 1993; Anis & McConville, 1996; Waters & Anderson 1996;

Manuaba, 2000; Peter Vi, 2000). Langkah preventif ini dimaksudkan untuk

mengeleminir overexertion dan mencegah adanya postur kerja tidak alamiah

(Tarwaka, 2015).

Langkah-langkah dalam mengatasi gangguan otot rangka adalah sebagai

berikut:

1. Rekayasa Teknik

Rekayasa teknik pada umumnya dilakukan melalui pemilihan beberapa

alternatif sebagai berikut :

a. Eliminasi, yaitu dengan menghilangkan sumber bahaya yang ada.

b. Subsitusi, yaitu mengganti alat/bahan lama dengan alat/bahan baru yang aman,

menyempurnakan proses produksi dan menyempurnakan prosedur peralatan.

c. Partisi, yaitu melakukan pemisahan antara sumber bahaya dengan pekerja.

d. Ventilasi, yaitu dengan menambah ventilasi untuk mengurangi risiko sakit.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


24

2. Rekayasa Manajemen

Rekayasa manajemen dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan sebagai

berikut:

a. Pendidikan dan pelatihan. Melalui pendidikan dan pelatihan, pekerja menjadi

lebih memahami lingkungan dan alat kerja sehingga diharapkan dapat melakukan

penyesuaian dan inovatif dalam melakukan upaya pencegahan terhadap risiko

akibat kerja.

b. Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang. Pengaturan waktu kerja dan

istirahat yang seimbang. Hal ini disesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja dan

karakteristik pekerjaan, sehingga dapat mencegah paparan yang berlebihan

terhadap sumber bahaya.

c. Pengawasan yang intensif. Melalui pengawasan yang intensif dapat dilakukan

pencegahan secara lebih dini terhadap kemungkinan terjadinya risiko sakit akibat

kerja.

2.2.3 Metode Penilaian Gangguan Sistem Otot Rangka

2.2.3.1 Metode REBA (Rapid Entire Body Assessment)

Metode REBA diperkenalkan oleh Sue Hignett dan Lynn McAtamney dan

diterbitkan dalam jurnal Applied Ergonomic tahun 2000 (McAtamney, 2004).

Metode ini merupakan hasil kerja kolaboratif oleh tim ergonomists, fisioterapi, ahli

okupasi dan para perawat yang mengidentifikasi sekitar 600 posisi di industri

manufakturing. Metode REBA, memungkinkan dilakukan suatu analisis secara bersama

dari posisi yang terjadi pada anggota tubuh bagian atas (lengan, lengan bawah dan

pergelangan tangan), badan, leher dan kaki. Metode ini juga mendefinisikan faktor-faktor

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


25

lainnya yang dianggap dapat menentukan untuk penilaian akhir postur tubuh, seperti

beban atau force atau gaya yang dilakukan, jenis penanganan atau jenis aktifitas otot yang

dilakukan oleh pekerja. Hal ini memungkinkan untuk mengevaluasi baik posisi statis dan

dinamis, juga keadaan yang dapat menunjukkan adanya perubahan secara tiba-tiba pada

postur atau posisi tidak stabil. Dalam hal ini, perlu disebutkan apakah posisi anggota

tubuh bagian atas dilakukan dengan melawan gravitasi, karena faktor gravitasi berkaitan

erat dengan posisi tubuh seseorang. Untuk definisi segmen tubuh yang dianalisis dalam

serangkaian pekerjaan merupakan metode yang sederhana dengan variasi beban dan

gerakan (Tarwaka, 2015).

Metode REBA merupakan suatu alat analisis postural yang sangat sensitif

terhadap pekerjaan yang melibatkan perubahan mendadak dalam posisi. Biasanya sebagai

akibat dari penanganan kontainer yang tidak stabil atau tidak terduga. Keistimewaan

aplikasi metode REBA untuk membantu mempermudah implementasi di lapangan

(Tarwaka, 2015 ):

1. Metode REBA merupakan metode yang sangat sensitif untuk mengevaluasi risiko,

khususnya pada sistem muskuloskeletal.

2. Metode REBA, membagi menjadi segmen-segmen tubuh yang akan diberi kode

secara individu dan mengevaluasi baik anggota badan bagian atas maupun badan,

leher dan kaki.

3. Metode ini digunakan untuk menganalisis pengaruh pada beban postural selama

penanganan kontainer yang dilakukan dengan tangan atau bagian tubuh lainnya.

4. Metode ini dianggap relevan untuk jenis kontainer yang mempunyai pegangan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


26

5. Memungkinkan untuk melakukan penilaian terhadap aktivitas otot yang disebabkan

oleh posisi tubuh statis, dinamis atau karena terjadinya perubahan postur yang tidak

terduga atau tiba-tiba.

6. Hasilnya adalah untuk menentukan tingkat resiko cedera dengan menetapkan tingkat

tindakan korektif yang diperlukan dan melakukan intervensi untuk perbaikan segera.

Sebelum menggunakan metode REBA, maka perlu dilakukan hal berikut:

1. Tentukan periode waktu observasi dengan mempertimbangkan posisi tubuh pekerja.

Jika memungkinkan tentukan siklus waktu kerja.

2. Jika terdapat pekerjaan dengan durasi waktu yang berlebihan perlu dilakukan analisis

secara detail.

3. Catat posisi berbeda yang dilakukan oleh pekerja selama bekerja, baik dengan

rekaman video atau melalui foto kamera atau dengan memasukkan waktu riil apabila

memungkinkan selama proses observasi.

4. Lakukan identifikasi posisi untuk semua pekerjaan yang dianggap paling penting dan

berbahaya untuk penilaian lebih lanjut dnegan metode REBA.

5. Metode REBA harus diaplikasikan secara terpisah untuk kedua sisi tubuh.

Informasi penting yang diperlukan dalam aplikasi metode REBA, harus

mempertimbangkan hal berikut:

1. Sudut antara bagian tubuh yang berbeda (badan, leher, kaki, lengan atas, lengan

bawah, pergelangan tangan) terhadap posisi tertentu. Pengukuran ini dapat dilakukan

secara langsung pada pekerja dengan menggunakan peralatan ukur seperti; elektro-

goniometer atau alat pengukur sudut lainnya yang relevan atau dapat melalui foto

kamera, sehingga diperoleh titik pandang sudut bagi tubuh yang diukur.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


27

2. Beban atau force yang sedang dikerjakan oleh pekerja dan dinyatakan dalam

kilogram.

3. Jenis pegangan kontainer yang dikerjakan secara manual atau dengan menggunakan

bagian tubuh lainnya.

4. Karakteristik aktifitas otot yang digunakan oleh pekerja (pergerakan otot statis,

dinamis dan pengerahan otot secara mendadak atau tiba-tiba).

Tahapan aplikasi metoda REBA:

1. Bagi segmen tubuh menjadi dua grup. Grup A meliputi badan, leher dan kaki. Grup B

meliputi anggota tubuh bagian atas (lengan, lengan bawah dan pergelangan tangan).

Skor individu untuk masing-masing grup diambil dari tabel secara berurutan.

2. Lihat tabel A untuk mendapatkan nilai awal pada grup A untuk skor individu

terhadap badan, leher dan kaki.

3. Rating grup B diambil dari rating lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan

pada tabel B.

4. Modifikasi skor dari grup A (badan, leher dan kaki), tergantung pada beban atau

force yang dilakukan, yang selanjutnya disebut Skor A.

5. Koreksi skor pada grup B (lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan)

berdasarkan pada jenis pegangan kontainer yang selanjutnya disebut skor B.

6. Dari skor A dan skor B dan ditransfer ke dalam tabel C akan memberikan skor baru

yang selanjutnya disebut skor C.

7. Memodifikasi skor C, tergantung pada jenis aktifitas otot yang dikerahkan untuk

mendapatkan skor akhir pada metode REBA.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


28

8. Periksa tingkat aksi (action level), risiko dan urgensi tindakan perbaikan yang harus

dilakukan berdasarkan nilai akhir perhitungan.

Langkah-langkah aplikasi metode REBA (Tarwaka, 2015) adalah sebagai

berikut:

Grup A: penilaian anggota tubuh bagian badan, leher dan kaki.

Metode ini dimulai dengan melakukan penilaian dan pemberian skor

individu untuk grup A (badan, leher dan kaki).

1. Skoring pada badan (trunk)

Anggota tubuh pertama yang dievaluasi pada grup A adalah badan. Hal ini dapat

menentukan apakah pekerja melakukan pekerjaan dengan posisi badan tegak atau tidak,

menentukan besar kecilnya sudut fleksi atau ekstensi dari badan yang diamati,

selanjutnya memberikan skor berdasarkan posisi badan. Skor akan meningkat jika

terdapat posisi badan membungkuk dan/atau memuntir secara lateral.

Tabel 2.1 Posisi Badan dan Skoring


Skor Posisi
1 Posisi badan tegak lurus
2 Posisi badan fleksi: antara 0º - 20º dan ekstensi: antara 0º - 20º
3 Posisi badan fleksi: antara 20º - 60º dan ekstensi: antara 20º - 60º
4 Posisi badan membungkuk fleksi >60º
+1 Posisi badan membungkuk dan atau memuntir secara lateral

2. Skoring pada leher

Metoda REBA mempertimbangkan kemungkinan dua posisi leher, yaitu

menekuk fleksi antara 0º - 20º dan posisi leher menekuk fleksi atau ekstensi >20º.

Skor hasil perhitungan kemungkinan dapat ditambah jika posisi leher pekerja

membungkuk atau memuntir secara lateral.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


29

Tabel 2.2 Posisi Leher dan Skoring

Skor Posisi
1 Posisi leher fleksi: 0º - 20º
2 Posisi leher fleksi atau ekstensi >20º
+1 Posisi leher membungkuk atau memuntir secara lateral

3. Skoring pada kaki

Penilaian awal pada kaki dilakukan berdasarkan distribusi berat badan.

Tabel 2.3 Posisi Kaki dan Skoring

Skor Posisi
1 Posisi kedua kaki tertopang dengan baik di lantai dalam keadaan
berdiri atau berjalan
2 Salah satu kaki tidak tertopang di lantai dengan baik atau terangkat
+1 Salah satu atau kedua kaki ditekuk fleksi antara 30º - 60º
+2 Salah satu atau kedua kaki ditekuk fleksi antara >60º

Grup B: Penilaian anggota tubuh bagian atas (lengan, lengan bawah dan

pergelangan tangan)

4. Skoring pada lengan

Untuk mementukan skor yang dilakukan pada lengan atas, maka harus

diukur sudut antara lengan dan badan. Skor yang didapat akan sangat tergantung

pada besar kecilnya sudut yang terbentuk antara lengan dan badan selama bekerja.

Skor dapat dimodifikasi yaitu ditambah atau dikurangi jika bahu pekerja

terangkat, lengan diputar, atau diangkat menjauh dari badan. Skor dikurangi 1 jika

lengan ditopang selama bekerja.

Tabel 2.4 Posisi Lengan dan Skoring

Skor Posisi
1 Posisi lengan fleksi atau eksensi antara 0º - 20º
2 Posisi lengan fleksi antara 21º - 45º atau eksensi >20º

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


30

3 Posisi lengan fleksi antara 46º - 90º


4 Posisi lengan fleksi >90º
+1 Jika bahu diangkat atau lengan diputar atau dirotasi
+2 Jika lengan diangkat menjauh daribadan
-1 Jika berat lengan ditopang untuk menahan gravitasi

5. Skoring pada lengan bawah

Skor postur untuk lengan bawah tergantung pada kisaran sudut yang

dibentuk oleh lengan bawah selama melakukan pekerjaan.

Tabel 2.5 Posisi, Kisaran Sudut Lengan Bawah dan Skoring

Skor Kisaran Sudut


1 Posisi lengan bawah fleksi antara 60º - 100º
2 Posisi lengan bawah fleksi <60º atau >100º

6. Skoring pada pergelangan tangan

Penentuan skor dilakukan berdasarkan pada besar kecilnya sudut yang

dibentuk oleh pergelangan tangan. Skor untuk pergelangan tangan ini akan

ditambah 1 apabila pergelangan tangan pada saaat bekerja mengalami torsi atau

deviasi baik ulnar maupun radial (menekuk ke atas atau ke bawah).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


31

Tabel 2.6 Posisi, Kisaran Sudut Pergelangan Tangan dan Skoring

Skor Kisaran Sudut


1 Posisi pergelangan tangan fleksi atau ekstensi antara 0º - 15º
2 Posisi pergelangan tangan fleksi atau ekstensi >15º
+1 Pergelangan tangan pada saat bekerja mengalami torsi atau deviasi
baik ulnar maupun radial

Skoring untuk beban atau force :

Besar kecilnya skor untuk pembebanan dan force akan sangat tergantung

dari berat ringannya beban yang dikerjakan oleh pekerja.

Tabel 2.7 Skor untuk Pembebanan/Force

Skor Posisi
+0 Beban atau force <5 kg
+1 Beban atau force antara 5-10 kg
+2 Beban atau force >10 kg

Skoring untuk jenis pegangan :

Jenis pegangan akan dapat meningkatkan skor pada grup B (lengan bawah

dan pergelangan tangan), kecuali dipertimbnagkan bahwa jenis pegangan pada

kontainer adalah baik.

Tabel 2.8 Skoring untuk Jenis Pegangan Kontainer


Skor Posisi
+0 Pegangan Bagus.
Pegangan kontainer baik dan kekuatan pegangan berada pada posisi tengah
+1 Pegangan sedang.
Pegangan tangan dapat diterima, tetapi tidak ideal atau pegangan
optimum yang dapat diterima untuk menggunakan bagian tubuh lainnya.
Pegangan kurang baik.
+2 Pegangan ini mungkin dapat digunakan tetapi tidak diterima
+3 Pegangan jelek.
Pegangan ini terlalu dipaksakan, atau tidak ada pegangan atau genggaman
tangan, pegangan bahkan tidak dapat diterima untuk menggunakan bagian
tubuh lainnya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


32

Skoring jenis aktifitas otot :

Tabel 2.9 Skoring untuk Jenis Aktifitas Otot

Skor Aktifitas
+1 Satu atau lebih bagian tubuh dalam aktifitas statis, misalnya ditopang
untuk lebih dari 1 menit
+1 Gerakan berulang-ulang terjadi, misalnya repetisi lebih dari 4 kali per
menit (tidak termasuk berjalan)
+1 Terjadi perubahan yang signifikan pada postur tubuh atau postur tubuh
tidak stabil selama bekerja

Standar Kinerja Berdasarkan Skor Akhir :

Tabel 2.10 Standar Kinerja Berdasarkan Skor Akhir

Skor Tingkat Tingkat Tindakan


Akhir Aksi Risiko
1 0 Sangat Tidak ada tindakan yang diperlukan
Rendah
2-3 1 Rendah Mungkin diperlukan tindakan
4-7 2 Sedang Diperlukan tindakan
8-10 3 Tinggi Diperlukan tindakan segera
11-15 4 Sangat Tinggi Diperlukan tindakan sesegera mungkin

2.2.3.2 Metode RULA (The Rapid Upper Limb Assesment)

Metode ini pertama kali dikembangkan oleh Lynn McAtamney dan Nigel Corlett,

E. (1993), seorang ahli ergonomic dari Nottingham’s Institute of Occupational

Ergonomics England. Metode ini prinsip dasarnya hampir sama dengan metode REBA

(McAtamney, 2004).

Metode RULA merupakan suatu metode dengan menggunakan target postur tubuh

untuk mengestimasi terjadinya risiko gangguan system musculoskeletal, khususnya pada

anggota tubuh bagian atas (upper limb disorders), seperti adanya gerakan repetitive,

pekerjaan diperlukan pengerahan kekuatan, aktivitas otot statis pada sistem

musculoskeletal (Tarwaka, 2015).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


33

Pengukuran terhadap postur tubuh dengan metode RULA pada prinsipnya adalah

mengukur sudut dasar, yaitu sudut yang dibentuk oleh perbedaan anggota tubuh (limbs)

dengan titik tertentu pada postur tubuh yang dinilai.

Metode ini harus dilakukan terhadap kedua sisi anggota tubuh kiri dan kanan.

Metode RULA membagi anggota tubuh ke dalam dua segmen yang membentuk dua grup

terpisah, yaitu grup A dan B. Grup A meliputi anggota tubuh bagian atas (lengan atas,

lengan bawah dan pergelangan tangan). Sementara itu, Grup B meliputi kaki, badan dan

leher. Selanjutnya skor A dan B dihitung dengan menggunakan tabel dengan memasukan

skor untuk masing-masing postur tubuh secara individu. Selanjutnya skor postur tubuh

total untuk grup A dan B dapat dimodifikasi tergantung jenis aktivitas otot yang terlibat

dan pengerahan tenaga selama melakukan pekerjaan. Terakhir, skor final didapatkan dari

hasil modifikasi dari nilai total (Tarwaka, 2015).

Grand skor yang diperoleh merupakan proposional dari risiko yang terjadi selama

pekerjaan berlangsung, sehingga skor tertinggi mengindikasikan risiko gangguan sistem

musculoskeletal yang tertinggi pula (Tarwaka, 2015).

Langkah-langkah aplikasi metode RULA (Tarwaka, 2015 ) adalah sebagai berikut

Grup A: Skor untuk anggota tubuh pada Upper Limbs (lengan atas, lengan bawah dan

pergelangan tangan).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


34

1. Skoring untuk lengan atas.

Anggota tubuh pertama yang dinilai adalah lengan atas. Untuk menghitung skor

pada bagian ini, maka perlu diukur sudut axis badan.

Tabel 2.11 Skoring pada Lengan


Skor Kisaran Sudut
1 Ekstensi 20º sampai fleksi 20º
2 Ekstensi > 20º atau fleksi 20º - 45º
3 Fleksi 45º - 90º
4 Fleksi > 90º

Skor postur untuk lengan harus dimodifikasi, baik ditambah atau dikurangi

jika bahu pekerja terangkat, jika lengan diputar, diangkat menjauh dari badan atau

jika lengan ditopang selama kerja.

Tabel 2.12 Skor Lengan Atas dan Peningkatan dan atau Penurunan Skor

Skor Kisaran Sudut


+1 Jika bahu diangkat atau lengan diputar atau dirotasi
+1 Jika lengan diangkat menjauh dari badan
-1 Jika berat lengan ditopang

2. Skoring untuk lengan bawah

Berikutnya yang harus dianalisa adalah posisi lengan bawah. Skor postur

untuk lengan bawah juga tergantung pada kisaran sudut yang dibentuk oleh lengan

bawah selama melakukan pekerjaan.

Tabel 2.13 Sudut Lengan Bawah dan Skoring

Skor Kisaran Sudut


1 Fleksi 60º - 100º
2 Fleksi < 60º atau > 100º

Skor lengan bawah harus dinaikan jika lengan bawah menyilang dari garis

lengan badan atau keluar dari sisi badan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


35

Tabel 2.14 Peningkatan Skor Lengan Bawah

Skor Kisaran Sudut


+1 Jika lengan bawah bekerja pada luar sisi tubuh
+1 JIka lengan bawah bekerja menyilang dari garis tengah tubuh

3. Skor untuk pergelangan tangan

Selanjutnya anggota tubuh yang dianalisa adalah pergelangan tangan.

Pertama yang dinilai adalah fleksi pergelangan tangan. Setelah melakukan

evaluasi sudut pada pergelangan tangan, maka skor responden langsung dihitung.

Tabel 2.15 Skoring Pergelangan Tangan

Skor Kisaran Sudut


1 Jika di dalam posisi netral
2 Fleksi atau ekstensi : 0º - 15º
3 Fleksi atau ekstensi :> 15º

Skor postur untuk pergelangan tangan akan ditambah dengan 1 (+1), jika

pergelangan tangan pada saat bekerja mengalami deviasi baik ulnar maupun radial

(menekuk ke atas maupun ke bawah).

Tabel 2.16 Deviasi Pergelangan Tangan dan Peningkatan Skor

Skor Kisaran Sudut


+1 Pergelangan tangan pada saat bekerja mengalami deviasi baik ulnar
maupun radial.

Apabila telah didapatkan skor untuk pergelangan tangan, maka perlu

dinilai pada posisi pergelangan tangan memutir. Skor yang baru tersebut

merupakan skor independen dan tidak akan ditambahkan dengan skor sebelumnya

dan akan digunakan untuk menghitung skor total untuk grup A.

Tabel 2.17 Posisi Pergelangan Tangan Memuntir dan Skoring

Skor Kisaran Sudut

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


36

1 Jika pergelangan tangan dalam kisaran tangan pada posisi memuntir


2 Jika pergelangan tangan pada atau dekat batas maksimal puntiran

Grup B: Skor untuk anggota tubuh pada leher, badan dan kaki.

Setelah anggota tubuh pada grup A selesai dinilai, selanjutnya yang harus

dinilai adalah anggota tubuh grup B, yaitu anggota tubuh pada bagian leher, badan

dan kaki.

4. Skor untuk leher

Anggota tubuh pertama yang harus dinilai pada grup B adalah bagian leher.

Fleksi pada leher dinilai terlebih dahulu dengan menghitung skor yang menunjukan tiga

kisaran fleksi dan ekstensi pada leher.

Tabel 2.18 Kisaran Sudut pada Leher dan Skoring

Skor Kisaran Sudut


1 Fleksi: 0º - 15º
2 Fleksi: 10º - 20º
3 Fleksi > 20º
4 Jika leher pada posisi ekstensi

Skor postur untuk leher harus ditambah dengan 1 (+1), jika posisi leher

menekuk atau memuntir.

Tabel 2.19 Posisi yang Menambah Skor Postur Leher

Skor Kisaran Sudut


+1 Posisi leher menekuk atau memutar

5. Skor untuk badan

Pertama yang harus dilakukan adalah menentukan apakah posisi pekerja

pada saat bekerja adalah duduk atau berdiri yang dapat mengindikasikan fleksi

badan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


37

Tabel 2.20 Kisaran Sudut pada Badan dan Skoring

Skor Kisaran Sudut


1 Pada saat duduk dengan kedua kaki dan telapak kaki tertopang dengan
baik dan sudut antara badan dan tulang pinggul membentuk sudut ≥ 90º
2 Fleksi : 0º - 20º
3 Fleksi : 20º - 60º
4 Fleksi : > 60º

Skor postur untuk badan harus dinaikan dengan menambah 1 (+1), jika

badan memuntir atau membungkuk ke samping.

Tabel 2.21 Posisi yang dapat Memodifikasi Skor Postur pada Badan

Skor Kisaran Sudut


+1 Badan memuntir atau membungkuk ke samping

6. Skor untuk kaki

Bagian tubuh terakhir yang harus dinilai adalah kaki. Pada penilaian kaki, metode

ini tidak fokus pada pengukuran sudut seperti analisa pada anggota tubuh sebelumnya.

Tetapi lebih pada faktor seperti distribusi berat pada tumpuan kedua kaki, tempat

penopang dan posisi duduk atau berdiri yang akan menentukan besar kecilnya skor.

Tabel 2.22 Skoring untuk Posisi Kaki

Skor Posisi
1 Kaki dan telapak kaki tertopang dengan baik pada saat duduk
1 Berdiri dengan berat badan terdistribusi dengan rata oleh kedua kaki, terdapat
ruang gerak yang cukup untuk merubah posisi
2 Kaki dan telapak kaki tidak tertopang dengan baik atau berat badan tidak
terdistribusi dengan seimbang
Perhitungan Grand Skor RULA:

Setelah skor postur untuk setiap anggota tubuh pada kedua grup (A dan B)

secara individu dicatat, selanjutnya harus dihitung skor kombinasi untuk kedua

grup.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


38

Skor postur untuk anggota tubuh grup A, dengan memasukkan skor postur

secara individu untuk lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan ke dalam

tabel, maka akan didapat skor postur grup A. Skor postur untuk anggota tubuh

grup B, dengan memasukan skor postur secara individu untuk leher, badan dan

kaki ke dalam tabel, maka akan diperoleh total skor grup B.

Skor Penggunaan Otot (muscle use) dan Pembebanan atau Pengerahan

Tenaga (force):

Skor Postur yang diperoleh daru grup A dan B akan diubah dengan

mempertimbangkan penggunaan otot dan pengerahan tenaga selama melakukan

pekerjaan. Skor postur (A dan B) ditambah dengan 1 (+1), jika postur tubuh pada

saat bekerja dalam keadaan statis untuk lebih dari 1 menit atau jika pekerjaan

dilakukan secara repetitive untuk lebih dari 4 kali per menit. Jika pekerjaan

dilakukan dengan kadang-kadang, tidak sering atau untuk durasi yang singkat,

maka hal tersebut dipertimbangkan sebagai pekerjaan dinamis dan skor akan tetap

sama dengan sebelumnya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


39

Tabel 2.23 Pemberian Skor Berdasarkan Penggunaan Otot, Pembebanan dan


Pengerahan Tenaga

Skor Kisaran pembebanan dan pengerahan tenaga

0 Tidak ada resistensi atau pembebanan dan pengerahan tenaga secara tidak
menentu < 2 kg
1 Pembebanan dan pengerahan tenaga secara tidak menentu antara 2 – 10 kg
2 Pembebanan statis 2 – 10 kg
2 Pembebanan dan pengerahan tenaga secara repetitive 2 – 10 kg
3 Pembebanan dan pengerahan tenaga secara repetitive atau statis ≥ 2 – 10
kg
3 Pengerahan tenaga dan pembebanan berlebihan dan cepat

Perhitungan Skor Gabungan:

Skor dari penggunaan otot dan pengerahan tenaga harus ditambahkan pada

skor postur untuk grup A dan B sehingga menghasilkan perhitungan untuk skor C

dan D. Selanjutnya, kedua skor C dan D digabungkan ke dalam suatu grand

akumulasi skor tunggal dengan nilai 1 sampai dengan 7 yang nantinya digunakan

sebagai dasar estimasi terhadap risiko pembebanan pada sistem musculoskeletal.

Tabel 2.24 Perhitungan Grand Skor Berdasarkan Kombinasi Skor C dan D

Skor D
Skor C 1 2 3 4 5 6 7+
1 1 2 3 3 4 5 5
2 2 2 3 4 4 5 5
3 3 3 3 4 4 5 6
4 3 3 3 4 5 6 6
5 4 4 4 5 6 7 7
6 4 4 5 6 6 7 7
7 5 5 6 6 7 7 7
8 5 5 6 7 7 7 7
Langkah terakhir dari metode RULA adalah menentukan tingkat aksi

(action levels) yang diperoleh melalui tabel 2.25 dibawah ini :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


40

Tabel 2.25 Tingkat Aksi yang Diperlukan berdasarkan Grand Skor

Skor Tingkat Kategori Tindakan


Akhir Risiko Risiko
RULA
1–2 0 Rendah Tidak ada masalah dengan postur tubuh
3–4 1 Sedang Diperlukan investigasi lebih lanjut, mungkin
diperlukan adanya perubahan untuk perbaikan
posturkerja
5–6 2 Tinggi Diperlukan adanya investigasi dan perbaikan
segera
7+ 3 Sangat Diperlukan adanya investigasi dan perbaikan
Tinggi secepat mungkin

2.2.3.3 Metode NORDIC BODY MAP

Metode Nordic Body Map merupakan metode yang digunakan untuk menilai

tingkat keparahan (severity) atas terjadinya gangguan atau cedera pada otot rangka.

Metode ini telah secara luas digunakan oleh para ahli ergonomi dan mempunyai validitas

dan reabilitas yang cukup baik.

Dalam aplikasinya, metode Nordic Body Map dengan menggunakan lembar kerja

berupa peta tubuh (body map) merupakan cara yang sangat sederhana, mudah dipahami,

murah dan memerlukan waktu yang sangat singkat (±5 menit) per individu. Observer

dapat langsung mewawancarai atau menanyakan kepada responden, pada otot-otot rangka

bagian mana saja yang mengalami gangguan nyeri atau sakit atau dengan menunjuk

langsung pada setiap otot rangka sesuai yang tercantum dalam lembar kerja kuesioner

Nordic Body Map (Tarwaka, 2015).

Nordic Body Map meliputi 28 bagian otot-otot skeletal pada kedua sisi tubuh

kanan dan kiri, yang dimulai dari anggota tubuh bagian atas, yaitu otot leher sampai

dengan bagian paling bawah, yaitu otot pada kaki. Melalui kuesioner Nordic Body Map,

maka akan dapat diketahui bagian-bagian otot mana saja yang mengalami gangguan nyeri

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


41

atau gangguan tingkat rendah (tidak ada gangguan/cedera) sampai dengan gangguan

tingkat tinggi (gangguan sangat sakit). Gangguan pada otot rangka, biasanya merupakan

gangguan yang bersifat kronis, artinya gangguan ini sering dirasakan beberapa lama

setelah melakukan aktivitas dan sering meninggalkan residu yang dirasakan pada har-hari

berikutnya.

Penilaian dengan menggunakan kuisioner Nordic Body Map dapat dilakukan

dengan berbagai cara, misalnya dengan menggunakan 2 jawaban sederhana, yaitu “YA“

(ada gangguan atau rasa sakit pada otot rangka) dan “TIDAK“ (tidak ada gangguan atau

tidak ada rasa sakit pada otot rangka). Tetapi lebih utama untuk menggunakan desain

penilaian dengan skoring (misalnya: 4 skala likert). Apabila digunakan skoring dengan

skala likert, maka setiap skor atau nilai haruslah mempunyai definisi operasional yang

jelas dan mudah dipahami oleh respoden (Tarwaka, 2015)

Berikut ini adalah contoh desain penilaian dengan 4 skala likert:

1. Skor 1 = Tidak ada gangguan/kenyerian atau tidak ada rasa sakit sama sekali yang

dirasakan oleh pekerja (tidak sakit).

2. Skor 2 = dirasakan sedikit adanya gangguan atau kenyerian pada otot rangka (agak

sakit).

3. Skor 3 = responden merasakan adanya gangguan/kenyerian atau sakit pada otot

rangka (sakit).

4. Skor 4 = responden merasakan gangguan sangat sakit atau sangat nyeri pada otot

rangka (sangat sakit).

Selanjutnya, setelah selesai melakukan wawancara dan pengisian

kuisioner, maka langkah berikutnya adalah menghitung total skor individu dari

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


42

seluruh otot rangka yang diobservasi. Pada desain 4 skala likert ini, maka akan

diperoleh skor individu terendah adalah sebesar 28 dan skor tertinggi 112.

Langkah terakhir dari aplikasi Nordic Body Map ini adalah melakukan

upaya perbaikan pada pekerjaan maupun posisi/postur kerja, jika diperoleh hasil

yang menunjukkan tingkat keparahan pada otot rangka yang tinggi.Tindakan

perbaikan yang harus dilakukan sangat tergantung dari risiko otot rangka yang

mengalami gangguan atau ketidaknyamanan. Hal ini dapat dilakukan dengan

beberapa cara, diantaranya adalah dengan melihat persentase pada setiap bagian

otot rangka dan dengan menggunakan kategori tingkat risiko otot rangka.

Tabel di bawah ini merupakan pedoman sederhana yang dapat digunakan

untuk menentukan klasifikasi subjektivitas tingkat risiko otot rangka (Tarwaka,

2015).

Tabel 2.26 Klasifikasi Subjektivitas Tingkat Risiko Otot Rangka


berdasarkan Total Skor Individu

Tingkat Total Skor Tingkat Tindakan Perbaikan


Aksi Individu Risiko
1 28 – 49 Rendah Belum diperlukan adanya tindakan perbaikan
2 50 – 70 Sedang Mungkin diperlukan tindakan dikemudian hari
3 71 – 91 Tinggi Diperlukan tindakan segera
4 92 – 112 Sangat Diperlukan tindakan menyeluruh sesegera
tinggi mungkin.
2.3 Landasan Teori

MSDs adalah kondisi yang mempengaruhi sistem otot rangka dan dapat

terjadi dalam tendon, otot, sendi, pembuluh darah dan/atau saraf tungkai dan

punggung. Gejala mungkin termasuk rasa sakit, ketidaknyamanan, mati rasa dan

kesemutan di daerah yang terkena. Kondisi ini dapat berbeda dalam tingkat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


43

keparahan dari ringan,sedang, kondisi parah, kronis dan melemahkan (HSENI,

2013).

Penelitian yang dilakukan oleh (Agrawal, 2014) dan (Arora, 2015)

menunjukkan orang-orang yang bekerja di suatu Laboratorium Klinik (Medical

Laboratory Profesional, Pathology Laboratory Technicians) termasuk juga para

perawat dan sonografer (Arvidsson, 2016) mempunyai risiko tinggi untuk

mengalami gangguan terkait otot rangka/musculoskeletal disorders (MSDs).

MSDs pada pekerja di laboratorium, perawat dan sonografer disebabkan oleh

waktu kerja yang lama dan kerja otot yang statis.

Prevalensi gangguan otot rangka pada 250 orangMedical Laboratory

Professional yang diteliti, ditemukan sebesar 21,2% (Agrawal, 2014), sedangkan

berdasarkan penelitian dari Arora (2015), gangguan musculoskeletal pain pada

Pathology Laboratory Technicians terkait pada pekerjaan mereka ditemukan

sebesar 87%. Gangguan pada leher dan pinggang menempati gangguan terbanyak

yang dirasakan oleh para pekerja di laboratorium klinik.

Menurut Tarwaka (2015), terdapat berbagai faktor yang dapat

menyebabkan terjadinya gangguan otot rangka seperti peregangan otot yang

berlebihan, aktivitas berulang, postur kerja tidak alamiah, faktor penyebab

sekunder (tekanan, getaran, mikroklimat) dan faktor individu (umur, jenis

kelamin, kebiasaan merokok, kesegaran jasmani, kekuatan fisik dan ukuran

tubuh).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


44

Waktu kerja yang lama (8 jam per hari) dan kerja otot yang statis hampir

dialami oleh semua pegawai yang bekerja di Laboratorium Klinik Pramita

Cab.Medan, baik mereka yang berkerja di bagian customer service, pengambilan

bahan pemeriksaan, pengolahan bahan pemeriksaan, proses di laboratorium dan

administrasi laboratorium. Meskipun adanya waktu istirahat dan cuti, akan tetapi

posisi jabatan yang sama selama bertahun-tahun menyebabkan risiko terjadinya

gangguan otot rangka pada pegawai menjadi meningkat.

Berdasarkan teori-teori tentang terjadinya gangguan otot rangka dan

hasil penelitian sebelumnya, maka penulis bermaksud untuk mengadakan

penelitian tentang determinan terjadinya risiko gangguan otot

rangka/musculoskeletal disorders (MSDs) yang terjadi pada pegawai

Laboratorium Klinik Pramita Cab.Medan Tahun 2016.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


45

2.4 Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori tersebut, maka kerangka konsep determinan

terjadinya risiko gangguan otot rangka/musculoskeletal disorders (MSDs) pada

pegawai Laboratorium Klinik Pramita dibuat sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Karakteristik individu :
- Umur
- Jenis Kelamin
- Kebiasaan Merokok
- Masa kerja
- Jenis pekerjaan Risiko Gangguan

Musculoskeletal Disorders
(MSDs)

Karakteristik pekerjaan :

- Postur Kerja

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


46

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan rancangan

penelitian cross sectional yang bertujuan untuk menganalisis determinan terjadinya risiko

gangguan otot rangka/Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada Pegawai Laboratorium

Klinik Pramita Cab. Medan pada Tahun 2016.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi

Penelitian dilakukan di Laboratorium Klinik Pramita Cabang Medan, Jl. P.

Diponegoro No. 37 Medan.

3.2.2 Waktu

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Juni 2016.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh pegawai yang terlibat secara langsung

dalam pelayanan laboratorium, yaitu pegawai yang bekerja di bagian customer

service, pengambilan bahan pemeriksaan, pengolahan bahan pemeriksaan, proses

di laboratorium dan bagian administrasi laboratorium sebanyak 30 (tiga puluh)

orang.

46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


47

3.3.2 Sampel

Adapun metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total

sampling dimana keseluruhan dari populasi dijadikan sebagai sampel

(Notoatmojo, 2010) yaitu sebanyak 30 (tiga puluh) orang.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Data pada penelitian ini berupa data primer yang diperoleh peneliti melalui

wawancara dan membagikan kuesioner yang berisi sejumlah pertanyaan yang

diajukan secara tertulis kepada sejumlah responden pegawai untuk mendapatkan

data tentang karakteristik individu (umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, masa

kerja dan jenis pekerjaan) dan observasi langsung menggunakan:

1. Metode REBA (Rapid Entire Body Assesment) atau RULA (The Rapid Upper Limb

Assessment) untuk penilaian postur bekerja.

2. Metode Nordic Body Map untuk penilaian tingkat keparahan atas terjadinya

gangguan muskuloskeletal.

Data sekunder berupa biodata pegawai yang didapatkan dari bagian Umum

dan SDM Laboratorium Klinik Pramita Cab. Medan.

3.5. Definisi Operasional

3.5.1 Variabel Independen

a. Umur adalah jumlah tahun yang dihitung mulai dari responden lahir sampai saat

pengumpulan data dilakukan. Kategori umur responden yang diklasifikasikan

menjadi 2 golongan:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


48

1. 20 - 30 tahun

2. > 30 tahun

b. Jenis Kelamin adalah ciri khas tertentu yang dimiliki oleh seluruh responden dan

dibedakan atas:

1. Laki-laki

2. Perempuan

c. Kebiasaan Merokok adalah adalah membakar tembakau kemudian diisap asapnya

baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa (Sitepoe, 2000) ,

diklasifikasikan menjadi:

1. Merokok

2. Tidak Merokok

d. Masa kerja adalah lamanya responden bekerja di Laboratorium Klinik Pramita,

dihitung sejak responden tersebut mulai bekerja sampai dengan saat

pengumpulan data, dibagi menjadi:

1. 0 - 5 tahun

2. >5 tahun

e. Jenis pekerjaan adalah pekerjaan responden di Laboratorium Klinik Pramita Cab.

Medan, dibagi menjadi bagian:

1. Non Teknis (customer service, administrasi laboratorium, verifikasi dan validasi

serta pengendali dokumen).

2. Teknis (pengambilan bahan pemeriksaan, pengolahan bahan pemeriksaan dan

proses di laboratorium).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


49

f. Postur kerja adalah postur responden dalam melaksanakan pekerjaannya yang

diukur dengan metode RULA atau REBA, dibagi menjadi :

1. Kurang ergonomi (Skor RULA: 3 – 4 atau Skor REBA: 4 – 7)

2. Tidak ergonomi (Skor RULA: 5 – 7+ atau Skor REBA: 8 – 15)

3.5.2 Variabel Dependen

Tingkat risiko gangguan otot rangka/MSDs adalah gangguan sakit pada

setiap otot rangka yang dinilai melalui kuesioner Nordic Body Map, dibagi

menjadi :

1. Tingkat risiko rendah (Total skor: 28 – 49)

2. Tingkat risiko sedang (Total skor: 50 – 70)

3.6 Metode Pengukuran

Pengukuran postur kerja pada responden dengan metode REBA atau RULA

dalam penelitian ini dilakukan oleh Balai K3 Medan Kementerian Ketenagakerjaan RI.

Pengukuran dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Menentukan siklus kerja dan mengobservasi responden selama variasi siklus kerja

tersebut.

2. Melakukan perekaman pekerjaan responden dengan video shooting.

3. Menentukan postur kerja responden yang akan dinilai.

4. Melakukan pengambilan gambar terhadap postur kerja responden yang paling

berisiko.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


50

5. Melakukan pengukuran sudut dasar, yaitu sudut yang dibentuk oleh perbedaan anggota

tubuh (limbs) dengan titik tertentu pada postur tubuh yang dinilai dengan

menggunakan busur drajat atau peralatan pengukur sudut lainnya.

6. Menentukan skor postur tubuh untuk masing-masing anggota tubuh.

7. Menghitung grand score dan action level untuk menilai kemungkinan risiko yang

terjadi.

8. Merevisi skor postur tubuh untuk anggota tubuh yang berbeda yang digunakan untuk

menentukan dimana perbaikan diperlukan.

3.6.1 Pengukuran Postur Kerja dengan Metode REBA

Pengukuran postur kerja dengan metode REBA didasarkan pada serangkaian tabel

yang memuat penilaian anggota tubuh. Apabila postur kerja bergerak dari posisi netral,

maka skoring risiko akan bertambah. Skoring REBA yang telah ada kemudian dicocokkan

dengan standar kinerja berdasarkan skor akhir dengan kriteria:

1. Skor 1, tingkat risiko sangat rendah, tidak ada tindakan yang diperlukan (ergonomi).

2. Skor 2-3, tingkat risiko rendah, mungkin diperlukan tindakan (ergonomi).

3. Skor 4-7, tingkat risiko sedang, diperlukan tindakan (kurang ergonomi).

4. Skor 8-10, tingkat risiko tinggi, diperlukan tindakan (tidak ergonomi).

5. Skor 11-15, tingkat risiko sangat tinggi, diperlukan tindakan segera mungkin (sangat

tidak ergonomi).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


51

3.6.2 Pengukuran Postur Kerja dengan Metode RULA

Metode RULA merupakan metode dengan menggunakan target postur

tubuh untuk mengestimasi terjadinya risiko gangguan sistem musculoskeletal,

khususnya pada anggota tubuh bagian atas (upper limb disorders).

Pengukuran postur kerja dengan metode RULA didasarkan kepada kriteria

sebagai berikut :

1. Skor 1 - 2, tidak ada masalah dengan postur tubuh (ergonomi).

2. Skor 3 - 4, diperlukan investigasi lebih lanjut, mungkin diperlukan adanya perubahan

untuk perbaikan sikap kerja (kurang ergonomi).

3. Skor 5 - 6, diperlukan adanya investigasi dan perbaikan segera (tidak ergonomi).

4. Skor 7+, diperlukan adanya investigasi dan perbaikan secepat mungkin (sangat tidak

ergonomi).

3.6.3 Pengukuran Tingkat Risiko Gangguan Musculoskeletal dengan Metode


Nordic Body Map

Pembagian kuesioner Metode Nordic Body Map kepada responden

dilakukan pada hari kerja setelah jam kerja selesai (jam 14.00 WIB untuk shift I

dan jam 21.00 WIB untuk shift II). Pengukuran tingkat risiko gangguan otot

rangka/MSDs dengan mengisi lembar kuesioner Nordic Body Map dengan

jawaban menurut 4 skala likert yaitu :

1. Skor 1 = Tidak ada gangguan/kenyerian atau tidak ada rasa sakit sama sekali yang

dirasakan oleh pekerja (tidak sakit).

2. Skor 2 = dirasakan sedikit adanya gangguan/kenyerian pada otot skeletal (agak sakit)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


52

3. Skor 3 = responden merasakan adanya gangguan/kenyerian atau sakit pada otot

skeletal (sakit)

4. Skor 4 = responden merasakan gangguan sangat sakit/sangat nyeri pada otot skeletal

(sangat sakit)

3.6.4. Pengukuran Karakteristik Individu

a. Umur rata-rata pegawai berada pada usia produktif, pegawai yang bekerja di

Laboratorium Klinik Pramita berkisar antara 20 sampai dengan >35 tahun, dibedakan

menjadi 4 kategori:

1 = 20 - 30 tahun

2 = > 30 tahun

Skala: Nominal

b. Jenis Kelamin, dibedakan menjadi 2 kategori:

1 = Laki-laki

2 = Perempuan

Skala: Nominal

c. Kebiasaan merokok , dibedakan menjadi 2 kategori:

1 = Merokok

2 = Tidak merokok

Skala: Nominal

d. Masa kerja, lamanya petugas bekerja dihitung dari awal masuk kerja di Lab. Klinik

Pramita, digolongkan menjadi 2 kategori:

1 = 0 - 5 tahun

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


53

2 = >5 tahun

Skala: Nominal

e. Jenis pekerjaan, dibedakan menjadi:

1 = Non teknis

2 = Teknis

Skala: Nominal

f. Postur kerja, dibedakan menjadi:

1 = Kurang ergonomi

2 = Tidak ergonomi

Skala: Nominal

g. Tingkat risiko gangguan otot rangka/MSDs, dibedakan menjadi:

1 = Risiko rendah

2 = Risiko sedang

Skala: Nominal

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


54

3.7 Metode Analisis Data

3.7.1 Teknik Pengolahan Data

Setelah data terkumpul kemudian diolah dengan cara sebagai berikut:

1. Proses editing, dilakukan pengecekan data yang telah dikumpulkan dari hasil

penelitian yang berupa kuesioner dengan menggunakan SPSS, apabila terdapat

kesalahan dan kekurangan dalam pengumpulan data akan diperbaiki dalam penelitian

ulang.

2. Coding, pemberian tanda atau kode pada hasil penelitian dimana data telah terkumpul

dengan tujuan untuk mempermudah memasukkan data ke SPSS.

3. Entry, menyimpan data yang telah terkumpul, selanjutnya diolah ke dalam analisa

data.

4. Tabulating, pengolahan data untuk dibuat ke dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

3.7.2 Analisa Data

Setelah semua data terkumpul maka dilakukan analisa data:

1. Univariat

Analisa data yang dilakukan dengan menggunakan analisa yang bersifat analitik.

Data-data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi persentase

berdasarkan kategori-kategori yang telah disusun dalam kuesioner.

2. Bivariat

Untuk mengetahui hubungan (korelasi) antara variabel bebas (independent variable),

yaitu karakteristik individu (umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, masa kerja

dan jenis pekerjaan) dan postur kerja dengan variabel terikat (dependent variable),

yaitu risiko gangguan musculoskeletal (MSDs). Untuk membuktikan adanya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


55

hubungan yang signifikan antara variabel bebas dengan variabel terikat digunakan

analisis chi-square, pada batas kemaknaan perhitungan statistic p-value (0,05) atau

tingkat kepercayaan 95%.

3. Multivariat

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap gangguan otot

rangka/Musculoskeletal (MSDs) dengan menggunakan Uji Regresi Logistik dengan

tingkat kepercayaan 95%.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


56

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Laboratorium Klinik Pramita berkantor pusat di Surabaya, berdiri sejak

bulan Oktober 1987. Saat ini, Lab. Klinik Pramita mempunyai 25 cabang yang

terdapat di kota Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, Jogjakarta,

Palembang, Padang, Madiun, Balikpapan dan Pekanbaru. Lab. Klinik Pramita

dilengkapi dengan berbagai fasilitas pemeriksaan seperti: hematologi, kimia

klinik, mikrobiologi klinik, parasitologi klinik dan imunologi klinik. Dalam

perkembangan selanjutnya dan sesuai dengan tuntutan dari konsumen, maka Lab.

Klinik Pramita menambah jenis pemeriksaan dengan pemeriksaan Radiologi,

USG (ultrasonografi), EKG (elektrokardiografi), Treadmill, ECHO, Audiometri,

Spirometri, TCD (Trans Cranial Doppler), EEG (Elektroenchephalografi) dan

pemeriksaan medis lainnya (Fisik dokter, Pap Smear, Vaksinasi Hepatitis B).

Lab. Klinik Pramita Cabang Medan dibuka tanggal 01 Juni 2005, terletak

di Jl. P. Diponegoro No. 37 Medan. Pasien yang dilayani sepanjang tahun 2015

sebanyak 63.100 orang atau kurang lebih 195 pasien per hari. Jam operasional

untuk Shift I: 06.30 – 14.30 WIB dan Shift II: 13.30 –21.30 WIB. Buka dari Senin

sampai dengan Sabtu, kecuali hari libur. Kondisi pekerjaan di laboratorium

cenderung statis dan lebih banyak dilakukan dengan posisi duduk, berdiri dan

sedikit dengan posisi membungkuk. Setiap pegawai berdinas 8 jam per hari setara

56

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


57

dengan 40 jam per minggu. Dikarenakan posisi yang cenderung statis dan

berulang, maka mulai timbul gangguan pada sistem otot rangka /Musculoskeletal

Disorders (MSDs). Gangguan tersebut dirasakan bertambah apabila ada lonjakan

pasien, seperti dalam kondisi Medical Check-Up. Penanganan terhadap gangguan

yang dilakukan selama ini, yaitu dengan cara pemberian waktu istirahat (cuti) dan

sistem rolling shift setiap 1 minggu sekali. Proses pelayanan pasien di Lab. Klinik

Pramita secara sederhana dapat digambarkan seperti bagan berikut:

Pasien Pendaftaran oleh Proses


Cust.Service pembayaran

Pengambilan Bahan
Pemeriksaan

Pengolahan bahan
pemeriksaan

Pemeriksaan
Laboratorium

Penyerahan Hasil Administrasi


ke Pasien Laboratorium

Gambar 4.1 Alur Proses Pelayanan di Laboratorium Klinik Pramita

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


58

4.2 Deskripsi Hasil Penelitian

4.2.1 Karakteristik Individu

Tabel 4.1 Karakteristik Individu Responden Lab. Klinik Pramita


Cab. Medan Tahun 2016

Frekuensi
Variabel
n %
1. Umur
20 – 30 tahun 17 56,7
> 30 tahun 13 43,3
2. Jenis Kelamin
Laki – laki 9 30
Perempuan 21 70
3. Kebiasaan Merokok
Merokok 5 16,7
Tidak merokok 25 83,3
4. Masa Kerja
> 5 tahun 18 60
0-5 tahun 12 40
5. Jenis Pekerjaan
Teknis 18 60
Non Teknis 12 40
6. Postur Kerja
Tidak ergonomi 18 60
Kurang ergonomi 12 40

Berdasarkan di atas dapat diketahui bahwa frekuensi umur dari responden

antara 20–30 tahun adalah sebanyak 17 orang (56,7%) dan umur responden >30

tahun adalah 13 orang (43,3%). Dengan demikian dapat digambarkan bahwa

median umur responden di Lab. Klinik Pramita Cab. Medan berada pada umur 30

tahun.

Dilihat dari jenis kelamin, dapat diketahui bahwa sebagaian besar

responden yang ada di Lab. Klinik Pramita Cab. Medan adalah perempuan dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


59

jumlah 21 orang (70%), sedangkan untuk responden laki-laki berjumlah sebanyak

9 orang (30%).

Sebagian besar responden tidak merokok yaitu 25 orang (83,3%),

sedangkan responden yang merokok sebanyak 5 orang (16,7%). Sesuai peraturan

yang berlaku, maka merokok di lingkungan di Lab. Klinik Pramita dilarang.

Responden yang mempunyai masa kerja lebih dari 5 tahun sebanyak 18

orang (60%) dan yang mempunyai masa kerja 0-5 tahun sebanyak 12 orang

(40%). Masih terdapat pegawai yang bekerja sejak awal pembukaan laboratorium

yaitu pada tahun 2005.

Apabila dilihat dari jenis pekerjaan, didapatkan data bahwa responden

yang bekerja di bagian teknis (petugas pengambilan bahan pemeriksaan,

pengolahan bahan pemeriksaan dan proses di laboratorium) sebanyak 18 orang

(60%) dan yang bekerja di bagian non teknis sebanyak 12 orang (40%) yaitu

responden yang bekerja di bagian customer service, administrasi laboratorium,

pengendali dokumen dan bagian verifikasi/validasi hasil pemeriksaan

Hasil pengukuran terhadap postur tubuh dengan metode RULA atau REBA,

diketahui bahwa sebanyak 12 orang (40%) responden bekerja dengan postur

kurang ergonomi, sedangkan sebanyak 18 orang (60%) bekerja tidak ergonomi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


60

Tabel 4.2 Hasil Pengukuran Sudut Postur Kerja (RULA) Responden


Lab. Klinik Pramita Cab. Medan Tahun 2016

No. Nama Upper Arm ( Lower Arm ( ⁰ Neck Trunk


⁰) ) (⁰) (⁰)
1 ARL 40 95 30 10
2 DPA 25 95 20 12
3 FN 45 95 30 20
4 KS 45 95 30 20
5 NMM 25 95 25 12
6 NH 30 102 30 17
7 YNZ 25 95 15 10
8 DD 50 110 15 10
9 DT 60 95 20 35
10 FTS 60 90 15 20
11 HS 65 95 13 20
12 LN 45 86 15 10
13 MAP 55 110 15 20
14 NS 60 90 15 25
15 SDR 98 112 15 20
16 SH 95 110 15 15

Tabel 4.3 Hasil Pengukuran Sudut Postur Kerja (REBA) Responden


Lab. Klinik Pramita Cab. Medan Tahun 2016

No. Nama Trunk ( Neck ( Leg Upper Lower


⁰) ⁰) (⁰) Arm ( ⁰ ) Arm ( ⁰ )
1 AK 60 0 10 90 95
2 DN 20 0 30 35 85
3 IG 30 25 20 80 87
4 IAR 65 0 20 45 95
5 JR 50 0 10 90 70
6 JH 30 0 13 90 65
7 PS 45 0 30 35 85
8 RF 30 15 13 35 75
9 TA 45 0 10 90 85
10 AIS 15 10 0 25 120
11 EYN 15 30 10 85 120
12 RR 15 30 20 25 115
13 RL 15 20 10 65 95
14 SF 15 15 0 35 120

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


61

Setelah dilakukan pengukuran sudut postur kerja dari setiap responden, maka

selanjutnya ditentukan skor untuk RULA atau REBA dari masing-masing responden untuk

mendapatkan Grand Skor/Final Skor.

Tabel 4.4 Skor RULA Responden Lab. Klinik Pramita Cab. Medan
Tahun 2016

Nama Skor Grup A Skor Grup B Grand


Upper Lower Total Trunk Leg Total Skor
Arm Arm Wrist Skor Neck Skor
ARL 3 2 3 4 4 3 1 6 6
DPA 3 2 3 4 4 3 1 6 6
FN 3 1 3 4 4 3 1 6 6
KS 3 2 3 4 4 3 1 6 6
NMM 3 2 3 4 4 3 1 6 6
NH 3 2 3 4 4 3 1 6 6
YNZ 3 2 3 4 4 3 1 6 6
DD 3 1 3 4(+1) 2 2 1 2(+1) 4
DT 3 2 2 4 2 3 1 4 4
FTS 3 1 3 4(+1) 2 2 1 2(+1) 4
HS 3 2 3 4 2 3 1 4 4
LN 3 1 2 4(+1) 2 2 1 2(+1) 4
MAP 3 1 2 4(+1) 2 2 1 2(+1) 4
NS 3 1 3 4(+1) 2 2 1 2(+1) 4
SDR 5 3 2 6 2 3 1 4 6
SH 5 3 2 6 2 3 1 4 6

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


62

Tabel 4.5 Skor REBA Responden Lab. Klinik Pramita Cab. Medan
Tahun 2016

Nama Skor Grup A Skor Grup B Skor Final


Trunk Neck Leg
Total
Arm
Lower
Wirst
Total C Skor
Skor Arm Skor
AK 3 3 2 6 3 2 3 5 8(+1) 9
DN 3 3 2 6 3 2 3 5 8(+1) 9
IG 3 3 2 6 3 2 3 5 8(+1) 9
IAR 3 3 2 6 3 2 3 5 8(+1) 9
JR 3 3 2 6 3 2 3 5 8(+1) 9
JH 3 3 2 6 3 2 3 5 8(+1) 9
PS 3 3 2 6 3 2 3 5 8(+1) 9
RF 3 3 2 6 3 2 3 5 8(+1) 9
TA 3 3 2 6 3 2 3 5 8(+1) 9
AIS 2 2 1 3 3 2 3 5 4(+1) 5
EYN 2 2 1 3 3 2 3 5 4(+1) 5
RR 2 2 1 3 3 2 3 5 4(+1) 5
RL 2 2 1 3 3 2 3 5 4(+1) 5
SF 2 2 1 3 3 2 3 5 4(+1) 5

Tabel 4.6 Rekapitulasi Pengukuran Postur Tubuh Responden Lab. Klinik


Pramita Cab. Medan Tahun 2016

NO NAMA PENGUKURAN SKOR ERGONOMI


1 ARL RULA 6 Tidak Ergonomi
2 DPA RULA 6 Tidak Ergonomi
3 FN RULA 6 Tidak Ergonomi
4 KS RULA 6 Tidak Ergonomi
5 NMM RULA 6 Tidak Ergonomi
6 NH RULA 6 Tidak Ergonomi
7 YNZ RULA 6 Tidak Ergonomi
8 AK REBA 9 Tidak Ergonomi
9 DN REBA 9 Tidak Ergonomi
10 IG REBA 9 Tidak Ergonomi
11 IAR REBA 9 Tidak Ergonomi
12 JR REBA 9 Tidak Ergonomi
13 JH REBA 9 Tidak Ergonomi
14 PS REBA 9 Tidak Ergonomi
15 RF REBA 9 Tidak Ergonomi
16 TA REBA 9 Tidak Ergonomi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


63

Tabel 4.6 (Lanjutan)

17 AIS REBA 5 Kurang Ergonomi


18 DD RULA 4 Kurang Ergonomi
19 DT RULA 4 Kurang Ergonomi
20 EYN REBA 5 Kurang Ergonomi
21 FTS RULA 4 Kurang Ergonomi
22 HS RULA 4 Kurang Ergonomi
23 LN RULA 4 Kurang Ergonomi
24 MAP RULA 4 Kurang Ergonomi
25 NS RULA 4 Kurang Ergonomi
26 RR REBA 5 Kurang Ergonomi
27 RL REBA 5 Kurang Ergonomi
28 SDR RULA 6 Tidak Ergonomi
29 SH RULA 6 Tidak Ergonomi
30 SF REBA 5 Kurang Ergonomi

Pengukuran postur responden dengan RULA menghasilkan skor tertinggi adalah 6

dan terendah adalah 4, sedangkan untuk skor REBA yang tertinggi adalah 9 dan terendah

5.

Skor RULA tertinggi didapat di bagian customer service dan pengolahan bahan

pemeriksaan. Untuk skor RULA terendah terdapat pada bagian administrasi laboratorium,

pengendali dokumen dan bagian verifikasi/validasi hasil laboratorium.

Skor REBA tertinggi terdapat di bagian pengambilan bahan pemeriksaan. Untuk

skor REBA terendah terdapat pada bagian proses di laboratorium.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


64

4.2.2 Risiko Gangguan MSDs

Tabel 4.7 Rekapitulasi Skor Nordic Body Map Responden Lab. Klinik
Pramita Cab. Medan Tahun 2016

NO NAMA PENGUKURAN NBM Tingkat Risiko


1 ARL 53 Sedang
2 DPA 30 Rendah
3 FN 57 Sedang
4 KS 59 Sedang
5 NMM 57 Sedang
6 NH 54 Sedang
7 YNZ 54 Sedang
8 AK 38 Rendah
9 DN 51 Sedang
10 IG 37 Rendah
11 IAR 50 Sedang
12 JR 54 Sedang
13 JH 59 Sedang
14 PS 57 Sedang
15 RF 54 Sedang
16 TA 55 Sedang
17 AIS 51 Sedang
18 DD 34 Rendah
19 DT 30 Rendah
20 EYN 53 Sedang
21 FTS 35 Rendah
22 HS 33 Rendah
23 LN 51 Sedang
24 MAP 31 Rendah
25 NS 34 Rendah
26 RR 34 Rendah
27 RL 52 Sedang
28 SDR 54 Sedang
29 SH 55 Sedang
30 SF 30 Rendah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


65

Tabel 4.8 Distribusi Risiko Gangguan MSDs Responden Lab. Klinik Pramita
Cab. Medan Tahun 2016

No. Tingkat Risiko N %


1. Rendah 11 36,7
2. Sedang 19 63,3
Jumlah 30 100

Dapat diketahui bahwa sebagian besar responden mengalami gangguan MSDs

dengan tingkat risiko sedang yaitu sebanyak 19 orang (63,3%), sedangkan responden

yang mengalami gangguan MSDs dengan tingkat risiko rendah sebanyak 11 orang

(36,7%).

Tabel 4.9 10 (Sepuluh) Gangguan MSDs Tertinggi Responden

No. Jenis Gangguan %


1 Pinggang 83,3
2 Punggung 76,7
3 Tengkuk 76,7
4 Bahu kanan 73,3
5 Leher atas 70
6 Betis 66,7
7 Bokong 63,3
8 Pinggul 50
9 Lengan atas kiri 50
10 Pergelangan tangan kanan 46,7

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


66

4.2.3 Hubungan Variabel Independen dengan Risiko Gangguan MSDs

Tabel 4.10 Hubungan Variabel Independen dengan Gangguan MSDs


Responden Lab. Klinik Pramita Cab. Medan Tahun 2016

Variabel Risiko Gangguan MSDs P PR


Sedang % Renda %
n h
n
1. Umur 0,177 2,963
> 30 tahun 10 76,9 3 23,1
20 – 30 tahun 9 52,9 8 47,1
2. Jenis Kelamin 0,026 6,400
Laki – laki 3 33,3 6 66,7
Perempuan 16 76,2 5 23,8
3. Kebiasaan Merokok 0,865 1,185
Merokok 3 60 2 40
Tidak merokok 16 64 9 36
4. Masa Kerja 0,643 1,429
> 5 tahun 12 66,7 6 33,3
0-5 tahun 7 58,3 5 41,7
5. Jenis Pekerjaan 0,643 1,429
Teknis 12 66,7 6 33,3
Non Teknis 7 58,3 5 41,7
6. Postur Kerja 0,005 10,000
Tidak ergonomi 15 83,3 3 16,7
Kurang ergonomi 4 33,3 8 66,7

Analisis hubungan antara faktor umur responden dengan risiko gangguan

MSDs telah diuji menggunakan uji Chi Square yang menunjukan bahwa nilai

probilitan (p) yang dihasilkan adalah 0,177>α(0,05), maka hipotesis ditolak.

Dengan kata lain tidak ada hubungan faktor umur terhadap risiko gangguan otot

rangka/MSDs.

Analisis hubungan antara faktor jenis kelamin responden dengan risiko

gangguan MSDs telah diuji menggunakan uji Chi Square yang menunjukan bahwa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


67

nilai probilitan (p) yang dihasilkan adalah 0,026<α(0,05), maka hipotesis diterima.

Dengan kata lain ada hubungan faktor jenis kelamin terhadap risiko gangguan otot

rangka/MSDs.

Analisis hubungan antara faktor kebiasaan merokok responden dengan

risiko gangguan MSDs telah diuji menggunakan uji Chi Square yang menunjukan

bahwa nilai probilitan (p) yang dihasilkan adalah 0,865>α(0,05), maka hipotesis

ditolak. Dengan kata lain tidak ada hubungan faktor kebiasaan merokok terhadap

risiko gangguan otot rangka/MSDs.

Analisis hubungan antara faktor masa kerja responden dengan risiko

gangguan MSDs telah diuji menggunakan uji Chi Square yang menunjukan bahwa

nilai probilitan (p) yang dihasilkan adalah 0,643>α(0,05), maka hipotesis ditolak.

Dengan kata lain tidak ada hubungan faktor masa kerja terhadap risiko gangguan

otot rangka/MSDs.

Analisis hubungan antara faktor jenis pekerjaan responden dengan risiko

gangguan MSDs telah diuji menggunakan uji Chi Square yang menunjukan bahwa

nilai probilitan (p) yang dihasilkan adalah 0,643>α(0,05), maka hipotesis ditolak.

Dengan kata lain tidak ada hubungan faktor jenis pekerjaan terhadap risiko

gangguan otot rangka/MSDs.

Analisis hubungan antara faktor postur kerja responden dengan risiko

gangguan MSDs telah diuji menggunakan uji Chi Square yang menunjukan bahwa

nilai probilitan (p) yang dihasilkan adalah 0,005<α(0,05), maka hipotesis diterima.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


68

Dengan kata lain ada hubungan faktor postur kerja terhadap risiko gangguan otot

rangka/MSDs.

4.2.4 Faktor Dominan Risiko Gangguan MSDs

Dilakukan langkah seleksi kandidat untuk menyeleksi variabel independen

manakah yang layak masuk model uji multivariat. Dimana yang layak adalah

yang memiliki tingkat signifikansi (sig.) atau p-value <0,25 dengan metode

“Stepwise” dalam regresi logistik sederhana yaitu dengan melakukan satu persatu

regresi sederhana antara masing-masing variabel independen terhadap variabel

dependen.

Dari hasil seleksi kandidat dengan uji regresi logistik berganda, maka

diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 4.11 Hasil Seleksi Kandidat dengan Uji Regresi Logistik Berganda
Determinan Risiko Gangguan MSDs Responden Lab. Klinik Pramita Cab.
Medan Tahun 2016

Variabel Β S.E P Exp.(B)


Umur -1,086 0,818 0,184 0,338
Jenis Kelamin 1,856 0,873 0,034 6,400
Kebiasaan Merokok 0,170 1,003 0,866 1,185
Masa Kerja 0,357 0,770 0,643 1,429
Jenis Pekerjaan 0,357 0,770 0,643 1,429
Postur Kerja 2,303 0,880 0,009 10,000

Hasil analisis menunjukan p-value variabel kebiasaan merokok (0,866),

masa kerja (0,643) dan jenis pekerjaan (0,643) tidak masuk ke uji multivariat

karena p-valuenya >0,25. Sedangkan p-value variabel umur (0,184), jenis kelamin

(0,034) dan postur kerja (0,009) masuk ke uji multivariat karena p-valuenya

<0,25.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


69

Berarti ada 3 (tiga) variabel yang akan diuji yaitu: variabel umur, jenis

kelamin dan postur kerja. Langkah selanjutnya adalah memasukan ketiga variabel

di atas dalam uji regresi logistik berganda.

Tabel 4.12 Hasil Uji Regresi Logistik Berganda Tahap Pertama Determinan
Risiko Gangguan MSDs Responden Lab. Klinik Pramita Cab. Medan
Tahun 2016

Variabel Β P Exp.(B) CI 95%


Umur -1,924 0,105 0,146 0,014-1,492
Jenis Kelamin 2,912 0,027 18,392 1,402-241,291
Postur Kerja 3,234 0,011 25,389 2,068-311,636

Variabel umur memiliki p-value >0,05 yaitu 0,105. Variabel jenis kelamin

memiliki p-value <0,05 yaitu 0,027 dan postur kerja memiliki p-value <0,05 yaitu

0,011. Langkah selanjutnya yaitu variabel yang memiliki p-value terbesar yaitu

umur dikeluarkan dari model.

Tabel 4.13 Hasil Uji Regresi Logistik Berganda Tahap Kedua: Variabel
Umur dikeluarkan dari Model

Variabel OR umur OR umur Perubahan


Ada tidak ada OR (%)
Umur 0,146 - -
Jenis Kelamin 18,392 13,323 27,6
Postur Kerja 25,389 18,462 27,3

Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa setelah variabel umur

dikeluarkan, diperoleh perubahan OR >10% yaitu pada variabel jenis kelamin

(27,6%) dan variabel postur kerja (27,3%) sehingga variabel umur dimasukkan

kembali ke dalam permodelan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


70

Langkah selanjutnya yaitu pengeluaran variabel jenis kelamin karena

memiliki p-value terbesar kedua (0,027) setelah variabel umur.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


71

Tabel 4.14 Hasil Uji Regresi Logistik Berganda Tahap Ketiga: Variabel Jenis
Kelamin dikeluarkan dari Model

Variabel OR jenis kelamin OR jenis kelamin Perubahan


Ada tidak ada OR (%)
Umur 0,146 0,241 65
Jenis Kelamin 18,392 - -
Postur Kerja 25,389 12,200 51,9

Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa setelah variabel jenis

kelamin dikeluarkan, diperoleh perubahan OR>10% yaitu pada variabel umur

(65%) dan variabel postur kerja (51,9%) sehingga variabel jenis kelamin

dimasukkan kembali ke dalam permodelan.

Tabel 4.15 Model Akhir Analisis Multivariat Determinan Risiko MSDs


Responden Lab. Klinik Pramita Cab. Medan Tahun 2016

Variabel Β P Exp.(B) CI 95%


Umur -1,924 0,105 0,146 0,014-1,492
Jenis Kelamin 2,912 0,027 18,392 1,402-241,291
Postur Kerja 3,234 0,011 25,389 2,068-311,636

Dari hasil analisis seperti dalam tabel 4.15 di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa faktor yang paling berhubungan/dominan terhadap terjadinya risiko

gangguan otot rangka/MSDs adalah faktor postur kerja responden karena

mempunyai nilai p=0,011<α(0,05). Nilai Odds Ratio (Exp.(B)) terbesar yang

diperoleh yaitu 25,389 artinya postur kerja responden mempunyai peluang 25,389

kali menyebabkan terjadinya risiko gangguan otot rangka/MSDs.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


72

BAB 5

PEMBAHASAN

5.1. Karakteristik Individu

Pegawai yang bekerja di laboratorium klinik merupakan kalangan

professional yang mempunyai risiko kerja berupa gejala gangguan otot rangka

(Maulik, 2012). Hal ini disebabkan karena pekerjaan di laboratorium klinik

cenderung statis dan berulang dalam jangka waktu yang lama.

5.1.1 Umur

Sebagian besar responden di Laboratorium Klinik Pramita berumur antara

20-30 tahun sebanyak 17 responden (56,7%) sedangkan 13 responden (43,3%)

berumur di atas 30 tahun. Responden berumur >30 tahun mengalami gangguan

MSDs sedang 76,9%, lebih tinggi dari yang mengalami gangguan MSDs rendah

23,1%. Responden berumur 20-30 tahun mengalami gangguan MSDs sedang

52,9%, lebih tinggi dari yang mengalami gangguan MSDs rendah 47,1%.

Prevalensi gangguan MSDs yang dialami responden baik yang berumur

antara 20-30 tahun dengan responden yang di atas 30 tahun adalah hampir sama,

sebagian besar bersifat gangguan MSDs kategori sedang.

Dari hasil penelitian ini didapatkan data bahwa gangguan MSDs tidak

hanya terjadi pada responden dengan umur di atas 30 tahun. Pada responden

dengan umur termuda (22 tahun) sudah terdapat adanya gangguan MSDs

meskipun pada tahap rendah. Responden dengan umur >30 tahun mengalami

72

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


73

gangguan MSDs secara bervariatif, mulai dari gangguan pada leher, tengkuk,

punggung, pinggang dan betis. Responden dengan umur tertua (43 tahun)

mengalami gangguan MSDs kategori sedang dengan hampir semua otot rangkanya

mengalami gangguan.

Lab. Klinik Pramita tidak memberlakukan kebijakan batasan umur untuk

suatu pekerjaan. Responden yang mulai bekerja di suatu bagian ketika berumur

masih muda akan tetap bekerja di bagian itu sampai dengan batas waktu tidak

tertentu. Hal ini memungkinkan seseorang bekerja secara statis dalam jangka

waktu lama dalam satu posisi pekerjaan dan bisa menimbulkan risiko gangguan

MSDs dikemudian hari. Mutasi pekerjaan ke bagian lain tidak tergantung kepada

umur responden tetapi lebih disebabkan adanya promosi jabatan.

Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa tidak ada hubungan faktor umur

terhadap gangguan MSDs karena didapat nilai probabilitan p=0,177>α(0,05). Hal

ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Agrawal, et al. (2014) terhadap

250 orang laboratory professionals (Lab technicians, pathologists,

microbiologists, biochemistry technologists) yang menjelaskan bahwa MSDs tidak

hanya terjadi pada umur di atas 30 tahun saja tetapi juga dapat terjadi pada teknisi

yang masih muda. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Pratiwi dkk (2009) terhadap 30 orang penjual jamu gendong yang

menunjukan bahwa umur tidak berhubungan dengan kejadian nyeri punggung

bawah (p=0,335>α 0,05).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


74

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Nuryaningtyas dan Martiana

(2014) terhadap 33 orang perawat yang bekerja di RSUD Bhakti Dharma Husada

Surabaya menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara umur

dengan gangguan MSDs (p=1,000>α 0,05).

Menurut Mardiman (2001) dalam Vijaya (2008) diungkapkan bahwa nyeri

pinggang bisa terjadi pada usia muda dan sebagian besar menyerang pada umur

produktif.

Menurut Chaffin dan Guo et al (1995) menyatakan bahwa mulai umur 35

tahun kebanyakan orang akan mengalami gangguan pertama berupa sakit bagian

belakang (umur pekerja antara 25 sampai 65 tahun) dan gangguan tersebut akan

terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur (Bernard, 1997). Hal ini

terjadi karena umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun

sehingga risiko terjadi gangguan otot meningkat.

Dikarenakan komposisi responden yang sebagian besar berada pada umur

20-30 tahun dan gangguan MSDs yang dominan ada pada kategori sedang, maka

karakteristik individu umur tidak berhubungan terhadap risiko gangguan otot

rangka/MSDs.

5.1.2 Jenis Kelamin

Sebagian besar responden di Laboratorium Klinik Pramita berjenis

kelamin perempuan sebanyak 21 responden (70%) sedangkan 9 responden (30%)

berjenis kelamin laki-laki. Responden perempuan mengalami gangguan MSDs

sedang 76,2%, lebih tinggi dari yang mengalami gangguan MSDs rendah 23,8%.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


75

Responden laki-laki mengalami gangguan MSDs sedang 33,3%, lebih rendah dari

yang mengalami gangguan MSDs rendah 66,7%.

Responden perempuan dalam melaksanakan pekerjaan cenderung lebih

teratur, mereka bekerja secara simultan dan jarang untuk mengambil waktu

istirahat dan bergeser dari tempat kerja selama pekerjaannya belum selesai,

sedangkan untuk responden laki-laki lebih banyak pergerakan selama

melaksanakan pekerjaannya. Hal inilah yang menyebabkan perempuan berada

pada posisi statis dalam jangka waktu lebih lama dari pada responden laki-laki

sehingga perempuan mempunyai risko gangguan otot rangka lebih tinggi bila

dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu jumlah pekerjaan yang dilakukan oleh

perempuan biasanya lebih banyak bila dibandingkan dengan laki-laki. Laki-laki

cenderung mengerjakan pekerjaan yang lebih banyak pergerakannya meskipun

secara kuantitas jumlah pekerjaannya lebih sedikit.

Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa ada hubungan faktor jenis

kelamin terhadap gangguan MSDs karena didapat nilai probabilitan

p=0,026<α(0,05). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Benard et

al. (1994), Hales et al. (1994), Johansson (1994), Chiang et al. (1993) menyatakan

bahwa prevalensi MSDs tertinggi ditemukan pada perempuan (Bernard, 1997).

Penelitian yang dilakukan oleh Muralidharan et al (2012) terhadap 73

dokter gigi juga menyatakan bahwa prevalensi MSDs paling banyak terjadi pada

dokter gigi perempuan (87%).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


76

Penelitian Agrawal et all (2014) terhadap 250 orang Medical Laboratory

Profesionals menemukan bahwa prevalensi MSDs paling banyak terjadi pada

perempuan yaitu sebesar 83%. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukan oleh

Astrand & Rodahl (1996) yang menjelaskan bahwa kekuatan otot perempuan

hanya sekitar dua pertiga dari kekuatan otot laki-laki, sehingga daya tahan otot

laki-laki pun lebih tinggi dibandingan dengan perempuan (Tarwaka, 2015). Konz

& Johnson (2008) menyebutkan pekerja perempuan memiliki insiden nyeri

pinggang lebih tinggi daripada laki-laki dimana mereka melakukan pekerjaan

berat secara fisik yang sama (Tarwaka, 2015).

5.1.3 Kebiasaan Merokok

Sebagian besar responden di Laboratorium Klinik Pramita tidak merokok

sebanyak 25 responden (83,3%) sedangkan 5 responden (16,7%) mempunyai

kebiasaan merokok. Responden yang mempunyai kebiasan merokok mengalami

gangguan MSDs sedang 60%, lebih tinggi dari yang mengalami gangguan MSDs

rendah 40%. Responden yang tidak merokok mengalami gangguan MSDs sedang

64%, lebih tinggi dari yang mengalami gangguan MSDs rendah 36%.

Lab. Klinik Pramita melarang pegawai untuk merokok selama bekerja. Hal

ini yang menyebabkan jumlah responden yang merokok jumlahnya sedikit.

Aktivitas merokok dari responden dilakukan pada waktu jam istirahat. Jumlah

rokok yang dihisap oleh responden tidak terlalu banyak setiap harinya sewaktu

jam kerja karena keterbatasan dari waktu istirahat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


77

Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa tidak ada hubungan faktor

kebiasaan merokok terhadap gangguan MSDs karena didapat nilai probabilitan

p=0,865>α(0,05). Hal ini berlawanan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Boshuizen, et al (1993) menemukan hubungan yang signifikan antara kebiasaan

merokok dengan gangguan otot pinggang, khususnya untuk pekerjaan yang

memerlukan pengerahan otot.

Hubungan kebiasaan merokok terhadap risiko gangguan otot juga masih

diperdebatkan oleh para ahli (Tarwaka, 2015).

Hasil penelitian ini sejalan juga dengan penelitian yang dilakukan oleh

Nuryaningtyas dan Martiana (2014) terhadap 33 orang perawat yang bekerja di

RSUD Bhakti Dharma Husada Surabaya yang menyatakan bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan gangguan MSDs

(p=1,000>α).

Hal lain yang menyebabkan kebiasaan merokok tidak berhubungan dengan

risiko MSDs pada responden adalah dikarenakan pekerjaan yang ada di Lab.

Klinik Pramita bukan pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot secara luas.

5.1.4 Masa Kerja

Sebagian besar responden di Laboratorium Klinik Pramita sudah bekerja

selama >5 tahun sebanyak 18 responden (60%) sedangkan 12 responden (40%)

bekerja antara 0-5 tahun. Responden yang sudah bekerja >5 tahun mengalami

gangguan MSDs sedang 66,7%, lebih tinggi dari yang mengalami gangguan MSDs

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


78

rendah 33,3%. Responden bekerja antara 0-5 tahun mengalami gangguan MSDs

sedang 58,3%, lebih tinggi dari yang mengalami gangguan MSDs rendah 41,7%.

Gangguan MSDs dirasakan secara bervariatif oleh responden. Ada

responden dengan masa kerja <5 tahun sudah mempunyai skor NBM 59 tetapi ada

juga responden yang memiliki masa kerja 10 tahun hanya mempunyai skor NBM

hanya 31. Dari hal tersebut maka masa kerja tidak berhubungan dengan masa

kerja.

Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa tidak ada hubungan faktor masa

kerja terhadap gangguan MSDs karena didapat nilai probabilitan p=0,643>α(0,05).

Hal ini sejalan dengan penelitian Pratiwi dkk (2009) terhadap 30 orang penjual

jamu gendong yang menunjukan bahwa masa kerja tidak berhubungan dengan

kejadian nyeri punggung bawah (p=1,000>α). Akan tetapi hasil penelitian ini

berlawanan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nuryaningtyas dan Martiana

(2014) terhadap 33 orang perawat yang bekerja di RSUD Bhakti Dharma Husada

Surabaya menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara masa kerja

dengan gangguan MSDs (p=0,012<α).

Menurut Suma’mur (2014) dalam seminggu orang hanya bisa bekerja

dengan baik selama 40-50 jam. Lebih dari itu kecenderungan timbulnya hal-hal

yang negatif. Makin panjang waktu kerja, makin besar kemungkinan terjadinya

hal-hal yang tidak diinginkan. Gangguan pada otot muncul 2 tahun setelah bekerja

dengan jenis pekerjaan yang sama. Pekerjaan yang sama merupakan pekerjaan

yang menggunakan otot yang sama dalam waktu yang lama atau lebih dari 2 jam.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


79

5.1.5 Jenis Pekerjaan

Sebagian besar responden di Laboratorium Klinik Pramita adalah pegawai

teknis sebanyak 18 responden (60%) sedangkan 12 responden (40%) adalah

pegawai non teknis. Responden pegawai teknis mengalami gangguan MSDs

sedang 66,7%, lebih tinggi dari yang mengalami gangguan MSDs rendah 33,3%.

Responden pegawai non teknis mengalami gangguan MSDs sedang 58,3%, lebih

tinggi dari yang mengalami gangguan MSDs rendah 41,7%.

Responden di bagian teknis dan non teknis cenderung bekerja secara terus

menerus pada pekerjaan yang sama dan menggunakan peralatan yang sama.

Pekerjaaan tersebut menyebabkan terjadinya kontraksi otot pada posisi yang sama

secara terus menerus juga. Responden diberikan waktu istirahat untuk relaksasi,

hal ini dapat menurunkan tingkat risiko gangguan otot rangka/MSDs.

Responden yang bekerja di bagian teknis mempunyai gangguan MSDs

lebih banyak dari pada responden yang bekerja di bagian non teknis. Hal ini

terkait dengan pekerjaan responden di bagian teknis harus menggunakan peralatan

medis atau mesin-mesin pemeriksaan sehingga kontraksi otot lebih banyak

diperlukan untuk bekerja. Namun demikian responden di bagian teknis memiliki

keuntungan berupa gerakan bervariasi antara posisi duduk dan berdiri selama jam

kerja sehingga tidak terpaku pada posisi statis.

Responden di bagian non teknis bekerja tidak menggunakan perlalatan

medis sehingga kontraksi otot tidak begitu banyak diperlukan, tapi disisi lain

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


80

responden bekerja di depan komputer dalam jangka waktu yang lama serta pada

posisi statis selama jam kerjanya.

Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa tidak ada hubungan faktor jenis

pekerjaan terhadap gangguan MSDs karena didapat nilai probabilitan

p=0,643>α(0,05). Menurut penelitian ini, gangguan MSDs bukan hanya terjadi

pada responden yang bekerja di bagian teknis saja, akan tetapi dirasakan juga oleh

responden yang bekerja di bagian non teknis yang setiap harinya bekerja dengan

menggunakan komputer. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Rahadini (2006) yang melakukan survei kuisioner terhadap karyawan

perkantoran di tujuh kantor perusahaan nasional di Bandung dan Yogyakarta.

Responden yang dipilih adalah mereka yang dominan dengan pekerjaan komputer

(duduk). Dari sekitar 200 kuisioner yang kembali, ditemukan tingkat prevalensi

gangguan sistem otot rangka terbesar ada pada bagian leher (68,7%), bagian

punggung (62,1%) dan bagian tulang belakang (60%).

Economic News Realease yang dikeluarkan oleh U.S. Bureau of Labor

Statistics pada tahun 2014 mengemukakan data bahwa Insiden Rate MSDs bisa

terjadi pada pengawai yang bekerja di bagian teknis maupun teknis.

Aktivitas berulang berupa pekerjaaan yang dilakukan secara terus menerus

dapat menyebabkan terjadinya gangguan MSDs karena otot menerima tekanan

akibat beban kerja secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk

relaksasi (Tarwaka, 2015).

5.1.6 Postur Kerja

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


81

Sebagian besar responden di Laboratorium Klinik Pramita mengalami

postur kerja tidak ergonomi sebanyak 18 responden (60%) sedangkan 12

responden (40%) mengalami postur kerja yang kurang ergonomi. Responden

berpostur kerja tidak ergonomi mengalami gangguan MSDs sedang 83,3%, lebih

tinggi dari yang mengalami gangguan MSDs rendah 16,7%. Responden berpostur

kerja kurang ergonomi mengalami gangguan MSDs sedang 33,3%, lebih rendah

dari yang mengalami gangguan MSDs rendah 66,7%.

Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa ada hubungan faktor postur kerja

terhadap gangguan MSDs karena didapat nilai probabilitan (p) 0,005<α (0,05).

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi dkk (2009) yang

menunjukan bahwa sikap kerja berhubungan dengan kejadian nyeri punggung

bawah (p = 0,04<α 0,05).

Penelitian dari Andayasari dkk (2012) menyimpulkan bahwa postur kerja

yang menetap dan kaku pada saat merawat pasien, peralatan yang digunakan tidak

ergonomi merupakan faktor risiko dokter gigi mengalami gangguan

muskuloskeletal.

Penelitian lain yang dilakukan oleh oleh Nuryaningtyas dan Martiana

(2014) terhadap 33 orang perawat yang bekerja di RSUD Bhakti Dharma Husada

Surabaya juga menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara sikap

kerja dengan gangguan MSDs (p = 0,033<α, 0,05).

Penelitian lain yang sejalan dengan penelitian ini juga adalah penelitian

yang dilakukan oleh Agrawal et. al. (2014) mengemukakan bahwa postur yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


82

canggung yang melibatkan otot leher dan bahu dapat meningkatkan risiko dari

MSDs. Penelitian dari Arora et. al. (2015) menyebutkan bahwa pekerjaan yang

menyebabkan terjadinya masalah gangguan otot rangka secara kuat dihubungkan

dengan postur kerja tidak ergonomi di tempat kerja. Penelitian dari Sihombing

(2015) menyatakan adanya hubungan sikap kerja dengan Muskuloskeletal

Disorders pada penjahit di Pusat Industri Kecil Menteng Medan.

Postur kerja yang tidak alamiah adalah postur kerja yang menyebabkan

bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah. Semakin jauh posisi tubuh

dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula risiko terjadinya gangguan

otot skeletal atau sering disebut sebagai MSDs (Tarwaka, 2015). MSDs

merupakan masalah yang signifikan pada pekerja. MSDs pada awalnya

menyebabkan sakit, nyeri, mati rasa, kesemutan, bengkak, kekakuan, gemetar,

gangguan tidur dan rasa terbakar. Gangguan tubuh yang sering dikeluhkan

meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan, punggung, pinggang dan otot-otot

bagian bawah dikemukakan oleh Attwood et. al. dalam Miftah (2012). Postur

kerja ini pada umumnya terjadi karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan

stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja (Tarwaka,

2015).

Untuk pekerjaan fisik, otot adalah bagian tubuh yang terpenting dalam

pelaksanaan aktivitas kerja. Pada waktu otot kontraksi, darah yang berada antara

serat-serat otot atau di luar pembuluh darah otot terjepit sehingga peredaran darah

terhambat yang mengakibatkan pertukaran zat terganggu. Hal demikian menjadi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


83

salah satu penyebab dari timbulnya kelelahan otot. Kelelahan otot secara fisik

antara lain merupakan akibat dari efek zat sisa metabolisme seperti asam laktat,

karbondioksida atau zat lainnya (Suma’mur, 2014).

5.1.7.1 Analisis Postur Kerja Customer Service (Non Teknis)

Analisis postur kerja di bagian Customer Service dilakukan dengan

metode RULA (The Rapid Upper Limb Assessment). Prosedur dalam penggunaan

metode RULA meliputi tiga tahap. Tahap pertama adalah menentukan siklus kerja

dan mengobservasi pekerja selama variasi siklus kerja. Tahap kedua adalah

memilih postur kerja yang akan dinilai. Tahap ketiga adalah menentukan skor dan

tingkat aksi untuk menilai kemungkinan risiko yang terjadi (Tarwaka, 2015).

Setelah dilakukan penilaian terhadap postur kerja Customer Service

dengan metode RULA, maka skor RULA yang didapat adalah level 6 dengan

tingkat aksi berupa diperlukan adanya investigasi dan perbaikan segera.

Skor RULA ini dihasilkan dari pengukuran sudut yang dibentuk oleh

perbedaan anggota tubuh dengan titik tertentu pada postur kerja yang dinilai.

Sebagai contoh adalah hasil pengukuran sudut dari salah satu responden customer

service sebagai berikut: sudut lengan atas 45⁰, sudut lengan bawah 95⁰, sudut

leher 30⁰ dan sudut punggung 20⁰. Sehingga secara keseluruhan grand skor

RULA adalah level 6.

Postur kerja seorang Customer Service dalam melakukan input data

pelanggan adalah menghadap ke depan dengan posisi leher memuntir ke kanan

karena letak monitor berada pada posisi tidak sejajar dengan wajah customer

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


84

service (terletak di depan sebelah kanan). Posisi tangan dalam mengoperasikan

keyboard komputer berada di bawah meja kerja sedangkan posisi mouse berada di

atas meja kerja. Posisi lengan harus memuntir ke kanan untuk mengambil nota

yang sudah selesai di print.

Posisi bekerja seperti tersebut di atas dilakukan secara terus menerus

selama jam kerja dan akan meningkat intensitasnya dengan bertambahnya jumlah

pasien terutama saat terjadi Medical Check-Up.

5.1.7.2 Analisis Postur Kerja Pengambilan Bahan Pemeriksaan (Teknis)

Analisis postur kerja di bagian pengambilan bahan pemeriksaan dilakukan

dengan metode REBA (Rapid Entire Body Assessment). Prosedur dalam

penggunaan metode REBA meliputi tiga tahap. Tahap pertama adalah menentukan

siklus kerja dan mengobservasi pekerja selama variasi siklus kerja. Tahap kedua

adalah memilih postur kerja yang akan dinilai. Tahap ketiga adalah menentukan

skor dan tingkat aksi untuk menilai kemungkinan risiko yang terjadi (Tarwaka,

2015).

Setelah dilakukan penilaian terhadap postur kerja responden bagian

pengambilan bahan pemeriksaan dengan metode REBA, maka skor REBA yang

didapat adalah level 9 dengan tingkat aksi berupa diperlukan tindakan segera.

Skor REBA ini dihasilkan dari pengukuran sudut yang dibentuk oleh

perbedaan anggota tubuh dengan titik tertentu pada postur kerja yang dinilai.

Sebagai contoh adalah hasil pengukuran sudut dari salah satu responden

pengambilan bahan pemeriksaan sebagai berikut: sudut badan 30⁰, sudut leher

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


85

25⁰, sudut kaki 20⁰, sudut lengan atas 80⁰ dan sudut lengan bawah 87⁰. Sehingga

secara keseluruhan grand skor REBA adalah level 9.

Postur kerja seorang responden pengambilan bahan pemeriksaan dalam

melakukan pengambilan darah adalah pada posisi berdiri menghadap pasien

dengan membungkuk, tangan menjulur ke arah lengan pasien untuk menusukan

jarum dan menarik darah ke luar dari pembuluh darah melalui tabung vacuum

(vacutainer) atau jarum suntik (spuit).

Postur kerja berdiri sambil membungkuk akan dilakukan oleh responden

selama proses pengambilan bahan pemeriksaan. Postur kerja ini berisiko

menyebabkan gangguan MSDs, terlebih lagi pada saat Medical Check-Up dimana

jumlah pasien meningkat dan proses pengambilan bahan dilakukan secara

kontinyu sampai dengan pasien selesai, terkadang tidak ada waktu istirahat selama

proses pengambilan bahan berlangsung.

5.1.7.3 Analisis Postur Kerja Pengolahan Bahan Pemeriksaan (Teknis)

Analisis postur kerja di bagian pengolahan bahan pemeriksaan dilakukan

dengan metode RULA (The Rapid Upper Limb Assessment).

Setelah dilakukan penilaian terhadap postur kerja responden yang bertugas

dibagian pengolahan bahan pemeriksaan dengan metode RULA, maka skor RULA

yang didapat adalah level 6 dengan tingkat aksi berupa diperlukan adanya

investigasi dan perbaikan segera.

Skor RULA ini dihasilkan dari pengukuran sudut yang dibentuk oleh

perbedaan anggota tubuh dengan titik tertentu pada postur kerja yang dinilai.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


86

Sebagai contoh adalah hasil pengukuran sudut dari salah satu responden

pengolahan bahan pemeriksaan sebagai berikut: sudut lengan atas 95⁰, sudut

lengan bawah 110⁰, sudut leher 15⁰ dan sudut punggung 15⁰. Sehingga secara

keseluruhan grand skor RULA adalah level 6.

Postur kerja seorang responden pengolahan bahan pemeriksaan dalam

melakukan pengolahan sampel darah adalah pada posisi duduk menghadap ke

centrifuge. Penggunaan kursi yang terlalu rendah dan posisi centrifuge yang lebih

tinggi dari posisi responden menyebabkan responden harus mengangkat tangan

secara maksimal (ekstensi) guna meletakan tabung darah di centrifuge atau ketika

mengambil tabung darah yang sudah selesai disentrifugasi.

Postur kerja ini akan berlangsung secara terus menerus selama proses

pengolahan bahan pemeriksaan. Setelah bahan pemeriksaan selesai diolah,

selanjutnya responden mengantarkan bahan pemeriksaan tersebut ke laboratorium

dengan cara berjalan kaki dengan jarak ±50 meter. Kontainer bahan pemeriksaan

yang diangkat umumnya kurang dari 2 kg untuk sekali pengantaran bahan.

5.1.7.4 Analisis Postur Kerja Proses di Laboratorium (Teknis)

Analisis postur kerja di bagian proses di laboratorium dilakukan dengan

metode RULA atau REBA, tergantung pada posisi responden. Bila posisi kerja

responden duduk, maka penilaian postur kerja dilakukan dengan metode RULA

dan apabila posisi kerja responden kombinasi antara posisi berdiri dan duduk,

maka penilaian postur kerja dilakukan dengan metode REBA.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


87

Skor RULA dihasilkan dari pengukuran sudut yang dibentuk oleh

perbedaan anggota tubuh dengan titik tertentu pada postur kerja yang dinilai.

Sebagai contoh adalah hasil pengukuran sudut dari salah satu responden yang

bekerja di laboratorium dengan menggunakan mikroskop sebagai berikut: sudut

lengan atas 65⁰, sudut lengan bawah 95⁰, sudut leher 13⁰ dan sudut punggung 30⁰.

Sehingga secara keseluruhan grand skor RULA adalah level 4 dengan tingkat aksi

berupa diperlukan investigasi lebih lanjut, mungkin diperlukan adanya perubahan

untuk perbaikan postur kerja.

Postur kerja responden yang menggunakan mikroskop dalam bekerja

dalam posisi duduk dan leher sedikit fleksi untuk melihat lapang pandang pada

objek glass yang diperiksa. Selain itu posisi tangan selalu memutar-mutar tombol

untuk menyelaraskan lapang pandang pada mikroskop.

Postur kerja responden di bagian mikrobiologi adalah duduk dengan posisi

badan sedikit membungkuk untuk melakukan kultivasi bakteri pada media. Postur

ini berlangsung selama ±10 menit untuk setiap proses 1 (satu) bahan pemeriksaan

mikrobiologi. Hasil pengukuran sudut postur kerja responden di bagian

mikrobiologi yaitu sudut lengan atas 60⁰, sudut lengan bawah 95⁰, sudut leher 20⁰

dan sudut punggung 35⁰. Sehingga secara keseluruhan grand skor RULA adalah

level 4 dengan tingkat aksi berupa diperlukan investigasi lebih lanjut, atau adanya

perubahan untuk perbaikan postur kerja.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


88

Responden yang bekerja di bagian kimia klinik dan immunologi biasanya

kombinasi antara posisi duduk dan berdiri. Responden dibagian ini biasanya

mengoperasikan alat laboratorium yang cukup besar dimensinya. Pergerakan dari

tempat duduk untuk persiapan sampai dengan berdiri dalam mengoperasikan alat,

rutin dilakukan secara bergantian oleh responden. Hasil pengukuran sudut postur

kerja responden di bagian kimia klinik dan immunologi yaitu sudut badan 15⁰,

sudut leher 15⁰, sudut kaki 0⁰, sudut lengan atas 35⁰ dan sudut lengan bawah

120⁰. Sehingga secara keseluruhan grand skor REBA adalah level 5 dengan

tingkat aksi berupa diperlukan tindakan.

Responden yang bekerja di bagian hematologi bekerja dengan kombinasi

antara posisi duduk dan berdiri. Responden dibagian ini biasanya mengoperasikan

alat laboratorium. Pergerakan dari tempat duduk untuk persiapan sampai dengan

berdiri dalam mengoperasikan alat, secara rutin dilakukan bergantian oleh

responden. Hasil pengukuran sudut postur kerja responden di bagian hematologi

yaitu sudut badan 15⁰, sudut leher 20⁰, sudut kaki 10⁰, sudut lengan atas 65⁰ dan

sudut lengan bawah 95⁰. Sehingga secara keseluruhan grand skor REBA adalah

level 5 dengan tingkat aksi berupa diperlukan tindakan.

5.1.7.5 Analisis Postur Kerja di bagian Administrasi (Non Teknis)

Responden yang bekerja di bagian administrasi terdiri dari administrasi

laboratorium, pengendali dokumen dan bagian verifikasi-validasi hasil

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


89

laboratorium. Analisis postur kerja di bagian pengolahan bahan pemeriksaan

dilakukan dengan metode RULA (The Rapid Upper Limb Assessment).

Skor RULA dihasilkan dari pengukuran sudut yang dibentuk oleh

perbedaan anggota tubuh dengan titik tertentu pada postur kerja yang dinilai.

Sebagai contoh adalah hasil pengukuran sudut dari salah satu responden yang

bekerja di bagian administrasi laboratorium sebagai berikut: sudut lengan atas:

50⁰, sudut lengan bawah: 110⁰, sudut leher: 15⁰ dan sudut punggung: 10⁰.

Setelah dilakukan penilaian terhadap postur kerja responden yang bertugas

dibagian administrasi dengan metode RULA, maka skor RULA yang didapat

adalah level 4 dengan tingkat aksi berupa diperlukan investigasi lebih lanjut, juga

diperlukan adanya perubahan untuk perbaikan postur kerja.

Responden yang bekerja di bagian administrasi umumnya bekerja dengan

posisi duduk di depan komputer. Menurut pendapat Grandjean (1993) yang dikutip oleh

Wowo (2014), pekerjaan dengan posisi duduk memiliki keuntungan antara lain

pembebanan pada kaki, penggunaan energi sehingga keperluan untuk sirkulasi darah

dapat dikurangi, dibandingkan dengan bekerja pada posisi berdiri. Ditinjau dari aspek

kesehatan, bekerja pada posisi duduk yang memerlukan waktu lama dapat menimbulkan

otot perut semakin elastis, tulang belakang melengkung, otot bagian mata terkonsentrasi

sehingga cepat merasa lelah. Kejadian tersebut, jika tidak diimbangi dengan rancangan

tempat duduk yang tidak memberikan keleluasaan gerak atau alih pandang yang memadai

tidak menutup kemungkinan terjadinya gangguan bagian punggung belakang, ginjal dan

mata. Posisi duduk pada otot rangka (musculoskeletal) dan tulang belakang terutama pada

pinggang harus dapat ditahan oleh sandaran kursi agar terhindar dari nyeri dan cepat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


90

lelah. Pada posisi duduk, tekanan tulang belakang akan meningkat dibanding berdiri atau

berbaring (Santoso, 2004).

5.2 Risiko Gangguan Otot Rangka/MSDs

Telah dilakukan penelitian tentang gangguan muskuloskeletal/MSDs

terhadap 30 orang responden yang bekerja di Lab.Klinik Pramita Cab.Medan

dengan menggunakan metode Nordic Body Map. Metode ini merupakan metode

yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan (severity) atas terjadinya

gangguan pada otot-otot skeletal. Metode Nordic Body Map merupakan metode

lanjutan yang dapat digunakan setelah melakukan observasi dengan metode RULA

atau REBA (Tarwaka, 2015).

Metode Nordic Body Map meliputi 28 bagian otot-otot skeletal pada kedua

sisi tubuh kanan dan kiri dimulai dari anggota tubuh bagian atas yaitu otot leher

sampai dengan bagian paling bawah yaitu otot pada kaki. Melalui kuisioner

Nordic Body Map akan dapat diketahui bagian-bagian otot mana saja yang

mengalami gangguan kenyerian, mulai dari tingkat rendah sampai dengan

gangguan tingkat tinggi (gangguan sangat sakit).

Hasil penelitian menunjukan bahwa gangguan muskuloskeletal/MSDs

dirasakan oleh seluruh responden dengan tingkat risiko rendah sebanyak 11 orang

(36,7%) dan tingkat risiko sedang sebanyak 19 orang (63,3%). Gangguan MSDs

pada otot pinggang, punggung dan tengkuk menempati posisi teratas dengan

presentase 83,3% untuk otot pinggang dan masing-masing 76,7% untuk punggung

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


91

dan tengkuk. Presentase gangguan MSDs pada bahu 73,3%, leher 70%, betis

66,7%, pantat 63,3%, pinggul dan lengan atas 50% serta pergelangan tangan

kanan sebesar 46,7%.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maulik

et. al (2012) terhadap 49 Laboratory Technicians di Mumbai Hospital yang

menyimpulkan bahwa terdapat gangguan MSDs pada pekerja dengan lokasi pada

pinggang (30,61%), lutut (20,40%) dan leher (18,36%).

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Agrawal et. al. (2014) terhadap 250 Laboratory Profesionals di Udupi

Distrik Karnataka India yang menyimpulkan bahwa terdapat prevalensi MSDs

pada otot leher sebesar 8% dan pinggang sebanyak 6,8%.

Penelitian lain yang sejalan dengan hasil penelitian ini dilakukan oleh

Arora (2015) terhadap 100 Pathology Laboratory Technicians di Mumbai, India

yang menunjukan gangguan MSDs pada pinggang sebesar 53%, leher 39%,

pergelangan tangan 21%, bahu 21%, tumit 14% dan lutut 10%.

Gangguan MSDs yang dirasakan oleh responden umumnya disebabkan

adanya gerakan yang dilakukan secara berulang (repetitive exertions). Ketika

bergerak, otot dan tendon bekerja dengan memendek dan memanjang. Peradangan

pada tendon dan ligament sangat mungkin terjadi jika gerakan yang dilakukan

berulang secara terus menerus tanpa istirahat yang cukup (Tarwaka, 2015).

Langkah-langkah untuk mengatasi gangguan otot rangka yang sekiranya

tepat dilakukan di Laboratorium Klinik Pramita adalah rekayasa teknik (subsitusi)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


92

yaitu menyempurnakan penempatan alat agar lebih ergonomi tata letaknya,

mengganti beberapa kursi kerja dengan kursi yang dapat dinaikan atau diturunkan

secara manual sehingga lebih cocok dengan postur pegawai dan rekayasa

manajemen berupa pendidikan pelatihan tentang risiko gangguan otot

rangka/MSDs, pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang serta

pengawasan yang intensif dari manajemen sehingga dapat dilakukan pencegahan

secara lebih dini terhadap kemungkinan terjadinya gangguan otot rangka.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


93

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian tentang determinan terjadinya risiko gangguan otot

rangka/MSDs yang dilakukan terhadap 30 orang responden yang bekerja di

Lab.Klinik Pramita Cabang Medan, maka didapatkan beberapa kesimpulan

sebagai berikut:

1. Karakteristik individu berupa faktor umur, kebiasaan merokok, masa kerja dan

jenis pekerjaan responden tidak mempunyai hubungan signifikan terhadap

terjadinya risiko gangguan otot rangka/MSDs.

2. Sedangkan faktor jenis kelamin dan postur kerja responden mempunyai

hubungan signifikan terhadap terjadinya risiko gangguan otot rangka/MSDs.

3. Hasil analisis multivariat menghasilkan kesimpulan bahwa postur kerja

responden merupakan faktor yang paling berpengaruh/signifikan dalam

menyebabkan terjadinya risiko gangguan otot rangka/MSDs.

6.2 Saran

1. Bagian Customer Service

Posisi monitor komputer pada bagian customer service sebaiknya dibuat persis

di depan petugas agar pergerakan memutar leher dapat dikurangi.

93

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


94

2. Bagian Pengambilan Bahan Pemeriksaan

Diperlukan adanya perubahan postur kerja terutama pada bagian pengambilan

bahan pemeriksaan, dimana postur kerja berdiri sangat tidak ergonomi (skor

REBA level 9). Diupayakan agar selama pengambilan bahan pemeriksaan

dilakukan dengan posisi duduk untuk mengurangi terjadinya risiko gangguan

otot rangka/MSDs.

3. Bagian Pengolahan Bahan Pemeriksaan

Peralatan untuk pengolahan bahan pemeriksaan (centrifuge) sebaiknya

diletakan pada meja dengan posisi sejajar dari postur pegawai sehingga

pengolahan bahan pemeriksaan tidak memerlukan ekstensi tangan yang terlalu

besar.

4. Bagian Proses di Laboratorium

Pada bagian proses laboratorium diupayakan agar kursi yang digunakan dapat

diatur ketinggiannya agar supaya posisi duduk bisa lebih ergonomi dan

peletakan alat di atas meja kerja sebaiknya dapat disesuaikan dengan tinggi

badan dari responden.

5. Bagian Administrasi Laboratorium

Sebaiknya melakukan peregangan otot selama 5 menit setiap 30 menit bekerja

agar memberikan kesempatan kepada otot untuk relaksasi dan posisi kursi

hendaknya bias diatur ketinggiannya agar lebih nyaman dalam bekerja.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


95

DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, Parul, R., Maiya, Arun, G., Kamath, V., Kamath, A., 2014.
Musculoskeletal Disorders among Medical Laboratory Profesionals-A
Prevalence Study. Journal of Exercise Science and Physiotherapy,Vol.10
No.2, 77, (Jurnal elektronik) diakses 12 Februari 2016;
Oaji.net/articles/2014/1380-1414626619.pdf

Arora, A., Uparkar, S.M., 2015. Ergonomic risk assesment in pathology


laboratory technicians. International Journal of Therapies and
Rehabilitation Research , 15. (Jurnal Elektronik) diakses 17 Februari 2016;
http://www.scopemed.org/?jid=12

Andayasari, L., Anorital, 2012. Gangguan Muskuloskeletal pada Praktik Dokter


Gigi dan Upaya Pencegahannya. Media Litbang Kesehatan Volume 22
Nomor 2.

Arvidsson, I., Simonsen J.G., Dahlqvist, C., Axmon, A., Karlson, B., Bjork, J.,
Nordander, C., 2016. Cross-sectional association between occupational
factors and musculoskeletal pain in women teachers, nurses and
sonographers. (Jurnal Elektronik) diakses 17 Februari 2016;
bmcmusculoskeletdisord.biomedcentral.com

Bureau of Labor Statistics, 2015. Economic News Release. (Jurnal Elektronik)


diakses 12 Februari 2016; http://www.bls.gov/news.release
/pdf/osh2.t16.htm.

Bruce P.Bernard, M., 1997. Musculoskeletal Disorders and Workplace Factors.


USA: U.S Departement Of Health And Human Services.

Dinas Kesehatan PemKab. Tabalong, 2014. Rokok Berbahaya bagi Kesehatan,


diakses 17 Februari 2016; http://dinkes.tabalongkab.go.id

HSENI., 2013. Guidance on the Prevention and Management of Musculoskleletal


Disorders (MSDs) in The Workplace. Dublin: Health & Safety Authority.

ILKI., 2015. Media Laboratoria. Muswil IV ILKI Sumsel Tahun 2015 . Jakarta,
DKI Jakarta, Indonesia: ILKI.

Iridiastadi, 2014. Ergonomi Suatu Pengantar. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.

95

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


96

Kohn, M. A., 2007. Fundamentals of Occupational Safety and Health. Lanham,


Maryland.Toronto.Plymouth, UK: Goverment Institutes.

Machfoedz, 2007. Statistik Deskriptif, Bidang Kesehatan, Keperawatan dan


Kebidanan. Yogyakarta: Fitramaya.

Maulik, Shreya; De, Amitabha; Iqbal, Rauf, 2012. Work Related Musculoskeletal
Disorders among Medical Laboratory Technicians, in Network of
Ergonomics Societies Conference (SEANES), Southeast Asian. (Jurnal
Elektronik) diakses 19 Februari 2016; http//ieeexplore.ieee.org/stamp.jsp

McAtamney, L., & Corlett , E.N., 2004. Rapid Upper Limb Assessment (RULA)
in Stanton, N. et al (eds). Handbook of Human Factors and Ergonomic
Methods, Chapter 7, CRC Press, pp.7-1 - 7-11.

McAtamney, L., & Hignett, S., 2004. Rapid Entire Body Assessment (REBA) in
Stanton, N. et al (eds). Handbook of Human Factors and Ergonomic
Methods, Chapter 8, CRC Press, pp.8-1 - 8-11.

Miftah, I., 2012. Analisis Faktor Risiko Gangguan Muskuloskeletal dengan


Metode Quick Exposure Checklist (QEC) pada Pengrajin Gerabah di
Kasongan Yogyakarta. (Jurnal Elektronik) diakses 18 Februari 2016;
http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

Muralidharan, 2012. Musculoskeletal Disorders among Dental Practitioners: Does


It Affect Pactice?. (Jurnal Elektronik) diakses 17 Februari 2016;
http//dx.doi.org/10.1155/2013/716897

Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka


Cipta.

Nurmianto, E., 2008. Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Surabaya: Guna
Widya.

Nuryaningtyas, B., 2014. Analisis Tingkat Risiko Muskuloskeletal Disorders


(MSDs) dengan The Rapid Upper Limbs Assessment (RULA) dan
Karakteristik Individu terhadap Keluhan MSDs. (Jurnal Elektronik)
diakses 17 Februari 2016; Journal.unair.ac.id
Peraturan Menteri Kesehatan, 2010. Permenkes No. 411/Menkes/Per/III/2010
tentang Laboratorium Klinik. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


97

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 1982. Permenaker No.


PER.03/Men/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja. Jakarta:
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia.

Sitepoe, 2000. Kekhususan Rokok di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia


Widiasarana Indonesia.
Santoso, G., 2004. Ergonomi Manusia, Peralatan dan Lingkungan. Sidoarjo:
Prestasi Pustaka Publisher.

Septiawan, H., 2013. Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Nyeri Punggung
Bawah pada Pekerja Bangunan di PT. Mikroland Property Development
Semarang Tahun 2012. Semarang: Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Semarang.

Sihombing, A., 2015. Hubungan Sikap Kerja dengan Musculoskeletal Disorders


pada Penjahit di Pusat Industri Kecil Menteng Medan. Medan: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Shreya, M., 2012. Work related Musculoskeletal Disorders among Medical


Laboratory Technicians. (Jurnal Elektronik) diakses 15 Februari 2016;
http://ieexplore.ieee.org/stamp/stamp

Suma'mur P.K., 2014. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja(HIPERKES).


Jakarta. CV. Sagung Seto.

Tarwaka, P., 2015. Ergonomi Industri, Dasar-dasar Pengetahuan Ergonomi dan


Aplikasi di Tempat Kerja, Revisi Edisi : II. Surakarta: Harapan Press.

Terry, M., 2004. Advance Healthcare Network for Laboratory. Retrieved January
12 Januari 2016, 2016, (Jurnal Elektronik) diakses 16 Februari 2016; from
www.advanceweb.com: http://laboratory-manager.advanceweb.com

Vijaya, S., 2008. Beberapa Faktor yang berhubungan dengan Keluhan Nyeri
Punggung pada Perawat Rawat Inap. Tesis. Universitas Airlangga.
Surabaya

Wowo, 2014. Ergonomi dan K3. Bandung: PT. Remaja Rodaskarya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


98

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


99

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


100

Lampiran 3:

PENGANTAR KUESIONER

DETERMINAN TERJADINYA RISIKO GANGGUAN


OTOT RANGKA/MUSCULOSKELETAL DISORSERS (MSDs)
PADA PEGAWAI LABORATORIUM KLINIK PRAMITA CAB. MEDAN
TAHUN 2016
Kepada Yth. Sdr. Responden,

Saya, Ismed Rochaidi, mahasiswa Program S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, ingin

meneliti tentang Determinan Terjadinya Risiko Gangguan Otot Rangka/

Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada Pegawai Laboratorium Klinik Pramita

Cab. Medan Tahun 2016.

Penelitian ini merupakan bagian dari tesis untuk memenuhi syarat

mendapat gelar Magister Kesehatan, sehingga peneliti sangat mengharapkan

partisipasi Saudara untuk mengisi kuisioner ini.

Kuesioner ini tidak akan mempengaruhi penilaian terhadap pekerjaan dan

posisi Saudara. Untuk keperluan tersebut, diharapkan kesediaan dan kesungguhan

Saudara untuk menjawab pertanyaan dengan sebenar-benarnya, karena kejujuran

jawaban yang Saudara berikan sangat mempengauhi proses penelitian ini.

Atas partisipasi dan kerjasamanya, saya ucapkan terima kasih.

Medan, April 2016


Peneliti,

Ismed Rochaidi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


101

Lampiran 4:

KUESIONER

I. Karakteristik Individu Responden :


1. Nama : Tanda tangan,
2. Jenis Kelamin :
3. Umur :
(………………….)
II. Masa Kerja :
1. Berapa lama anda bekerja di tempat kerja saat ini : .......... tahun
2. Apakah pekerjaan anda sebelumnya?..............................................

III. Jenis Pekerjaan : (lingkari sesuai pekerjaan saudara)


1. Pendaftaran pasien
2. Pengambilan bahan pemeriksaan
3. Pengolahan sampel
4. Proses pemeriksaan di laboratorium
5. Administrasi laboratorium

IV. Kebiasaan Merokok : (lingkari sesuai dengan kebiasaan saudara)


Apakah anda merokok?
a. Tidak merokok atau jika berhenti lebih dari 1 tahun
b. Merokok kurang dari 10 batang/hari
c. Merokok 10-20 batang/hari
d. Merokok lebih dari 20 batang/hari

V. Riwayat Penyakit : (lingkari sesuai kondisi saudara)


Apakah sudah ada riwayat keluhan pada otot rangka sebelum saudara
bekerja di Laboratorium Klinik Pramita ?
a. Ya
Bila Ya, dibagian mana keluhan tersebut: ………………………………
b. Tidak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


102

Lampiran 5 :

KUESIONER N0RDIC BODY MAP

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


103

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


104

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


105

Lampiran 8

Penilaian Gangguan MSDs Metode RULA (The Rapid Upper Limb


Assessment)
Skor Postur Grup A

Pergelangan tangan
1 2 3 4
Lengan Lengan Pergelangan Pergelangan Pergelangan Pergelangan
atas bawah tangan memuntir tangan memuntir tangan memuntir tangan memuntir
1 2 1 2 1 2 1 2
1 1 1 2 2 2 2 3 3 3
2 2 2 2 2 3 3 3 3
3 2 3 3 3 3 3 4 4
2 1 2 3 3 3 3 4 4 4
2 3 3 3 3 3 4 4 4
3 3 4 4 4 4 4 5 5
3 1 3 3 4 4 4 4 5 5
2 3 4 4 4 4 4 5 5
3 4 4 4 4 4 5 5 5
4 1 4 4 4 4 4 5 5 5
2 4 4 4 4 4 5 5 5
3 4 4 4 5 5 5 6 6
5 1 5 5 5 5 5 6 6 7
2 5 6 6 6 6 7 7 7
3 6 6 6 7 7 7 7 8
6 1 7 7 7 7 7 8 8 9
2 8 8 8 8 8 9 9 9
3 9 9 9 9 9 9 9 9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


106

Skor Postur Grup B

Badan (Trunk)
1 2 3 4 5 6
Leher Kaki Kaki Kaki Kaki Kaki Kaki
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
1 1 3 2 3 3 4 5 5 6 6 7 7
2 2 3 2 3 4 5 5 5 6 7 7 7
3 3 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 7
4 5 5 5 6 6 7 7 7 7 7 8 8
5 7 7 7 7 7 8 8 8 8 8 8 8
6 8 8 8 8 8 8 8 9 9 9 9 9

Perhitungan Grand Skor RULA Berdasarkan Kombinasi Skor C dan D

Skor D
Skor C 1 2 3 4 5 6 7+
1 1 2 3 3 4 5 5
2 2 2 3 4 4 5 5
3 3 3 3 4 4 5 6
4 3 3 3 4 5 6 6
5 4 4 4 5 6 7 7
6 4 4 5 6 6 7 7
7 5 5 6 6 7 7 7
8 5 5 6 7 7 7 7

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


107

Lampiran 9

Penilaian Gangguan MSDs Metode REBA (Rapid Entire Body Assessment)

Skor Awal untuk Grup A

TABEL A
Leher
1 2 3
Badan Kaki Kaki Kaki
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 1 2 3 4 1 2 3 4 3 3 5 6
2 2 3 4 5 3 4 5 6 4 5 6 7
3 2 4 5 6 3 4 5 6 5 6 7 8
4 3 5 6 7 5 6 7 8 6 7 8 9
5 4 6 7 8 6 7 8 9 7 8 9 9

Skor Awal untuk Grup B

TABEL B
LenganBawah
1 2
Lengan PergelanganTangan PergelanganTangan
1 2 3 1 2 3
1 1 2 2 1 2 3
2 1 2 3 2 3 4
3 3 4 5 4 5 5
4 4 5 5 5 6 7
5 6 7 8 7 8 8

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


108

Penentuan dan perhitungan Skor C

TABEL C
SKOR SKOR B
A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 1 1 1 2 3 3 4 5 6 7 7 7
2 1 2 2 3 4 4 5 6 6 7 7 8
3 2 3 3 3 4 5 6 7 7 8 8 8
4 3 4 4 4 5 6 7 8 8 9 9 9
5 4 4 4 5 6 7 8 8 9 9 9 9
6 6 6 6 7 8 8 9 9 10 10 10 10
7 7 7 7 8 9 9 9 10 10 11 11 11
8 8 8 8 9 10 10 10 10 10 11 11 11
9 9 9 9 10 10 10 11 11 11 12 12 12
10 10 10 10 11 11 11 11 12 12 12 12 12
11 11 11 11 11 12 12 12 12 12 12 12 12
12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


109

Penentuan dan Perhitungan Final Skor REBA.

Final Skor REBA adalah hasil penambahan antara Skor Tabel C dengan
peningkatan jenis aktivitas otot.

Skor Aktivitas Otot


+1 Satu atau lebih bagian tubuh dalam keadaan statis, misalnya ditopang
untuk lebih dari 1 menit
+1 Gerakan berulang-ulang terjadi, misalnya repetisi lebih dari 4 kali per
menit (tidak termasuk berjalan)
+1 Terjadi perubahan yang signifikan pada postur tubuh atau postur
tubuh tidak stabil selama kerja

SKOR REBA AKHIR = ……….

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


110

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


111

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


112

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


113

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


114

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


115

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


116

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


117

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


118

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


119

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


120

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


121

Lampiran 12
OUTPUT
Frequency Table

UMUR
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
20-30 17 56,7 56,7 56,7
U >30 13 43,3 43,3 100,0
Total 30 100,0 100,0

JENIS KELAMIN
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Laki-laki 9 30,0 30,0 30,0
Valid Perempuan 21 70,0 70,0 100,0
Total 30 100,0 100,0

MEROKOK
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Ya 5 16,7 16,7 16,7
Valid Tidak 25 83,3 83,3 100,0
Total 30 100,0 100,0

MASA KERJA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
<= 5 tahun 12 40,0 40,0 40,0
Valid > 5 tahun 18 60,0 60,0 100,0
Total 30 100,0 100,0

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


122

JENIS PEKERJAAN
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Non Teknis 12 40,0 40,0 40,0
Valid Teknis 18 60,0 60,0 100,0
Total 30 100,0 100,0

POSTUR KERJA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Ya 12 40,0 40,0 40,0
Valid Tidak 18 60,0 60,0 100,0
Total 30 100,0 100,0

MSDs
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Rendah 11 36,7 36,7 36,7
Valid Sedang 19 63,3 63,3 100,0
Total 30 100,0 100,0

Frequencies

Statistics
UMUR MASA KERJA
Valid 30 30
N
Missing 0 0
Mean 30,33 6,57
Median 30,00 6,00

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


123

Frequency Table
UMUR
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
22 1 3,3 3,3 3,3
24 1 3,3 3,3 6,7
25 2 6,7 6,7 13,3
26 2 6,7 6,7 20,0
27 1 3,3 3,3 23,3
28 3 10,0 10,0 33,3
29 3 10,0 10,0 43,3
Valid
30 4 13,3 13,3 56,7
31 3 10,0 10,0 66,7
33 3 10,0 10,0 76,7
34 5 16,7 16,7 93,3
39 1 3,3 3,3 96,7
43 1 3,3 3,3 100,0
Total 30 100,0 100,0

MASA KERJA

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

2 1 3,3 3,3 3,3

3 1 3,3 3,3 6,7

4 2 6,7 6,7 13,3

4 3 10,0 10,0 23,3

5 5 16,7 16,7 40,0

6 4 13,3 13,3 53,3


Valid
7 3 10,0 10,0 63,3

8 4 13,3 13,3 76,7

9 1 3,3 3,3 80,0

10 3 10,0 10,0 90,0

11 3 10,0 10,0 100,0

Total 30 100,0 100,0

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


124

Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
UMUR * MSDs 30 100,0% 0 0,0% 30 100,0%

UMUR * MSDs Crosstabulation

MSDs Total

Rendah Sedang

Count 8 9 17

% within UMUR 47,1% 52,9% 100,0%


20-30
% within MSDs 72,7% 47,4% 56,7%

% of Total 26,7% 30,0% 56,7%


UMUR
Count 3 10 13

% within UMUR 23,1% 76,9% 100,0%


>30
% within MSDs 27,3% 52,6% 43,3%

% of Total 10,0% 33,3% 43,3%

Count 11 19 30

% within UMUR 36,7% 63,3% 100,0%


Total
% within MSDs 100,0% 100,0% 100,0%

% of Total 36,7% 63,3% 100,0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-

sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 1,824a 1 ,177


b
Continuity Correction ,938 1 ,333

Likelihood Ratio 1,876 1 ,171

Fisher's Exact Test ,259 ,167

Linear-by-Linear Association 1,764 1 ,184

N of Valid Cases 30

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,77.
b. Computed only for a 2x2 table

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


125

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for UMUR (20 -


2.963 .596 14.729
30 tahun / > 30 tahun)
For cohort MSDs = Rendah 2.039 .670 6.208
For cohort MSDs = Sedang .688 .402 1.179
N of Valid Cases 30

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
JENIS KELAMIN * MSDs 30 100,0% 0 0,0% 30 100,0%

JENIS KELAMIN * MSDs Crosstabulation


MSDs Total
Rendah Sedang
Count 6 3 9
% within JENIS KELAMIN 66,7% 33,3% 100,0%
Laki-laki
% within MSDs 54,5% 15,8% 30,0%
% of Total 20,0% 10,0% 30,0%
JENIS KELAMIN
Count 5 16 21
% within JENIS KELAMIN 23,8% 76,2% 100,0%
Perempuan
% within MSDs 45,5% 84,2% 70,0%
% of Total 16,7% 53,3% 70,0%
Count 11 19 30
% within JENIS KELAMIN 36,7% 63,3% 100,0%
Total
% within MSDs 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 36,7% 63,3% 100,0%

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


126

Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
(2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 4,983 1 ,026
b
Continuity Correction 3,308 1 ,069
Likelihood Ratio 4,919 1 ,027
Fisher's Exact Test ,042 ,035
Linear-by-Linear
4,817 1 ,028
Association
N of Valid Cases 30
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,30.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for JENIS


KELAMIN (Laki-laki / 6.400 1.156 35.437
Perempuan)
For cohort MSDs = Rendah 2.800 1.146 6.844
For cohort MSDs = Sedang .438 .168 1.136
N of Valid Cases 30

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
MEROKOK * MSDs 30 100,0% 0 0,0% 30 100,0%

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


127

MEROKOK * MSDs Crosstabulation


MSDs Total
Rendah Sedang
Count 2 3 5
% within MEROKOK 40,0% 60,0% 100,0%
Ya
% within MSDs 18,2% 15,8% 16,7%
% of Total 6,7% 10,0% 16,7%
MEROKOK
Count 9 16 25
% within MEROKOK 36,0% 64,0% 100,0%
Tidak
% within MSDs 81,8% 84,2% 83,3%
% of Total 30,0% 53,3% 83,3%
Count 11 19 30
% within MEROKOK 36,7% 63,3% 100,0%
Total
% within MSDs 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 36,7% 63,3% 100,0%

Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
(2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square ,029 1 ,865
b
Continuity Correction ,000 1 1,000
Likelihood Ratio ,028 1 ,866
Fisher's Exact Test 1,000 ,619
Linear-by-Linear
,028 1 ,868
Association
N of Valid Cases 30
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,83.
b. Computed only for a 2x2 table

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


128

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Kebiasaan


Merokok (Merokok / Tidak 1.185 .166 8.471
Merokok)
For cohort MSDs = Rendah 1.111 .337 3.667
For cohort MSDs = Sedang .938 .432 2.032
N of Valid Cases 30

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
MASA KERJA * MSDs 30 100,0% 0 0,0% 30 100,0%

MASA KERJA * MSDs Crosstabulation


MSDs Total
Rendah Sedang
Count 5 7 12
% within MASA KERJA 41,7% 58,3% 100,0%
<= 5 tahun
% within MSDs 45,5% 36,8% 40,0%
% of Total 16,7% 23,3% 40,0%
MASA KERJA
Count 6 12 18
% within MASA KERJA 33,3% 66,7% 100,0%
> 5 tahun
% within MSDs 54,5% 63,2% 60,0%
% of Total 20,0% 40,0% 60,0%
Count 11 19 30
% within MASA KERJA 36,7% 63,3% 100,0%
Total
% within MSDs 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 36,7% 63,3% 100,0%

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


129

Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
(2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square ,215 1 ,643
b
Continuity Correction ,006 1 ,938
Likelihood Ratio ,214 1 ,643
Fisher's Exact Test ,712 ,466
Linear-by-Linear
,208 1 ,648
Association
N of Valid Cases 30
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,40.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Masa Kerja


1.429 .316 6.461
(0-5 tahun / > 5 tahun)
For cohort MSDs = Rendah 1.250 .491 3.185
For cohort MSDs = Sedang .875 .490 1.561
N of Valid Cases 30

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
JENIS PEKERJAAN *
30 100,0% 0 0,0% 30 100,0%
MSDs

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


130

JENIS PEKERJAAN * MSDs Crosstabulation


MSDs Total
Renda Sedang
h
Count 5 7 12
% within JENIS
41,7% 58,3% 100,0%
Non Teknis PEKERJAAN
% within MSDs 45,5% 36,8% 40,0%
JENIS % of Total 16,7% 23,3% 40,0%
PEKERJAAN Count 6 12 18
% within JENIS
33,3% 66,7% 100,0%
Teknis PEKERJAAN
% within MSDs 54,5% 63,2% 60,0%
% of Total 20,0% 40,0% 60,0%
Count 11 19 30
% within JENIS
36,7% 63,3% 100,0%
PEKERJAAN
Total
100,0
% within MSDs 100,0% 100,0%
%
% of Total 36,7% 63,3% 100,0%

Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
(2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square ,215 1 ,643
b
Continuity Correction ,006 1 ,938
Likelihood Ratio ,214 1 ,643
Fisher's Exact Test ,712 ,466
Linear-by-Linear
,208 1 ,648
Association
N of Valid Cases 30
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,40.
b. Computed only for a 2x2 table

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


131

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Jenis


Pekerjaan (Non Teknis / 1.429 .316 6.461
Teknis)
For cohort MSDs = Rendah 1.250 .491 3.185
For cohort MSDs = Sedang .875 .490 1.561
N of Valid Cases 30

Case Processing Summary


Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
POSTUR KERJA *
30 100,0% 0 0,0% 30 100,0%
MSDs

POSTUR KERJA * MSDs Crosstabulation


MSDs Total
Rendah Sedang
Count 8 4 12
% within POSTUR KERJA 66,7% 33,3% 100,0%
Kurang
% within MSDs 72,7% 21,1% 40,0%
% of Total 26,7% 13,3% 40,0%
POSTUR KERJA
Count 3 15 18
% within POSTUR KERJA 16,7% 83,3% 100,0%
Tidak
% within MSDs 27,3% 78,9% 60,0%
% of Total 10,0% 50,0% 60,0%
Count 11 19 30
% within POSTUR KERJA 36,7% 63,3% 100,0%
Total
% within MSDs 100,0% 100,0% 100,0%
% of Total 36,7% 63,3% 100,0%

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


132

Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
(2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 7,751 1 ,005
b
Continuity Correction 5,748 1 ,017
Likelihood Ratio 7,933 1 ,005
Fisher's Exact Test ,009 ,008
Linear-by-Linear
7,493 1 ,006
Association
N of Valid Cases 30
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,40.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Postur Kerja


(Kurang Ergonomis / Tidak 10.000 1.781 56.150
Ergonomis)
For cohort MSDs = Rendah 4.000 1.321 12.110
For cohort MSDs = Sedang .400 .175 .914
N of Valid Cases 30

Logistic Regression
Case Processing Summary
a
Unweighted Cases N Percent

Included in Analysis 30 100,0

Selected Cases Missing Cases 0 ,0

Total 30 100,0
Unselected Cases 0 ,0
Total 30 100,0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


133

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

Rendah 0
Sedang 1

Categorical Variables Codings

Frequency Parameter coding


(1)

20-30 17 1,000
UMUR
>30 13 ,000

Block 0: Beginning Block


a,b
Classification Table

Observed Predicted

MSDs Percentage

Rendah Sedang Correct

Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 0 Sedang 0 19 100,0

Overall Percentage 63,3

a. Constant is included in the model.


b. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant ,547 ,379 2,081 1 ,149 1,727

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Variables umurk(1) 1,824 1 ,177


Step 0
Overall Statistics 1,824 1 ,177

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


134

Block 1: Method = Enter


Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1,876 1 ,171

Step 1 Block 1,876 1 ,171

Model 1,876 1 ,171

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Nagelkerke R


Square Square
a
1 37,553 ,061 ,083

a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter


estimates changed by less than ,001.

a
Classification Table

Observed Predicted

MSDs Percentage

Rendah Sedang Correct

Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 1 Sedang 0 19 100,0

Overall Percentage 63,3


a. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

a
umurk(1) -1,086 ,818 1,762 1 ,184 ,338 ,068 1,678
Step 1
Constant 1,204 ,658 3,345 1 ,067 3,333

a. Variable(s) entered on step 1: umurk.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


135

Logistic Regression

Case Processing Summary


a
Unweighted Cases N Percent

Included in Analysis 30 100,0

Selected Cases Missing Cases 0 ,0

Total 30 100,0
Unselected Cases 0 ,0
Total 30 100,0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

Rendah 0
Sedang 1

Block 0: Beginning Block


a,b
Classification Table

Observed Predicted

MSDs Percentage

Rendah Sedang Correct

Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 0 Sedang 0 19 100,0

Overall Percentage 63,3

a. Constant is included in the model.


b. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant ,547 ,379 2,081 1 ,149 1,727

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


136

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Variables JKelamin 4,983 1 ,026


Step 0
Overall Statistics 4,983 1 ,026

Block 1: Method = Enter


Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 4,919 1 ,027

Step 1 Block 4,919 1 ,027

Model 4,919 1 ,027

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Nagelkerke R


Square Square
a
1 34,510 ,151 ,207

a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter


estimates changed by less than ,001.

a
Classification Table

Observed Predicted

MSDs Percentage

Rendah Sedang Correct

Rendah 6 5 54,5
MSDs
Step 1 Sedang 3 16 84,2

Overall Percentage 73,3

a. The cut value is ,500

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


137

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

a
JKelamin 1,856 ,873 4,519 1 ,034 6,400 1,156 35,437
Step 1
Constant -2,549 1,504 2,873 1 ,090 ,078

a. Variable(s) entered on step 1: JKelamin.

Logistic Regression

Case Processing Summary


a
Unweighted Cases N Percent

Included in Analysis 30 100,0

Selected Cases Missing Cases 0 ,0

Total 30 100,0
Unselected Cases 0 ,0
Total 30 100,0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

Rendah 0
Sedang 1

Block 0: Beginning Block


a,b
Classification Table

Observed Predicted

MSDs Percentage

Rendah Sedang Correct

Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 0 Sedang 0 19 100,0

Overall Percentage 63,3

a. Constant is included in the model.


b. The cut value is ,500

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


138

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant ,547 ,379 2,081 1 ,149 1,727

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Variables Rokok ,029 1 ,865


Step 0
Overall Statistics ,029 1 ,865

Block 1: Method = Enter


Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step ,028 1 ,866

Step 1 Block ,028 1 ,866

Model ,028 1 ,866

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Nagelkerke R


Square Square
a
1 39,401 ,001 ,001

a. Estimation terminated at iteration number 3 because parameter


estimates changed by less than ,001.

a
Classification Table

Observed Predicted

MSDs Percentage

Rendah Sedang Correct

Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 1 Sedang 0 19 100,0

Overall Percentage 63,3

a. The cut value is ,500

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


139

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

a
Rokok ,170 1,003 ,029 1 ,866 1,185 ,166 8,471
Step 1
Constant ,236 1,873 ,016 1 ,900 1,266

a. Variable(s) entered on step 1: Rokok.

Logistic Regression
Case Processing Summary
a
Unweighted Cases N Percent

Included in Analysis 30 100,0

Selected Cases Missing Cases 0 ,0

Total 30 100,0
Unselected Cases 0 ,0
Total 30 100,0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

Rendah 0
Sedang 1

Block 0: Beginning Block


a,b
Classification Table

Observed Predicted

MSDs Percentage

Rendah Sedang Correct

Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 0 Sedang 0 19 100,0

Overall Percentage 63,3

a. Constant is included in the model.


b. The cut value is ,500

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


140

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant ,547 ,379 2,081 1 ,149 1,727

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Variables MasaKerja ,215 1 ,643


Step 0
Overall Statistics ,215 1 ,643

Block 1: Method = Enter


Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step ,214 1 ,643

Step 1 Block ,214 1 ,643

Model ,214 1 ,643

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Nagelkerke R


Square Square
a
1 39,215 ,007 ,010

a. Estimation terminated at iteration number 3 because parameter


estimates changed by less than ,001.

a
Classification Table

Observed Predicted

MSDs Percentage Correct

Rendah Sedang

Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 1 Sedang 0 19 100,0

Overall Percentage 63,3

a. The cut value is ,500

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


141

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

MasaKerj
a
,357 ,770 ,215 1 ,643 1,429 ,316 6,461
Step 1 a

Constant -,020 1,273 ,000 1 ,987 ,980

a. Variable(s) entered on step 1: MasaKerja.

Logistic Regression
Case Processing Summary
a
Unweighted Cases N Percent

Included in Analysis 30 100,0

Selected Cases Missing Cases 0 ,0

Total 30 100,0
Unselected Cases 0 ,0
Total 30 100,0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

Rendah 0
Sedang 1

Block 0: Beginning Block


a,b
Classification Table

Observed Predicted

MSDs Percentage

Rendah Sedang Correct

Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 0 Sedang 0 19 100,0

Overall Percentage 63,3

a. Constant is included in the model.


b. The cut value is ,500

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


142

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant ,547 ,379 2,081 1 ,149 1,727

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Variables JPekerjaan ,215 1 ,643


Step 0
Overall Statistics ,215 1 ,643

Block 1: Method = Enter


Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step ,214 1 ,643

Step 1 Block ,214 1 ,643

Model ,214 1 ,643

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Nagelkerke R


Square Square
a
1 39,215 ,007 ,010

a. Estimation terminated at iteration number 3 because parameter


estimates changed by less than ,001.

a
Classification Table

Observed Predicted

MSDs Percentage

Rendah Sedang Correct

Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 1 Sedang 0 19 100,0

Overall Percentage 63,3

a. The cut value is ,500

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


143

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

a
JPekerjaan ,357 ,770 ,215 1 ,643 1,429 ,316 6,461
Step 1
Constant -,020 1,273 ,000 1 ,987 ,980

a. Variable(s) entered on step 1: JPekerjaan.

Logistic Regression
Case Processing Summary
a
Unweighted Cases N Percent

Included in Analysis 30 100,0

Selected Cases Missing Cases 0 ,0

Total 30 100,0
Unselected Cases 0 ,0
Total 30 100,0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

Rendah 0
Sedang 1

Block 0: Beginning Block


a,b
Classification Table

Observed Predicted

MSDs Percentage

Rendah Sedang Correct

Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 0 Sedang 0 19 100,0

Overall Percentage 63,3

a. Constant is included in the model.


b. The cut value is ,500

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


144

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant ,547 ,379 2,081 1 ,149 1,727

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Variables PosturKerja 7,751 1 ,005


Step 0
Overall Statistics 7,751 1 ,005

Block 1: Method = Enter


Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 7,933 1 ,005

Step 1 Block 7,933 1 ,005

Model 7,933 1 ,005

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Nagelkerke R


Square Square
a
1 31,497 ,232 ,318
a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter
estimates changed by less than ,001.

a
Classification Table

Observed Predicted

MSDs Percentage

Rendah Sedang Correct

Rendah 8 3 72,7
MSDs
Step 1 Sedang 4 15 78,9

Overall Percentage 76,7

a. The cut value is ,500

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


145

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

a
PosturKerja 2,303 ,880 6,841 1 ,009 10,000 1,781 56,150
Step 1
Constant -2,996 1,378 4,723 1 ,030 ,050

a. Variable(s) entered on step 1: PosturKerja.

Logistic Regression
Case Processing Summary
a
Unweighted Cases N Percent

Included in Analysis 30 100,0

Selected Cases Missing Cases 0 ,0

Total 30 100,0
Unselected Cases 0 ,0
Total 30 100,0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

Rendah 0
Sedang 1

Categorical Variables Codings

Frequency Parameter coding

(1)

20-30 17 1,000
UMUR
>30 13 ,000

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


146

Block 0: Beginning Block


a,b
Classification Table

Observed Predicted

MSDs Percentage

Rendah Sedang Correct

Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 0 Sedang 0 19 100,0

Overall Percentage 63,3

a. Constant is included in the model.


b. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant ,547 ,379 2,081 1 ,149 1,727

Variables not in the Equation

Score df Sig.

umurk(1) 1,824 1 ,177

Variables JKelamin 4,983 1 ,026


Step 0
PosturKerja 7,751 1 ,005

Overall Statistics 13,751 3 ,003

Block 1: Method = Enter


Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 16,994 3 ,001

Step 1 Block 16,994 3 ,001

Model 16,994 3 ,001

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


147

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Nagelkerke R


Square Square
a
1 22,435 ,432 ,591

a. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter


estimates changed by less than ,001.

a
Classification Table

Observed Predicted

MSDs Percentage

Rendah Sedang Correct

Rendah 9 2 81,8
MSDs
Step 1 Sedang 3 16 84,2

Overall Percentage 83,3

a. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

umurk(1) -1,924 1,186 2,632 1 ,105 ,146 ,014 1,492

a
JKelamin 2,912 1,313 4,916 1 ,027 18,392 1,402 241,291
Step 1
PosturKerja 3,234 1,279 6,391 1 ,011 25,389 2,068 311,636

Constant -8,013 3,390 5,586 1 ,018 ,000

a. Variable(s) entered on step 1: umurk, JKelamin, PosturKerja.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


148

Logistic Regression

Case Processing Summary


a
Unweighted Cases N Percent

Included in Analysis 30 100,0

Selected Cases Missing Cases 0 ,0

Total 30 100,0
Unselected Cases 0 ,0
Total 30 100,0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

Rendah 0
Sedang 1

Block 0: Beginning Block


a,b
Classification Table

Observed Predicted

MSDs Percentage

Rendah Sedang Correct

Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 0 Sedang 0 19 100,0
Overall Percentage 63,3

a. Constant is included in the model.


b. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant ,547 ,379 2,081 1 ,149 1,727

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


149

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Jkelamin 4,983 1 ,026


Variables
Step 0 PosturKerja 7,751 1 ,005

Overall Statistics 12,038 2 ,002

Block 1: Method = Enter


Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 13,884 2 ,001

Step 1 Block 13,884 2 ,001

Model 13,884 2 ,001

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Nagelkerke R


Square Square
a
1 25,546 ,370 ,507

a. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter


estimates changed by less than ,001.

a
Classification Table

Observed Predicted

MSDs Percentage

Rendah Sedang Correct

Rendah 8 3 72,7
MSDs
Step 1 Sedang 4 15 78,9

Overall Percentage 76,7

a. The cut value is ,500

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


150

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

JKelamin 2,589 1,232 4,419 1 ,036 13,323 1,191 148,973

a Postur
Step 1 2,916 1,180 6,109 1 ,013 18,462 1,829 186,405
Kerja

Constant -8,219 3,353 6,007 1 ,014 ,000


a. Variable(s) entered on step 1: JKelamin, PosturKerja.

Logistic Regression

Case Processing Summary


a
Unweighted Cases N Percent

Included in Analysis 30 100,0

Selected Cases Missing Cases 0 ,0

Total 30 100,0
Unselected Cases 0 ,0
Total 30 100,0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

Rendah 0
Sedang 1

Categorical Variables Codings

Frequency Parameter coding

(1)

20-30 17 1,000
UMUR
>30 13 ,000

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


151

Block 0: Beginning Block


a,b
Classification Table

Observed Predicted

MSDs Percentage

Rendah Sedang Correct

Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 0 Sedang 0 19 100,0

Overall Percentage 63,3

a. Constant is included in the model.


b. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant ,547 ,379 2,081 1 ,149 1,727

Variables not in the Equation

Score df Sig.

umurk(1) 1,824 1 ,177


Variables
Step 0 PosturKerja 7,751 1 ,005

Overall Statistics 9,376 2 ,009

Block 1: Method = Enter


Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 10,214 2 ,006

Step 1 Block 10,214 2 ,006

Model 10,214 2 ,006

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Nagelkerke R


Square Square

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


152

a
1 29,216 ,289 ,395

a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter


estimates changed by less than ,001.

a
Classification Table

Observed Predicted

MSDs Percentage

Rendah Sedang Correct

Rendah 5 6 45,5
MSDs
Step 1 Sedang 2 17 89,5

Overall Percentage 73,3

a. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for


EXP(B)

Lower Upper

umurk(1) -1,422 ,996 2,038 1 ,153 ,241 ,034 1,699

Step PosturKerj
a 2,501 ,964 6,728 1 ,009 12,200 1,843 80,766
1 a

Constant -2,442 1,460 2,800 1 ,094 ,087

a. Variable(s) entered on step 1: umurk, PosturKerja.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

You might also like