Professional Documents
Culture Documents
Determinan Faktor MSDS
Determinan Faktor MSDS
TESIS
Oleh
ISMED ROCHAIDI
147032109/IKM
TESIS
Oleh
ISMED ROCHAIDI
147032109/IKM
Menyetujui
Komisi Pembimbing
TESIS
Dengan ini Saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan Saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Ismed Rochaidi
147032109/IKM
i
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRACT
ii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat
Pegawai Lab. Klinik Pramita Cab. Medan Tahun 2016”. Tesis ini disusun sebagai
salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Magister di Program Studi Ilmu
informasi, bantuan moril maupun materi dan kemudahan dari berbagai pihak,
sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera
Utara.
2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Dekan dan Ketua Program Studi S2 Ilmu
Utara.
3. Prof. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2
Sumatera Utara.
iii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4. Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes dan Ir. Kalsum, M.Kes selaku pembimbing yang
5. dr. Mhd. Makmur Sinaga, M.S dan Dr. dr. Taufik Ashar, M.Kes, selaku penguji
6. Seluruh staf dosen Kesehatan Kerja dan staf pegawai di Program Studi S2
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberi ilmu dan
7. Presiden Direktur PT. Pramita, H. Sarno Eryanto, S.H, M.H dan Direktur Umum-
SDM, dr. H. Drajat Nedrosuwito, M.Si yang telah memberi ijin kepada penulis
8. Staf dan pegawai Lab. Klinik Pramita Cab. Medan yang telah bersedia menjadi
9. Sdr. Pipit Wahyuningsih dari Balai K3 Sumatera Utara yang telah melakukan
10. Teristimewa untuk orang tua tercinta, Ibunda Rd. Entin Kartini yang telah
11. Drs. H. Sukiman, M.MPd (Bapak Mertua) dan Ibu Hj. Kurniasih, SST (Ibu
Mertua) atas do’a nya sehingga penulis bisa menyelesaikan tesis ini.
iv
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12. Untuk istri tercinta, Hj. Dwi Sophia Anggiani, S.K.M yang telah memberikan
dorongan moril dan tenaga guna membantu dalam penyelesaian tesis ini dan
13. Teman-teman S2 FKM USU khususnya minat studi Kesehatan Kerja (Doni, Jony,
Vendra, dr. Arlina, dr. Shanti, dr. Sylvia, Widya Putri, Putri, Nova, Rini,
Ismuhadi) yang telah memberikan semangat dan bantuan selama penyusunan tesis
ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, untuk itu
diharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan tesis ini. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih, semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.
Ismed Rochaidi
147032109/IKM
v
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RIWAYAT HIDUP
Nama penulis Ismed Rochaidi, lahir di Bandung tanggal 12 Mei 1971, jenis
kelamin laki-laki beragama Islam, anak ketiga dari enam bersaudara, dari pasangan
Abdul Madjid Jasansyah dan Rd. Entin Kartini, pada saat ini sudah menikah. Penulis
Riwayat pekerjaan, mulai bekerja di Lab. Klinik Pramita Cab. Bandung pada
tahun 1993, pada tahun 1999-2000 menjabat sebagai wakil kepala cabang Lab. Klinik
Pramita Cab. Bandung. Pada tahun 2000- 2005 menjadi Kepala Cabang di Lab.
Pramita Cab. Cirebon dan pada tahun 2005 sampai dengan sekarang menjabat sebagai
vi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL........................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiii
vii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.6.2 Metode RULA................. ................................................. 51
3.6.3 Metode NBM......................................... .......................... 51
3.7 Metode Analisis Data ............................................................... 54
3.7.1 Teknik Pengolahan Data ................................................. 54
3.7.2 Analisa Data .................................................................... 54
LAMPIRAN .................................................................................................. 97
viii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR TABEL
2.12 Skor Lengan Atas dan Peningkatan dan atau Penurunan Skor ............... 34
ix
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.20 Kisaran Sudut pada Badan dan Skoring ................................................. 37
2.21 Posisi yang dapat Memodifikasi Skor Postur pada Badan ..................... 37
4.1 Karakteristik Individu Responden Lab. Klinik Pramita Cab. Medan Tahun
2016.............. .......................................................................................... 58
4.2 Hasil Pengukuran Sudut Postur Kerja (RULA) Responden Lab. Kinik Pramita
Cab. Medan Tahun 2016 ........................................................................ 60
4.3 Hasil Pengukuran Sudut Postur Kerja (REBA) Responden Lab. Kinik Pramita
Cab. Medan Tahun 2016 ........................................................................ 60
4.4 Skor RULA Responden Lab. Kinik Pramita Cab. Medan Tahun 2016 .. 61
4.5 Skor REBA Responden Lab. Kinik Pramita Cab. Medan Tahun 2016... 62
4.6 Rekapitulasi Pengukuran Postur Tubuh Responden Lab. Klinik Pramita Cab.
Medan Tahun 2016 ................................................................................. 62
4.7 Rekapitulasi Skor Nordic Body Map Responden Lab. Klinik Pramita Cab.
Medan Tahun 2016 ................................................................................. 64
4.8 Distribusi Risiko Gangguan MSDs Responden Lab. Klinik Pramita Cab.
Medan Tahun 2016 ................................................................................. 65
x
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.11 Hasil Seleksi Kandidat dengan Uji Regresi Logistik Berganda Determinan
Risiko Gangguan Responden Lab. Klinik Pramita
Cab. Medan Tahun 2016 ........................................................................ 68
4.12 Hasil Uji Regresi Logistik Berganda Tahap Pertama Determinan Risiko
Gangguan Responden Lab. Klinik Pramita Cab. Medan Tahun 2016 ... 69
4.13 Hasil Uji Regresi Logistik Berganda Tahap Kedua: Variabel Umur dikeluarkan
dari Model............................................................................................... 69
4.14 Hasil Uji Regresi Logistik Berganda Tahap Ketiga: Variabel Jenis Kelamin
dikeluarkan dari Model ........................................................................... 70
xi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR GAMBAR
xii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR LAMPIRAN
10. Hasil Observasi Pengukuran Posisi Kerja Menggunakan RULA ........... 109
xiii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1
BAB 1
PENDAHULUAN
dengan laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat. Data dari Ikatan
Laboratorium Kesehatan Indonesia (ILKI) menyebutkan bahwa pada tahun 2014 terdapat
897 Laboratorium Rumah Sakit swasta dan Laboratorium Kesehatan swasta tersebar di 33
tentunya telah menyerap banyak tenaga kerja. Selain tenaga kerja berupa ahli tenaga
laboratorium medik, juga terdapat tenaga kerja lain di dalamnya seperti dokter, perawat,
boy).
tugasnya agar terhindar dari kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja. Amanat
dari Undang-undang No: 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, yaitu: tenaga
pekerjaan dan setiap orang lain yang berada di tempat kerja perlu terjamin pula
membutuhkan prasyarat adanya lingkungan kerja yang sehat dan aman bagi
adalah usaha kesehatan yang dilaksanakan dengan tujuan melindungi tenaga kerja
terhadap setiap gangguan kesehatan yang timbul dari pekerjaan dan lingkungan
(K3) masih timbul pada tenaga kerja sehubungan dengan pekerjaannya. Salah satu
penyakit akibat kerja yang dapat muncul sewaktu-waktu adalah gangguan sistem
MSDs menjadi masalah kesehatan pada para pekerja dan meningkat jumlah
kasusnya secara global. Berdasarkan laporan dari The Bureau of Labour Statistics (BLS)
2015, bahwa pada tahun 2014 terdapat 365.580 kasus Musculoskeletal Disorders (MSDs).
Insiden Rate untuk kasus MSDs adalah 33,8 kasus per 10.000 pekerja penuh waktu pada
tahun 2014, turun dari 35,8 pada tahun 2013. Pada tahun 2014 pekerja yang menderita
MSDs memerlukan waktu rata-rata 13 hari untuk memulihkan diri sebelum kembali
bekerja, naik bila dibandingkan pada tahun 2013 yang hanya membutuhkan waktu 11 hari
untuk pemulihan (BLS, 2015). Besarnya biaya kompensasi yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan secara pasti belum diketahui. Namun demikian, hasil estimasi yang
gangguan sistem otot rangka sudah mencapai 13 milyar US$ setiap tahunnya (Bernard,
1997). Biaya tersebut merupakan yang terbesar bila dibandingkan dengan biaya
kompensasi untuk gangguan/sakit akibat kerja lainnya. Sementara itu National Safety
Council melaporkan bahwa sakit akibat kerja yang frekuensi kejadiannya paling tinggi
adalah sakit punggung, yaitu 22% dari 1.700.000 kasus (Tarwaka, 2015).
Medical Genetics at Henry Ford Hospital, Detroit, MI yang telah bekerja dengan
berupa rasa sakit di bahu sebelah kanan dan akhirnya didiagnosis sebagai impingement
syndrome yang mempengaruhi tendon dan otot pemutar. Bekerja dengan menggunakan
mikroskop tidak akan menyebabkan cedera, tetapi postur tubuh yang statis dan
pekerjaan berupa gejala gangguan otot rangka. Penelitian dilakukan terhadap 49 orang
Mumbai Hospital dan menemukan adanya gangguan MSDs pada pekerja tersebut. Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa bagian dari tubuh yang paling sering mengalami
gangguan MSDs adalah punggung bagian bawah (30,61%), punggung bagian atas dan
mengurangi risiko terjadinya MSDs pada Medical Laboratory Technician (Sherya, 2012).
prevalensi gejala MSDs pada profesional laboratorium tersebut adalah sebesar 21,2% .
Leher dan punggung bagian bawah adalah bagian tubuh yang paling terpengaruh
merasakan sakit dan tidak nyaman dengan prevalensi masing-masing 8% dan 6,8%.
Profesional laboratorium mempunyai risiko tinggi terkena MSDs yang berkaitan dengan
hubunganya dengan faktor ergonomik di tempat kerja yang tidak baik. Gangguan yang
paling utama dalam pekerjaan terkait dengan MSDs adalah rasa sakit (87%), kelelahan
(41%) dan kekakuan (40%). Paling sering dijumpai adalah nyeri pinggang (53%), leher
(39%), pergelangan tangan (21%), bahu (21%), tumit (14%) dan lutut (10%).
Berdasarkan metode Rapid Upper Limb Assesment score, sebagian besar subyek
penelitan mengalami risiko ergonomik faktor seperti postur kerja yang canggung,
frekuensi kerja yang tinggi dan lama serta kerja otot yang statis (Arora, 2015).
2008) mengenai kejadian penyakit akibat kerja di rumah sakit pada tahun 2005, 2006 dan
2007, dari sepuluh penyakit akibat kerja, nyeri punggung bagian bawah menempati
jumlah kasus terbanyak. Hasil survey yang dilakukan oleh Direktorat Bina Kesehatan
akibat kerja menurut pekerjaan formal dan informal diketahui bahwa penyakit otot rangka
Hal ini terkait dengan faktor ergonomik seperti posisi yang salah, frekuensi dan lamanya
kerja serta desain dan layout tempat kerja yang tidak sesuai.
tujuh kantor perusahaan nasional di Bandung dan Yogyakarta. Responden yang dipilih
adalah mereka yang dominan dengan pekerjaan komputer (duduk). Dari sekitar 200
kuisioner yang kembali, ditemukan tingkat prevalensi gangguan sistem otot rangka
terbesar ada pada bagian leher (68,7%), bagian punggung (62,1%) dan bagian tulang
belakang (60%). Penelitian ini juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara faktor
risiko postur kerja statis, kerja repetitive dan durasi penggunaan komputer dengan
gangguan sistem otot rangka beberapa bagian tubuh (Iridiastadi, 2014). Haryanti (2007)
melakukan survei prevalensi gangguan sistem otot rangka pada pekerja profesi perawat.
Survei dilakukan melalui kuisioner dengan hasil menunjukan adanya gangguan pada
bagian punggung atas (51,3%), bahu kanan (47,4%), punggung bawah (45,6%) dan leher
kimia klinik, mikrobiologi klinik, parasitologi klinik dan imunologi klinik, untuk
dari Laboratorium Klinik Umum terdiri atas Pratama, Madya dan Utama.
(MSDs) setelah bekerja menjadi pegawai. Gangguan terbanyak dirasakan pada bagian
pinggang sebanyak 8 orang (80%), diikuti dengan gangguan pada tengkuk dan betis
sebanyak 7 orang (70%), gangguan ketiga terbanyak adalah pada punggung, bahu,
pergelangan kaki dan kaki kanan sebanyak 5 orang (50%), gangguan pada bokong dan
lengan kanan atas 4 orang (40%), lengan kanan bawah, pergelangan tangan, tangan kanan
dan lengan atas kiri sebanyak 3 orang (30%), gangguan pada pinggul dan paha sebanyak
2 orang (20%) serta yang paling sedikit dirasakan, yaitu pada lutut dan tangan kiri
Disorders (MSDs) pada pegawai Laboratorium Klinik Pramita Cab. Medan yang bekerja
akan diteliti adalah apa saja yang menjadi Determinan Terjadinya Risiko Gangguan Otot
1.4 Hipotesis
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ergonomi
Istilah ergonomi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata,
yaitu Ergon berarti kerja dan Nomos berarti aturan atau hukum. Jadi secara
ringkas ergonomi adalah suatu aturan atau norma dalam sistem kerja (Friend dan
keselamatan dan kenyaman manusia di tempat kerja, rumah dan dimana saja
1. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cedera dan
penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengupayakan
mengelola dan mengkoordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan jaminan
sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif.
ekonomis, antropologis dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan, sehingga
Setiap jenis pekerjaan memiliki karakteristik yang sangat beragam, hal ini
terkait dengan hasil yang diharapkan dan faktor-faktor penunjang seperti peralatan
1. Kerja duduk
Beberapa jenis pekerjaan harus dilakukan oleh pekerja dengan posisi duduk.
Menurut pendapat Grandjean (1993) yang dikutip oleh Wowo (2014), pelayanan
pekerjaan dengan posisi duduk memiliki keuntungan antara lain pembebanan pada kaki,
dibandingkan dengan bekerja pada posisi berdiri. Ditinjau dari aspek kesehatan, bekerja
pada posisi duduk yang memerlukan waktu lama dapat menimbulkan otot perut semakin
elastis, tulang belakang melengkung, otot bagian mata terkonsentrasi sehingga cepat
merasa lelah. Kejadian tersebut, jika tidak diimbangi dengan rancangan tempat duduk
yang tidak memberikan keleluasaan gerak atau alih pandang yang memadai tidak
menutup kemungkinan terjadinya gangguan bagian punggung belakang, ginjal dan mata.
Posisi duduk pada otot rangka (musculoskeletal) dan tulang belakang terutama pada
pinggang harus dapat ditahan oleh sandaran kursi agar terhindar dari nyeri dan cepat
lelah. Pada posisi duduk, tekanan tulang belakang akan meningkat dibanding berdiri atau
posisi duduk dalam waktu relatif lama harus dihindari karena dapat
mempengaruhi kesehatan.
Saat duduk, leher dan punggung mengalami tekanan dalam waktu lama
yang dapat menyebabkan gangguan pada leher dan punggung. Pekerjaan yang
membutuhkan waktu duduk dengan durasi waktu yang lama, sebaiknya harus
diselingi dengan tugas-tugas yang dapat dilakukan dalam posisi berdiri atau
berjalan.
dengan baik, tanpa bagian belakang lutut menjadi sempit. Sandaran harus
memberikan dukungan terutama untuk punggung bagian bawah. Selain itu kursi
harus dapat berputar, hal ini mengurangi kebutuhan untuk memutar tubuh.
2. Kerja Berdiri
(2001), postur kerja berdiri merupakan postur kerja dengan posisi tulang belakang
vertikal dan berat badan tertumpu secara seimbang pada dua kaki. Bekerja dengan posisi
berdiri terus menerus menyebabkan penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada
bagian kaki dan hal ini akan bertambah bila bentuk dan ukuran sepatu yang digunakan
tidak sesuai.
Tugas yang harus dilakukan dalam waktu lama dalam posisi berdiri harus
diselingi dengan tugas-tugas yang dapat dilakukan sambil duduk atau berjalan.
Ruang bebas yang cukup di bawah permukaan kerja harus dijaga untuk
posisi kerja berdiri. Hal ini memungkinkan seseorang untuk menjadi lebih dekat
harus menghindari posisi membungkuk atau memutar. Alat kerja dan benda
lainnya yang digunakan secara rutin harus ditempatkan langsung di depan dan
dekat tubuh.
Tangan dan siku harus berada jauh di bawah bahu ketika melaksanakan
tugas. Jika pekerjaan di atas permukaan bahu tidak dapat dihindarkan, maka
- Jangkauan lebih besar pada posisi kerja berdiri dibandingkan dengan posisi kerja
duduk.
- Kekuatan otot batang tubuh kecuali kepala dan leher dua kali lebih besar ketika berdiri
daripada duduk.
MSDs adalah kondisi yang mempengaruhi sistem otot rangka dan dapat
terjadi dalam tendon, otot, sendi, pembuluh darah dan/atau saraf tungkai dan
punggung. Gejala mungkin termasuk rasa sakit, ketidaknyamanan, mati rasa dan
kesemutan di daerah yang terkena dan dapat berbeda dalam tingkat keparahan dari
pada awal abad ke-18. Namun, tidak sampai tahun 1970-an menunjukkan faktor
keterkaitan kondisi ini mulai muncul teratur dalam literatur ilmiah internasional
(Bernard,1997).
akibat kerja pada tahun 2014. Insiden rate MSDs pada tahun 2014 menurun
menjadi 33,8 kasus per 10.000 pekerja penuh waktu bila dibandingkan pada tahun
2013 (35,8 kasus per 10.000). Kasus MSDs memberikan kontribusi 54% dari total
kasus cedera dan penyakit kerja pada profesi asisten perawat pada tahun 2014
(BLS, 2015).
Cedera dan penyakit pada wanita menyumbang 39% dari total kasus tidak
masuk kerja pada tahun 2014. Dibandingkan dengan laki-laki, wanita memiliki
tingkat insiden yang lebih tinggi dan jumlah kasus yang terkait dengan kekerasan
yang disengaja, terjatuh dan oleh karena gerakan berulang. Pada wanita,
kekerasan yang disengaja meningkat pada tahun 2014 sebesar 4,0 kasus per
10.000 pekerja penuh waktu, angka ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun
Insiden rate pada asisten perawat memiliki tingkat kejadian 372,5 pada
tahun 2014, turun bila dibandingkan pada tahun 2013 (392,8). Cedera dan
penyakit yang dihasilkan dari kelelahan dan reaksi tubuh menyumbang 55% dari
kasus yang terjadi untuk asisten perawat dan menurun menjadi 21.430 kasus pada
tahun 2014. Tingkat kejadian akibat kelelahan dan reaksi tubuh untuk asisten
perawat adalah 204,6 yaitu lima kali lebih besar (35,6) dibandingkan dengan
Pada tahun 2014 terdapat 365,580 kasus MSDs pada pekerja. Pekerja yang
terkena MSDs membutuhkan waktu rata-rata 13 hari untuk kembali bekerja pada
tahun 2014, dibandingkan pada tahun 2013 yang rata-rata hanya membutuhkan
bagian otot rangka yang dirasakan oleh seseorang mulai dari gangguan sangat
ringan sampai dengan sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara
berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan gangguan berupa
kerusakan pada sendi, ligament dan tendon. Gangguan hingga kerusakan inilah
Secara garis besar gangguan otot dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Gangguan sementara (reversible), yaitu gangguan otot yang terjadi pada saat otot
menerima beban statis, namun demikian gangguan tersebut akan segera hilang
walaupun pemberian beban kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih
terus berlanjut.
Studi tentang MSDs pada berbagai jenis industri telah banyak dilakukan.
Hasil studi menunjukan bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan adalah otot
rangka yang meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan, jari, punggung, pinggang
Gangguan sistem otot rangka pada umumnya terjadi karena kontraksi otot
berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi
apabila kontraksi otot hanya berkisar antara 15–20% dari kekuatan otot
maksimum. Namun apabila kontraksi otot melebihi 20%, maka peredaran darah
gangguan pada sistem otot rangka di tempat kerja hanya dapat dilakukan dengan
Posisi netral (duduk dan berdiri secara normal) merupakan kondisi yang
paling alamiah untuk bekerja dengan usaha otot dan tekanan pada sendi,
postur kerja dengan pergelangan tangan menekuk, leher mendongak dan lain-
lain. Postur kerja yang melelahkan inilah yang sering menjadi gangguan
pada tendon, ligamen dan sendi. Nyeri atau cedera pada punggung bawah
Ketika bergerak, otot dan tendon bekerja dengan memendek dan memanjang.
Peradangan pada tendon dan ligament sangat mungkin terjadi jika gerakan
yang dilakukan berulang secara terus menerus tanpa istirahat yang cukup.
Kerja otot statis berbeda dan lebih berisiko dibandingkan dengan kerja otot
dinamis. Bentuk kerja otot statis misalnya ketika anggota tubuh kita
menumpu atau menahan sesuatu. Pada saat itu, terjadi kenaikan pada tekanan
internal otot dan mengakibatkan aliran darah dan suplai oksigen terganggu.
pembengkakan pada sendi dan tulang pangkal ibu jari kaki (bintal kaki).
berujung lancip. Contoh lain adalah peradangan pada ruas jari tangan yang
kecil. Faktor ini disebut sebagai tekanan mekanis setempat karena terjadi
hanya pada area atau bagian tertentu anggota tubuh yang mengalami kontak
6. Getaran (vibration)
Getaran yang dialami pekerja secara terus menerus dapat berdampak pada
kerusakan jaringan dan organ tubuh. Dampak dari faktor risiko ini ditentukan
Suhu dingin yang ekstrem dapat menyebabkan terganggunya aliran darah dan
ekstrem jarang ditemui di Indonesia yang memiliki suhu tropis, faktor risiko
ini tetap perlu diperhatikan bagi mereka yang bekerja di daerah pegunungan
Suatu gangguan pada sistem otot rangka dapat disebabkan oleh satu atau
kombinasi beberapa faktor risiko. Semakin banyak faktor risiko yang melekat pada suatu
pekerjaan, risiko MSDs yang mungkin terjadi juga semakin besar (Iridiastadi, 2014).
tersebut di atas, beberapa ahli menjelaskan bahwa faktor individu seperti umur,
jenis kelamin, kebiasaan merokok, aktifitas fisik, kekuatan fisik dan ukuran tubuh
juga dapat menjadi penyebab terjadinya gangguan otot skeletal (Tarwaka, 2015).
1. Umur
bekerja. Menurut Chaffin dan Guo et al(1995) menyatakan bahwa mulai umur
1997). Hal ini terjadi karena umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan
otot mulai menurun sehingga risiko terjadi gangguan otot meningkat. Sebagai
otot untuk pria dan wanita dengan usia antara 20 sampai di atas 60 tahun.
Penelitian difokuskan untuk otot lengan, punggung dan kaki. Hasil penelitian
menunjukan bahwa kekuatan otot maksimal terjadi pada saat umur antara 20-
umur. Pada saat umur mencapai 60 tahun, rerata kekuatan otot menurun
sampai 20%. Ketika kekuatan otot mulai menurun inilah, maka risiko
bahwa umur mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan gangguan sistem
otot rangka, terutama untuk otot leher dan bahu. Bahkan ada beberapa ahli
2. Jenis Kelamin
Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli tentang pengaruh
jenis kelamin terhadap risiko gangguan sistem otot rangka, namun beberapa
mempengaruhi tingkat risiko gangguan otot. Hal ini terjadi karena secara
fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih rendah dari pada pria
(Tarwaka, 2015). Astrand & Rodahl (1996) menjelaskan bahwa kekuatan otot
wanita hanya sekitar dua pertiga dari kekuatan otot pria, sehingga daya tahan
otot pria pun lebih tinggi dibandingan dengan wanita (Tarwaka, 2015).
Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Benard et al. (1994), Hales et al.
al.(1988) perbandingan rasio pria dan wanita yang menderita Carpal Tuner
3. Kebiasaan Merokok
terhadap risiko gangguan otot juga masih diperdebatkan dengan para ahli,
(Tarwaka, 2015).
pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot. Hal ini sebenarnya terkait erat
pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam
4. Kekuatan Fisik
terjadinya gangguan tiga kali lipat dari yang mempunyai kekuatan tinggi.
Sementara itu, Betti’e et al. (1990) menemukan bahwa pekerja yang sudah
kedua hasil penelitian tersebut di atas, secara fisiologis ada yang dilahirkan
dengan struktur otot yang mempunyai kekuatan fisik lebih kuat dibandingkan
dengan yang lainnya. Dalam kondisi kekuatan yang berbeda ini, apabila harus
kekuatan rendah akan lebih rentan terhadap risiko cedera otot. Namun untuk
kekuatan fisik kurang relevan terhadap risiko gangguan sistem otot rangka
(Tarwaka, 2015).
Walaupun pengaruhnya relatif kecil, berat badan, tinggi badan dan masa
mempunyai risiko dua kali lipat dibandingkan wanita kurus (Tarwaka, 2015).
Hal ini diperkuat oleh Werner, et al.(1994) yang menyatakan bahwa bagi
risiko 2,5 lebih tinggi dibandingkan dengan yang kurus, khususnya untuk otot
kaki. Temuan lain menyatakan bahwa pada tubuh yang tinggi umumnya
Apabila dicermati, gangguan sistem otot rangka yang tekait dengan ukuran
menerima beban, baik beban berat tubuh maupun beban tambahan lainnya.
Sebagai contoh, tubuh tinggi pada umumnya mempunyai bentuk tulang yang
langsing sehingga secara biomekanik rentan terhadap beban tekan dan rentan
terhadap tekukan, oleh karena itu mempunyai risiko yang lebih tinggi
penyakit adalah melalui dua cara, yaitu rekayasa teknik dan rekayasa manajemen
(Grandjean, 1993; Anis & McConville, 1996; Waters & Anderson 1996;
Manuaba, 2000; Peter Vi, 2000). Langkah preventif ini dimaksudkan untuk
(Tarwaka, 2015).
berikut:
1. Rekayasa Teknik
b. Subsitusi, yaitu mengganti alat/bahan lama dengan alat/bahan baru yang aman,
2. Rekayasa Manajemen
berikut:
lebih memahami lingkungan dan alat kerja sehingga diharapkan dapat melakukan
akibat kerja.
b. Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang. Pengaturan waktu kerja dan
istirahat yang seimbang. Hal ini disesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja dan
pencegahan secara lebih dini terhadap kemungkinan terjadinya risiko sakit akibat
kerja.
Metode REBA diperkenalkan oleh Sue Hignett dan Lynn McAtamney dan
Metode ini merupakan hasil kerja kolaboratif oleh tim ergonomists, fisioterapi, ahli
okupasi dan para perawat yang mengidentifikasi sekitar 600 posisi di industri
dari posisi yang terjadi pada anggota tubuh bagian atas (lengan, lengan bawah dan
pergelangan tangan), badan, leher dan kaki. Metode ini juga mendefinisikan faktor-faktor
lainnya yang dianggap dapat menentukan untuk penilaian akhir postur tubuh, seperti
beban atau force atau gaya yang dilakukan, jenis penanganan atau jenis aktifitas otot yang
dilakukan oleh pekerja. Hal ini memungkinkan untuk mengevaluasi baik posisi statis dan
dinamis, juga keadaan yang dapat menunjukkan adanya perubahan secara tiba-tiba pada
postur atau posisi tidak stabil. Dalam hal ini, perlu disebutkan apakah posisi anggota
tubuh bagian atas dilakukan dengan melawan gravitasi, karena faktor gravitasi berkaitan
erat dengan posisi tubuh seseorang. Untuk definisi segmen tubuh yang dianalisis dalam
serangkaian pekerjaan merupakan metode yang sederhana dengan variasi beban dan
Metode REBA merupakan suatu alat analisis postural yang sangat sensitif
terhadap pekerjaan yang melibatkan perubahan mendadak dalam posisi. Biasanya sebagai
akibat dari penanganan kontainer yang tidak stabil atau tidak terduga. Keistimewaan
(Tarwaka, 2015 ):
1. Metode REBA merupakan metode yang sangat sensitif untuk mengevaluasi risiko,
2. Metode REBA, membagi menjadi segmen-segmen tubuh yang akan diberi kode
secara individu dan mengevaluasi baik anggota badan bagian atas maupun badan,
3. Metode ini digunakan untuk menganalisis pengaruh pada beban postural selama
penanganan kontainer yang dilakukan dengan tangan atau bagian tubuh lainnya.
4. Metode ini dianggap relevan untuk jenis kontainer yang mempunyai pegangan.
oleh posisi tubuh statis, dinamis atau karena terjadinya perubahan postur yang tidak
6. Hasilnya adalah untuk menentukan tingkat resiko cedera dengan menetapkan tingkat
tindakan korektif yang diperlukan dan melakukan intervensi untuk perbaikan segera.
2. Jika terdapat pekerjaan dengan durasi waktu yang berlebihan perlu dilakukan analisis
secara detail.
3. Catat posisi berbeda yang dilakukan oleh pekerja selama bekerja, baik dengan
rekaman video atau melalui foto kamera atau dengan memasukkan waktu riil apabila
4. Lakukan identifikasi posisi untuk semua pekerjaan yang dianggap paling penting dan
5. Metode REBA harus diaplikasikan secara terpisah untuk kedua sisi tubuh.
1. Sudut antara bagian tubuh yang berbeda (badan, leher, kaki, lengan atas, lengan
bawah, pergelangan tangan) terhadap posisi tertentu. Pengukuran ini dapat dilakukan
secara langsung pada pekerja dengan menggunakan peralatan ukur seperti; elektro-
goniometer atau alat pengukur sudut lainnya yang relevan atau dapat melalui foto
kamera, sehingga diperoleh titik pandang sudut bagi tubuh yang diukur.
2. Beban atau force yang sedang dikerjakan oleh pekerja dan dinyatakan dalam
kilogram.
3. Jenis pegangan kontainer yang dikerjakan secara manual atau dengan menggunakan
4. Karakteristik aktifitas otot yang digunakan oleh pekerja (pergerakan otot statis,
1. Bagi segmen tubuh menjadi dua grup. Grup A meliputi badan, leher dan kaki. Grup B
meliputi anggota tubuh bagian atas (lengan, lengan bawah dan pergelangan tangan).
Skor individu untuk masing-masing grup diambil dari tabel secara berurutan.
2. Lihat tabel A untuk mendapatkan nilai awal pada grup A untuk skor individu
3. Rating grup B diambil dari rating lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan
pada tabel B.
4. Modifikasi skor dari grup A (badan, leher dan kaki), tergantung pada beban atau
5. Koreksi skor pada grup B (lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan)
6. Dari skor A dan skor B dan ditransfer ke dalam tabel C akan memberikan skor baru
7. Memodifikasi skor C, tergantung pada jenis aktifitas otot yang dikerahkan untuk
8. Periksa tingkat aksi (action level), risiko dan urgensi tindakan perbaikan yang harus
berikut:
Anggota tubuh pertama yang dievaluasi pada grup A adalah badan. Hal ini dapat
menentukan apakah pekerja melakukan pekerjaan dengan posisi badan tegak atau tidak,
menentukan besar kecilnya sudut fleksi atau ekstensi dari badan yang diamati,
selanjutnya memberikan skor berdasarkan posisi badan. Skor akan meningkat jika
menekuk fleksi antara 0º - 20º dan posisi leher menekuk fleksi atau ekstensi >20º.
Skor hasil perhitungan kemungkinan dapat ditambah jika posisi leher pekerja
Skor Posisi
1 Posisi leher fleksi: 0º - 20º
2 Posisi leher fleksi atau ekstensi >20º
+1 Posisi leher membungkuk atau memuntir secara lateral
Skor Posisi
1 Posisi kedua kaki tertopang dengan baik di lantai dalam keadaan
berdiri atau berjalan
2 Salah satu kaki tidak tertopang di lantai dengan baik atau terangkat
+1 Salah satu atau kedua kaki ditekuk fleksi antara 30º - 60º
+2 Salah satu atau kedua kaki ditekuk fleksi antara >60º
Grup B: Penilaian anggota tubuh bagian atas (lengan, lengan bawah dan
pergelangan tangan)
Untuk mementukan skor yang dilakukan pada lengan atas, maka harus
diukur sudut antara lengan dan badan. Skor yang didapat akan sangat tergantung
pada besar kecilnya sudut yang terbentuk antara lengan dan badan selama bekerja.
Skor dapat dimodifikasi yaitu ditambah atau dikurangi jika bahu pekerja
terangkat, lengan diputar, atau diangkat menjauh dari badan. Skor dikurangi 1 jika
Skor Posisi
1 Posisi lengan fleksi atau eksensi antara 0º - 20º
2 Posisi lengan fleksi antara 21º - 45º atau eksensi >20º
Skor postur untuk lengan bawah tergantung pada kisaran sudut yang
dibentuk oleh pergelangan tangan. Skor untuk pergelangan tangan ini akan
ditambah 1 apabila pergelangan tangan pada saaat bekerja mengalami torsi atau
Besar kecilnya skor untuk pembebanan dan force akan sangat tergantung
Skor Posisi
+0 Beban atau force <5 kg
+1 Beban atau force antara 5-10 kg
+2 Beban atau force >10 kg
Jenis pegangan akan dapat meningkatkan skor pada grup B (lengan bawah
Skor Aktifitas
+1 Satu atau lebih bagian tubuh dalam aktifitas statis, misalnya ditopang
untuk lebih dari 1 menit
+1 Gerakan berulang-ulang terjadi, misalnya repetisi lebih dari 4 kali per
menit (tidak termasuk berjalan)
+1 Terjadi perubahan yang signifikan pada postur tubuh atau postur tubuh
tidak stabil selama bekerja
Metode ini pertama kali dikembangkan oleh Lynn McAtamney dan Nigel Corlett,
Ergonomics England. Metode ini prinsip dasarnya hampir sama dengan metode REBA
(McAtamney, 2004).
Metode RULA merupakan suatu metode dengan menggunakan target postur tubuh
anggota tubuh bagian atas (upper limb disorders), seperti adanya gerakan repetitive,
Pengukuran terhadap postur tubuh dengan metode RULA pada prinsipnya adalah
mengukur sudut dasar, yaitu sudut yang dibentuk oleh perbedaan anggota tubuh (limbs)
Metode ini harus dilakukan terhadap kedua sisi anggota tubuh kiri dan kanan.
Metode RULA membagi anggota tubuh ke dalam dua segmen yang membentuk dua grup
terpisah, yaitu grup A dan B. Grup A meliputi anggota tubuh bagian atas (lengan atas,
lengan bawah dan pergelangan tangan). Sementara itu, Grup B meliputi kaki, badan dan
leher. Selanjutnya skor A dan B dihitung dengan menggunakan tabel dengan memasukan
skor untuk masing-masing postur tubuh secara individu. Selanjutnya skor postur tubuh
total untuk grup A dan B dapat dimodifikasi tergantung jenis aktivitas otot yang terlibat
dan pengerahan tenaga selama melakukan pekerjaan. Terakhir, skor final didapatkan dari
Grand skor yang diperoleh merupakan proposional dari risiko yang terjadi selama
Grup A: Skor untuk anggota tubuh pada Upper Limbs (lengan atas, lengan bawah dan
pergelangan tangan).
Anggota tubuh pertama yang dinilai adalah lengan atas. Untuk menghitung skor
Skor postur untuk lengan harus dimodifikasi, baik ditambah atau dikurangi
jika bahu pekerja terangkat, jika lengan diputar, diangkat menjauh dari badan atau
Tabel 2.12 Skor Lengan Atas dan Peningkatan dan atau Penurunan Skor
Berikutnya yang harus dianalisa adalah posisi lengan bawah. Skor postur
untuk lengan bawah juga tergantung pada kisaran sudut yang dibentuk oleh lengan
Skor lengan bawah harus dinaikan jika lengan bawah menyilang dari garis
evaluasi sudut pada pergelangan tangan, maka skor responden langsung dihitung.
Skor postur untuk pergelangan tangan akan ditambah dengan 1 (+1), jika
pergelangan tangan pada saat bekerja mengalami deviasi baik ulnar maupun radial
dinilai pada posisi pergelangan tangan memutir. Skor yang baru tersebut
merupakan skor independen dan tidak akan ditambahkan dengan skor sebelumnya
Grup B: Skor untuk anggota tubuh pada leher, badan dan kaki.
Setelah anggota tubuh pada grup A selesai dinilai, selanjutnya yang harus
dinilai adalah anggota tubuh grup B, yaitu anggota tubuh pada bagian leher, badan
dan kaki.
Anggota tubuh pertama yang harus dinilai pada grup B adalah bagian leher.
Fleksi pada leher dinilai terlebih dahulu dengan menghitung skor yang menunjukan tiga
Skor postur untuk leher harus ditambah dengan 1 (+1), jika posisi leher
pada saat bekerja adalah duduk atau berdiri yang dapat mengindikasikan fleksi
badan.
Skor postur untuk badan harus dinaikan dengan menambah 1 (+1), jika
Tabel 2.21 Posisi yang dapat Memodifikasi Skor Postur pada Badan
Bagian tubuh terakhir yang harus dinilai adalah kaki. Pada penilaian kaki, metode
ini tidak fokus pada pengukuran sudut seperti analisa pada anggota tubuh sebelumnya.
Tetapi lebih pada faktor seperti distribusi berat pada tumpuan kedua kaki, tempat
penopang dan posisi duduk atau berdiri yang akan menentukan besar kecilnya skor.
Skor Posisi
1 Kaki dan telapak kaki tertopang dengan baik pada saat duduk
1 Berdiri dengan berat badan terdistribusi dengan rata oleh kedua kaki, terdapat
ruang gerak yang cukup untuk merubah posisi
2 Kaki dan telapak kaki tidak tertopang dengan baik atau berat badan tidak
terdistribusi dengan seimbang
Perhitungan Grand Skor RULA:
Setelah skor postur untuk setiap anggota tubuh pada kedua grup (A dan B)
secara individu dicatat, selanjutnya harus dihitung skor kombinasi untuk kedua
grup.
Skor postur untuk anggota tubuh grup A, dengan memasukkan skor postur
secara individu untuk lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan ke dalam
tabel, maka akan didapat skor postur grup A. Skor postur untuk anggota tubuh
grup B, dengan memasukan skor postur secara individu untuk leher, badan dan
Tenaga (force):
Skor Postur yang diperoleh daru grup A dan B akan diubah dengan
pekerjaan. Skor postur (A dan B) ditambah dengan 1 (+1), jika postur tubuh pada
saat bekerja dalam keadaan statis untuk lebih dari 1 menit atau jika pekerjaan
dilakukan secara repetitive untuk lebih dari 4 kali per menit. Jika pekerjaan
dilakukan dengan kadang-kadang, tidak sering atau untuk durasi yang singkat,
maka hal tersebut dipertimbangkan sebagai pekerjaan dinamis dan skor akan tetap
0 Tidak ada resistensi atau pembebanan dan pengerahan tenaga secara tidak
menentu < 2 kg
1 Pembebanan dan pengerahan tenaga secara tidak menentu antara 2 – 10 kg
2 Pembebanan statis 2 – 10 kg
2 Pembebanan dan pengerahan tenaga secara repetitive 2 – 10 kg
3 Pembebanan dan pengerahan tenaga secara repetitive atau statis ≥ 2 – 10
kg
3 Pengerahan tenaga dan pembebanan berlebihan dan cepat
Skor dari penggunaan otot dan pengerahan tenaga harus ditambahkan pada
skor postur untuk grup A dan B sehingga menghasilkan perhitungan untuk skor C
akumulasi skor tunggal dengan nilai 1 sampai dengan 7 yang nantinya digunakan
Skor D
Skor C 1 2 3 4 5 6 7+
1 1 2 3 3 4 5 5
2 2 2 3 4 4 5 5
3 3 3 3 4 4 5 6
4 3 3 3 4 5 6 6
5 4 4 4 5 6 7 7
6 4 4 5 6 6 7 7
7 5 5 6 6 7 7 7
8 5 5 6 7 7 7 7
Langkah terakhir dari metode RULA adalah menentukan tingkat aksi
Metode Nordic Body Map merupakan metode yang digunakan untuk menilai
tingkat keparahan (severity) atas terjadinya gangguan atau cedera pada otot rangka.
Metode ini telah secara luas digunakan oleh para ahli ergonomi dan mempunyai validitas
Dalam aplikasinya, metode Nordic Body Map dengan menggunakan lembar kerja
berupa peta tubuh (body map) merupakan cara yang sangat sederhana, mudah dipahami,
murah dan memerlukan waktu yang sangat singkat (±5 menit) per individu. Observer
dapat langsung mewawancarai atau menanyakan kepada responden, pada otot-otot rangka
bagian mana saja yang mengalami gangguan nyeri atau sakit atau dengan menunjuk
langsung pada setiap otot rangka sesuai yang tercantum dalam lembar kerja kuesioner
Nordic Body Map meliputi 28 bagian otot-otot skeletal pada kedua sisi tubuh
kanan dan kiri, yang dimulai dari anggota tubuh bagian atas, yaitu otot leher sampai
dengan bagian paling bawah, yaitu otot pada kaki. Melalui kuesioner Nordic Body Map,
maka akan dapat diketahui bagian-bagian otot mana saja yang mengalami gangguan nyeri
atau gangguan tingkat rendah (tidak ada gangguan/cedera) sampai dengan gangguan
tingkat tinggi (gangguan sangat sakit). Gangguan pada otot rangka, biasanya merupakan
gangguan yang bersifat kronis, artinya gangguan ini sering dirasakan beberapa lama
setelah melakukan aktivitas dan sering meninggalkan residu yang dirasakan pada har-hari
berikutnya.
dengan berbagai cara, misalnya dengan menggunakan 2 jawaban sederhana, yaitu “YA“
(ada gangguan atau rasa sakit pada otot rangka) dan “TIDAK“ (tidak ada gangguan atau
tidak ada rasa sakit pada otot rangka). Tetapi lebih utama untuk menggunakan desain
penilaian dengan skoring (misalnya: 4 skala likert). Apabila digunakan skoring dengan
skala likert, maka setiap skor atau nilai haruslah mempunyai definisi operasional yang
1. Skor 1 = Tidak ada gangguan/kenyerian atau tidak ada rasa sakit sama sekali yang
2. Skor 2 = dirasakan sedikit adanya gangguan atau kenyerian pada otot rangka (agak
sakit).
rangka (sakit).
4. Skor 4 = responden merasakan gangguan sangat sakit atau sangat nyeri pada otot
kuisioner, maka langkah berikutnya adalah menghitung total skor individu dari
seluruh otot rangka yang diobservasi. Pada desain 4 skala likert ini, maka akan
diperoleh skor individu terendah adalah sebesar 28 dan skor tertinggi 112.
Langkah terakhir dari aplikasi Nordic Body Map ini adalah melakukan
upaya perbaikan pada pekerjaan maupun posisi/postur kerja, jika diperoleh hasil
perbaikan yang harus dilakukan sangat tergantung dari risiko otot rangka yang
beberapa cara, diantaranya adalah dengan melihat persentase pada setiap bagian
otot rangka dan dengan menggunakan kategori tingkat risiko otot rangka.
2015).
MSDs adalah kondisi yang mempengaruhi sistem otot rangka dan dapat
terjadi dalam tendon, otot, sendi, pembuluh darah dan/atau saraf tungkai dan
punggung. Gejala mungkin termasuk rasa sakit, ketidaknyamanan, mati rasa dan
kesemutan di daerah yang terkena. Kondisi ini dapat berbeda dalam tingkat
2013).
sebesar 87%. Gangguan pada leher dan pinggang menempati gangguan terbanyak
tubuh).
Waktu kerja yang lama (8 jam per hari) dan kerja otot yang statis hampir
administrasi laboratorium. Meskipun adanya waktu istirahat dan cuti, akan tetapi
Karakteristik individu :
- Umur
- Jenis Kelamin
- Kebiasaan Merokok
- Masa kerja
- Jenis pekerjaan Risiko Gangguan
Musculoskeletal Disorders
(MSDs)
Karakteristik pekerjaan :
- Postur Kerja
BAB 3
METODE PENELITIAN
penelitian cross sectional yang bertujuan untuk menganalisis determinan terjadinya risiko
3.2.1 Lokasi
3.2.2 Waktu
3.3.1 Populasi
orang.
46
3.3.2 Sampel
Data pada penelitian ini berupa data primer yang diperoleh peneliti melalui
data tentang karakteristik individu (umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, masa
1. Metode REBA (Rapid Entire Body Assesment) atau RULA (The Rapid Upper Limb
2. Metode Nordic Body Map untuk penilaian tingkat keparahan atas terjadinya
gangguan muskuloskeletal.
Data sekunder berupa biodata pegawai yang didapatkan dari bagian Umum
a. Umur adalah jumlah tahun yang dihitung mulai dari responden lahir sampai saat
menjadi 2 golongan:
1. 20 - 30 tahun
2. > 30 tahun
b. Jenis Kelamin adalah ciri khas tertentu yang dimiliki oleh seluruh responden dan
dibedakan atas:
1. Laki-laki
2. Perempuan
diklasifikasikan menjadi:
1. Merokok
2. Tidak Merokok
1. 0 - 5 tahun
2. >5 tahun
proses di laboratorium).
setiap otot rangka yang dinilai melalui kuesioner Nordic Body Map, dibagi
menjadi :
Pengukuran postur kerja pada responden dengan metode REBA atau RULA
dalam penelitian ini dilakukan oleh Balai K3 Medan Kementerian Ketenagakerjaan RI.
1. Menentukan siklus kerja dan mengobservasi responden selama variasi siklus kerja
tersebut.
berisiko.
5. Melakukan pengukuran sudut dasar, yaitu sudut yang dibentuk oleh perbedaan anggota
tubuh (limbs) dengan titik tertentu pada postur tubuh yang dinilai dengan
7. Menghitung grand score dan action level untuk menilai kemungkinan risiko yang
terjadi.
8. Merevisi skor postur tubuh untuk anggota tubuh yang berbeda yang digunakan untuk
Pengukuran postur kerja dengan metode REBA didasarkan pada serangkaian tabel
yang memuat penilaian anggota tubuh. Apabila postur kerja bergerak dari posisi netral,
maka skoring risiko akan bertambah. Skoring REBA yang telah ada kemudian dicocokkan
1. Skor 1, tingkat risiko sangat rendah, tidak ada tindakan yang diperlukan (ergonomi).
5. Skor 11-15, tingkat risiko sangat tinggi, diperlukan tindakan segera mungkin (sangat
tidak ergonomi).
sebagai berikut :
4. Skor 7+, diperlukan adanya investigasi dan perbaikan secepat mungkin (sangat tidak
ergonomi).
dilakukan pada hari kerja setelah jam kerja selesai (jam 14.00 WIB untuk shift I
dan jam 21.00 WIB untuk shift II). Pengukuran tingkat risiko gangguan otot
1. Skor 1 = Tidak ada gangguan/kenyerian atau tidak ada rasa sakit sama sekali yang
2. Skor 2 = dirasakan sedikit adanya gangguan/kenyerian pada otot skeletal (agak sakit)
skeletal (sakit)
4. Skor 4 = responden merasakan gangguan sangat sakit/sangat nyeri pada otot skeletal
(sangat sakit)
a. Umur rata-rata pegawai berada pada usia produktif, pegawai yang bekerja di
Laboratorium Klinik Pramita berkisar antara 20 sampai dengan >35 tahun, dibedakan
menjadi 4 kategori:
1 = 20 - 30 tahun
2 = > 30 tahun
Skala: Nominal
1 = Laki-laki
2 = Perempuan
Skala: Nominal
1 = Merokok
2 = Tidak merokok
Skala: Nominal
d. Masa kerja, lamanya petugas bekerja dihitung dari awal masuk kerja di Lab. Klinik
1 = 0 - 5 tahun
2 = >5 tahun
Skala: Nominal
1 = Non teknis
2 = Teknis
Skala: Nominal
1 = Kurang ergonomi
2 = Tidak ergonomi
Skala: Nominal
1 = Risiko rendah
2 = Risiko sedang
Skala: Nominal
1. Proses editing, dilakukan pengecekan data yang telah dikumpulkan dari hasil
kesalahan dan kekurangan dalam pengumpulan data akan diperbaiki dalam penelitian
ulang.
2. Coding, pemberian tanda atau kode pada hasil penelitian dimana data telah terkumpul
3. Entry, menyimpan data yang telah terkumpul, selanjutnya diolah ke dalam analisa
data.
4. Tabulating, pengolahan data untuk dibuat ke dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
1. Univariat
Analisa data yang dilakukan dengan menggunakan analisa yang bersifat analitik.
2. Bivariat
yaitu karakteristik individu (umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, masa kerja
dan jenis pekerjaan) dan postur kerja dengan variabel terikat (dependent variable),
hubungan yang signifikan antara variabel bebas dengan variabel terikat digunakan
analisis chi-square, pada batas kemaknaan perhitungan statistic p-value (0,05) atau
3. Multivariat
BAB 4
HASIL PENELITIAN
bulan Oktober 1987. Saat ini, Lab. Klinik Pramita mempunyai 25 cabang yang
perkembangan selanjutnya dan sesuai dengan tuntutan dari konsumen, maka Lab.
pemeriksaan medis lainnya (Fisik dokter, Pap Smear, Vaksinasi Hepatitis B).
Lab. Klinik Pramita Cabang Medan dibuka tanggal 01 Juni 2005, terletak
di Jl. P. Diponegoro No. 37 Medan. Pasien yang dilayani sepanjang tahun 2015
sebanyak 63.100 orang atau kurang lebih 195 pasien per hari. Jam operasional
untuk Shift I: 06.30 – 14.30 WIB dan Shift II: 13.30 –21.30 WIB. Buka dari Senin
cenderung statis dan lebih banyak dilakukan dengan posisi duduk, berdiri dan
sedikit dengan posisi membungkuk. Setiap pegawai berdinas 8 jam per hari setara
56
dengan 40 jam per minggu. Dikarenakan posisi yang cenderung statis dan
berulang, maka mulai timbul gangguan pada sistem otot rangka /Musculoskeletal
yang dilakukan selama ini, yaitu dengan cara pemberian waktu istirahat (cuti) dan
sistem rolling shift setiap 1 minggu sekali. Proses pelayanan pasien di Lab. Klinik
Pengambilan Bahan
Pemeriksaan
Pengolahan bahan
pemeriksaan
Pemeriksaan
Laboratorium
Frekuensi
Variabel
n %
1. Umur
20 – 30 tahun 17 56,7
> 30 tahun 13 43,3
2. Jenis Kelamin
Laki – laki 9 30
Perempuan 21 70
3. Kebiasaan Merokok
Merokok 5 16,7
Tidak merokok 25 83,3
4. Masa Kerja
> 5 tahun 18 60
0-5 tahun 12 40
5. Jenis Pekerjaan
Teknis 18 60
Non Teknis 12 40
6. Postur Kerja
Tidak ergonomi 18 60
Kurang ergonomi 12 40
antara 20–30 tahun adalah sebanyak 17 orang (56,7%) dan umur responden >30
median umur responden di Lab. Klinik Pramita Cab. Medan berada pada umur 30
tahun.
responden yang ada di Lab. Klinik Pramita Cab. Medan adalah perempuan dengan
9 orang (30%).
orang (60%) dan yang mempunyai masa kerja 0-5 tahun sebanyak 12 orang
(40%). Masih terdapat pegawai yang bekerja sejak awal pembukaan laboratorium
(60%) dan yang bekerja di bagian non teknis sebanyak 12 orang (40%) yaitu
Hasil pengukuran terhadap postur tubuh dengan metode RULA atau REBA,
Setelah dilakukan pengukuran sudut postur kerja dari setiap responden, maka
selanjutnya ditentukan skor untuk RULA atau REBA dari masing-masing responden untuk
Tabel 4.4 Skor RULA Responden Lab. Klinik Pramita Cab. Medan
Tahun 2016
Tabel 4.5 Skor REBA Responden Lab. Klinik Pramita Cab. Medan
Tahun 2016
dan terendah adalah 4, sedangkan untuk skor REBA yang tertinggi adalah 9 dan terendah
5.
Skor RULA tertinggi didapat di bagian customer service dan pengolahan bahan
pemeriksaan. Untuk skor RULA terendah terdapat pada bagian administrasi laboratorium,
Tabel 4.7 Rekapitulasi Skor Nordic Body Map Responden Lab. Klinik
Pramita Cab. Medan Tahun 2016
Tabel 4.8 Distribusi Risiko Gangguan MSDs Responden Lab. Klinik Pramita
Cab. Medan Tahun 2016
dengan tingkat risiko sedang yaitu sebanyak 19 orang (63,3%), sedangkan responden
yang mengalami gangguan MSDs dengan tingkat risiko rendah sebanyak 11 orang
(36,7%).
MSDs telah diuji menggunakan uji Chi Square yang menunjukan bahwa nilai
Dengan kata lain tidak ada hubungan faktor umur terhadap risiko gangguan otot
rangka/MSDs.
gangguan MSDs telah diuji menggunakan uji Chi Square yang menunjukan bahwa
nilai probilitan (p) yang dihasilkan adalah 0,026<α(0,05), maka hipotesis diterima.
Dengan kata lain ada hubungan faktor jenis kelamin terhadap risiko gangguan otot
rangka/MSDs.
risiko gangguan MSDs telah diuji menggunakan uji Chi Square yang menunjukan
bahwa nilai probilitan (p) yang dihasilkan adalah 0,865>α(0,05), maka hipotesis
ditolak. Dengan kata lain tidak ada hubungan faktor kebiasaan merokok terhadap
gangguan MSDs telah diuji menggunakan uji Chi Square yang menunjukan bahwa
nilai probilitan (p) yang dihasilkan adalah 0,643>α(0,05), maka hipotesis ditolak.
Dengan kata lain tidak ada hubungan faktor masa kerja terhadap risiko gangguan
otot rangka/MSDs.
gangguan MSDs telah diuji menggunakan uji Chi Square yang menunjukan bahwa
nilai probilitan (p) yang dihasilkan adalah 0,643>α(0,05), maka hipotesis ditolak.
Dengan kata lain tidak ada hubungan faktor jenis pekerjaan terhadap risiko
gangguan MSDs telah diuji menggunakan uji Chi Square yang menunjukan bahwa
nilai probilitan (p) yang dihasilkan adalah 0,005<α(0,05), maka hipotesis diterima.
Dengan kata lain ada hubungan faktor postur kerja terhadap risiko gangguan otot
rangka/MSDs.
manakah yang layak masuk model uji multivariat. Dimana yang layak adalah
yang memiliki tingkat signifikansi (sig.) atau p-value <0,25 dengan metode
“Stepwise” dalam regresi logistik sederhana yaitu dengan melakukan satu persatu
dependen.
Dari hasil seleksi kandidat dengan uji regresi logistik berganda, maka
Tabel 4.11 Hasil Seleksi Kandidat dengan Uji Regresi Logistik Berganda
Determinan Risiko Gangguan MSDs Responden Lab. Klinik Pramita Cab.
Medan Tahun 2016
masa kerja (0,643) dan jenis pekerjaan (0,643) tidak masuk ke uji multivariat
karena p-valuenya >0,25. Sedangkan p-value variabel umur (0,184), jenis kelamin
(0,034) dan postur kerja (0,009) masuk ke uji multivariat karena p-valuenya
<0,25.
Berarti ada 3 (tiga) variabel yang akan diuji yaitu: variabel umur, jenis
kelamin dan postur kerja. Langkah selanjutnya adalah memasukan ketiga variabel
Tabel 4.12 Hasil Uji Regresi Logistik Berganda Tahap Pertama Determinan
Risiko Gangguan MSDs Responden Lab. Klinik Pramita Cab. Medan
Tahun 2016
Variabel umur memiliki p-value >0,05 yaitu 0,105. Variabel jenis kelamin
memiliki p-value <0,05 yaitu 0,027 dan postur kerja memiliki p-value <0,05 yaitu
0,011. Langkah selanjutnya yaitu variabel yang memiliki p-value terbesar yaitu
Tabel 4.13 Hasil Uji Regresi Logistik Berganda Tahap Kedua: Variabel
Umur dikeluarkan dari Model
(27,6%) dan variabel postur kerja (27,3%) sehingga variabel umur dimasukkan
Tabel 4.14 Hasil Uji Regresi Logistik Berganda Tahap Ketiga: Variabel Jenis
Kelamin dikeluarkan dari Model
(65%) dan variabel postur kerja (51,9%) sehingga variabel jenis kelamin
Dari hasil analisis seperti dalam tabel 4.15 di atas, maka dapat disimpulkan
diperoleh yaitu 25,389 artinya postur kerja responden mempunyai peluang 25,389
BAB 5
PEMBAHASAN
professional yang mempunyai risiko kerja berupa gejala gangguan otot rangka
5.1.1 Umur
MSDs sedang 76,9%, lebih tinggi dari yang mengalami gangguan MSDs rendah
52,9%, lebih tinggi dari yang mengalami gangguan MSDs rendah 47,1%.
antara 20-30 tahun dengan responden yang di atas 30 tahun adalah hampir sama,
Dari hasil penelitian ini didapatkan data bahwa gangguan MSDs tidak
hanya terjadi pada responden dengan umur di atas 30 tahun. Pada responden
dengan umur termuda (22 tahun) sudah terdapat adanya gangguan MSDs
meskipun pada tahap rendah. Responden dengan umur >30 tahun mengalami
72
gangguan MSDs secara bervariatif, mulai dari gangguan pada leher, tengkuk,
punggung, pinggang dan betis. Responden dengan umur tertua (43 tahun)
mengalami gangguan MSDs kategori sedang dengan hampir semua otot rangkanya
mengalami gangguan.
suatu pekerjaan. Responden yang mulai bekerja di suatu bagian ketika berumur
masih muda akan tetap bekerja di bagian itu sampai dengan batas waktu tidak
tertentu. Hal ini memungkinkan seseorang bekerja secara statis dalam jangka
waktu lama dalam satu posisi pekerjaan dan bisa menimbulkan risiko gangguan
MSDs dikemudian hari. Mutasi pekerjaan ke bagian lain tidak tergantung kepada
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa tidak ada hubungan faktor umur
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Agrawal, et al. (2014) terhadap
hanya terjadi pada umur di atas 30 tahun saja tetapi juga dapat terjadi pada teknisi
yang masih muda. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Pratiwi dkk (2009) terhadap 30 orang penjual jamu gendong yang
(2014) terhadap 33 orang perawat yang bekerja di RSUD Bhakti Dharma Husada
Surabaya menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara umur
pinggang bisa terjadi pada usia muda dan sebagian besar menyerang pada umur
produktif.
tahun kebanyakan orang akan mengalami gangguan pertama berupa sakit bagian
belakang (umur pekerja antara 25 sampai 65 tahun) dan gangguan tersebut akan
terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur (Bernard, 1997). Hal ini
terjadi karena umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun
20-30 tahun dan gangguan MSDs yang dominan ada pada kategori sedang, maka
rangka/MSDs.
sedang 76,2%, lebih tinggi dari yang mengalami gangguan MSDs rendah 23,8%.
Responden laki-laki mengalami gangguan MSDs sedang 33,3%, lebih rendah dari
teratur, mereka bekerja secara simultan dan jarang untuk mengambil waktu
istirahat dan bergeser dari tempat kerja selama pekerjaannya belum selesai,
pada posisi statis dalam jangka waktu lebih lama dari pada responden laki-laki
sehingga perempuan mempunyai risko gangguan otot rangka lebih tinggi bila
dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu jumlah pekerjaan yang dilakukan oleh
p=0,026<α(0,05). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Benard et
al. (1994), Hales et al. (1994), Johansson (1994), Chiang et al. (1993) menyatakan
dokter gigi juga menyatakan bahwa prevalensi MSDs paling banyak terjadi pada
perempuan yaitu sebesar 83%. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukan oleh
Astrand & Rodahl (1996) yang menjelaskan bahwa kekuatan otot perempuan
hanya sekitar dua pertiga dari kekuatan otot laki-laki, sehingga daya tahan otot
laki-laki pun lebih tinggi dibandingan dengan perempuan (Tarwaka, 2015). Konz
gangguan MSDs sedang 60%, lebih tinggi dari yang mengalami gangguan MSDs
rendah 40%. Responden yang tidak merokok mengalami gangguan MSDs sedang
64%, lebih tinggi dari yang mengalami gangguan MSDs rendah 36%.
Lab. Klinik Pramita melarang pegawai untuk merokok selama bekerja. Hal
Aktivitas merokok dari responden dilakukan pada waktu jam istirahat. Jumlah
rokok yang dihisap oleh responden tidak terlalu banyak setiap harinya sewaktu
Hasil penelitian ini sejalan juga dengan penelitian yang dilakukan oleh
RSUD Bhakti Dharma Husada Surabaya yang menyatakan bahwa tidak ada
(p=1,000>α).
risiko MSDs pada responden adalah dikarenakan pekerjaan yang ada di Lab.
Klinik Pramita bukan pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot secara luas.
bekerja antara 0-5 tahun. Responden yang sudah bekerja >5 tahun mengalami
gangguan MSDs sedang 66,7%, lebih tinggi dari yang mengalami gangguan MSDs
rendah 33,3%. Responden bekerja antara 0-5 tahun mengalami gangguan MSDs
sedang 58,3%, lebih tinggi dari yang mengalami gangguan MSDs rendah 41,7%.
responden dengan masa kerja <5 tahun sudah mempunyai skor NBM 59 tetapi ada
juga responden yang memiliki masa kerja 10 tahun hanya mempunyai skor NBM
hanya 31. Dari hal tersebut maka masa kerja tidak berhubungan dengan masa
kerja.
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa tidak ada hubungan faktor masa
Hal ini sejalan dengan penelitian Pratiwi dkk (2009) terhadap 30 orang penjual
jamu gendong yang menunjukan bahwa masa kerja tidak berhubungan dengan
kejadian nyeri punggung bawah (p=1,000>α). Akan tetapi hasil penelitian ini
(2014) terhadap 33 orang perawat yang bekerja di RSUD Bhakti Dharma Husada
Surabaya menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara masa kerja
dengan baik selama 40-50 jam. Lebih dari itu kecenderungan timbulnya hal-hal
yang negatif. Makin panjang waktu kerja, makin besar kemungkinan terjadinya
hal-hal yang tidak diinginkan. Gangguan pada otot muncul 2 tahun setelah bekerja
dengan jenis pekerjaan yang sama. Pekerjaan yang sama merupakan pekerjaan
yang menggunakan otot yang sama dalam waktu yang lama atau lebih dari 2 jam.
sedang 66,7%, lebih tinggi dari yang mengalami gangguan MSDs rendah 33,3%.
Responden pegawai non teknis mengalami gangguan MSDs sedang 58,3%, lebih
Responden di bagian teknis dan non teknis cenderung bekerja secara terus
menerus pada pekerjaan yang sama dan menggunakan peralatan yang sama.
Pekerjaaan tersebut menyebabkan terjadinya kontraksi otot pada posisi yang sama
secara terus menerus juga. Responden diberikan waktu istirahat untuk relaksasi,
lebih banyak dari pada responden yang bekerja di bagian non teknis. Hal ini
keuntungan berupa gerakan bervariasi antara posisi duduk dan berdiri selama jam
medis sehingga kontraksi otot tidak begitu banyak diperlukan, tapi disisi lain
responden bekerja di depan komputer dalam jangka waktu yang lama serta pada
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa tidak ada hubungan faktor jenis
pada responden yang bekerja di bagian teknis saja, akan tetapi dirasakan juga oleh
responden yang bekerja di bagian non teknis yang setiap harinya bekerja dengan
menggunakan komputer. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Responden yang dipilih adalah mereka yang dominan dengan pekerjaan komputer
(duduk). Dari sekitar 200 kuisioner yang kembali, ditemukan tingkat prevalensi
gangguan sistem otot rangka terbesar ada pada bagian leher (68,7%), bagian
Statistics pada tahun 2014 mengemukakan data bahwa Insiden Rate MSDs bisa
akibat beban kerja secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk
berpostur kerja tidak ergonomi mengalami gangguan MSDs sedang 83,3%, lebih
tinggi dari yang mengalami gangguan MSDs rendah 16,7%. Responden berpostur
kerja kurang ergonomi mengalami gangguan MSDs sedang 33,3%, lebih rendah
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa ada hubungan faktor postur kerja
terhadap gangguan MSDs karena didapat nilai probabilitan (p) 0,005<α (0,05).
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi dkk (2009) yang
yang menetap dan kaku pada saat merawat pasien, peralatan yang digunakan tidak
muskuloskeletal.
(2014) terhadap 33 orang perawat yang bekerja di RSUD Bhakti Dharma Husada
Surabaya juga menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara sikap
Penelitian lain yang sejalan dengan penelitian ini juga adalah penelitian
yang dilakukan oleh Agrawal et. al. (2014) mengemukakan bahwa postur yang
canggung yang melibatkan otot leher dan bahu dapat meningkatkan risiko dari
MSDs. Penelitian dari Arora et. al. (2015) menyebutkan bahwa pekerjaan yang
dengan postur kerja tidak ergonomi di tempat kerja. Penelitian dari Sihombing
Postur kerja yang tidak alamiah adalah postur kerja yang menyebabkan
bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah. Semakin jauh posisi tubuh
dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula risiko terjadinya gangguan
otot skeletal atau sering disebut sebagai MSDs (Tarwaka, 2015). MSDs
gangguan tidur dan rasa terbakar. Gangguan tubuh yang sering dikeluhkan
meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan, punggung, pinggang dan otot-otot
bagian bawah dikemukakan oleh Attwood et. al. dalam Miftah (2012). Postur
kerja ini pada umumnya terjadi karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan
stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja (Tarwaka,
2015).
Untuk pekerjaan fisik, otot adalah bagian tubuh yang terpenting dalam
pelaksanaan aktivitas kerja. Pada waktu otot kontraksi, darah yang berada antara
serat-serat otot atau di luar pembuluh darah otot terjepit sehingga peredaran darah
salah satu penyebab dari timbulnya kelelahan otot. Kelelahan otot secara fisik
antara lain merupakan akibat dari efek zat sisa metabolisme seperti asam laktat,
metode RULA (The Rapid Upper Limb Assessment). Prosedur dalam penggunaan
metode RULA meliputi tiga tahap. Tahap pertama adalah menentukan siklus kerja
dan mengobservasi pekerja selama variasi siklus kerja. Tahap kedua adalah
memilih postur kerja yang akan dinilai. Tahap ketiga adalah menentukan skor dan
tingkat aksi untuk menilai kemungkinan risiko yang terjadi (Tarwaka, 2015).
dengan metode RULA, maka skor RULA yang didapat adalah level 6 dengan
Skor RULA ini dihasilkan dari pengukuran sudut yang dibentuk oleh
perbedaan anggota tubuh dengan titik tertentu pada postur kerja yang dinilai.
Sebagai contoh adalah hasil pengukuran sudut dari salah satu responden customer
service sebagai berikut: sudut lengan atas 45⁰, sudut lengan bawah 95⁰, sudut
leher 30⁰ dan sudut punggung 20⁰. Sehingga secara keseluruhan grand skor
karena letak monitor berada pada posisi tidak sejajar dengan wajah customer
keyboard komputer berada di bawah meja kerja sedangkan posisi mouse berada di
atas meja kerja. Posisi lengan harus memuntir ke kanan untuk mengambil nota
selama jam kerja dan akan meningkat intensitasnya dengan bertambahnya jumlah
penggunaan metode REBA meliputi tiga tahap. Tahap pertama adalah menentukan
siklus kerja dan mengobservasi pekerja selama variasi siklus kerja. Tahap kedua
adalah memilih postur kerja yang akan dinilai. Tahap ketiga adalah menentukan
skor dan tingkat aksi untuk menilai kemungkinan risiko yang terjadi (Tarwaka,
2015).
pengambilan bahan pemeriksaan dengan metode REBA, maka skor REBA yang
didapat adalah level 9 dengan tingkat aksi berupa diperlukan tindakan segera.
Skor REBA ini dihasilkan dari pengukuran sudut yang dibentuk oleh
perbedaan anggota tubuh dengan titik tertentu pada postur kerja yang dinilai.
Sebagai contoh adalah hasil pengukuran sudut dari salah satu responden
pengambilan bahan pemeriksaan sebagai berikut: sudut badan 30⁰, sudut leher
25⁰, sudut kaki 20⁰, sudut lengan atas 80⁰ dan sudut lengan bawah 87⁰. Sehingga
jarum dan menarik darah ke luar dari pembuluh darah melalui tabung vacuum
menyebabkan gangguan MSDs, terlebih lagi pada saat Medical Check-Up dimana
kontinyu sampai dengan pasien selesai, terkadang tidak ada waktu istirahat selama
dibagian pengolahan bahan pemeriksaan dengan metode RULA, maka skor RULA
yang didapat adalah level 6 dengan tingkat aksi berupa diperlukan adanya
Skor RULA ini dihasilkan dari pengukuran sudut yang dibentuk oleh
perbedaan anggota tubuh dengan titik tertentu pada postur kerja yang dinilai.
Sebagai contoh adalah hasil pengukuran sudut dari salah satu responden
pengolahan bahan pemeriksaan sebagai berikut: sudut lengan atas 95⁰, sudut
lengan bawah 110⁰, sudut leher 15⁰ dan sudut punggung 15⁰. Sehingga secara
centrifuge. Penggunaan kursi yang terlalu rendah dan posisi centrifuge yang lebih
secara maksimal (ekstensi) guna meletakan tabung darah di centrifuge atau ketika
Postur kerja ini akan berlangsung secara terus menerus selama proses
dengan cara berjalan kaki dengan jarak ±50 meter. Kontainer bahan pemeriksaan
metode RULA atau REBA, tergantung pada posisi responden. Bila posisi kerja
responden duduk, maka penilaian postur kerja dilakukan dengan metode RULA
dan apabila posisi kerja responden kombinasi antara posisi berdiri dan duduk,
perbedaan anggota tubuh dengan titik tertentu pada postur kerja yang dinilai.
Sebagai contoh adalah hasil pengukuran sudut dari salah satu responden yang
lengan atas 65⁰, sudut lengan bawah 95⁰, sudut leher 13⁰ dan sudut punggung 30⁰.
Sehingga secara keseluruhan grand skor RULA adalah level 4 dengan tingkat aksi
dalam posisi duduk dan leher sedikit fleksi untuk melihat lapang pandang pada
objek glass yang diperiksa. Selain itu posisi tangan selalu memutar-mutar tombol
badan sedikit membungkuk untuk melakukan kultivasi bakteri pada media. Postur
ini berlangsung selama ±10 menit untuk setiap proses 1 (satu) bahan pemeriksaan
mikrobiologi yaitu sudut lengan atas 60⁰, sudut lengan bawah 95⁰, sudut leher 20⁰
dan sudut punggung 35⁰. Sehingga secara keseluruhan grand skor RULA adalah
level 4 dengan tingkat aksi berupa diperlukan investigasi lebih lanjut, atau adanya
kombinasi antara posisi duduk dan berdiri. Responden dibagian ini biasanya
tempat duduk untuk persiapan sampai dengan berdiri dalam mengoperasikan alat,
rutin dilakukan secara bergantian oleh responden. Hasil pengukuran sudut postur
kerja responden di bagian kimia klinik dan immunologi yaitu sudut badan 15⁰,
sudut leher 15⁰, sudut kaki 0⁰, sudut lengan atas 35⁰ dan sudut lengan bawah
120⁰. Sehingga secara keseluruhan grand skor REBA adalah level 5 dengan
antara posisi duduk dan berdiri. Responden dibagian ini biasanya mengoperasikan
alat laboratorium. Pergerakan dari tempat duduk untuk persiapan sampai dengan
yaitu sudut badan 15⁰, sudut leher 20⁰, sudut kaki 10⁰, sudut lengan atas 65⁰ dan
sudut lengan bawah 95⁰. Sehingga secara keseluruhan grand skor REBA adalah
perbedaan anggota tubuh dengan titik tertentu pada postur kerja yang dinilai.
Sebagai contoh adalah hasil pengukuran sudut dari salah satu responden yang
50⁰, sudut lengan bawah: 110⁰, sudut leher: 15⁰ dan sudut punggung: 10⁰.
dibagian administrasi dengan metode RULA, maka skor RULA yang didapat
adalah level 4 dengan tingkat aksi berupa diperlukan investigasi lebih lanjut, juga
posisi duduk di depan komputer. Menurut pendapat Grandjean (1993) yang dikutip oleh
Wowo (2014), pekerjaan dengan posisi duduk memiliki keuntungan antara lain
pembebanan pada kaki, penggunaan energi sehingga keperluan untuk sirkulasi darah
dapat dikurangi, dibandingkan dengan bekerja pada posisi berdiri. Ditinjau dari aspek
kesehatan, bekerja pada posisi duduk yang memerlukan waktu lama dapat menimbulkan
otot perut semakin elastis, tulang belakang melengkung, otot bagian mata terkonsentrasi
sehingga cepat merasa lelah. Kejadian tersebut, jika tidak diimbangi dengan rancangan
tempat duduk yang tidak memberikan keleluasaan gerak atau alih pandang yang memadai
tidak menutup kemungkinan terjadinya gangguan bagian punggung belakang, ginjal dan
mata. Posisi duduk pada otot rangka (musculoskeletal) dan tulang belakang terutama pada
pinggang harus dapat ditahan oleh sandaran kursi agar terhindar dari nyeri dan cepat
lelah. Pada posisi duduk, tekanan tulang belakang akan meningkat dibanding berdiri atau
dengan menggunakan metode Nordic Body Map. Metode ini merupakan metode
gangguan pada otot-otot skeletal. Metode Nordic Body Map merupakan metode
lanjutan yang dapat digunakan setelah melakukan observasi dengan metode RULA
Metode Nordic Body Map meliputi 28 bagian otot-otot skeletal pada kedua
sisi tubuh kanan dan kiri dimulai dari anggota tubuh bagian atas yaitu otot leher
sampai dengan bagian paling bawah yaitu otot pada kaki. Melalui kuisioner
Nordic Body Map akan dapat diketahui bagian-bagian otot mana saja yang
dirasakan oleh seluruh responden dengan tingkat risiko rendah sebanyak 11 orang
(36,7%) dan tingkat risiko sedang sebanyak 19 orang (63,3%). Gangguan MSDs
pada otot pinggang, punggung dan tengkuk menempati posisi teratas dengan
presentase 83,3% untuk otot pinggang dan masing-masing 76,7% untuk punggung
dan tengkuk. Presentase gangguan MSDs pada bahu 73,3%, leher 70%, betis
66,7%, pantat 63,3%, pinggul dan lengan atas 50% serta pergelangan tangan
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maulik
menyimpulkan bahwa terdapat gangguan MSDs pada pekerja dengan lokasi pada
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Agrawal et. al. (2014) terhadap 250 Laboratory Profesionals di Udupi
Penelitian lain yang sejalan dengan hasil penelitian ini dilakukan oleh
yang menunjukan gangguan MSDs pada pinggang sebesar 53%, leher 39%,
pergelangan tangan 21%, bahu 21%, tumit 14% dan lutut 10%.
bergerak, otot dan tendon bekerja dengan memendek dan memanjang. Peradangan
pada tendon dan ligament sangat mungkin terjadi jika gerakan yang dilakukan
berulang secara terus menerus tanpa istirahat yang cukup (Tarwaka, 2015).
mengganti beberapa kursi kerja dengan kursi yang dapat dinaikan atau diturunkan
secara manual sehingga lebih cocok dengan postur pegawai dan rekayasa
BAB 6
6.1 Kesimpulan
sebagai berikut:
1. Karakteristik individu berupa faktor umur, kebiasaan merokok, masa kerja dan
6.2 Saran
Posisi monitor komputer pada bagian customer service sebaiknya dibuat persis
93
bahan pemeriksaan, dimana postur kerja berdiri sangat tidak ergonomi (skor
otot rangka/MSDs.
diletakan pada meja dengan posisi sejajar dari postur pegawai sehingga
besar.
Pada bagian proses laboratorium diupayakan agar kursi yang digunakan dapat
diatur ketinggiannya agar supaya posisi duduk bisa lebih ergonomi dan
peletakan alat di atas meja kerja sebaiknya dapat disesuaikan dengan tinggi
agar memberikan kesempatan kepada otot untuk relaksasi dan posisi kursi
DAFTAR PUSTAKA
Agrawal, Parul, R., Maiya, Arun, G., Kamath, V., Kamath, A., 2014.
Musculoskeletal Disorders among Medical Laboratory Profesionals-A
Prevalence Study. Journal of Exercise Science and Physiotherapy,Vol.10
No.2, 77, (Jurnal elektronik) diakses 12 Februari 2016;
Oaji.net/articles/2014/1380-1414626619.pdf
Arvidsson, I., Simonsen J.G., Dahlqvist, C., Axmon, A., Karlson, B., Bjork, J.,
Nordander, C., 2016. Cross-sectional association between occupational
factors and musculoskeletal pain in women teachers, nurses and
sonographers. (Jurnal Elektronik) diakses 17 Februari 2016;
bmcmusculoskeletdisord.biomedcentral.com
ILKI., 2015. Media Laboratoria. Muswil IV ILKI Sumsel Tahun 2015 . Jakarta,
DKI Jakarta, Indonesia: ILKI.
95
Maulik, Shreya; De, Amitabha; Iqbal, Rauf, 2012. Work Related Musculoskeletal
Disorders among Medical Laboratory Technicians, in Network of
Ergonomics Societies Conference (SEANES), Southeast Asian. (Jurnal
Elektronik) diakses 19 Februari 2016; http//ieeexplore.ieee.org/stamp.jsp
McAtamney, L., & Corlett , E.N., 2004. Rapid Upper Limb Assessment (RULA)
in Stanton, N. et al (eds). Handbook of Human Factors and Ergonomic
Methods, Chapter 7, CRC Press, pp.7-1 - 7-11.
McAtamney, L., & Hignett, S., 2004. Rapid Entire Body Assessment (REBA) in
Stanton, N. et al (eds). Handbook of Human Factors and Ergonomic
Methods, Chapter 8, CRC Press, pp.8-1 - 8-11.
Nurmianto, E., 2008. Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Surabaya: Guna
Widya.
Septiawan, H., 2013. Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Nyeri Punggung
Bawah pada Pekerja Bangunan di PT. Mikroland Property Development
Semarang Tahun 2012. Semarang: Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Semarang.
Terry, M., 2004. Advance Healthcare Network for Laboratory. Retrieved January
12 Januari 2016, 2016, (Jurnal Elektronik) diakses 16 Februari 2016; from
www.advanceweb.com: http://laboratory-manager.advanceweb.com
Vijaya, S., 2008. Beberapa Faktor yang berhubungan dengan Keluhan Nyeri
Punggung pada Perawat Rawat Inap. Tesis. Universitas Airlangga.
Surabaya
Lampiran 3:
PENGANTAR KUESIONER
Ismed Rochaidi
Lampiran 4:
KUESIONER
Lampiran 5 :
Lampiran 8
Pergelangan tangan
1 2 3 4
Lengan Lengan Pergelangan Pergelangan Pergelangan Pergelangan
atas bawah tangan memuntir tangan memuntir tangan memuntir tangan memuntir
1 2 1 2 1 2 1 2
1 1 1 2 2 2 2 3 3 3
2 2 2 2 2 3 3 3 3
3 2 3 3 3 3 3 4 4
2 1 2 3 3 3 3 4 4 4
2 3 3 3 3 3 4 4 4
3 3 4 4 4 4 4 5 5
3 1 3 3 4 4 4 4 5 5
2 3 4 4 4 4 4 5 5
3 4 4 4 4 4 5 5 5
4 1 4 4 4 4 4 5 5 5
2 4 4 4 4 4 5 5 5
3 4 4 4 5 5 5 6 6
5 1 5 5 5 5 5 6 6 7
2 5 6 6 6 6 7 7 7
3 6 6 6 7 7 7 7 8
6 1 7 7 7 7 7 8 8 9
2 8 8 8 8 8 9 9 9
3 9 9 9 9 9 9 9 9
Badan (Trunk)
1 2 3 4 5 6
Leher Kaki Kaki Kaki Kaki Kaki Kaki
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
1 1 3 2 3 3 4 5 5 6 6 7 7
2 2 3 2 3 4 5 5 5 6 7 7 7
3 3 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 7
4 5 5 5 6 6 7 7 7 7 7 8 8
5 7 7 7 7 7 8 8 8 8 8 8 8
6 8 8 8 8 8 8 8 9 9 9 9 9
Skor D
Skor C 1 2 3 4 5 6 7+
1 1 2 3 3 4 5 5
2 2 2 3 4 4 5 5
3 3 3 3 4 4 5 6
4 3 3 3 4 5 6 6
5 4 4 4 5 6 7 7
6 4 4 5 6 6 7 7
7 5 5 6 6 7 7 7
8 5 5 6 7 7 7 7
Lampiran 9
TABEL A
Leher
1 2 3
Badan Kaki Kaki Kaki
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 1 2 3 4 1 2 3 4 3 3 5 6
2 2 3 4 5 3 4 5 6 4 5 6 7
3 2 4 5 6 3 4 5 6 5 6 7 8
4 3 5 6 7 5 6 7 8 6 7 8 9
5 4 6 7 8 6 7 8 9 7 8 9 9
TABEL B
LenganBawah
1 2
Lengan PergelanganTangan PergelanganTangan
1 2 3 1 2 3
1 1 2 2 1 2 3
2 1 2 3 2 3 4
3 3 4 5 4 5 5
4 4 5 5 5 6 7
5 6 7 8 7 8 8
TABEL C
SKOR SKOR B
A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 1 1 1 2 3 3 4 5 6 7 7 7
2 1 2 2 3 4 4 5 6 6 7 7 8
3 2 3 3 3 4 5 6 7 7 8 8 8
4 3 4 4 4 5 6 7 8 8 9 9 9
5 4 4 4 5 6 7 8 8 9 9 9 9
6 6 6 6 7 8 8 9 9 10 10 10 10
7 7 7 7 8 9 9 9 10 10 11 11 11
8 8 8 8 9 10 10 10 10 10 11 11 11
9 9 9 9 10 10 10 11 11 11 12 12 12
10 10 10 10 11 11 11 11 12 12 12 12 12
11 11 11 11 11 12 12 12 12 12 12 12 12
12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
Final Skor REBA adalah hasil penambahan antara Skor Tabel C dengan
peningkatan jenis aktivitas otot.
Lampiran 12
OUTPUT
Frequency Table
UMUR
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
20-30 17 56,7 56,7 56,7
U >30 13 43,3 43,3 100,0
Total 30 100,0 100,0
JENIS KELAMIN
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Laki-laki 9 30,0 30,0 30,0
Valid Perempuan 21 70,0 70,0 100,0
Total 30 100,0 100,0
MEROKOK
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Ya 5 16,7 16,7 16,7
Valid Tidak 25 83,3 83,3 100,0
Total 30 100,0 100,0
MASA KERJA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
<= 5 tahun 12 40,0 40,0 40,0
Valid > 5 tahun 18 60,0 60,0 100,0
Total 30 100,0 100,0
JENIS PEKERJAAN
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Non Teknis 12 40,0 40,0 40,0
Valid Teknis 18 60,0 60,0 100,0
Total 30 100,0 100,0
POSTUR KERJA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Ya 12 40,0 40,0 40,0
Valid Tidak 18 60,0 60,0 100,0
Total 30 100,0 100,0
MSDs
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Rendah 11 36,7 36,7 36,7
Valid Sedang 19 63,3 63,3 100,0
Total 30 100,0 100,0
Frequencies
Statistics
UMUR MASA KERJA
Valid 30 30
N
Missing 0 0
Mean 30,33 6,57
Median 30,00 6,00
Frequency Table
UMUR
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
22 1 3,3 3,3 3,3
24 1 3,3 3,3 6,7
25 2 6,7 6,7 13,3
26 2 6,7 6,7 20,0
27 1 3,3 3,3 23,3
28 3 10,0 10,0 33,3
29 3 10,0 10,0 43,3
Valid
30 4 13,3 13,3 56,7
31 3 10,0 10,0 66,7
33 3 10,0 10,0 76,7
34 5 16,7 16,7 93,3
39 1 3,3 3,3 96,7
43 1 3,3 3,3 100,0
Total 30 100,0 100,0
MASA KERJA
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
UMUR * MSDs 30 100,0% 0 0,0% 30 100,0%
MSDs Total
Rendah Sedang
Count 8 9 17
Count 11 19 30
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
N of Valid Cases 30
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,77.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Lower Upper
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
JENIS KELAMIN * MSDs 30 100,0% 0 0,0% 30 100,0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
(2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 4,983 1 ,026
b
Continuity Correction 3,308 1 ,069
Likelihood Ratio 4,919 1 ,027
Fisher's Exact Test ,042 ,035
Linear-by-Linear
4,817 1 ,028
Association
N of Valid Cases 30
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,30.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Lower Upper
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
(2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square ,029 1 ,865
b
Continuity Correction ,000 1 1,000
Likelihood Ratio ,028 1 ,866
Fisher's Exact Test 1,000 ,619
Linear-by-Linear
,028 1 ,868
Association
N of Valid Cases 30
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,83.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Lower Upper
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
(2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square ,215 1 ,643
b
Continuity Correction ,006 1 ,938
Likelihood Ratio ,214 1 ,643
Fisher's Exact Test ,712 ,466
Linear-by-Linear
,208 1 ,648
Association
N of Valid Cases 30
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,40.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Lower Upper
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
(2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square ,215 1 ,643
b
Continuity Correction ,006 1 ,938
Likelihood Ratio ,214 1 ,643
Fisher's Exact Test ,712 ,466
Linear-by-Linear
,208 1 ,648
Association
N of Valid Cases 30
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,40.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Lower Upper
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
(2-sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 7,751 1 ,005
b
Continuity Correction 5,748 1 ,017
Likelihood Ratio 7,933 1 ,005
Fisher's Exact Test ,009 ,008
Linear-by-Linear
7,493 1 ,006
Association
N of Valid Cases 30
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,40.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Lower Upper
Logistic Regression
Case Processing Summary
a
Unweighted Cases N Percent
Total 30 100,0
Unselected Cases 0 ,0
Total 30 100,0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Rendah 0
Sedang 1
20-30 17 1,000
UMUR
>30 13 ,000
Observed Predicted
MSDs Percentage
Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 0 Sedang 0 19 100,0
Score df Sig.
Chi-square df Sig.
Model Summary
a
Classification Table
Observed Predicted
MSDs Percentage
Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 1 Sedang 0 19 100,0
Lower Upper
a
umurk(1) -1,086 ,818 1,762 1 ,184 ,338 ,068 1,678
Step 1
Constant 1,204 ,658 3,345 1 ,067 3,333
Logistic Regression
Total 30 100,0
Unselected Cases 0 ,0
Total 30 100,0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Rendah 0
Sedang 1
Observed Predicted
MSDs Percentage
Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 0 Sedang 0 19 100,0
Score df Sig.
Chi-square df Sig.
Model Summary
a
Classification Table
Observed Predicted
MSDs Percentage
Rendah 6 5 54,5
MSDs
Step 1 Sedang 3 16 84,2
Lower Upper
a
JKelamin 1,856 ,873 4,519 1 ,034 6,400 1,156 35,437
Step 1
Constant -2,549 1,504 2,873 1 ,090 ,078
Logistic Regression
Total 30 100,0
Unselected Cases 0 ,0
Total 30 100,0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Rendah 0
Sedang 1
Observed Predicted
MSDs Percentage
Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 0 Sedang 0 19 100,0
Score df Sig.
Chi-square df Sig.
Model Summary
a
Classification Table
Observed Predicted
MSDs Percentage
Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 1 Sedang 0 19 100,0
Lower Upper
a
Rokok ,170 1,003 ,029 1 ,866 1,185 ,166 8,471
Step 1
Constant ,236 1,873 ,016 1 ,900 1,266
Logistic Regression
Case Processing Summary
a
Unweighted Cases N Percent
Total 30 100,0
Unselected Cases 0 ,0
Total 30 100,0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Rendah 0
Sedang 1
Observed Predicted
MSDs Percentage
Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 0 Sedang 0 19 100,0
Score df Sig.
Chi-square df Sig.
Model Summary
a
Classification Table
Observed Predicted
Rendah Sedang
Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 1 Sedang 0 19 100,0
Lower Upper
MasaKerj
a
,357 ,770 ,215 1 ,643 1,429 ,316 6,461
Step 1 a
Logistic Regression
Case Processing Summary
a
Unweighted Cases N Percent
Total 30 100,0
Unselected Cases 0 ,0
Total 30 100,0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Rendah 0
Sedang 1
Observed Predicted
MSDs Percentage
Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 0 Sedang 0 19 100,0
Score df Sig.
Chi-square df Sig.
Model Summary
a
Classification Table
Observed Predicted
MSDs Percentage
Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 1 Sedang 0 19 100,0
Lower Upper
a
JPekerjaan ,357 ,770 ,215 1 ,643 1,429 ,316 6,461
Step 1
Constant -,020 1,273 ,000 1 ,987 ,980
Logistic Regression
Case Processing Summary
a
Unweighted Cases N Percent
Total 30 100,0
Unselected Cases 0 ,0
Total 30 100,0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Rendah 0
Sedang 1
Observed Predicted
MSDs Percentage
Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 0 Sedang 0 19 100,0
Score df Sig.
Chi-square df Sig.
Model Summary
a
Classification Table
Observed Predicted
MSDs Percentage
Rendah 8 3 72,7
MSDs
Step 1 Sedang 4 15 78,9
Lower Upper
a
PosturKerja 2,303 ,880 6,841 1 ,009 10,000 1,781 56,150
Step 1
Constant -2,996 1,378 4,723 1 ,030 ,050
Logistic Regression
Case Processing Summary
a
Unweighted Cases N Percent
Total 30 100,0
Unselected Cases 0 ,0
Total 30 100,0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Rendah 0
Sedang 1
(1)
20-30 17 1,000
UMUR
>30 13 ,000
Observed Predicted
MSDs Percentage
Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 0 Sedang 0 19 100,0
Score df Sig.
Chi-square df Sig.
Model Summary
a
Classification Table
Observed Predicted
MSDs Percentage
Rendah 9 2 81,8
MSDs
Step 1 Sedang 3 16 84,2
Lower Upper
a
JKelamin 2,912 1,313 4,916 1 ,027 18,392 1,402 241,291
Step 1
PosturKerja 3,234 1,279 6,391 1 ,011 25,389 2,068 311,636
Logistic Regression
Total 30 100,0
Unselected Cases 0 ,0
Total 30 100,0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Rendah 0
Sedang 1
Observed Predicted
MSDs Percentage
Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 0 Sedang 0 19 100,0
Overall Percentage 63,3
Score df Sig.
Chi-square df Sig.
Model Summary
a
Classification Table
Observed Predicted
MSDs Percentage
Rendah 8 3 72,7
MSDs
Step 1 Sedang 4 15 78,9
Lower Upper
a Postur
Step 1 2,916 1,180 6,109 1 ,013 18,462 1,829 186,405
Kerja
Logistic Regression
Total 30 100,0
Unselected Cases 0 ,0
Total 30 100,0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Rendah 0
Sedang 1
(1)
20-30 17 1,000
UMUR
>30 13 ,000
Observed Predicted
MSDs Percentage
Rendah 0 11 ,0
MSDs
Step 0 Sedang 0 19 100,0
Score df Sig.
Chi-square df Sig.
Model Summary
a
1 29,216 ,289 ,395
a
Classification Table
Observed Predicted
MSDs Percentage
Rendah 5 6 45,5
MSDs
Step 1 Sedang 2 17 89,5
Lower Upper
Step PosturKerj
a 2,501 ,964 6,728 1 ,009 12,200 1,843 80,766
1 a