Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK
Taxes are the largest source of income from the Indonesian state tax collection in
Indonesia based on the constitution, taxation contained in Article 23 A of the Constitution
of the Republic of Indonesia in 1945 that read, "taxes and other coercive for the purposes
of the State and in set legislation ". Tax function is as a tool to determine economic policy,
taxes have key advantages in usability and improve the general welfare, a State will not
likely require the decline of community life and is generally known by two kinds of
functions, ie functions and function budgetair regulerend. Budgetair function is a tax as a
source of funds for the government to finance the expenditure-pengeluaranya. Tax
regulerend function as a tool to organize or carry out government policy in social and
economic fields.Based on these explanations, the tax is crucial for improving government
source of funding for both central and local governments which can be used for the
prosperity of its people since the time of the first tax reform the first tax reform in 1984.
Expected tax revenues as the main source of financing the state budget can be maintained
continuity. Aside from being a source of revenue budgetair, the tax also has another
function that function regulerend. In addition intended to increase state revenue, tax
revenue will also be directed to provide limited stimulus to support economic growth
quality that fiscal policy in 2007 will continue to be directed to continue administrative
reform and improvement of policy in the field of taxation, customs and excise. Tax
compliance problem is a classic problem encountered in almost all countries which
implement pepajakan system. Various studies have been conducted and the conclusion is
compliance issues can be seen in terms of public finance / public finance, law enforcement
emforcement, organizational structure, organizational structure, labor employees, the
ethical code of conduct, or a combination of these terms. In terms of public finances, if the
government can show the public that the tax administration is done properly and in
accordance with the wishes of the taxpayer, the taxpayer likely to comply with tax rules.
Keywords : taxes,administration
A. PENDAHULUAN
Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan untuk orang pribadi, perusahaan atau
badanhukum lainnya atas penghasilan yang didapat. Dasar hukum untuk pajak
penghasilan adalahUndang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.Subjek pajak dalam Pajak
Penghasilan adalah Orang Pribadi, Warisan yang belum terbagi,sebagai satu kesatuan,
Badan, dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Subjek pajak dibedakan menjadidua subjek
pajak yaitu subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Kriteria
yangmembedakan dari kedua subjek pajak adalah keberadaan ( staying principles),
kehendak(intension principles), dan waktu (time test ).
Dalam Pasal 3 UU No.36 Thn 2008 dikemukakan bahwa yang tidak termasuk
sebagai Subjek Pajak adalah Kantor Perwakilan Negara Asing atau organisasi
internasional; Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-
pejabat lain dari negara asing, dan orang-orangyang diperbantukan kepada mereka, yang
bekerja dan bertempat tinggal bersama mereka; Organisasi-organisasi Internasional
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; Pejabat-pejabat perwakilan
organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan MenteriKeuangan.
Objek pajak penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima ataudiperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapatdipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib
Pajak yang bersangkutan, dengannama dan dalam bentuk apa pun, termasuk Pergantian
atau imbalan berkenaan dengan pekerjaanatau jasa yang diterima atau diperoleh
termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, grafitasi, uang pensiun, atau
imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalamUndang-undang ini,
Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; Labausaha;
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta. Sedangkan
beberapa penghasilan yang dikecualikan dari
objek pajak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (3)UU. PPh adalah Sumbangan
serta; Harta Hibahan; Iuran yang diterima atau diperoleh dana pension; Bunga obligasi
perusahaan reksadana; Pembayaran dari perusahaan asuransi, dll.
B. KAJIAN TEORITIS
1. Subjek pajak
Yang menjadi subjek pajak penghasilan adalah:
a. 1. orang pribadi;
2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
b. badan;
adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan
lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
c. bentuk usaha tetap.
adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan
usaha melalui internet.
2. Subjek Pajak Dalam Negeri
Subjek Pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi
yang dalam 8 Pajak Penghasilan suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; Kewajiban pajak subjektif
orang pribadi dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau
berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal
dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit
tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah; dan
4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara;
Kewajiban pajak subyektif badan dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak
lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Kewajiban pajak subyektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat
timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan
tersebut selesai dibagi.
3. Subjek Pajak Luar Negeri
Subjek Pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia; Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan dimulai pada saat
orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap.
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia. Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan dimulai pada saat
orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh
penghasilan tersebut
4. Tidak termasuk subjek pajak
Tidak termasuk subjek pajak adalah:
a. kantor perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau 10 Pajak Penghasilan
pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada
mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan
syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau
memperoleh penghasilan diluar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara
bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan
2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya
berasal dari iuran para anggota; Organisasi Internasional adalah
organisasi/badan/ lembaga/asosiasi/ perhimpunan/forum antar pemerintah atau
non-pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional dan
dibentuk dengan aturan tertentu atau kesepakatan bersama.
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional dengan syarat bukan warga
negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain
untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. Pejabat perwakilan organisasi
internasional adalah pejabat yang diangkat atau ditunjuk langsung oleh induk
organisasi internasional yang bersangkutan untuk menjalankan tugas atau jabatan
pada kantor perwakilan organisasi internasional tersebut di Indonesia.
2. Objek pajak penghasilan
1. Objek Pajak Penghasilan
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,
atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-
pihak yang bersangkutan; dan
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan; Dalam hal terjadi pengalihan harta perusahaan
kepada pegawainya, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar
harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi
perusahaan.
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi; h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; Pembebasan utang
oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang
semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan
sebagai biaya. Namun, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa
pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera
(Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit
untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan
jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing; Keuntungan yang diperoleh
karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan
yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi
Keuangan yang berlaku di Indonesia.
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi, termasuk premi reasuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah; Kegiatan usaha berbasis syariah
memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat
konvensional. Namun, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan
usaha berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak.
r. imbalan bunga; dan
s. surplus Bank Indonesia. Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek
Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan
audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan
Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik
Bank Indonesia.
2. Penghasilan yang Dikenai PPh Final Penghasilan di bawah ini dapat dikenai
pajak bersifat final:
a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan
surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi;
b. penghasilan berupa hadiah undian;
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif
yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh
perusahaan modal ventura;
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,
usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau
bangunan; dan
e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah
3. Dikecualikan dari Objek
Pajak Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak
yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan /atau kenikmatan dari Wajib
Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib
Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan
norma penghitungan khusus (deemed profit);
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau
badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun, dalam bidang-
bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi
kolektif;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha
atau 17Pajak Penghasilan kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan
usaha tersebut:
1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan
2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
L. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang
ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan /atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4
tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
o. hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan
kepada semua pembeli atau konsumen akhir tanpa diundii dan hadiah tersebut
diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa
3. Objek pajak penghasilan BUT
Yang dimaksud dengan objek pajak bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk
usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan di Indonesia
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha
(place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk
juga mesin-mesin dan peralatan yang bersifat permanen dan digunakan untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia.
1. BUT dapat berupa :
tempat kedudukan manajemen;
cabang perusahaan;
kantor perwakilan;
gedung kantor;
pabrik;
bengkel;
gudang;
ruang untuk promosi dan penjualan;
pertambangan dan penggalian sumber alam;
wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan;
proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia; dan
komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan
usaha melalui internet.
Dalam Undang-undang ini bentuk usaha tetap ditentukan sebagai Subjek Pajak
tersendiri, terpisah dari badan. Oleh karena itu, walaupun perlakuan
perpajakannya dipersamakan dengan Subjek Pajak badan, untuk pengenaan Pajak
Penghasilan, bentuk usaha tetap mempunyai eksistensinya sendiri dan tidak
termasuk dalam pengertian badan.
2. Jenis-jenis objek penghasilan BUT (UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 2 (5))
a. Tipe Fasilitas Fisik, terdiri dari :
Tempat kedudukan manajemen;
Cabang perusahaan;
Kantor perwakilan;
Gedung kantor;
Pabrik;
Bengkel;
Gudang;
ruang untuk promosi dan penjualan;
Pertambangan dan penggalian sumber daya alam, wilayah kerja pengeboran
untuk eksplorasi pertambangan;
perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan
komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan
usaha melalui internet.
3.Objek pajak Penghasilan BUT
Penggolongan Penghasilan Bentuk Usaha Tetap (UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal
5)
1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap tersebut dan dari
harta yang dimiliki atau dikuasai (Penghasilan BUT sendiri).
2. Penghasilan kantor pusatnya dari usaha atau kegiatan penjualan barang atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan/dilakukan
oleh BUT di Indonesia. Hal ini karena pada hakikatnya usaha atau kegiatan
kantor pusat di Indonesia tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha dan
kegiatan yang dapat dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap.Misalnya ;
– Sebuah bank di luar negeri yang memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia,
memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui Bentuk Usaha Tetap
kepada perusahaan di Indonesia. Dalam hal ini, penghasilan sehubungan
dengan pemberian pinjaman oleh kantor pusat tersebut diakui sebagai
penghasilan Bentuk Usaha Tetap.
– Sebuah perusahaan di luar negeri yang memiliki Bentuk Usaha Tetap di
Indonesia menjual produk yang sama dengan yang dijual oleh BUT secara
langsung tanpa melalui BUT-nya kepada pembeli di Indonesia. Dalam hal ini,
penjualan yang dilakukan oleh kantor pusat tersebut diakui sebagai
penjualannya BUT di Indonesia.
3. Penghasilan yang diterima oleh kantor pusat (wajib pajak luar negeri) dari
Indonesia, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT-nya dengan harta
atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.Misalnya ;
– Zenith Inc. yang berkedudukan di Amerika menutup perjanjian lisensi
dengan PT Polar untuk mempergunakan merek dagang Zenith Inc. atas hak
tersebut, Zenith Inc menerima royalty dari PT Polar.
– Sehubungan dengan perjanjian tersebut, Zenith Inc memberikan jasa
manajemen kepada PT Polar melalui BUT di Indonesia, dan dalam rangka
pemasaran produk PT Polar yang menggunakan merek Zenith Inc tersebut.
– Dalam kasus di atas, penggunaan merek dagang oleh PT Polar memiliki
hubungan efektif dengan BUT di Indonesia, sehingga penghasilan Zenith Inc
yang berupa royalty tersebut diperlakukan sebagai penghasilan BUT.
4. Pengurangan penghasilan
Untuk lebih memahami tentang Biaya yang diakui sebagai pengurang
penghasilan bruto oleh Undang-Undang Perpajakan, silahkan disimak penjelasan
seputar biaya sebagai pengurang penghasilan bruto dalam Penghitungan Pajak
Penghasilan (PPh) berikut ini.
Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
1. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain: biaya pembelian bahan; biaya berkenaan dengan pekerjaan
atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan
yang diberikan dalam bentuk uang; bunga, sewa, dan royalti; biaya
perjalanan; biaya pengolahan limbah; premi asuransi; biaya promosi dan
penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
biaya administrasi; dan pajak kecuali Pajak Penghasilan;
2. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun;
3. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
4. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan;
5. kerugian selisih kurs mata uang asing;
6. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
7. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
8. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat telah dibebankan
sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; Wajib Pajak harus
menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat
Jenderal Pajak; dan telah diserahkan perkara penagihannya kepada
Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara;
atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan
utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah
dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan
dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
Syarat telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya
pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang
tertentu tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil
yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan;
9. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
10. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
11. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
12. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah; dan
13. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan Biaya tersebut diatas didapat
kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun
pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
5. Tarif PPH,PKP
a. Tarif pph
Sri Mulyani memerinci, dalam RUU HPP aturan PPh orang pribadi terdiri
dari, penghasilan Rp 0 sampai Rp 60 juta per tahun dikenakan tarif 5%, di atas
Rp 60 juta sampai Rp 250 juta per tahun dikenakan tarif 15%, dan di atas Rp
250 juta sampai Rp 500 juta per tahun akan dikenakan tarif 25%.
Lebih lanjut, penghasilan di atas Rp 500 juta sampai Rp 5 miliar per tahun
dikenakan tarif sebesar 30 persen dan penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun
dikenakan tarif sebesar 35%.
Sebelumnya, dalam UU PPh lapisan paling bawah dikenakan untuk
penghasilan Rp 50 juta per tahun dikenakan tarif 5% dan di atas Rp 50 juta
sampai Rp 250 juta per tahun dikenakan tarif 15%. Kemudian penghasilan di atas
Rp 250 juta sampai Rp 500 juta per tahun dikenakan tarif 25% dan penghasilan di
atas Rp 500 juta per tahun dikenakan tarif sebesar 30%.
Artinya, Sri Mulyani mengatakan, perhitungan PPh orang pribadi diterapkan
atas penghasilan yang jumlahnya melebihi batas penghasilan tidak kena pajak
(PTKP). Dalam UU HPP, besaran PTKP per tahun tidak berubah yakni, pertama,
untuk diri wajib pajak bagi orang pribadi Rp 54 juta per tahun tidak akan
dikenakan pajak.
“Jadi jika masyarakat yang penghasilannya Rp 54 juta per tahun atau Rp 4,5 juta
per bulan mereka akan dikenakan PPh 0%. Dan kalau yang bersangkutan menikah
maka pasangannya digabung dalam PTKP, untuk Rp 54 juta pertama tidak
dipajaki atau 0%,” jelas Sri Mulyani.
Terakhir, jika pasangan suami istri memiliki putra/putri, maka setiap tanggungan
akan diberikan Rp 4,5 juta per tahun dengan maksimal 3 orang. Sri Mulyani
mengatakan, bagi WP dengan penghasilan antara Rp 50 juta sampai Rp 60 juta
di atas PTKP akan memperoleh diskon pajak dari sebelumnya 15% menjadi
5%.
Dia mencontohkan, perhitungan PPh untuk status WP OP lajang yakni
misalnya seseorang yang memiliki gaji Rp 5 juta per bulan atau Rp 60 juta per
tahun, maka akan dikurangi PTKP Rp 54 juta sehingga sisa menjadi Rp 6 juta.
Maka dari Rp 6 juta tersebut akan dikenakan tarif PPh OP 5% yaitu, orang
tersebut berarti harus membayar pajak Rp 300 ribu per tahun.
Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat
DJP Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan, PPh orang pribadi
ini sesuai dengan prinsip ability to pay yang yang berkemampuan tinggi dituntut
untuk membayar lebih besar.
Dia mengatakan, keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat adalah
dengan memperlebar peraturan PPh orang pribadi yang sebelumnya hanya 4
lapisan, kini menjadi 5 lapisan. Serta bisa dilihat dari UU PPh sebelumnya tarif
tertinggi dikenakan 30%, kemudian dinaikkan dalam UU HPP menjadi 35%
untuk penghasilan pajak di atas Rp 5 miliar.
“Sehingga yang berpenghasilan kecil akan dilindungi, dan yang berpenghasilan
tinggi dituntut kontribusi yang lebih tinggi,” imbuhnya.
b. Tarif pkp
Penghasilan kena pajak (PKP) hingga Rp 60 juta akan dikenakan tarif 5%. Ini
tertuang dalam RUU Ketentuan Umum Perpajakan yang diubah menjadi RUU
Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) yang diterima CNBC
Indonesia.
Penghasilan kena pajak (pkp) adalah penghasilan yang dijadikan dasar
untuk menghitung Pajak Penghasilan (PPh). Hal tersebut diatur dalam UU
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Dalam aturan tersebut
penghasilan kena pajak dihitung dari penghasilan kotor dikurang dengan upah
untuk mengumpulkan dan menjaga penghasilan. Kemudian jika kasus
demikian hasilnya rugi maka akan digantikan oleh penghasilan tahun pajak
selanjutnya sampai dengan lima tahun kedepan.
tarif penghasilan kena pajak terbagi dalam dua jenis berdasarkan subjek
pajaknya, yaitu:
Tarif penghasilan kena pajak dikenakan kepada wajib pajak orang pribadi
(WP OP) dalam negeri
Tarif penghasilan kena pajak yang dikenakan kepada wajib pajak badan
dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Tarif yang dikenakan untuk keduanya berbeda. Untuk tarif penghasilan kena
pajak dibedakan berdasarkan jumlah penghasilannya:
Tarif Penghasilan Orang Pribadi
Tarif Lama (UU Pajak Penghasilan)
Penghasilan: 0 - Rp 50 juta = 5%
Penghasilan : Rp 50 juta - Rp 250 juta= 15%
Penghasilan : Rp 250 juta - Rp 500 juta= 25%
Penghasilan di atas : Rp 500 juta= 30%
Tarif Baru (RUU HPP)
Penghasilan: 0 - Rp 60 juta =5%
Penghasilan :Rp 60 juta - Rp 250 juta = 15%
Penghasilan: Rp 250 juta - Rp 500 juta =25%
Penghasilan: Rp 500 juta - Rp 5 miliar = 30%
Penghasilan di atas: Rp 5 miliar = 35%
Orang pribadi pengusaha yang menghitung PPh dengan tarif final 0,5% (PP
23/2018) dan memiliki peredaran bruto sampai Rp500.000.000 dalam setahun
tidak dikenakan PPh.
6. Pelunasan PPH
Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 7 tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh),
bahwa pelunasan PPh oleh Wajib Pajak dapat dilakukan melalui dua cara yakni:
1. Pelunasan PPh dalam Tahun Berjalan
Pelunasan PPh tahun berjalan dilakukan oleh Wajib Pajak melalui mekanisme
pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain, dan melalui pembayaran
pajak yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak. Pelunasan pajak dalam tahun
berjalan merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap PPh yang
terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat Final.
2. Pelunasan PPh Pada Akhir Tahun Pajak
Pelunasan PPh pada akhir tahun pajak dilakukan melalui mekanisme
penyampaian SPT Tahunan yang merupakan penghitungan PPh terutang, yang
telah dipotong/dipungut oleh pihak lain maupun yang telah dibayar sendiri, dan
jumlah PPh yang masih harus dibayar untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
UU PPh 25
Sesuai UU PPh 25, angsuran pajak harus dibayarkan sendiri oleh Wajib Pajak
yang bersangkutan setiap bulan. Adapun besarnya angsuran pajak dalam tahun
berjalan adalah sebesar PPh yang terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun
pajak sebelumnya, dikurangi dengan PPh yang dipotong sesuai Pasal 21 dan
Pasal 23, serta PPh yang dipungut sesuai Pasal 22; dan PPh yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sesuai PPh Pasal 24 dibagi 12
bulan atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
PPh Lainnya yang Dipungut atau Dipotong
1. PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 yang terutang antara lain atas:
a. Pembayaran yang diterima Wajib Pajak atas penyerahan barang kepada
bendahara Pemerintah.
b.Penghasilan Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau
kegiatan usaha bidang lain.
c.Pembelian barang yang tergolong sangat mewah.
PPh Pasal 22 terutang dalam suatu tahun pajak berjalan dilunasi oleh Wajib
Pajak melalui pemungutan pajak oleh pihak lain. Pelunasan pajak tersebut
dilakukan setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan Menteri Keuangan.
Wajib Pajak Badan yang telah melunasi pajak melalui pemungutan pajak oleh
pihak lain akan mendapatkan bukti pungut PPh Pasal 22. Bukti pemungutan
tersebut harus dilaporkan dalam SPT Tahunan Wajib Pajak sebagai kredit pajak
di tahun pajak yang sama
2. PPh Pasal 23
Kewajiban PPh Pasal 23 dilunasi melalui pemotongan pajak oleh pihak lain.
Adapun pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan pada akhir bulan atas:
a. Dibayarkannya penghasilan.
b. Disediakan untuk dibayarkannya penghasilan.
c. Jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan, bergantung
pada peristiwa yang terjadi lebih dulu.
Sedangkan pemotongan PPh Pasal 23 tidak dilakukan atas:
a. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
b. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha
dengan hak opsi.
c. Dividen sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang
diterima oleh orang pribadi seperti yang dimaksud pada Pasal 17 ayat (2c)
d. Bagian laba sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (3) huruf i
e. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya
f. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada Badan Usaha atas jasa
keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan
yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan
g. Wajib Pajak yang telah dilakukan pemotongan pajak PPh Pasal 23 akan
mendapatkan bukti potong PPh Pasal 23. Seperti halnya PP Pasal 22, bukti
potong ini harus dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SPT Tahunan sebagai
kredit pajak di tahun pajak yang sama.
3. PPh Pasal 24
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan
terhadap pajak yang terutang dalam tahun pajak yang sama, dan besarnya
kredit pajak adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di
luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang.
4. PPh Pasal 26
Atas penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan,
disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh
badan pemerintah, subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk
usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib
Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar
20% dari jumlah bruto.
Bukti pemotongan
Indonesia menganut self assessment dalam sistem perpajakkannya. Tetapi
terdapat beberapa jenis PPh yang pelunasannya dilakukan melalui pemotongan
atau pemungutan pajak oleh pihak lain. Apabila pelunasan PPh dilakukan
melalui pemotongan/pemungutan, pemotong/pemungut harus membuat bukti
pemotongan/pemungutan. Selanjutnya, bukti tersebut harus diberikan kepada
pihak yang dipotong dan/atau pihak yang dipungut.
Bukti pemotongan/pemungutan itu menjadi dokumen penting yang harus
disimpan oleh wajib pajak. Bukti tersebut merupakan salah satu dokumen yang
diperlukan dalam pelaporan pajak. Lantas, sebenarnya apakah yang dimaksud
dengan bukti pemotongan/pemungutan pajak?
Pengertian Bukti Potong
Bukti pemotongan/pemungutan PPh adalah dokumen berupa formulir atau
dokumen lain yang dipersamakan dan dibuat oleh pemotong/pemungut PPh.
Formulir atau dokumen tersebut dibuat sebagai bukti atas
pemotongan/pemungutan PPh yang telah dilakukan pemotong/pemungut. Selain
itu, bukti pemotongan/pemungutan juga menunjukkan besaran PPh yang telah
dipotong/dipungut.
Dalam konteks pajak, pemotongan dan pemungutan memiliki penggunaan dan
arti yang berbeda. Istilah pemotongan dipakai untuk pengenaan PPh Pasal 4 ayat
(2), PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26. Sedangkan, pemungutan
digunakan untuk pengenaan PPh Pasal 22.
Jadi secara garis besar, pemotongan pajak adalah kegiatan memotong sejumlah
pajak yang terutang dari keseluruhan pembayaran yang dilakukan. Pemotongan
ini membuat penghasilan yang dibayarkan kepada penerima penghasilan menjadi
berkurang. Sementara itu, pemungutan pajak merupakan kegiatan memungut
pajak yang terutang atas suatu transaksi. Pemungutan pajak akan menambah
besarnya jumlah tagihan pada suatu transaksi. Penjelasan lebih lanjut dapat
disimak dalam kamus “Perbedaan Pemotongan atau Pemungutan Pajak”
Karena itu, penggunaan istilah pemotongan/pemungutan dalam formulir atau
dokumen bukti tergantung pada jenis pajak yang dipotong/dipungut. Selain itu,
bukti pemotongan/pemungutan juga memiliki jenis yang bermacam-macam Jenis
Bukti Potong
Terdapat 4 jenis bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yaitu:
G. DAFTAR FUSTAKA
Edwar, Dkk. 2013.PDAM Kota Padang Bangkit Dari Kehancuran. Padang :
Grafika Jaya Sumbar
Fitriandi, Primandita. 2014. Kompilasi Undang- Undang Perpajakan Terlengkap.
Jakarta: Salemba Empat
Lubis, Irwansyah dan Gusti Djuanda. 2010. Pelaporan Pajak Penghasilan (PPh).
Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia
Mardiasmo. 2007. Perpajakan (Edisi Ketiga). Jakarta: Penerbit Andi
Najiyullah, Ahmad. 2010. Analisis Penerapan Penghitungan, Pemotongan,
Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Pada PT. Hikerta Pratama.
Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Republik Indonesia. 2008. Undang- Undang No 36 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Keempat Atas Undang- Undang No 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan. Jakarta
Republik Indonesia. 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60
Tahun 2010 Tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang
Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto. Jakarta
Republik Indonesia. 2015. Direktorat Jendral Pajak Nomor PER-32/PJ/2015
Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 21. Jakarta