You are on page 1of 29

PAJAK PENGHASILAN (UMUM)

Yenni Elizah Nasution


Email : yennielizah11@gamail.com
Program Studi Perbankan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Mandailing Natal

ABSTRAK
Taxes are the largest source of income from the Indonesian state tax collection in
Indonesia based on the constitution, taxation contained in Article 23 A of the Constitution
of the Republic of Indonesia in 1945 that read, "taxes and other coercive for the purposes
of the State and in set legislation ". Tax function is as a tool to determine economic policy,
taxes have key advantages in usability and improve the general welfare, a State will not
likely require the decline of community life and is generally known by two kinds of
functions, ie functions and function budgetair regulerend. Budgetair function is a tax as a
source of funds for the government to finance the expenditure-pengeluaranya. Tax
regulerend function as a tool to organize or carry out government policy in social and
economic fields.Based on these explanations, the tax is crucial for improving government
source of funding for both central and local governments which can be used for the
prosperity of its people since the time of the first tax reform the first tax reform in 1984.
Expected tax revenues as the main source of financing the state budget can be maintained
continuity. Aside from being a source of revenue budgetair, the tax also has another
function that function regulerend. In addition intended to increase state revenue, tax
revenue will also be directed to provide limited stimulus to support economic growth
quality that fiscal policy in 2007 will continue to be directed to continue administrative
reform and improvement of policy in the field of taxation, customs and excise. Tax
compliance problem is a classic problem encountered in almost all countries which
implement pepajakan system. Various studies have been conducted and the conclusion is
compliance issues can be seen in terms of public finance / public finance, law enforcement
emforcement, organizational structure, organizational structure, labor employees, the
ethical code of conduct, or a combination of these terms. In terms of public finances, if the
government can show the public that the tax administration is done properly and in
accordance with the wishes of the taxpayer, the taxpayer likely to comply with tax rules.
Keywords : taxes,administration
A. PENDAHULUAN
Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan untuk orang pribadi, perusahaan atau
badanhukum lainnya atas penghasilan yang didapat. Dasar hukum untuk pajak
penghasilan adalahUndang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.Subjek pajak dalam Pajak
Penghasilan adalah Orang Pribadi, Warisan yang belum terbagi,sebagai satu kesatuan,
Badan, dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Subjek pajak dibedakan menjadidua subjek
pajak yaitu subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Kriteria
yangmembedakan dari kedua subjek pajak adalah keberadaan (  staying principles),
kehendak(intension principles), dan waktu (time test ).
Dalam Pasal 3 UU No.36 Thn 2008 dikemukakan bahwa yang tidak termasuk
sebagai Subjek Pajak adalah Kantor Perwakilan Negara Asing atau organisasi
internasional; Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-
pejabat lain dari negara asing, dan orang-orangyang diperbantukan kepada mereka, yang
bekerja dan bertempat tinggal bersama mereka; Organisasi-organisasi Internasional
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; Pejabat-pejabat perwakilan
organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan MenteriKeuangan.
Objek pajak penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima ataudiperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapatdipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib
Pajak yang bersangkutan, dengannama dan dalam bentuk apa pun, termasuk Pergantian
atau imbalan berkenaan dengan pekerjaanatau jasa yang diterima atau diperoleh
termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, grafitasi, uang pensiun, atau
imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalamUndang-undang ini,
Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; Labausaha;
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta. Sedangkan
beberapa penghasilan yang dikecualikan dari
objek pajak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (3)UU. PPh adalah Sumbangan
serta; Harta Hibahan; Iuran yang diterima atau diperoleh dana pension; Bunga obligasi
perusahaan reksadana; Pembayaran dari perusahaan asuransi, dll.
B. KAJIAN TEORITIS
1. Subjek pajak
Yang menjadi subjek pajak penghasilan adalah:
a. 1. orang pribadi;
2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
b. badan;
adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan
lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
c. bentuk usaha tetap.
adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan
usaha melalui internet.
2. Subjek Pajak Dalam Negeri
Subjek Pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi
yang dalam 8 Pajak Penghasilan suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; Kewajiban pajak subjektif
orang pribadi dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau
berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal
dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit
tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah; dan
4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara;
Kewajiban pajak subyektif badan dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak
lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Kewajiban pajak subyektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat
timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan
tersebut selesai dibagi.
3. Subjek Pajak Luar Negeri
Subjek Pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia; Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan dimulai pada saat
orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap.
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia. Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan dimulai pada saat
orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh
penghasilan tersebut
4. Tidak termasuk subjek pajak
Tidak termasuk subjek pajak adalah:
a. kantor perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau 10 Pajak Penghasilan
pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada
mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan
syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau
memperoleh penghasilan diluar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara
bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan
2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya
berasal dari iuran para anggota; Organisasi Internasional adalah
organisasi/badan/ lembaga/asosiasi/ perhimpunan/forum antar pemerintah atau
non-pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional dan
dibentuk dengan aturan tertentu atau kesepakatan bersama.
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional dengan syarat bukan warga
negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain
untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. Pejabat perwakilan organisasi
internasional adalah pejabat yang diangkat atau ditunjuk langsung oleh induk
organisasi internasional yang bersangkutan untuk menjalankan tugas atau jabatan
pada kantor perwakilan organisasi internasional tersebut di Indonesia.
2. Objek pajak penghasilan
1. Objek Pajak Penghasilan
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,
atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-
pihak yang bersangkutan; dan
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan; Dalam hal terjadi pengalihan harta perusahaan
kepada pegawainya, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar
harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi
perusahaan.
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi; h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; Pembebasan utang
oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang
semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan
sebagai biaya. Namun, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa
pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera
(Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit
untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan
jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing; Keuntungan yang diperoleh
karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan
yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi
Keuangan yang berlaku di Indonesia.
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi, termasuk premi reasuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah; Kegiatan usaha berbasis syariah
memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat
konvensional. Namun, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan
usaha berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak.
r. imbalan bunga; dan
s. surplus Bank Indonesia. Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek
Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan
audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan
Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik
Bank Indonesia.
2. Penghasilan yang Dikenai PPh Final Penghasilan di bawah ini dapat dikenai
pajak bersifat final:
a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan
surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi;
b. penghasilan berupa hadiah undian;
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif
yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh
perusahaan modal ventura;
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,
usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau
bangunan; dan
e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah
3. Dikecualikan dari Objek
Pajak Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak
yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan /atau kenikmatan dari Wajib
Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib
Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan
norma penghitungan khusus (deemed profit);
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau
badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun, dalam bidang-
bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi
kolektif;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha
atau 17Pajak Penghasilan kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan
usaha tersebut:
1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan
2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
L. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang
ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan /atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4
tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
o. hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan
kepada semua pembeli atau konsumen akhir tanpa diundii dan hadiah tersebut
diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa
3. Objek pajak penghasilan BUT
Yang dimaksud dengan objek pajak bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk
usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan di Indonesia
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha
(place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk
juga mesin-mesin dan peralatan yang bersifat permanen dan digunakan untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia.
1. BUT dapat berupa :
 tempat kedudukan manajemen;
 cabang perusahaan;
 kantor perwakilan;
 gedung kantor;
 pabrik;
 bengkel;
 gudang;
 ruang untuk promosi dan penjualan;
 pertambangan dan penggalian sumber alam;
 wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
 perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan;
 proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
 orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
 agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia; dan
 komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan
usaha melalui internet.
Dalam Undang-undang ini bentuk usaha tetap ditentukan sebagai Subjek Pajak
tersendiri, terpisah dari badan. Oleh karena itu, walaupun perlakuan
perpajakannya dipersamakan dengan Subjek Pajak badan, untuk pengenaan Pajak
Penghasilan, bentuk usaha tetap mempunyai eksistensinya sendiri dan tidak
termasuk dalam pengertian badan.
2. Jenis-jenis objek penghasilan BUT (UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 2 (5))
a. Tipe Fasilitas Fisik, terdiri dari :
 Tempat kedudukan manajemen;
 Cabang perusahaan;
 Kantor perwakilan;
 Gedung kantor;
 Pabrik;
 Bengkel;
 Gudang;
 ruang untuk promosi dan penjualan;
 Pertambangan dan penggalian sumber daya alam, wilayah kerja pengeboran
untuk eksplorasi pertambangan;
 perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan
 komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan
usaha melalui internet.
3.Objek pajak Penghasilan BUT
Penggolongan Penghasilan Bentuk Usaha Tetap (UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal
5)
1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap tersebut dan dari
harta yang dimiliki atau dikuasai (Penghasilan BUT sendiri).
2. Penghasilan kantor pusatnya dari usaha atau kegiatan penjualan barang atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan/dilakukan
oleh BUT di Indonesia. Hal ini karena pada hakikatnya usaha atau kegiatan
kantor pusat di Indonesia tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha dan
kegiatan yang dapat dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap.Misalnya ;
– Sebuah bank di luar negeri yang memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia,
memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui Bentuk Usaha Tetap
kepada perusahaan di Indonesia. Dalam hal ini, penghasilan sehubungan
dengan pemberian pinjaman oleh kantor pusat tersebut diakui sebagai
penghasilan Bentuk Usaha Tetap.
– Sebuah perusahaan di luar negeri yang memiliki Bentuk Usaha Tetap di
Indonesia menjual produk yang sama dengan yang dijual oleh BUT secara
langsung tanpa melalui BUT-nya kepada pembeli di Indonesia. Dalam hal ini,
penjualan yang dilakukan oleh kantor pusat tersebut diakui sebagai
penjualannya BUT di Indonesia.
3. Penghasilan yang diterima oleh kantor pusat (wajib pajak luar negeri) dari
Indonesia, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT-nya dengan harta
atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.Misalnya ;
– Zenith Inc. yang berkedudukan di Amerika menutup perjanjian lisensi
dengan PT Polar untuk mempergunakan merek dagang Zenith Inc. atas hak
tersebut, Zenith Inc menerima royalty dari PT Polar.
– Sehubungan dengan perjanjian tersebut, Zenith Inc memberikan jasa
manajemen kepada PT Polar melalui BUT di Indonesia, dan dalam rangka
pemasaran produk PT Polar yang menggunakan merek Zenith Inc tersebut.
– Dalam kasus di atas, penggunaan merek dagang oleh PT Polar memiliki
hubungan efektif dengan BUT di Indonesia, sehingga penghasilan Zenith Inc
yang berupa royalty tersebut diperlakukan sebagai penghasilan BUT.
4. Pengurangan penghasilan
Untuk lebih memahami tentang Biaya yang diakui sebagai pengurang
penghasilan bruto oleh Undang-Undang Perpajakan, silahkan disimak penjelasan
seputar biaya sebagai pengurang penghasilan bruto dalam Penghitungan Pajak
Penghasilan (PPh) berikut ini.
Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
1. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain: biaya pembelian bahan; biaya berkenaan dengan pekerjaan
atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan
yang diberikan dalam bentuk uang; bunga, sewa, dan royalti; biaya
perjalanan; biaya pengolahan limbah; premi asuransi; biaya promosi dan
penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
biaya administrasi; dan pajak kecuali Pajak Penghasilan;
2. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun;
3. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
4. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan;
5. kerugian selisih kurs mata uang asing;
6. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
7. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
8. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat telah dibebankan
sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; Wajib Pajak harus
menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat
Jenderal Pajak; dan telah diserahkan perkara penagihannya kepada
Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara;
atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan
utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah
dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan
dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
Syarat telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya
pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang
tertentu tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil
yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan;
9. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
10. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
11. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
12. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah; dan
13. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan Biaya tersebut diatas didapat
kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun
pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

5. Tarif PPH,PKP
a. Tarif pph
Sri Mulyani memerinci, dalam RUU HPP aturan PPh orang pribadi terdiri
dari, penghasilan Rp 0 sampai Rp 60 juta per tahun dikenakan  tarif 5%, di atas
Rp 60 juta sampai Rp 250 juta per tahun dikenakan tarif 15%, dan di atas Rp
250 juta sampai Rp 500 juta per tahun akan dikenakan tarif 25%.
Lebih lanjut, penghasilan di atas Rp 500 juta sampai Rp 5 miliar per tahun
dikenakan tarif sebesar 30 persen dan penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun
dikenakan tarif sebesar 35%.
Sebelumnya, dalam UU PPh lapisan paling bawah dikenakan untuk
penghasilan Rp 50 juta per tahun dikenakan tarif 5% dan di atas Rp 50 juta
sampai Rp 250 juta per tahun dikenakan tarif 15%. Kemudian penghasilan di atas
Rp 250 juta sampai Rp 500 juta per tahun dikenakan tarif 25% dan penghasilan di
atas Rp 500 juta per tahun dikenakan tarif sebesar 30%.
Artinya, Sri Mulyani mengatakan, perhitungan PPh orang pribadi diterapkan
atas penghasilan yang jumlahnya melebihi batas penghasilan tidak kena pajak
(PTKP). Dalam UU HPP, besaran PTKP per tahun tidak berubah yakni, pertama, 
untuk diri wajib pajak bagi orang pribadi Rp 54 juta per tahun tidak akan
dikenakan pajak.
“Jadi jika masyarakat yang penghasilannya Rp 54 juta per tahun atau Rp 4,5 juta
per bulan mereka akan dikenakan PPh 0%. Dan kalau yang bersangkutan menikah
maka pasangannya digabung dalam PTKP, untuk Rp 54 juta pertama tidak
dipajaki atau 0%,” jelas Sri Mulyani.
Terakhir, jika pasangan suami istri memiliki putra/putri, maka setiap tanggungan
akan diberikan Rp 4,5 juta per tahun dengan maksimal 3 orang. Sri Mulyani
mengatakan, bagi WP dengan penghasilan antara Rp 50 juta sampai Rp 60 juta
di atas PTKP akan memperoleh diskon pajak dari sebelumnya 15% menjadi
5%.
Dia mencontohkan, perhitungan PPh untuk status WP OP lajang yakni
misalnya seseorang yang memiliki gaji Rp 5 juta per bulan atau Rp 60 juta per
tahun, maka akan dikurangi PTKP Rp 54 juta sehingga sisa menjadi Rp 6 juta.
Maka dari Rp 6 juta tersebut akan dikenakan tarif PPh OP 5% yaitu, orang
tersebut berarti harus membayar pajak Rp 300 ribu per tahun.
Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat
DJP Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan, PPh orang pribadi
ini sesuai dengan prinsip ability to pay yang yang berkemampuan tinggi dituntut
untuk membayar lebih besar.
Dia mengatakan, keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat adalah
dengan memperlebar peraturan PPh orang pribadi yang sebelumnya hanya 4
lapisan, kini menjadi 5 lapisan. Serta bisa dilihat dari UU PPh sebelumnya tarif
tertinggi dikenakan 30%, kemudian dinaikkan dalam UU HPP menjadi 35%
untuk penghasilan pajak di atas Rp 5 miliar.
“Sehingga yang berpenghasilan kecil akan dilindungi, dan yang berpenghasilan
tinggi dituntut kontribusi yang lebih tinggi,” imbuhnya.
b. Tarif pkp
Penghasilan kena pajak (PKP) hingga Rp 60 juta akan dikenakan tarif 5%. Ini
tertuang dalam RUU Ketentuan Umum Perpajakan yang diubah menjadi RUU
Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) yang diterima CNBC
Indonesia.
Penghasilan kena pajak (pkp) adalah penghasilan yang dijadikan dasar
untuk menghitung Pajak Penghasilan (PPh). Hal tersebut diatur dalam UU
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Dalam aturan tersebut
penghasilan kena pajak dihitung dari penghasilan kotor dikurang dengan upah
untuk mengumpulkan dan menjaga penghasilan. Kemudian jika kasus
demikian hasilnya rugi maka akan digantikan oleh penghasilan tahun pajak
selanjutnya sampai dengan lima tahun kedepan.
tarif penghasilan kena pajak terbagi dalam dua jenis berdasarkan subjek
pajaknya, yaitu:
 Tarif penghasilan kena pajak dikenakan kepada wajib pajak orang pribadi
(WP OP) dalam negeri
 Tarif penghasilan kena pajak yang dikenakan kepada wajib pajak badan
dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Tarif yang dikenakan untuk keduanya berbeda. Untuk tarif penghasilan kena
pajak dibedakan berdasarkan jumlah penghasilannya:
Tarif Penghasilan Orang Pribadi
Tarif Lama (UU Pajak Penghasilan)
Penghasilan: 0 - Rp 50 juta = 5%
Penghasilan : Rp 50 juta - Rp 250 juta= 15%
Penghasilan : Rp 250 juta - Rp 500 juta= 25%
Penghasilan di atas : Rp 500 juta= 30%
Tarif Baru (RUU HPP)
Penghasilan: 0 - Rp 60 juta =5%
Penghasilan :Rp 60 juta - Rp 250 juta = 15%
Penghasilan: Rp 250 juta - Rp 500 juta =25%
Penghasilan: Rp 500 juta - Rp 5 miliar = 30%
Penghasilan di atas: Rp 5 miliar = 35%
Orang pribadi pengusaha yang menghitung PPh dengan tarif final 0,5% (PP
23/2018) dan memiliki peredaran bruto sampai Rp500.000.000 dalam setahun
tidak dikenakan PPh.

6. Pelunasan PPH
Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 7 tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh),
bahwa pelunasan PPh oleh Wajib Pajak dapat dilakukan melalui dua cara yakni:
1. Pelunasan PPh dalam Tahun Berjalan
Pelunasan PPh tahun berjalan dilakukan oleh Wajib Pajak melalui mekanisme
pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain, dan melalui pembayaran
pajak yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak. Pelunasan pajak dalam tahun
berjalan merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap PPh yang
terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat Final.
2. Pelunasan PPh Pada Akhir Tahun Pajak
Pelunasan PPh pada akhir tahun pajak dilakukan melalui mekanisme
penyampaian SPT Tahunan yang merupakan penghitungan PPh terutang, yang
telah dipotong/dipungut oleh pihak lain maupun yang telah dibayar sendiri, dan
jumlah PPh yang masih harus dibayar untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
 UU PPh 25
Sesuai UU PPh 25, angsuran pajak harus dibayarkan sendiri oleh Wajib Pajak
yang bersangkutan setiap bulan. Adapun besarnya angsuran pajak dalam tahun
berjalan adalah sebesar PPh yang terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun
pajak sebelumnya, dikurangi dengan PPh yang dipotong sesuai Pasal 21 dan
Pasal 23, serta PPh yang dipungut sesuai Pasal 22; dan PPh yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sesuai PPh Pasal 24 dibagi 12
bulan atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
 PPh Lainnya yang Dipungut atau Dipotong
1. PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 yang terutang antara lain atas:
a. Pembayaran yang diterima Wajib Pajak atas penyerahan barang kepada
bendahara Pemerintah.
b.Penghasilan Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau
kegiatan usaha bidang lain.
c.Pembelian barang yang tergolong sangat mewah.
PPh Pasal 22 terutang dalam suatu tahun pajak berjalan dilunasi oleh Wajib
Pajak melalui pemungutan pajak oleh pihak lain. Pelunasan pajak tersebut
dilakukan setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan Menteri Keuangan.
Wajib Pajak Badan yang telah melunasi pajak melalui pemungutan pajak oleh
pihak lain akan mendapatkan bukti pungut PPh Pasal 22. Bukti pemungutan
tersebut harus dilaporkan dalam SPT Tahunan Wajib Pajak sebagai kredit pajak
di tahun pajak yang sama
2. PPh Pasal 23
Kewajiban PPh Pasal 23 dilunasi melalui pemotongan pajak oleh pihak lain.
Adapun pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan pada akhir bulan atas:
a. Dibayarkannya penghasilan.
b. Disediakan untuk dibayarkannya penghasilan.
c. Jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan, bergantung
pada peristiwa yang terjadi lebih dulu.
Sedangkan pemotongan PPh Pasal 23 tidak dilakukan atas:
a. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
b. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha
dengan hak opsi.
c. Dividen sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang
diterima oleh orang pribadi seperti yang dimaksud pada Pasal 17 ayat (2c)
d. Bagian laba sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (3) huruf i
e. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya
f. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada Badan Usaha atas jasa
keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan
yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan
g. Wajib Pajak yang telah dilakukan pemotongan pajak PPh Pasal 23 akan
mendapatkan bukti potong PPh Pasal 23. Seperti halnya PP Pasal 22, bukti
potong ini harus dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SPT Tahunan sebagai
kredit pajak di tahun pajak yang sama.
3. PPh Pasal 24
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan
terhadap pajak yang terutang dalam tahun pajak yang sama, dan besarnya
kredit pajak adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di
luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang.
4. PPh Pasal 26
Atas penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan,
disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh
badan pemerintah, subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk
usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib
Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar
20% dari jumlah bruto.

7. PPH wp yang memiliki peredaran bruto tertentu.


Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam
negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final dalam jangka waktu tertentu. Tarif Pajak Penghasilan yang bersifat
final ini dikenakan sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari peredaran bruto
setiap bulannya.
Pengenaan PPh Final Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu
yang dikenai PPh Final yaitu: Wajib Pajak orang pribadi, atau Wajib Pajak badan
berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau perseroan terbatas. yang
menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi
Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu)
Tahun Pajak.
Jangka Waktu Pengenaan PPh Final Jangka waktu tertentu pengenaan Pajak
Penghasilan yang bersifat final yaitu paling lama:
1. 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi.
2. 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi,
persekutuan komanditer, atau firma.
3. 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.
Dasar Pengenaan PPh Final Jumlah peredaran bruto atas penghasilan dari usaha
setiap bulan dijadikan sebagai dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk
menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan pajak ini merupakan
imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau
diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai,
dan/atau potongan sejenis.
Pengecualian Pengenaan PPh Final Terdapat pengecualian penghasilan yang
dikenai PPh Final yaitu jika: Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak 1. orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, yang
meliputi : Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari
pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, PPAT, penilai, dan
aktuaris. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film,
bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari. Olahragawan, Penasihat,
pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator. Pengarang, peneliti, dan
penerjemah. Agen iklan. Pengawas atau pengelola proyek. Perantara. Petugas
penjaja barang dagangan, Agen asuransi, Distributor perusahaan pemasaran
berjenjang atau penjualan langsung dan kegiatan sejenis lainnya.
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya
terutang atau telah dibayar di luar negeri.
3. Penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri. Penghasilan
yang dikecualikan sebagai objek pajak.

8. PPH final psl 4 ayat (2)


A. PPh Final atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank
Indonesia .
1. Objek PPh adalah Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta
diskonto Sertifikat Bank Indonesia termasuk bunga yang diterima atau
diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui
bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank
luar negeri di Indonesia.
2. Definisi
a. Deposito adalah deposito dengan nama dan dalam bentuk apapun,
termasuk deposito berjangka, sertifikat deposito dan “deposit on call” baik
dalam mata uang rupiah maupun dalam mata uang asing (valuta asing) yang
ditempatkan pada atau diterbitkan oleh bank.
b. Tabungan adalah simpanan pada bank dengan nama apapun, termasuk giro,
yang penarikannya dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang ditetapkan
oleh masing-masing bank.

3. Pemotong Pajak adalah:


a. Bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
b. Cabang bank luar negeri di Indonesia
c. Bank Indonesia
4. Tarif Pajak
a. dikenakan PPh final sebesar 20% dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap; 57Pajak Penghasilan
b. dikenakan PPh final sebesar 20% dari jumlah bruto atau dengan tarif
berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap
Wajib Pajak luar negeri.
5. Dikecualikan dari Pemotongan PPh
a. bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia,
sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia
tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang
dipecah-pecah;
b. bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di
Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
c. bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonsia yang
diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992
tentang Dana Pensiun, diberikan berdasarkan Surat Keterangan Bebas (SKB)
Pemotongan Pajak Penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta
diskonto Sertifikat Bank Indonesia, yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan
Pajak tempat Dana Pensiun yang bersangkutan terdaftar.
d. bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka
pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk
rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri.
e. Orang Pribadi Subjek Pajak dalam negeri yang seluruh 58Pajak Penghasilan
penghasilannya dalam 1 tahun pajak termasuk bunga dan diskonto tidak
melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak.
B. PPh Final atas Bunga Obligasi
1. Definisi Bunga Obligasi adalah imbalan yang diterima atau diperoleh
pemegang Obligasi dalam bentuk bunga dan/ atau diskonto. Obligasi adalah
surat utang dan surat utang negara, yang berjangka waktu lebih dari 12 bulan.
2. Pemotongan Pajak Penghasilan dilakukan oleh:
a. penerbit Obligasi (emiten) atau kustodian selaku agen pembayaran yang
ditunjuk, atas:
1) bunga dan/atau diskonto yang diterima atau diperoleh pemegang Obligasi
dengan kupon pada saat jatuh tempo Bunga Obligasi; dan
2) diskonto yang diterima atau diperoleh pemegang Obligasi tanpa bunga pada
saat jatuh tempo Obligasi
b. perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku perantara, atas bunga dan/atau
diskonto Obligasi yang diterima atau diperoleh penjual Obligasi pada saat
transaksi; dan/atau
c. perusahaan efek, dealer, bank, dana pensiun, dan reksadana, selaku pembeli
Obligasi langsung tanpa melalui perantara, atas bunga dan/atau diskonto
Obligasi yang diterima atau diperoleh penjual Obligasi pada saat transaksi
3. Bunga obligasi yang tidak dikenai Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) Yaitu
apabila penerima penghasilan berupa bunga obligasi adalah: 60 Pajak
Penghasilan
a. WP dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4
ayat (3) UU PPh (penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun
dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan KMK)
b. WP bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia
C. PPh Final atas Bunga Simpanan Koperasi
1. Dikenakan atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh koperasi yang didirikan
di Indonesia kepada anggota koperasi Orang Pribadi.
2. Dipotong oleh koperasi yang melakukan pembayaran bunga simpanan kepada
anggota koperasi Orang Pribadi pada saat pembayaran.
3. Besarnya Pajak Penghasilan adalah:
a. 0% untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp240.000,00
per bulan; atau
b. 10% dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan lebih
dari Rp240.000,00 per bulan.
D. PPh Final atas Hadiah Undian
1. Objek pajak penghasilan adalah penghasilan berupa hadiah undian dengan
nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Orang Pribadi dan
badan baik dalam negeri maupun luar negeri.
2. Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam 61Pajak Penghasilan
bentuk apapun yang diberikan melalui undian
3. Nilai hadiah yaitu nilai uang dan nilai pasar apabila hadiah tersebut diserahkan
dalam bentuk natura.
4. Pemotong adalah penyelenggara undian.
5. Tarif PPh final atas hadiah undian adalah sebesar 25% dari jumlah bruto.
E. Tarif PPh Pasal 4 ayat (2)
1. 2% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
memiliki kualifikasi usaha kecil;
2. 4% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
tidak memiliki kualifikasi usaha;
3. 3% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain
Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
4. 4% untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
5. 6% untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha
9. Pph final psl 15
A. PPh atas Pelayaran Dalam Negeri
1. Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri adalah orang yang
bertempat tinggal atau badan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia
yang melakukan usaha pelayaran dengan kapal yang didaftarkan baik di
Indonesia maupun di luar negeri atau dengan kapal pihak lain.
2. Wajib Pajak perusahaan pelayarandalam negeri dikenakan Pajak
Penghasilan atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperolehnya baik
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Oleh karena itu penghasilan yang
menjadi Objek pengenaan PPh meliputi penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dari pengangkutan orang dan/atau barang, termasuk
penghasilan penyewaan kapal yang dilakukan dari : - pelabuhan di Indonesia
ke pelabuhan lainnya di Indonesia; - pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di
luar Indonesia; - pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia; dan -
pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia.
3. Norma penghitungan khusus penghasilan neto adalah 4% dari peredaran
bruto. Besarnya PPh yang terutang adalah 1,2% dari peredaran bruto dan
bersifat final. Peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti
berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
perusahaan pelayaran dalam negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang
yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari
pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya.
4. Pelunasan PPh terutang
a. Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau
charter dengan pemotong pajak, pemotongan pajak dilakukan saat
pembayaran atau terutangnya imbalan atau nilai pengganti.
b. Dalam hal penghasilan diperoleh selain dimaksud di atas, maka Wajib
pajak wajib menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos
dan Giro selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima
atau diperolehnya penghasilan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
(SSP) Final; melaporkan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan
Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya.
B. PPh atas Penerbangan Dalam Negeri
1. Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri adalah perusahaan
penerbangan yang bertempat kedudukan di Indonesia yang memperoleh
penghasilan berdasarkan perjanjian charter.
2. Peredaran bruto bagi Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri
adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak berdasarkan perjanjian charter dari
pengangkutan orang dan/atau 79Pajak Penghasilan barang yang dimuat dari
satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di
Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.
3. Penghasilan neto ditetapkan sebesar 6% dari peredaran bruto
4. Besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengangkutan orang
dan/atau barang bagi Wajib Pajak adalah sebesar 1,8% dari peredaran bruto
5. Pembayaran Pajak Penghasilan merupakan kredit pajak yang dapat
diperhitungkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
6. Pemotongan dilakukan oleh pencharter sepanjang pencharter tersebut
adalah badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
7. Pemotongan dilakukan pada saat pembayaran atau saat terutangnya
imbalan atau nilai pengganti.

C. PPh atas Pelayaran/Penerbangan Luar Negeri


1. Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan yang bertempat
kedudukan di luar negeri yang melakukan usaha melalui Bentuk Usaha Tetap
(BUT) di Indonesia.
2. Peredaran bruto Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan
luar negeri adalah semua nilai pengganti atau imbalan berupa uang atau nilai
uang dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari suatu
pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/ atau dari pelabuhan di
Indonesia ke Pelabuhan di luar negeri. Dengan demikian tidak termasuk
penggantian 80Pajak Penghasilan atau imbalan yang diterima atau diperoleh
perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri tersebut dari
pengangkutan orang dan/atau barang dari pelabuhan di luar negeri ke
pelabuhan di Indonesia.
3. Besarnya Norma Penghasilan Neto adalah sebesar 6% dari peredaran
bruto. Besarnya PPh yang wajib dilunasi Wajib Pajak perusahaan pelayaran
dan/atau penerbangan luar negeri adalah sebesar 2,64 dari peredaran bruto
dan bersifat final.
4. Pelunasan atau pembayaran PPh
a. Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian/charter, maka
pihak yang membayar atau pihak yang mencharter wajib memotong PPh
yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya imbalan/nilai
pengganti;
b. Dalam hal penghasilan diperoleh selain berdasarkan perjanjian charter,
maka Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri
wajib menyetor PPh terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro
selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau
diperolehnya penghasilan dan melaporkan penyetoran yang dilakukan ke
Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya.
D. PPh atas Kantor Perwakilan Dagang Asing (Representative Office/Liaison
Office) di Indonesia.
1. Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang
(representative office/liaison office), selanjutnya disingkat KPD, di
Indonesia. 2. Penghasilan neto dari Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai
kantor perwakilan dagang di Indonesia ditetapkan sebesar 1% dari nilai
ekspor bruto. 81Pajak Penghasilan
3. Pelunasan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak adalah sebesar 0,44% dari
nilai ekspor bruto dan bersifat final.
4. Nilai ekspor bruto adalah semua nilai pengganti atau imbalan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor
perwakilan dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada Orang
Pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.
E. PPh atas Wajib Pajak yang Melakukan Kegiatan Usaha Jasa Maklon
Internasional di Bidang Produksi Mainan Anak-Anak
1. Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha jasa maklon (Contract
Manufacturing) internasional adalah Wajib Pajak badan dalam negeri yang
melakukan jasa pembuatan atau perakitan barang berupa produk mainan
anak-anak, dengan bahan-bahan, spesifikasi, petunjuk teknis dan penentuan
imbalan jasa dari pihak pemesan yang berkedudukan di luar negeri dan
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak.
2. Norma penghitungan khusus untuk menghitung penghasilan neto berupa
imbalan jasa maklon internasional yang diterima/diperoleh Wajib Pajak
ditetapkan sebesar 7% dari jumlah seluruh biaya pembuatan atau perakitan
barang tidak termasuk biaya pemakaian bahan baku (direct materials)
3. Atas penghasilan neto dikenakan Pajak Penghasilan dengan menerapkan tarif
pajak tertinggi Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan
yakni sebesar 30% yang bersifat final;
4. Ketentuan ini hanya dapat diberlakukan sepanjang Wajib Pajak tidak
mengadakan Perjanjian Penentuan Harga Transfer (Advance Pricing
Agreement) dengan 82Pajak Penghasilan Direktur Jenderal Pajak mengenai
imbalan jasa maklon internasional.
10. SPT masa dan bukti pemotongan
SPT Masa atau disebut juga dengan SPT Bulanan merupakan SPT (Surat
Pemberitahuan) yang digunakan untuk melaporkan pajak yang telah dipotong
atau dipungut setiap bulannya. Secara sederhananya, SPT ini adalah bentuk
laporan atas pajak dari pihak lain yang dilaporkan oleh wajib pajak yang
memungut dan melakukan pemotongan. Contohnya yaitu Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 21 yang mana mengharuskan seorang pengusaha atau pemberi kerja
untuk memotong pajak atas gaji karyawan.
Apa Saja Jenis Pajak yang Menggunakan Pelaporan SPT Masa?
Tidak semua jenis pajak dilaporkan dengan menggunakan SPT Masa atau SPT
Bulanan. Sebagai wajib pajak, tentu anda harus mengetahui jenis-jenis pajak yang
menggunakan SPT Masa. Berikut ini beberapa jenis pajak yang menggunakan
pelaporan SPT Masa, meliputi:
 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21/26
 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22
 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23/26
 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25
 Pajak Penghasilan (PPh) Final/Pasal 4 ayat 2
 Pajak Penghasilan (PPh) 15
 Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
 Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Perlu untuk diketahui, meski jenis pajak di atas menggunakan SPT Masa
namun format dan cara pelaporannya berbeda. Hal ini didasarkan pada tarif serta
objek pajak yang dikenakan terhadap masing-masing pajak yang berbeda-beda.
Konsultan pajak Serpong adalah solusi mudah dan efisien untuk permasalahan
pajak anda.
 Batas Waktu Pelaporan SPT Masa
Merujuk pada peraturan yang telah dikeluarkan oleh Menteri Keuangan, SPT
Masa memiliki batas atau tenggat waktu dalam penyampaian laporannya. Yaitu
batas pelaporannya paling lama 20 hari setelah akhir tahun pajak. Apabila batas
pelaporan atau tenggat waktunya jatuh pada hari libur, termasuk Sabtu atau hari
libur nasional, maka pelaporan SPT dapat dimajukan pada hari kerja berikutnya.
Berikut ini adalah batas atau tenggat waktu pelaporan untuk SPT Masa, yaitu:
 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 Ayat 2 pada tanggal 20 bulan berikutnya
 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15 pada tanggal 20 bulan berikutnya
 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21/26 pada tanggal 20 bulan berikutnya
 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23/26 pada tanggal 20 bulan berikutnya
 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22, PPN dan PPnBM oleh Bea Cukai pada hari
kerja terakhir pekan berikutnya karena laporan dilakukan secara mingguan
 Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 oleh bendahara pemerintah pada tanggal 14
bulan berikutnya
 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 oleh pemungut tertentu pada tanggal 20 bulan
berikutnya
 Pajak Penghasilan (PPh) dan PPnBM oleh PKP pada akhir bulan berikutnya
setelah berakhirnya masa pajak
 PPN dan PPnBM oleh bendaharawan pada tanggal 14 bulan berikutnya
 PPN dan PPnBM oleh pemungut non-bendahara pada tanggal 20 bulan
berikutnya
 Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2, Pasal 15, Pasal 21, Pasal 23 PPN dan PPnBM.
Yang termasuk sebagai kategori wajib pajak tertentu batas waktu jatuh pada
tanggal 20 setelah berakhirnya masa pajak terakhir

 Bukti pemotongan
Indonesia menganut self assessment dalam sistem perpajakkannya. Tetapi
terdapat beberapa jenis PPh yang pelunasannya dilakukan melalui pemotongan
atau pemungutan pajak oleh pihak lain. Apabila pelunasan PPh dilakukan
melalui pemotongan/pemungutan, pemotong/pemungut harus membuat bukti
pemotongan/pemungutan. Selanjutnya, bukti tersebut harus diberikan kepada
pihak yang dipotong dan/atau pihak yang dipungut. 
 Bukti pemotongan/pemungutan itu menjadi dokumen penting yang harus
disimpan oleh wajib pajak. Bukti tersebut merupakan salah satu dokumen yang
diperlukan dalam pelaporan pajak. Lantas, sebenarnya apakah yang dimaksud
dengan bukti pemotongan/pemungutan pajak?
Pengertian Bukti Potong
Bukti pemotongan/pemungutan PPh adalah dokumen berupa formulir atau
dokumen lain yang dipersamakan dan dibuat oleh pemotong/pemungut PPh.
Formulir atau dokumen tersebut dibuat sebagai bukti atas
pemotongan/pemungutan PPh yang telah dilakukan pemotong/pemungut. Selain
itu, bukti pemotongan/pemungutan juga menunjukkan besaran PPh yang telah
dipotong/dipungut. 
 Dalam konteks pajak, pemotongan dan pemungutan memiliki penggunaan dan
arti yang berbeda. Istilah pemotongan dipakai untuk pengenaan PPh Pasal 4 ayat
(2), PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26. Sedangkan, pemungutan
digunakan untuk pengenaan PPh Pasal 22.
Jadi secara garis besar, pemotongan pajak adalah kegiatan memotong sejumlah
pajak yang terutang dari keseluruhan pembayaran yang dilakukan. Pemotongan
ini membuat penghasilan yang dibayarkan kepada penerima penghasilan menjadi
berkurang. Sementara itu, pemungutan pajak merupakan kegiatan memungut
pajak yang terutang atas suatu transaksi. Pemungutan pajak akan menambah
besarnya jumlah tagihan pada suatu transaksi. Penjelasan lebih lanjut dapat
disimak dalam kamus “Perbedaan Pemotongan atau Pemungutan Pajak” 
Karena itu, penggunaan istilah pemotongan/pemungutan dalam formulir atau
dokumen bukti tergantung pada jenis pajak yang dipotong/dipungut. Selain itu,
bukti pemotongan/pemungutan juga memiliki jenis yang bermacam-macam Jenis
Bukti Potong
Terdapat 4 jenis bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yaitu:

1. Bukti pemotongan PPh Pasal 21 (tidak final)/Pasal 26 (Formulir 1721-VI).


Bukti pemotongan ini digunakan untuk pemotongan PPh Pasal 21 untuk
pegawai tidak tetap, diantaranya seperti tenaga ahli, bukan pegawai, dan
peserta kegiatan.
2. Bukti pemotongan PPh Pasal 21 (final) (formulir 1721-VII). Formulir ini
digunakan untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat final seperti PPh
Pasal 21 atas pesangon atau honorarium yang diterima PNS yang dananya
berasal dari APBN atau APBD.
3. Bukti pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir 1721-A1). Formulir ini digunakan
untuk pegawai tetap atau penerima pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan
hari tua berkala.
4. Bukti pemotongan PPh Pasal 21 (1721-A2). Formulir ini digunakan bagi
pegawai negeri sipil atau anggota tentara nasional indonesia (TNI) atau
anggota Polisi Republik Indonesia (Polri) atau pejabat negara atau
pensiunannya.

 Fungsi Bukti Pemotongan/Pemungutan


Bukti pemotongan/pemungutan PPh merupakan formulir/dokumen yang
membuktikan jika wajib pajak secara sah sudah melunasi pajak yang terutang.
Wajib pajak sangat dianjurkan untuk menyimpan bukti pemotongan/pemungutan
yang telah diterima dengan baik. Selain berfungsi sebagai bukti pembayaran, PPh
dalam bukti itu dapat menjadi kredit pajak bagi pihak yang dipotong/dipungut
apabila penghasilan dikenakan pajak tidak final. Namun, jika dikenakan pajak
final, dokumen tersebut dapat menjadi bukti pelunasan PPh.
Selain itu, bukti pemotongan/pemungutan juga menjadi dokumen pelengkap
yang harus dilampirkan pada saat melaporkan pajak tahunan. Sebagai dokumen
pelengkap, bukti tersebut akan digunakan untuk mengecek kebenaran atas jumlah
pajak yang telah dibayar dan dilaporkan. Bukti pemotongan/pemungutan dapat
pula digunakan untuk mengawasi atau mengecek kebenaran pajak yang sudah
dipotong/dipungut dan telah dibayarkan ke kas negara oleh pemberi kerja atau
pihak pemotong/pemungut lain.
11. Contoh soal
C. METODE PENELITIAN
Metode penelitian data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
Penelitian Pustaka (Library Research) Peneliti mendapatkan data dan informasi yang
berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti melalui buku, jurnal, skripsi, tesis,
internet, dan perangkat lain yang berkaitan dengan topik yang akan dibahas dalam
penelitian.
Berikut merupakan data yang dibutuhkan peneliti: 1. Bukti Potong Pajak
Penghasilan Pasal 23 dan Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2) 2. Daftar Bukti Potong
Pajak Penghasilan Pasal 23 dan Pajak 45 Penghasilan Pasal 4 Ayat (2) 3. Bukti
Penerimaan Negara Pajak Penghasilan Pasal 23 dan Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat
(2) 4. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 23 dan Pajak Penghasilan
Pasal 4 Ayat (2) 5. Bukti Penerimaan Elektronik Pajak Penghasilan Pasal 23 dan
Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2) 6. Jurnal Pencatatan Pajak Penghasilan Pasal 4
Ayat (2) 7. Struktur Organisasi Berikut cara memperoleh data primer
D. PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan untuk orang pribadi, perusahaan atau
badan hukum lainnya atas penghasilan yang didapat. Dasar hukum untuk pajak
penghasilan adalahUndang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.Subjek pajak dalam Pajak
Penghasilan adalah Orang Pribadi, Warisan yang belum terbagi,sebagai satu kesatuan,
Badan, dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Subjek pajak dibedakan menjadidua subjek
pajak yaitu subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Kriteria
yangmembedakan dari kedua subjek pajak adalah keberadaan (  staying principles),
kehendak(intension principles), dan waktu (time test ).
1. Subjek pajak
1). orang pribadi;
2). warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
a. badan;
b. bentuk usaha tetap.
c. Subjek Pajak Dalam Negeri
d. Subjek Pajak Luar Negeri
2. Tidak termasuk subjek pajak
Dikecualikan dari Objek
Warisan dan harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai
pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; penghasilan dari modal
yang ditanamkan oleh dana pensiun, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan, bagian laba yang diterima atau diperoleh
anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan.
3. Objek pajak penghasilan BUT
a. Jenis-jenis objek penghasilan BUT (UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 2 (5))
1. Tipe Fasilitas Fisik, terdiri dari :
 Tempat kedudukan manajemen;
 Cabang perusahaan;
 Kantor perwakilan;
 Gedung kantor;
b. Objek pajak Penghasilan BUT
Yang dimaksud dengan objek pajak bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk
usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha
(place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk
juga mesin-mesin dan peralatan yang bersifat permanen dan digunakan untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia.
4.Pengurangan penghasilan
Untuk lebih memahami tentang Biaya yang diakui sebagai pengurang penghasilan
bruto oleh Undang-Undang Perpajakan, silahkan disimak penjelasan seputar biaya
sebagai pengurang penghasilan bruto dalam Penghitungan Pajak Penghasilan (PPh)
berikut ini.
Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha
tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan
5.Tarif PPH,PKP
a. Tarif pph
Sri Mulyani memerinci, dalam RUU HPP aturan PPh orang pribadi terdiri dari,
penghasilan Rp 0 sampai Rp 60 juta per tahun dikenakan tarif 5%, di atas Rp 60
juta sampai Rp 250 juta per tahun dikenakan tarif 15%, dan di atas Rp 250 juta
sampai Rp 500 juta per tahun akan dikenakan tarif 25%.
Lebih lanjut, penghasilan di atas Rp 500 juta sampai Rp 5 miliar per tahun
dikenakan tarif sebesar 30 persen dan penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun
dikenakan tarif sebesar 35%.
Sebelumnya, dalam UU PPh lapisan paling bawah dikenakan untuk penghasilan Rp
50 juta per tahun dikenakan tarif 5% dan di atas Rp 50 juta sampai Rp 250 juta per
tahun dikenakan tarif 15%. Kemudian penghasilan di atas Rp 250 juta sampai Rp 500
juta per tahun dikenakan tarif 25% dan penghasilan di atas Rp 500 juta per tahun
dikenakan tarif sebesar 30%.
b. Tarif pkp
Penghasilan kena pajak (PKP) hingga Rp 60 juta akan dikenakan tarif 5%. Ini
tertuang dalam RUU Ketentuan Umum Perpajakan yang diubah menjadi RUU
Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) yang diterima CNBC Indonesia.
Penghasilan kena pajak (pkp) adalah penghasilan yang dijadikan dasar untuk
menghitung Pajak Penghasilan (PPh). Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 36 Tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan. Dalam aturan tersebut penghasilan kena pajak
dihitung dari penghasilan kotor dikurang dengan upah untuk mengumpulkan dan
menjaga penghasilan. Kemudian jika kasus demikian hasilnya rugi maka akan
digantikan oleh penghasilan tahun pajak selanjutnya sampai dengan lima tahun
kedepan.
Tarif Penghasilan Orang Pribadi
Tarif Lama (UU Pajak Penghasilan)
Penghasilan: 0 - Rp 50 juta = 5%
Penghasilan : Rp 50 juta - Rp 250 juta= 15%
Penghasilan : Rp 250 juta - Rp 500 juta= 25%
Penghasilan di atas : Rp 500 juta= 30%
Tarif Baru (RUU HPP)
Penghasilan: 0 - Rp 60 juta =5%
Penghasilan :Rp 60 juta - Rp 250 juta = 15%
Penghasilan: Rp 250 juta - Rp 500 juta =25%
Penghasilan: Rp 500 juta - Rp 5 miliar = 30%
Penghasilan di atas: Rp 5 miliar = 35%
Orang pribadi pengusaha yang menghitung PPh dengan tarif final 0,5% (PP 23/2018)
dan memiliki peredaran bruto sampai Rp500.000.000 dalam setahun tidak dikenakan
PPh.
6. Pelunasan PPH
Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 7 tahun 1983 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh), bahwa pelunasan
PPh oleh Wajib Pajak dapat dilakukan melalui dua cara yakni:
1. Pelunasan PPh dalam Tahun Berjalan
Pelunasan PPh tahun berjalan dilakukan oleh Wajib Pajak melalui mekanisme
pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain, dan melalui pembayaran pajak
yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak. Pelunasan pajak dalam tahun berjalan
merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap PPh yang terutang untuk
tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya
bersifat Final.
2. Pelunasan PPh Pada Akhir Tahun Pajak
Pelunasan PPh pada akhir tahun pajak dilakukan melalui mekanisme penyampaian
SPT Tahunan yang merupakan penghitungan PPh terutang, yang telah
dipotong/dipungut oleh pihak lain maupun yang telah dibayar sendiri, dan jumlah
PPh yang masih harus dibayar untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
 UU PPh 25
Sesuai UU PPh 25, angsuran pajak harus dibayarkan sendiri oleh Wajib Pajak yang
bersangkutan setiap bulan.
 PPh Lainnya yang Dipungut atau Dipotong
1. PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 yang terutang antara lain atas:
a. Pembayaran yang diterima Wajib Pajak atas penyerahan barang kepada bendahara
Pemerintah.
b.Penghasilan Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan
usaha bidang lain.
c.Pembelian barang yang tergolong sangat mewah.
PPh Pasal 22 terutang dalam suatu tahun pajak berjalan dilunasi oleh Wajib Pajak
melalui pemungutan pajak oleh pihak lain. Pelunasan pajak tersebut dilakukan setiap
bulan atau masa lain yang ditetapkan
Menteri Keuangan.
2. PPh Pasal 23
3. PPh Pasal 24
4. PPh Pasal 26
7. PPH wp yang memiliki peredaran bruto tertentu.
Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri
yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dalam jangka waktu tertentu. Tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final ini
dikenakan sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari peredaran bruto setiap
bulannya.
Pengenaan PPh Final Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang
dikenai PPh Final yaitu: Wajib Pajak orang pribadi, atau Wajib Pajak badan
berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau perseroan terbatas. yang
menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun
Pajak.
Jangka Waktu Pengenaan PPh Final Jangka waktu tertentu pengenaan Pajak
Penghasilan yang bersifat final yaitu paling lama:
1. 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi.
2. 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi,
persekutuan komanditer, atau firma.
3. 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.
8. PPH final psl 4 ayat (2)
A. PPh Final atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank
Indonesia .
B. PPh Final atas Bunga Obligasi
C. PPh Final atas Bunga Simpanan Koperasi
D. PPh Final atas Hadiah Undian
E. Tarif PPh Pasal 4 ayat (2)
9. Pph final psl 15
A. PPh atas Pelayaran Dalam Negeri
B. PPh atas Penerbangan Dalam Negeri
C. PPh atas Pelayaran/Penerbangan Luar Negeri
D. PPh atas Kantor Perwakilan Dagang Asing (Representative Office/Liaison
Office) di Indonesia.
E. PPh atas Wajib Pajak yang Melakukan Kegiatan Usaha Jasa Maklon
Internasional di Bidang Produksi Mainan Anak-Anak .
10. SPT masa dan bukti pemotongan
SPT Masa atau disebut juga dengan SPT Bulanan merupakan SPT (Surat
Pemberitahuan) yang digunakan untuk melaporkan pajak yang telah dipotong atau
dipungut setiap bulannya. Secara sederhananya, SPT ini adalah bentuk laporan
atas pajak dari pihak lain yang dilaporkan oleh wajib pajak yang memungut dan
melakukan pemotongan. Contohnya yaitu Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang
mana mengharuskan seorang pengusaha atau pemberi kerja untuk memotong
pajak atas gaji karyawan.
Apa Saja Jenis Pajak yang Menggunakan Pelaporan SPT Masa?
Tidak semua jenis pajak dilaporkan dengan menggunakan SPT Masa atau SPT
Bulanan.
 Batas Waktu Pelaporan SPT Masa
Merujuk pada peraturan yang telah dikeluarkan oleh Menteri Keuangan, SPT
Masa memiliki batas atau tenggat waktu dalam penyampaian laporannya. Yaitu
batas pelaporannya paling lama 20 hari setelah akhir tahun pajak. Apabila batas
pelaporan atau tenggat waktunya jatuh pada hari libur, termasuk Sabtu atau hari
libur nasional, maka pelaporan SPT dapat dimajukan pada hari kerja berikutnya.
 Bukti pemotongan
Indonesia menganut self assessment dalam sistem perpajakkannya. Tetapi
terdapat beberapa jenis PPh yang pelunasannya dilakukan melalui pemotongan
atau pemungutan pajak oleh pihak lain. Apabila pelunasan PPh dilakukan
melalui pemotongan/pemungutan, pemotong/pemungut harus membuat bukti
pemotongan/pemungutan. Selanjutnya, bukti tersebut harus diberikan kepada
pihak yang dipotong dan/atau pihak yang dipungut. 
 Bukti pemotongan/pemungutan itu menjadi dokumen penting yang harus
disimpan oleh wajib pajak. Bukti tersebut merupakan salah satu dokumen yang
diperlukan dalam pelaporan pajak. Lantas, sebenarnya apakah yang dimaksud
dengan bukti pemotongan/pemungutan pajak?
Pengertian Bukti Potong
Bukti pemotongan/pemungutan PPh adalah dokumen berupa formulir atau
dokumen lain yang dipersamakan dan dibuat oleh pemotong/pemungut PPh.
Formulir atau dokumen tersebut dibuat sebagai bukti atas
pemotongan/pemungutan PPh yang telah dilakukan pemotong/pemungut. Selain
itu, bukti pemotongan/pemungutan juga menunjukkan besaran PPh yang telah
dipotong/dipungut. 
 Dalam konteks pajak, pemotongan dan pemungutan memiliki penggunaan dan
arti yang berbeda. Istilah pemotongan dipakai untuk pengenaan PPh Pasal 4 ayat
(2), PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26. Sedangkan, pemungutan
digunakan untuk pengenaan PPh Pasal 22.
Terdapat 4 jenis bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yaitu:
1. Bukti pemotongan PPh Pasal 21 (tidak final)/Pasal 26 (Formulir 1721-VI). Bukti
pemotongan ini digunakan untuk pemotongan PPh Pasal 21 untuk pegawai tidak
tetap, diantaranya seperti tenaga ahli, bukan pegawai, dan peserta kegiatan.
2. Bukti pemotongan PPh Pasal 21 (final) (formulir 1721-VII). Formulir ini
digunakan untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat final seperti PPh Pasal
21 atas pesangon atau honorarium yang diterima PNS yang dananya berasal dari
APBN atau APBD.
3. Bukti pemotongan PPh
4. Pasal 21 (Formulir 1721-A1). Formulir ini digunakan untuk pegawai tetap atau
penerima pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala.
5. Bukti pemotongan PPh Pasal 21 (1721-A2). Formulir ini digunakan bagi
pegawai negeri sipil atau anggota tentara nasional indonesia (TNI) atau anggota
Polisi Republik Indonesia (Polri) atau pejabat negara atau pensiunannya.
 Fungsi Bukti Pemotongan/Pemungutan
Bukti pemotongan/pemungutan PPh merupakan formulir/dokumen yang
membuktikan jika wajib pajak secara sah sudah melunasi pajak yang terutang.
Wajib pajak sangat dianjurkan untuk menyimpan bukti pemotongan/pemungutan
yang telah diterima dengan baik. Selain berfungsi sebagai bukti pembayaran, PPh
dalam bukti itu dapat menjadi kredit pajak bagi pihak yang dipotong/dipungut
apabila penghasilan dikenakan pajak tidak final. Namun, jika dikenakan pajak
final, dokumen tersebut dapat menjadi bukti pelunasan PPh.
E. KESIMPULAN
Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap
Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun
pajak. Penghasilan yang dikenakan PPh bersifat final yang diatur dalam Pasal 4 ayat
(2) meliputi: 1. Penghasilan bunga deposito/tabungan yang ditempatkan di dalam
negeri dan yang ditempatkan di luar negeri, diskonto Sertifikat Bank Indonesia
(SBI), dan jasa giro; 2. Transaksi penjualan saham pendiri dan bukan saham pendiri;
3. Bunga/diskonto obligasi dan surat berharga negara; 4. Hadiah undian; 5.
Persewaan tanah dan/atau bangunan; 6. Jasa konstruksi, meliputi perencanaan
konstruksi, pelaksanaan konstruksi, dan pengawasan konstruksi; 7. Wajib Pajak
yang usaha pokoknya melakukan kegiatan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan; 8. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota Wajib
Pajak orang pribadi; 9. Dividen yang diterima/diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri.
Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2 atas Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002. Yang dimaksud
persewaan tanah dan/atau bangunan adalah persewaan tanah dan/atau bangunan
yang berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung
perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, serta gudang dan industri. Wajib
Pajak yang dimaksud pada Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2 ini adalah orang pribadi
atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari persewaan tanah
dan/atau bangunan. Objek Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2 atas Persewaan Tanah
dan/atau Bangunan yaitu: 1. Tanah 2. Rumah 3. Rumah Susun 4. Apartemen 5.
Kondominium 6. Gedung Perkantoran 7. Rumah Kantor 8. Toko 9. Rumah Toko 10.
Gudang dan Industri Tarif Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2 atas Persewaan Tanah
dan/atau Bangunan adalah sebesar 10% dari jumlah bruto nilai sewa. Pelaporan
Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2 atas Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikut setelah bulan pembayaran atau
terutangnya sewa. Pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 4 Ayat 2
dengan mengisi secara manual formulir SPT nya atau dengan aplikasi seperti e-SPT.
Setelah selesai diisi dimasukkan ke dalam media penyimpanan elektronik, misalnya
flashdisk ataupun CD (Compact Disk) kemudian dilaporkan ke KPP terdaftar.
F. CONTOH SOAL
PT. Sinabung perusahaan yang manufaktur yang berdiri sejak 20 tahun lalu.
Informasi dalam laporan keuangan audited 2015 ditunjukkan dalam lampiran soal.
Penjelasan terkait laporan laba rugi yang telah disusun perusahaan (dalam ribuan
rupiah sama seperti satuan dalam tabel).
a. Termasuk dalam penjualan Terdapat penjualan kepada instansi
pemerintah sebesar 100.000.000. Atas penjualan tersebut telah dipotong PPh pasal
22 sebesar 1.500.000. Karena perusahaan jarang melakukan transaksi dengan
instansi pemerintah, penjualan ini dicatat sebesar nilai setelah pajak 98.500.000.
HPP dari penjualan ini sebesar 60% dan biaya khusus untuk penjualan ini sebesar
2.000.000. Penghasilan dari kontrak penjualan 100x40% - 2 = 38.000.000
b. Dalam harga pokok penjualan:
 biaya untuk seragam karyawan pabrik sebesar 600.000. Pabrik tersebut
memerlukan seragam khusus untuk perlindungan kesehatan.
 Biaya penurunan nilai persediaan bahan baku sebesar Rp 100.000
C. Beban rekreasi karyawan yang dilaksanakan pada hari ulang tahun perusahaan
sebesar 600.000 termasuk dalam beban gaji.
d. Beban depresiasi dihitung dari tabel berikut ini.
Kendaraan dinas digunakan oleh direksi dan general manager. Mobil ini dibawa
pulang oleh pimpinan tersebut.

G. DAFTAR FUSTAKA
Edwar, Dkk. 2013.PDAM Kota Padang Bangkit Dari Kehancuran. Padang :
Grafika Jaya Sumbar
Fitriandi, Primandita. 2014. Kompilasi Undang- Undang Perpajakan Terlengkap.
Jakarta: Salemba Empat
Lubis, Irwansyah dan Gusti Djuanda. 2010. Pelaporan Pajak Penghasilan (PPh).
Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia
Mardiasmo. 2007. Perpajakan (Edisi Ketiga). Jakarta: Penerbit Andi
Najiyullah, Ahmad. 2010. Analisis Penerapan Penghitungan, Pemotongan,
Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Pada PT. Hikerta Pratama.
Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Republik Indonesia. 2008. Undang- Undang No 36 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Keempat Atas Undang- Undang No 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan. Jakarta
Republik Indonesia. 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60
Tahun 2010 Tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang
Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto. Jakarta
Republik Indonesia. 2015. Direktorat Jendral Pajak Nomor PER-32/PJ/2015
Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 21. Jakarta

You might also like